"Aku tidak punya urusan denganmu! Menyingkirlah!"
"Tidak punya urusan denganku?! Lucu sekali! Belum lama ini kau telah menyelamatkan musuh besarku. Bahkan baru saja telah membunuh tiga orang anak buahku. Dan sekarang kau bilang tidak punya urusan denganku?! Lucu sekali!"
"Jadi, apa maumu sekarang?" tanya Gumala, bernada menantang.
"Sederhana saja...."
"Apa?"
"Membunuhmu!" tegas kata-kata Darba.
"Kau kira mudah membunuhku?" ejek Gumala sambil tersenyum sinis.
"Ha ha ha...!" Darba tertawa. "Dulu, guruku memang tidak menang melawan Ki Julaga, gurumu itu. Tapi sekarang? Kita buktikan siapa di antara mereka yang lebih hebat!"
"Dari mana kau tahu guruku?" tanya Gumala kaget.
"Ha ha ha..., mudah saja! Hanya ada tiga orang yang menguasai ilmu-ilmu Ki Gering Langit, selain si tua bangka itu. Dua orang lainnya adalah guruku yang bernama Ki Jatayu, dan Ki Julaga! Dan tak mungkin kalau kau murid si tua bangka itu. Jadi jelas kau adalah murid Ki Julaga! Hanya yang membuatku tidak habis mengerti, mengapa kau malah akrab dengan murid si tua bangka itu? Padahal orang tua itulah yang telah membuat gurumu sengsara!" jelas Darba.
Pemuda itu memang sejak tadi memperhatikan perkelahian Gumala, sehingga berhasil mengetahui dari siapa Gumala memperoleh ilmu itu.
"Bukan urusanmu!" bentak Gumala garang seraya melompat menerjang Darba.
Tahu kelihaian pemuda berbaju coklat itu, Gumala segera mengerahkan segenap kemampuannya. Tangan kanannya yang berbentuk cakar menyambar ke arah pelipis, sementara tangan kirinya dipalangkan di depan dada.
Melihat serangan itu, Darba hanya tertawa mengejek. Dengan sebuah gerakan sederhana, didoyongkan tubuhnya ke belakang seraya mengangkat tangan kirinya untuk menangkis serangan itu. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya menendang ke arah perut
“Plak! Dughk...!”
Suara benturan keras antara tangan dengan tangan, dan tangan dengan kaki yang mengandung tenaga dalam dahsyat, terdengar beberapa kali. Tendangan Darba berhasil dipatahkan Gumala dengan tangan kiri yang terpalang dari atas ke bawah.
Akibat benturan itu, baik Gumala maupun Darba sama-sama terhu¬yung. Gumala terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara Darba terhuyung satu langkah.
Gumala menggertakkan gigi. Begitu daya dorong yang membuatnya terhuyung habis, kembali diterjangnya Darba. Kedua tangan Gumala menyambar-¬nyambar ke berbagai bagian tubuh yang mematikan. Tapi, Darba bukanlah orang yang ilmunya setaraf Buaya Putih dan adik-adiknya.
Tingkat kepandaian pemuda baju coklat ini amat tinggi. Itulah sebabnya, walaupun serangan Gumala datang bertubi-tubi bagaikan hujan, Darba tidak mengalami kesulitan dalam menanggulanginya. Apalagi ketika dia mengeluarkan ilmu 'Tangan Pedang' yang menjadi andalannya. Gumala tampak berkali-kali berteriak kaget
Pertarungan antara kedua orang muda ini berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja, belasan jurus lebih berlalu. Meskipun demikian, belum nampak tanda-tanda yang akan terdesak.
Kelihatannya pertarungan masih berlangsung seimbang. Memang dalam hal tenaga dalam, Darba lebih kuat daripada Gumala. Tapi keunggulan pemuda baju coklat itu bisa diredam oleh tingginya ilmu meringankan tubuh milik Gumala. Itulah sebabnya, selama belasan jurus pertarungan masih berjalan seimbang.
Dalam hati Gumala mengakui kalau menghadapi pemuda berbaju coklat ini cukup berat baginya. Ilmu tangan kosong murid Ki Jatayu ini benar-benar membuatnya repot bukan main. Angin dari setiap gerakan tangan pemuda itu bisa membuat pakaiannya koyak-koyak
Darba mengerutkan alisnya. Ada perasaan heran menjalari hatinya. Mengapa murid Ki Julaga itu kelihatan begitu takut terkena angin serangan tangannya? Memang, angin itu dapat merobek kulit dan daging. Tapi tentu saja tidak berarti buat pemuda di hadapannya ini.
Gumala mempunyai tenaga dalam yang tinggi, sehingga angin serangan itu tak akan mampu melukai kulitnya. Paling tidak hanya akan mengoyak pakaian. Tapi, kenapa pemuda itu terlihat begitu khawatir?
Setelah tanpa hasil menerka-nerka, akhirnya Darba memutuskan untuk tidak memikirkannya. Biarlah pemuda itu sendiri yang kerepotan menghadapi angin serangan tangannya. Maka segera Darba meningkatkan serangannya.
Lewat jurus kedua puluh, Gumala mulai terdesak. Sebenarnya kalau saja Gumala tidak mempedulikan angin serangan yang mengenai pakaiannya, dia tak akan terdesak begitu.
Pemuda ini banyak melakukan gerakan untuk mengelakkan serangan yang sebenarnya tidak berbahaya. Jadi, dia tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Memang berkat 'kerajinannya' mengelakkan angin serangan itu, pakaiannya sampai saat ini masih tetap utuh. Hanya ada satu bagian yang robek memanjang pada bahu kanan atas.
"Haaat...!"
Tiba-tiba Gumala berteriak nyaring. Kemudian tubuhnya melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali di udara. Dan begitu kedua kakinya hinggap di tanah, tangannya telah menggenggam sebatang pedang.
“Singgg...! Singgg...!”
Baru saja kaki Gumala hinggap di tanah, terdengar desingan nyaring disusul berkelebatnya dua berkas sinar keperakan ke arahnya. Di belakang dua leret sinar itu tubuh Darba menerjang ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Rupanya begitu melihat lawannya melentingkan tubuh ke belakang, Darba yang cerdik segera saja tahu kalau Gumala hendak menggunakan jurus baru. Maka, tanpa ragu-ragu segera dicabut kedua buah kapaknya dan dilemparkan ke arah Gumala.
Tak cukup hanya sampai di situ, ia pun melompat menerjang di belakang kedua kapaknya. Gumala kaget sekali. Tiga buah serangan mendadak telah mengancamnya begitu kedua kakinya menjejak tanah. Dan ini di luar dugaannya sama sekali.
“Trang...! Trang...!”
Dua kali terdengar suara berdencing nyaring. Dua buah kapak itu pun terpental balik dan jatuh ke tanah. Sementara tangan Gumala yang menggenggam pedang pun bergetar hebat.
Memang betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam lemparan kapak itu. Namun sebelum Gumala dapat memperbaiki posisinya, serangan susulan dari Darba telah menyambar tiba.
“Bukkk!”
"Hekh..!"
Tubuh Gumala melintir. Pukulan sisi tangan Darba telak menghantamnya. Untunglah di saat terakhir masih sempat dielakkan bacokan sisi tangan itu, sehingga tidak mengenai dada, melainkan bahunya.
Putaran tubuh Gumala terhenti ketika menabrak pagar tembok. Tanpa ampun lagi, tubuh yang sedang sempoyongan itu jatuh terguling di tanah.
Belum juga pemuda berbaju hitam ini menyadari apa yang terjadi, sosok tubuh yang disangkanya sudah tewas tadi tiba-tiba bergerak. Tangannya yang menggenggam sabuk kulit buaya berwarna hitam itu melayang. Siapa lagi kalau bukan Buaya Hitam!
“Wut...! Prattt...!”
"Akh...!"
Gumala mengeluh ketika ujung cambuk berduri itu melecut pada bagian bawah dadanya. Kontan rasa panas menjalar di sekitar tempat yang terkena sabetan. Kepalanya pun terasa pusing. Sementara Buaya Hitam sehabis melecutkan sabuknya, mengeluh tertahan dan rubuh dengan napas putus. Baru sekarang ini dia benar-benar mati.
"Ha ha ha...! Sekarang tamatlah riwayatmu!"
Masih tertangkap oleh pendengaran Gumala, suara tawa penuh kemenangan dari Darba. Dicobanya untuk bangkit. Tapi rasa pusing yang menggayuti kepala menghambatnya. Gumala memejamkan matanya ketika dirasakan ada sambaran angin yang berkesiur ke arahnya. Dia hanya menunggu kematian!
Dapat dibayangkan, betapa kaget hati pemuda berbaju hitam itu ketika pukulan yang ditunggu-tunggunya tak juga sampai. Malah justru dirasakan tubuhnya diangkat sepasang tangan kokoh. Aneh sekali. Tapi, pikirannya yang masih bekerja, dapat merangkai kejadiannya. Bahkan samar-samar didengarnya teriakan-¬teriakan penuh kemarahan dari Darba.
"Mau ke mana kau, keparat!"
Memang, Gumala telah ditolong seseorang! Kemudian dirasakan hembusan angin keras meniup dari arah depan. Pertanda kalau orang yang menolongnya tengah membawanya kabur.
Dibuka matanya lebar-lebar mencoba melihat penolongnya. Samar-samar terlihat seraut wajah yang tak jelas. Tapi dari rambutnya yang berwarna putih keperakan dan panjang meriap, dapat dikenali siapa penolongnya ini.
"Kakang Arya...," bisik Gumala lemah sebelum akhirnya rubuh tak sadarkan diri.
Sang penolong yang memang tak lain adalah Arya Buana, membawa lari Gumala dengan kecepatan tinggi. Pandangan matanya yang tajam dapat melihat kalau kawannya itu terkena racun ganas. Kalau tidak lekas ditolong, bukan mustahil kalau pemuda teman seperjalanannya ini akan tewas.
Dewa Arak memang agak terlambat menolongnya. Karena tadi begitu dilihatnya Gumala mampu mendesak lawannya, pemuda ini masuk ke dalam gedung, mencari tahu barangkali guru pemuda berbaju coklat itu ada di dalam. Begitu keluar, dilihatnya Gumala dalam keadaan gawat. Buru-buru dia bergerak menolong dan membawanya kabur.
***
Arya menghentikan larinya ketika merasa yakin kalau Darba tidak mengejarnya lagi. Diturunkannya tubuh Gumala hati-hati di atas rumput, lalu diperhatikannya luka yang terdapat pada tubuh pemuda itu.
Sekali pandang saja Dewa Arak ini segera tahu, kalau luka pada bagian bawah dada itulah yang lebih berbahaya, karena mengandung racun ganas. Untungnya racun itu daya kerjanya lambat, sehingga belum menjalar ke mana-mana. Arya tidak mau membuang-buang waktu lagi. Cepat tangannya bergerak.
“Breeettt..!”
"Akh...!"
Arya Buana terpekik kaget! Sepasang matanya terbelalak lebar seolah tak percaya akan apa yang dilihatnya. Dibalik baju yang telah terobek lebar itu, pada bagian dada nampak terpampang dua buah bukit kembar yang mulus menantang.
Darah kelaki-lakian Arya Buana seketika bergolak. Jantungnya jadi semakin keras berdegup. Pemuda itu menelan ludah dengan perasaan tegang.
Ternyata kawannya yang disangka seorang pemuda ternyata wanita! Ditatapnya sekali lagi dua buah bukit kembar di hadapannya, untuk lebih meyakinkan penglihatannya. Benar tidak salah lagi! Itu adalah payudara wanita!
Perasaan penasaran membuat Arya memperhatikan wajah Gumala palsu. Dan sekarang jantungnya semakin berdebar tegang, ketika kini dapat melihat wajah itu lebih jelas lagi.
Wajah itu.... Mulut itu.... Bibir itu..., dan sepasang mata itu..., mengingatkannya pada seseorang. Seorang gadis berpakaian serba putih yang amat dekat di hatinya. Melati!
Melati! Jerit hati pemuda berambut putih keperakan ini ketika kini dikenalinya wajah itu. Benar! Wajah itu adalah milik Melati. Wajah yang selalu dirindukannya. Dan kini wajah itu berada dalam ancaman bahaya maut. Arya Buana kini dilanda kebimbangan. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Tentu saja sudah pasti mengobati Melati. Tapi, caranya.... Tidakkah gadis itu nanti akan bertambah marah padanya?
Beberapa saat lamanya terjadi perang batin dalam diri Arya. Antara mengobati gadis itu, dengan kemarahan yang sudah pasti bakal diterimanya. Karena jalan satu-satunya untuk mengeluarkan racun hanyalah dengan menyedot darah itu keluar. Menyedotnya dengan mulut!
Setelah lama dilanda kebimbangan, akhirnya Dewa Arak memutuskan untuk melakukannya. Biarlah! Marah pun tak mengapa. Yang penting gadis itu dapat selamat.
Kini walaupun dengan setengah hati, Arya mendekatkan mulutnya ke bagian bawah dua bukit kembar itu. Ditempelkan bibirnya dan disedotnya darah yang telah mengandung racun itu, kemudian diludahkan.
Demikian dilakukannya berkali-kali sampai akhirnya darah yang diludahkannya mulai memerah, tidak hitam seperti sebelumnya.
"Ohhh...!"
Terdengar keluhan dari mulut Melati, ketika Arya masih sibuk menyedot sisa racun yang masih bersemayam sampai diyakininya racun itu bersih sama sekali. Dan sudah diduga oleh Arya kalau Melati akan terkejut setengah mati. Gadis itu seketika memekik, lalu bergegas bangkit dengan wajah memerah bagai kepiting rebus.
"Manusia kurang ajar!" teriak Melati keras. Tangannya pun melayang.
“Plak...!”
Dengan deras dan keras telapak tangan gadis itu menampar pipi Arya. Begitu kerasnya sehingga nampak pada pipi pemuda itu tergambar telapak tangan berwarna merah.
"Tunggu sebentar, Melati! Akan kujelaskan...," ucap Arya gugup.
Tapi Gumala yang sebenarnya Melati itu sama sekali tidak mempedulikannya. Segera dia bangkit, lalu merapikan pakaiannya. Dan kembali diterjangnya pemuda itu.
“Bukkk!”
Dengan telak, tendangan itu menghantam Arya yang sama sekali tidak berusaha mengelak atau melawan. Untungnya Melati hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya ketika melihat pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak mengelak atau menangkis.
Meskipun begitu, tetap saja sekujur tubuh Arya yang terkena sasaran pukulan dan tendangan itu jadi matang biru. Tiba-tiba terdengar seruan tertahan keluar dari mulut Melati. Tubuhnya kemudian melesat dari situ, meninggalkan Arya.
"Melati! Tunggu...!" teriak pemuda berbaju ungu itu keras tanpa berusaha mengejar.
Tapi gadis itu sama sekali tidak mengacuhkan teriakan Arya. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak, la terus saja berlari, sehingga sesaat kemudian tubuhnya lenyap ditelan jalan.
"Melati..., ahhh Melati...," keluh Dewa Arak.
Sepasang matanya memandang kosong ke depan. Sudah diduga kalau peristiwa seperti ini akan terjadi. Dia sama sekali tidak menyalahkan Melati. Memang wajar kalau gadis itu bersikap demikian, karena tentu merasa malu.
Hanya satu hal yang disesali Arya, mengapa perjumpaannya dengan gadis yang telah mencuri sekeping hatinya itu selalu menimbulkan hal yang berakhir tidak menyenangkan.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas dalam-dalam. Diambilnya guci yang terikat di punggung, lalu diangkatnya ke atas mulutnya. Dan....
“Gluk... gluk... gluk..!”
Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki tenggorokan Arya. Sesaat kemudian kedua kaki pemuda ini pun goyah. Tapi ia tidak peduli. Dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan tugas yang tertunda, mengunjungi tempat kediaman pembimbingnya. Ingin dibuktikan, apakah ada kejadian tidak enak yang menimpa guru dan ibunya, seperti yang selalu muncul dalam mimpi-¬mimpinya.
***
"Tidak punya urusan denganku?! Lucu sekali! Belum lama ini kau telah menyelamatkan musuh besarku. Bahkan baru saja telah membunuh tiga orang anak buahku. Dan sekarang kau bilang tidak punya urusan denganku?! Lucu sekali!"
"Jadi, apa maumu sekarang?" tanya Gumala, bernada menantang.
"Sederhana saja...."
"Apa?"
"Membunuhmu!" tegas kata-kata Darba.
"Kau kira mudah membunuhku?" ejek Gumala sambil tersenyum sinis.
"Ha ha ha...!" Darba tertawa. "Dulu, guruku memang tidak menang melawan Ki Julaga, gurumu itu. Tapi sekarang? Kita buktikan siapa di antara mereka yang lebih hebat!"
"Dari mana kau tahu guruku?" tanya Gumala kaget.
"Ha ha ha..., mudah saja! Hanya ada tiga orang yang menguasai ilmu-ilmu Ki Gering Langit, selain si tua bangka itu. Dua orang lainnya adalah guruku yang bernama Ki Jatayu, dan Ki Julaga! Dan tak mungkin kalau kau murid si tua bangka itu. Jadi jelas kau adalah murid Ki Julaga! Hanya yang membuatku tidak habis mengerti, mengapa kau malah akrab dengan murid si tua bangka itu? Padahal orang tua itulah yang telah membuat gurumu sengsara!" jelas Darba.
Pemuda itu memang sejak tadi memperhatikan perkelahian Gumala, sehingga berhasil mengetahui dari siapa Gumala memperoleh ilmu itu.
"Bukan urusanmu!" bentak Gumala garang seraya melompat menerjang Darba.
Tahu kelihaian pemuda berbaju coklat itu, Gumala segera mengerahkan segenap kemampuannya. Tangan kanannya yang berbentuk cakar menyambar ke arah pelipis, sementara tangan kirinya dipalangkan di depan dada.
Melihat serangan itu, Darba hanya tertawa mengejek. Dengan sebuah gerakan sederhana, didoyongkan tubuhnya ke belakang seraya mengangkat tangan kirinya untuk menangkis serangan itu. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya menendang ke arah perut
“Plak! Dughk...!”
Suara benturan keras antara tangan dengan tangan, dan tangan dengan kaki yang mengandung tenaga dalam dahsyat, terdengar beberapa kali. Tendangan Darba berhasil dipatahkan Gumala dengan tangan kiri yang terpalang dari atas ke bawah.
Akibat benturan itu, baik Gumala maupun Darba sama-sama terhu¬yung. Gumala terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara Darba terhuyung satu langkah.
Gumala menggertakkan gigi. Begitu daya dorong yang membuatnya terhuyung habis, kembali diterjangnya Darba. Kedua tangan Gumala menyambar-¬nyambar ke berbagai bagian tubuh yang mematikan. Tapi, Darba bukanlah orang yang ilmunya setaraf Buaya Putih dan adik-adiknya.
Tingkat kepandaian pemuda baju coklat ini amat tinggi. Itulah sebabnya, walaupun serangan Gumala datang bertubi-tubi bagaikan hujan, Darba tidak mengalami kesulitan dalam menanggulanginya. Apalagi ketika dia mengeluarkan ilmu 'Tangan Pedang' yang menjadi andalannya. Gumala tampak berkali-kali berteriak kaget
Pertarungan antara kedua orang muda ini berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja, belasan jurus lebih berlalu. Meskipun demikian, belum nampak tanda-tanda yang akan terdesak.
Kelihatannya pertarungan masih berlangsung seimbang. Memang dalam hal tenaga dalam, Darba lebih kuat daripada Gumala. Tapi keunggulan pemuda baju coklat itu bisa diredam oleh tingginya ilmu meringankan tubuh milik Gumala. Itulah sebabnya, selama belasan jurus pertarungan masih berjalan seimbang.
Dalam hati Gumala mengakui kalau menghadapi pemuda berbaju coklat ini cukup berat baginya. Ilmu tangan kosong murid Ki Jatayu ini benar-benar membuatnya repot bukan main. Angin dari setiap gerakan tangan pemuda itu bisa membuat pakaiannya koyak-koyak
Darba mengerutkan alisnya. Ada perasaan heran menjalari hatinya. Mengapa murid Ki Julaga itu kelihatan begitu takut terkena angin serangan tangannya? Memang, angin itu dapat merobek kulit dan daging. Tapi tentu saja tidak berarti buat pemuda di hadapannya ini.
Gumala mempunyai tenaga dalam yang tinggi, sehingga angin serangan itu tak akan mampu melukai kulitnya. Paling tidak hanya akan mengoyak pakaian. Tapi, kenapa pemuda itu terlihat begitu khawatir?
Setelah tanpa hasil menerka-nerka, akhirnya Darba memutuskan untuk tidak memikirkannya. Biarlah pemuda itu sendiri yang kerepotan menghadapi angin serangan tangannya. Maka segera Darba meningkatkan serangannya.
Lewat jurus kedua puluh, Gumala mulai terdesak. Sebenarnya kalau saja Gumala tidak mempedulikan angin serangan yang mengenai pakaiannya, dia tak akan terdesak begitu.
Pemuda ini banyak melakukan gerakan untuk mengelakkan serangan yang sebenarnya tidak berbahaya. Jadi, dia tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Memang berkat 'kerajinannya' mengelakkan angin serangan itu, pakaiannya sampai saat ini masih tetap utuh. Hanya ada satu bagian yang robek memanjang pada bahu kanan atas.
"Haaat...!"
Tiba-tiba Gumala berteriak nyaring. Kemudian tubuhnya melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali di udara. Dan begitu kedua kakinya hinggap di tanah, tangannya telah menggenggam sebatang pedang.
“Singgg...! Singgg...!”
Baru saja kaki Gumala hinggap di tanah, terdengar desingan nyaring disusul berkelebatnya dua berkas sinar keperakan ke arahnya. Di belakang dua leret sinar itu tubuh Darba menerjang ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Rupanya begitu melihat lawannya melentingkan tubuh ke belakang, Darba yang cerdik segera saja tahu kalau Gumala hendak menggunakan jurus baru. Maka, tanpa ragu-ragu segera dicabut kedua buah kapaknya dan dilemparkan ke arah Gumala.
Tak cukup hanya sampai di situ, ia pun melompat menerjang di belakang kedua kapaknya. Gumala kaget sekali. Tiga buah serangan mendadak telah mengancamnya begitu kedua kakinya menjejak tanah. Dan ini di luar dugaannya sama sekali.
“Trang...! Trang...!”
Dua kali terdengar suara berdencing nyaring. Dua buah kapak itu pun terpental balik dan jatuh ke tanah. Sementara tangan Gumala yang menggenggam pedang pun bergetar hebat.
Memang betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam lemparan kapak itu. Namun sebelum Gumala dapat memperbaiki posisinya, serangan susulan dari Darba telah menyambar tiba.
“Bukkk!”
"Hekh..!"
Tubuh Gumala melintir. Pukulan sisi tangan Darba telak menghantamnya. Untunglah di saat terakhir masih sempat dielakkan bacokan sisi tangan itu, sehingga tidak mengenai dada, melainkan bahunya.
Putaran tubuh Gumala terhenti ketika menabrak pagar tembok. Tanpa ampun lagi, tubuh yang sedang sempoyongan itu jatuh terguling di tanah.
Belum juga pemuda berbaju hitam ini menyadari apa yang terjadi, sosok tubuh yang disangkanya sudah tewas tadi tiba-tiba bergerak. Tangannya yang menggenggam sabuk kulit buaya berwarna hitam itu melayang. Siapa lagi kalau bukan Buaya Hitam!
“Wut...! Prattt...!”
"Akh...!"
Gumala mengeluh ketika ujung cambuk berduri itu melecut pada bagian bawah dadanya. Kontan rasa panas menjalar di sekitar tempat yang terkena sabetan. Kepalanya pun terasa pusing. Sementara Buaya Hitam sehabis melecutkan sabuknya, mengeluh tertahan dan rubuh dengan napas putus. Baru sekarang ini dia benar-benar mati.
"Ha ha ha...! Sekarang tamatlah riwayatmu!"
Masih tertangkap oleh pendengaran Gumala, suara tawa penuh kemenangan dari Darba. Dicobanya untuk bangkit. Tapi rasa pusing yang menggayuti kepala menghambatnya. Gumala memejamkan matanya ketika dirasakan ada sambaran angin yang berkesiur ke arahnya. Dia hanya menunggu kematian!
Dapat dibayangkan, betapa kaget hati pemuda berbaju hitam itu ketika pukulan yang ditunggu-tunggunya tak juga sampai. Malah justru dirasakan tubuhnya diangkat sepasang tangan kokoh. Aneh sekali. Tapi, pikirannya yang masih bekerja, dapat merangkai kejadiannya. Bahkan samar-samar didengarnya teriakan-¬teriakan penuh kemarahan dari Darba.
"Mau ke mana kau, keparat!"
Memang, Gumala telah ditolong seseorang! Kemudian dirasakan hembusan angin keras meniup dari arah depan. Pertanda kalau orang yang menolongnya tengah membawanya kabur.
Dibuka matanya lebar-lebar mencoba melihat penolongnya. Samar-samar terlihat seraut wajah yang tak jelas. Tapi dari rambutnya yang berwarna putih keperakan dan panjang meriap, dapat dikenali siapa penolongnya ini.
"Kakang Arya...," bisik Gumala lemah sebelum akhirnya rubuh tak sadarkan diri.
Sang penolong yang memang tak lain adalah Arya Buana, membawa lari Gumala dengan kecepatan tinggi. Pandangan matanya yang tajam dapat melihat kalau kawannya itu terkena racun ganas. Kalau tidak lekas ditolong, bukan mustahil kalau pemuda teman seperjalanannya ini akan tewas.
Dewa Arak memang agak terlambat menolongnya. Karena tadi begitu dilihatnya Gumala mampu mendesak lawannya, pemuda ini masuk ke dalam gedung, mencari tahu barangkali guru pemuda berbaju coklat itu ada di dalam. Begitu keluar, dilihatnya Gumala dalam keadaan gawat. Buru-buru dia bergerak menolong dan membawanya kabur.
***
Arya menghentikan larinya ketika merasa yakin kalau Darba tidak mengejarnya lagi. Diturunkannya tubuh Gumala hati-hati di atas rumput, lalu diperhatikannya luka yang terdapat pada tubuh pemuda itu.
Sekali pandang saja Dewa Arak ini segera tahu, kalau luka pada bagian bawah dada itulah yang lebih berbahaya, karena mengandung racun ganas. Untungnya racun itu daya kerjanya lambat, sehingga belum menjalar ke mana-mana. Arya tidak mau membuang-buang waktu lagi. Cepat tangannya bergerak.
“Breeettt..!”
"Akh...!"
Arya Buana terpekik kaget! Sepasang matanya terbelalak lebar seolah tak percaya akan apa yang dilihatnya. Dibalik baju yang telah terobek lebar itu, pada bagian dada nampak terpampang dua buah bukit kembar yang mulus menantang.
Darah kelaki-lakian Arya Buana seketika bergolak. Jantungnya jadi semakin keras berdegup. Pemuda itu menelan ludah dengan perasaan tegang.
Ternyata kawannya yang disangka seorang pemuda ternyata wanita! Ditatapnya sekali lagi dua buah bukit kembar di hadapannya, untuk lebih meyakinkan penglihatannya. Benar tidak salah lagi! Itu adalah payudara wanita!
Perasaan penasaran membuat Arya memperhatikan wajah Gumala palsu. Dan sekarang jantungnya semakin berdebar tegang, ketika kini dapat melihat wajah itu lebih jelas lagi.
Wajah itu.... Mulut itu.... Bibir itu..., dan sepasang mata itu..., mengingatkannya pada seseorang. Seorang gadis berpakaian serba putih yang amat dekat di hatinya. Melati!
Melati! Jerit hati pemuda berambut putih keperakan ini ketika kini dikenalinya wajah itu. Benar! Wajah itu adalah milik Melati. Wajah yang selalu dirindukannya. Dan kini wajah itu berada dalam ancaman bahaya maut. Arya Buana kini dilanda kebimbangan. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Tentu saja sudah pasti mengobati Melati. Tapi, caranya.... Tidakkah gadis itu nanti akan bertambah marah padanya?
Beberapa saat lamanya terjadi perang batin dalam diri Arya. Antara mengobati gadis itu, dengan kemarahan yang sudah pasti bakal diterimanya. Karena jalan satu-satunya untuk mengeluarkan racun hanyalah dengan menyedot darah itu keluar. Menyedotnya dengan mulut!
Setelah lama dilanda kebimbangan, akhirnya Dewa Arak memutuskan untuk melakukannya. Biarlah! Marah pun tak mengapa. Yang penting gadis itu dapat selamat.
Kini walaupun dengan setengah hati, Arya mendekatkan mulutnya ke bagian bawah dua bukit kembar itu. Ditempelkan bibirnya dan disedotnya darah yang telah mengandung racun itu, kemudian diludahkan.
Demikian dilakukannya berkali-kali sampai akhirnya darah yang diludahkannya mulai memerah, tidak hitam seperti sebelumnya.
"Ohhh...!"
Terdengar keluhan dari mulut Melati, ketika Arya masih sibuk menyedot sisa racun yang masih bersemayam sampai diyakininya racun itu bersih sama sekali. Dan sudah diduga oleh Arya kalau Melati akan terkejut setengah mati. Gadis itu seketika memekik, lalu bergegas bangkit dengan wajah memerah bagai kepiting rebus.
"Manusia kurang ajar!" teriak Melati keras. Tangannya pun melayang.
“Plak...!”
Dengan deras dan keras telapak tangan gadis itu menampar pipi Arya. Begitu kerasnya sehingga nampak pada pipi pemuda itu tergambar telapak tangan berwarna merah.
"Tunggu sebentar, Melati! Akan kujelaskan...," ucap Arya gugup.
Tapi Gumala yang sebenarnya Melati itu sama sekali tidak mempedulikannya. Segera dia bangkit, lalu merapikan pakaiannya. Dan kembali diterjangnya pemuda itu.
“Bukkk!”
Dengan telak, tendangan itu menghantam Arya yang sama sekali tidak berusaha mengelak atau melawan. Untungnya Melati hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya ketika melihat pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak mengelak atau menangkis.
Meskipun begitu, tetap saja sekujur tubuh Arya yang terkena sasaran pukulan dan tendangan itu jadi matang biru. Tiba-tiba terdengar seruan tertahan keluar dari mulut Melati. Tubuhnya kemudian melesat dari situ, meninggalkan Arya.
"Melati! Tunggu...!" teriak pemuda berbaju ungu itu keras tanpa berusaha mengejar.
Tapi gadis itu sama sekali tidak mengacuhkan teriakan Arya. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak, la terus saja berlari, sehingga sesaat kemudian tubuhnya lenyap ditelan jalan.
"Melati..., ahhh Melati...," keluh Dewa Arak.
Sepasang matanya memandang kosong ke depan. Sudah diduga kalau peristiwa seperti ini akan terjadi. Dia sama sekali tidak menyalahkan Melati. Memang wajar kalau gadis itu bersikap demikian, karena tentu merasa malu.
Hanya satu hal yang disesali Arya, mengapa perjumpaannya dengan gadis yang telah mencuri sekeping hatinya itu selalu menimbulkan hal yang berakhir tidak menyenangkan.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas dalam-dalam. Diambilnya guci yang terikat di punggung, lalu diangkatnya ke atas mulutnya. Dan....
“Gluk... gluk... gluk..!”
Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki tenggorokan Arya. Sesaat kemudian kedua kaki pemuda ini pun goyah. Tapi ia tidak peduli. Dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan tugas yang tertunda, mengunjungi tempat kediaman pembimbingnya. Ingin dibuktikan, apakah ada kejadian tidak enak yang menimpa guru dan ibunya, seperti yang selalu muncul dalam mimpi-¬mimpinya.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment