Arya duduk bersimpuh di depan dua buah gundukan tanah yang masih baru. Pada dua buah gundukan itu terpancang papan nisan yang bertuliskan nama orang-orang yang terkubur di dalamnya.
Dalam hati pemuda berambut putih keperakan ini bersyukur, melihat adanya papan nisan pada dua buah kuburan ini. Sekuat tenaganya Arya berusaha menahan jatuhnya air mata. Pantang baginya untuk menangis, betapapun beratnya kesedihan yang ditanggung.
"Kakek..., Ibu...," ucap Arya pelan di depan dua kuburan itu. "Mengapa kalian pergi begitu cepat. Aku belum lagi sempat membalas budi kalian yang begitu besar terhadapku. Aku berjanji, Kek, Ibu.... Akan kubalas perbuatan keji ini!"
Dewa Arak menghentikan ucapannya. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara langkah kaki pelahan di belakangnya. Khawatir kalau pemuda baju coklat itu lagi yang datang, Arya buru-buru menoleh namun bersikap waspada.
Sekitar lima tombak di depannya tampak berdiri dua sosok tubuh. Salah seorang di antara mereka telah dikenalnya. Dialah nenek yang selalu berpakaian serba putih, berjuluk Dewi Bulan.
Sementara orang yang berdiri di sebelahnya, seorang laki-laki tua bertubuh agak pendek, bulat, dan berkepala botak Sebuah rompi berwarna hijau, dan celana sebatas bawah lutut yang juga berwarna hijau, menutupi kulit tubuhnya yang berwarna kehijauan. Kelabang Hijau, begitu julukan yang dimilikinya.
Si nenek mulanya terperanjat ketika melihat Arya. Jelas, pemuda itulah yang telah membuatnya terhuyung belum lama ini. Tapi di lain saat rasa terperanjatnya berganti rasa marah yang meluap-luap.
"Dia bocah yang kuceritakan itu, Kelabang Hijau!" tegas Dewi Bulan memberitahu kakek gundul di sebelahnya. "Sekarang tidak akan kubiarkan dia lolos lagi!"
"Sabar dulu, Dewi Bulan!" cegah Kelabang Hijau sambil menarik tangan nenek yang sudah bergerak maju itu.
"Apa hakmu menghalangiku?!" tantang Dewi Bulan. Disentakkan tangannya yang dicekal kakek gundul berkulit kehijauan itu.
"Aku memang tidak berhak menghalangi tindakanmu! Tapi, tidak untuk kali ini!" tegas Kelabang Hijau.
"Heh?! Kenapa begitu?" suara Dewi Bulan mulai melunak. Disadari adanya tekanan kesungguhan pada nada suara kakek berompi hijau ini.
"Karena dia pasti mempunyai hubungan dengan Ular Hitam! Kalau tidak, tak mungkin akan duduk termenung di situ. Apakah kau tidak mendengar berita yang menghebohkan dunia persilatan belakangan ini?"
"Berita apa itu?" tanya Dewi Bulan tertarik.
"Ular Hitam memiliki seorang murid yang telah menggemparkan dunia persilatan. Kudengar banyak tokoh tangguh yang rubuh di tangannya!"
Nenek berpakaian putih itu menganggukkan kepalanya. "Aku juga tahu. Kalau tidak salah, pemuda itu berjuluk Dewa Arak!"
''Tepat''
Dewi Bulan termenung.
"Dan ciri-ciri Dewa Arak mirip pemuda ini!" sambung Kelabang Hijau lagi.
"Ahhh...! Kau benar!" nenek tinggi kurus ini mulai teringat.
Sementara itu, Arya juga terkejut melihat nenek berpakaian serba putih itu. Kelihaian nenek ini sudah dirasakannya. Sekarang dia datang berdua dengan temannya. Dewa Arak sekarang tengah dilanda kemarahan yang meluap-luap. Tapi, tentu saja sebagai seorang pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, pemuda ini tidak meluapkan amarahnya secara sembarangan.
Maka Arya yang memang tidak ingin mencari permusuhan, mencoba bersikap tenang. Ditunggu bagaimana tindakan Dewi Bulan terhadapnya. Jelas terlihat kalau nenek itu akan menyerangnya. Tapi, untungnya ditahan oleh kakek berkulit kehijauan di sebelahnya.
Untuk beberapa saat lamanya tampak kalau kedua orang itu saling bertengkar. Tentu saja berkat pendengarannya yang tajam, Arya dapat mendengar apa yang dipertengkarkan.
Dan hal ini membuatnya agak terkejut. Karena dari percakapan itu dapat diketahui kalau kakek dan nenek ini seperti mengenal almarhum pembimbingnya, Ular Hitam. Siapakah kedua orang ini sebenarnya?
Kini Kelabang Hijau dan Dewi Bulan melangkah menghampiri Dewa Arak. Sedangkan pemuda itu berdiri diam menanti. Sikapnya terlihat tenang saja, walaupun sebenarnya jantung berdebar tegang.
"Anak Muda," tegur kakek berkulit kehijauan itu. "Katakan secara jujur, apa hubunganmu dengan almarhum Ular Hitam?"
Arya tidak mendengar adanya nada permusuhan dalam pertanyaan kakek itu. Baik terhadapnya maupun terhadap gurunya.
"Saya muridnya, Kek," jawab Arya jujur.
Memang, walaupun pemuda ini tidak belajar secara langsung, tapi Ular Hitamlah yang membimbingnya untuk mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Ki Gering Langit, Biarpun kakek itu sendiri tidak mau dianggap guru, Arya tetap menganggapnya guru.
"Bisa kupercaya kata-katamu, Anak Muda?" tegas Kelabang Hijau kurang percaya.
"Dia bohong!" selak Dewi Bulan sebelum Arya sempat menjawab. "Tidak sedikit pun kulihat ilmu-ilmu yang dimiliki Ular Hitam ketika aku melawannya!"
"Apa yang nenek katakan memang benar!" sahut Dewa Arak. "Tapi, beliaulah yang selama ini membimbingku sehingga memiliki kepandaian seperti sekarang ini. Salahkah kalau aku menganggapnya sebagai guru?"
"Apa yang dikatakannya memang benar, Dewi Bulan," tegas Kelabang Hijau mendukung alasan Arya. ''Tapi perlu kau ketahui, Anak Muda. Kami mempunyai urusan dengan Ular Hitam. Nah, sekarang bersediakah kau mewakilinya untuk menyelesaikan urusan itu?"
"Sepanjang urusan itu tidak bertentangan dengan kebenaran, aku bersedia mewakili almarhum guruku!" jawab Arya tegas.
"Ha ha ha...! Bagus! Kami percaya, kau tidak akan mengecewakan kami! Dewi Bulan telah banyak bercerita tentang dirimu! Julukanmu pun telah membuat banyak tokoh berpikir beberapa kali untuk berurusan denganmu! Kami yakin kau dan Ular Hitam tidak ada bedanya!"
Seketika berubah wajah Arya.
"Maksud, Kakek?" tanya Dewa Arak.
Wajah Kelabang Hijau berubah serius. "Sejak puluhan tahun yang lalu, kami adalah sepasang tokoh yang tidak terkalahkan. Kami pun gemar bertanding, sehingga tak terhitung lawan yang rubuh di tangan kami. Sampai akhirnya, kami bertemu dengan Ular Hitam. Melalui suatu pertarungan yang sengit, kami berhasil dikalahkannya. Tentu saja hal ini membuat penasaran, di samping malu yang besar. Maka kami katakan padanya, bahwa sepuluh tahun lagi kami akan datang menantang untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tapi rupanya kami sedang sial, karena lagi-lagi berhasil dikalahkan gurumu. Semenjak itu kami pun kembali giat berlatih, memperdalam ilmu-ilmu kesaktian. Tapi siapa sangka, di waktu kami telah merasa yakin akan dapat mengalahkannya, Ular Hitam telah lebih dulu pergi ke alam baka. Siapa yang tidak kesal? Untunglah ada dirimu yang menjadi muridnya. Tapi tentu saja kau akan kami beri kelonggaran. Kau kuberikan kesempatan mencari kawan untuk menantang kami berdua. Kau kami tunggu bulan purnama mendatang di Puncak Bukit Gading. Dekat pohon flamboyan kembar."
Setelah berkata demikian, Kelabang Hijau segera melesat dari situ, diikuti Dewi Bulan. Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dalam sekejap saja yang terlihat hanya dua buah titik yang semakin lama semakin kecil yang akhirnya lenyap di kejauhan.
"Hhh...!"
Arya menghela napas panjang. Dipandanginya bayangan tubuh kedua orang itu, sampai akhirnya tak terlihat lagi.
Arya yang tengah diamuk amarah meluap-¬luap, mengerahkan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Dewa Arak memang ingin buru-buru sampai di rumah kediaman Kepala Desa Jipang, yang kini ditempati Darba dan anak buahnya.
Beberapa hari kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini pun telah sampai di mulut desa. Tapi, Dewa Arak agak terperanjat ketika tiba di simpang tiga. Tampak di depan pintu gerbang rumah kepala desa itu tengah terjadi keributan.
Di situ juga terlihat beberapa orang yang dikenali sebagai anak buah Darba. Mereka kini tengah mengeroyok seseorang yang tidak jelas terlihat karena jarak yang agak jauh.
Bergegas Arya berlari menghampiri. Sesaat kemudian Dewa Arak telah berada dalam jarak tiga tombak dari arena pertempuran. Dari sini dapat terlihat jelas, siapa orang yang tengah dikeroyok itu. Dan ini membuat pemuda berbaju ungu ini menjadi agak terkejut.
Orang yang tengah dikeroyok itu berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tegap dan kekar. Pada baju hitam bagian dada sebelah kiri terdapat sulaman cakar burung garuda dari benang emas. Di tangannya tergenggam sebuah baja hitam berbentuk cakar yang dikibas-kibaskan dengan ganas. Ke mana saja cakar baja hitam bergerak, di situ pasti ada sesosok tubuh yang rubuh.
"Cakar Garuda...," desah Arya.
Tapi pemuda ini tidak bisa berlama-lama mengamati pertarungan. Ternyata Darba yang memang ada di situ dan tengah dicarinya, bergerak menghampiri.
"Heh?! Kau lagi, Dewa Arak? Rupanya kau tidak kapok juga. Atau, kali ini bersama-sama temanmu akan mengeroyokku?" ejek Darba memanas-manasi.
Sepasang matanya berkeliaran ke sekeliling mencari-cari Gumala. Diam-diam pemuda ini memang merasa cemas, kalau pemuda murid Ki Julaga itu datang. Hatinya merasa lega ketika tidak melihat bayangan pemuda berbaju hitam itu.
"Pembunuh biadab! Kau harus menebus perbuatan kejimu itu pada guru dan ibuku!"
"Ha ha ha...!" tawa murid Ki Jatayu itu meledak.
"Syukurlah kalau kau telah mengetahuinya. Sayang, waktu itu kau tidak berada di sana, Dewa Arak. Kalau saja ada, tentu aku tidak perlu repot-repot lagi mencarimu!"
Arya menekan kemarahan yang membakar dada. Walau perasaan marah yang melanda telah begitu besarnya, tapi pemuda ini berusaha untuk tidak mengumbarnya. Diangkatnya guci araknya ke atas kepala.
“Gluk... gluk... gluk...!”
Terdengar suara tegukan ketika arak itu mulai memasuki tenggorokannya. Tubuhnya pun mulai terasa hangat. Dewa Arak sadar kalau lawan di hadapannya ini memiliki kepandaian tinggi. Maka kini dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmu andalannya.
“Sret! Sret!”
Darba pun mencabut kapak yang terselip di pinggangnya. Secepat itu pula, pemuda berbaju coklat ini melayangkannya ke arah Arya Buana. Suara angin menderu keras menyambar sebelum serangan kapak itu sendiri tiba.
Arya tidak berani bertindak gegabah. Segera saja kakinya bergerak melangkah terhuyung dan sempoyongan, sehingga serangan kapak Darba mengenai tempat kosong.
Tapi pemuda baju coklat itu tidak bingung. Rupanya Darba telah cukup mengenal Ilmu 'Delapan Langkah Belalang'. Terbukti walaupun serangan kedua kapaknya mengenai tempat kosong, tapi dengan kecepatan gerak tangan yang mengagumkan, diputarnya kedua kapak itu.
Seketika dua senjata itu dihantamkan ke belakang melalui bawah ketiak. Dugaan Darba sama sekali tidak salah. Selagi pergelangan tangannya memutar kapak dari belakang, Dewa Arak memapak menggunakan guci ke belakang punggung Darba.
“Klanggg...! Klanggg...!”
Terdengar benturan nyaring ketika kapak itu bertemu badan guci. Akibatnya kedua belah pihak sama-sama terhuyung dua langkah. Bedanya, kalau Arya terhuyung mundur, sedangkan Darba melangkah maju.
Meskipun tubuhnya masih terhuyung, Dewa Arak menyempatkan diri memeriksa gucinya. Benturan yang keras itu membuatnya merasa khawatir kalau-kalau gucinya itu rusak. Legalah hatinya ketika dilihatnya tidak ada kerusakan sedikit pun pada gucinya. Jangankan rengat, gompal saja tidak!
Ketika tenaga yang mendorongnya habis, cepat-cepat Arya memburu dengan totokan¬-totokan ke arah kepala Darba. Cepat bukan main gerakan pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi, gerakan yang dilakukan murid Ki Jatayu juga tak kalah cepat.
“Wut! Wut...!”
Sambil membalikkan tubuh, Darba mengayunkan kedua kapaknya memapak tangan kiri Dewa Arak yang melakukan totokan-totokan berbahaya ke kepalanya. Dan tentu saja pemuda berpakaian ungu ini tidak bersedia tangannya terpapas putus oleh sepasang kapak di tangan lawan. Dengan liukan aneh, kembali ditarik pulang serangannya. Berbareng dengan itu, kaki kanan Dewa Arak mencuat ke depan menyambar ulu hati.
Seketika Darba terperanjat, namun tidak menjadi gugup. Segera digenjotkan kakinya. Di lain saat, tubuhnya melenting, lewat di atas kaki yang mengarah ulu hatinya itu.
“Wut...!”
Bersamaan dengan itu, kapak di tangan kanannya disabetkan ke arah leher Arya. Sedangkan Dewa Arak yang tahu akan keistimewaan gucinya, tidak ragu-ragu lagi untuk menangkisnya.
“Klanggg...!”
Lincah laksana seekor kera, Darba menggulingkan tubuhnya di tanah. Cepat-cepat dia bangkit kembali, lalu dengan kecepatan mengagumkan langsung menyerang Arya. Kedua kapak di tangannya pun kembali berkelebat cepat mencari sasaran.
Arya yang memang tengah sakit hati terhadap pemuda itu, tidak sungkan-sungkan lagi mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Tubuh pemuda itu meliuk-liuk aneh, dan langkah-langkahnya sempoyongan. Tapi justru dengan bertingkah seperti itulah letak kedahsyatannya.
Darba kini harus menelan kenyataan pahit. Lawannya ternyata kini tidak selemah dulu. Dengan guci di tangan, kepandaian Dewa Arak kini luar biasa sekali. Sekarang pemuda berbaju coklat itu merasakan kehebatan Arya Buana. Dan Darba juga baru sadar kalau kehebatan pemuda di hadapannya ini bertumpu pada gucinya.
Puluhan jurus telah berlalu, tapi belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Kepandaian keduanya kelihatan masih seimbang.
Sementara itu pertarungan antara Cakar Garuda menghadapi pengeroyokan anak buah Darba, berlangsung tidak seimbang. Kepandaian Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas itu, memang terlalu tangguh untuk para pengeroyoknya.
Setiap kali besi berbentuk cakar di tangannya bergerak, setiap kali pula ada satu nyawa melayang. Jerit kematian terdengar saling susul.
"Aaa...!"
Pekik nyaring melengking panjang, mengiringi rubuhnya orang terakhir para pengeroyok itu.
Cakar Garuda memandangi tubuh-tubuh yang terkapar itu sejenak, baru kemudian beralih pada pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Darba.
Terdengar suara bergemeletuk dari gigi-gigi Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini. Amarahnya langsung bangkit ketika melihat orang yang dicari-carinya, karena telah membasmi perguruannya.
"Hiyaaa...!"
Diiringi pekik kemarahan laksana binatang terluka, Cakar Garuda melompat menerjang Darba, ketika pemuda itu tengah melentingkan tubuhnya ke belakang untuk menghindari serangan Dewa Arak.
Arya kaget bukan main, ia tahu kalau Cakar Garuda bukanlah tandingan Darba. Kepandaian Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas itu masih terlalu rendah. Jadi, kalau dia menyerang pemuda baju coklat itu sama saja dengan mencari mati.
"Tahan...!" cegah Arya berteriak.
Tapi terlambat. Tubuh Cakar Garuda telah melompat menerjang. Seketika Dewa Arak jadi menunda serangannya. Tubuh Cakar Garuda yang melayang itu jelas menghalangi gerakannya. Darba hanya mendengus. Tiba-tiba saja jari-jari kedua tangannya yang terbuka, dihentakkan ke depan.
“Wusss....”
“Bresss...! “
"Hugh…!"
Angin yang amat kuat keluar dari telapak tangan Darba yang terbuka itu, dan meluruk deras ke arah Cakar Garuda.
Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini kaget sekali. Dicobanya untuk mengelak. Tapi tubuhnya yang berada di udara itu menyulitkannya untuk menghindari. Apalagi memang tingkat ilmu meringankan tubuhnya belum mencapai taraf kesempurnaan.
Kontan serangan pukulan jarak jauh itu menghantam telak tubuh Cakar Garuda, sehingga mengeluh tertahan. Tubuhnya terpental kembali ke belakang bagai diterjang angin ribut. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah segar. Pukulan jarak jauh Darba memang mengandung tenaga dalam yang amat tinggi.
“Brukkk..!”
Diiringi suara berdebuk keras, tubuh Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini jatuh di tanah. Beberapa saat lamanya dia menggelepar-gelepar di tanah, kemudian akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Arya Buana terpaku sesaat. Tapi tak lama kemudian amarahnya melonjak. "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak melengking nyaring memekakkan telinga, Dewa Arak menerjang Darba.
“Wut...!”
Ketika guci Dewa Arak terayun deras ke arah kepala Darba, pemuda berbaju coklat itu menarik kepalanya ke belakang tanpa menarik kakinya.
“Wusss...!”
Guci itu meluncur deras beberapa rambut di depan wajah Darba. Begitu kerasnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu, sehingga rambut berikut seluruh pakaian Darba berkibar keras. Dan cepat-cepat pemuda berbaju coklat itu memberi serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya.
“Wut...!”
Cepat bagai kilat kakinya melesat ke arah dada Dewa Arak. Sadar akan bahaya besar yang mengancam, Arya segera menangkis serangan itu dengan tangan kirinya disertai tetakan ke bawah.
“Takkk...!”
Tubuh Darba melintir. Memang bila dibanding Dewa Arak, posisi pemuda berbaju coklat itu lebih tidak menguntungkan. Namun demikian, berkat kelihaiannya, Darba dapat segera memperbaiki posisinya. Bahkan kembali menerjang lawan dengan serangan-serangan dahsyat.
Pertarungan sengit pun kembali berlangsung. Dalam hal ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam, memang tingkat keduanya berimbang. Itulah sebabnya sampai sekian lamanya pertarungan itu berlangsung kembali, tetap belum nampak tanda-tanda siapa yang akan terdesak.
Memasuki jurus keseratus lima puluh, mulai tampak kalau Dewa Arak berhasil mendesak lawan. Ki Gering Langit memang menciptakan ilmu 'Belalang Sakti', khusus untuk menangkal ilmu-ilmu yang telah dibawa lari pelayan-¬pelayannya!
Maka tidaklah aneh jika memasuki jurus keseratus lima puluh, Darba mulai terdesak. Sepasang kapak perak mengkilat di tangannya kini gerakannya sudah mulai terlambat, tidak lagi malang-melintang seperti sebelumnya.
Dua senjata itu lebih banyak dipakai untuk melindungi setiap serangan yang datang. Hanya sekali-sekali saja sepasang kapak perak itu meluruk ke arah Arya. Itu pun tidak sedahsyat seperti sebelumnya.
Sebaliknya serangan Dewa Arak semakin dahsyat, bertubi-tubi bagaikan hujan. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang' dan jurus 'Belalang Mabuk'-nya, Arya terus melakukan desakan. Sampai pada suatu saat...
"Hiyaaat..!"
“Wut...!”
Darba kembali berteriak seraya melancarkan serangan dahsyat pada suatu kesempatan baik. Kedua kapak perak dibabatkannya ke arah leher dan kepala lawan.
Tapi untuk yang kesekian kalinya, dengan mempergunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang' Arya berusaha menghindarinya. Langkahnya terhuyung-huyung seperti biasa untuk mengelak dari ancaman kedua kapak perak itu. Dan tahu-¬tahu tubuh Arya telah berada dibelakang Darba. Sebelum pemuda berbaju coklat itu sadar, Arya sudah mengayunkan guci araknya.
“Wut..!”
Dengan deras guci itu melayang ke arah kepala Darba. Murid Ki Jatayu ini terperanjat kaget Maka sedapat-dapatnya dirundukkan kepalanya untuk menghindari sambaran guci lawan.
“Wusss...!”
Usaha untung-untungannya berhasil juga. Guci itu lewat di atas kepalanya. Tapi, Arya tidak tinggal diam. Segera dilancarkan serangan susulan.
“Bukkk...!”
"Huakkk...!"
Dalam hati pemuda berambut putih keperakan ini bersyukur, melihat adanya papan nisan pada dua buah kuburan ini. Sekuat tenaganya Arya berusaha menahan jatuhnya air mata. Pantang baginya untuk menangis, betapapun beratnya kesedihan yang ditanggung.
"Kakek..., Ibu...," ucap Arya pelan di depan dua kuburan itu. "Mengapa kalian pergi begitu cepat. Aku belum lagi sempat membalas budi kalian yang begitu besar terhadapku. Aku berjanji, Kek, Ibu.... Akan kubalas perbuatan keji ini!"
Dewa Arak menghentikan ucapannya. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara langkah kaki pelahan di belakangnya. Khawatir kalau pemuda baju coklat itu lagi yang datang, Arya buru-buru menoleh namun bersikap waspada.
Sekitar lima tombak di depannya tampak berdiri dua sosok tubuh. Salah seorang di antara mereka telah dikenalnya. Dialah nenek yang selalu berpakaian serba putih, berjuluk Dewi Bulan.
Sementara orang yang berdiri di sebelahnya, seorang laki-laki tua bertubuh agak pendek, bulat, dan berkepala botak Sebuah rompi berwarna hijau, dan celana sebatas bawah lutut yang juga berwarna hijau, menutupi kulit tubuhnya yang berwarna kehijauan. Kelabang Hijau, begitu julukan yang dimilikinya.
Si nenek mulanya terperanjat ketika melihat Arya. Jelas, pemuda itulah yang telah membuatnya terhuyung belum lama ini. Tapi di lain saat rasa terperanjatnya berganti rasa marah yang meluap-luap.
"Dia bocah yang kuceritakan itu, Kelabang Hijau!" tegas Dewi Bulan memberitahu kakek gundul di sebelahnya. "Sekarang tidak akan kubiarkan dia lolos lagi!"
"Sabar dulu, Dewi Bulan!" cegah Kelabang Hijau sambil menarik tangan nenek yang sudah bergerak maju itu.
"Apa hakmu menghalangiku?!" tantang Dewi Bulan. Disentakkan tangannya yang dicekal kakek gundul berkulit kehijauan itu.
"Aku memang tidak berhak menghalangi tindakanmu! Tapi, tidak untuk kali ini!" tegas Kelabang Hijau.
"Heh?! Kenapa begitu?" suara Dewi Bulan mulai melunak. Disadari adanya tekanan kesungguhan pada nada suara kakek berompi hijau ini.
"Karena dia pasti mempunyai hubungan dengan Ular Hitam! Kalau tidak, tak mungkin akan duduk termenung di situ. Apakah kau tidak mendengar berita yang menghebohkan dunia persilatan belakangan ini?"
"Berita apa itu?" tanya Dewi Bulan tertarik.
"Ular Hitam memiliki seorang murid yang telah menggemparkan dunia persilatan. Kudengar banyak tokoh tangguh yang rubuh di tangannya!"
Nenek berpakaian putih itu menganggukkan kepalanya. "Aku juga tahu. Kalau tidak salah, pemuda itu berjuluk Dewa Arak!"
''Tepat''
Dewi Bulan termenung.
"Dan ciri-ciri Dewa Arak mirip pemuda ini!" sambung Kelabang Hijau lagi.
"Ahhh...! Kau benar!" nenek tinggi kurus ini mulai teringat.
Sementara itu, Arya juga terkejut melihat nenek berpakaian serba putih itu. Kelihaian nenek ini sudah dirasakannya. Sekarang dia datang berdua dengan temannya. Dewa Arak sekarang tengah dilanda kemarahan yang meluap-luap. Tapi, tentu saja sebagai seorang pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, pemuda ini tidak meluapkan amarahnya secara sembarangan.
Maka Arya yang memang tidak ingin mencari permusuhan, mencoba bersikap tenang. Ditunggu bagaimana tindakan Dewi Bulan terhadapnya. Jelas terlihat kalau nenek itu akan menyerangnya. Tapi, untungnya ditahan oleh kakek berkulit kehijauan di sebelahnya.
Untuk beberapa saat lamanya tampak kalau kedua orang itu saling bertengkar. Tentu saja berkat pendengarannya yang tajam, Arya dapat mendengar apa yang dipertengkarkan.
Dan hal ini membuatnya agak terkejut. Karena dari percakapan itu dapat diketahui kalau kakek dan nenek ini seperti mengenal almarhum pembimbingnya, Ular Hitam. Siapakah kedua orang ini sebenarnya?
Kini Kelabang Hijau dan Dewi Bulan melangkah menghampiri Dewa Arak. Sedangkan pemuda itu berdiri diam menanti. Sikapnya terlihat tenang saja, walaupun sebenarnya jantung berdebar tegang.
"Anak Muda," tegur kakek berkulit kehijauan itu. "Katakan secara jujur, apa hubunganmu dengan almarhum Ular Hitam?"
Arya tidak mendengar adanya nada permusuhan dalam pertanyaan kakek itu. Baik terhadapnya maupun terhadap gurunya.
"Saya muridnya, Kek," jawab Arya jujur.
Memang, walaupun pemuda ini tidak belajar secara langsung, tapi Ular Hitamlah yang membimbingnya untuk mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Ki Gering Langit, Biarpun kakek itu sendiri tidak mau dianggap guru, Arya tetap menganggapnya guru.
"Bisa kupercaya kata-katamu, Anak Muda?" tegas Kelabang Hijau kurang percaya.
"Dia bohong!" selak Dewi Bulan sebelum Arya sempat menjawab. "Tidak sedikit pun kulihat ilmu-ilmu yang dimiliki Ular Hitam ketika aku melawannya!"
"Apa yang nenek katakan memang benar!" sahut Dewa Arak. "Tapi, beliaulah yang selama ini membimbingku sehingga memiliki kepandaian seperti sekarang ini. Salahkah kalau aku menganggapnya sebagai guru?"
"Apa yang dikatakannya memang benar, Dewi Bulan," tegas Kelabang Hijau mendukung alasan Arya. ''Tapi perlu kau ketahui, Anak Muda. Kami mempunyai urusan dengan Ular Hitam. Nah, sekarang bersediakah kau mewakilinya untuk menyelesaikan urusan itu?"
"Sepanjang urusan itu tidak bertentangan dengan kebenaran, aku bersedia mewakili almarhum guruku!" jawab Arya tegas.
"Ha ha ha...! Bagus! Kami percaya, kau tidak akan mengecewakan kami! Dewi Bulan telah banyak bercerita tentang dirimu! Julukanmu pun telah membuat banyak tokoh berpikir beberapa kali untuk berurusan denganmu! Kami yakin kau dan Ular Hitam tidak ada bedanya!"
Seketika berubah wajah Arya.
"Maksud, Kakek?" tanya Dewa Arak.
Wajah Kelabang Hijau berubah serius. "Sejak puluhan tahun yang lalu, kami adalah sepasang tokoh yang tidak terkalahkan. Kami pun gemar bertanding, sehingga tak terhitung lawan yang rubuh di tangan kami. Sampai akhirnya, kami bertemu dengan Ular Hitam. Melalui suatu pertarungan yang sengit, kami berhasil dikalahkannya. Tentu saja hal ini membuat penasaran, di samping malu yang besar. Maka kami katakan padanya, bahwa sepuluh tahun lagi kami akan datang menantang untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tapi rupanya kami sedang sial, karena lagi-lagi berhasil dikalahkan gurumu. Semenjak itu kami pun kembali giat berlatih, memperdalam ilmu-ilmu kesaktian. Tapi siapa sangka, di waktu kami telah merasa yakin akan dapat mengalahkannya, Ular Hitam telah lebih dulu pergi ke alam baka. Siapa yang tidak kesal? Untunglah ada dirimu yang menjadi muridnya. Tapi tentu saja kau akan kami beri kelonggaran. Kau kuberikan kesempatan mencari kawan untuk menantang kami berdua. Kau kami tunggu bulan purnama mendatang di Puncak Bukit Gading. Dekat pohon flamboyan kembar."
Setelah berkata demikian, Kelabang Hijau segera melesat dari situ, diikuti Dewi Bulan. Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dalam sekejap saja yang terlihat hanya dua buah titik yang semakin lama semakin kecil yang akhirnya lenyap di kejauhan.
"Hhh...!"
Arya menghela napas panjang. Dipandanginya bayangan tubuh kedua orang itu, sampai akhirnya tak terlihat lagi.
Arya yang tengah diamuk amarah meluap-¬luap, mengerahkan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Dewa Arak memang ingin buru-buru sampai di rumah kediaman Kepala Desa Jipang, yang kini ditempati Darba dan anak buahnya.
Beberapa hari kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini pun telah sampai di mulut desa. Tapi, Dewa Arak agak terperanjat ketika tiba di simpang tiga. Tampak di depan pintu gerbang rumah kepala desa itu tengah terjadi keributan.
Di situ juga terlihat beberapa orang yang dikenali sebagai anak buah Darba. Mereka kini tengah mengeroyok seseorang yang tidak jelas terlihat karena jarak yang agak jauh.
Bergegas Arya berlari menghampiri. Sesaat kemudian Dewa Arak telah berada dalam jarak tiga tombak dari arena pertempuran. Dari sini dapat terlihat jelas, siapa orang yang tengah dikeroyok itu. Dan ini membuat pemuda berbaju ungu ini menjadi agak terkejut.
Orang yang tengah dikeroyok itu berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tegap dan kekar. Pada baju hitam bagian dada sebelah kiri terdapat sulaman cakar burung garuda dari benang emas. Di tangannya tergenggam sebuah baja hitam berbentuk cakar yang dikibas-kibaskan dengan ganas. Ke mana saja cakar baja hitam bergerak, di situ pasti ada sesosok tubuh yang rubuh.
"Cakar Garuda...," desah Arya.
Tapi pemuda ini tidak bisa berlama-lama mengamati pertarungan. Ternyata Darba yang memang ada di situ dan tengah dicarinya, bergerak menghampiri.
"Heh?! Kau lagi, Dewa Arak? Rupanya kau tidak kapok juga. Atau, kali ini bersama-sama temanmu akan mengeroyokku?" ejek Darba memanas-manasi.
Sepasang matanya berkeliaran ke sekeliling mencari-cari Gumala. Diam-diam pemuda ini memang merasa cemas, kalau pemuda murid Ki Julaga itu datang. Hatinya merasa lega ketika tidak melihat bayangan pemuda berbaju hitam itu.
"Pembunuh biadab! Kau harus menebus perbuatan kejimu itu pada guru dan ibuku!"
"Ha ha ha...!" tawa murid Ki Jatayu itu meledak.
"Syukurlah kalau kau telah mengetahuinya. Sayang, waktu itu kau tidak berada di sana, Dewa Arak. Kalau saja ada, tentu aku tidak perlu repot-repot lagi mencarimu!"
Arya menekan kemarahan yang membakar dada. Walau perasaan marah yang melanda telah begitu besarnya, tapi pemuda ini berusaha untuk tidak mengumbarnya. Diangkatnya guci araknya ke atas kepala.
“Gluk... gluk... gluk...!”
Terdengar suara tegukan ketika arak itu mulai memasuki tenggorokannya. Tubuhnya pun mulai terasa hangat. Dewa Arak sadar kalau lawan di hadapannya ini memiliki kepandaian tinggi. Maka kini dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmu andalannya.
“Sret! Sret!”
Darba pun mencabut kapak yang terselip di pinggangnya. Secepat itu pula, pemuda berbaju coklat ini melayangkannya ke arah Arya Buana. Suara angin menderu keras menyambar sebelum serangan kapak itu sendiri tiba.
Arya tidak berani bertindak gegabah. Segera saja kakinya bergerak melangkah terhuyung dan sempoyongan, sehingga serangan kapak Darba mengenai tempat kosong.
Tapi pemuda baju coklat itu tidak bingung. Rupanya Darba telah cukup mengenal Ilmu 'Delapan Langkah Belalang'. Terbukti walaupun serangan kedua kapaknya mengenai tempat kosong, tapi dengan kecepatan gerak tangan yang mengagumkan, diputarnya kedua kapak itu.
Seketika dua senjata itu dihantamkan ke belakang melalui bawah ketiak. Dugaan Darba sama sekali tidak salah. Selagi pergelangan tangannya memutar kapak dari belakang, Dewa Arak memapak menggunakan guci ke belakang punggung Darba.
“Klanggg...! Klanggg...!”
Terdengar benturan nyaring ketika kapak itu bertemu badan guci. Akibatnya kedua belah pihak sama-sama terhuyung dua langkah. Bedanya, kalau Arya terhuyung mundur, sedangkan Darba melangkah maju.
Meskipun tubuhnya masih terhuyung, Dewa Arak menyempatkan diri memeriksa gucinya. Benturan yang keras itu membuatnya merasa khawatir kalau-kalau gucinya itu rusak. Legalah hatinya ketika dilihatnya tidak ada kerusakan sedikit pun pada gucinya. Jangankan rengat, gompal saja tidak!
Ketika tenaga yang mendorongnya habis, cepat-cepat Arya memburu dengan totokan¬-totokan ke arah kepala Darba. Cepat bukan main gerakan pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi, gerakan yang dilakukan murid Ki Jatayu juga tak kalah cepat.
“Wut! Wut...!”
Sambil membalikkan tubuh, Darba mengayunkan kedua kapaknya memapak tangan kiri Dewa Arak yang melakukan totokan-totokan berbahaya ke kepalanya. Dan tentu saja pemuda berpakaian ungu ini tidak bersedia tangannya terpapas putus oleh sepasang kapak di tangan lawan. Dengan liukan aneh, kembali ditarik pulang serangannya. Berbareng dengan itu, kaki kanan Dewa Arak mencuat ke depan menyambar ulu hati.
Seketika Darba terperanjat, namun tidak menjadi gugup. Segera digenjotkan kakinya. Di lain saat, tubuhnya melenting, lewat di atas kaki yang mengarah ulu hatinya itu.
“Wut...!”
Bersamaan dengan itu, kapak di tangan kanannya disabetkan ke arah leher Arya. Sedangkan Dewa Arak yang tahu akan keistimewaan gucinya, tidak ragu-ragu lagi untuk menangkisnya.
“Klanggg...!”
Lincah laksana seekor kera, Darba menggulingkan tubuhnya di tanah. Cepat-cepat dia bangkit kembali, lalu dengan kecepatan mengagumkan langsung menyerang Arya. Kedua kapak di tangannya pun kembali berkelebat cepat mencari sasaran.
Arya yang memang tengah sakit hati terhadap pemuda itu, tidak sungkan-sungkan lagi mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Tubuh pemuda itu meliuk-liuk aneh, dan langkah-langkahnya sempoyongan. Tapi justru dengan bertingkah seperti itulah letak kedahsyatannya.
Darba kini harus menelan kenyataan pahit. Lawannya ternyata kini tidak selemah dulu. Dengan guci di tangan, kepandaian Dewa Arak kini luar biasa sekali. Sekarang pemuda berbaju coklat itu merasakan kehebatan Arya Buana. Dan Darba juga baru sadar kalau kehebatan pemuda di hadapannya ini bertumpu pada gucinya.
Puluhan jurus telah berlalu, tapi belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Kepandaian keduanya kelihatan masih seimbang.
Sementara itu pertarungan antara Cakar Garuda menghadapi pengeroyokan anak buah Darba, berlangsung tidak seimbang. Kepandaian Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas itu, memang terlalu tangguh untuk para pengeroyoknya.
Setiap kali besi berbentuk cakar di tangannya bergerak, setiap kali pula ada satu nyawa melayang. Jerit kematian terdengar saling susul.
"Aaa...!"
Pekik nyaring melengking panjang, mengiringi rubuhnya orang terakhir para pengeroyok itu.
Cakar Garuda memandangi tubuh-tubuh yang terkapar itu sejenak, baru kemudian beralih pada pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Darba.
Terdengar suara bergemeletuk dari gigi-gigi Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini. Amarahnya langsung bangkit ketika melihat orang yang dicari-carinya, karena telah membasmi perguruannya.
"Hiyaaa...!"
Diiringi pekik kemarahan laksana binatang terluka, Cakar Garuda melompat menerjang Darba, ketika pemuda itu tengah melentingkan tubuhnya ke belakang untuk menghindari serangan Dewa Arak.
Arya kaget bukan main, ia tahu kalau Cakar Garuda bukanlah tandingan Darba. Kepandaian Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas itu masih terlalu rendah. Jadi, kalau dia menyerang pemuda baju coklat itu sama saja dengan mencari mati.
"Tahan...!" cegah Arya berteriak.
Tapi terlambat. Tubuh Cakar Garuda telah melompat menerjang. Seketika Dewa Arak jadi menunda serangannya. Tubuh Cakar Garuda yang melayang itu jelas menghalangi gerakannya. Darba hanya mendengus. Tiba-tiba saja jari-jari kedua tangannya yang terbuka, dihentakkan ke depan.
“Wusss....”
“Bresss...! “
"Hugh…!"
Angin yang amat kuat keluar dari telapak tangan Darba yang terbuka itu, dan meluruk deras ke arah Cakar Garuda.
Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini kaget sekali. Dicobanya untuk mengelak. Tapi tubuhnya yang berada di udara itu menyulitkannya untuk menghindari. Apalagi memang tingkat ilmu meringankan tubuhnya belum mencapai taraf kesempurnaan.
Kontan serangan pukulan jarak jauh itu menghantam telak tubuh Cakar Garuda, sehingga mengeluh tertahan. Tubuhnya terpental kembali ke belakang bagai diterjang angin ribut. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah segar. Pukulan jarak jauh Darba memang mengandung tenaga dalam yang amat tinggi.
“Brukkk..!”
Diiringi suara berdebuk keras, tubuh Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini jatuh di tanah. Beberapa saat lamanya dia menggelepar-gelepar di tanah, kemudian akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Arya Buana terpaku sesaat. Tapi tak lama kemudian amarahnya melonjak. "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak melengking nyaring memekakkan telinga, Dewa Arak menerjang Darba.
“Wut...!”
Ketika guci Dewa Arak terayun deras ke arah kepala Darba, pemuda berbaju coklat itu menarik kepalanya ke belakang tanpa menarik kakinya.
“Wusss...!”
Guci itu meluncur deras beberapa rambut di depan wajah Darba. Begitu kerasnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu, sehingga rambut berikut seluruh pakaian Darba berkibar keras. Dan cepat-cepat pemuda berbaju coklat itu memberi serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya.
“Wut...!”
Cepat bagai kilat kakinya melesat ke arah dada Dewa Arak. Sadar akan bahaya besar yang mengancam, Arya segera menangkis serangan itu dengan tangan kirinya disertai tetakan ke bawah.
“Takkk...!”
Tubuh Darba melintir. Memang bila dibanding Dewa Arak, posisi pemuda berbaju coklat itu lebih tidak menguntungkan. Namun demikian, berkat kelihaiannya, Darba dapat segera memperbaiki posisinya. Bahkan kembali menerjang lawan dengan serangan-serangan dahsyat.
Pertarungan sengit pun kembali berlangsung. Dalam hal ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam, memang tingkat keduanya berimbang. Itulah sebabnya sampai sekian lamanya pertarungan itu berlangsung kembali, tetap belum nampak tanda-tanda siapa yang akan terdesak.
Memasuki jurus keseratus lima puluh, mulai tampak kalau Dewa Arak berhasil mendesak lawan. Ki Gering Langit memang menciptakan ilmu 'Belalang Sakti', khusus untuk menangkal ilmu-ilmu yang telah dibawa lari pelayan-¬pelayannya!
Maka tidaklah aneh jika memasuki jurus keseratus lima puluh, Darba mulai terdesak. Sepasang kapak perak mengkilat di tangannya kini gerakannya sudah mulai terlambat, tidak lagi malang-melintang seperti sebelumnya.
Dua senjata itu lebih banyak dipakai untuk melindungi setiap serangan yang datang. Hanya sekali-sekali saja sepasang kapak perak itu meluruk ke arah Arya. Itu pun tidak sedahsyat seperti sebelumnya.
Sebaliknya serangan Dewa Arak semakin dahsyat, bertubi-tubi bagaikan hujan. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang' dan jurus 'Belalang Mabuk'-nya, Arya terus melakukan desakan. Sampai pada suatu saat...
"Hiyaaat..!"
“Wut...!”
Darba kembali berteriak seraya melancarkan serangan dahsyat pada suatu kesempatan baik. Kedua kapak perak dibabatkannya ke arah leher dan kepala lawan.
Tapi untuk yang kesekian kalinya, dengan mempergunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang' Arya berusaha menghindarinya. Langkahnya terhuyung-huyung seperti biasa untuk mengelak dari ancaman kedua kapak perak itu. Dan tahu-¬tahu tubuh Arya telah berada dibelakang Darba. Sebelum pemuda berbaju coklat itu sadar, Arya sudah mengayunkan guci araknya.
“Wut..!”
Dengan deras guci itu melayang ke arah kepala Darba. Murid Ki Jatayu ini terperanjat kaget Maka sedapat-dapatnya dirundukkan kepalanya untuk menghindari sambaran guci lawan.
“Wusss...!”
Usaha untung-untungannya berhasil juga. Guci itu lewat di atas kepalanya. Tapi, Arya tidak tinggal diam. Segera dilancarkan serangan susulan.
“Bukkk...!”
"Huakkk...!"
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment