Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki tenggorokannya. Tubuh pemuda itu sebentar kemudian sempoyongan. Bersamaan dengan itu, serangan yang dilancarkan Dewi Bulan pun meluncur tiba.
Si nenek sudah bersorak dalam hati. Ia yakin betul kalau serangannya kali ini akan menemui sasaran. Sudah terbayang di benaknya bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya ini, akan jatuh terkapar.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Dewi Bulan, ketika serangan yang sudah dipastikan akan mengenai sasaran itu tahu-tahu hanya menyambar tempat kosong. Tubuh pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari hadapannya. Yang diketahui, sebelum serangan itu tiba pemuda berambut putih keperakan itu telah bergerak dengan langkah kaki terhuyung seperti orang yang akan jatuh.
Selagi nenek itu kebingungan mencari lawannya, dirasakan angin dingin berhembus di belakangnya. Cepat dilempar tubuhnya ke depan dan bergulingan menjauh, mendekati tongkatnya yang tertancap di tanah.
“Tappp!”
Disambarnya tongkat bulan sabitnya, dan langsung diputar-putar seperti sebuah tameng yang akan melindungi tubuhnya.
“Wuk... wuk... wuk...!”
Angin menderu-deru keras ketika nenek itu memutar-mutarkan tongkatnya. Tapi baru saja Dewi Bulan akan menerjang Arya, terdengar lengkingan tinggi di kejauhan.
Sepertinya suara itu dikeluarkan dari mulut yang memiliki tenaga dalam tinggi. Seketika wajah perempuan tua itu berubah. Tongkat bulan sabitnya yang sudah diputar-putar, dan siap diarahkan ke tubuh Arya, dihentikan. Matanya tajam menatap wajah pemuda berambut putih keperakan di depannya.
"Kali ini kau mujur, bocah! Tapi lain kali jangan harap akan semujur ini!"
Belum juga gema suaranya hilang, nenek itu sudah melesat cepat dari situ. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan dan semak-semak yang terdapat di kanan kiri jalan.
Sementara itu Dewa Arak menggeleng¬-gelengkan kepala. Diam-diam hatinya menyesal karena telah membuat bibit permusuhan dengan tokoh selihai nenek tadi. Seorang lawan yang cukup tangguh.
Tiba-tiba Arya teringat Gumala yang tadi dltinggalkannya. Kawan barunya yang masih menjadi teka-teki itu ternyata memiliki kepandaian yang jauh di atas dugaannya semula. Kepandaian Gumala ternyata sangat tinggi.
Kalau tidak, mana mungkin mampu menyelamatkan dirinya dari pemuda berbaju coklat yang memiliki kepandaian luar biasa itu? Dengan benak masih dipenuhi tanda tanya, Arya melesat dari situ. Dia menyusul Gumala, menuju rumah Kepala Desa Jipang.
***
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, dalam waktu sebentar saja Dewa Arak telah tiba di simpang tiga. Dari situ, tampaklah Gumala tengah bertarung melawan belasan orang kasar yang mengeroyoknya.
Beberapa sosok tubuh nampak bergeletakan di tanah. Rupanya, sudah cukup lama juga pemuda tampan itu bertarung.
Mulanya Dewa Arak ingin membantu Gumala. Tapi ketika melihat ada bayangan tubuh pemuda berbaju coklat di atas atap, diurungkan niatnya. Secepat kilat Arya Buana melesat ke atas, bersembunyi di sebuah cabang pohon. Dia mengintai gerak-gerik pemuda itu sambil memperhatikan keadaan Gumala.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Serentak belasan orang yang tengah mengeroyok Gumala berlompatan mundur. Sehingga yang tinggal hanya pemuda tampan itu sendiri.
Berbareng habisnya gema teriakan itu, dari dalam pintu gerbang muncul tiga sosok tubuh kasar, berpakaian dan berdandan serupa. Mereka berpakaian rompi dari kulit buaya.
Gumala memperhatikan mereka sejenak. Ia tahu kalau ketiga orang itu adalah pemimpin penjahat yang telah menguasai desa ini. Wajah maupun dandanan mereka mirip satu sama lain. Yang membedakannya hanyalah warna ikat kepalanya yang mempunyai warna berbeda. Hitam, totol¬-totol, dan putih.
"Inikah orang yang telah melukai teman¬-teman kalian?" tanya seseorang berikat kepala putih kepada anak buahnya yang telah mengurung Gumala. Laki-laki itu berjuluk Buaya Putih.
"Benar, Kang," sahut mereka.
"Hm...," si ikat kepala putih mengangguk-¬angguk.
Ditatap pemuda di hadapannya tajam¬-tajam. Sepasang matanya yang besar mengamati Gumala dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Sementara orang yang berikat kepala totol-¬totol dan hitam yang sebenarnya masing-masing berjuluk Buaya Belang dan Buaya Hitam, hanya tertawa-tawa saja melihat tingkah kakaknya.
Baru saja Buaya Putih melangkah mendekat, Gumala telah melompat menerjang. Melihat sikap lawan yang terlalu memandang rendah dirinya, membuat kemarahan pemuda tampan itu bangkit. Dalam kobaran hawa amarah yang meluap, Gumala menyerang tanpa sungkan¬-sungkan lagi.
"Ahhh...!"
Buaya Putih memekik kaget. Kecepatan gerak pemuda yang mirip wanita ini, benar-benar mengejutkannya. Sepasang matanya hanya dapat menangkap sekelebatan bayangan hitam yang menyambar deras ke arah kepalanya.
Angin bercicitan nyaring mengiringi tibanya serangan itu. Untung-untungan laki-laki berjuluk Buaya Putih itu membanting tubuhnya ke tanah dan langsung bergulingan menjauh dari arena.
Tapi Gumala yang tengah dilanda luapan amarah itu tidak akan melepaskan lawannya. Tekadnya sudah bulat untuk melenyapkan Buaya Putih yang terlalu memandang rendah dirinya.
Sementara itu keringat dingin mengucur deras dari sekujur tubuh Buaya Putih ketika merasa serangan bayangan hitam yang terus mengikuti ke mana tubuhnya menghindar. Perasaan panik langsung menghinggapinya. Tubuhnya terus bergulingan, berusaha menyelamatkan diri.
Buaya Belang dan Buaya Hitam tentu saja menyadari bahaya maut yang mengancam kakaknya. Sebagai tokoh-tokoh yang telah mempunyai pengalaman luas dalam dunia persilatan, segera saja kedua orang ini sadar kalau lawan yang dikira empuk itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Bahkan berada jauh di atas kepandaian Buaya Putih.
Maka, tanpa sungkan-sungkan lagi Buaya Hitam dan Buaya Belang mencabut senjata masing-masing, yang terbuat dari kulit buaya. Ujung-ujung sabuk itu berduri-duri. Dan tentu saja sebagai orang yang berwatak kejam, pada duri-duri itu juga dilumuri racun-racun yang mematikan.
“Ctar! Ctar!”
Suara nyaring memekakkan telinga terdengar ketika kedua orang itu melecutkan sabuk yang panjangnya lebih dari setengah tombak. Dan seperti juga ikat kepala, warna sabuk kedua orang ini pun sesuai julukannya.
“Wut..! Wut...!”
Kedua buah sabuk itu menyambar-¬nyambar ke arah pelipis dan ubun-ubun Gumala yang tengah memburu tubuh Buaya Putih.
Pemuda tampan mirip wanita ini terpaksa membatalkan desakannya terhadap Buaya Putih. Ditarik kepalanya ke belakang, sehingga kedua serangan sabuk itu menyambar tempat kosong.
Seketika dikirimkan serangan balasan berupa sapuan kaki, untuk menahan laju desakan lawan. Harapan Gumala terpenuhi, karena memang kedua orang itu melompat ke belakang. Maka kesempatan yang sebentar ini, dipergunakan Gumala untuk memperbaiki posisinya.
Begitu terbebas dari desakan Gumala, Buaya Putih segera melentingkan tubuhnya seraya bersalto sekali di udara. Manis sekali kakinya hinggap di tanah. Namun demikian wajahnya pucat seperti kapas. Hampir saja nyawanya melayang!
Melihat kenyataan ini, Buaya Putih tidak akan main-main lagi. Maka segera diloloskan sabuk kulit buaya berwarna putih yang melilit pinggangnya.
“Ctar!”
Dilecutkannya sabuk itu sekali ke udara. Kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri kedua adiknya untuk bergabung.
Gumala kini tidak bersikap ceroboh. Pemuda ini tahu kalau ujung sabuk lawan mengandung racun jahat. Sempat tercium olehnya bau amis memuakkan ketika cambuk itu menyambar-nyambar tadi.
"Haaat...!"
Buaya Putih mendahului menyerang. Sabuk di tangannya melecut di udara sebelum menyambar deras ke arah ubun-ubun Gumala.
"Hiyaaa...!"
Buaya Hitam pun tak ketinggalan. Sabuknya mematuk-matuk ganas ke arah dada.
"Hiaaat...!" teriak Buaya Belang tak mau kalah. Sabuk buriknya menyapu ke arah kedua lutut.
Tiga buah serangan secara bersamaan datang, mengancam tubuh Gumala. Suatu kerja sama yang teratur baik. Memang cukup berbahaya serangan ini. Apalagi senjata mereka lemas seperti sabuk kulit. Arah sasaran yang dituju tentu dapat berubah-ubah dalam seketika. Hal ini jelas akan menyulitkan lawan yang diserang.
Tapi yang diserang kali ini adalah Gumala, yang memiliki kepandaian luar biasa. Terbukti, pemuda tampan ini sanggup menghadapi Darba! Gerakannya lincah laksana seekor belut, tubuhnya menyelinap di antara hujan serangan sabuk.
Namun demikian, Gumala tampak kerepotan juga. Kali ini serangan-serangan sabuk itu benar-benar berbahaya. Rupanya dengan maju bertiga, mereka memiliki tambahan tenaga secara aneh, dan terus mendesak Gumala.
Setiap serangan Gumala kini selalu dapat ditahan. Sebaliknya pemuda ini agak repot juga menghadapi setiap serangan balasan lawannya. Untunglah berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang berada amat jauh di atas lawan-¬lawannya, sampai saat ini dia masih mampu menyelamatkan diri dari setiap serangan lawan.
Belasan jurus telah berlalu. Dan Gumala belum juga mampu mendesak lawannya. Hal ini membuat pemuda ini penasaran bukan main. Dia tahu betul kalau tingkat kepandaian ketiga orang lawannya ini berada jauh di bawahnya. Baik dalam hal tenaga dalam, maupun ilmu meringankan tubuh. Tapi, kenapa setelah maju bertiga mereka mampu membuatnya kerepotan?
Otak cerdas pemuda berbaju hitam ini segera saja dapat menebak apa penyebabnya. Pasti karena mereka menyerang secara teratur. Saling kerja sama, saling bantu, dan saling dukung.
Jadi, seolah-olah mereka terdiri dari satu pikiran saja. Gumala yakin kalau saja mereka mengeroyok secara tak teratur, jangankan hanya tiga orang, biar ditambah dua kali lipat pun mampu mengalahkan tanpa mengalami kerepotan seperti ini.
Jadi rupanya karena keteraturan dalam penyerangan inilah yang menyebabkan mereka begitu tangguh. Kalau saja Gumala bisa membuat mereka kurang menjadi satu saja, pasti kehebatan itu akan hancur.
Mendapat pikiran demikian, Gumala mulai menelaah setiap serangannya tadi. Ditemukan kalau tadi penyerangannya berpindah-pindah. Pertama menyerang Buaya Putih, lalu mengancam Buaya Hitam. Di lain saat, mencecar Buaya Belang. Tekadnya sekarang adalah mengarahkan serangan pada satu orang saja.
"Haaat..!"
Kini Gumala mengarahkan serangannya pada Buaya Putih yang memang sejak tadi diincarnya. Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, Buaya Hitam dan Buaya Belang bergegas datang menolongnya, menyampoki serangan itu bersama-sama. Tapi kali ini tidak seperti yang sudah-¬sudah. Gumala kini tidak mempedulikan adanya bantuan itu. Terus saja dicecarnya Buaya Putih.
Melihat hal ini, Buaya Hitam dan Buaya Belang pontang-¬panting mengikuti setiap serangan Gumala. Mereka berusaha untuk terus berada di sisi Buaya Putih. Dalam beberapa gebrakan selanjutnya, kekompakan kelompok itu pun membuyar.
Namun demikian ketiga orang itu berupaya untuk menyatukan posisi lagi. Hanya saja mereka tetap tidak mampu karena Buaya Putih memang tak mampu melakukannya. Cecaran demi cecaran Gumala benar-benar merepotkannya. Sampai pada suatu saat...
“Crokkk!”
"Akh...!"
Buaya Putih memekik tertahan. Tangan Gumala yang berbentuk cakar telah menghantam telak pelipisnya. Pimpinan tiga buaya ini terhuyung sesaat. Setelah itu tubuhnya pun ambruk di tanah, diam selama-lamanya. Mati.
"Kakang...!" jerit Buaya Hitam.
"Grrrh...! Kubunuh kau!" geram Buaya Belang.
Kemarahan dua orang itu kini semakin memuncak melihat kematian Buaya Putih. Seketika keduanya menerjang Gumala. Cambuk di tangan kedua orang ini melecut nyaring diudara.
Gumala hanya tersenyum mengejek. Tanpa kerja sama yang teratur seperti halnya tadi, tidak sulit baginya untuk merubuhkan mereka. Dibiarkan saja tubuh lawannya mendekat. Dan ketika jarak keduanya telah dekat, tiba-tiba dihentakkan kedua tangannya ke depan.
“Wuuuttt...!”
Angin yang amat kuat berhembus keras ke depan akibat hentakan tangan Gumala.
“Bressss...!”
Tubuh Buaya Belang dan Buaya Hitam yang tengah berada di udara, terlempar deras ke belakang bagai dilanda angin ribut sejauh beberapa tombak ke belakang. Luncuran kedua tubuh itu baru terhenti ketika menghantam pagar tembok hingga rubuh.
Dan memang, Buaya Belang dan Buaya Hitam tidak bangun-bangun lagi. Karuan saja kematian ketiga orang pemimpinnya membuat orang-orang kasar yang tadi mengurung Gumala menjadi gentar.
"Kini giliran kalian," tegas Gumala seraya menatap mereka satu persatu.
Tentu saja hal itu membuat orang-orang kasar itu tanpa sadar melangkah mundur setindak. Tapi tiba-tiba Gumala menoleh ke samping kiri disertai sikap waspada. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara berkerisik pelan. Ternyata di samping kirinya dalam jarak sekitar tiga tombak, telah berdiri seorang pemuda tampan berbaju coklat. Pada kedua pinggangnya terdapat sebuah kapak.
"Kaget?" ucap pemuda yang ternyata adalah Darba. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek. "Pantang bagiku untuk membokong lawan. Maka sengaja kuremas-remas daun kering agar kau mengetahui kehadiranku!"
Si nenek sudah bersorak dalam hati. Ia yakin betul kalau serangannya kali ini akan menemui sasaran. Sudah terbayang di benaknya bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya ini, akan jatuh terkapar.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Dewi Bulan, ketika serangan yang sudah dipastikan akan mengenai sasaran itu tahu-tahu hanya menyambar tempat kosong. Tubuh pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari hadapannya. Yang diketahui, sebelum serangan itu tiba pemuda berambut putih keperakan itu telah bergerak dengan langkah kaki terhuyung seperti orang yang akan jatuh.
Selagi nenek itu kebingungan mencari lawannya, dirasakan angin dingin berhembus di belakangnya. Cepat dilempar tubuhnya ke depan dan bergulingan menjauh, mendekati tongkatnya yang tertancap di tanah.
“Tappp!”
Disambarnya tongkat bulan sabitnya, dan langsung diputar-putar seperti sebuah tameng yang akan melindungi tubuhnya.
“Wuk... wuk... wuk...!”
Angin menderu-deru keras ketika nenek itu memutar-mutarkan tongkatnya. Tapi baru saja Dewi Bulan akan menerjang Arya, terdengar lengkingan tinggi di kejauhan.
Sepertinya suara itu dikeluarkan dari mulut yang memiliki tenaga dalam tinggi. Seketika wajah perempuan tua itu berubah. Tongkat bulan sabitnya yang sudah diputar-putar, dan siap diarahkan ke tubuh Arya, dihentikan. Matanya tajam menatap wajah pemuda berambut putih keperakan di depannya.
"Kali ini kau mujur, bocah! Tapi lain kali jangan harap akan semujur ini!"
Belum juga gema suaranya hilang, nenek itu sudah melesat cepat dari situ. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan dan semak-semak yang terdapat di kanan kiri jalan.
Sementara itu Dewa Arak menggeleng¬-gelengkan kepala. Diam-diam hatinya menyesal karena telah membuat bibit permusuhan dengan tokoh selihai nenek tadi. Seorang lawan yang cukup tangguh.
Tiba-tiba Arya teringat Gumala yang tadi dltinggalkannya. Kawan barunya yang masih menjadi teka-teki itu ternyata memiliki kepandaian yang jauh di atas dugaannya semula. Kepandaian Gumala ternyata sangat tinggi.
Kalau tidak, mana mungkin mampu menyelamatkan dirinya dari pemuda berbaju coklat yang memiliki kepandaian luar biasa itu? Dengan benak masih dipenuhi tanda tanya, Arya melesat dari situ. Dia menyusul Gumala, menuju rumah Kepala Desa Jipang.
***
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, dalam waktu sebentar saja Dewa Arak telah tiba di simpang tiga. Dari situ, tampaklah Gumala tengah bertarung melawan belasan orang kasar yang mengeroyoknya.
Beberapa sosok tubuh nampak bergeletakan di tanah. Rupanya, sudah cukup lama juga pemuda tampan itu bertarung.
Mulanya Dewa Arak ingin membantu Gumala. Tapi ketika melihat ada bayangan tubuh pemuda berbaju coklat di atas atap, diurungkan niatnya. Secepat kilat Arya Buana melesat ke atas, bersembunyi di sebuah cabang pohon. Dia mengintai gerak-gerik pemuda itu sambil memperhatikan keadaan Gumala.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Serentak belasan orang yang tengah mengeroyok Gumala berlompatan mundur. Sehingga yang tinggal hanya pemuda tampan itu sendiri.
Berbareng habisnya gema teriakan itu, dari dalam pintu gerbang muncul tiga sosok tubuh kasar, berpakaian dan berdandan serupa. Mereka berpakaian rompi dari kulit buaya.
Gumala memperhatikan mereka sejenak. Ia tahu kalau ketiga orang itu adalah pemimpin penjahat yang telah menguasai desa ini. Wajah maupun dandanan mereka mirip satu sama lain. Yang membedakannya hanyalah warna ikat kepalanya yang mempunyai warna berbeda. Hitam, totol¬-totol, dan putih.
"Inikah orang yang telah melukai teman¬-teman kalian?" tanya seseorang berikat kepala putih kepada anak buahnya yang telah mengurung Gumala. Laki-laki itu berjuluk Buaya Putih.
"Benar, Kang," sahut mereka.
"Hm...," si ikat kepala putih mengangguk-¬angguk.
Ditatap pemuda di hadapannya tajam¬-tajam. Sepasang matanya yang besar mengamati Gumala dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Sementara orang yang berikat kepala totol-¬totol dan hitam yang sebenarnya masing-masing berjuluk Buaya Belang dan Buaya Hitam, hanya tertawa-tawa saja melihat tingkah kakaknya.
Baru saja Buaya Putih melangkah mendekat, Gumala telah melompat menerjang. Melihat sikap lawan yang terlalu memandang rendah dirinya, membuat kemarahan pemuda tampan itu bangkit. Dalam kobaran hawa amarah yang meluap, Gumala menyerang tanpa sungkan¬-sungkan lagi.
"Ahhh...!"
Buaya Putih memekik kaget. Kecepatan gerak pemuda yang mirip wanita ini, benar-benar mengejutkannya. Sepasang matanya hanya dapat menangkap sekelebatan bayangan hitam yang menyambar deras ke arah kepalanya.
Angin bercicitan nyaring mengiringi tibanya serangan itu. Untung-untungan laki-laki berjuluk Buaya Putih itu membanting tubuhnya ke tanah dan langsung bergulingan menjauh dari arena.
Tapi Gumala yang tengah dilanda luapan amarah itu tidak akan melepaskan lawannya. Tekadnya sudah bulat untuk melenyapkan Buaya Putih yang terlalu memandang rendah dirinya.
Sementara itu keringat dingin mengucur deras dari sekujur tubuh Buaya Putih ketika merasa serangan bayangan hitam yang terus mengikuti ke mana tubuhnya menghindar. Perasaan panik langsung menghinggapinya. Tubuhnya terus bergulingan, berusaha menyelamatkan diri.
Buaya Belang dan Buaya Hitam tentu saja menyadari bahaya maut yang mengancam kakaknya. Sebagai tokoh-tokoh yang telah mempunyai pengalaman luas dalam dunia persilatan, segera saja kedua orang ini sadar kalau lawan yang dikira empuk itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Bahkan berada jauh di atas kepandaian Buaya Putih.
Maka, tanpa sungkan-sungkan lagi Buaya Hitam dan Buaya Belang mencabut senjata masing-masing, yang terbuat dari kulit buaya. Ujung-ujung sabuk itu berduri-duri. Dan tentu saja sebagai orang yang berwatak kejam, pada duri-duri itu juga dilumuri racun-racun yang mematikan.
“Ctar! Ctar!”
Suara nyaring memekakkan telinga terdengar ketika kedua orang itu melecutkan sabuk yang panjangnya lebih dari setengah tombak. Dan seperti juga ikat kepala, warna sabuk kedua orang ini pun sesuai julukannya.
“Wut..! Wut...!”
Kedua buah sabuk itu menyambar-¬nyambar ke arah pelipis dan ubun-ubun Gumala yang tengah memburu tubuh Buaya Putih.
Pemuda tampan mirip wanita ini terpaksa membatalkan desakannya terhadap Buaya Putih. Ditarik kepalanya ke belakang, sehingga kedua serangan sabuk itu menyambar tempat kosong.
Seketika dikirimkan serangan balasan berupa sapuan kaki, untuk menahan laju desakan lawan. Harapan Gumala terpenuhi, karena memang kedua orang itu melompat ke belakang. Maka kesempatan yang sebentar ini, dipergunakan Gumala untuk memperbaiki posisinya.
Begitu terbebas dari desakan Gumala, Buaya Putih segera melentingkan tubuhnya seraya bersalto sekali di udara. Manis sekali kakinya hinggap di tanah. Namun demikian wajahnya pucat seperti kapas. Hampir saja nyawanya melayang!
Melihat kenyataan ini, Buaya Putih tidak akan main-main lagi. Maka segera diloloskan sabuk kulit buaya berwarna putih yang melilit pinggangnya.
“Ctar!”
Dilecutkannya sabuk itu sekali ke udara. Kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri kedua adiknya untuk bergabung.
Gumala kini tidak bersikap ceroboh. Pemuda ini tahu kalau ujung sabuk lawan mengandung racun jahat. Sempat tercium olehnya bau amis memuakkan ketika cambuk itu menyambar-nyambar tadi.
"Haaat...!"
Buaya Putih mendahului menyerang. Sabuk di tangannya melecut di udara sebelum menyambar deras ke arah ubun-ubun Gumala.
"Hiyaaa...!"
Buaya Hitam pun tak ketinggalan. Sabuknya mematuk-matuk ganas ke arah dada.
"Hiaaat...!" teriak Buaya Belang tak mau kalah. Sabuk buriknya menyapu ke arah kedua lutut.
Tiga buah serangan secara bersamaan datang, mengancam tubuh Gumala. Suatu kerja sama yang teratur baik. Memang cukup berbahaya serangan ini. Apalagi senjata mereka lemas seperti sabuk kulit. Arah sasaran yang dituju tentu dapat berubah-ubah dalam seketika. Hal ini jelas akan menyulitkan lawan yang diserang.
Tapi yang diserang kali ini adalah Gumala, yang memiliki kepandaian luar biasa. Terbukti, pemuda tampan ini sanggup menghadapi Darba! Gerakannya lincah laksana seekor belut, tubuhnya menyelinap di antara hujan serangan sabuk.
Namun demikian, Gumala tampak kerepotan juga. Kali ini serangan-serangan sabuk itu benar-benar berbahaya. Rupanya dengan maju bertiga, mereka memiliki tambahan tenaga secara aneh, dan terus mendesak Gumala.
Setiap serangan Gumala kini selalu dapat ditahan. Sebaliknya pemuda ini agak repot juga menghadapi setiap serangan balasan lawannya. Untunglah berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang berada amat jauh di atas lawan-¬lawannya, sampai saat ini dia masih mampu menyelamatkan diri dari setiap serangan lawan.
Belasan jurus telah berlalu. Dan Gumala belum juga mampu mendesak lawannya. Hal ini membuat pemuda ini penasaran bukan main. Dia tahu betul kalau tingkat kepandaian ketiga orang lawannya ini berada jauh di bawahnya. Baik dalam hal tenaga dalam, maupun ilmu meringankan tubuh. Tapi, kenapa setelah maju bertiga mereka mampu membuatnya kerepotan?
Otak cerdas pemuda berbaju hitam ini segera saja dapat menebak apa penyebabnya. Pasti karena mereka menyerang secara teratur. Saling kerja sama, saling bantu, dan saling dukung.
Jadi, seolah-olah mereka terdiri dari satu pikiran saja. Gumala yakin kalau saja mereka mengeroyok secara tak teratur, jangankan hanya tiga orang, biar ditambah dua kali lipat pun mampu mengalahkan tanpa mengalami kerepotan seperti ini.
Jadi rupanya karena keteraturan dalam penyerangan inilah yang menyebabkan mereka begitu tangguh. Kalau saja Gumala bisa membuat mereka kurang menjadi satu saja, pasti kehebatan itu akan hancur.
Mendapat pikiran demikian, Gumala mulai menelaah setiap serangannya tadi. Ditemukan kalau tadi penyerangannya berpindah-pindah. Pertama menyerang Buaya Putih, lalu mengancam Buaya Hitam. Di lain saat, mencecar Buaya Belang. Tekadnya sekarang adalah mengarahkan serangan pada satu orang saja.
"Haaat..!"
Kini Gumala mengarahkan serangannya pada Buaya Putih yang memang sejak tadi diincarnya. Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, Buaya Hitam dan Buaya Belang bergegas datang menolongnya, menyampoki serangan itu bersama-sama. Tapi kali ini tidak seperti yang sudah-¬sudah. Gumala kini tidak mempedulikan adanya bantuan itu. Terus saja dicecarnya Buaya Putih.
Melihat hal ini, Buaya Hitam dan Buaya Belang pontang-¬panting mengikuti setiap serangan Gumala. Mereka berusaha untuk terus berada di sisi Buaya Putih. Dalam beberapa gebrakan selanjutnya, kekompakan kelompok itu pun membuyar.
Namun demikian ketiga orang itu berupaya untuk menyatukan posisi lagi. Hanya saja mereka tetap tidak mampu karena Buaya Putih memang tak mampu melakukannya. Cecaran demi cecaran Gumala benar-benar merepotkannya. Sampai pada suatu saat...
“Crokkk!”
"Akh...!"
Buaya Putih memekik tertahan. Tangan Gumala yang berbentuk cakar telah menghantam telak pelipisnya. Pimpinan tiga buaya ini terhuyung sesaat. Setelah itu tubuhnya pun ambruk di tanah, diam selama-lamanya. Mati.
"Kakang...!" jerit Buaya Hitam.
"Grrrh...! Kubunuh kau!" geram Buaya Belang.
Kemarahan dua orang itu kini semakin memuncak melihat kematian Buaya Putih. Seketika keduanya menerjang Gumala. Cambuk di tangan kedua orang ini melecut nyaring diudara.
Gumala hanya tersenyum mengejek. Tanpa kerja sama yang teratur seperti halnya tadi, tidak sulit baginya untuk merubuhkan mereka. Dibiarkan saja tubuh lawannya mendekat. Dan ketika jarak keduanya telah dekat, tiba-tiba dihentakkan kedua tangannya ke depan.
“Wuuuttt...!”
Angin yang amat kuat berhembus keras ke depan akibat hentakan tangan Gumala.
“Bressss...!”
Tubuh Buaya Belang dan Buaya Hitam yang tengah berada di udara, terlempar deras ke belakang bagai dilanda angin ribut sejauh beberapa tombak ke belakang. Luncuran kedua tubuh itu baru terhenti ketika menghantam pagar tembok hingga rubuh.
Dan memang, Buaya Belang dan Buaya Hitam tidak bangun-bangun lagi. Karuan saja kematian ketiga orang pemimpinnya membuat orang-orang kasar yang tadi mengurung Gumala menjadi gentar.
"Kini giliran kalian," tegas Gumala seraya menatap mereka satu persatu.
Tentu saja hal itu membuat orang-orang kasar itu tanpa sadar melangkah mundur setindak. Tapi tiba-tiba Gumala menoleh ke samping kiri disertai sikap waspada. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara berkerisik pelan. Ternyata di samping kirinya dalam jarak sekitar tiga tombak, telah berdiri seorang pemuda tampan berbaju coklat. Pada kedua pinggangnya terdapat sebuah kapak.
"Kaget?" ucap pemuda yang ternyata adalah Darba. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek. "Pantang bagiku untuk membokong lawan. Maka sengaja kuremas-remas daun kering agar kau mengetahui kehadiranku!"
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment