Alun-alun Kota Raja Negeri Tanah Melayu kelihatan terang benderang seperti diwaktu siang tengah hari, karena pancaran sinar lampu-lampu obor yang tak terhitung jumlahnya.
Suara ringkikan kuda yang beribu-ribu dan suara bercakap-cakapnya para tamtama yang tak terhitung jumlahnya, walaupun lirih berkumandang mendengung bagaikan lebah dalam sarang, memecah kesunyian malam. Seakan malam itu seluruh Kota Raja dalam keadaan bangun. Barisan tamtama Kerajaan memenuhi alun-alun yang amat luas, bahkan hingga meluap keluar batas tembok, dijalan-jalan raya. Semua dalam keadaan siap siaga untuk berangkat ke medan Yudha. Panji-panji kebesaran serta lambang-lambang barisan kesatuan dan Bendera Shakti Dwiwarna berkibar megah dalam barisan terdepan.
Setelah upacara pemeriksaan barisan selesai, dan segenap pasukan selesai pula memanjatkan doa pada Dewata Yang Maba Agung untuk mohon perlindunganNya, dibawah pimpinan para Pendeta Istana, kini pasukan besar Kerajaan Negeri Tanah Melayu mulai bergerak meninggalkan Kota Raja, ke arah Tenggara dengan tujuan Kota Raja lama Jambi.
Sang Senopati Manggala Yudha Bintang Minang, berkenan sendiri memimpin pasukan besar yang akan berangkat ke medan Yudha. Suara mengaungnya gong dipukul tiga kali dan disusul tiupan seruling serta bertalunya genderang yang memekakkan telinga, mengiringi bergeraknya pasukan besar meninggalkan Kota Raja.
Suara gemerincingnya senjata-senjata yang bergesekan, ringkikan kuda yang sahut menyahut, serta derap langkah kaki kuda yang gemuruh tak ada putusnya, membangunkan desa-desa yang sedang tenggelam nyenyak dalam kesunyian malam. Namun para penduduk desa yang dilalui, tak seorangpun berani menampakkan dirinya. Mereka hanya mengintip dari celah-celah dinding bambu anyaman, sambil memondong dan mendekap anak-anak kecil mereka dengan penuh rasa takut. karena tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dan diantaranya banyak pula yang tergopoh-gopoh berkemas mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu segera lari mengungsi ke lain desa, apabila terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Bahkan ada pula yang menyumbat mulut anak-anaknya sendiri, mencegah keluarnya suara tangis, sambil duduk gemetar, tak tahu apa yang harus diperbuat selanjutnya. Hal itu sebenarnya tak mengherankan, karena mereka sama sekali tak mengetahui sebelumnya, bahwa hari itu Kerajaannya akan memulai dengan perang besar, mengendihkan Kerajaan Sriwijaya.
Pasukan besar yang berkekuatan tak kurang dari lima belas ribu tamtama bersenjata, bergerak melalui sebelah barat kaki gunung Sulasih, dan kini tiba di hulu Sungai Batanghari. Setelah berjalan 7 hari lamanya dengan mengikuti mengalirnya Sungai Batanghari, pasukan tiba di desa Muara Tebo yang terletak antara persimpangan Sungai Batanghari dan muara Sungai Tebo yang mengalir menjadi satu dengan Sungai besar Batanghari.
Sehari semalam pasukan beristirahat di dataran muara Sungai Tebo guna memulihkan tenaga. Dan setelah itu, pasukan bergerak lagi mengikuti mengalirnya Sungai Batanghari selama dua hari dua malam hingga tiba di muara Sungai Trembesi, anak cabang dari Sungai Batanghari. Setelah pasukan melepas lelah dengan berkemah semalam Iamanya, kini bergerak lagi langsung menuju kota Jambi yang tak jauh lagi letaknya. Pasukan berkuda mendahului memasuki Jambi untuk mempersiapkan segala sesuatu yang bertalian dengan penampungan induk pasukan besar Kerajaan Negeri Tanah Melayu.
Mendadak sontak kota Jambi menjadi ramai kembali, penuh dengan para tamtama. Pertahanan-pertahanan batas kota dibangun dengan amat kokohnya. Pada esok harinya para Manggala dan segenap perwira-perwira tamtama merundingkan siasat penyerangan selanjutnya, sesuai garis-garis besar yang telah ditentukan.
Dua pertiga bagian dari induk pasukan dengan kekuatan kira-kira 10.000 orang tamtama kemudian dipecah menjadi empat bagian. Sebagian pasukan dibawah Senopati Manggala tamtama Samodra Damar Kerinci yang berkekuatan 3000 tamtama mendahului berlayar menyusuri pantai ke arah tenggara dengan melalui Selat Pulau Kota Kapur (Bangka) untuk kemudian menuju Sungai Mesuji.
Menyusul kemudian Kobar didampingi Berhala dan Gumarang memimpin pasukan berkekuatan 3000 tamtama dengan tujuan Muara Sungai Banyuasin, kemudian menyerang pertahanan dekat Kota Raja yang berada di muara Sungai Musi. Dan bersamaan dengan itu, 1000 orang tamtama mengawal Sang Senopati Muda dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang bertindak sebagai utusan Sri Baginda Maharaja Adhityawarman langsung menuju ke Kota Raja Sriwiyaja, dengan melalui Bandar Muara Musi, untuk menyampaikan surat penantang perang.
Yoga Kumala didampingi Sontani dan Braja Semandang dIserahi tugas memimpin pasukan berkekuatan 3000 orang tamtama berkuda, dengan tujuan ke dataran hulu Sungai Banyuasin, kemudian langsung menggempur pertahanan lawan yang terkuat di sepanjang Sungai Musi.
Sedangkan induk pasukan yang tinggal berkekuatan kira-kira 5000 orang tamtama, dimaksudkan sebagai cadangan dan akan bergerak mengikuti pasukan Yoga Kumala dalam jarak yang agak jauh untuk dapat mengambil alih serta menguasai medan yudha. apabila pasukan Yoga Kumala mengalami kegagalan. Dengan demikian maka tugas Induk pasukan adalah sebagai godham terakhir.
Jala Mantra memimpin pasukan penghubung, sedangkan para tamtama narasandhi ditugaskan mengikuti induk pasukan, sebagai penunjuk jalan setelah nanti dapat memasuki Kota Raja lawan, ataupun melaksanakan tugas-tugas khusus apabila dipandang perlu.
Sementara Jambi ditinggalkan, pasukan baru yang diberangkatkan dari Kota Raja diperkirakan telah tiba dan menggantikan kedudukannya, dengan tugas-tugas menyusun pertahanan demi mencegah kemungkinan gagalnya serangan serta menanggulangi serangan-serangan balasan lawan, Tiap-tiap pasukan yang kini mulai bergerak disertai pula dengan para penunjuk jalan yang telah mengenal dengan baik akan keadaan alam sekitarnya yang akan dilalui.
“Berapa hari lagi kita sampai di tempat tujuan, Gusti Yoga?”. tiba-tiba Sontani bertanya, memecah kesunyian sambil masih berkuda disamping Yoga Kumala.
“Yaaa… Aku sendiri belum tahu dengan pasti!”. jawab Yoga Kumala singkat dengan mengerutkan keningnya, serta mengusap keringat yang membasahi muka dengan lengan bajunya. “Sebaiknya kita berhenti sebentar ditengah hutan ini, dan panggilah segera si Dirham penunjuk jalan kita yang berada di depan!”. Perintah Yoga Kumala pada Sontani selanjutnya.
Dengan tangkas Sontani memacu kudanya untuk menyampaikan perintah Yoga Kumala pada perwira-perwira tamtama pimpinan kelompok, agar mereka menghentikan pasukannya masing-masing, sedangkan Braja Semandang tanpa diperintah lagi telah memacu kudanya untuk menyusul Dirham si penunjuk jalan yang kemudian segera kembali menghadap Yoga Kumala bersamanya.
“Dirham! berapa lama lagi kita akan sampai di hulu Sungai Banyuasin?”. Yoga bertanya.
“Jika tak ada rimangan, perjalanan dapat ditempuh dalam waktu dua hari, Gusti Tumenggung! Akan tetapi…”.
“Akan tetapi apa lagi?!”. Desak Yoga Kumala.
Berkata demikian Yoga Kumala turun dari pelana kudanya dikuti Dirham, Sontani dan Braja Semandang untuk kemudian duduk ditanah dibawah sebuah pohon rindang, setelah mana mereka menambatkan kudanya masing-masing.
Sambil duduk menghadap Yoga Kumala, Dirham melanjutkan bicaranya. “Maksud saya… setelah nanti Tuanku Gusti Tumenggung beserta pasukan menyeberangi Sungai Tungkal, saya hendak mendahului berkuda sampai di daerah keluang. Dan apabila keadaan disana aman, saya akan segera kembali untuk melapor pada Gusti”.
“Daerah keluang?! Daerah siapa dan dimana itu?!”.
Suara ringkikan kuda yang beribu-ribu dan suara bercakap-cakapnya para tamtama yang tak terhitung jumlahnya, walaupun lirih berkumandang mendengung bagaikan lebah dalam sarang, memecah kesunyian malam. Seakan malam itu seluruh Kota Raja dalam keadaan bangun. Barisan tamtama Kerajaan memenuhi alun-alun yang amat luas, bahkan hingga meluap keluar batas tembok, dijalan-jalan raya. Semua dalam keadaan siap siaga untuk berangkat ke medan Yudha. Panji-panji kebesaran serta lambang-lambang barisan kesatuan dan Bendera Shakti Dwiwarna berkibar megah dalam barisan terdepan.
Setelah upacara pemeriksaan barisan selesai, dan segenap pasukan selesai pula memanjatkan doa pada Dewata Yang Maba Agung untuk mohon perlindunganNya, dibawah pimpinan para Pendeta Istana, kini pasukan besar Kerajaan Negeri Tanah Melayu mulai bergerak meninggalkan Kota Raja, ke arah Tenggara dengan tujuan Kota Raja lama Jambi.
Sang Senopati Manggala Yudha Bintang Minang, berkenan sendiri memimpin pasukan besar yang akan berangkat ke medan Yudha. Suara mengaungnya gong dipukul tiga kali dan disusul tiupan seruling serta bertalunya genderang yang memekakkan telinga, mengiringi bergeraknya pasukan besar meninggalkan Kota Raja.
Suara gemerincingnya senjata-senjata yang bergesekan, ringkikan kuda yang sahut menyahut, serta derap langkah kaki kuda yang gemuruh tak ada putusnya, membangunkan desa-desa yang sedang tenggelam nyenyak dalam kesunyian malam. Namun para penduduk desa yang dilalui, tak seorangpun berani menampakkan dirinya. Mereka hanya mengintip dari celah-celah dinding bambu anyaman, sambil memondong dan mendekap anak-anak kecil mereka dengan penuh rasa takut. karena tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dan diantaranya banyak pula yang tergopoh-gopoh berkemas mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu segera lari mengungsi ke lain desa, apabila terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Bahkan ada pula yang menyumbat mulut anak-anaknya sendiri, mencegah keluarnya suara tangis, sambil duduk gemetar, tak tahu apa yang harus diperbuat selanjutnya. Hal itu sebenarnya tak mengherankan, karena mereka sama sekali tak mengetahui sebelumnya, bahwa hari itu Kerajaannya akan memulai dengan perang besar, mengendihkan Kerajaan Sriwijaya.
Pasukan besar yang berkekuatan tak kurang dari lima belas ribu tamtama bersenjata, bergerak melalui sebelah barat kaki gunung Sulasih, dan kini tiba di hulu Sungai Batanghari. Setelah berjalan 7 hari lamanya dengan mengikuti mengalirnya Sungai Batanghari, pasukan tiba di desa Muara Tebo yang terletak antara persimpangan Sungai Batanghari dan muara Sungai Tebo yang mengalir menjadi satu dengan Sungai besar Batanghari.
Sehari semalam pasukan beristirahat di dataran muara Sungai Tebo guna memulihkan tenaga. Dan setelah itu, pasukan bergerak lagi mengikuti mengalirnya Sungai Batanghari selama dua hari dua malam hingga tiba di muara Sungai Trembesi, anak cabang dari Sungai Batanghari. Setelah pasukan melepas lelah dengan berkemah semalam Iamanya, kini bergerak lagi langsung menuju kota Jambi yang tak jauh lagi letaknya. Pasukan berkuda mendahului memasuki Jambi untuk mempersiapkan segala sesuatu yang bertalian dengan penampungan induk pasukan besar Kerajaan Negeri Tanah Melayu.
Mendadak sontak kota Jambi menjadi ramai kembali, penuh dengan para tamtama. Pertahanan-pertahanan batas kota dibangun dengan amat kokohnya. Pada esok harinya para Manggala dan segenap perwira-perwira tamtama merundingkan siasat penyerangan selanjutnya, sesuai garis-garis besar yang telah ditentukan.
Dua pertiga bagian dari induk pasukan dengan kekuatan kira-kira 10.000 orang tamtama kemudian dipecah menjadi empat bagian. Sebagian pasukan dibawah Senopati Manggala tamtama Samodra Damar Kerinci yang berkekuatan 3000 tamtama mendahului berlayar menyusuri pantai ke arah tenggara dengan melalui Selat Pulau Kota Kapur (Bangka) untuk kemudian menuju Sungai Mesuji.
Menyusul kemudian Kobar didampingi Berhala dan Gumarang memimpin pasukan berkekuatan 3000 tamtama dengan tujuan Muara Sungai Banyuasin, kemudian menyerang pertahanan dekat Kota Raja yang berada di muara Sungai Musi. Dan bersamaan dengan itu, 1000 orang tamtama mengawal Sang Senopati Muda dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang bertindak sebagai utusan Sri Baginda Maharaja Adhityawarman langsung menuju ke Kota Raja Sriwiyaja, dengan melalui Bandar Muara Musi, untuk menyampaikan surat penantang perang.
Yoga Kumala didampingi Sontani dan Braja Semandang dIserahi tugas memimpin pasukan berkekuatan 3000 orang tamtama berkuda, dengan tujuan ke dataran hulu Sungai Banyuasin, kemudian langsung menggempur pertahanan lawan yang terkuat di sepanjang Sungai Musi.
Sedangkan induk pasukan yang tinggal berkekuatan kira-kira 5000 orang tamtama, dimaksudkan sebagai cadangan dan akan bergerak mengikuti pasukan Yoga Kumala dalam jarak yang agak jauh untuk dapat mengambil alih serta menguasai medan yudha. apabila pasukan Yoga Kumala mengalami kegagalan. Dengan demikian maka tugas Induk pasukan adalah sebagai godham terakhir.
Jala Mantra memimpin pasukan penghubung, sedangkan para tamtama narasandhi ditugaskan mengikuti induk pasukan, sebagai penunjuk jalan setelah nanti dapat memasuki Kota Raja lawan, ataupun melaksanakan tugas-tugas khusus apabila dipandang perlu.
Sementara Jambi ditinggalkan, pasukan baru yang diberangkatkan dari Kota Raja diperkirakan telah tiba dan menggantikan kedudukannya, dengan tugas-tugas menyusun pertahanan demi mencegah kemungkinan gagalnya serangan serta menanggulangi serangan-serangan balasan lawan, Tiap-tiap pasukan yang kini mulai bergerak disertai pula dengan para penunjuk jalan yang telah mengenal dengan baik akan keadaan alam sekitarnya yang akan dilalui.
“Berapa hari lagi kita sampai di tempat tujuan, Gusti Yoga?”. tiba-tiba Sontani bertanya, memecah kesunyian sambil masih berkuda disamping Yoga Kumala.
“Yaaa… Aku sendiri belum tahu dengan pasti!”. jawab Yoga Kumala singkat dengan mengerutkan keningnya, serta mengusap keringat yang membasahi muka dengan lengan bajunya. “Sebaiknya kita berhenti sebentar ditengah hutan ini, dan panggilah segera si Dirham penunjuk jalan kita yang berada di depan!”. Perintah Yoga Kumala pada Sontani selanjutnya.
Dengan tangkas Sontani memacu kudanya untuk menyampaikan perintah Yoga Kumala pada perwira-perwira tamtama pimpinan kelompok, agar mereka menghentikan pasukannya masing-masing, sedangkan Braja Semandang tanpa diperintah lagi telah memacu kudanya untuk menyusul Dirham si penunjuk jalan yang kemudian segera kembali menghadap Yoga Kumala bersamanya.
“Dirham! berapa lama lagi kita akan sampai di hulu Sungai Banyuasin?”. Yoga bertanya.
“Jika tak ada rimangan, perjalanan dapat ditempuh dalam waktu dua hari, Gusti Tumenggung! Akan tetapi…”.
“Akan tetapi apa lagi?!”. Desak Yoga Kumala.
Berkata demikian Yoga Kumala turun dari pelana kudanya dikuti Dirham, Sontani dan Braja Semandang untuk kemudian duduk ditanah dibawah sebuah pohon rindang, setelah mana mereka menambatkan kudanya masing-masing.
Sambil duduk menghadap Yoga Kumala, Dirham melanjutkan bicaranya. “Maksud saya… setelah nanti Tuanku Gusti Tumenggung beserta pasukan menyeberangi Sungai Tungkal, saya hendak mendahului berkuda sampai di daerah keluang. Dan apabila keadaan disana aman, saya akan segera kembali untuk melapor pada Gusti”.
“Daerah keluang?! Daerah siapa dan dimana itu?!”.
“Daerah keluang adalah perbatasan antara Negeri kita dan Kerajaan musuh. Sedang dinamakan keluang, karena daerah itu merupakan daerah yang tak bertuan. Pun keadaan alam di daerah Itu tak ubahnya seperti disini. Hutan belukar! Gusti!”.
“Berapa jauh Sungai Tungkal dari sini?”.
“Jika sekarang pasukan mulai bergerak, sebelum petang hari, tentu dapat melintasi Sungai Tungkal Gusti!”.
“Baik! Sontani! Braja Semandang! Perintahkan seluruh pasukan bergerak lagi ke arah utara lurus, Sekarang! Dan setelah petang nanti melintasi Sungai Tungkal, masing-masing kelompok supaya mencari tempat untuk berkemah dalam bentuk pasukan “Naga Tapa. O ya…! Jangan lupa akan perubahan sandiwara untuk petang nanti serta penjagaan keamanan!”.
Semua segera siap diatas punggung kuda, dan pasukan bergerak maju lagi melalui hutan belukar dan rawa-rawa. Sebelum senja pasukan telah menyeberangi Sungai Tungkal, dan mereka berhenti berkemah, sementara Dirham dan Sontani dengan membawa pasukan pengawal bergerak terus menyusupi hutan belukar ke daerah keluang untuk melihat keamanan di sekitar daerah itu.
Dengan didampingi Braja Semandang dan diiringkan pasukan pengawal, Yoga Kumala memeriksa segenap pasukan beserta perbekalannya. Perwira-perwira tamtama dan segenap pimpinan kelompok pasukan dikumpulkan, untuk menerima petunjuk-petunjuk gerakan pasukan selanjutnya. Pun pada mereka diperintahkan, agar kewaspadaan lebih ditingkatkan, karena pasukan kini berada tak jauh dari daerah perbatasan musuh. Terkecuali para tamtama yang berjaga, pengawal pengintai dan tamtama peronda keliling, semua pasukan pada malam itu diperkenankan istirahat dalam kubu masing-masing.
Suasana amat sepi, dan gelap malam yang pekat menambah tegangnya perasaan para tamtama yang sedang bertugas jaga. Tiba-tiba terdengar suara anjing hutan melolong panjang serta menyeramkan dari tempat pengawal pengintai yang berada tinggi diatas pohon tengah hutan. dan sesaat kemudian dari kejauhan terdengar suara burung hantu menggema dimalam menjelang fajar yang sunyi itu, disusul dengan suara derap langkah kuda yang kian mendekat.
Mereka yang datang itu adalah Sontani dengan Dirham beserta pengawalnya. Setelah melewati tempat pengawal pengintai; mereka berjalan langsung menuju ke kemah besar di mana Yoga Kumala berada.
“Gusti Yoga! Sekitar daerah keluang aman! Akan tetapi setelah melewati daerah keluang terdapat dataran terbuka yang amat luas dengan batas Sungai Batangharileka di sebelah barat, dan di sebelah tenggara utara terbatas pada hutan dimana hulu sungai Banyuasin bersumber. Kami telah berusaha mendekat dengan menyusuri tebing-tebing bungai Batangharileka. Dan dari sanalah kami dapat melihat adanya pengawal pengintai di hutan itu”. Sontani memberikan laporan.
“Baiklah! Jika demikian, esok malam saya akan memerintahkan sebagaian pasukan panah untuk memasuki hutan itu. Dan jika kupandang perlu, saya sendirilah yang akan memimpinnya. Sekarang kau dan Dirham serta para pengawalmu sebaiknya istirahat dulu!”. Perintah Yoga Kumala.
***
MALAM ITU amat gelap. Awan hitam tebal menggantung di angkasa, hujan rintik-rintik mulai turun, Suara guntur gemuruh susul menyusul, diseling suara mengamparnya petir yang berkilatan menyambar-nyambar diudara. Barisan tamtama pemanah yang berkuda sebanyak kira2 100 orang dibawah pimpinan Yoga Kumala masih bergerak maju dengan pesatnya, menyusuri tebing-tebing sungai Batangharileka yang amat licin dan berliku-liku ke arah muara.
Mereka basah kuyup dan sesekali ada yang jatuh terperosok karena berlekok-lekoknya serta licinnya jalan yang di lalui. Namun pasukan berjalan terus tanpa mengindahkan gangguan hujan maupun gelapnya malam.
“Malam ini kita harus dapat menguasai hutan yang berada di hulu sungai Banyuasin itu”, kata Yoga Kumala pada Sontani, sambil memacu kudanya.
“Tugas ini sesungguhnya Gustiku dapat menyerahkan sepenuhnya pada diri saya”, jawab sontani yang berkuda disampingnya.
“Pendapatmu memang benar. Tetapi aku bermaksud ingin mengetahui sendiri keadaan hutan itu. Karena jika mungkin, sebelum fajar pasukan seluruhnya akan kupindahkan ke situ”.
“O , begitukah maksud Gusti Yoga! Jika demikian, sayapun hanya mentaati perintah Gustiku!”.
Pembicaraan masing-masing terlalu singkat, hingga sukar untuk diikuti oleh yang mendengar akan percakapannya. Keduanya menunjukkan wajah yang bersungut-sungut. Langkah kudanya berderap tetap, dan mereka berduapun selalu berjajar berdampingan, disusul para tamtama yang berkuda urut-urutan memanjang dibelakangnya. Dataran terbuka yang luas itu, kini teIah dilaluinya hampir separo.
“Berapa jauh Sungai Tungkal dari sini?”.
“Jika sekarang pasukan mulai bergerak, sebelum petang hari, tentu dapat melintasi Sungai Tungkal Gusti!”.
“Baik! Sontani! Braja Semandang! Perintahkan seluruh pasukan bergerak lagi ke arah utara lurus, Sekarang! Dan setelah petang nanti melintasi Sungai Tungkal, masing-masing kelompok supaya mencari tempat untuk berkemah dalam bentuk pasukan “Naga Tapa. O ya…! Jangan lupa akan perubahan sandiwara untuk petang nanti serta penjagaan keamanan!”.
Semua segera siap diatas punggung kuda, dan pasukan bergerak maju lagi melalui hutan belukar dan rawa-rawa. Sebelum senja pasukan telah menyeberangi Sungai Tungkal, dan mereka berhenti berkemah, sementara Dirham dan Sontani dengan membawa pasukan pengawal bergerak terus menyusupi hutan belukar ke daerah keluang untuk melihat keamanan di sekitar daerah itu.
Dengan didampingi Braja Semandang dan diiringkan pasukan pengawal, Yoga Kumala memeriksa segenap pasukan beserta perbekalannya. Perwira-perwira tamtama dan segenap pimpinan kelompok pasukan dikumpulkan, untuk menerima petunjuk-petunjuk gerakan pasukan selanjutnya. Pun pada mereka diperintahkan, agar kewaspadaan lebih ditingkatkan, karena pasukan kini berada tak jauh dari daerah perbatasan musuh. Terkecuali para tamtama yang berjaga, pengawal pengintai dan tamtama peronda keliling, semua pasukan pada malam itu diperkenankan istirahat dalam kubu masing-masing.
Suasana amat sepi, dan gelap malam yang pekat menambah tegangnya perasaan para tamtama yang sedang bertugas jaga. Tiba-tiba terdengar suara anjing hutan melolong panjang serta menyeramkan dari tempat pengawal pengintai yang berada tinggi diatas pohon tengah hutan. dan sesaat kemudian dari kejauhan terdengar suara burung hantu menggema dimalam menjelang fajar yang sunyi itu, disusul dengan suara derap langkah kuda yang kian mendekat.
Mereka yang datang itu adalah Sontani dengan Dirham beserta pengawalnya. Setelah melewati tempat pengawal pengintai; mereka berjalan langsung menuju ke kemah besar di mana Yoga Kumala berada.
“Gusti Yoga! Sekitar daerah keluang aman! Akan tetapi setelah melewati daerah keluang terdapat dataran terbuka yang amat luas dengan batas Sungai Batangharileka di sebelah barat, dan di sebelah tenggara utara terbatas pada hutan dimana hulu sungai Banyuasin bersumber. Kami telah berusaha mendekat dengan menyusuri tebing-tebing bungai Batangharileka. Dan dari sanalah kami dapat melihat adanya pengawal pengintai di hutan itu”. Sontani memberikan laporan.
“Baiklah! Jika demikian, esok malam saya akan memerintahkan sebagaian pasukan panah untuk memasuki hutan itu. Dan jika kupandang perlu, saya sendirilah yang akan memimpinnya. Sekarang kau dan Dirham serta para pengawalmu sebaiknya istirahat dulu!”. Perintah Yoga Kumala.
***
MALAM ITU amat gelap. Awan hitam tebal menggantung di angkasa, hujan rintik-rintik mulai turun, Suara guntur gemuruh susul menyusul, diseling suara mengamparnya petir yang berkilatan menyambar-nyambar diudara. Barisan tamtama pemanah yang berkuda sebanyak kira2 100 orang dibawah pimpinan Yoga Kumala masih bergerak maju dengan pesatnya, menyusuri tebing-tebing sungai Batangharileka yang amat licin dan berliku-liku ke arah muara.
Mereka basah kuyup dan sesekali ada yang jatuh terperosok karena berlekok-lekoknya serta licinnya jalan yang di lalui. Namun pasukan berjalan terus tanpa mengindahkan gangguan hujan maupun gelapnya malam.
“Malam ini kita harus dapat menguasai hutan yang berada di hulu sungai Banyuasin itu”, kata Yoga Kumala pada Sontani, sambil memacu kudanya.
“Tugas ini sesungguhnya Gustiku dapat menyerahkan sepenuhnya pada diri saya”, jawab sontani yang berkuda disampingnya.
“Pendapatmu memang benar. Tetapi aku bermaksud ingin mengetahui sendiri keadaan hutan itu. Karena jika mungkin, sebelum fajar pasukan seluruhnya akan kupindahkan ke situ”.
“O , begitukah maksud Gusti Yoga! Jika demikian, sayapun hanya mentaati perintah Gustiku!”.
Pembicaraan masing-masing terlalu singkat, hingga sukar untuk diikuti oleh yang mendengar akan percakapannya. Keduanya menunjukkan wajah yang bersungut-sungut. Langkah kudanya berderap tetap, dan mereka berduapun selalu berjajar berdampingan, disusul para tamtama yang berkuda urut-urutan memanjang dibelakangnya. Dataran terbuka yang luas itu, kini teIah dilaluinya hampir separo.
Tiba-tiba jauh di ketinggian sebelah utara tenggara terlihat melintasnya panah api susul-menyusul hingga tiga kali. Dan bagaikan terhalang rintangan tinggi yang menghadang didepannya, Yoga Kumala mengekang tali lis kudanya dengan sentakan, karena terperanjat si kuda berhenti seketika dengan berdiri sesaat diatas kedua kaki belakangnya sambil mengeluarkan suara ringkikan.
“Ah! Terlambat!”. Geramnya.
“Apa yang dimaksud dengan terlambat, Gusti?”. Sontani turut pula menghentikan langkah kudanya secara tiba-tiba, sambil bertanya dengan penuh kecemasan.
Sesungguhnya ia pun melihat pula adanya panah api yang berturut-turut melintasi di ketinggian jauh di sebelah tenggara, akan tetapi sedikitpun ia tak tahu akan arti maksudnya. Dan kini tanpa mendapat penjelasan dari Yoga Kumala, tiba-tiba ia mendengar desisan Yoga Kumala yang jelas menunjukkan rasa penyesalan. Gerangan apakah yang menjadikan murkanya Gustiku ini — pikirnya.
“Sontani!. Esok fajar perang terbuka dimulai! Cepatlah kau kembali, dan perintahkan seluruh pasukan bergerak maju. Sebelum fajar kita harus dapat mengepung kota Raja Iawan dari sebelah barat! Ketahuilah, bahwa panah api yang baru saja terlintas itu adalah isyarat, bahwa perang telah diumumkan. Dan pasukan-pasukan penyerang kita yang lain, tentu telah mengepung dari sebelah timur dan selatan. Kini tinggal kita sendirilah yang terlambat. Aku beserta pasukan panah yang ada ini akan menduduki hutan di depan kita itu, sambil menanti kedatanganmu beserta seluruh pasukan?!”. Perintah Yoga Kumala dengan tegas. Seakan tak ada waktu lagi untuk menjelaskan lebih lanjut.
Akan tetapi sebagai seorang perwira tamtama yang cerdas, Sontani cepat dapat menangkap isi perintah keseluruhannya. Pun ia segera dapat menarik kesimpulan, bahwa panah api yang baru saja dilihatnya tentu isyarat dari Bupati anom Kobar. Dengan tangkas ia memutar kudanya, serta memacunya, setelah mengucapkan singkat:
“perintah Gustiku saya junjung tinggi?!”.
Sementara itu Yoga Kumala baserta pasukan tamtama yang berkuda berjalan terus, menyusuri tebing-tebing sungai Batanghariteka yang berkelok-kelok dan licin dalam kegelapan malam, didampingi Dirham si penunjuk jalan. Sepatahpun Yoga Kumala tak berkata. Mulutnya terkatub rapat, dan sebentar-sebentar sambil memacu kudanya ia mengusap air hujan yang membasahi muka dengan lengan bajunya.
Mengapa isyarat panah api itu muncul dengan tiba-tiba dan tak menurut ketentuan yang telah digariskan rencana semula? Bukankah isyarat panah api seharusnya lusa malam baru akan muncul? Ataukah ada sesuatu kejadian yang tak terduga-duga, hingga terpaksa perang besar harus dimulai esok fajar?.
Menurut perhitungan Yoga Kumala, ia beserta pasukannya akan tiba di hulu Sungai Banyuasin dua hari lebih cepat dari pada rencana. Akan tetapi kini bahkan hampir saja ia beserta pasukan terlambat. Atau mungkinkah Kobar mendahului membuka serangan dari muara sungai Banyuasin sebelah timur Kota Raja sesaat setelah surat penantang perang sampai ditangan musuh? Akan tetapi apabila demikian, bagaimana nasib Sang Senopati muda yang bertugas mengantarkan surat penantang perang itu? Tentu mereka semua menjadi tawanan musuh.
Ah… itu kiranya tak mungkin. Atau bocorkah rahasia siasat kita?. Sampai disini pikiran Yoga Kumala menjadi kalut. Jantungnya berdebar penuh rasa kecemasan. Ah… tak mungkinl — Ia mengbibur diri sendiri. Namun masih saja rasa cemasnya berkecamuk dalam benak hatinya. Mungkin terjadi sebaliknya. Musuh yang memulai melanggar tata susila Yudha, dan menawan Gusti Senopati muda berserta seluruh pengawal yang mengantarkan surat penantang perang itu, hingga Kobar terpaksa membuka serangan lebih cepat daripada rencana yang telah ditentukan-pikirnya.
Untung saja, pasukanku telah berada tak jauh lagi dari tempat tujuan. Dan sebagai orang shakti janng terlatih ia dapat dengan cepat menenangkan kembali perasaan2-nya yang diliputi kekalutan. Hujan turun semakin deras dan gunturpun masih menggelegar susul menyusul diselingi berkilatnya petir yang membelah kegelapan malam di angkasa.
“Dirham! Perintahkan pada tamtama barisan panah untuk mulai menyebar ! Sepertiga bagian di sayap kiri, dan yang lainnya menduduki sayap kanan, membentang hingga ujung hutan sebelah utara?” Perintah Yoga Kumala memecah kesunyian dengan tiba-tiba, sambil memperlambat langkah kudanya.
Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, Dirham segera mengambil cerobong, potongan bambu yang berisikan kunang-kunang sebangsa binatang2 kecil sejenis serangga yang memancarkan cahaya berkedip-kedip diwaktu malam, dari dalam kantong bajunya.
Cerobong potongan bambu itu diacung acungkan menghadap ke belakang, yang segera dapat dilihat terang oleh para tamtama berkuda yang mengikuti dibelakangnya. Sesaat cerobong bambu kunang2 itu digoyang-goyangkan, sebagai isyarat aba-aba akan gerakan pasukan selanjutnya, sesuai dengan perintah Yoga Kumala. Dan kemudian dimasukkan cerobong itu dalam kantong bajunya kembali.
Tak lama kemudian, dua pertiga bagian dari barisan panah yang berada di belakang segera memacu kudanya mendahului jalan di depan, sedangkan sepertiga bagian yang lain merapat dibelakang Yoga Kumala. Kini dengan tangkasnya para tamtama barisan panah menyelinap ke hutan yang gelap pekat.
Mereka menyusupi hutan dalam bentuk garis memanjang hingga sampai pada ujung sebelah utara dengan penuh kewaspadaan. Gerakan mereka amat gesit, bagaikan kucing yang sedang mencari mangsa. Selain dari pada suara terinjaknya ranting ranting patah yang segera hilang tertelan oleh suara lebatnya hujan, tak terdengar lagi.
Tak lama kemudian terdengar suara jeritan tertahan susul-menyusul dan disusul suara jatuhnya dua sosok tubuh manusia dari atas pohon yang terbanting di tanah dengan masing-masing tertancap sebatang anak panah dipunggung dan kepalanya. Dan setelah itu, suasana menjadi sunyi hening kembali. Ternyata dalam gelap malam yang pekat itu, para tamtama barisan panah dapat pula menunjukkan kemahirannya.
Cepat Yoga Kumala melompat turun dari kuda dan melangkah menuju ke tempat suara jatuhnya pengintai musuh yang berada tak jauh didepannya diikuti oleh Dirham. Akan tetapi, sewaktu Yoga Kumala melompat turun dari kudanya dan kemudian menghampiri sambil berjongkok meraba-raba tubuh orang yang telah menjadi mayat itu, tiba-tiba seorang pengintai musuh berkelebat melayang turun dari dahan pohon yang berada di atasnya, dan langsung menyerang dengan tusukan pedang.
Namun kiranya Yoga Kumala telah siap siaga pula untuk menghadapi setiap serangan yang tiba tiba. Pendengarannya yang amat tajam serta perangsang perasaan nalurinya, membuat ia tangkas bergerak. la berguling ditanah, sambil langsung menyerang dengan totokan jari-jari tangan kiri yang telah mengembang tegang kearah punggung lawan yang baru saja berpijak ditanah. Tak ayal lagi, dalam satu gebrakan orang itu menjerit dan jatuh tersungkur di tanah serta menjadi lumpuh seketika.
Ternyata jalinan syaraf penggerak kedua kakinya tepat terkena serangan totokan jari-jari Yoga Kumala. Dengan satu loncatan Yoga Kumala menangkapnya serta menyumbat mulut orang itu dengan dekapan telapak tangan kanannya, sedangkan tangan kiri melintir lengan musuh sebelah kanan dengan cengkeraman yang amat kuat, sambil berseru mengancam :
“Jangan bergerak dan jangan bersuara !!!”. Suaranya yang pendek tertahan serta parau itu jelas mengandung perbawa daya shakti, hingga orang yang diancamnya menggigil tak berdaya. “Dirham ! Ikat orang ini erat-erat diatas punggung kudamu dan sumbatlah mulutnya !”.
Perintah Yoga Kumala kemudian pada Dirham yang berada di belakangnya. Dengan mudah pengintai lawan itu diringkus serta diseretnya oleh Dirham dibantu dua orang tamtama, untuk kemudian di ikat erat-erat diatas punggung kuda dengan mulut tersumbat.
Pasukan panah masih terus bergerak maju dengan serempak, menyusupi hutan ke arah timur, sementara Yoga Kumala dan Dirham serta dua orang tamtama menunggu tawanan ditengah-tengah hutan.
Tak berapa lama kemudian seorang pemimpin barisan panah yang berpangkat penatus tamtama datang menghadap Yoga Kumala, serta memberi tahu bahwa didalam hutan sampai pada sumber hulu sungai Banyuasin tak nampak adanya pertahanan maupun penjagaan2 musuh.
“Tak mungkin! Untuk apa musuh menempatkan pengintai disini, jika dalam hutan ini tak ada pertahanan ataupun kubu-kubu musuh”. bantah Yoga Kumala dengan suara menggeram serta wajahnya bersungut sungut.
“Tetapi kami telah memeriksanya dengan teliti, Gusti ! Yang ada hanya bekas-bekas api unggun yang telah basah dingin karena tersiram air hujan ! Dan itupun mungkin telah sejak sore tadi ditinggalkan!”.
“Dan disekitar bekas api unggun itu, apakah tak ada tanda-tanda lain yang mencurigakan??!!”. Desak Yoga.
“Kami rasa, tidak ada, Gusti! Keadaan sekitar sunyi sepi !”.
“Aneh ! Sungguh aneh ! Coba kau korek dari mulut tawanan itu! Mungkin dapat menemukan keterangan2 yang penting !!”.
“Baik, Gusti!”. Jawab penatus tamtama barisan panah itu dengan singkat, serta segera menjalankan tugasnya.
Hujan telah mulai berhenti, dan awan tebal hitam menyelimuti, langitpun lenyap terhembus angin. Kini bintang-bintang mulai menampakkan cahayanya, walaupun masih bersinar pudar. Malampun hampir larut mendekati merekahnya fajar.
Ternyata setelah dengan siksaan berbagai macam, dari orang tawanan itu hanya mendapatkan keterangan, bahwa pertahanan perbatasan sejak hari sore telah ditinggalkan. Sedangkan tiga orang pengintai mendapatkan tugas untuk mengamat-amati di sekitar hutan, dan pada fajar nanti mereka bertiga diharuskan kembali pada induk pasukan yang berada di seberang sungai Banyuasin, dekat batas hota Raja untuk melapor.
Tiba tiba saja suara gemuruh derap langkah kuda terdengar semakin jelas, dan regemangnya pasukan yang terdiri dari beribu-ribu tamtama berkuda dari kejauhan disebelah utara, nampak makin terang. Seakan-akan sepanjang sungai Batangharileka yang menghadapkan dataran terbuka itu penuh dengan tamtama berkuda.
Akan tetapi, bersamaan dengan datangnya pasukan Yoga Kumala yang dipimpin Braja Semandang dan Sontani, terdengar pula suara gemuruh yang lebih dahsyat dari barat yang tak putus-putus. Ternyata pasukan musuh yang jauh lebih besar telah bergerak maju, menutup sepanjang tebing sungai Tungkal, menghadap ke arah pasukan Yoga Kumala yang baru saja tiba, dari jarak yang masih cukup jauh.
Sesaat Yoga Kumala terperanjat, melihat besarnya pasukan musuh yang kini harus dihadapinya. Peluh dingin keluar dari jidatnya, demi menyaksikan bergeraknya pasukan lawan yang tak diduga-duga itu. Ternyata bukannya ia mengepung lawan, akan tetapi kini lawanlah yang mengepung pasukannya, Jelas bahwa lawan mengambil kedudukan dan bergerak dalam bentuk barisan "Dhiradha meta" atau disebutnya pula "gajah bangun".
Demikian pula perasaan yang menguasai Sontani dan Braja Semandang serta para perwira-perwira tamtama lainnya. Mereka hanya dapat saling berpandangan dengan mulut yang terkunci. perasaannya diliputi ketegangan yang tak terhingga. Mereka diam bagaikan patung, menunggu datangnya suara perintah dari pimpinan tertinggi Yoga Kumala.
Kebimbangan segenap para perwira tamtama itu, segera dapat diketahui Yoga Kumala yang tengah mengadakan pemeriksaan barisan sepintas lalu dengan pandang matanya yang tajam. Dan sebagai seorang Bupati tamtama yang memilik i kesaktian serta terlatih, Yoga Kumala segera dapat menguasai kembali ketenangan diri pribadinya.
Dengan suara lantang dan bersikap perkasa di atas punggung kudanya, ia membangkitkan semangat joang para tamtama pasukannya yang kini nampak dalam kebimbangan.
“Hai Saudara-saudara segenap tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang kita agungkan! Ketahuilah, bahwa peperangan besar sesaat lagi akan segera dimulai. Percayalah, bahwa kemenangan pasti akan berada difihak kita. Tak usah kalian bimbang, karena melihat besarnya barisan lawan ! Kemenangan tidak ditentukan besarnya pasukan serta ampuhnya persenjataan, akan tetapi ditentukan oleh ketabahan, keberanian, ketangkasan dan ketinggian budi pada pribadi saudara masing-masing yang tergabung dalam pasukan di bawah pimpinan saya. Saya percaya sepenuhnya, bahwa apa yang telah saya kemukakan, kini telah dimiliki saudara-saudara sekalian. Seorang tamtama yang mengemban tugas suci, tak akan kenal menyerah, serta pantang meninggalkan gelanggang medan-laga tanpa perintah! Nah! Junjunglah tinggi-tinggi titah Gusti Seri Baginda Maharaja yang kita mulyakan! Dewata Yang Maha Agung akan menyertai kita semua!”.
Suaranya menggema penuh daya perbawa, dan jelas dapat ditangkap oleh segenap para tamtama. Dan demi mendengar ketegasan pemimpinnya, semangat tempur pasukan kini menjadi menyala kembali. Perintahnya kemudian:
“Sontani! Tempatkan barisan panah pada ujung kedua sayap barisan, dan pusatkan inti pasukan penyerang ditengah-tengah, untuk memudahkan membuka serangan dalam bentuk "gelatik neba" ! Selanjutnya kau dan Braja Semandang jangan berpisah denganku!”.
Seribu tamtama barisan panah segera terpecah menjadi dua, dan masing-masing bergerak menuju ke tempat yang telah ditentukan. Suara bergeraknya pasukan dalam mengatur kedudukan barisan, gemuruh bagaikan banjir melanda. Tak lama kemudian seluruh pasukan telah siap siaga di tempat kedudukan masing-masing, sesuai dengan kehendak Yoga Kumala. Sedangkan ia sendiri berada ditengah-tengah barisan terdepan diapit Sontani dan Braja Semandang menghadap ke arah barisan lawan yang berada jauh di sebelah timur.
Matanya memandang tajam ke arah barisan lawan yang nampak remang-remang membentang luas dihadapannya yang kini tengah bergerak maju dengan suaranya yang gemuruh mengumandang. Pikirannya merana jauh, meraba-raba jawaban atas teka teki yang kini sedang dihadapi, Mengapa tiba-tiba pasukannya terperosok dalam perangkap musuh? Sudah musnahkah seluruh pasukan Kobar yang akan menyerang dari sebelah timur, hingga ia kini harus menghadapi pasukan besar lawan ini?
Ataukah sengaja pasukan Kobar bersembunyi sebagai siasat, untuk kemudian dapat menyerangnya dari belakang? Akan tetapi, jika demikian mengapa tak ada seorang penghubung yang datang untuk memberitahukan perobahan-perobahan siasat itu?.
“Ah! Terlambat!”. Geramnya.
“Apa yang dimaksud dengan terlambat, Gusti?”. Sontani turut pula menghentikan langkah kudanya secara tiba-tiba, sambil bertanya dengan penuh kecemasan.
Sesungguhnya ia pun melihat pula adanya panah api yang berturut-turut melintasi di ketinggian jauh di sebelah tenggara, akan tetapi sedikitpun ia tak tahu akan arti maksudnya. Dan kini tanpa mendapat penjelasan dari Yoga Kumala, tiba-tiba ia mendengar desisan Yoga Kumala yang jelas menunjukkan rasa penyesalan. Gerangan apakah yang menjadikan murkanya Gustiku ini — pikirnya.
“Sontani!. Esok fajar perang terbuka dimulai! Cepatlah kau kembali, dan perintahkan seluruh pasukan bergerak maju. Sebelum fajar kita harus dapat mengepung kota Raja Iawan dari sebelah barat! Ketahuilah, bahwa panah api yang baru saja terlintas itu adalah isyarat, bahwa perang telah diumumkan. Dan pasukan-pasukan penyerang kita yang lain, tentu telah mengepung dari sebelah timur dan selatan. Kini tinggal kita sendirilah yang terlambat. Aku beserta pasukan panah yang ada ini akan menduduki hutan di depan kita itu, sambil menanti kedatanganmu beserta seluruh pasukan?!”. Perintah Yoga Kumala dengan tegas. Seakan tak ada waktu lagi untuk menjelaskan lebih lanjut.
Akan tetapi sebagai seorang perwira tamtama yang cerdas, Sontani cepat dapat menangkap isi perintah keseluruhannya. Pun ia segera dapat menarik kesimpulan, bahwa panah api yang baru saja dilihatnya tentu isyarat dari Bupati anom Kobar. Dengan tangkas ia memutar kudanya, serta memacunya, setelah mengucapkan singkat:
“perintah Gustiku saya junjung tinggi?!”.
Sementara itu Yoga Kumala baserta pasukan tamtama yang berkuda berjalan terus, menyusuri tebing-tebing sungai Batanghariteka yang berkelok-kelok dan licin dalam kegelapan malam, didampingi Dirham si penunjuk jalan. Sepatahpun Yoga Kumala tak berkata. Mulutnya terkatub rapat, dan sebentar-sebentar sambil memacu kudanya ia mengusap air hujan yang membasahi muka dengan lengan bajunya.
Mengapa isyarat panah api itu muncul dengan tiba-tiba dan tak menurut ketentuan yang telah digariskan rencana semula? Bukankah isyarat panah api seharusnya lusa malam baru akan muncul? Ataukah ada sesuatu kejadian yang tak terduga-duga, hingga terpaksa perang besar harus dimulai esok fajar?.
Menurut perhitungan Yoga Kumala, ia beserta pasukannya akan tiba di hulu Sungai Banyuasin dua hari lebih cepat dari pada rencana. Akan tetapi kini bahkan hampir saja ia beserta pasukan terlambat. Atau mungkinkah Kobar mendahului membuka serangan dari muara sungai Banyuasin sebelah timur Kota Raja sesaat setelah surat penantang perang sampai ditangan musuh? Akan tetapi apabila demikian, bagaimana nasib Sang Senopati muda yang bertugas mengantarkan surat penantang perang itu? Tentu mereka semua menjadi tawanan musuh.
Ah… itu kiranya tak mungkin. Atau bocorkah rahasia siasat kita?. Sampai disini pikiran Yoga Kumala menjadi kalut. Jantungnya berdebar penuh rasa kecemasan. Ah… tak mungkinl — Ia mengbibur diri sendiri. Namun masih saja rasa cemasnya berkecamuk dalam benak hatinya. Mungkin terjadi sebaliknya. Musuh yang memulai melanggar tata susila Yudha, dan menawan Gusti Senopati muda berserta seluruh pengawal yang mengantarkan surat penantang perang itu, hingga Kobar terpaksa membuka serangan lebih cepat daripada rencana yang telah ditentukan-pikirnya.
Untung saja, pasukanku telah berada tak jauh lagi dari tempat tujuan. Dan sebagai orang shakti janng terlatih ia dapat dengan cepat menenangkan kembali perasaan2-nya yang diliputi kekalutan. Hujan turun semakin deras dan gunturpun masih menggelegar susul menyusul diselingi berkilatnya petir yang membelah kegelapan malam di angkasa.
“Dirham! Perintahkan pada tamtama barisan panah untuk mulai menyebar ! Sepertiga bagian di sayap kiri, dan yang lainnya menduduki sayap kanan, membentang hingga ujung hutan sebelah utara?” Perintah Yoga Kumala memecah kesunyian dengan tiba-tiba, sambil memperlambat langkah kudanya.
Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, Dirham segera mengambil cerobong, potongan bambu yang berisikan kunang-kunang sebangsa binatang2 kecil sejenis serangga yang memancarkan cahaya berkedip-kedip diwaktu malam, dari dalam kantong bajunya.
Cerobong potongan bambu itu diacung acungkan menghadap ke belakang, yang segera dapat dilihat terang oleh para tamtama berkuda yang mengikuti dibelakangnya. Sesaat cerobong bambu kunang2 itu digoyang-goyangkan, sebagai isyarat aba-aba akan gerakan pasukan selanjutnya, sesuai dengan perintah Yoga Kumala. Dan kemudian dimasukkan cerobong itu dalam kantong bajunya kembali.
Tak lama kemudian, dua pertiga bagian dari barisan panah yang berada di belakang segera memacu kudanya mendahului jalan di depan, sedangkan sepertiga bagian yang lain merapat dibelakang Yoga Kumala. Kini dengan tangkasnya para tamtama barisan panah menyelinap ke hutan yang gelap pekat.
Mereka menyusupi hutan dalam bentuk garis memanjang hingga sampai pada ujung sebelah utara dengan penuh kewaspadaan. Gerakan mereka amat gesit, bagaikan kucing yang sedang mencari mangsa. Selain dari pada suara terinjaknya ranting ranting patah yang segera hilang tertelan oleh suara lebatnya hujan, tak terdengar lagi.
Tak lama kemudian terdengar suara jeritan tertahan susul-menyusul dan disusul suara jatuhnya dua sosok tubuh manusia dari atas pohon yang terbanting di tanah dengan masing-masing tertancap sebatang anak panah dipunggung dan kepalanya. Dan setelah itu, suasana menjadi sunyi hening kembali. Ternyata dalam gelap malam yang pekat itu, para tamtama barisan panah dapat pula menunjukkan kemahirannya.
Cepat Yoga Kumala melompat turun dari kuda dan melangkah menuju ke tempat suara jatuhnya pengintai musuh yang berada tak jauh didepannya diikuti oleh Dirham. Akan tetapi, sewaktu Yoga Kumala melompat turun dari kudanya dan kemudian menghampiri sambil berjongkok meraba-raba tubuh orang yang telah menjadi mayat itu, tiba-tiba seorang pengintai musuh berkelebat melayang turun dari dahan pohon yang berada di atasnya, dan langsung menyerang dengan tusukan pedang.
Namun kiranya Yoga Kumala telah siap siaga pula untuk menghadapi setiap serangan yang tiba tiba. Pendengarannya yang amat tajam serta perangsang perasaan nalurinya, membuat ia tangkas bergerak. la berguling ditanah, sambil langsung menyerang dengan totokan jari-jari tangan kiri yang telah mengembang tegang kearah punggung lawan yang baru saja berpijak ditanah. Tak ayal lagi, dalam satu gebrakan orang itu menjerit dan jatuh tersungkur di tanah serta menjadi lumpuh seketika.
Ternyata jalinan syaraf penggerak kedua kakinya tepat terkena serangan totokan jari-jari Yoga Kumala. Dengan satu loncatan Yoga Kumala menangkapnya serta menyumbat mulut orang itu dengan dekapan telapak tangan kanannya, sedangkan tangan kiri melintir lengan musuh sebelah kanan dengan cengkeraman yang amat kuat, sambil berseru mengancam :
“Jangan bergerak dan jangan bersuara !!!”. Suaranya yang pendek tertahan serta parau itu jelas mengandung perbawa daya shakti, hingga orang yang diancamnya menggigil tak berdaya. “Dirham ! Ikat orang ini erat-erat diatas punggung kudamu dan sumbatlah mulutnya !”.
Perintah Yoga Kumala kemudian pada Dirham yang berada di belakangnya. Dengan mudah pengintai lawan itu diringkus serta diseretnya oleh Dirham dibantu dua orang tamtama, untuk kemudian di ikat erat-erat diatas punggung kuda dengan mulut tersumbat.
Pasukan panah masih terus bergerak maju dengan serempak, menyusupi hutan ke arah timur, sementara Yoga Kumala dan Dirham serta dua orang tamtama menunggu tawanan ditengah-tengah hutan.
Tak berapa lama kemudian seorang pemimpin barisan panah yang berpangkat penatus tamtama datang menghadap Yoga Kumala, serta memberi tahu bahwa didalam hutan sampai pada sumber hulu sungai Banyuasin tak nampak adanya pertahanan maupun penjagaan2 musuh.
“Tak mungkin! Untuk apa musuh menempatkan pengintai disini, jika dalam hutan ini tak ada pertahanan ataupun kubu-kubu musuh”. bantah Yoga Kumala dengan suara menggeram serta wajahnya bersungut sungut.
“Tetapi kami telah memeriksanya dengan teliti, Gusti ! Yang ada hanya bekas-bekas api unggun yang telah basah dingin karena tersiram air hujan ! Dan itupun mungkin telah sejak sore tadi ditinggalkan!”.
“Dan disekitar bekas api unggun itu, apakah tak ada tanda-tanda lain yang mencurigakan??!!”. Desak Yoga.
“Kami rasa, tidak ada, Gusti! Keadaan sekitar sunyi sepi !”.
“Aneh ! Sungguh aneh ! Coba kau korek dari mulut tawanan itu! Mungkin dapat menemukan keterangan2 yang penting !!”.
“Baik, Gusti!”. Jawab penatus tamtama barisan panah itu dengan singkat, serta segera menjalankan tugasnya.
Hujan telah mulai berhenti, dan awan tebal hitam menyelimuti, langitpun lenyap terhembus angin. Kini bintang-bintang mulai menampakkan cahayanya, walaupun masih bersinar pudar. Malampun hampir larut mendekati merekahnya fajar.
Ternyata setelah dengan siksaan berbagai macam, dari orang tawanan itu hanya mendapatkan keterangan, bahwa pertahanan perbatasan sejak hari sore telah ditinggalkan. Sedangkan tiga orang pengintai mendapatkan tugas untuk mengamat-amati di sekitar hutan, dan pada fajar nanti mereka bertiga diharuskan kembali pada induk pasukan yang berada di seberang sungai Banyuasin, dekat batas hota Raja untuk melapor.
Tiba tiba saja suara gemuruh derap langkah kuda terdengar semakin jelas, dan regemangnya pasukan yang terdiri dari beribu-ribu tamtama berkuda dari kejauhan disebelah utara, nampak makin terang. Seakan-akan sepanjang sungai Batangharileka yang menghadapkan dataran terbuka itu penuh dengan tamtama berkuda.
Akan tetapi, bersamaan dengan datangnya pasukan Yoga Kumala yang dipimpin Braja Semandang dan Sontani, terdengar pula suara gemuruh yang lebih dahsyat dari barat yang tak putus-putus. Ternyata pasukan musuh yang jauh lebih besar telah bergerak maju, menutup sepanjang tebing sungai Tungkal, menghadap ke arah pasukan Yoga Kumala yang baru saja tiba, dari jarak yang masih cukup jauh.
Sesaat Yoga Kumala terperanjat, melihat besarnya pasukan musuh yang kini harus dihadapinya. Peluh dingin keluar dari jidatnya, demi menyaksikan bergeraknya pasukan lawan yang tak diduga-duga itu. Ternyata bukannya ia mengepung lawan, akan tetapi kini lawanlah yang mengepung pasukannya, Jelas bahwa lawan mengambil kedudukan dan bergerak dalam bentuk barisan "Dhiradha meta" atau disebutnya pula "gajah bangun".
Demikian pula perasaan yang menguasai Sontani dan Braja Semandang serta para perwira-perwira tamtama lainnya. Mereka hanya dapat saling berpandangan dengan mulut yang terkunci. perasaannya diliputi ketegangan yang tak terhingga. Mereka diam bagaikan patung, menunggu datangnya suara perintah dari pimpinan tertinggi Yoga Kumala.
Kebimbangan segenap para perwira tamtama itu, segera dapat diketahui Yoga Kumala yang tengah mengadakan pemeriksaan barisan sepintas lalu dengan pandang matanya yang tajam. Dan sebagai seorang Bupati tamtama yang memilik i kesaktian serta terlatih, Yoga Kumala segera dapat menguasai kembali ketenangan diri pribadinya.
Dengan suara lantang dan bersikap perkasa di atas punggung kudanya, ia membangkitkan semangat joang para tamtama pasukannya yang kini nampak dalam kebimbangan.
“Hai Saudara-saudara segenap tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang kita agungkan! Ketahuilah, bahwa peperangan besar sesaat lagi akan segera dimulai. Percayalah, bahwa kemenangan pasti akan berada difihak kita. Tak usah kalian bimbang, karena melihat besarnya barisan lawan ! Kemenangan tidak ditentukan besarnya pasukan serta ampuhnya persenjataan, akan tetapi ditentukan oleh ketabahan, keberanian, ketangkasan dan ketinggian budi pada pribadi saudara masing-masing yang tergabung dalam pasukan di bawah pimpinan saya. Saya percaya sepenuhnya, bahwa apa yang telah saya kemukakan, kini telah dimiliki saudara-saudara sekalian. Seorang tamtama yang mengemban tugas suci, tak akan kenal menyerah, serta pantang meninggalkan gelanggang medan-laga tanpa perintah! Nah! Junjunglah tinggi-tinggi titah Gusti Seri Baginda Maharaja yang kita mulyakan! Dewata Yang Maha Agung akan menyertai kita semua!”.
Suaranya menggema penuh daya perbawa, dan jelas dapat ditangkap oleh segenap para tamtama. Dan demi mendengar ketegasan pemimpinnya, semangat tempur pasukan kini menjadi menyala kembali. Perintahnya kemudian:
“Sontani! Tempatkan barisan panah pada ujung kedua sayap barisan, dan pusatkan inti pasukan penyerang ditengah-tengah, untuk memudahkan membuka serangan dalam bentuk "gelatik neba" ! Selanjutnya kau dan Braja Semandang jangan berpisah denganku!”.
Seribu tamtama barisan panah segera terpecah menjadi dua, dan masing-masing bergerak menuju ke tempat yang telah ditentukan. Suara bergeraknya pasukan dalam mengatur kedudukan barisan, gemuruh bagaikan banjir melanda. Tak lama kemudian seluruh pasukan telah siap siaga di tempat kedudukan masing-masing, sesuai dengan kehendak Yoga Kumala. Sedangkan ia sendiri berada ditengah-tengah barisan terdepan diapit Sontani dan Braja Semandang menghadap ke arah barisan lawan yang berada jauh di sebelah timur.
Matanya memandang tajam ke arah barisan lawan yang nampak remang-remang membentang luas dihadapannya yang kini tengah bergerak maju dengan suaranya yang gemuruh mengumandang. Pikirannya merana jauh, meraba-raba jawaban atas teka teki yang kini sedang dihadapi, Mengapa tiba-tiba pasukannya terperosok dalam perangkap musuh? Sudah musnahkah seluruh pasukan Kobar yang akan menyerang dari sebelah timur, hingga ia kini harus menghadapi pasukan besar lawan ini?
Ataukah sengaja pasukan Kobar bersembunyi sebagai siasat, untuk kemudian dapat menyerangnya dari belakang? Akan tetapi, jika demikian mengapa tak ada seorang penghubung yang datang untuk memberitahukan perobahan-perobahan siasat itu?.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment