Fajar telah merekah. Jauh di sebelah timur, sang Surya menampakkan separoh tubuhnya, dengan memancarkan cahayanya yang semburat jingga ke emasan. Dan perlahan-lahan alampun menjadi terang benderang.
Kini dua pasukan besar yang sedang bermusuhan bergerak maju dalam susunan bentuk barisannya masing-masing. Barisan tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu di bawah pimpinan Yoga kumala yang beribu-ribu jumlahnya itu bergerak maju perlahan lahan, laksana samodra meluap. Suara ringkikan kuda yang sahut menyahut dan suara gemerincingnya senjata-senjata bercampur gaduh menjadi satu.
Seruling genderang bertalu-talu di iring dengan derap langkah barisan tamtama yang berkuda. Panji-panji dan duaja-duaja kebesaran pasukan Kerajaan, berkibar dengan megahnya, sedangkan senjata-senjata tajam, seperti tombak, lembing dan klewang yang telah terhunus nampak seperti alang-alang yang tumbuh di padang subur.
Demikian pula pasukan lawan dari Kerajaan Negeri Sriwijaya, yang mengalir tak ada putusnya, bagaikan arus banjirnya sungai Musi. Suara gajah dan ringkikan kuda serta bergeraknya tamtama yang puluhan ribu jumlahnya, gemuruh bercampur aduk menjadi satu.
Berkilatnya beribu-ribu senjata tajam yang telah terhunus tertimpa pancaran sinar matahari, berkilau-kilau menyilaukan pandangan. Tiba-tiba pedang pusaka di tangan kanan Yoga Kumala berkelebat diacungkan kedepan, dan beribu-ribu tamtama berkuda berebut ducung menyerbu Iawan, bagaikan burung gelatik meneba dipadang padi yang sedang menguning.
Bersamaan dengan gerakan serbuan para tamtama penyerang itu, barisan panah melepaskan anak panah dari busurnya laksana hujan. Dan kini bagaikan benturan guntur, setelah dua pasukan itu bertemu. Masing-masing gigih bertahan dan berusaha membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Beradunya senjata laksana suara petir yang mengampar, dan pula di seling dengan suara jeritan ngeri susul-menyusul serta ringkikan kuda ataupun suara jatuhnya korban.
Dimana-mana darah berkececeran, mengalir membanjir membasahi bumi. Debu mengepul tebal bagaikan kabut, hingga membuat gelapnya pandangan. Dimedan laga yang dahsyat itu Yoga Kumala mengamuk punggung laksana banteng terluka. Tiap kali pedang pusakanya berkelebat, tamtama musuh yang berada didekatnya tentu roboh terguling di tanah dengan mandi darah. Dan demkian pula Sontani, Braja Semandang serta para perwira tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu. Mereka mengikuti jejak pemimpinnya Yoga Kumala, dengan semboyan “tak mengenal surut setapakpun".
Beribu-ribu tamtama dari kedua belah fihak yang setia pada sumpah tamtamanya telah jatuh berguguran sebagai bunga bangsa. Merekalah pahlawan-pahlawan Negerinya. Difihak lawan ternyata lebih banyak lagi jatuh korban dalam perang besar ini. Akan tetapi karena mengandalkan besarnya pasukan yang terdiri dari puluhan ribu tamtama, maka pasukan Kerajaan Negeri Sriwijaya menggunakan siasat perangnya dengan apa yang disebut ''Candra Birawa". Roboh satu tumbuh sepuluh, roboh sepuluh, tumbuh seratus, roboh seratus tumbuh seribu dan seterusnya.
Mengalirnya barisan tamtama lawan ke medan laga bagaikan air bah. Betapapun tabah dan beraninya para tamtama pasukan Yoga Kumala, niscaya akan ngeri juga, demi melihat membanjirnya lawan yang tak kunjung putus.
“Tumenggung Shakti Yoga Kumala! Pengorbanan pasukanmu akan sia-sia belaka! Lebih baik kau menyerah sebelum terlambat! Ketahuilah, bahwa kita telah mengurung dari segenap penjuru dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari pada pasukanmu!”.
Tiba-tiba seorang Senopati pasukan Kerajaan Sriwijaya berseru lantang pada Yoga Kumala yang sedang bertempur mati-matian ditengah kancah pertempuran melawan ratusan tamtama musuh yang mengurungnya.
Namun masih juga Yoga Kumala sempat menengok ke arah datangnya suara. Ternyata datang dari seorang perwira yang sedang duduk di punggung gayah dengan dikitari barisan tamtama berkuda yang amat kuat dan berlapis-lapis. Melihat pakaian kebesaran yang dikenakan serta payung kuning yang berada diatas kepalanya, jelas menunjukkan, bahwa perwira tamtama musuh adalah seorang Senopati yang memimpin pasukan lawan.
Ia memegang pedang terhunus ditangan kanan, sedangkan ditangan kirinya nampak sebuah perisai baja yang berbentuk bulat selebar daun lumbu hutan. Tubuhnya jangkung agak kurus, dengan kumisnya yang tebal melintang tanpa jenggot. Sepasang alisnya tebal dengan kilatan pandang mata yang amat tajam. Keningnya berkerut dan mengenakan ikat kepala kain sutera kuning keemasan. Warna kulitnya hitam. Suaranya parau, tetapi keras mengumandang serta mengandung daya perbawa.
Ia adalah Senopati Manggala Yudha Kerajaan Negeri Sriwijaya yang bergelar Gusti Senopati Sanggahan Alam, yang terkenal shakti serta cakap dalam memimpin barisan di medan yudha. Mendengar namanya dipanggil seorang priyagung lawan yang ia sendiri belum mengenalnya, Yoga Kumala terperanjat sesaat.
“Siapakah gerangan priyagung yang memimpin pasukan musuh itu? Dan dari manakah ia mengetahui namaku dengan jelas? Demikian shakti dan waskitakah ia, hingga mengetahui namaku tanpa bertanya terlebih dahulu?. Ah… tak mungkin ! — bantahnya sendiri dalam hati. “Atau seorang tamtama nara sandi lawan yang amat pandai telah merembes dalam pasukanku?”.
Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan dalam benak hatinya yang tak dapat dijawabnya sendiri itu, tak sempat ia membiarkan merana lebih jauh. Ia sadar, bahwa dirinya sedang berada di medan yudha yang amat dahsyat, serta memerlukan pemusatan perhatian sepenuhnya. Sambil membabat dengan pedang pusakanya ke arah dua orang lawan yang menyerang dari samping, serta merangkaikan gerakan serangannya dengan jurus "menutup serangan lawan" ialah memutarkan pedang pusakanya, Yoga Kumala menjawab seruan lawan priyagung tadi dengan tak kalah lantang.
“haaiii! Priyagung tamtama yang sombong! Tumpaslah aku beserta pasukanku, jika kau mampu dan memiliki keshaktian. Ketahuilah, bahwa aku Yoga Kumala tak pernah mengenal kata menyerah! Sebaiknya kaulah yang menyerah sebelum mengenal tajamnya pedang pusakaku!”.
“Hahaha… huahahaha…! Sungguh kau seorang Bupati tamtama Majapahit yang memiliki keberanian dan shakti. Sayang, kau berkepala batu, hingga tak mau melihat kenyataan yang kini sedang kau hadapi! Terimalah ini!”.
Dan bersamaan dengan suara bentakan, sebatang tombak pendek meluncur bagaikan kilat ke arah dada Yoga Kumala. Akan tetapi Yoga Kumala yang telah mendapat tempaan ilmu pedang shakti dari eyangnya Ajengan Cahaya Buana, serta bergelar “jago pedang darah Pajajaran", dengan tangkasnya memapaki meluncurnya tombak lawan dengan pedang pusakanya. Sambil merendahkan badan serta memacu kudanya, pedang pusaka ditangan kanan berkelebat dan tombak lawan patah menjadi dua potong.
Kiranya bukan hanya berhenti sekian saja. Pedang pusakanya berkelebat untuk kedua kalinya dan kini potongan tombak pendek lawan yang bermata tajam terpental kembali ke arah tubuh pemiliknya, bagaikan meluncurnya anak panah.
Senopati Sanggahan Alam yang sedang tertawa terbahak-bahak, terpaksa menutup mulutnya seketika, serta menggerakkan perisai bajanya yang berada ditangan kiri, untuk memapaki meluncurnya potongan tombaknya sendiri, yang mengarah tubuhnya dengan tanpa diduga-duga. Potongan tombak terpental dan jatuh ditanah, namun ia sendiri bergeser setapak surut kebelakang, karena terkena dorongan tenaga benturan dari potongan tombak yang jatuh tertangkis oleh perisai bajanya.
Sanggahan Alam terkesiap sesaat, demi merasakan serangan balasan Yoga Kumala yang mentakjubkan. Dalam hati ia memuji akan keshaktian lawannya. Kiranya belum pernah ia menghadapi lawan setangguh Yoga Kumala. Andaikan saja ia tak berperisai baja, tentu dadanya telah tembus oleh tombaknya sendiri. Akan tetapi sebagai seorang Senopati Manggala Yudha yang shakti dan berpengalaman luas. Sanggahan Alam segera dapat menguasai ketenangannya kembali.
Kini dua pasukan besar yang sedang bermusuhan bergerak maju dalam susunan bentuk barisannya masing-masing. Barisan tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu di bawah pimpinan Yoga kumala yang beribu-ribu jumlahnya itu bergerak maju perlahan lahan, laksana samodra meluap. Suara ringkikan kuda yang sahut menyahut dan suara gemerincingnya senjata-senjata bercampur gaduh menjadi satu.
Seruling genderang bertalu-talu di iring dengan derap langkah barisan tamtama yang berkuda. Panji-panji dan duaja-duaja kebesaran pasukan Kerajaan, berkibar dengan megahnya, sedangkan senjata-senjata tajam, seperti tombak, lembing dan klewang yang telah terhunus nampak seperti alang-alang yang tumbuh di padang subur.
Demikian pula pasukan lawan dari Kerajaan Negeri Sriwijaya, yang mengalir tak ada putusnya, bagaikan arus banjirnya sungai Musi. Suara gajah dan ringkikan kuda serta bergeraknya tamtama yang puluhan ribu jumlahnya, gemuruh bercampur aduk menjadi satu.
Berkilatnya beribu-ribu senjata tajam yang telah terhunus tertimpa pancaran sinar matahari, berkilau-kilau menyilaukan pandangan. Tiba-tiba pedang pusaka di tangan kanan Yoga Kumala berkelebat diacungkan kedepan, dan beribu-ribu tamtama berkuda berebut ducung menyerbu Iawan, bagaikan burung gelatik meneba dipadang padi yang sedang menguning.
Bersamaan dengan gerakan serbuan para tamtama penyerang itu, barisan panah melepaskan anak panah dari busurnya laksana hujan. Dan kini bagaikan benturan guntur, setelah dua pasukan itu bertemu. Masing-masing gigih bertahan dan berusaha membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Beradunya senjata laksana suara petir yang mengampar, dan pula di seling dengan suara jeritan ngeri susul-menyusul serta ringkikan kuda ataupun suara jatuhnya korban.
Dimana-mana darah berkececeran, mengalir membanjir membasahi bumi. Debu mengepul tebal bagaikan kabut, hingga membuat gelapnya pandangan. Dimedan laga yang dahsyat itu Yoga Kumala mengamuk punggung laksana banteng terluka. Tiap kali pedang pusakanya berkelebat, tamtama musuh yang berada didekatnya tentu roboh terguling di tanah dengan mandi darah. Dan demkian pula Sontani, Braja Semandang serta para perwira tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu. Mereka mengikuti jejak pemimpinnya Yoga Kumala, dengan semboyan “tak mengenal surut setapakpun".
Beribu-ribu tamtama dari kedua belah fihak yang setia pada sumpah tamtamanya telah jatuh berguguran sebagai bunga bangsa. Merekalah pahlawan-pahlawan Negerinya. Difihak lawan ternyata lebih banyak lagi jatuh korban dalam perang besar ini. Akan tetapi karena mengandalkan besarnya pasukan yang terdiri dari puluhan ribu tamtama, maka pasukan Kerajaan Negeri Sriwijaya menggunakan siasat perangnya dengan apa yang disebut ''Candra Birawa". Roboh satu tumbuh sepuluh, roboh sepuluh, tumbuh seratus, roboh seratus tumbuh seribu dan seterusnya.
Mengalirnya barisan tamtama lawan ke medan laga bagaikan air bah. Betapapun tabah dan beraninya para tamtama pasukan Yoga Kumala, niscaya akan ngeri juga, demi melihat membanjirnya lawan yang tak kunjung putus.
“Tumenggung Shakti Yoga Kumala! Pengorbanan pasukanmu akan sia-sia belaka! Lebih baik kau menyerah sebelum terlambat! Ketahuilah, bahwa kita telah mengurung dari segenap penjuru dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari pada pasukanmu!”.
Tiba-tiba seorang Senopati pasukan Kerajaan Sriwijaya berseru lantang pada Yoga Kumala yang sedang bertempur mati-matian ditengah kancah pertempuran melawan ratusan tamtama musuh yang mengurungnya.
Namun masih juga Yoga Kumala sempat menengok ke arah datangnya suara. Ternyata datang dari seorang perwira yang sedang duduk di punggung gayah dengan dikitari barisan tamtama berkuda yang amat kuat dan berlapis-lapis. Melihat pakaian kebesaran yang dikenakan serta payung kuning yang berada diatas kepalanya, jelas menunjukkan, bahwa perwira tamtama musuh adalah seorang Senopati yang memimpin pasukan lawan.
Ia memegang pedang terhunus ditangan kanan, sedangkan ditangan kirinya nampak sebuah perisai baja yang berbentuk bulat selebar daun lumbu hutan. Tubuhnya jangkung agak kurus, dengan kumisnya yang tebal melintang tanpa jenggot. Sepasang alisnya tebal dengan kilatan pandang mata yang amat tajam. Keningnya berkerut dan mengenakan ikat kepala kain sutera kuning keemasan. Warna kulitnya hitam. Suaranya parau, tetapi keras mengumandang serta mengandung daya perbawa.
Ia adalah Senopati Manggala Yudha Kerajaan Negeri Sriwijaya yang bergelar Gusti Senopati Sanggahan Alam, yang terkenal shakti serta cakap dalam memimpin barisan di medan yudha. Mendengar namanya dipanggil seorang priyagung lawan yang ia sendiri belum mengenalnya, Yoga Kumala terperanjat sesaat.
“Siapakah gerangan priyagung yang memimpin pasukan musuh itu? Dan dari manakah ia mengetahui namaku dengan jelas? Demikian shakti dan waskitakah ia, hingga mengetahui namaku tanpa bertanya terlebih dahulu?. Ah… tak mungkin ! — bantahnya sendiri dalam hati. “Atau seorang tamtama nara sandi lawan yang amat pandai telah merembes dalam pasukanku?”.
Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan dalam benak hatinya yang tak dapat dijawabnya sendiri itu, tak sempat ia membiarkan merana lebih jauh. Ia sadar, bahwa dirinya sedang berada di medan yudha yang amat dahsyat, serta memerlukan pemusatan perhatian sepenuhnya. Sambil membabat dengan pedang pusakanya ke arah dua orang lawan yang menyerang dari samping, serta merangkaikan gerakan serangannya dengan jurus "menutup serangan lawan" ialah memutarkan pedang pusakanya, Yoga Kumala menjawab seruan lawan priyagung tadi dengan tak kalah lantang.
“haaiii! Priyagung tamtama yang sombong! Tumpaslah aku beserta pasukanku, jika kau mampu dan memiliki keshaktian. Ketahuilah, bahwa aku Yoga Kumala tak pernah mengenal kata menyerah! Sebaiknya kaulah yang menyerah sebelum mengenal tajamnya pedang pusakaku!”.
“Hahaha… huahahaha…! Sungguh kau seorang Bupati tamtama Majapahit yang memiliki keberanian dan shakti. Sayang, kau berkepala batu, hingga tak mau melihat kenyataan yang kini sedang kau hadapi! Terimalah ini!”.
Dan bersamaan dengan suara bentakan, sebatang tombak pendek meluncur bagaikan kilat ke arah dada Yoga Kumala. Akan tetapi Yoga Kumala yang telah mendapat tempaan ilmu pedang shakti dari eyangnya Ajengan Cahaya Buana, serta bergelar “jago pedang darah Pajajaran", dengan tangkasnya memapaki meluncurnya tombak lawan dengan pedang pusakanya. Sambil merendahkan badan serta memacu kudanya, pedang pusaka ditangan kanan berkelebat dan tombak lawan patah menjadi dua potong.
Kiranya bukan hanya berhenti sekian saja. Pedang pusakanya berkelebat untuk kedua kalinya dan kini potongan tombak pendek lawan yang bermata tajam terpental kembali ke arah tubuh pemiliknya, bagaikan meluncurnya anak panah.
Senopati Sanggahan Alam yang sedang tertawa terbahak-bahak, terpaksa menutup mulutnya seketika, serta menggerakkan perisai bajanya yang berada ditangan kiri, untuk memapaki meluncurnya potongan tombaknya sendiri, yang mengarah tubuhnya dengan tanpa diduga-duga. Potongan tombak terpental dan jatuh ditanah, namun ia sendiri bergeser setapak surut kebelakang, karena terkena dorongan tenaga benturan dari potongan tombak yang jatuh tertangkis oleh perisai bajanya.
Sanggahan Alam terkesiap sesaat, demi merasakan serangan balasan Yoga Kumala yang mentakjubkan. Dalam hati ia memuji akan keshaktian lawannya. Kiranya belum pernah ia menghadapi lawan setangguh Yoga Kumala. Andaikan saja ia tak berperisai baja, tentu dadanya telah tembus oleh tombaknya sendiri. Akan tetapi sebagai seorang Senopati Manggala Yudha yang shakti dan berpengalaman luas. Sanggahan Alam segera dapat menguasai ketenangannya kembali.
“Hahaha… hahaha…! Bagus, bagus!”. serunya sambil memegang kembali pedang pusakanya yang tadi disarungkan. “Temyata gelarmu ‘jago pedang’ tak mengecewakan ! Akan tetapi, dapatkah kau menghadapi pasukanku yang beribu-ribu itu hanya dengan mengandalkan keshaktianmu? Pikirlah masak-masak! Sayang keshaktian dan usiamu yang masih muda, apabila terlambat tak mau menyerah!”.
“Tak perlu kau menasehati lawan! Aku rela mati di medan laga daripada berlaku pengecut!”. Balas Yoga Kumala dengan suara teriakan nyaring yang memekakkan telinga, sambil bertempur. Ia ingin menerjang Senopati Sanggalian Alam yang congkak itu, akan tetapi beratus-ratus tamtama lawan selalu merintangi dibadapannya.
Namun setiap lawan yang berada didekatnya, tentu roboh mandi darah untuk kemudian jatuh bergelimpangan di tanah tak bernyawa. Sontani, Braja Semandang, Dirham dan segenap para perwira tamtamanya tak mau ketinggalan pula. Mereka mengamuk punggung bagaikan banteng terluka. Dengan semangat tempurnya yang bernyala-nyala mereka merobohkan beratus-ratus tamtama lawan yang mengurungnya. Hampir sehari penuh mereka bertempur mati-matian dengan tanpa mengenal lelah.
Matahari telah berada diketinggian condong ke sebelah barat, menandakan bahwa waktu telah jauh lewat siang tengah hari dan hampir senja. Namun pertempuran masih saja berkobar dengan dahsyatnya.
“Sontani !”. Seru Yoga Kumala sambil memutarkan pedang pusakanya serta berpaling ke arah Sontani yang berada dibelakangnya. “Kita harus dapat bertahan sampai petang nanti, dan…”.
Belum juga ia dapat mengakhiri bicaranya, tiba-tiba pasukan musuh yang mengurung dari sebelah utara menjadi berantakan bercerai berai. Suara ringkikan kuda dan jeritan-jeritan ngeri susul-menyusul bercampur-aduk dengan suara beradunya senjata serta derap langkah kuda yang tengah menyerbu dan tak ada hentinya.
Debu disebelah utara mengepul lebih dahsyat hingga gelapnya pandangan. Ratusan tamtama lawan jatuh bergelimpangan ditanah dengan mandi darah. Dan kini suasana menjadi semakin gaduh.
Ternyata induk pasukan dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang dipimpin Senapati Manggala Yudha yang bergelar Bintang Minang, telah tiba pada saat pasukan Yoga Kumala hampir putus asa. Dibawah pimpinan Bintang Minang, pasukan itu langsung menyerang musuh dari lambung kanan, hingga lawan kocar-kacir dibuatnya.
Dari balik semak-semak belukar di dataran tebing sungai Tungkal, pasukan Bintang Minang langsung menyerbu lawan secara bergelombang yang tak ada putusnya, dengan diiringi sorak sorai gemuruh memekakkan telinga. Sesungguhnya jumlah kekuatan pasukan penyerang seluruhnya dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu itu, walaupun berserta induk pasukan masih tak seimbang jika dibandingkan kekuatan lawan.
Akan tetapi karena penyerbuan yang dilancarkan Bintang Minang itu secara tiba-tiba dan tak diduganya sama sekali oleh fihak lawan, maka tak heranlah apabila lawan menjadi berantakan dan terpaksa menderita banyak korban. Lagi pula siasat menyerang dengan secara bergelombang itu, membuat musuh sukar untuk mengetahui dengan pasti akan kekuatan penyerang yang sebenarnya.
Banyak diantara para perwira tamtama lawan mengira, bahwa kini merekalah yang terkurung oleh pasukan penyerang yang amat kuat. Dan hampir sepertiga bagian dari kekuatan lawan berebut ducung lari meninggalkan medan pertempuran menuju ke arah timur.
Sebaliknya pasukan Yoga Kumala yang tadinya hampir putus asa, kini semangat tempurnya menjadi menyala-nyala kembali. Daya kekuatan para tamtama yang hampir lenyap, menjadi pulih seketika, bagaikan rumput tersiram embun pagi. Dengan bersorak sorai gegap gempita, mereka bertempur dengan semangat yang menyala-nyala. Dan harapan kemenangan difihaknya telah membayang kembali.
Musuh yang tak sempat menghindarkan diri dari amukan para tamtama, tak ayal lagi roboh terguling tak bernyawa. Dan korban peperangan yang dahsyat itu, kini bertambah lebih banyak lagi. Kini pasukan dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu berganti menguasai medan pertempuran.
“Tumenggung Yoga !! Mundurlah beserta pasukanmu yang telah letih, dan biarlah aku yang mengganti kedudukanmu !”. Seru Bintang Minang pada Yoga Kumala.
“Gustiku Bintang tak usah kuatir akan diri saya”. jawabnya singkat. “Kedatangan Gustiku telah memulihkan tenaga kekuatan kami semua”. katanya sambil masih terus bertempur.
Akan tetapi kejadian yang nampaknya menguntungkan itu, kiranya tak berlangsung lama sebagaimana dikehendaki pasukan penyerang. Karena tiba2 saja, suara Senapati Sanggahan Alam menggema lantang bagaikan guntur disiang hari.
“Haiiii ! Seluruh tamtamaku dari kerajaan Sriwijaya !! Atas nama Sri Baginda Maharaja kuperintahkan, tumpaslah musuh kita !!! Kekuatan kita masih jauh lebih besar dari pada kekuatan mereka ! Ikutilah aku !”.
Berseru demikian Sanggahan Alam meloncat turun dari punggung gajahnya dan langsung jatuh terduduk diatas pelana kuda tunggangannya yang telah berada di tengah-tengah para pengawalnya. Perisai baja ditangan kiri dilempar jauh-diauh, dan dengan pedang pusakanya yang telah terhunus ditangan kanan ia mulai mengamuk ditengah kancah pertempuran. Kudanya yang tinggi besar berulaskan hitam kemerah-merahan itu seakan2 telah sehati dengan tuannya.
Ternyata Sanggahan Alam sebagai seorang Senapati Manggala Yudha memiliki kesaktian yang amat tangguh. Gerakan nya sangat tangkas, dan pedang pusakanya berkelebatan bagaikan kupu2 yang tengah menari. Pusakanya yang telah bercerai-berai, kini merapat bersatu kembali dan bertempur dengan gigihnya, mengikuti jejak pimpinannya. Kiranya Sanggahan Alam yang telah berpengalaman luas itu tak mudah menyerah dengan hanya diperdayai siasat demikian.
“Hahaha… hahahahaaaaa…! Tumenggung Yoga Kumala !! Aku Sanggahan Alam tak mungkin dapat kau tipu secara permainan anak2 !”. Serunya lantang sambil memacu kudanya ke arah Yoga Kumala.
Suara tawanya yang terbahak bahak terdengar menyeramkan. Jelas bahwa pemusatan tenaga dalamnya mengiringi gelak tawanya yang menggema. Akan tempi sewaktu Yoga Kumala siaga hendak menyambut datangnya Sanggahan Alam, tiba2 Bintang Minang telah melintang dihadapannya, sambil berseru.
“Mundur !II Dan serahkan priyagung musuh padaku !”.
Sesaat kemudian dua orang Senapati Manggala Yudha itu telah bertempur dengan sengitnya. Dikala itu, matahari telah mulai memasuki garis cakrawala di sebelah barat, dan kini tinggal nampak separo saja. Pancaran sinarnya yang merah lembayung menghiasi seluruh alam. Dan perlahan-lahan haripun menjadi gelap remang2.
Tiba2 kuda tunggangan Bintang Minang melompat tinggi melampaui ber-puluh2 tamtama yang mengurungnya dan lari kencang meninggalkan gelanggang pertempuran diikuti Yoga Kumala, Sontani, Braja Semandang beserta seluruh pasukannya yang masih ada, menuju ke Barat. Dan hanya suara Bintang Minanglah yang terdengar sayup-sayup dari kejauhan :
“Sanggahan Alam! Lain waktu dihari yang cerah kita tentu dapat bertemu kembali !!”.
Kini pertempuran yang belum berakhir, berhenti dengan sendirinya. Kedua pasukan yang bermusuhan, masing-masing meninggalkan gelanggang memenuhi perintah pimpinannya. Bintang Minang dan Yoga Kumala, beserta seluruh pasukan menuju ke arah barat, sedangkan Sanggahan Alam mundur ke arah Timur diikuti segenap pasukannya.
Dilembah hutan utara sungai Batangharileka dan Sungai Lawas itulah pasukan Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung kemudian membangun kubu-kubu darurat untuk beristirahat serta hendak mengatur siasat selanjutnya.
“Bagaimana pendapatmu tentang kelanjutan peperangan ini, Tumenggung Yoga Kumala ?”. Bintang Minang membuka percakapan sambil meneguk minumannya setelah ia berada dalam kemah.
“Gustiku Bintang Minang tentunya lebih mengetahui tentang hal ini, dan saya akan tetap patuh menjunjung titah-titah Gustiku ?”. jawab Yoga Kumala singkat.
“Kegagalan!!! Kegagalan yang membawa banyak korban !”. Geramnya Bintang Minang pada diri sendiri. “Aneh!! Mengapa kita harus mengalami kegagalan sedemikian rupa!!!”.
Wajahnya muram dan keningnya berkerut. Ia memandang tajam-tajam lurus ke depan sambil meremas-remas batu yang berada dalam genggaman tangan kirinya hingga hancur mendebu. Mulutnya terkatub rapat kembali dengan giginya berkerot gemertakan. Seakan-akan ia lupa bahwa dihadapannya banyak perwira tamtama yang sedang duduk menghadap. Namun satupun diantara para perwira tamtama itu tak ada yang berani mengucapkan sepatah kata. Semuanya duduk dengan kepala tertunduk.
Yoga Kumala dan Sontani pun terdiam pula. Mereka tahu, bahwa Bintang Minang panglimanya sedang murka. Marah karena mengalami kegagalan dalam melakukan serangan. Kemarahan yang tercampur dengan rasa penyesalan serta kesedihan yang tak terhingga. Marah, karena siasat yang telah diperhitungkan berbulan-bulan dengan cermat, tiba-tiba hancur berantakan dalam waktu satu hari saja. Dan sedih, karena banyaknya tamtama setia terpaksa gugur dimedan laga, dan belum lagi terhitung banyaknya tamtama yang luka2.
Suatu kegagalan yang tak diduga-duga sama sekali. Dan yang paling mengesalkan ialah, tak diketahui sebab-musabab dari kegagalan siasatnya. Seandainya saja bukan Yoga Kumala yang memimpin pasukan penyerang pertama, mungkin akan mengalami kehancuran seluruhnya, pikirnya. Dan diam-diam ia memuji pula dalam hati akan keshaktian serta sifat-sifat ksatriaan Yoga Kumala.
Semula Bintang Minang mengharap akan mengetahui sebab musabab kegagalan serangan Yoga Kumala, akan tetapi ternyata Yoga Kumala sendiri tak mengetahui sama sekali latar belakang dari kegagalan serangannya. Tetapi ini semua telah terjadi. Dan ia sebagai manusia biasa tak kuasa merobah sesuatu yang telah terjadi, Sampai disini pikirannya yang keruh perlahan-lahan menjadi tenang kembali. Ia masih harus berterima kasih pada Dewata Yang Maha Agung, bahwa hari tadi tak mengalami kehancuran seluruhnya.
***
SUASANA yang sunyi diliputi rasa tegang itu berlangsung agak lama. Minuman panas dihadapan para Perwira tamtama hingga dingin tak ada yang berani menyentuhnya. Waktu telah tengah malam, namun tak seorangpun berani bergeser dari tempat duduknya masing-masing. Semua diam tertunduk bagaikan patung. Semua segera merasa lapang, setelah Bintang Minang tiba-tiba bangkit berdiri dan melangkah keluar dari perkemahan, sambil berkata.
“Sudah !! Silahkan semua mengaso !! Esok pagi-pagi kita bicarakan lagi !”. dan kemudian “Tumenggung Yoga Kumala dan Sontani ! Ikutilah aku. Ada sesuatu yang hendak kubicarakan dengan kalian berdua !”.
Tanpa menjawab sepatah kata, Yoga Kumala dan Sontani segera bangkit berdiri serta mengikuti langkah Bintang Minang.
Dengan langkah yang berat serta perlahan-perlahan Bintang Minang diikuti Yoga Kumala dan Sontani, mendaki tanggul tebing kali Sungai Batangharileka yang tak jauh letaknya dari tempat perkemahan mereka. Setelah dirasakan aman tempat sekitarnya, mereka bertiga segera duduk diatas sebuah batu besar yang rata permukaannya.
Terasalah hawa udara di luar dalam gelap malam yang remang remang, amat sejuk dan menyegarkan badan. Langit biru membentang bersih dan bintang-bintang diangkasa memancarkan cahaya gemerlapan. Dengan suara perlahan dan tenang, Bintang Minang mulai membuka percakapan.
“Apakah Tumenggung Yoga Kumala atau Panewu Sontani dapat memperkirakan akan sebab musabab dari kegagalan serangan kita ? Dan bagaimanakah nasib pasukan Kobar serta pasukan Damar Kerinci yang bersama-sama menyerang dari Timur dan Selatan, menurut dugaan kalian?” tanyanya.
Mendengar pertanyaan Bintang Minang, Sontani diam tertunduk Sesaat ia memandang wajah Yoga Kumala, dan setelah itu ia menundukkan kembali mukanya. la sendiri tak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Dan kiranya Yoga Kumala cepat menangkap akan isi hati Sontani. Bahwa untuk menjawab pertanyaan Bintang Minang diserahkan padanya.
“Pertanyaan Gustiku sesungguhnya saya sendiri tak dapat menjawab. Akan tetapi keanehan yang telah saya alami tadi, sewaktu Gustiku belum tiba dimedan pertempuran, mungkin erat sekali hubungannya dengan pertanyaan Gustiku”. Jawab Yoga Kumala sambil menatap wajah Bintang Minang sejenak.
“Coba jelaskan ! Apa yang kau maksudkan dengan pengalaman yang aneh itu?”. Desak Bintang Minang.
“Bukankah itu suatu keanehan, apabila Sanggahan Alam telah mengenal nama saya dengan jelas, sebelum saya memperkenalkan? Sedangkan Gustiku Bintang Minang mengetahui sendiri, bahwa saya baru pertama kali ini menginjakkan kaki di bumi Kerajaan Sriwijaya”.
“Benarkah, apa yang kau katakan?” Bintang Minang memotong, seakan-akan ia belum percaya pada kata2 Yoga Kumala.
“Benar, Gusti. Dan karena itulah saya sangat merasa heran. Menurut dugaan saya, tentu ada orang kita yang membocorkan. Hanya saja, siapa orangnya, saya sendiri belum dapat menebak”.
Dan kini ketiga-tiganya menjadi terdiam sejenak. Mereka saling pandang dengan diliputi sebuah teka-teki dalam hati masing-masing.
“Jika demikian, tentulah ada pengkhianat yang berselimut dalam pasukan kita sendiri!”. Tiba-tiba Bintang Minang memecah kesunyian, sambil mengepal2 tinjunya. “Mudah-mudahan saja pasukan Damar Kerinci tak mengalami kehancuran karena pengkhianatan ini!” desisnya.
“Yaaaaa… sayapun berharap demikian. Gusti!”. Sahut Yoga Kumala.
“Dugaanmu tepat. Dan sama dengan apa yang yang ku perkirakan. Sesungguhnya sejak aku melihat melintasnya panah api pada hari kemaren malam, akupun telah curiga. Perobahan waktu yang tiba-tiba, tentunya tak mungkin terjadi apabila tak ada sesuatu kejadian diluar perhitungan kita. Dan pada malam itu akupun telah mengirim beberapa tamtama narasandi sebagai penghubung yang dipimpin Lurah tamtama Jala Mantra untuk menemui Tumenggung Anom Kobar, guna menanyakan hal itu. Akan tetapi hingga sekarang mereka yang kuutus itupun belum kembali. Maka kini menjadi sulitlah bagiku untuk menentukan sikap selanjutnya”.
Percakapan menjadi terhenti kembali, dan suasananya sunyi senyap tertelan oleh sepinya malam.
“Sssssssstt… ada suara derap langkah kuda yang menuju kemari dari arah Timur, jauh diseberang sungai. Gusti !”.
Yoga Kumala tiba-tiba berkata perlahan setengah berbisik sambil menempelkan jari telunjuknya pada bibir mulutnya, sebagai isyarat agar semua berlaku waspada. Dan kini pandang mata ketiganya mengarah ke Timur, menyusupi jauh di gelap malam yang sepi.
Ach… aku tak mendengar apa-apa selain suara mengalirnya air sungai ini. Dan tak melihat sama sekali adanya kuda mendatang dari kejauhan, pikir Sontani. mungkin Gusti Yoga terlalu letih dan ingatannya masih terpengaruh pertempuran yang belum lama berselang.
“Sungguh tajam pendengaranmu. Tumenggung Yoga! Tetapi jika tak salah hanya seekor kuda yang tengah mendekat !”. Bintang Minang menyahut.
Mendengar percakapan dua orang ini Sontani menjadi semakin heran. Telinganya dipasang lebar-lebar dan sepasang matanya memandang tajam jauh ke arah timur, namun belum juga ia dapat menangkap suara yang dimaksud. Pun tak melihat adanya benda yang bergerak mencurigakan di kejauhan.
“Ijinkanlah saya sendiri yang menyambutnya dari seberang sungai dibalik semak-semak itu, Gusti !”. Yoga Kumala berkata kemudian, dan berkelebat bagaikan bayangan meninggalkan Bintang Minang dan Sontani.
Bersamaan dengan menghilangnya Yoga Kumala di gelap malam, kini nampak remang2 di kejauhan sebuah titik hitam bergerak mendekat. Dan semakin lama, makin jelaslah bahwa yang tengah meluncur datang itu seekor kuda beserta penunggangnya yang duduk tertelungkup diatas pelana.
Bintang Minang dan Sontani segera sembunyi dibalik batu besar, sambil mengawasi dengan hati berdebar2. Sementara itu, Yoga Kumala telah berada diseberang sungai, siap menyambut datangnya orang tidak dikenal.
Larinya kuda amat kencang, dan jarak antara Yoga Kumala dengannya semakin dekat. Kini tinggal kira2 seratus langkah lagi, tetapi kuda itu masih berlari dengan kencangnya kearah dimana Yoga Kumala sembunyi.
Jarak kini tinggal lima puluh langkah, tigapuluh langkah, dua puluh langkah, dan kini hanya tinggal sepuluh langkah lagi. Bintang Minang dan Sontani yang mengikuti dari kejauhan menjadi cemas. Detak jantungnya semakin berdebar-debar diliputi rasa was-was. Mengapa Yoga Kumala masih saja sembunyi dan tak mau mendahului menyerang dengan lemparan pisau ataupun sabetan pedangnya ?I, pikir mereka. Tiba-tiba
“bbbrrruuuuukkk !!”
Sebelum Bintang Minang dan Sontani mengetahui dengan jelas, kuda roboh terguling di tanah dengan suara ringkikan yang tertahan pendek. Sedangkan penunggangnya jatuh terpental dan berada dalam pelukan tangan Yoga Kumala.
Ternyata sewaktu kuda hanya tinggal lima langkah lagi jaraknya, Yoga Kumala melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Ia langsung menerjang kuda yang sedang lari dengan kencang ke arahnya. Jari-jari tangan kirinya mengembang tegang, dan menyerang dengan totokan ke arah urat nadi paha kaki kanan depan si kuda, sedangkan telapak tangan kanannya digunakan untuk memukul rahang kuda dengan gerakan pukulan dari bawah serong ke atas.
“Tak perlu kau menasehati lawan! Aku rela mati di medan laga daripada berlaku pengecut!”. Balas Yoga Kumala dengan suara teriakan nyaring yang memekakkan telinga, sambil bertempur. Ia ingin menerjang Senopati Sanggalian Alam yang congkak itu, akan tetapi beratus-ratus tamtama lawan selalu merintangi dibadapannya.
Namun setiap lawan yang berada didekatnya, tentu roboh mandi darah untuk kemudian jatuh bergelimpangan di tanah tak bernyawa. Sontani, Braja Semandang, Dirham dan segenap para perwira tamtamanya tak mau ketinggalan pula. Mereka mengamuk punggung bagaikan banteng terluka. Dengan semangat tempurnya yang bernyala-nyala mereka merobohkan beratus-ratus tamtama lawan yang mengurungnya. Hampir sehari penuh mereka bertempur mati-matian dengan tanpa mengenal lelah.
Matahari telah berada diketinggian condong ke sebelah barat, menandakan bahwa waktu telah jauh lewat siang tengah hari dan hampir senja. Namun pertempuran masih saja berkobar dengan dahsyatnya.
“Sontani !”. Seru Yoga Kumala sambil memutarkan pedang pusakanya serta berpaling ke arah Sontani yang berada dibelakangnya. “Kita harus dapat bertahan sampai petang nanti, dan…”.
Belum juga ia dapat mengakhiri bicaranya, tiba-tiba pasukan musuh yang mengurung dari sebelah utara menjadi berantakan bercerai berai. Suara ringkikan kuda dan jeritan-jeritan ngeri susul-menyusul bercampur-aduk dengan suara beradunya senjata serta derap langkah kuda yang tengah menyerbu dan tak ada hentinya.
Debu disebelah utara mengepul lebih dahsyat hingga gelapnya pandangan. Ratusan tamtama lawan jatuh bergelimpangan ditanah dengan mandi darah. Dan kini suasana menjadi semakin gaduh.
Ternyata induk pasukan dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang dipimpin Senapati Manggala Yudha yang bergelar Bintang Minang, telah tiba pada saat pasukan Yoga Kumala hampir putus asa. Dibawah pimpinan Bintang Minang, pasukan itu langsung menyerang musuh dari lambung kanan, hingga lawan kocar-kacir dibuatnya.
Dari balik semak-semak belukar di dataran tebing sungai Tungkal, pasukan Bintang Minang langsung menyerbu lawan secara bergelombang yang tak ada putusnya, dengan diiringi sorak sorai gemuruh memekakkan telinga. Sesungguhnya jumlah kekuatan pasukan penyerang seluruhnya dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu itu, walaupun berserta induk pasukan masih tak seimbang jika dibandingkan kekuatan lawan.
Akan tetapi karena penyerbuan yang dilancarkan Bintang Minang itu secara tiba-tiba dan tak diduganya sama sekali oleh fihak lawan, maka tak heranlah apabila lawan menjadi berantakan dan terpaksa menderita banyak korban. Lagi pula siasat menyerang dengan secara bergelombang itu, membuat musuh sukar untuk mengetahui dengan pasti akan kekuatan penyerang yang sebenarnya.
Banyak diantara para perwira tamtama lawan mengira, bahwa kini merekalah yang terkurung oleh pasukan penyerang yang amat kuat. Dan hampir sepertiga bagian dari kekuatan lawan berebut ducung lari meninggalkan medan pertempuran menuju ke arah timur.
Sebaliknya pasukan Yoga Kumala yang tadinya hampir putus asa, kini semangat tempurnya menjadi menyala-nyala kembali. Daya kekuatan para tamtama yang hampir lenyap, menjadi pulih seketika, bagaikan rumput tersiram embun pagi. Dengan bersorak sorai gegap gempita, mereka bertempur dengan semangat yang menyala-nyala. Dan harapan kemenangan difihaknya telah membayang kembali.
Musuh yang tak sempat menghindarkan diri dari amukan para tamtama, tak ayal lagi roboh terguling tak bernyawa. Dan korban peperangan yang dahsyat itu, kini bertambah lebih banyak lagi. Kini pasukan dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu berganti menguasai medan pertempuran.
“Tumenggung Yoga !! Mundurlah beserta pasukanmu yang telah letih, dan biarlah aku yang mengganti kedudukanmu !”. Seru Bintang Minang pada Yoga Kumala.
“Gustiku Bintang tak usah kuatir akan diri saya”. jawabnya singkat. “Kedatangan Gustiku telah memulihkan tenaga kekuatan kami semua”. katanya sambil masih terus bertempur.
Akan tetapi kejadian yang nampaknya menguntungkan itu, kiranya tak berlangsung lama sebagaimana dikehendaki pasukan penyerang. Karena tiba2 saja, suara Senapati Sanggahan Alam menggema lantang bagaikan guntur disiang hari.
“Haiiii ! Seluruh tamtamaku dari kerajaan Sriwijaya !! Atas nama Sri Baginda Maharaja kuperintahkan, tumpaslah musuh kita !!! Kekuatan kita masih jauh lebih besar dari pada kekuatan mereka ! Ikutilah aku !”.
Berseru demikian Sanggahan Alam meloncat turun dari punggung gajahnya dan langsung jatuh terduduk diatas pelana kuda tunggangannya yang telah berada di tengah-tengah para pengawalnya. Perisai baja ditangan kiri dilempar jauh-diauh, dan dengan pedang pusakanya yang telah terhunus ditangan kanan ia mulai mengamuk ditengah kancah pertempuran. Kudanya yang tinggi besar berulaskan hitam kemerah-merahan itu seakan2 telah sehati dengan tuannya.
Ternyata Sanggahan Alam sebagai seorang Senapati Manggala Yudha memiliki kesaktian yang amat tangguh. Gerakan nya sangat tangkas, dan pedang pusakanya berkelebatan bagaikan kupu2 yang tengah menari. Pusakanya yang telah bercerai-berai, kini merapat bersatu kembali dan bertempur dengan gigihnya, mengikuti jejak pimpinannya. Kiranya Sanggahan Alam yang telah berpengalaman luas itu tak mudah menyerah dengan hanya diperdayai siasat demikian.
“Hahaha… hahahahaaaaa…! Tumenggung Yoga Kumala !! Aku Sanggahan Alam tak mungkin dapat kau tipu secara permainan anak2 !”. Serunya lantang sambil memacu kudanya ke arah Yoga Kumala.
Suara tawanya yang terbahak bahak terdengar menyeramkan. Jelas bahwa pemusatan tenaga dalamnya mengiringi gelak tawanya yang menggema. Akan tempi sewaktu Yoga Kumala siaga hendak menyambut datangnya Sanggahan Alam, tiba2 Bintang Minang telah melintang dihadapannya, sambil berseru.
“Mundur !II Dan serahkan priyagung musuh padaku !”.
Sesaat kemudian dua orang Senapati Manggala Yudha itu telah bertempur dengan sengitnya. Dikala itu, matahari telah mulai memasuki garis cakrawala di sebelah barat, dan kini tinggal nampak separo saja. Pancaran sinarnya yang merah lembayung menghiasi seluruh alam. Dan perlahan-lahan haripun menjadi gelap remang2.
Tiba2 kuda tunggangan Bintang Minang melompat tinggi melampaui ber-puluh2 tamtama yang mengurungnya dan lari kencang meninggalkan gelanggang pertempuran diikuti Yoga Kumala, Sontani, Braja Semandang beserta seluruh pasukannya yang masih ada, menuju ke Barat. Dan hanya suara Bintang Minanglah yang terdengar sayup-sayup dari kejauhan :
“Sanggahan Alam! Lain waktu dihari yang cerah kita tentu dapat bertemu kembali !!”.
Kini pertempuran yang belum berakhir, berhenti dengan sendirinya. Kedua pasukan yang bermusuhan, masing-masing meninggalkan gelanggang memenuhi perintah pimpinannya. Bintang Minang dan Yoga Kumala, beserta seluruh pasukan menuju ke arah barat, sedangkan Sanggahan Alam mundur ke arah Timur diikuti segenap pasukannya.
Dilembah hutan utara sungai Batangharileka dan Sungai Lawas itulah pasukan Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung kemudian membangun kubu-kubu darurat untuk beristirahat serta hendak mengatur siasat selanjutnya.
“Bagaimana pendapatmu tentang kelanjutan peperangan ini, Tumenggung Yoga Kumala ?”. Bintang Minang membuka percakapan sambil meneguk minumannya setelah ia berada dalam kemah.
“Gustiku Bintang Minang tentunya lebih mengetahui tentang hal ini, dan saya akan tetap patuh menjunjung titah-titah Gustiku ?”. jawab Yoga Kumala singkat.
“Kegagalan!!! Kegagalan yang membawa banyak korban !”. Geramnya Bintang Minang pada diri sendiri. “Aneh!! Mengapa kita harus mengalami kegagalan sedemikian rupa!!!”.
Wajahnya muram dan keningnya berkerut. Ia memandang tajam-tajam lurus ke depan sambil meremas-remas batu yang berada dalam genggaman tangan kirinya hingga hancur mendebu. Mulutnya terkatub rapat kembali dengan giginya berkerot gemertakan. Seakan-akan ia lupa bahwa dihadapannya banyak perwira tamtama yang sedang duduk menghadap. Namun satupun diantara para perwira tamtama itu tak ada yang berani mengucapkan sepatah kata. Semuanya duduk dengan kepala tertunduk.
Yoga Kumala dan Sontani pun terdiam pula. Mereka tahu, bahwa Bintang Minang panglimanya sedang murka. Marah karena mengalami kegagalan dalam melakukan serangan. Kemarahan yang tercampur dengan rasa penyesalan serta kesedihan yang tak terhingga. Marah, karena siasat yang telah diperhitungkan berbulan-bulan dengan cermat, tiba-tiba hancur berantakan dalam waktu satu hari saja. Dan sedih, karena banyaknya tamtama setia terpaksa gugur dimedan laga, dan belum lagi terhitung banyaknya tamtama yang luka2.
Suatu kegagalan yang tak diduga-duga sama sekali. Dan yang paling mengesalkan ialah, tak diketahui sebab-musabab dari kegagalan siasatnya. Seandainya saja bukan Yoga Kumala yang memimpin pasukan penyerang pertama, mungkin akan mengalami kehancuran seluruhnya, pikirnya. Dan diam-diam ia memuji pula dalam hati akan keshaktian serta sifat-sifat ksatriaan Yoga Kumala.
Semula Bintang Minang mengharap akan mengetahui sebab musabab kegagalan serangan Yoga Kumala, akan tetapi ternyata Yoga Kumala sendiri tak mengetahui sama sekali latar belakang dari kegagalan serangannya. Tetapi ini semua telah terjadi. Dan ia sebagai manusia biasa tak kuasa merobah sesuatu yang telah terjadi, Sampai disini pikirannya yang keruh perlahan-lahan menjadi tenang kembali. Ia masih harus berterima kasih pada Dewata Yang Maha Agung, bahwa hari tadi tak mengalami kehancuran seluruhnya.
***
SUASANA yang sunyi diliputi rasa tegang itu berlangsung agak lama. Minuman panas dihadapan para Perwira tamtama hingga dingin tak ada yang berani menyentuhnya. Waktu telah tengah malam, namun tak seorangpun berani bergeser dari tempat duduknya masing-masing. Semua diam tertunduk bagaikan patung. Semua segera merasa lapang, setelah Bintang Minang tiba-tiba bangkit berdiri dan melangkah keluar dari perkemahan, sambil berkata.
“Sudah !! Silahkan semua mengaso !! Esok pagi-pagi kita bicarakan lagi !”. dan kemudian “Tumenggung Yoga Kumala dan Sontani ! Ikutilah aku. Ada sesuatu yang hendak kubicarakan dengan kalian berdua !”.
Tanpa menjawab sepatah kata, Yoga Kumala dan Sontani segera bangkit berdiri serta mengikuti langkah Bintang Minang.
Dengan langkah yang berat serta perlahan-perlahan Bintang Minang diikuti Yoga Kumala dan Sontani, mendaki tanggul tebing kali Sungai Batangharileka yang tak jauh letaknya dari tempat perkemahan mereka. Setelah dirasakan aman tempat sekitarnya, mereka bertiga segera duduk diatas sebuah batu besar yang rata permukaannya.
Terasalah hawa udara di luar dalam gelap malam yang remang remang, amat sejuk dan menyegarkan badan. Langit biru membentang bersih dan bintang-bintang diangkasa memancarkan cahaya gemerlapan. Dengan suara perlahan dan tenang, Bintang Minang mulai membuka percakapan.
“Apakah Tumenggung Yoga Kumala atau Panewu Sontani dapat memperkirakan akan sebab musabab dari kegagalan serangan kita ? Dan bagaimanakah nasib pasukan Kobar serta pasukan Damar Kerinci yang bersama-sama menyerang dari Timur dan Selatan, menurut dugaan kalian?” tanyanya.
Mendengar pertanyaan Bintang Minang, Sontani diam tertunduk Sesaat ia memandang wajah Yoga Kumala, dan setelah itu ia menundukkan kembali mukanya. la sendiri tak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Dan kiranya Yoga Kumala cepat menangkap akan isi hati Sontani. Bahwa untuk menjawab pertanyaan Bintang Minang diserahkan padanya.
“Pertanyaan Gustiku sesungguhnya saya sendiri tak dapat menjawab. Akan tetapi keanehan yang telah saya alami tadi, sewaktu Gustiku belum tiba dimedan pertempuran, mungkin erat sekali hubungannya dengan pertanyaan Gustiku”. Jawab Yoga Kumala sambil menatap wajah Bintang Minang sejenak.
“Coba jelaskan ! Apa yang kau maksudkan dengan pengalaman yang aneh itu?”. Desak Bintang Minang.
“Bukankah itu suatu keanehan, apabila Sanggahan Alam telah mengenal nama saya dengan jelas, sebelum saya memperkenalkan? Sedangkan Gustiku Bintang Minang mengetahui sendiri, bahwa saya baru pertama kali ini menginjakkan kaki di bumi Kerajaan Sriwijaya”.
“Benarkah, apa yang kau katakan?” Bintang Minang memotong, seakan-akan ia belum percaya pada kata2 Yoga Kumala.
“Benar, Gusti. Dan karena itulah saya sangat merasa heran. Menurut dugaan saya, tentu ada orang kita yang membocorkan. Hanya saja, siapa orangnya, saya sendiri belum dapat menebak”.
Dan kini ketiga-tiganya menjadi terdiam sejenak. Mereka saling pandang dengan diliputi sebuah teka-teki dalam hati masing-masing.
“Jika demikian, tentulah ada pengkhianat yang berselimut dalam pasukan kita sendiri!”. Tiba-tiba Bintang Minang memecah kesunyian, sambil mengepal2 tinjunya. “Mudah-mudahan saja pasukan Damar Kerinci tak mengalami kehancuran karena pengkhianatan ini!” desisnya.
“Yaaaaa… sayapun berharap demikian. Gusti!”. Sahut Yoga Kumala.
“Dugaanmu tepat. Dan sama dengan apa yang yang ku perkirakan. Sesungguhnya sejak aku melihat melintasnya panah api pada hari kemaren malam, akupun telah curiga. Perobahan waktu yang tiba-tiba, tentunya tak mungkin terjadi apabila tak ada sesuatu kejadian diluar perhitungan kita. Dan pada malam itu akupun telah mengirim beberapa tamtama narasandi sebagai penghubung yang dipimpin Lurah tamtama Jala Mantra untuk menemui Tumenggung Anom Kobar, guna menanyakan hal itu. Akan tetapi hingga sekarang mereka yang kuutus itupun belum kembali. Maka kini menjadi sulitlah bagiku untuk menentukan sikap selanjutnya”.
Percakapan menjadi terhenti kembali, dan suasananya sunyi senyap tertelan oleh sepinya malam.
“Sssssssstt… ada suara derap langkah kuda yang menuju kemari dari arah Timur, jauh diseberang sungai. Gusti !”.
Yoga Kumala tiba-tiba berkata perlahan setengah berbisik sambil menempelkan jari telunjuknya pada bibir mulutnya, sebagai isyarat agar semua berlaku waspada. Dan kini pandang mata ketiganya mengarah ke Timur, menyusupi jauh di gelap malam yang sepi.
Ach… aku tak mendengar apa-apa selain suara mengalirnya air sungai ini. Dan tak melihat sama sekali adanya kuda mendatang dari kejauhan, pikir Sontani. mungkin Gusti Yoga terlalu letih dan ingatannya masih terpengaruh pertempuran yang belum lama berselang.
“Sungguh tajam pendengaranmu. Tumenggung Yoga! Tetapi jika tak salah hanya seekor kuda yang tengah mendekat !”. Bintang Minang menyahut.
Mendengar percakapan dua orang ini Sontani menjadi semakin heran. Telinganya dipasang lebar-lebar dan sepasang matanya memandang tajam jauh ke arah timur, namun belum juga ia dapat menangkap suara yang dimaksud. Pun tak melihat adanya benda yang bergerak mencurigakan di kejauhan.
“Ijinkanlah saya sendiri yang menyambutnya dari seberang sungai dibalik semak-semak itu, Gusti !”. Yoga Kumala berkata kemudian, dan berkelebat bagaikan bayangan meninggalkan Bintang Minang dan Sontani.
Bersamaan dengan menghilangnya Yoga Kumala di gelap malam, kini nampak remang2 di kejauhan sebuah titik hitam bergerak mendekat. Dan semakin lama, makin jelaslah bahwa yang tengah meluncur datang itu seekor kuda beserta penunggangnya yang duduk tertelungkup diatas pelana.
Bintang Minang dan Sontani segera sembunyi dibalik batu besar, sambil mengawasi dengan hati berdebar2. Sementara itu, Yoga Kumala telah berada diseberang sungai, siap menyambut datangnya orang tidak dikenal.
Larinya kuda amat kencang, dan jarak antara Yoga Kumala dengannya semakin dekat. Kini tinggal kira2 seratus langkah lagi, tetapi kuda itu masih berlari dengan kencangnya kearah dimana Yoga Kumala sembunyi.
Jarak kini tinggal lima puluh langkah, tigapuluh langkah, dua puluh langkah, dan kini hanya tinggal sepuluh langkah lagi. Bintang Minang dan Sontani yang mengikuti dari kejauhan menjadi cemas. Detak jantungnya semakin berdebar-debar diliputi rasa was-was. Mengapa Yoga Kumala masih saja sembunyi dan tak mau mendahului menyerang dengan lemparan pisau ataupun sabetan pedangnya ?I, pikir mereka. Tiba-tiba
“bbbrrruuuuukkk !!”
Sebelum Bintang Minang dan Sontani mengetahui dengan jelas, kuda roboh terguling di tanah dengan suara ringkikan yang tertahan pendek. Sedangkan penunggangnya jatuh terpental dan berada dalam pelukan tangan Yoga Kumala.
Ternyata sewaktu kuda hanya tinggal lima langkah lagi jaraknya, Yoga Kumala melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Ia langsung menerjang kuda yang sedang lari dengan kencang ke arahnya. Jari-jari tangan kirinya mengembang tegang, dan menyerang dengan totokan ke arah urat nadi paha kaki kanan depan si kuda, sedangkan telapak tangan kanannya digunakan untuk memukul rahang kuda dengan gerakan pukulan dari bawah serong ke atas.
Tak ayal lagi, kuda jatuh terperosok untuk kemudian berguling di tanah dengan kepala yang terkilir. Dan secepat itu pula, ia menubruk si penunggang kuda yang jatuh terpental kira2 tiga langkah darinya. Akan tetapi, betapa terkejutnya setelah mengetahui bahwa orang itu tak bergerak dan ternyata ada sebatang anak panah tertancap dipunggungnya.
Sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu usadha, Yoga Kumala segera tahu, bahwa orang itu tentu telah lama tak sadarkan diri karena luka yang dideritanya sangat parah dan membahayakan jiwanya.
Sipenunggang kuda yang masih tak sadarkan diri itu segera diangkat dan didukung diatas pundak kirinya, untuk kemudian dibawa kembali menyeberangi sungai yang tak seberapa lebar itu. Dengan sekali tendang, kuda yang berguling ditanah tadi telah habis riwayatnya, sewaktu Yoga Kumala hendak kembali menyeberangi sungai.
Sontani segera keluar dari tempat persembunyian atas perintah Bintang Minang, untuk menyambut kedatangan Yoga Kumala yang kelihatan mendukung orang diatas pundaknya.
“Musuhkah orang itu, Gusti Yoga?”. tanya Sontani tergopoh-gopoh.
“Menilik pakaiannya, ku rasa bukan!”. jawab Yoga Kumala sambil berjalan mendekat. “Mari kita periksa di tempat terang! Ia luka parah terkena anak panah beracun dan tak sadarkan diri”, Sambungnya.
“Kita periksa di kemahku!”. perintah Bintang Minang kemudian, serta berjalan mendahului.
Sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu usadha, Yoga Kumala segera tahu, bahwa orang itu tentu telah lama tak sadarkan diri karena luka yang dideritanya sangat parah dan membahayakan jiwanya.
Sipenunggang kuda yang masih tak sadarkan diri itu segera diangkat dan didukung diatas pundak kirinya, untuk kemudian dibawa kembali menyeberangi sungai yang tak seberapa lebar itu. Dengan sekali tendang, kuda yang berguling ditanah tadi telah habis riwayatnya, sewaktu Yoga Kumala hendak kembali menyeberangi sungai.
Sontani segera keluar dari tempat persembunyian atas perintah Bintang Minang, untuk menyambut kedatangan Yoga Kumala yang kelihatan mendukung orang diatas pundaknya.
“Musuhkah orang itu, Gusti Yoga?”. tanya Sontani tergopoh-gopoh.
“Menilik pakaiannya, ku rasa bukan!”. jawab Yoga Kumala sambil berjalan mendekat. “Mari kita periksa di tempat terang! Ia luka parah terkena anak panah beracun dan tak sadarkan diri”, Sambungnya.
“Kita periksa di kemahku!”. perintah Bintang Minang kemudian, serta berjalan mendahului.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment