"Urusan ini telah selesai sampai di sini."
"Heh?!" Arya tersentak kaget "Mengapa begitu?"
Kelabang Hijau menghela napas. "Kami telah bersepakat untuk mengaku kalah padamu jika kau sanggup menghadapi kami selama lima puluh jurus. Sekaligus menganggap habis semua urusan."
Melati tersenyum mengejek. "Lalu, mengapa tadi kalian masih menyerang terus? Padahal jelas-jelas pertarungan sudah berlangsung lebih dari lima puluh jurus!"
"Maaf, kami khilaf!"
"Lalu maksudmu bagaimana, Kek?" selak Dewa Arak yang tidak ingin urusan jadi berlarut¬-larut.
"Ya. Ternyata kaulah pemenangnya. Kami berdua mengaku kalah! Selamat tinggal, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, tubuh kakek berpakaian rompi hijau ini melesat diikuti sesosok bayangan putih. Cepat sekali gerakan kedua bayangan itu. Dalam sekejap saja hanya tinggal dua buah titik kecil hitam di kejauhan yang kemudian lenyap.
Kali ini Arya tidak ingin kecolongan lagi! Begitu, Kelabang Hijau dan Dewi Bulan melesat dari situ, buru-buru dialihkan perhatiannya ke arah Melati. Dan begitu dilihatnya gadis itu hendak melesat kabur kembali, segera Dewa Arak melompat menghadang. Kini mereka berhadapan dalam jarak dua tombak.
"Melati...," tegur Dewa Arak Suaranya terdengar gemetar.
Gadis yang dulu terkenal berjuluk Dewi Penyebar Maut ini tidak menjawab, dan hanya berdiri diam. Kepalanya pun ditundukkam dalam-¬dalam. Memang sejak mengenal pemuda di hadapannya ini, sifatnya telah benar-benar berubah. Hampir tidak pernah lagi gadis itu menurunkan tangan maut pada lawannya, kalau tidak terpaksa sekali!
"Melati...," sapa Arya lagi. Dilangkahkan kakinya mendekati gadis yang masih tetap diam tidak bergeming. "Aku ingin minta maaf atas semua kesalahanku padamu. Maukah kau memaafkan?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut gadis itu. Dewa Arak diam menunggu sabar. Akhirnya setelah beberapa saat lamanya, kepala gadis itu terangguk pelan.
"Ah...! Terima kasih, Melati! Sudah kuduga, kau pasti gadis yang baik..... Nggg… Maukah kau melakukan perjalanan bersamaku lagi..., seperti beberapa waktu yang lalu?"
Beberapa saat lamanya suasana menjadi hening, begitu Arya menghentikan ucapannya
"Untuk apa..,?" akhirnya keluar juga suara dari mulut gadis itu.
"Aku ingin menemui gurumu...?"
Melati tersentak. "Menemui guruku?!"
"Ya. Guruku, Ki Gering Langit telah menugaskan agar aku mengambil kembali kitab-kitab yang dulu, maaf... telah dicuri gurumu. Oh, ya.... Siapakah gurumu? Ki Julaga..., atau Ki Jatayu?"
"Ki Julaga."
"Bagaimana, Melati?" desak Dewa Arak.
Perasaan tegang melanda hatinya. Hanya tinggal gadis di hadapannya inilah yang dapat menunjukkan tempat tinggal orang-orang yang telah membawa lari kitab-kitab pusaka gurunya. Kalau Melati menolak, sia-sialah usaha yang selama ini dilakukannya.
"Aku bersedia, " ucap Melati. "Guruku memang sudah lama ingin mengembalikan kitab-¬kitab itu. Beliau merasa bersalah telah mencurinya, dan sudah lama berniat ingin mengembalikannya. Syukur kalau kau berniat mengambilnya..., Kang."
Arya tersenyum simpul. Geli juga hatinya melihat gadis itu ragu-ragu memanggilnya. "Panggillah aku seperti Gumala memanggilku."
Melati tersenyum. Arya pun tersenyum. Hati Dewa Arak diam-diam agak heran. Mengapa kini alam jadi terasa lebih indah dan berseri-seri. Pohon-pohon, batu-batu, rembulan di langit, sepertinya semua ikut tersenyum bersamanya.
***
"Di sanalah selama ini guruku tinggal, Kang Arya," jelas Melati.
Tangannya menunjuk pada sebuah gua yang cukup besar dan kelihatan gelap menghitam di kejauhan.
Dewa Arak menatap suasana di sekitarnya. Harus diakui kalau tanpa bantuan Melati, tidak mungkin baginya dapat menemukan tempat tinggal Ki Julaga.
Tempat kakek itu begitu tersembunyi, terletak di sebuah gua yang terdapat di lereng bukit yang sukar didaki. Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, tidak sulit bagi mereka untuk mencapai gua. Dalam beberapa kali lompatan saja, Melati dan Dewa Arak telah berada di mulut gua.
Tapi tiba-tiba Melati tersentak kaget, karena mendengar suara orang bertengkar dari dalam gua. Bergegas gadis itu berkelebat memasuki gua itu, diikuti Arya yang sama sekali tidak tahu-menahu.
Diam-diam Dewa Arak kaget juga ketika mengetahui bagian dalam gua ini ternyata luas sekali.
Sekejap kemudian Arya melihat Melati tengah menatap cemas pada dua orang kakek yang tengah berhadapan. Yang seorang bertubuh kecil kurus dan kelihatan sudah tua sekali. Rambut, kumis, alis, dan jenggotnya telah putih semua. Bahkan jenggot itu panjang sampai ke dada. Entah berapa usia kakek ini.
Sedangkan yang seorang lagi juga kurus. Hanya saja tubuhnya tidak kecil, melainkan agak tinggi. Kumisnya hanya beberapa lembar dan panjang menjuntai melewati mulut Matanya sipit memancarkan kelicikan.
"Yang mana gurumu?" tanya Dewa Arak lirih.
Melati menoleh. "Yang kecil!"
"Kau harus serahkan padaku, Kakang Julaga?!" kembali terdengar suara si tinggi kurus. Nada suaranya penuh ancaman.
"Tidak! Sekali kukatakan tidak, selamanya tidak, Adi Jatayu! Kitab itu dan kitab lainnya akan kukembalikan kepada yang berhak!" bantah si kecil kurus.
"Kau bodoh, Kakang!"
"Tidak! Justru aku bodoh kalau sampai terkena bujukanmu lagi seperti dulu!"
"Kalau begitu terpaksa akan kugunakan kekerasan!" teriak Ki Jatayu.
"Silakan. Aku tidak akan melawan, dan kau boleh membunuhku. Tapi, jangan harap akan dapat mendapatkan kitab-kitab yang bukan hakmu itu!" tegas dan jelas kata-kata Ki Julaga.
Ki Jatayu menggeram. Sepasang matanya yang sipit seperti memancarkan api ketika menatap wajah guru Melati itu.
"Kalau begitu, kau harus kukirim ke neraka!"
Setelah berkata demikian, Ki Jatayu melompat menerjang. Cepat bukan main gerakannya.
Baik Dewa Arak maupun Melati sama-sama terkesima melihat kecepatan gerak yang belum pernah mereka saksikan selama ini. Ki Jatayu menyerang Ki Julaga dengan tusukan-tusukan jari tangan terbuka lurus. Decit angin tajam membuat Dewa Arak dan Melati mengernyitkan alisnya. Suara itu membuat telinga mereka sakit.
“Tangan Pedang'...," desis Dewa Arak dan Melati bersamaan.
Dan dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka ketika melihat kakek kecil kurus itu sama sekali tidak bergerak menangkis atau melawan serangan Ki Jatayu.
"Kakek...!"
Melati menjerit pilu. Sementara itu Dewa Arak sendiri sudah melompat cepat, mencoba menghambat serangan Ki Jatayu dengan sebuah serangan ke arah pelipis. Sadar kalau ka¬kek ini memiliki kepandaian yang sukar dibayangkan, Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaganya.
Ki Julaga yang semula sudah pasrah tidak berusaha menahan atau menangkis serangan itu, tersentak ketika mendengar jeritan. Dikenali betul, siapa pemilik suara itu. Suara Melati, murid yang amat disayanginya.
Sekelebat benaknya bekerja keras. Kalau dirinya mati, siapa yang akan melindungi gadis itu dari Ki Julaga yang diketahuinya pasti berwatak telengas. Selintasan pikiran itulah yang membuatnya merubah keputusan. Segera diulurkan tangannya untuk menangkis serangan Ki Jatayu.
Tapi secara tiba-tiba Ki Jatayu menarik pulang serangannya. Dan dengan kecepatan yang sukar dilihat mata biasa, kakek bermata sipit ini menggerakkan tangannya ke belakang, menangkis serangan Dewa Arak.
“Plak!”
Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang. Dirasakan sekujur tangannya sakit-sakit. Dadanya pun terasa sesak bukan main.
“Brukkk...!”
Dengan deras dan keras punggung pemuda itu menghantam dinding gua sampai tergetar karena kerasnya benturan.
"Kakang...!"
Melati berteriak kaget. Secepat kilat tubuhnya melesat ke arah Dewa Arak. Dengan perasaan cemas yang tergambar di wajah, didekatinya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. Lega hatinya ketika pemuda itu bangkit, tak nampak ada tanda-tanda terluka.
"Siapa kau, Anak Muda! Menyingkirlah cepat sebelum kesabaranku hilang!" bentak Ki Jatayu.
Diam-diam kakek ini kaget bukan main. Menurut perkiraannya, paling tidak tangan pemuda itu patah-patah ketika membentur tangannya tadi.
"Ki Jatayu...," ujar Dewa Arak. "Guruku, Ki Gering Langit telah menugaskanku untuk mencari dan meminta kembali kitab-kitab yang telah kau larikan itu!"
Wajah Ki Jatayu dan Ki Julaga berubah pucat. Hati kedua kakek ini dilanda rasa kaget yang amat sangat. Tapi, hanya sesaat saja kekagetan itu melanda hati kakek tinggi kurus ini. Di lain saat, wajah itu memerah. Sepasang matanya berkilat penuh kemarahan.
"Jadi..., kau rupanya orang yang telah membunuh muridku, heh?!" tanya Ki Jatayu.
Keras dan kasar suaranya. Memang telah didengar berita tentang tewasnya murid kesayangannya di tangan Arya Buana alias Dewa Arak.
"Benar! Karena dia telah membunuh guru dan ibuku! Lagipula, muridmu memang sudah sepantasnya dilenyapkan dari muka bumi!" tegas Dewa Arak.
"Keparat...!" maki Ki Jatayu. "Kau harus mati di tanganku, Dewa Arak!"
Dewa Arak sadar kalau lawan yang kini dihadapinya adalah seorang yang sangat sakti. Dugaan Arya Buana tepat sekali! Tenaga dalam yang dimiliki kakek ini telah mencapai tingkatan yang sukar untuk dibayangkannya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi diraihnya guci arak yang terikat di punggungnya. Sebentar saja guci itu sudah berada di atas kepalanya. Dan....
“Gluk... gluk... gluk...!”
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki tenggorokannya. Sesaat kemudian tubuh pemuda itu pun limbung.
Ki Jatayu, dan juga Ki Julaga mengerutkan alisnya. Ilmu apakah yang akan dikeluarkan pemuda ini?
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring Dewa Arak mengayunkan guci di tangannya.
“Wut...!”
Guci itu menyambar dahsyat ke arah kepala Ki Jatayu. Angin menderu begitu keras menandakan tingginya tenaga yang terkandung dalam ayunan guci itu. Tapi kakek tinggi kurus itu hanya mendengus. Tanpa bergeming sedikit pun, diangkat tangan kirinya untuk melindungi kepala.
“Dukkk...!”
Tak pelak lagi guci perak itu membentur tangan kiri Ki Jatayu. Akibatnya tangan kakek itu tergetar hebat. Tapi tidak demikian halnya Dewa Arak. Tubuhnya terpelanting bagai diseruduk kerbau. Sekujur tangannya terasa sakit bukan main. Dadanya pun kontan sesak. Tapi berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tidak sulit bagi Arya untuk segera memperbaiki posisinya.
Benturan yang kedua kali ini menyadarkan Dewa Arak, bahwa tidak selayaknya melawan kekerasan kakek itu dengan kekerasan pula. Sudah dibuktikan sendiri kekuatan tenaga dalam kakek itu yang luar biasa.
Mengadu tenaga dengan kakek itu sama saja mencari penyakit. Kalau saja kakek itu mendesak dan memojokkan mengadu tenaga dalam secara langsung, ia mungkin sudah tewas!
"Ahhh...!"
Melati terperanjat. Segera saja dia bergerak hendak membantu pemuda yang dicintainya. Tapi, baru saja kakinya melangkah, sebuah tangan telah menyentuh pergelangan tangannya. Gadis berpakaian serba putih ini menoleh. Ternyata Ki Julaga yang menyentuh pergelangan tangannya.
"Biarkan pemuda itu melaksanakan pesan gurunya. Kurasa Ki Gering Langit tidak akan sembarangan memberi tugas, kalau tidak diyakininya muridnya itu akan mampu. Lihat saja dulu!"
''Tapi, Kek...," Melati mencoba membantah.
"Tenanglah, Melati," bujuk kakek kecil kurus itu.
Terpaksa Melati tidak membantah lagi. Pandangan matanya dialihkan kembali ke arah pertarungan. Walaupun gurunya telah menyuruhnya bersikap tenang, tetap saja gadis itu tidak mampu. Perasaan cemas akan keselamatan Dewa Arak tetap saja melanda. Apalagi pemuda itu sangat dicintainya.
Sementara Arya kini merubah siasatnya. Dia sadar kalau dalam hal tenaga dalam, bukanlah tandingan kakek itu. Dan kalau memaksa bertarung seperti itu, adalah suatu perbuatan bodoh.
Orang setua seperti Ki Jatayu, apalagi jika lama tidak berlatih, tentu otot-ototnya agak kaku. Apalagi, kelihatannya kondisi tubuh Ki Jatayu sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung lama.
Maka Dewa Arak kini memaksa diri untuk tidak menyerang. Dibiarkan saja Ki Jatayu yang telah dikuasai amarahnya terus menyerangnya kalang kabut. Sementara Dewa Arak terus mengelakkan setiap serangan itu dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
"Hiyaaa...!"
Ki Jatayu berteriak nyaring. Jari-jari kedua tangannya terbuka lurus melakukan tusukan¬tusukan bertubi-tubi ke arah leher, ulu hati, dan pusar. Cepat luar biasa gerakannya. Angin berdecit nyaring, seperti ada puluhan ekor tikus yang mencicit berbarengan.
Tapi lagi-lagi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak dapat mengelakkan serangan itu. Meskipun serangan itu berhasil dielakkan, tapi tak urung sekujur pakaian Arya telah compang camping tersayat-sayat di sana sini, akibat terkena angin serangan tangan Ki Jatayu.
Memang kakek tinggi kurus ini menggunakan ilmu 'Tangan Pedang' dalam menghadapi Dewa Arak.
Ki Jatayu menggeram keras, murka bukan kepalang. Masalahnya, semua serangannya tidak ada yang mengenai sasaran. Padahal pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus.
Dan selama itu Arya hanya mengelak dan menghindar. Sesekali menyerang, tapi lekas ditarik kembali begitu melihat kakek itu hendak menangkisnya. Kemarahan membuat Ki Jatayu kian memperhebat serangannya. Ruangan dalam gua itu sampai bergetar hebat akibat angin pukulan yang salah sasaran dari kakek ini.
"Heh?!" Arya tersentak kaget "Mengapa begitu?"
Kelabang Hijau menghela napas. "Kami telah bersepakat untuk mengaku kalah padamu jika kau sanggup menghadapi kami selama lima puluh jurus. Sekaligus menganggap habis semua urusan."
Melati tersenyum mengejek. "Lalu, mengapa tadi kalian masih menyerang terus? Padahal jelas-jelas pertarungan sudah berlangsung lebih dari lima puluh jurus!"
"Maaf, kami khilaf!"
"Lalu maksudmu bagaimana, Kek?" selak Dewa Arak yang tidak ingin urusan jadi berlarut¬-larut.
"Ya. Ternyata kaulah pemenangnya. Kami berdua mengaku kalah! Selamat tinggal, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, tubuh kakek berpakaian rompi hijau ini melesat diikuti sesosok bayangan putih. Cepat sekali gerakan kedua bayangan itu. Dalam sekejap saja hanya tinggal dua buah titik kecil hitam di kejauhan yang kemudian lenyap.
Kali ini Arya tidak ingin kecolongan lagi! Begitu, Kelabang Hijau dan Dewi Bulan melesat dari situ, buru-buru dialihkan perhatiannya ke arah Melati. Dan begitu dilihatnya gadis itu hendak melesat kabur kembali, segera Dewa Arak melompat menghadang. Kini mereka berhadapan dalam jarak dua tombak.
"Melati...," tegur Dewa Arak Suaranya terdengar gemetar.
Gadis yang dulu terkenal berjuluk Dewi Penyebar Maut ini tidak menjawab, dan hanya berdiri diam. Kepalanya pun ditundukkam dalam-¬dalam. Memang sejak mengenal pemuda di hadapannya ini, sifatnya telah benar-benar berubah. Hampir tidak pernah lagi gadis itu menurunkan tangan maut pada lawannya, kalau tidak terpaksa sekali!
"Melati...," sapa Arya lagi. Dilangkahkan kakinya mendekati gadis yang masih tetap diam tidak bergeming. "Aku ingin minta maaf atas semua kesalahanku padamu. Maukah kau memaafkan?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut gadis itu. Dewa Arak diam menunggu sabar. Akhirnya setelah beberapa saat lamanya, kepala gadis itu terangguk pelan.
"Ah...! Terima kasih, Melati! Sudah kuduga, kau pasti gadis yang baik..... Nggg… Maukah kau melakukan perjalanan bersamaku lagi..., seperti beberapa waktu yang lalu?"
Beberapa saat lamanya suasana menjadi hening, begitu Arya menghentikan ucapannya
"Untuk apa..,?" akhirnya keluar juga suara dari mulut gadis itu.
"Aku ingin menemui gurumu...?"
Melati tersentak. "Menemui guruku?!"
"Ya. Guruku, Ki Gering Langit telah menugaskan agar aku mengambil kembali kitab-kitab yang dulu, maaf... telah dicuri gurumu. Oh, ya.... Siapakah gurumu? Ki Julaga..., atau Ki Jatayu?"
"Ki Julaga."
"Bagaimana, Melati?" desak Dewa Arak.
Perasaan tegang melanda hatinya. Hanya tinggal gadis di hadapannya inilah yang dapat menunjukkan tempat tinggal orang-orang yang telah membawa lari kitab-kitab pusaka gurunya. Kalau Melati menolak, sia-sialah usaha yang selama ini dilakukannya.
"Aku bersedia, " ucap Melati. "Guruku memang sudah lama ingin mengembalikan kitab-¬kitab itu. Beliau merasa bersalah telah mencurinya, dan sudah lama berniat ingin mengembalikannya. Syukur kalau kau berniat mengambilnya..., Kang."
Arya tersenyum simpul. Geli juga hatinya melihat gadis itu ragu-ragu memanggilnya. "Panggillah aku seperti Gumala memanggilku."
Melati tersenyum. Arya pun tersenyum. Hati Dewa Arak diam-diam agak heran. Mengapa kini alam jadi terasa lebih indah dan berseri-seri. Pohon-pohon, batu-batu, rembulan di langit, sepertinya semua ikut tersenyum bersamanya.
***
"Di sanalah selama ini guruku tinggal, Kang Arya," jelas Melati.
Tangannya menunjuk pada sebuah gua yang cukup besar dan kelihatan gelap menghitam di kejauhan.
Dewa Arak menatap suasana di sekitarnya. Harus diakui kalau tanpa bantuan Melati, tidak mungkin baginya dapat menemukan tempat tinggal Ki Julaga.
Tempat kakek itu begitu tersembunyi, terletak di sebuah gua yang terdapat di lereng bukit yang sukar didaki. Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, tidak sulit bagi mereka untuk mencapai gua. Dalam beberapa kali lompatan saja, Melati dan Dewa Arak telah berada di mulut gua.
Tapi tiba-tiba Melati tersentak kaget, karena mendengar suara orang bertengkar dari dalam gua. Bergegas gadis itu berkelebat memasuki gua itu, diikuti Arya yang sama sekali tidak tahu-menahu.
Diam-diam Dewa Arak kaget juga ketika mengetahui bagian dalam gua ini ternyata luas sekali.
Sekejap kemudian Arya melihat Melati tengah menatap cemas pada dua orang kakek yang tengah berhadapan. Yang seorang bertubuh kecil kurus dan kelihatan sudah tua sekali. Rambut, kumis, alis, dan jenggotnya telah putih semua. Bahkan jenggot itu panjang sampai ke dada. Entah berapa usia kakek ini.
Sedangkan yang seorang lagi juga kurus. Hanya saja tubuhnya tidak kecil, melainkan agak tinggi. Kumisnya hanya beberapa lembar dan panjang menjuntai melewati mulut Matanya sipit memancarkan kelicikan.
"Yang mana gurumu?" tanya Dewa Arak lirih.
Melati menoleh. "Yang kecil!"
"Kau harus serahkan padaku, Kakang Julaga?!" kembali terdengar suara si tinggi kurus. Nada suaranya penuh ancaman.
"Tidak! Sekali kukatakan tidak, selamanya tidak, Adi Jatayu! Kitab itu dan kitab lainnya akan kukembalikan kepada yang berhak!" bantah si kecil kurus.
"Kau bodoh, Kakang!"
"Tidak! Justru aku bodoh kalau sampai terkena bujukanmu lagi seperti dulu!"
"Kalau begitu terpaksa akan kugunakan kekerasan!" teriak Ki Jatayu.
"Silakan. Aku tidak akan melawan, dan kau boleh membunuhku. Tapi, jangan harap akan dapat mendapatkan kitab-kitab yang bukan hakmu itu!" tegas dan jelas kata-kata Ki Julaga.
Ki Jatayu menggeram. Sepasang matanya yang sipit seperti memancarkan api ketika menatap wajah guru Melati itu.
"Kalau begitu, kau harus kukirim ke neraka!"
Setelah berkata demikian, Ki Jatayu melompat menerjang. Cepat bukan main gerakannya.
Baik Dewa Arak maupun Melati sama-sama terkesima melihat kecepatan gerak yang belum pernah mereka saksikan selama ini. Ki Jatayu menyerang Ki Julaga dengan tusukan-tusukan jari tangan terbuka lurus. Decit angin tajam membuat Dewa Arak dan Melati mengernyitkan alisnya. Suara itu membuat telinga mereka sakit.
“Tangan Pedang'...," desis Dewa Arak dan Melati bersamaan.
Dan dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka ketika melihat kakek kecil kurus itu sama sekali tidak bergerak menangkis atau melawan serangan Ki Jatayu.
"Kakek...!"
Melati menjerit pilu. Sementara itu Dewa Arak sendiri sudah melompat cepat, mencoba menghambat serangan Ki Jatayu dengan sebuah serangan ke arah pelipis. Sadar kalau ka¬kek ini memiliki kepandaian yang sukar dibayangkan, Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaganya.
Ki Julaga yang semula sudah pasrah tidak berusaha menahan atau menangkis serangan itu, tersentak ketika mendengar jeritan. Dikenali betul, siapa pemilik suara itu. Suara Melati, murid yang amat disayanginya.
Sekelebat benaknya bekerja keras. Kalau dirinya mati, siapa yang akan melindungi gadis itu dari Ki Julaga yang diketahuinya pasti berwatak telengas. Selintasan pikiran itulah yang membuatnya merubah keputusan. Segera diulurkan tangannya untuk menangkis serangan Ki Jatayu.
Tapi secara tiba-tiba Ki Jatayu menarik pulang serangannya. Dan dengan kecepatan yang sukar dilihat mata biasa, kakek bermata sipit ini menggerakkan tangannya ke belakang, menangkis serangan Dewa Arak.
“Plak!”
Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang. Dirasakan sekujur tangannya sakit-sakit. Dadanya pun terasa sesak bukan main.
“Brukkk...!”
Dengan deras dan keras punggung pemuda itu menghantam dinding gua sampai tergetar karena kerasnya benturan.
"Kakang...!"
Melati berteriak kaget. Secepat kilat tubuhnya melesat ke arah Dewa Arak. Dengan perasaan cemas yang tergambar di wajah, didekatinya tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. Lega hatinya ketika pemuda itu bangkit, tak nampak ada tanda-tanda terluka.
"Siapa kau, Anak Muda! Menyingkirlah cepat sebelum kesabaranku hilang!" bentak Ki Jatayu.
Diam-diam kakek ini kaget bukan main. Menurut perkiraannya, paling tidak tangan pemuda itu patah-patah ketika membentur tangannya tadi.
"Ki Jatayu...," ujar Dewa Arak. "Guruku, Ki Gering Langit telah menugaskanku untuk mencari dan meminta kembali kitab-kitab yang telah kau larikan itu!"
Wajah Ki Jatayu dan Ki Julaga berubah pucat. Hati kedua kakek ini dilanda rasa kaget yang amat sangat. Tapi, hanya sesaat saja kekagetan itu melanda hati kakek tinggi kurus ini. Di lain saat, wajah itu memerah. Sepasang matanya berkilat penuh kemarahan.
"Jadi..., kau rupanya orang yang telah membunuh muridku, heh?!" tanya Ki Jatayu.
Keras dan kasar suaranya. Memang telah didengar berita tentang tewasnya murid kesayangannya di tangan Arya Buana alias Dewa Arak.
"Benar! Karena dia telah membunuh guru dan ibuku! Lagipula, muridmu memang sudah sepantasnya dilenyapkan dari muka bumi!" tegas Dewa Arak.
"Keparat...!" maki Ki Jatayu. "Kau harus mati di tanganku, Dewa Arak!"
Dewa Arak sadar kalau lawan yang kini dihadapinya adalah seorang yang sangat sakti. Dugaan Arya Buana tepat sekali! Tenaga dalam yang dimiliki kakek ini telah mencapai tingkatan yang sukar untuk dibayangkannya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi diraihnya guci arak yang terikat di punggungnya. Sebentar saja guci itu sudah berada di atas kepalanya. Dan....
“Gluk... gluk... gluk...!”
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki tenggorokannya. Sesaat kemudian tubuh pemuda itu pun limbung.
Ki Jatayu, dan juga Ki Julaga mengerutkan alisnya. Ilmu apakah yang akan dikeluarkan pemuda ini?
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring Dewa Arak mengayunkan guci di tangannya.
“Wut...!”
Guci itu menyambar dahsyat ke arah kepala Ki Jatayu. Angin menderu begitu keras menandakan tingginya tenaga yang terkandung dalam ayunan guci itu. Tapi kakek tinggi kurus itu hanya mendengus. Tanpa bergeming sedikit pun, diangkat tangan kirinya untuk melindungi kepala.
“Dukkk...!”
Tak pelak lagi guci perak itu membentur tangan kiri Ki Jatayu. Akibatnya tangan kakek itu tergetar hebat. Tapi tidak demikian halnya Dewa Arak. Tubuhnya terpelanting bagai diseruduk kerbau. Sekujur tangannya terasa sakit bukan main. Dadanya pun kontan sesak. Tapi berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tidak sulit bagi Arya untuk segera memperbaiki posisinya.
Benturan yang kedua kali ini menyadarkan Dewa Arak, bahwa tidak selayaknya melawan kekerasan kakek itu dengan kekerasan pula. Sudah dibuktikan sendiri kekuatan tenaga dalam kakek itu yang luar biasa.
Mengadu tenaga dengan kakek itu sama saja mencari penyakit. Kalau saja kakek itu mendesak dan memojokkan mengadu tenaga dalam secara langsung, ia mungkin sudah tewas!
"Ahhh...!"
Melati terperanjat. Segera saja dia bergerak hendak membantu pemuda yang dicintainya. Tapi, baru saja kakinya melangkah, sebuah tangan telah menyentuh pergelangan tangannya. Gadis berpakaian serba putih ini menoleh. Ternyata Ki Julaga yang menyentuh pergelangan tangannya.
"Biarkan pemuda itu melaksanakan pesan gurunya. Kurasa Ki Gering Langit tidak akan sembarangan memberi tugas, kalau tidak diyakininya muridnya itu akan mampu. Lihat saja dulu!"
''Tapi, Kek...," Melati mencoba membantah.
"Tenanglah, Melati," bujuk kakek kecil kurus itu.
Terpaksa Melati tidak membantah lagi. Pandangan matanya dialihkan kembali ke arah pertarungan. Walaupun gurunya telah menyuruhnya bersikap tenang, tetap saja gadis itu tidak mampu. Perasaan cemas akan keselamatan Dewa Arak tetap saja melanda. Apalagi pemuda itu sangat dicintainya.
Sementara Arya kini merubah siasatnya. Dia sadar kalau dalam hal tenaga dalam, bukanlah tandingan kakek itu. Dan kalau memaksa bertarung seperti itu, adalah suatu perbuatan bodoh.
Orang setua seperti Ki Jatayu, apalagi jika lama tidak berlatih, tentu otot-ototnya agak kaku. Apalagi, kelihatannya kondisi tubuh Ki Jatayu sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung lama.
Maka Dewa Arak kini memaksa diri untuk tidak menyerang. Dibiarkan saja Ki Jatayu yang telah dikuasai amarahnya terus menyerangnya kalang kabut. Sementara Dewa Arak terus mengelakkan setiap serangan itu dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
"Hiyaaa...!"
Ki Jatayu berteriak nyaring. Jari-jari kedua tangannya terbuka lurus melakukan tusukan¬tusukan bertubi-tubi ke arah leher, ulu hati, dan pusar. Cepat luar biasa gerakannya. Angin berdecit nyaring, seperti ada puluhan ekor tikus yang mencicit berbarengan.
Tapi lagi-lagi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak dapat mengelakkan serangan itu. Meskipun serangan itu berhasil dielakkan, tapi tak urung sekujur pakaian Arya telah compang camping tersayat-sayat di sana sini, akibat terkena angin serangan tangan Ki Jatayu.
Memang kakek tinggi kurus ini menggunakan ilmu 'Tangan Pedang' dalam menghadapi Dewa Arak.
Ki Jatayu menggeram keras, murka bukan kepalang. Masalahnya, semua serangannya tidak ada yang mengenai sasaran. Padahal pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus.
Dan selama itu Arya hanya mengelak dan menghindar. Sesekali menyerang, tapi lekas ditarik kembali begitu melihat kakek itu hendak menangkisnya. Kemarahan membuat Ki Jatayu kian memperhebat serangannya. Ruangan dalam gua itu sampai bergetar hebat akibat angin pukulan yang salah sasaran dari kakek ini.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment