Telak sekali pukulan tangan kiri Dewa Arak mendarat di punggung Darba. Keras bukan main, sehingga tubuh pemuda itu terjerembab ke depan. Cairan merah kental terlontar keluar dari mulutnya. Jelas pemuda berbaju coklat itu terluka dalam!
Namun kekuatan tubuh murid Ki Jatayu ini memang patut dipuji. Sekalipun sudah terluka parah, dan posisinya tidak memungkinkan, dia masih berusaha menghambat serangan susulan lawan. Seketika disabetkan kedua kapaknya ke belakang.
“Wut..!”
Begitu serangan Darba lewat, kaki kanan Dewa Arak mencuat ke depan.
“Bukkk…!”
''Hugh…!'' Darba mengeluh pendek.
Tendangan itu telak mendarat di perutnya, dan kapak peraknya pun terlepas dari genggaman!
“Bukkk...!”
"Hugh...!" Darba mengeluh pendek.
Untuk yang kedua kalinya serangan Arya mengenai sasarannya. Tendangan itu telak mendarat di perut lawan.
Tubuh pemuda itu terbungkuk, dan kapak peraknya terlepas dari genggaman. Mulutnya meringis menahan rasa sakit dan mual pada perutnya. Darah segar pun menetes dari sela-sela bibirnya. Dan belum lagi pemuda berbaju coklat itu memperbaiki posisinya, kembali tangan Arya berkelebat.
“Wut..!”
“Prak!”
"Aaakh...!" terdengar suara berderak keras, ketika guci pusaka di tangan Arya membentur kepala pemuda baju coklat itu
Darba mengeluh tertahan, kemudian ambruk ke tanah. Pemuda itu tidak akan pernah bangkit lagi selama-lamanya.
Arya Buana memandangi tubuh yang terbujur di tanah itu sebentar, kemudian beralih ke tubuh Cakar Garuda, dan belasan sosok tubuh anak buah Darba yang terbujur di tanah.
Dan kini kembali tatapannya beralih pada tubuh Darba. Sebentar kemudian pemuda berambut putih keperakan ini menengadahkan kepalanya, menatap langit.
"Kakek..., Ibu..., tenanglah kalian di dalam kubur...!"
Setelah berkata demikian, tubuh Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu. Tidak ada lagi kebisingan dan hiruk pikuk pertarungan.
Di tempat itu kini hanya ada keheningan dan kesenyapan, setelah tubuh Arya Buana alias si Dewa Arak lenyap ditelan jalan.
***
Seorang pemuda berwajah jantan, dan berambut putih keperakan tampak terduduk di atas sebuah batu besar yang lebar dan datar di Puncak Bukit Gading. Kepalanya tertunduk sepertinya ada beban berat yang tengah menekan batinnya.
Pemuda yang memang adalah Arya Buana, tengah merenung seperti ada yang menggayuti pikirannya.
Dan itu bisa ditebak permasalahannya. Pertama dengan Melati. Dan kedua dengan dua orarig saingan gurunya yang mengajaknya bertarung. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, Arya tak lupa menanyakan kepada setiap orang tentang seorang gadis cantik berpakaian putih atau seorang pemuda tampan berpakaian hitam. Tapi sampai sekian jauh, keterangan ini tidak didapatkan. Sampai akhirnya dia tiba di tempat ini.
"Hhh...!"
Pemuda berpakaian ungu itu mendesah. Kepala Arya mendongak, menatap bulan bulat berwarna kuning keemasan yang nampak di langit.
Malam ini memang bulan purnama, malam yang dijanjikan Kelabang Hijau. Memang, di tempat inilah kakek gundul berkulit kehijauan itu menjanjikan pertarungan dengan Dewa Arak.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik.
Arya Buana yang tengah menikmati indahnya purnama bergegas memalingkan kepalanya. Tanpa melihat pun sebenarnya sudah dapat diduga kalau orang yang mengeluarkan tawa seperti itu pasti Dewi Bulan!
Dugaan pemuda ini memang tidak salah. Sekitar tiga tombak di samping kanannya, tampak dua sosok tubuh yang memang sudah ditunggu-¬tunggunya.
"Luar biasa!" teriak Kelabang Hijau. "Dewa Arak! Rupanya kau ini memang terlalu sombong! Bukankah sudah kukatakan, kalau kami telah terbiasa bertanding berdua? Bukankah kau telah diberikan kebebasan membawa kawan untuk menghadapi kami. Berapa pun jumlah kawanmu tak masalah. Tapi rupanya kau ini terlalu berani. Atau kau terlalu sombong, sehingga saran kami sama sekali tidak digubris?!"
"Ada banyak alasan yang membuatku tidak dapat memenuhi saranmu itu, Kek," ucap Arya tenang seraya bangkit dari batu yang didudukinya.
"Hm.... Apa itu, Dewa Arak!?" tanya Dewi Bulan. Kasar dan ketus suaranya.
"Pertama, kusadari kalau urusan ini adalah urusan pribadi guruku, Kakek Ular Hitam. Jadi, tidak sepantasnya kalau membawa-bawa orang luar dalam urusan pribadi ini. Dan kedua, sangat sulit mencari orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti kakek berdua. Kalau kupaksakan, bukankah hanya akan mencelakakan orang itu?"
Kelabang Hijau manggut-manggut. "Bisa kuterima alasanmu, Dewa Arak"
"Terima kasih, Kek!"
"Jangan'terburu-buru berterima kasih, Dewa Arak!" sergah Dewi Bulan cepat. "Urusan kami denganmu kini tidak hanya satu macam!"
Arya mengerutkan keningnya.
"Apa maksudmu, Nek?"
"Tidak usah berpura-pura, Dewa Arak! Bukankah kau yang telah membunuh majikan kami?!"
"Membunuh majikan kalian?! Aneh?! Kalau boleh kutahu, siapa majikan kalian?" tanya Arya. Kerut pada dahinya pun semakin dalam.
"Seorang pemuda bersenjata sepasang kapak warna perak mengkilat!"
"Dia majikan kalian?" tanya Dewa Arak Nada suaranya mengandung keheranan yang besar.
"Ya! Karena begitulah bunyi perjanjian antara kami dengannya!" selak Kelabang Hijau.
"Kami bertemu dan bertempur. Dengan licik dia memancing kami ke dalam suatu perjanjian. Yaitu, apabila dalam tiga puluh jurus kami tidak berhasil merobohkannya, dia akan menjadi majikan kami! Jadi, terpaksa kami harus membalaskan dendamnya padamu,Dewa Arak!"
"Bagaimana? Bisa dimulai sekarang? Atau kau sengaja ingin mengulur waktu, Dewa Arak?!" selak Dewi Bulan keras.
Nenek ini memang sudah merasa kurang suka terhadap Arya Buana, karena telah membuatnya terhuyung dalam adu tenaga beberapa waktu yang lalu.
"Lebih cepat lebih baik, Nek!" sambut Dewa Arak.
Sadar akan kelihaian kedua orang yang berada di hadapannya itu, pemuda ini segera memindahkan guci ke tangannya. Sebentar kemudian diangkat gucinya ke atas kepala, dan dituangkan ke mulutnya.
“Gluk... gluk... gluk...!”
Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki tenggorokannya. Di lain saat tubuh Arya pun mulai terasa hangat dan agak limbung. Dewa Arak menurunkan gucinya kembali. Dan saat itulah nenek berpakaian putih itu melesat ke arahnya. Gerakannya cepat bukan main.
"Hiyaaa...!"
Dewi Bulan telah merasakan sendiri kelihaian pemuda di hadapannya ini. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi digunakan tongkat bulan sabitnya untuk mendesak Dewa Arak.
“Wut..!“
Tongkat berujung bulan sabit itu meluncur cepat ke arah perut Arya. Angin bersiut nyaring mengiringi tibanya serangan itu. Hebat dan cepat bukan main serangan itu.
Tapi yang diserangnya kali ini bukanlah tokoh kosong. Seorang tokoh muda yang telah berkali-kali menghadapi lawan yang teramat tangguh. Dan bahkan telah berkali-kali pula terancam serangan berbahaya.
Maka menghadapi serangan tongkat berujung bulan sabit itu, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menjadi gugup karenanya. Seperti biasa, dengan gerakan tak lumrah dari jurus 'Delapan Langkah Belalang', dielakkan serangan itu. Walaupun keadaan mengancam, berkat gerak aneh jurus itu, Dewa Arak malah berbalik mengancam.
Sekali mengelak, Dewa Arak telah berada di belakang Dewi Bulan. Tapi sebelum pemuda itu sempat melepaskan serangan, Kelabang Hijau telah terlebih dulu menyerangnya.
Terpaksa Arya mengurungkan niat untuk menyerang Dewi Bulan. Dan dengan cepat pula dielakkannya serangan kakek itu. Dan belum juga sempat membalas, kembali serangan Dewi Bulan telah mengancam. Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak kewalahan menghadapi hujan serangan dahsyat yang sating susul.
Beberapa gebrak kemudian, ketiga orang ini pun sudah terlibat sebuah pertarungan berat sebelah.
Dewa Arak terus-menerus didesak lawannya, tanpa mampu balas menyerang. Untunglah pemuda berambut putih keperakan ini memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang sangat aneh sehingga dapat mengelakkan serangan yang bagaimanapun sulitnya. Dan berkat jurus inilah Dewa Arak mampu mengelak, sekalipun hujan serangan datang silih berganti bagaikan hujan.
Untuk pertama kalinya, Arya harus mengakui betapa beratnya tekanan kedua lawannya ini. Lebih berat ketimbang Darba. Kerja sama kedua orang ini begitu rapi, saling bantu dan saling melindungi.
Belasan jurus telah berlalu. Dan selama itu, belum ada satu pun serangan balasan yang dilancarkan Arya. Serangan silih berganti lawannya membuatnya tidak mempunyai kesempatan balas menyerang. Sampai sekian lamanya, Dewa Arak hanya mampu mengelak dan bertahan.
Tempat pertarungan pun tanpa terasa telah bergeser jauh. Hal ini karena Arya terus-menerus bermain mundur. Pernah sesekali, pemuda ini mencoba balas menyerang menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tapi akibatnya ia sendiri yang hampir celaka. Karena begitu serangannya hampir dilancarkan, serangan balasan dari lawan-lawannya telah meluncur tiba. Terpaksa Arya pontang-panting menyelamatkan diri.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan ketiga orang yang tengah bertarung, sepasang mata indah milik seorang wanita cantik berpakaian serba putih, mengamati jalannya pertarungan dari balik semak-semak. Wajahnya yang cantik menyiratkan perasaan cemas yang dalam. Beberapa kali terlihat kedua tangannya mengepal, pertanda hatinya tengah dilanda perasaan tegang.
Empat puluh lima jurus telah berlalu. Dan kedudukan Arya pun semakin terjepit. Hingga akhirnya pada jurus kelima puluh satu, serangan tombak bulan sabit milik Dewi Bulan meluncur deras mengancam dadanya. Maka Dewa Arak memutuskan untuk menangkisnya.
“Klanggg...!”
"Hugh...!?"
Tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang beberapa tombak jauhnya. Selintas tadi terlihat Kelabang Hijau menempelkan kedua tapak tangannya di punggung Dewi Bulan, begitu Arya memapak serangan tusukan tombak berujung bulan sabit.
Melihat hal ini Dewa Arak terperanjat. Dia tahu kalau kakek berkepala gundul itu tengah menyalurkan tenaga dalam. Tenaganya disatukan dengan tenaga nenek itu, lalu bersama-sama menghadapi tenaga Arya.
Tak pelak lagi, perpaduan dua tenaga dalam dahsyat itu tidak dapat ditahan Dewa Arak. Untung saja beradunya tenaga dalam tadi terjadi secara tidak langsung melainkan melalui perantara. Sehingga akibatnya tidak terlalu berarti bagi Dewa Arak. Pemuda berpakaian ungu ini hanya merasa sedikit sesak pada dadanya.
Ilmu 'Belalang Sakti' memang memiliki keistimewaan dalam hal meringankan tubuh. Gerakan sesulit apa pun akan sama seperti gerakan biasa. Sehingga walaupun Arya berada dalam keadaan kritis, dan serangan Dewi Bulan kembali menyambar cepat, dia masih mampu mengelakkannya.
"Keparat!"
Nenek itu berteriak memaki. Perasaan geramnya kian bergejolak, ketika Arya kembali berhasil lolos.
Tapi tepat saat serangan Dewi Bulan tiba, serangan Kelabang Hijau juga menyambar tiba. Arya terperanjat. Padahal dia baru saja mengelakkan serangan nenek berpakaian putih. Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mengelak ataupun menangkis, karena serangan itu datangnya terlalu cepat.
Di saat yang kritis itu, tiba-tiba melesat satu bayangan putih yang dengan kecepatan luar biasa menangkis serangan itu.
“Plak...!”
Tubuh sosok bayangan putih itu terpental balik ke belakang. Sedangkan tubuh kakek gundul berkulit kehijauan terhuyung ke belakang. Tapi manis sekali sosok bayangan putih itu mematahkan daya lontar pada tubuhnya. Kedua kakinya pun hinggap di tanah hampir tanpa suara.
Kelabang Hijau langsung menggeram. Kakek berkulit kehijauan ini murka bukan kepalang karena menyadari ada orang yang sanggup membuat tubuhnya terhuyung dalam adu tenaga. Apa lagi ketika melihat bahwa yang menangkisnya adalah seorang gadis yang masih sangat muda.
"Siapa kau, Cah Ayu! Menyingkirlah cepat sebelum aku terpaksa bertindak keras terhadapmu!" ancam Kelabang Hijau.
Bagaimanapun juga dia merasa malu untuk bertindak kasar terhadap seorang gadis yang masih begitu muda.
"Melati...!" teriak Arya keras.
Ditatapnya gadis yang telah menyelamatkannya penuh rasa rindu. Tapi Melati hanya tersenyum sekilas. Namun hal itu sudah cukup bagi Arya. Kontan semangatnya pun bangkit kembali.
"Kau hadapi nenek itu, Melati!" teriak Arya seraya melompat mendekati Kelabang Hijau.
Tapi tiba-tiba kakek berkepala gundul itu menggoyang-goyangkan tangannya di depan dada.
"Tunggu, Dewa Arak!" cegah Kelabang Hijau.
"Mengapa, Kek?" tanya Arya.
Tidak ada nada permusuhan dalam suaranya. Dewa Arak tahu, kalau kakek dan nenek ini menyerangnya bukan karena dendam.
Namun kekuatan tubuh murid Ki Jatayu ini memang patut dipuji. Sekalipun sudah terluka parah, dan posisinya tidak memungkinkan, dia masih berusaha menghambat serangan susulan lawan. Seketika disabetkan kedua kapaknya ke belakang.
“Wut..!”
Begitu serangan Darba lewat, kaki kanan Dewa Arak mencuat ke depan.
“Bukkk…!”
''Hugh…!'' Darba mengeluh pendek.
Tendangan itu telak mendarat di perutnya, dan kapak peraknya pun terlepas dari genggaman!
“Bukkk...!”
"Hugh...!" Darba mengeluh pendek.
Untuk yang kedua kalinya serangan Arya mengenai sasarannya. Tendangan itu telak mendarat di perut lawan.
Tubuh pemuda itu terbungkuk, dan kapak peraknya terlepas dari genggaman. Mulutnya meringis menahan rasa sakit dan mual pada perutnya. Darah segar pun menetes dari sela-sela bibirnya. Dan belum lagi pemuda berbaju coklat itu memperbaiki posisinya, kembali tangan Arya berkelebat.
“Wut..!”
“Prak!”
"Aaakh...!" terdengar suara berderak keras, ketika guci pusaka di tangan Arya membentur kepala pemuda baju coklat itu
Darba mengeluh tertahan, kemudian ambruk ke tanah. Pemuda itu tidak akan pernah bangkit lagi selama-lamanya.
Arya Buana memandangi tubuh yang terbujur di tanah itu sebentar, kemudian beralih ke tubuh Cakar Garuda, dan belasan sosok tubuh anak buah Darba yang terbujur di tanah.
Dan kini kembali tatapannya beralih pada tubuh Darba. Sebentar kemudian pemuda berambut putih keperakan ini menengadahkan kepalanya, menatap langit.
"Kakek..., Ibu..., tenanglah kalian di dalam kubur...!"
Setelah berkata demikian, tubuh Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu. Tidak ada lagi kebisingan dan hiruk pikuk pertarungan.
Di tempat itu kini hanya ada keheningan dan kesenyapan, setelah tubuh Arya Buana alias si Dewa Arak lenyap ditelan jalan.
***
Seorang pemuda berwajah jantan, dan berambut putih keperakan tampak terduduk di atas sebuah batu besar yang lebar dan datar di Puncak Bukit Gading. Kepalanya tertunduk sepertinya ada beban berat yang tengah menekan batinnya.
Pemuda yang memang adalah Arya Buana, tengah merenung seperti ada yang menggayuti pikirannya.
Dan itu bisa ditebak permasalahannya. Pertama dengan Melati. Dan kedua dengan dua orarig saingan gurunya yang mengajaknya bertarung. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, Arya tak lupa menanyakan kepada setiap orang tentang seorang gadis cantik berpakaian putih atau seorang pemuda tampan berpakaian hitam. Tapi sampai sekian jauh, keterangan ini tidak didapatkan. Sampai akhirnya dia tiba di tempat ini.
"Hhh...!"
Pemuda berpakaian ungu itu mendesah. Kepala Arya mendongak, menatap bulan bulat berwarna kuning keemasan yang nampak di langit.
Malam ini memang bulan purnama, malam yang dijanjikan Kelabang Hijau. Memang, di tempat inilah kakek gundul berkulit kehijauan itu menjanjikan pertarungan dengan Dewa Arak.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik.
Arya Buana yang tengah menikmati indahnya purnama bergegas memalingkan kepalanya. Tanpa melihat pun sebenarnya sudah dapat diduga kalau orang yang mengeluarkan tawa seperti itu pasti Dewi Bulan!
Dugaan pemuda ini memang tidak salah. Sekitar tiga tombak di samping kanannya, tampak dua sosok tubuh yang memang sudah ditunggu-¬tunggunya.
"Luar biasa!" teriak Kelabang Hijau. "Dewa Arak! Rupanya kau ini memang terlalu sombong! Bukankah sudah kukatakan, kalau kami telah terbiasa bertanding berdua? Bukankah kau telah diberikan kebebasan membawa kawan untuk menghadapi kami. Berapa pun jumlah kawanmu tak masalah. Tapi rupanya kau ini terlalu berani. Atau kau terlalu sombong, sehingga saran kami sama sekali tidak digubris?!"
"Ada banyak alasan yang membuatku tidak dapat memenuhi saranmu itu, Kek," ucap Arya tenang seraya bangkit dari batu yang didudukinya.
"Hm.... Apa itu, Dewa Arak!?" tanya Dewi Bulan. Kasar dan ketus suaranya.
"Pertama, kusadari kalau urusan ini adalah urusan pribadi guruku, Kakek Ular Hitam. Jadi, tidak sepantasnya kalau membawa-bawa orang luar dalam urusan pribadi ini. Dan kedua, sangat sulit mencari orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti kakek berdua. Kalau kupaksakan, bukankah hanya akan mencelakakan orang itu?"
Kelabang Hijau manggut-manggut. "Bisa kuterima alasanmu, Dewa Arak"
"Terima kasih, Kek!"
"Jangan'terburu-buru berterima kasih, Dewa Arak!" sergah Dewi Bulan cepat. "Urusan kami denganmu kini tidak hanya satu macam!"
Arya mengerutkan keningnya.
"Apa maksudmu, Nek?"
"Tidak usah berpura-pura, Dewa Arak! Bukankah kau yang telah membunuh majikan kami?!"
"Membunuh majikan kalian?! Aneh?! Kalau boleh kutahu, siapa majikan kalian?" tanya Arya. Kerut pada dahinya pun semakin dalam.
"Seorang pemuda bersenjata sepasang kapak warna perak mengkilat!"
"Dia majikan kalian?" tanya Dewa Arak Nada suaranya mengandung keheranan yang besar.
"Ya! Karena begitulah bunyi perjanjian antara kami dengannya!" selak Kelabang Hijau.
"Kami bertemu dan bertempur. Dengan licik dia memancing kami ke dalam suatu perjanjian. Yaitu, apabila dalam tiga puluh jurus kami tidak berhasil merobohkannya, dia akan menjadi majikan kami! Jadi, terpaksa kami harus membalaskan dendamnya padamu,Dewa Arak!"
"Bagaimana? Bisa dimulai sekarang? Atau kau sengaja ingin mengulur waktu, Dewa Arak?!" selak Dewi Bulan keras.
Nenek ini memang sudah merasa kurang suka terhadap Arya Buana, karena telah membuatnya terhuyung dalam adu tenaga beberapa waktu yang lalu.
"Lebih cepat lebih baik, Nek!" sambut Dewa Arak.
Sadar akan kelihaian kedua orang yang berada di hadapannya itu, pemuda ini segera memindahkan guci ke tangannya. Sebentar kemudian diangkat gucinya ke atas kepala, dan dituangkan ke mulutnya.
“Gluk... gluk... gluk...!”
Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki tenggorokannya. Di lain saat tubuh Arya pun mulai terasa hangat dan agak limbung. Dewa Arak menurunkan gucinya kembali. Dan saat itulah nenek berpakaian putih itu melesat ke arahnya. Gerakannya cepat bukan main.
"Hiyaaa...!"
Dewi Bulan telah merasakan sendiri kelihaian pemuda di hadapannya ini. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi digunakan tongkat bulan sabitnya untuk mendesak Dewa Arak.
“Wut..!“
Tongkat berujung bulan sabit itu meluncur cepat ke arah perut Arya. Angin bersiut nyaring mengiringi tibanya serangan itu. Hebat dan cepat bukan main serangan itu.
Tapi yang diserangnya kali ini bukanlah tokoh kosong. Seorang tokoh muda yang telah berkali-kali menghadapi lawan yang teramat tangguh. Dan bahkan telah berkali-kali pula terancam serangan berbahaya.
Maka menghadapi serangan tongkat berujung bulan sabit itu, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menjadi gugup karenanya. Seperti biasa, dengan gerakan tak lumrah dari jurus 'Delapan Langkah Belalang', dielakkan serangan itu. Walaupun keadaan mengancam, berkat gerak aneh jurus itu, Dewa Arak malah berbalik mengancam.
Sekali mengelak, Dewa Arak telah berada di belakang Dewi Bulan. Tapi sebelum pemuda itu sempat melepaskan serangan, Kelabang Hijau telah terlebih dulu menyerangnya.
Terpaksa Arya mengurungkan niat untuk menyerang Dewi Bulan. Dan dengan cepat pula dielakkannya serangan kakek itu. Dan belum juga sempat membalas, kembali serangan Dewi Bulan telah mengancam. Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak kewalahan menghadapi hujan serangan dahsyat yang sating susul.
Beberapa gebrak kemudian, ketiga orang ini pun sudah terlibat sebuah pertarungan berat sebelah.
Dewa Arak terus-menerus didesak lawannya, tanpa mampu balas menyerang. Untunglah pemuda berambut putih keperakan ini memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang sangat aneh sehingga dapat mengelakkan serangan yang bagaimanapun sulitnya. Dan berkat jurus inilah Dewa Arak mampu mengelak, sekalipun hujan serangan datang silih berganti bagaikan hujan.
Untuk pertama kalinya, Arya harus mengakui betapa beratnya tekanan kedua lawannya ini. Lebih berat ketimbang Darba. Kerja sama kedua orang ini begitu rapi, saling bantu dan saling melindungi.
Belasan jurus telah berlalu. Dan selama itu, belum ada satu pun serangan balasan yang dilancarkan Arya. Serangan silih berganti lawannya membuatnya tidak mempunyai kesempatan balas menyerang. Sampai sekian lamanya, Dewa Arak hanya mampu mengelak dan bertahan.
Tempat pertarungan pun tanpa terasa telah bergeser jauh. Hal ini karena Arya terus-menerus bermain mundur. Pernah sesekali, pemuda ini mencoba balas menyerang menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tapi akibatnya ia sendiri yang hampir celaka. Karena begitu serangannya hampir dilancarkan, serangan balasan dari lawan-lawannya telah meluncur tiba. Terpaksa Arya pontang-panting menyelamatkan diri.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan ketiga orang yang tengah bertarung, sepasang mata indah milik seorang wanita cantik berpakaian serba putih, mengamati jalannya pertarungan dari balik semak-semak. Wajahnya yang cantik menyiratkan perasaan cemas yang dalam. Beberapa kali terlihat kedua tangannya mengepal, pertanda hatinya tengah dilanda perasaan tegang.
Empat puluh lima jurus telah berlalu. Dan kedudukan Arya pun semakin terjepit. Hingga akhirnya pada jurus kelima puluh satu, serangan tombak bulan sabit milik Dewi Bulan meluncur deras mengancam dadanya. Maka Dewa Arak memutuskan untuk menangkisnya.
“Klanggg...!”
"Hugh...!?"
Tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang beberapa tombak jauhnya. Selintas tadi terlihat Kelabang Hijau menempelkan kedua tapak tangannya di punggung Dewi Bulan, begitu Arya memapak serangan tusukan tombak berujung bulan sabit.
Melihat hal ini Dewa Arak terperanjat. Dia tahu kalau kakek berkepala gundul itu tengah menyalurkan tenaga dalam. Tenaganya disatukan dengan tenaga nenek itu, lalu bersama-sama menghadapi tenaga Arya.
Tak pelak lagi, perpaduan dua tenaga dalam dahsyat itu tidak dapat ditahan Dewa Arak. Untung saja beradunya tenaga dalam tadi terjadi secara tidak langsung melainkan melalui perantara. Sehingga akibatnya tidak terlalu berarti bagi Dewa Arak. Pemuda berpakaian ungu ini hanya merasa sedikit sesak pada dadanya.
Ilmu 'Belalang Sakti' memang memiliki keistimewaan dalam hal meringankan tubuh. Gerakan sesulit apa pun akan sama seperti gerakan biasa. Sehingga walaupun Arya berada dalam keadaan kritis, dan serangan Dewi Bulan kembali menyambar cepat, dia masih mampu mengelakkannya.
"Keparat!"
Nenek itu berteriak memaki. Perasaan geramnya kian bergejolak, ketika Arya kembali berhasil lolos.
Tapi tepat saat serangan Dewi Bulan tiba, serangan Kelabang Hijau juga menyambar tiba. Arya terperanjat. Padahal dia baru saja mengelakkan serangan nenek berpakaian putih. Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mengelak ataupun menangkis, karena serangan itu datangnya terlalu cepat.
Di saat yang kritis itu, tiba-tiba melesat satu bayangan putih yang dengan kecepatan luar biasa menangkis serangan itu.
“Plak...!”
Tubuh sosok bayangan putih itu terpental balik ke belakang. Sedangkan tubuh kakek gundul berkulit kehijauan terhuyung ke belakang. Tapi manis sekali sosok bayangan putih itu mematahkan daya lontar pada tubuhnya. Kedua kakinya pun hinggap di tanah hampir tanpa suara.
Kelabang Hijau langsung menggeram. Kakek berkulit kehijauan ini murka bukan kepalang karena menyadari ada orang yang sanggup membuat tubuhnya terhuyung dalam adu tenaga. Apa lagi ketika melihat bahwa yang menangkisnya adalah seorang gadis yang masih sangat muda.
"Siapa kau, Cah Ayu! Menyingkirlah cepat sebelum aku terpaksa bertindak keras terhadapmu!" ancam Kelabang Hijau.
Bagaimanapun juga dia merasa malu untuk bertindak kasar terhadap seorang gadis yang masih begitu muda.
"Melati...!" teriak Arya keras.
Ditatapnya gadis yang telah menyelamatkannya penuh rasa rindu. Tapi Melati hanya tersenyum sekilas. Namun hal itu sudah cukup bagi Arya. Kontan semangatnya pun bangkit kembali.
"Kau hadapi nenek itu, Melati!" teriak Arya seraya melompat mendekati Kelabang Hijau.
Tapi tiba-tiba kakek berkepala gundul itu menggoyang-goyangkan tangannya di depan dada.
"Tunggu, Dewa Arak!" cegah Kelabang Hijau.
"Mengapa, Kek?" tanya Arya.
Tidak ada nada permusuhan dalam suaranya. Dewa Arak tahu, kalau kakek dan nenek ini menyerangnya bukan karena dendam.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment