Ads

Friday, September 13, 2024

Cinta Sang Pendekar 04

"Keparat! Kalau begitu, kau boleh ikut bersamanya ke neraka!"

Seiring selesainya ucapan itu, tangan kanan Darba bergerak ke arah pinggangnya. Dan ketika tangan itu keluar lagi, telah tergenggam sebuah kapak berwarna perak.

"Ah, kiranya kaulah orangnya...!" teriak Gumala.

Pemuda ini seketika teringat akan penuturan kakek pemilik kedai tentang ciri-ciri Darba. Jadi inilah orang yang telah membasmi Perguruan Garuda Emas seorang diri! Tapi Gumala tidak bisa berbicara lagi, karena kapak di tangan Darba telah melesat ke arahnya.

“Wuk..!”

Angin mengaung keras mengawali tibanya serangan kapak itu. Gumala yang tahu betapa lihainya lawan di hadapannya, tidak berani bertindak ceroboh.

“Singgg...!”

Cepat-cepat Gumala menghunus pedangnya. Dan begitu pedang itu digerak¬-gerakkan, terdengar suara mendesing dahsyat.

“Cring...!”

Dua buah senjata yang berbeda bertemu di tengah jalan, dalam sebuah benturan yang keras dan nyaring.

"Haaat...!"

Darba menggertakkan gigi, menandakan kemarahannya yang memuncak. Kapak di tangannya segera berkelebatan kian dahsyat seiring kemarahannya yang semakin berkobar.

Tapi Gumala mampu membendung setiap serangan lawan. Pedang di tangannya mengeluarkan bunyi menggerung dahsyat setiap kali digerakkannya. Sepertinya di dalam pedang itu mengandung kekuatan seekor naga.

Pertarungan antara kedua orang muda itu berlangsung sengit dan cepat. Sehingga sebentar saja belasan jurus telah berlalu. Tapi sampai saat ini, belum nampak tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih berlangsung seimbang.

"Tahan!" teriak Darba keras sambil melempar tubuh ke belakang, dan hinggap sekitar dua tombak dari tempatnya semula.

Mendengar teriakan itu, Gumala langsung menghentikan gerakannya. Tangan kanannya yang menggenggam pedang, bersilangan dengan tangan kiri di depan dada. Pemuda itu bersiap menghadapi kemungkinan adanya serangan gelap Darba.

Tapi pemuda baju coklat itu memang tidak berniat licik. "Katakan apa hubunganmu dengan Ki Gering Langit?!" tanya Darba keras. "Aku yakin ilmu pedang yang kau gunakan adalah 'Ilmu Pedang Seribu Naga'!"

Wajah Gumala memucat. Sorot matanya mengandung kecemasan ketika sudut matanya melirik Arya. Tapi, ketika nampaknya Dewa Arak sama sekali tidak mendengar percakapan itu karena tengah tergeletak di tanah, sinar kecemasan pada wajahnya pun lenyap.

Tiba-tiba saja di luar dugaan, tubuh Gumala melesat ke arah Darba dan langsung menghujaninya dengan serangan-serangan dahsyat.



Karuan saja hal itu membuat murid Ki Jatayu ini kaget bukan main. Buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah kemudian bergulingan menjauh.

Gumala yang memang sebenarnya tidak berniat mendesak lawannya, tanpa membuang¬-buang waktu lagi segera menyambar tubuh Arya dan melesat kabur dari situ. Dikerahkan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki setinggi mungkin.

“Keparat” maki Darba begitu dilihat lawannya telah lenyap.

Sesaat lamanya pemuda itu kebingungan hendak mengejar kemana. Beberapa saat lamanya ia termenung, berfikir sambil memandang berkeliling sebelum akhirnya memutuskan untuk mengejar dari arah kedatangan Arya tadi.

***

Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Gumala berlari cepat sambil memanggul tubuh Arya. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang melihat barangkali Darba mengejarnya.

Lega hatinya ketika tak juga melihat bayangan pemuda itu di belakangnya. Perlahan dikurangi kecepatan lari yang membuat nafasnya terengah-engah. Sambil terus berlari, ditatapnya wajah Arya yang terkulai lemah di kedua tangannya. Pemuda berambut putih keperakan itu rupanya telah pingsan.

Gumala baru menghentikan larinya ketika telah tiba di dekat kereta kuda yang ditinggalkan tadi. Segera dicarinya tempat yang tersembunyi di balik semak-semak, kemudian direbahkannya tubuh pemuda itu di situ.

Sekali lihat saja Gumala dapat mengetahui kalau luka-luka yang diderita Dewa Arak cukup parah. Bagian-bagian yang terkena serangan itu memang terlihat jelas. Bagian dada sebelah kiri yang terkena tusukan, tampak kulitnya sobek. Gumpalan darah yang telah mengering, mengelilingi sekitar luka itu. Sementara bagian perut yang terkena sabetan sisi tangan miring Darba, tampak sebuah goresan halus tipis memanjang. Bentuknya seperti terkena bacokan pedang. Tapi tentu bacokan sisi tangan miring

Darba jauh lebih berbahaya. Bacokan pedang bila mengenai kulit, paling tidak hanya melukai kulit dan daging. Tapi tidak demikian dengan bacokan sisi tangan pemuda baju coklat itu. Bukan hanya kulit dan daging yang dilukai, tapi juga bagian dalam dada.

Hal seperti itulah yang dialami Arya. Pemuda ini mengalami luka dalam yang cukup parah. Dan kini Gumala mencoba mengobatinya. Tanpa ragu-ragu lagi, seperti orang yang sudah terbiasa, Gumala membersihkan luka di bagian dada kiri Arya. Baru setelah itu, dibalurinya dengan obat bubuk yang diambil dari buntalan di dalam kereta kudanya.

"Ohhh...!"

Arya mengeluh. Mulutnya menyeringai kesakitan. Dikerjap-kerjapkan matanya untuk mengusir rasa pening yang menggayuti kepalanya dan untuk memperjelas pandangannya. Karena yang terlihat di depannya hanyalah bayang-bayang wajah yang tidak jelas.

"Syukurlah kau sudah sadar, Kakang," tegur sebuah suara.

"Siapa kau...? Di manakah aku...?" tanya pemuda itu lirih.

''Tenanglah, Kakang. Aku Gumala, dan kau berada di tempat aman."

"Gu... ma... la...," desah pemuda berambut putih keperakan itu.

Samar-samar Arya kembali teringat semua kejadian yang dialaminya. Mulai dari mandi di sungai sampai bertemu dan hampir celaka di tangan pemuda baju coklat. Kalau saja Gumala tidak datang menolongnya, mungkin nasibnya lain lagi.

"Uhk... uhk..!"

Tiba-tiba Arya terbatuk-batuk. Melihat hal ini, buru-buru Gumala mengeluarkan sebuah obat pulung berwarna kecoklat-coklatan.

"Telanlah ini...," perintah Gumala seraya menyorongkan air dalam sebuah kendi ke mulut Arya.

Tanpa ragu-ragu Dewa Arak menerima obat pulung itu dan menelannya. Juga segera diminumnya air yang disodorkan Gumala, untuk lebih mempercepat hancurnya obat pulung itu di dalam perutnya.

"Berbaringlah, Kang. Tak lama lagi kau akan segera sembuh. Obat pulung ini sangat manjur untuk mengobati segala macam luka dalam."

Arya hanya bergumam tidak jelas. Ia sudah tidak sanggup lagi berkata-kata. Rasa kantuk yang amat sangat telah menyerangnya. Tanpa disuruh pun pemuda ini sudah merebahkan tubuhnya. Rasa kantuk itu begitu kuat menyerangnya. Sekilas masih dapat ditangkapnya ucapan Gumala.

"Aku pergi dulu, Kang."

Setelah itu semuanya menjadi gelap. Arya Buana tidak tahu berapa lama telah terlelap. Yang diketahui hanyalah ketika tersadar, Gumala telah berada di sisinya kembali. Di samping pemuda itu telah tergeletak guci arak dan pakaiannya. Dewa Arak beranjak bangkit. Kini rasa sakit dan nyeri tidak lagi menyerang dadanya. Benar seperti kata Gumala, obat pulung itu benar¬-benar manjur.

"Bagaimana, Kang? Masih ada yang terasa sakit?" sambut Gumala begitu pemuda berambut putih keperakan itu bangun dari berbaringnya.

Arya tersenyum. "Obatmu benar-benar manjur, Adi Gumala," pujinya tulus. "Sekarang aku merasa sudah sehat lagi."

"Memangnya kalau kau sudah sehat lagi kenapa, Kang?"

"Kenapa?!" Arya membelalakkan matanya. ''Ya, tentu saja meneruskan tugas kita yang tertunda, Adi Gumala!"

"Oh, iya!" pemuda tampan mirip wanita ini menepak kepalanya pelan. "Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kang? Bukankah kau ingin menengok ibu dan kakekmu?"

Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dikenakan pakaian dan diikatkan kembali gucinya di punggung. Sementara Gumala melangkah mendahului Arya meninggalkan tempat itu menuju kereta kuda. Kemudian dia naik ke atasnya, diikuti Arya.

"Hiyaaa...!"

Gumala menghela tali kekang kudanya menuju rumah Kepala Desa Jipang. Selagi kereta kuda itu berjalan, tiba-tiba pandang mata Arya menangkap berkelebatnya sesosok bayangan putih yang bergerak cepat ke arah Barat.

Dewa Arak tersentak. Ingatannya langsung melayang pada Melati yang selalu memakai pakaian serba putih. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda ini pun melompat dari kereta. Tubuhnya melesat cepat ke arah bayangan putih tadi.

"Kau teruskan saja perjalananmu, Gumala. Sampai di simpang tiga, belok ke kiri. Sekitar sepuluh tombak dari situ, ada sebuah rumah yang paling besar dan bagus. Itulah rumah kepala desa. Aku datang belakangan," jelas Arya dari kejauhan.

Memang dengan tingkat ilmu kepandaiannya yang tinggi, tak sukar bagi Dewa Arak untuk mengirimkan pesan jarak jauh ke orang yang dituju. Sedangkan Gumala hanya dapat mengangguk. Entah kepada siapa anggukan kepalanya itu ditujukan. Karena tubuh Arya sudah lenyap dari situ.

Dewa Arak segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Disadari kalau bayangan putih yang sekilas dilihatnya tadi adalah Melati. Maka jelas dia tidak akan bisa mengejarnya kecuali mengerahkan segenap kemampuannya.

Tapi betapapun pemuda berambut putih keperakan ini telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap saja jaraknya dengan sosok bayangan putih itu tidak berubah.

Keruan saja hal ini membuat Arya menjadi penasaran. Sepanjang pengetahuannya, tingkat kepandaian gadis berpakaian putih itu, masih di bawahnya. Tapi mengapa, sampai sekian lamanya mengejar tidak juga dapat menyusul? Jangankan menyusul, memperpendek jarak pun tak mampu.

Setibanya di suatu tempat yang di kanan kirinya banyak ditumbuhi semak lebat, Dewa Arak kehilangan jejak. Pemuda berbaju ungu ini menghentikan larinya. Sepasang matanya menatap semak-semak di sekitarnya penuh kewaspadaan.

Mendadak pendengaran Dewa Arak yang tajam menangkap adanya suara berkerisik pelan di belakangnya. Cepat-cepat dibalikkan tubuhnya. Sementara seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang waspada.

"Mengapa kau mengikutiku, Anak Bagus?" Sebuah suara serak menyambut begitu Arya membalikkan tubuhnya.

Dewa Arak menatap sosok tubuh di hadapannya penuh perhatian. Tampak seorang nenek berusia sekitar enam puluh tahun, berkulit putih pucat, dan berpakaian serba putih.

Pada dahinya terdapat benda kecil berbentuk bulan sabit yang diikat oleh tali melingkari kepalanya. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat yang berujung logam tipis berbentuk bulan sabit. Arya mengeluh dalam hati. Tidak disangka kalau bayangan yang tadi dikejarnya bukan Melati, melainkan nenek ini.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Anak Bagus!" kembali nenek ini berujar. Tapi kali ini suaranya mengandung ancaman maut. ''Tak ada seorang pun yang dapat hidup setelah mempermainkan Dewi Bulan!"

Begitu selesai dengan ucapannya, nenek yang berjuluk Dewi Bulan itu menggerakkan tangan yang menggenggam tongkat bulan sabitnya.

“Cappp!“

Tongkat itu menancap dalam di tanah.

"Bersiaplah kau, Anak Bagus! Hiyaaa...!"

Didahului oleh sebuah teriakan nyaring yang menggetarkan jantung, Dewi Bulan melompat menerjang Arya. Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh menyambar-nyambar dahsyat ke arah Arya, sehingga menimbulkan suara angin berciutan.

Dewa Arak terperanjat kaget. Pemuda ini tahu, tidak ada gunanya berusaha mencegah. Nenek aneh ini pasti tidak akan mendengarkan ucapannya. Maka cepat-cepat digeser kakinya mengelakkan serangan itu.

Tapi tiba-tiba tubuh nenek itu berbalik. Dan bersamaan dengan itu kakinya mengibas, mengancam pelipis. Sebuah serangan yang sama sekali tidak terduga! Kali ini Arya tidak punya pilihan lain lagi kecuali menangkis. Buru-buru diangkat tangan kirinya melindungi pelipis

“Plak!”

Tubuh Arya terhuyung selangkah ke belakang, sementara Dewi Bulan terhuyung dua langkah. Dari benturan tadi, nenek itu sudah dapat mengetahui kalau tenaga dalam lawannya lebih unggul.

"Keparat!" maki si nenek. Wajahnya terlihat merah bukan main. "Besar sekali nyalimu, bocah! Kau telah berani membuatku terhuyung. Maka kali ini jangan harap kuampuni nyawamu!"

Sambil meraung keras laksana binatang terluka, Dewi Bulan kembali menerjang Arya. Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh berkelebatan cepat dan tiba-tiba, ke bagian-bagian tubuh Arya yang mematikan.

Arya mengenal betul setiap serangan-¬serangan berbahaya. Tapi dia tidak ingin terkecoh seperti tadi. Pemuda berambut putih keperakan ini kini telah tahu, sungguhpun serangan tangan nenek itu amat berbahaya, tapi jelas kaki nenek itu jauh lebih berbahaya.

Mirip binatang kalajengking! Sabetan ekornya yang justru lebih berbahaya daripada serangan jepitnya. Maka, walaupun Arya seperti terpaku terhadap serangan-serangan tangan nenek itu, tapi sepasang matanya tak pemah lepas mengawasi kedua kaki lawan.

Selama beberapa gebrakan Arya menggunakan ilmu warisan yang diperoleh dari ayahnya, yakni 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Tentu saja bila dibanding ayahnya, almarhum Tribuana, ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' yang dimainkan Dewa Arak jauh lebih dahsyat.

Hal ini memang tidak aneh. Karena, baik dalam hal tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh, pemuda berambut putih keperakan ini telah mampu menyempurnakannya.

Tapi setelah bertarung selama beberapa jurus, yakinlah Dewa Arak kalau ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau', tidak dapat dipakai untuk menandingi lawannya. Pelahan-lahan pemuda itu mulai terdesak.

"Sekarang kau baru tahu rasa, bocah keparat!"

Dewi Bulan berseru gembira melihat lawannya hanya dapat menangkis dan main mundur, dan hanya sesekali balas menyerang.

Pada jurus kesebelas, Arya tidak punya pilihan lain lagi. Dia harus segera menggunakan ilmu andalannya, 'Belalang Sakti'. Itulah sebabnya pada suatu kesempatan, dilentingkan tubuhnya ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali di udara. Dan begitu kedua kakinya mendarat ringan di tanah, tangan kanannya telah menggenggam guci araknya.

Dewi Bulan yang sudah dicekam amarah, tentu saja tidak akan membiarkan lawannya lolos. Cepat dia melompat mengejar, sambil mengirimkan serangkaian serangan maut. Sementara pemuda berpakaian ungu itu mengangkat guci araknya ke atas kepalanya. Dan....

“Gluk... gluk... gluk...!”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment