Gumala yang kini ternyata adalah Melati, melesat kabur dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Sebenarnya dia tidak menyalahkan tindakan Arya. Disadari kalau Dewa Arak melakukan hal itu hanyalah untuk menyelamatkan nyawanya. Sama sekali tidak untuk melakukan hal yang bersifat kurang-ajar.
Memang sebenarnya Dewa Arak itu tidak mengetahui kalau ia adalah seorang wanita. Bahkan wanita yang dirindukan dan dicari-carinya selama ini. Memang selama melakukan perjalanan bersama Dewa Arak, pemuda itu telah bercerita banyak tentang Melati. Tentu saja juga diungkapkan perasaan cintanya terhadap Melati yang diutarakan pada Gumala, kawan seperjalanan yang dikira adalah seorang pemuda.
Diceritakan pula oleh Dewa Arak kalau Melati telah membencinya. Hampir saja Melati yang waktu itu menyamar sebagai Gumala membuka rahasianya sendiri. Sebenarnya Melati sama sekali tidak membenci pemuda itu. Bahkan sebaliknya mencintainya. Tapi, rasa malu dan beberapa sebab-sebab lain membuatnya merasa rendah diri bersama-sama Arya.
Salah satu hal yang paling berat adalah janjinya terhadap 'ayahnya'. Gadis itu memang telah bersumpah untuk memberi hukuman pada pemuda itu. Tapi janji itu sulit dilakukannya, karena cintanya pada Arya Buana.
Maka Melati memutuskan untuk menjauhi Arya saja. Tapi ternyata rasa rindu untuk melihat Dewa Arak itu tidak tertahankan lagi. Setelah lama otaknya bekerja keras, akhirnya didapatkan satu jalan untuk dekat dengan pemuda itu tanpa diketahui. Apalagi kalau tidak dengan jalan menyamar.
Tapi siapa sangka kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Tanpa sengaja, pemuda itu telah berhasil membongkar rahasianya. Bahkan dengan cara yang membuatnya malu besar.
Dewa Arak telah melihat bagian tubuhnya yang paling dirahasiakan! Payudaranya! Dan sekarang, bagaimana Melati dapat bertemu dengan pemuda itu lagi? Rasanya setiap kali melihat Arya, kembali teringat peristiwa memalukan itu.
Sambil terus berlari cepat, pikiran Melati terus bekerja. Disadari kalau ia tidak mampu berpisah dengan pemuda berambut putih keperakan itu terlalu lama. Rasa rindu senantiasa menggigit hatinya, setiap kali berpisah dengan pemuda itu.
Begitu juga kali ini. Secara diam-diam dibayanginya perjalanan Dewa Arak, tanpa sepengetahuan pemuda itu sendiri.
***
Arya melakukan perjalanan dengan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Mimpi buruk yang berturut-turut dan perasaan tidak enak yang selalu mengganggu hati, membuatnya bertindak begitu.
Beberapa hari kemudian, sampailah pemuda berambut putih keperakan ini di pintu gerbang sebelah Barat Desa Jati Alas. Desa yang terdekat dengan tempat tinggal pembimbingnya, Ular Hitam.
Arya Buana memperlambat langkahnya. Matanya memandang berkeliling, memperhatikan keadaan desa ini. Dan kening pemuda ini seketika berkerut. Suasana desa ini sepi sekali. Pintu-pintu dan jendela-jendela semua tertutup rapat
Kening Dewa Arak berkerut. Dugaannya, pasti ada sesuatu kejadian yang telah menimpa desa yang baru beberapa pekan ditinggalkan ini. Dan perasaannya pun jadi kian tidak enak.
Mungkinkah Ular Hitam tidak melihat keadaan ini? Bukankah Desa Jati Alas ini adalah tempatnya memenuhi keperluan sehari-hari? Mustahil kalau tidak melihat keadaan yang mencurigakan ini!
"Tuan Dewa Arak...!"
Sebuah panggilan menyadarkan lamunan pemuda ini. Ditolehkan kepalanya ke arah asal suara. Tampaklah seorang pemuda bertubuh tegap yang dikenalnya bernama Surya tengah berlari-lari menghampiri (Baca Serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
"Ada apa?" tanya Arya begitu tubuh Surya telah dekat.
"Gawat, Tuan Dewa Arak..!" ujar Surya masih terengah-engah.
"Panggil saja aku Arya...," pinta pemuda berambut keperakan itu. Risih rasanya mendapat panggilan yang begitu tinggi. "Ada apa?"
Sementara itu, Surya mengatur napasnya sebelum kembali berbicara. "Beberapa pekan yang lalu, seorang pemuda datang ke desa ini menanyakan tempat tinggal Kakek Ular Hitam...."
"Pemuda? Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Arya. Dadanya tiba-tiba terasa berdebar tegang.
"Nggg..., tampan.... Pakaiannya coklat. Dan di kanan kiri pinggangnya terselip sebuah kapak berwarna perak..."
Berubah wajah Dewa Arak mendengarnya. Jelas kalau pemuda yang disebutkan ciri-cirinya itu adalah Darba. Arya pun sudah mengetahui pula maksud pemuda itu mencari pembimbingnya. Hal ini membuat perasaan tidak enaknya semakin menjadi-jadi.
"Lalu...?" tanya Arya pelan. Ketegangan membuat suaranya seperti tercekat di tenggorokan.
"Melihat sikapnya yang mencurigakan, Ki Pandu tidak memberitahukannya. Tapi, akibatnya gawat! Pemuda itu membunuh Ki Pandu! Tidak hanya itu saja. Semua penduduk yang tidak mau menunjukkan tempat tinggal Kakek Ular Hitam dibunuh tanpa kenal ampun."
"Ahhh...!" desah Arya kaget.
"Akhirnya salah seorang penduduk memberitahukannya...," jelas Surya pelahan.
Sepertinya pemuda ini merasa menyesal mengapa hal itu terjadi. Arya hanya diam terpaku. Dimaklumi kalau akhirnya ada penduduk yang memberitahukannya. Memang sebagai seorang pendekar, Dewa Arak lebih mementingkan penduduk biasa daripada orang yang pandai ilmu silat.
"Setelah mendapat keterangan tentang tempat tinggal Kakek Ular Hitam, pemuda itu pun pergi. Aku bergegas pergi ke sana, dengan meminjam seekor kuda yang memiliki kemampuan berlari paling cepat. Maksudku, ingin memberitahukan Kakek Ular Hitam, ada orang jahat mencarinya."
"Lalu...?" tanya Arya. Dadanya berdebar tegang.
Surya tampak ragu. "Sayang kedatanganku terlambat, Den Arya."
"Lalu..., apa yang terjadi dengan kakek dan ibuku...?!" desak Arya setengah berteriak. Ketegangan membuat pikiran jernihnya menguap. Dicekalnya leher baju Surya dan dihentak¬-hentakkannya. "Katakan! Katakan, apa yang terjadi pada kakek dan ibuku...!"
Tubuh Surya gemetar. Apalagi ketika menatap sepasang mata yang mencorong dari pemuda berambut putih keperakan itu. Nyalinya kontan menciut
"Den Arya..., sadar, Den. Sadar...," ucap Arya gemetar.
Ucapan Surya itu rupanya berhasil menyadarkan Dewa Arak. Pelahan cekalan Arya pada leher baju pemuda itu mengendur. Kemudian tubuh Surya pun diturunkan.
"Hhh...!" Arya menghembuskan napas berat. Sepasang matanya pun kembali meredup. Didekap wajahnya dengan kedua tangan. "Maafkan aku, Kang," ucap Arya lirih. "Aku khilaf. Tapi, kuharap Kakang bersedia mengatakan apa yang terjadi pada kakek dan ibu. Katakan, Kang. Sekalipun berita itu buruk, aku sudah siap untuk mendengarnya."
Surya menelan ludahnya sebentar. Ditatapnya dalam-dalam wajah Arya Buana. "Aku melihat..., Kakek Ular Hitam, dan ibu Den Arya tergeletak di tanah...."
Arya memejamkan matanya. Sudah dapat diduga bagaimana nasib kedua orang yang sangat dicintainya itu. Benarlah apa yang dilihatnya dalam mimpi-mimpinya itu.
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Mereka tewas dengan cara yang menyedihkan, Den...."
"Jahanam!" jerit Dewa Arak keras.
"Kalau Aden ingin menengoknya, silakan, Den. Mereka kukuburkan di halaman samping, dekat pohon jambu."
Tapi Arya sudah tidak mendengar ucapan Surya lagi. Tepat saat jeritan kemarahannya keluar dari mulut, tubuhnya pun melesat dari situ.
Sedangkan Surya hanya dapat menggeleng-¬gelengkan kepalanya sambil menatap tubuh pemuda berambut putih keperakan yang kian mengecil dan akhirnya lenyap ditelan jalan.
***
Memang sebenarnya Dewa Arak itu tidak mengetahui kalau ia adalah seorang wanita. Bahkan wanita yang dirindukan dan dicari-carinya selama ini. Memang selama melakukan perjalanan bersama Dewa Arak, pemuda itu telah bercerita banyak tentang Melati. Tentu saja juga diungkapkan perasaan cintanya terhadap Melati yang diutarakan pada Gumala, kawan seperjalanan yang dikira adalah seorang pemuda.
Diceritakan pula oleh Dewa Arak kalau Melati telah membencinya. Hampir saja Melati yang waktu itu menyamar sebagai Gumala membuka rahasianya sendiri. Sebenarnya Melati sama sekali tidak membenci pemuda itu. Bahkan sebaliknya mencintainya. Tapi, rasa malu dan beberapa sebab-sebab lain membuatnya merasa rendah diri bersama-sama Arya.
Salah satu hal yang paling berat adalah janjinya terhadap 'ayahnya'. Gadis itu memang telah bersumpah untuk memberi hukuman pada pemuda itu. Tapi janji itu sulit dilakukannya, karena cintanya pada Arya Buana.
Maka Melati memutuskan untuk menjauhi Arya saja. Tapi ternyata rasa rindu untuk melihat Dewa Arak itu tidak tertahankan lagi. Setelah lama otaknya bekerja keras, akhirnya didapatkan satu jalan untuk dekat dengan pemuda itu tanpa diketahui. Apalagi kalau tidak dengan jalan menyamar.
Tapi siapa sangka kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Tanpa sengaja, pemuda itu telah berhasil membongkar rahasianya. Bahkan dengan cara yang membuatnya malu besar.
Dewa Arak telah melihat bagian tubuhnya yang paling dirahasiakan! Payudaranya! Dan sekarang, bagaimana Melati dapat bertemu dengan pemuda itu lagi? Rasanya setiap kali melihat Arya, kembali teringat peristiwa memalukan itu.
Sambil terus berlari cepat, pikiran Melati terus bekerja. Disadari kalau ia tidak mampu berpisah dengan pemuda berambut putih keperakan itu terlalu lama. Rasa rindu senantiasa menggigit hatinya, setiap kali berpisah dengan pemuda itu.
Begitu juga kali ini. Secara diam-diam dibayanginya perjalanan Dewa Arak, tanpa sepengetahuan pemuda itu sendiri.
***
Arya melakukan perjalanan dengan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Mimpi buruk yang berturut-turut dan perasaan tidak enak yang selalu mengganggu hati, membuatnya bertindak begitu.
Beberapa hari kemudian, sampailah pemuda berambut putih keperakan ini di pintu gerbang sebelah Barat Desa Jati Alas. Desa yang terdekat dengan tempat tinggal pembimbingnya, Ular Hitam.
Arya Buana memperlambat langkahnya. Matanya memandang berkeliling, memperhatikan keadaan desa ini. Dan kening pemuda ini seketika berkerut. Suasana desa ini sepi sekali. Pintu-pintu dan jendela-jendela semua tertutup rapat
Kening Dewa Arak berkerut. Dugaannya, pasti ada sesuatu kejadian yang telah menimpa desa yang baru beberapa pekan ditinggalkan ini. Dan perasaannya pun jadi kian tidak enak.
Mungkinkah Ular Hitam tidak melihat keadaan ini? Bukankah Desa Jati Alas ini adalah tempatnya memenuhi keperluan sehari-hari? Mustahil kalau tidak melihat keadaan yang mencurigakan ini!
"Tuan Dewa Arak...!"
Sebuah panggilan menyadarkan lamunan pemuda ini. Ditolehkan kepalanya ke arah asal suara. Tampaklah seorang pemuda bertubuh tegap yang dikenalnya bernama Surya tengah berlari-lari menghampiri (Baca Serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
"Ada apa?" tanya Arya begitu tubuh Surya telah dekat.
"Gawat, Tuan Dewa Arak..!" ujar Surya masih terengah-engah.
"Panggil saja aku Arya...," pinta pemuda berambut keperakan itu. Risih rasanya mendapat panggilan yang begitu tinggi. "Ada apa?"
Sementara itu, Surya mengatur napasnya sebelum kembali berbicara. "Beberapa pekan yang lalu, seorang pemuda datang ke desa ini menanyakan tempat tinggal Kakek Ular Hitam...."
"Pemuda? Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Arya. Dadanya tiba-tiba terasa berdebar tegang.
"Nggg..., tampan.... Pakaiannya coklat. Dan di kanan kiri pinggangnya terselip sebuah kapak berwarna perak..."
Berubah wajah Dewa Arak mendengarnya. Jelas kalau pemuda yang disebutkan ciri-cirinya itu adalah Darba. Arya pun sudah mengetahui pula maksud pemuda itu mencari pembimbingnya. Hal ini membuat perasaan tidak enaknya semakin menjadi-jadi.
"Lalu...?" tanya Arya pelan. Ketegangan membuat suaranya seperti tercekat di tenggorokan.
"Melihat sikapnya yang mencurigakan, Ki Pandu tidak memberitahukannya. Tapi, akibatnya gawat! Pemuda itu membunuh Ki Pandu! Tidak hanya itu saja. Semua penduduk yang tidak mau menunjukkan tempat tinggal Kakek Ular Hitam dibunuh tanpa kenal ampun."
"Ahhh...!" desah Arya kaget.
"Akhirnya salah seorang penduduk memberitahukannya...," jelas Surya pelahan.
Sepertinya pemuda ini merasa menyesal mengapa hal itu terjadi. Arya hanya diam terpaku. Dimaklumi kalau akhirnya ada penduduk yang memberitahukannya. Memang sebagai seorang pendekar, Dewa Arak lebih mementingkan penduduk biasa daripada orang yang pandai ilmu silat.
"Setelah mendapat keterangan tentang tempat tinggal Kakek Ular Hitam, pemuda itu pun pergi. Aku bergegas pergi ke sana, dengan meminjam seekor kuda yang memiliki kemampuan berlari paling cepat. Maksudku, ingin memberitahukan Kakek Ular Hitam, ada orang jahat mencarinya."
"Lalu...?" tanya Arya. Dadanya berdebar tegang.
Surya tampak ragu. "Sayang kedatanganku terlambat, Den Arya."
"Lalu..., apa yang terjadi dengan kakek dan ibuku...?!" desak Arya setengah berteriak. Ketegangan membuat pikiran jernihnya menguap. Dicekalnya leher baju Surya dan dihentak¬-hentakkannya. "Katakan! Katakan, apa yang terjadi pada kakek dan ibuku...!"
Tubuh Surya gemetar. Apalagi ketika menatap sepasang mata yang mencorong dari pemuda berambut putih keperakan itu. Nyalinya kontan menciut
"Den Arya..., sadar, Den. Sadar...," ucap Arya gemetar.
Ucapan Surya itu rupanya berhasil menyadarkan Dewa Arak. Pelahan cekalan Arya pada leher baju pemuda itu mengendur. Kemudian tubuh Surya pun diturunkan.
"Hhh...!" Arya menghembuskan napas berat. Sepasang matanya pun kembali meredup. Didekap wajahnya dengan kedua tangan. "Maafkan aku, Kang," ucap Arya lirih. "Aku khilaf. Tapi, kuharap Kakang bersedia mengatakan apa yang terjadi pada kakek dan ibu. Katakan, Kang. Sekalipun berita itu buruk, aku sudah siap untuk mendengarnya."
Surya menelan ludahnya sebentar. Ditatapnya dalam-dalam wajah Arya Buana. "Aku melihat..., Kakek Ular Hitam, dan ibu Den Arya tergeletak di tanah...."
Arya memejamkan matanya. Sudah dapat diduga bagaimana nasib kedua orang yang sangat dicintainya itu. Benarlah apa yang dilihatnya dalam mimpi-mimpinya itu.
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Mereka tewas dengan cara yang menyedihkan, Den...."
"Jahanam!" jerit Dewa Arak keras.
"Kalau Aden ingin menengoknya, silakan, Den. Mereka kukuburkan di halaman samping, dekat pohon jambu."
Tapi Arya sudah tidak mendengar ucapan Surya lagi. Tepat saat jeritan kemarahannya keluar dari mulut, tubuhnya pun melesat dari situ.
Sedangkan Surya hanya dapat menggeleng-¬gelengkan kepalanya sambil menatap tubuh pemuda berambut putih keperakan yang kian mengecil dan akhirnya lenyap ditelan jalan.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment