“Aku tak sudi melihatmu lagi !!! Pergi !!! Pergi…!!! atau terpaksa ku lempar kau keluar jalan! Kobar !!! Sejak kecil kau kutimang-timang, kubesarkan dan kuasuh hingga memiliki kepandaian. Tetapi… setelah kini menjadi orang berpangkat, kau tak mau lagi mengakui orang tuamu sendiri yang cacad ini. Sungguh anak terkutuk kau… Kobar!!”.
“Tutup mulutmu, jika tak ingin ku tampar! Tahu! Aku tak sudi lagi mendengarkan ocehanmu! Lekas! Pergi !”. Suara bentakan Kobar yang amat keras memecah kesunyian tengah malam, hingga membangunkan mereka yang sedang tidur nyenyak di rumah masing-masing yang terletak di sebelah kanan kirinya.
Akan tetapi mereka segera membatalkan untuk menyaksikan dari dekat, setelah mengetahui bahwa suara keributan itu datangnya dari tempat kediaman Bupati Anom Tamtama Kobar. Mereka tak mau menjadi sasaran kemarahan Kobar yang sedang meluap-luap, dan terkenal orang yang selalu bertindak kejam terhadap bawahannya.
Waktu itu Yoga Kumala sedang asyik berlatih mempelajari jurus-jurus gerakan dasar ilmu pedang, menurut petunjuk dari kitab kuno peninggalan Mbah Duwung yang hanya terdiri dari sembilan lembar. Dan ternyata dengan bekal kecerdasannya, ia segera dapat mengetahui segi-segi kehebatan ilmu pedang yang kini tengah dipelajari, setelah mana digabungkan dengan ilmu pedangnya sendiri, ciptaan Eyang Cahaya Buana.
Dengan demikian iapun dapat cepat menarik kesimpulan, bahwa kitab peninggalan Mbah Duwung, sebenarnya adalah sisa bahagian yang pertama dari kitab kuno yang berisikan ilmu pedang wurushakti, peninggalan seorang priyagung tamtama shakti Sakya Abindra.
Sebagaimana dahulu telah diceritakan Eyangnya, kitab kuno itu menjadi rebutan orang-orang shakti dan akhirnya berantakan terlepas dari penjilidan dan menjadi terpisah-pisah. Dan dari Eyangnya ia sendiripun kini telah memiliki lembaran-lembaran sisa bagian yang akhir dari kitab kuno itu.
Sabuk kulit peninggalan mendiang mBah Duwung, ternyata bukan hanya berisikan lembaran sisa kitab kuno saja. tetapi terdapat pula sebuah benda berupa cincin bermata batu yang besarnya seibu jari kaki. Batu itu berwarna merah dan memancarkan sinar berkilauan warna-warni. Dalam gelap malam, pancaran sinar batu itu seakan-akan menyerupai nyala api. Dan oleh orang yang ahli, dinamakannya batu "merah sapta warna".
Oleh karena Yoga Kumala tak mengetahui kegunaan batu itu, serta dirasanya terlalu besar, maka olehnya disimpan kembali,
“Biarlah kelak benda peninggalan mBah Duwung ini kuserahkan kembali pada Kakang Talang Pati saja. Mungkin baginya lebih berguna, — pikirnya. Suara bentakan Kobar yang nyaring membuat ia terperanjat sesaat, hingga ia terpaksa menghentikan latihannya, sambil mendengarkan suara percakapan dua orang yang sedang bertengkar dengan pendengarannya yang tajam dan terlatih.
“Kau kejam anakku! Kau anak terkutuk !!!”.
“Cukup! Aku bukan anakmu lagi. Dan enyahlah segera dari sini!”. Bentak Kobar dengan wajah yang semakin memerah dan pandang mata yang berkilat tajam.
Namun orang tua yang duduk dilantai depan pintu rumah kobar itu, masih membandel tak bergeser dari tempatnya. Ia menggumam mengumpat-umpat sambil me-nuding2 dengan jari telunjuknya.
Melihat mukanya yang telah berkeriput dengan rambutnya yang kusut dan telah memutih, orang itu usianya telah mendekati tujuh puluhan. Dan derita yang selalu ditanggungnya, membuat ia menjadi lebih tua. Ia duduk bukan karena takut berdiri, melainkan memang tak mampu untuk berdiri. Kedua kakinya lumpuh sejak kira2 pada 15 tahun yang lampau. Ia tak dapat berjalan sebagaimana layaknya, melainkan mengesot yang mendekati merangkak. Pakaiannya telah kumal dan compang-camping.
Ia adalah ayah Kobar yang sejati, terkenal dengan gelarnya si Ular Merah. Ia dahuiu kepala rampok yang amat shakti di daerah Pejajaran. Tindakannya kejam tak mengenal perikemanusiaan. Tak sedikit rakyat yang tak berdosa menjadi korban kebuasannya.
Dan hingga pada suatu ketika, sewaktu si Ular Merah sedang mengganas dengan anak buahnya, Pertapa Shakti Ajengan Cahaya Buana yang selalu diikuti harimau kumbang piaraannya dapat menggagalkan tindak kejahatannya. Dalam pertempuran dengan Cabaya Buana, si Ular Merah roboh menderita kelumpuhan pada kedua kakinya terkena pukulan aji shakti pertapa Gunung Tangkuban Perahu.
Dan semenjak itu, namanya yang amat ditakuti rakyat tak terdengar lagi. Dengan harapan kelak dapat membalas dendam pada keturunan si Pertapa Shakti, ia melatih anaknya lelaki tunggal yang pada waktu itu baru berusia kira-kira sepuluh tahun dengan segenap kemampuannya.
Disamping dapat membalas dendam, iapun berharap agar anaknya yang mewarisi keshaktiannya kelak dapat menjadi tamtama yang berpangkat. Dengan demikian ia berharap dapat menyandarkan hidupnya dihari tua pada anaknya yang tunggal itu. Dan ternyata anak lelaki tunggal ini dapat pula mewarisi ilmu pedang serta keshaktiannya dengan tak mengecewakan. Dan anaknya yang tunggal itu adalah Kobar yang kini telah menjabat priyagung tamtama berpangkat Bupati Anom.
Berbulan-bulan lamanya si Ular Merah merangkak dari kota ke kota untuk mencari anaknya si Kobar, yang akhirnya dapat juga ditemukan di kota Senopaten Mojoagung. la tak menduga sama sekali, bahwa Kobar akan mengingkari sebagai anaknya dan mengusirnya seperti seekor anjing kudisan.
“Kobar! Kobar! Jika kau tak sudi lagi mengakui aku sebagai ayahmu, baiklah… aku akan pergi. Tetapi ingat! Kutukanku menyertaimu selalu!”.
“Bedebah tua tak tahu adat! Pergi!”. Membentak demikian Kobar sambil melangkah maju dan menendang ayahnya sendiri, hingga orang tua lumpuh itu terpental keluar dan jatuh terpelanting di halaman.
Dengan merangkak dan merintih-rintih, Ular Merah meninggalkan rumah Kobar di kegelapan malam. Mendengar rintihan orang tua, Sontani yang sejak tadi mengikuti keributan dari kejauhan segera keluar untuk memberikan pertolongan pada Ular Merah. Akan tetapi tiba-tiba Kobar telah menghadang didepannya sambil berseru lantang.
“Sontani! Jangan kau turut campur tangan urusanku. Pergi! Dan biarkan orang lumpuh gila itu berlalu! Atau kau juga ingin merasakan tendanganku?!”.
“Maafkan, Gusti! Saya sama sekali tak bermaksud campur tangan dengan urusan Gusti Kobar. Akan tetapi karena tak sampai hati melihat orang yang telah lanjut usia merangkak-rangkak di gelap malam. Maksud saya hanya ingin menolong memapahnya sampai di jalan besar !”. Jawab Sontani tenang.
“Tutup mulutmu, jika tak ingin ku tampar! Tahu! Aku tak sudi lagi mendengarkan ocehanmu! Lekas! Pergi !”. Suara bentakan Kobar yang amat keras memecah kesunyian tengah malam, hingga membangunkan mereka yang sedang tidur nyenyak di rumah masing-masing yang terletak di sebelah kanan kirinya.
Akan tetapi mereka segera membatalkan untuk menyaksikan dari dekat, setelah mengetahui bahwa suara keributan itu datangnya dari tempat kediaman Bupati Anom Tamtama Kobar. Mereka tak mau menjadi sasaran kemarahan Kobar yang sedang meluap-luap, dan terkenal orang yang selalu bertindak kejam terhadap bawahannya.
Waktu itu Yoga Kumala sedang asyik berlatih mempelajari jurus-jurus gerakan dasar ilmu pedang, menurut petunjuk dari kitab kuno peninggalan Mbah Duwung yang hanya terdiri dari sembilan lembar. Dan ternyata dengan bekal kecerdasannya, ia segera dapat mengetahui segi-segi kehebatan ilmu pedang yang kini tengah dipelajari, setelah mana digabungkan dengan ilmu pedangnya sendiri, ciptaan Eyang Cahaya Buana.
Dengan demikian iapun dapat cepat menarik kesimpulan, bahwa kitab peninggalan Mbah Duwung, sebenarnya adalah sisa bahagian yang pertama dari kitab kuno yang berisikan ilmu pedang wurushakti, peninggalan seorang priyagung tamtama shakti Sakya Abindra.
Sebagaimana dahulu telah diceritakan Eyangnya, kitab kuno itu menjadi rebutan orang-orang shakti dan akhirnya berantakan terlepas dari penjilidan dan menjadi terpisah-pisah. Dan dari Eyangnya ia sendiripun kini telah memiliki lembaran-lembaran sisa bagian yang akhir dari kitab kuno itu.
Sabuk kulit peninggalan mendiang mBah Duwung, ternyata bukan hanya berisikan lembaran sisa kitab kuno saja. tetapi terdapat pula sebuah benda berupa cincin bermata batu yang besarnya seibu jari kaki. Batu itu berwarna merah dan memancarkan sinar berkilauan warna-warni. Dalam gelap malam, pancaran sinar batu itu seakan-akan menyerupai nyala api. Dan oleh orang yang ahli, dinamakannya batu "merah sapta warna".
Oleh karena Yoga Kumala tak mengetahui kegunaan batu itu, serta dirasanya terlalu besar, maka olehnya disimpan kembali,
“Biarlah kelak benda peninggalan mBah Duwung ini kuserahkan kembali pada Kakang Talang Pati saja. Mungkin baginya lebih berguna, — pikirnya. Suara bentakan Kobar yang nyaring membuat ia terperanjat sesaat, hingga ia terpaksa menghentikan latihannya, sambil mendengarkan suara percakapan dua orang yang sedang bertengkar dengan pendengarannya yang tajam dan terlatih.
“Kau kejam anakku! Kau anak terkutuk !!!”.
“Cukup! Aku bukan anakmu lagi. Dan enyahlah segera dari sini!”. Bentak Kobar dengan wajah yang semakin memerah dan pandang mata yang berkilat tajam.
Namun orang tua yang duduk dilantai depan pintu rumah kobar itu, masih membandel tak bergeser dari tempatnya. Ia menggumam mengumpat-umpat sambil me-nuding2 dengan jari telunjuknya.
Melihat mukanya yang telah berkeriput dengan rambutnya yang kusut dan telah memutih, orang itu usianya telah mendekati tujuh puluhan. Dan derita yang selalu ditanggungnya, membuat ia menjadi lebih tua. Ia duduk bukan karena takut berdiri, melainkan memang tak mampu untuk berdiri. Kedua kakinya lumpuh sejak kira2 pada 15 tahun yang lampau. Ia tak dapat berjalan sebagaimana layaknya, melainkan mengesot yang mendekati merangkak. Pakaiannya telah kumal dan compang-camping.
Ia adalah ayah Kobar yang sejati, terkenal dengan gelarnya si Ular Merah. Ia dahuiu kepala rampok yang amat shakti di daerah Pejajaran. Tindakannya kejam tak mengenal perikemanusiaan. Tak sedikit rakyat yang tak berdosa menjadi korban kebuasannya.
Dan hingga pada suatu ketika, sewaktu si Ular Merah sedang mengganas dengan anak buahnya, Pertapa Shakti Ajengan Cahaya Buana yang selalu diikuti harimau kumbang piaraannya dapat menggagalkan tindak kejahatannya. Dalam pertempuran dengan Cabaya Buana, si Ular Merah roboh menderita kelumpuhan pada kedua kakinya terkena pukulan aji shakti pertapa Gunung Tangkuban Perahu.
Dan semenjak itu, namanya yang amat ditakuti rakyat tak terdengar lagi. Dengan harapan kelak dapat membalas dendam pada keturunan si Pertapa Shakti, ia melatih anaknya lelaki tunggal yang pada waktu itu baru berusia kira-kira sepuluh tahun dengan segenap kemampuannya.
Disamping dapat membalas dendam, iapun berharap agar anaknya yang mewarisi keshaktiannya kelak dapat menjadi tamtama yang berpangkat. Dengan demikian ia berharap dapat menyandarkan hidupnya dihari tua pada anaknya yang tunggal itu. Dan ternyata anak lelaki tunggal ini dapat pula mewarisi ilmu pedang serta keshaktiannya dengan tak mengecewakan. Dan anaknya yang tunggal itu adalah Kobar yang kini telah menjabat priyagung tamtama berpangkat Bupati Anom.
Berbulan-bulan lamanya si Ular Merah merangkak dari kota ke kota untuk mencari anaknya si Kobar, yang akhirnya dapat juga ditemukan di kota Senopaten Mojoagung. la tak menduga sama sekali, bahwa Kobar akan mengingkari sebagai anaknya dan mengusirnya seperti seekor anjing kudisan.
“Kobar! Kobar! Jika kau tak sudi lagi mengakui aku sebagai ayahmu, baiklah… aku akan pergi. Tetapi ingat! Kutukanku menyertaimu selalu!”.
“Bedebah tua tak tahu adat! Pergi!”. Membentak demikian Kobar sambil melangkah maju dan menendang ayahnya sendiri, hingga orang tua lumpuh itu terpental keluar dan jatuh terpelanting di halaman.
Dengan merangkak dan merintih-rintih, Ular Merah meninggalkan rumah Kobar di kegelapan malam. Mendengar rintihan orang tua, Sontani yang sejak tadi mengikuti keributan dari kejauhan segera keluar untuk memberikan pertolongan pada Ular Merah. Akan tetapi tiba-tiba Kobar telah menghadang didepannya sambil berseru lantang.
“Sontani! Jangan kau turut campur tangan urusanku. Pergi! Dan biarkan orang lumpuh gila itu berlalu! Atau kau juga ingin merasakan tendanganku?!”.
“Maafkan, Gusti! Saya sama sekali tak bermaksud campur tangan dengan urusan Gusti Kobar. Akan tetapi karena tak sampai hati melihat orang yang telah lanjut usia merangkak-rangkak di gelap malam. Maksud saya hanya ingin menolong memapahnya sampai di jalan besar !”. Jawab Sontani tenang.
“Itupun tak perlu! Aku sengaja menendangnya karena orang tua gila itu mengacau di rumahku. Dan siapapun yang hendak membela orang gila macam dia, harus berani pula berurusan denganku! Tahu!” Bentak Kobar dengan lantang.
Belum juga Sontani menjawab, tiba-tiba Ular Merah berseru memotong: “Bohong! Bukan aku yang gila! Dialah yang gila! Dialah anakku Kobar yang terkutuk!”.
Belum juga Sontani menjawab, tiba-tiba Ular Merah berseru memotong: “Bohong! Bukan aku yang gila! Dialah yang gila! Dialah anakku Kobar yang terkutuk!”.
Demi mendengar seruan orang tuanya, Kobar bagaikan dikupas kulit mukanya. Kemarahannya meluap-luap tak terkendalikan lagi. Ia melompat hendak menerjang ayahnya dengan pukulan maut, tetapi tiba-tiba Yoga Kumala telah berdiri menghadang dihadapannya.
“Kakang Kobar! Apa maksudmu memukul orang tuamu sendiri yang tak berdaya!” Serunya tajam dan berwibawa.
“Adi Tumenggung jangan campur tangan dalam urusanku! Ia bukan orang tuaku dan omongannya ocehan orang gila!”. Sahutnya.
“Jika ia bukan orang tuamu, apa salahnya campur tangan dalam urusan ini?!”.
Mendapat tegoran Yoga Kumala yang tepat dan beralasan, sesaat Kobar kehilangan akal untuk menjawabnya. Dengan suara yang agak lunak, ia berusaha menutupi kebohongannya.
“Bukan demikian maksudku, Adi Tumenggung Yoga! Karena orang gila yang lumpuh itu tadi datang-datang mengacau di rumahku, dan mengaku ayahku, maka kuusir ia keluar rumah. Bukankah ini semata-mata menjadi urusanku sendiri? Dan karena aku dapat pula menyelesaikan sendiri, kiranya tak perlu lain orang turut campur dalam urusan kecil yang tengah kuhadapi ini”.
“Baiklah, apabila anggapan Kakang Kobar demikian!”. sahut Yoga Kumala sambil membalikkan badannya dengan maksud hendak berlalu dari tempat itu.
Tiba-tiba dari balik rumah yang terujung dalam kegelapan, terdengar suara si Ular Merah berseru pada mereka.
“Sudahlah, jangan kalian bertengkar tentang diriku! Aku telah dapat menolong diriku sendiri. Dan biarlah anakku Kobar yang terkutuk itu, kelak mati tersambar petir”. umpatnya sambil merangkak semakin jauh.
Tanpa menghiraukan lagi akan suara ayahnya, Kobar cepat masuk kembali ke dalam rumahnya, dan Yoga Kumala serta Sontani masing-masing melangkah kembali pula ke tempat kediamannya sendiri dengan angan-angan diliputi teka-teki.
Benarkah orang lumpuh tadi ayahnya Kobar? pikir mereka berdua. Jika seandainya benar, mengapa demikian kejamnya ia berlaku terhadap ayahnya sendiri? Dan andaikan bukan, mengapa orang tua yang lumpuh itu berani mengatakan bahwa ia adalah anaknya. Dan mengapa orang tua itu berani pula mengumpat-umpatnya sedemikian keji. Dan siapakah orang tua lumpuh itu? Ah… kelak tentu terjawab sendiri pertanyaan ini. pikir mereka berdua.
***
Tiga bulan telah lewat sejak peristiwa Kobar dan ayahnya terjadi. Dan kini sebagian besar para tamtama sedang sibuk mengadakan persiapan untuk berlayar menuju “Pulau Kedukan Bukit" mengemban titah Manggala Yudha Gusti Senopati Adityawardhana.
Yoga Kumala, Kobar, Sontani, Braja Semandang, Nyoman Ragil, Berhala, Jala Mantra dan Jaka Gumarang nampak pula dalam kesibukan untuk menyiapkan sesuatu yang dianggap perlu dalam mengemban tugas yang dipandangnya sangat mulia itu. Menurut ketentuan Gusti Senopati Manggala Yudha, dua ribu tamtama terpilih dibawah pimpinan Bupati Tamtama Yoga Kumala dan Kobar akan segera diperintahkan untuk berangkat melalui darat sampai di bandar Pantai Selatan (Pelabuhan Ratu) daerah Pajajaran. Disana mereka diharuskan menunggu kembalinya rombongan tamtama Narasandi yang dipimpin Gusti Tumenggung Cakrawirya, dari kerajaan Sriwijaya.
Pada dua bulan sebelumnya, Gusti Tumenggung Cakrawirya telah pergi berlayar menuju Bandar Muara Musi, sebagai utusan Sri Baginda Maharaja Rajasanegara untuk mengantar sumbangan barang berharga serta rombongan para penari dan para pemukul gamelan guna memeriahkan perayaan bertepatan dengan hari ulang tahun Sri Baginda Raja Kerajaan Sriwijaya.
Dipilihnya Tumenggung Cakrawirya sebagai utusan Kerajaan bukan hanya semata2 mengantar barang sumbangan saja, akan tetapi ia sebagai Manggala Tamtama Narasandi, bertujuan pula menyelidiki kekuatan pasukan kerajaan Sriwijaya, serta mencari tahu segi-segi kelemahannya. Pun para penari-penarinya yang bukan lain ialah Indah Kumala Wardhani, Ratnasari, Sampursekar dan Ktut Chandra, adalah anggauta tamtama Narasandi Kerajaan yang terpilih, dan terlatih.
Demikian pula para pemukul gamelan, mereka semuanya terdiri dari para tamtama Narasandi Kerajaan yang terpilih. Disamping mencari tahu tentang kekuatan pasukan Kerajaan Sriwiyaja, pun ketangguhan dan kesaktian para Manggala tamtamanya menjadi titik perhatian pula. Dan demikian pula tentang letak tempat serta banyaknya persediaan perbekalan tamtama dan persenjataannya, tak lepas dari pengintaian para telik sandi Majapahit.
Berkat pengalaman dan keshaktian Tumenggung Cakrawirya, semua tugas dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat serta berhasil memuaskan, tanpa mendapat kecurigaan dari para Priyagung Kerajaan Sriwijaya. Pada waktu itu antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya dari Pulau Kedukan Bukit itu memang tak bermusuhan. Hubungan antara kedua Kerajaan masih berlangsung baik dengan saling menganggap sebagai Negara mitreka Satata atau disebutnya Negara Sahabat.
Adapun Kerajaan Negeri Tanah Melayulah yang bermaksud mengendihkan Kerajaan Sriwijaya, dengan maksud mempersatukan kembali rumpun suku Melayu, serta membebaskan rakyatnya dari penderitaan, akibat tindak sewenang-wenang para Priyagung Kerajaan Sriwijaya.
Untuk mencapai tujuan itu, Sri Baginda Maharaja Adityawarman berkenan minta bantuan pasukan pada Kerajaan Agung Majapahit. Berulangkali utusan Kerajaan Negeri Tanah Melayu menghadap Sri Baginda Maharaja Hayam Wuruk Rajasanegara, untuk menyampaikan permohonan bantuan pasukan, demi terwujudnya keutuhan rumpun suku Melayu.
Hingga pada akhirnya, kira-kira tiga tahun yang sewaktu diadakan pasewakan paripurna, Sri Baginda Maharaja Majapahit berkenan memutuskau untuk menyanggupi mengirimkan bantuan pasukan ke Negeri Tanah Melayu dengan syarat, kelak apabila dua negara kerajaan di Pulau Kedukan Bukit (Sumatra) itu dapat disatukan dan menjadi satu Negara Kerajaan Besar Negeri Tanah Melayu, maka hendaknya tetap berada dibawah naungan bendera agung “Gula Kelapa”.
Dengan demikian, maka diharapkan terwujudnya Negara Kesatuan se Nuswantara dibawah satu lambang kebesaran Sang Dwi Warna, sesuai isi Sumpah Shakti "Tan Amukti Palapa" dari mendiang Maha Patih Mangkubumi Gajah Mada yang telah mangkat sebagai Pahlawan Nuswantara.
Menurut catatan sejarah, konon Kerajaan Sriwijaya pada masa-masa yang lampau pernah pula mengalami jaman keemasan dan menjadi kebesaran serta kebanggaan bagi bangsa se Nuswantara. Kota Rajanya berada di tepi muara Sungai Musi dekat Palembang kini. la berdiri sejak abad ke 7. Kerajaan Sriwijaya dikenal para pedagang-pedagang bangsa Arab dengan nama "Sri Busa”, sedangkan para musafir Cina menyebutnya "Chele Poche".
Kekuasaannya meluas ke arah barat laut sampai Selat Malaka, dan ke arah tenggara sampai di Selat Sunda. Guru-guru termasyhur dari India seperti Dharmapala, Sikyakirti dan Iain-lain didatangkan untuk mengajar di Sriwijaya. Dan seribu pendeta Budha menjadikannya pusat yang penting bagi Budha aliran Hinayana. Kemudian mulai abad ke 8 Budha aliran Mahayana dari Sriwijaya lebih berpengaruh dari pada aliran Hinayana dan meluas ke Asia Tenggara.
Pada tahun 775 Sriwijaya pernah pula berkuasa di Ligor, dan pada abad ke 9 dikuasainya Selat Malaka. Lalu-lintas di lautan, antara lain pelayaran ke India dikuasainya, pun beberapa bandar di Malaka didudukinya. Bhikshu-bikshu Cina yang kenamaan seperti I Tsing dan Wu Ling pernah pula berkunjung di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sansekerta dan naskah-naskah suci, selama kira-kira empat tahun, sebelum mereka berangkat melawat ke lndia.
Faktor-faktor yang menjebabkan pesatnya berkembang Kerajaan Sriwijaya diantaranya ialah: Raja dan segenap Priyagung mentaati ajaran-ajaran Agama yang dipeluknya. dengan demikian mereka memiliki budi luhur serta selalu menjadi tauladan bagi rakyatnya, hingga Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat Agama Buddha aliran Mahayana.
Para Priyagung Kerajaan gemar mempertinggi ilmu dalam segala bidang. lni dibuktikan dengan didirikannya`tempat-tempat perguruan tinggi dan mendatangkan mahaguru-mahaguru dari Negeri lain. Letaknya amat strategis, diantara dua Negara yang telah maju, India dan Tiongkok.
Mempunyai bandar yang langsung menuju Kota Raja yang disebutnya Bandar Muara Musi. Pertahanan dengan pasukan tamtamanya yang amat kuat, terutama tamtama angkatan samodranya. Dan terciptanya pertahanan yang kuat ini, berkat dukungan dan bantuan segenap lapisan rakyat.
Perdagangan dengan Negara-Negara lain mendapat perhatian penuh dari Kerajaan, dan keamanan di lautan terjamin. Tamtama dan Narapraja Kerajaan Negeri Tanah Melayu benar-benar merupakan pelindung rakyat.
Para penyeleweng dan pemeras rakyat, dibrantas secara tegas dengan hukuman siksaan-siksaan badan yang amat berat, tanpa pilih bulu. Kesejahteraan rakyatnya mendapat perhatian penuh dalam tempat yang utama, hingga mereka pada umumnya dapat hidup tenteram serta dapat menikmati penghidupan layak, dengan terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Demikianlah uraian dan catatan sejarah dari kedua Kerajaan dari Pulau Kedukan Bukit itu.
Tiga bulan lamanya pasukan Tamtama kerajaan Agung Majapahit dibawah pimpinan Yoga Kumala dan Kobar berkemah di pantai Selatan Pajajaran, setelah mana Tumenggung Cakrawirya datang beserta rombongan para tamtama Narasandi Kerajaan.
“Aku percaya, bahwa kehendak Gustiku Baginda Maharaja Adhityawarman untuk Menaklukan Kerajaan Sriwijaya akan berhasil”. Kata Cakrawirya sewaktu membentangkan keadaan Kerajaan Sriwijaya pada Yoga Kumala dan Kobar beserta para perwira2 tamtama lainnya. “Tentu saja, apabila didalam tubuh kita sendiri tak ada keretakan-keretakan, yang menyebabkan lemahnya pasukan”, kata ia selanjutnya.
Dengan panjang lebar Cakrawirya memberi penjelasan tentang kedudukan pertahanan Kerajaan Sriwijaya serta tak lupa pula memberikan petunjuk-petunjuk yang penting berguna sebagai bekal dalam mengemban tugas selanjutnya.
Sebagai Manggala Tamtama Narasandi yang telah berpengalaman luas, ia menekankan, bahwa kemenangan di medan yudha hanya tercapai, apabila dalam tubuh pasukan tak ada keretakan. Musuh akan berusaha selalu untuk dapat berselimut dalam tubuh pasukan kita, dengan melalui celah-celah keretakan yang ada, walaupun keretakan itu nampaknya amat kecil. Dan disamping keutuhan yang harus terbina baik, pun ketabahan dan tingkah laku para tamtama perseorangan merupakan hal yang menentukan pula.
“ini sangat penting untuk kau sadari sedalam-dalamnya, Kobar !”. kata Cakrawirya dengan tandas pada Kobar. Sinar pandang matanya menatap Kobar dengan amat tajam, sewaktu Cakrawirya mengucapkan kata peringatan ini.
Dengan muka tertunduk, Kobar mendengarkan tanpa menjawab sepatah katapun. Mukanya merah padam sampai diujung telinganya. la merasa terhina akan peringatan demikian, namun karena takut ia tak berani menentang. Kiranya tingkah laku dan sifat-sifat Kobar yang kurang baik itu, telah lama pula mendapat sorotan dari Tumenggung Cakrawirya.
Menurut keterangan selanjutnya dari Cakrawirja, ia sendiri beserta rombongan tamtama narasandi akan berkenan pula mengantarkan bantuan pasukan ke Kerajaan Negeri Tanah Melayu, mewakili Gusti Senopati Manggala Yudha untuk menyerahkannya, Sedangkan para anggauta tamtama Narasandi selanjutnya akan ditugaskan membantu terbinanya keamanan setelah nanti Kota Raja lawan dapat diduduki.
Semua menyambut dengan gembira demi mendengar bahwa Cakrawirya beserta rombongan para tamtama narasandi akan menyertai pula hingga sampai di Kerajaan Negeri Tanah Melayu.
Ratnasati, Indah Kumala Wardhani, Ktut Chandra dan Sampur Sekar merasa berbahagia demi mendapat tugas yang amat mulia itu. Pun kesempatan untuk selalu berdekatan dengan kekasih masing-masing tentu akan menggembirakan. Dan kiranya kesempatan baik inipun tak disia-siakan Braja Semandang yang telah lama menanggung derita terkena panah asmara Sampur Sekar. Dengan sembunyi-sembunyi mereka berdua saling mengutarakan isi hati masing-masing dengan hiasan kata-kata yang sangat lirih.
Lain halnya dengan Yoga Kumala. Dibalik kegembiraan, nampak adanya rasa murung karena maksud untuk mengutarakan isi hatinya pada Ktut Chandra selalu tak sampai, terhalang dengan kehadiran Ratnasari yang selalu mendekatinya serta menunjukkan rasa kasih dengan kemurnian hatinya.
Dan untuk tidak mengecewakan, Yoga Kumala terpaksa menanggapi dua remaja putri itu dengan senyum dan tawa yang terbagi. Pun demi tugas yang menjadi bebannya sebagai pembimbing dan pelindung para putri tamtama narasandi, membuat ia selalu berlaku bijaksana.
Sedangkan hubungan antara Indah Kumala Wardhani adiknya clan Sontani kini bertambah lebih akrab dan mesra. Sepanjang hari mereka berdua bersendau gurau dan bercakap-cakap dengan riangnya.
Dan ini semua menamhah meluapnya rasa benci yang telah lama terkandung dalam lubuk hati Kobar. Telah berulang kali Kobar bemaksud hendak melampiaskan nafsu kebencian pada Sontani, akan tetapi selalu gagal karena terhalang dengan adanya Yoga Kumala. Sedangkan bagaimanapun Yoga Kumala adalah menjadi atasannya langsung.
Seandainya Yoga Kumala musuhku ini binasa, tentu aku yang akan berkuasa — pikirnya, Dan dendam kesumat Kobar yang telah lama dikandung selalu bangkit menguasai dirinya. Bukankah amat mudah bagaikan membalikkan telapak tangan, untuk menyingkirkan Sontani dan memperistri Indah Kumala Wardhani, apabila kelak ia yang berkuasa? — Suara bisikan iblis ditelinganya. Satu-satunya perwira tamtama bawahannya yang ia menaruh penuh kepercayaan untuk membantu niat jahatnya Kobar adalah Berhala.
Tetapi disesalkan, karena keshaktian Berhala terbatas dan berada dibawah tingkat Sontani. Ia masih ingat akan kegagalan pada setengah tahun berselang, sewaktu ia mencegat perjalanan Yoga dan Sontani di dekat desa Kasiman. Ia sengaja memakai kedok pada waktu itu, agar wajahnya tak dikenal. Tetapi sayang, bahwa sebelum berhasil, Berhala dan seorang temannya lari meninggalkan gelanggang, karena jeri melihat teman lain mati terpancung kepalanya oleh sabetan pedang Sontani.
Lima hari kemudian armada iring-iringan perahu layar dengan duaja-duaja kebesaran serta bendera keagungan "Gula Kelapa" yang berkibar megah di masing2 puncak tiang bendera, bergerak mengarungi Samodra Raya Nuswantara ke arah Barat laut dengan tujuan Bandar Teluk Bayur Kerajaan Negeri Tanah Melayu.
Cuaca cerah, dan angin meniup dengan kencang. Layar-layar mengembang penuh, dan mempercepat lajunya perahu-perahu Iayar mengarungi samodra. Gelombang bergulung-gulung menggempur dinding-dinding perahu layar tanpa mengenal jemu, dan terasalah goncangan-goncangan dalam perahu dengan tiada hentinya.
Lima hari lima malam lamanya Armada iring-iringan perahu layar yang mengangkut pasukan tamtama Kerajaan Agung Majapahit mengarungi samodra, dan ternyata di lautan, putra-putra Nuswantata menunjukkan kemahirannya yang dapat dibanggakan.
Kini Armada telah sampai di Teluk Bayur Dengan rapinya iring-iringan perahu layar itu memasuki Bandar, serta kemudian melepas jangkar untuk berlabuh. Pasukan yang dipimpin Yoga Kumala dan Kobar semuanya mendarat mengiringkan Tumenggung Cakrawirya beserta para tamtama narasandi yang akan bertindak sebagai utusan Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, mewakili Gusti Senopati Manggala Yudha Adhityawardhana.
Kedatangannya disambut dengan upacara kebesaran yang amat meriah oleh para priyagung beserta seluruh tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu atas titah Sri Baginda Maharaja Adhityawarman sendiri.
Pada esok harinya Sri Baginda Maharaja berkenan mengadakan pasewakan paripurna secara tertutup yang dihadiri segenap para Manggala serta para pimpinan pasukan bantuan dari Majapahit, guna merundingkan siasat penyerangan untuk menggempur Kerajaan Sriwijaya.
Dalam pasewakan paripurna yang berlangsung tiga hari berturut-turut dan dipimpin sendiri Sri Baginda Maharaja Adityawarman itu, Tumenggung Cakrawirya memberikan laporan tentang keadaan Kerajaan Sriwijaya pada dewasa ini, serta saran-saran sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan siasat perang, agar tidak mengalami kegagalan.
Dengan panjang lebar dipaparkan, bahwa kekuatan pasukan lawan tak dapat di anggap kecil. Segi-segi kelemahan lawan yang titik beratnya terletak pada kerusakan akhlak perseorangan para priyagung serta sebagian besar para tamtama dan naraprajanya, tak ketinggalan diutarakan pula dalam sidang paripurna itu.
Sedangkan keadaan alam sekitar Kota Raja Sriwiiaya yang dilintasi banyak sungai-sungai, menjadi perhatian pula demi menentukan siasat selanjutnya. Peta bumi daerah Kerajaan Sliwijaya dibeberkan, dan segenap para manggala mempelajarinya dengan saksama. Pendapat masing-masing dikumpulkan serta disaring, dan akhirnya Sri Baginda Maharaja berkenan sendiri memberikan ketentuan siasatnya.
Jambi Kota Raja yang lama dipilihnya sebagai tempat pemusatan induk pasukan. Kemudian sebagian akan dikirim langsung dengan perahu-perahu layar untuk menduduki sepanjang Sungai Mesuji dengan melewati Selat Pulau Kota Kapur. Dari sanalah serangan permulaan akan dimulai dan bergerak ke arah selatan mengikuti mengalirnya Sungai Komering untuk selanjutnya menduduki Kayu Agung.
Serangan permulaan itu dimaksudkan sebagai pancingan untuk mengalihkan sebagian kekuatan pertahanan lawan yang berada disepanjang Sungai Musi. Sebagian kekuatan pasukan lagi akan bergerak menuju hulu Sungai Banyuasin dan dari sanalah mereka mendesak ke arah tenggara untuk langsung menyerang pertahanan lawan yang terkuat disepanjang Sungai Musi, dengan dibantu oleh sebagian pasukan lagi yang akan bergerak dari muara Sungai Banyuasin.
Dengan demikian Kota Raja Sriwijaya diharapkan terkepung tertebih dahulu, sesaat sebelum surat penantang perang disampaikan. Setelah garis besar siasat penyerangan ditentukan serta di fahami dengan saksama oleh para Manggala dan priyagung yang hadir, maka Pasewakan paripurna segera dibubarkan.
Kini semua sibuk mempersiapkan diri dalam tugas masing-masing, siaga menghadapi perang besar. Gusti Tumenggung Cakrawirya kemudian dengan diantar para priyagung sampai di Bandar Teluk Bayur, berlayar meninggalkan Pulau Kedukan Bukit menuju ke Kerajaan Agung Majapahit. Sedangkan para tamtama narasandi ditinggalkannya untuk bergabung menjadi satu dengan pasukan bantuan yang dipimpin Yoga Kumala.
Perang
demi terbebasnya penderitaan rakyat
perang
demi terwujudnya keutuhan bangsa, dan sekali lagi
perang
demi kejayaan lambang shakti Bendera Kesatuan se Nuswantara nan Agung Sang "Gula Kelapa"
Demikianlah semboyan Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang disematkan di dada pada tiap-tiap tamtama Kerajaan yang akan melakukan perang besar-besaran. Dalam “perang suci” ini, segenap tamtama yang mengemban titah Maharaja junjungannya, harus memiliki keyakinan penuh, bahwa Dewa Kemenangan akan berada difihaknya. Mati dimedan Yudha adalah “Pahlawan Bangsa” yang akan dikenang sepanjang masa, serta menjadi kebanggaan para keluarga yang ditinggalkannya. Demikianlah pengertian seorang tamtama.
Sebelum berangkat ke medan YuDha mereka bermandi jamas dengan air bunga rampai suci. Kuil-kuil dan candi-candi serta tempat-tempat suci lainnya telah penuh dengan kembang setaman dan sesajian beraneka macam dan warna. Semua Pendeta memanjatkan do`a dan mantra-mantra, demi tercapainya kemenangan.
Akan tetapi “perang” bagi rakyat kecil, adalah malapetaka .,Perang., adalah sesuatu yang dibenci dan tak diinginkan rakyat. Menang ataupun kalah, rakyat akan tetap menderita karenanya.
Dikala itu, waktu telah lewat tengah malam. Namun belum juga terdengar suara ayam berkokok yang pertama. Langit biru membentang bersih, dan berkeredipnya bintang-bintang diangkasa laksana cahaya taburan batu permata.
“Kakang Kobar! Apa maksudmu memukul orang tuamu sendiri yang tak berdaya!” Serunya tajam dan berwibawa.
“Adi Tumenggung jangan campur tangan dalam urusanku! Ia bukan orang tuaku dan omongannya ocehan orang gila!”. Sahutnya.
“Jika ia bukan orang tuamu, apa salahnya campur tangan dalam urusan ini?!”.
Mendapat tegoran Yoga Kumala yang tepat dan beralasan, sesaat Kobar kehilangan akal untuk menjawabnya. Dengan suara yang agak lunak, ia berusaha menutupi kebohongannya.
“Bukan demikian maksudku, Adi Tumenggung Yoga! Karena orang gila yang lumpuh itu tadi datang-datang mengacau di rumahku, dan mengaku ayahku, maka kuusir ia keluar rumah. Bukankah ini semata-mata menjadi urusanku sendiri? Dan karena aku dapat pula menyelesaikan sendiri, kiranya tak perlu lain orang turut campur dalam urusan kecil yang tengah kuhadapi ini”.
“Baiklah, apabila anggapan Kakang Kobar demikian!”. sahut Yoga Kumala sambil membalikkan badannya dengan maksud hendak berlalu dari tempat itu.
Tiba-tiba dari balik rumah yang terujung dalam kegelapan, terdengar suara si Ular Merah berseru pada mereka.
“Sudahlah, jangan kalian bertengkar tentang diriku! Aku telah dapat menolong diriku sendiri. Dan biarlah anakku Kobar yang terkutuk itu, kelak mati tersambar petir”. umpatnya sambil merangkak semakin jauh.
Tanpa menghiraukan lagi akan suara ayahnya, Kobar cepat masuk kembali ke dalam rumahnya, dan Yoga Kumala serta Sontani masing-masing melangkah kembali pula ke tempat kediamannya sendiri dengan angan-angan diliputi teka-teki.
Benarkah orang lumpuh tadi ayahnya Kobar? pikir mereka berdua. Jika seandainya benar, mengapa demikian kejamnya ia berlaku terhadap ayahnya sendiri? Dan andaikan bukan, mengapa orang tua yang lumpuh itu berani mengatakan bahwa ia adalah anaknya. Dan mengapa orang tua itu berani pula mengumpat-umpatnya sedemikian keji. Dan siapakah orang tua lumpuh itu? Ah… kelak tentu terjawab sendiri pertanyaan ini. pikir mereka berdua.
***
Tiga bulan telah lewat sejak peristiwa Kobar dan ayahnya terjadi. Dan kini sebagian besar para tamtama sedang sibuk mengadakan persiapan untuk berlayar menuju “Pulau Kedukan Bukit" mengemban titah Manggala Yudha Gusti Senopati Adityawardhana.
Yoga Kumala, Kobar, Sontani, Braja Semandang, Nyoman Ragil, Berhala, Jala Mantra dan Jaka Gumarang nampak pula dalam kesibukan untuk menyiapkan sesuatu yang dianggap perlu dalam mengemban tugas yang dipandangnya sangat mulia itu. Menurut ketentuan Gusti Senopati Manggala Yudha, dua ribu tamtama terpilih dibawah pimpinan Bupati Tamtama Yoga Kumala dan Kobar akan segera diperintahkan untuk berangkat melalui darat sampai di bandar Pantai Selatan (Pelabuhan Ratu) daerah Pajajaran. Disana mereka diharuskan menunggu kembalinya rombongan tamtama Narasandi yang dipimpin Gusti Tumenggung Cakrawirya, dari kerajaan Sriwijaya.
Pada dua bulan sebelumnya, Gusti Tumenggung Cakrawirya telah pergi berlayar menuju Bandar Muara Musi, sebagai utusan Sri Baginda Maharaja Rajasanegara untuk mengantar sumbangan barang berharga serta rombongan para penari dan para pemukul gamelan guna memeriahkan perayaan bertepatan dengan hari ulang tahun Sri Baginda Raja Kerajaan Sriwijaya.
Dipilihnya Tumenggung Cakrawirya sebagai utusan Kerajaan bukan hanya semata2 mengantar barang sumbangan saja, akan tetapi ia sebagai Manggala Tamtama Narasandi, bertujuan pula menyelidiki kekuatan pasukan kerajaan Sriwijaya, serta mencari tahu segi-segi kelemahannya. Pun para penari-penarinya yang bukan lain ialah Indah Kumala Wardhani, Ratnasari, Sampursekar dan Ktut Chandra, adalah anggauta tamtama Narasandi Kerajaan yang terpilih, dan terlatih.
Demikian pula para pemukul gamelan, mereka semuanya terdiri dari para tamtama Narasandi Kerajaan yang terpilih. Disamping mencari tahu tentang kekuatan pasukan Kerajaan Sriwiyaja, pun ketangguhan dan kesaktian para Manggala tamtamanya menjadi titik perhatian pula. Dan demikian pula tentang letak tempat serta banyaknya persediaan perbekalan tamtama dan persenjataannya, tak lepas dari pengintaian para telik sandi Majapahit.
Berkat pengalaman dan keshaktian Tumenggung Cakrawirya, semua tugas dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat serta berhasil memuaskan, tanpa mendapat kecurigaan dari para Priyagung Kerajaan Sriwijaya. Pada waktu itu antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya dari Pulau Kedukan Bukit itu memang tak bermusuhan. Hubungan antara kedua Kerajaan masih berlangsung baik dengan saling menganggap sebagai Negara mitreka Satata atau disebutnya Negara Sahabat.
Adapun Kerajaan Negeri Tanah Melayulah yang bermaksud mengendihkan Kerajaan Sriwijaya, dengan maksud mempersatukan kembali rumpun suku Melayu, serta membebaskan rakyatnya dari penderitaan, akibat tindak sewenang-wenang para Priyagung Kerajaan Sriwijaya.
Untuk mencapai tujuan itu, Sri Baginda Maharaja Adityawarman berkenan minta bantuan pasukan pada Kerajaan Agung Majapahit. Berulangkali utusan Kerajaan Negeri Tanah Melayu menghadap Sri Baginda Maharaja Hayam Wuruk Rajasanegara, untuk menyampaikan permohonan bantuan pasukan, demi terwujudnya keutuhan rumpun suku Melayu.
Hingga pada akhirnya, kira-kira tiga tahun yang sewaktu diadakan pasewakan paripurna, Sri Baginda Maharaja Majapahit berkenan memutuskau untuk menyanggupi mengirimkan bantuan pasukan ke Negeri Tanah Melayu dengan syarat, kelak apabila dua negara kerajaan di Pulau Kedukan Bukit (Sumatra) itu dapat disatukan dan menjadi satu Negara Kerajaan Besar Negeri Tanah Melayu, maka hendaknya tetap berada dibawah naungan bendera agung “Gula Kelapa”.
Dengan demikian, maka diharapkan terwujudnya Negara Kesatuan se Nuswantara dibawah satu lambang kebesaran Sang Dwi Warna, sesuai isi Sumpah Shakti "Tan Amukti Palapa" dari mendiang Maha Patih Mangkubumi Gajah Mada yang telah mangkat sebagai Pahlawan Nuswantara.
Menurut catatan sejarah, konon Kerajaan Sriwijaya pada masa-masa yang lampau pernah pula mengalami jaman keemasan dan menjadi kebesaran serta kebanggaan bagi bangsa se Nuswantara. Kota Rajanya berada di tepi muara Sungai Musi dekat Palembang kini. la berdiri sejak abad ke 7. Kerajaan Sriwijaya dikenal para pedagang-pedagang bangsa Arab dengan nama "Sri Busa”, sedangkan para musafir Cina menyebutnya "Chele Poche".
Kekuasaannya meluas ke arah barat laut sampai Selat Malaka, dan ke arah tenggara sampai di Selat Sunda. Guru-guru termasyhur dari India seperti Dharmapala, Sikyakirti dan Iain-lain didatangkan untuk mengajar di Sriwijaya. Dan seribu pendeta Budha menjadikannya pusat yang penting bagi Budha aliran Hinayana. Kemudian mulai abad ke 8 Budha aliran Mahayana dari Sriwijaya lebih berpengaruh dari pada aliran Hinayana dan meluas ke Asia Tenggara.
Pada tahun 775 Sriwijaya pernah pula berkuasa di Ligor, dan pada abad ke 9 dikuasainya Selat Malaka. Lalu-lintas di lautan, antara lain pelayaran ke India dikuasainya, pun beberapa bandar di Malaka didudukinya. Bhikshu-bikshu Cina yang kenamaan seperti I Tsing dan Wu Ling pernah pula berkunjung di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sansekerta dan naskah-naskah suci, selama kira-kira empat tahun, sebelum mereka berangkat melawat ke lndia.
Faktor-faktor yang menjebabkan pesatnya berkembang Kerajaan Sriwijaya diantaranya ialah: Raja dan segenap Priyagung mentaati ajaran-ajaran Agama yang dipeluknya. dengan demikian mereka memiliki budi luhur serta selalu menjadi tauladan bagi rakyatnya, hingga Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat Agama Buddha aliran Mahayana.
Para Priyagung Kerajaan gemar mempertinggi ilmu dalam segala bidang. lni dibuktikan dengan didirikannya`tempat-tempat perguruan tinggi dan mendatangkan mahaguru-mahaguru dari Negeri lain. Letaknya amat strategis, diantara dua Negara yang telah maju, India dan Tiongkok.
Mempunyai bandar yang langsung menuju Kota Raja yang disebutnya Bandar Muara Musi. Pertahanan dengan pasukan tamtamanya yang amat kuat, terutama tamtama angkatan samodranya. Dan terciptanya pertahanan yang kuat ini, berkat dukungan dan bantuan segenap lapisan rakyat.
Perdagangan dengan Negara-Negara lain mendapat perhatian penuh dari Kerajaan, dan keamanan di lautan terjamin. Tamtama dan Narapraja Kerajaan Negeri Tanah Melayu benar-benar merupakan pelindung rakyat.
Para penyeleweng dan pemeras rakyat, dibrantas secara tegas dengan hukuman siksaan-siksaan badan yang amat berat, tanpa pilih bulu. Kesejahteraan rakyatnya mendapat perhatian penuh dalam tempat yang utama, hingga mereka pada umumnya dapat hidup tenteram serta dapat menikmati penghidupan layak, dengan terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Demikianlah uraian dan catatan sejarah dari kedua Kerajaan dari Pulau Kedukan Bukit itu.
Tiga bulan lamanya pasukan Tamtama kerajaan Agung Majapahit dibawah pimpinan Yoga Kumala dan Kobar berkemah di pantai Selatan Pajajaran, setelah mana Tumenggung Cakrawirya datang beserta rombongan para tamtama Narasandi Kerajaan.
“Aku percaya, bahwa kehendak Gustiku Baginda Maharaja Adhityawarman untuk Menaklukan Kerajaan Sriwijaya akan berhasil”. Kata Cakrawirya sewaktu membentangkan keadaan Kerajaan Sriwijaya pada Yoga Kumala dan Kobar beserta para perwira2 tamtama lainnya. “Tentu saja, apabila didalam tubuh kita sendiri tak ada keretakan-keretakan, yang menyebabkan lemahnya pasukan”, kata ia selanjutnya.
Dengan panjang lebar Cakrawirya memberi penjelasan tentang kedudukan pertahanan Kerajaan Sriwijaya serta tak lupa pula memberikan petunjuk-petunjuk yang penting berguna sebagai bekal dalam mengemban tugas selanjutnya.
Sebagai Manggala Tamtama Narasandi yang telah berpengalaman luas, ia menekankan, bahwa kemenangan di medan yudha hanya tercapai, apabila dalam tubuh pasukan tak ada keretakan. Musuh akan berusaha selalu untuk dapat berselimut dalam tubuh pasukan kita, dengan melalui celah-celah keretakan yang ada, walaupun keretakan itu nampaknya amat kecil. Dan disamping keutuhan yang harus terbina baik, pun ketabahan dan tingkah laku para tamtama perseorangan merupakan hal yang menentukan pula.
“ini sangat penting untuk kau sadari sedalam-dalamnya, Kobar !”. kata Cakrawirya dengan tandas pada Kobar. Sinar pandang matanya menatap Kobar dengan amat tajam, sewaktu Cakrawirya mengucapkan kata peringatan ini.
Dengan muka tertunduk, Kobar mendengarkan tanpa menjawab sepatah katapun. Mukanya merah padam sampai diujung telinganya. la merasa terhina akan peringatan demikian, namun karena takut ia tak berani menentang. Kiranya tingkah laku dan sifat-sifat Kobar yang kurang baik itu, telah lama pula mendapat sorotan dari Tumenggung Cakrawirya.
Menurut keterangan selanjutnya dari Cakrawirja, ia sendiri beserta rombongan tamtama narasandi akan berkenan pula mengantarkan bantuan pasukan ke Kerajaan Negeri Tanah Melayu, mewakili Gusti Senopati Manggala Yudha untuk menyerahkannya, Sedangkan para anggauta tamtama Narasandi selanjutnya akan ditugaskan membantu terbinanya keamanan setelah nanti Kota Raja lawan dapat diduduki.
Semua menyambut dengan gembira demi mendengar bahwa Cakrawirya beserta rombongan para tamtama narasandi akan menyertai pula hingga sampai di Kerajaan Negeri Tanah Melayu.
Ratnasati, Indah Kumala Wardhani, Ktut Chandra dan Sampur Sekar merasa berbahagia demi mendapat tugas yang amat mulia itu. Pun kesempatan untuk selalu berdekatan dengan kekasih masing-masing tentu akan menggembirakan. Dan kiranya kesempatan baik inipun tak disia-siakan Braja Semandang yang telah lama menanggung derita terkena panah asmara Sampur Sekar. Dengan sembunyi-sembunyi mereka berdua saling mengutarakan isi hati masing-masing dengan hiasan kata-kata yang sangat lirih.
Lain halnya dengan Yoga Kumala. Dibalik kegembiraan, nampak adanya rasa murung karena maksud untuk mengutarakan isi hatinya pada Ktut Chandra selalu tak sampai, terhalang dengan kehadiran Ratnasari yang selalu mendekatinya serta menunjukkan rasa kasih dengan kemurnian hatinya.
Dan untuk tidak mengecewakan, Yoga Kumala terpaksa menanggapi dua remaja putri itu dengan senyum dan tawa yang terbagi. Pun demi tugas yang menjadi bebannya sebagai pembimbing dan pelindung para putri tamtama narasandi, membuat ia selalu berlaku bijaksana.
Sedangkan hubungan antara Indah Kumala Wardhani adiknya clan Sontani kini bertambah lebih akrab dan mesra. Sepanjang hari mereka berdua bersendau gurau dan bercakap-cakap dengan riangnya.
Dan ini semua menamhah meluapnya rasa benci yang telah lama terkandung dalam lubuk hati Kobar. Telah berulang kali Kobar bemaksud hendak melampiaskan nafsu kebencian pada Sontani, akan tetapi selalu gagal karena terhalang dengan adanya Yoga Kumala. Sedangkan bagaimanapun Yoga Kumala adalah menjadi atasannya langsung.
Seandainya Yoga Kumala musuhku ini binasa, tentu aku yang akan berkuasa — pikirnya, Dan dendam kesumat Kobar yang telah lama dikandung selalu bangkit menguasai dirinya. Bukankah amat mudah bagaikan membalikkan telapak tangan, untuk menyingkirkan Sontani dan memperistri Indah Kumala Wardhani, apabila kelak ia yang berkuasa? — Suara bisikan iblis ditelinganya. Satu-satunya perwira tamtama bawahannya yang ia menaruh penuh kepercayaan untuk membantu niat jahatnya Kobar adalah Berhala.
Tetapi disesalkan, karena keshaktian Berhala terbatas dan berada dibawah tingkat Sontani. Ia masih ingat akan kegagalan pada setengah tahun berselang, sewaktu ia mencegat perjalanan Yoga dan Sontani di dekat desa Kasiman. Ia sengaja memakai kedok pada waktu itu, agar wajahnya tak dikenal. Tetapi sayang, bahwa sebelum berhasil, Berhala dan seorang temannya lari meninggalkan gelanggang, karena jeri melihat teman lain mati terpancung kepalanya oleh sabetan pedang Sontani.
Lima hari kemudian armada iring-iringan perahu layar dengan duaja-duaja kebesaran serta bendera keagungan "Gula Kelapa" yang berkibar megah di masing2 puncak tiang bendera, bergerak mengarungi Samodra Raya Nuswantara ke arah Barat laut dengan tujuan Bandar Teluk Bayur Kerajaan Negeri Tanah Melayu.
Cuaca cerah, dan angin meniup dengan kencang. Layar-layar mengembang penuh, dan mempercepat lajunya perahu-perahu Iayar mengarungi samodra. Gelombang bergulung-gulung menggempur dinding-dinding perahu layar tanpa mengenal jemu, dan terasalah goncangan-goncangan dalam perahu dengan tiada hentinya.
Lima hari lima malam lamanya Armada iring-iringan perahu layar yang mengangkut pasukan tamtama Kerajaan Agung Majapahit mengarungi samodra, dan ternyata di lautan, putra-putra Nuswantata menunjukkan kemahirannya yang dapat dibanggakan.
Kini Armada telah sampai di Teluk Bayur Dengan rapinya iring-iringan perahu layar itu memasuki Bandar, serta kemudian melepas jangkar untuk berlabuh. Pasukan yang dipimpin Yoga Kumala dan Kobar semuanya mendarat mengiringkan Tumenggung Cakrawirya beserta para tamtama narasandi yang akan bertindak sebagai utusan Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, mewakili Gusti Senopati Manggala Yudha Adhityawardhana.
Kedatangannya disambut dengan upacara kebesaran yang amat meriah oleh para priyagung beserta seluruh tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu atas titah Sri Baginda Maharaja Adhityawarman sendiri.
Pada esok harinya Sri Baginda Maharaja berkenan mengadakan pasewakan paripurna secara tertutup yang dihadiri segenap para Manggala serta para pimpinan pasukan bantuan dari Majapahit, guna merundingkan siasat penyerangan untuk menggempur Kerajaan Sriwijaya.
Dalam pasewakan paripurna yang berlangsung tiga hari berturut-turut dan dipimpin sendiri Sri Baginda Maharaja Adityawarman itu, Tumenggung Cakrawirya memberikan laporan tentang keadaan Kerajaan Sriwijaya pada dewasa ini, serta saran-saran sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan siasat perang, agar tidak mengalami kegagalan.
Dengan panjang lebar dipaparkan, bahwa kekuatan pasukan lawan tak dapat di anggap kecil. Segi-segi kelemahan lawan yang titik beratnya terletak pada kerusakan akhlak perseorangan para priyagung serta sebagian besar para tamtama dan naraprajanya, tak ketinggalan diutarakan pula dalam sidang paripurna itu.
Sedangkan keadaan alam sekitar Kota Raja Sriwiiaya yang dilintasi banyak sungai-sungai, menjadi perhatian pula demi menentukan siasat selanjutnya. Peta bumi daerah Kerajaan Sliwijaya dibeberkan, dan segenap para manggala mempelajarinya dengan saksama. Pendapat masing-masing dikumpulkan serta disaring, dan akhirnya Sri Baginda Maharaja berkenan sendiri memberikan ketentuan siasatnya.
Jambi Kota Raja yang lama dipilihnya sebagai tempat pemusatan induk pasukan. Kemudian sebagian akan dikirim langsung dengan perahu-perahu layar untuk menduduki sepanjang Sungai Mesuji dengan melewati Selat Pulau Kota Kapur. Dari sanalah serangan permulaan akan dimulai dan bergerak ke arah selatan mengikuti mengalirnya Sungai Komering untuk selanjutnya menduduki Kayu Agung.
Serangan permulaan itu dimaksudkan sebagai pancingan untuk mengalihkan sebagian kekuatan pertahanan lawan yang berada disepanjang Sungai Musi. Sebagian kekuatan pasukan lagi akan bergerak menuju hulu Sungai Banyuasin dan dari sanalah mereka mendesak ke arah tenggara untuk langsung menyerang pertahanan lawan yang terkuat disepanjang Sungai Musi, dengan dibantu oleh sebagian pasukan lagi yang akan bergerak dari muara Sungai Banyuasin.
Dengan demikian Kota Raja Sriwijaya diharapkan terkepung tertebih dahulu, sesaat sebelum surat penantang perang disampaikan. Setelah garis besar siasat penyerangan ditentukan serta di fahami dengan saksama oleh para Manggala dan priyagung yang hadir, maka Pasewakan paripurna segera dibubarkan.
Kini semua sibuk mempersiapkan diri dalam tugas masing-masing, siaga menghadapi perang besar. Gusti Tumenggung Cakrawirya kemudian dengan diantar para priyagung sampai di Bandar Teluk Bayur, berlayar meninggalkan Pulau Kedukan Bukit menuju ke Kerajaan Agung Majapahit. Sedangkan para tamtama narasandi ditinggalkannya untuk bergabung menjadi satu dengan pasukan bantuan yang dipimpin Yoga Kumala.
Perang
demi terbebasnya penderitaan rakyat
perang
demi terwujudnya keutuhan bangsa, dan sekali lagi
perang
demi kejayaan lambang shakti Bendera Kesatuan se Nuswantara nan Agung Sang "Gula Kelapa"
Demikianlah semboyan Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang disematkan di dada pada tiap-tiap tamtama Kerajaan yang akan melakukan perang besar-besaran. Dalam “perang suci” ini, segenap tamtama yang mengemban titah Maharaja junjungannya, harus memiliki keyakinan penuh, bahwa Dewa Kemenangan akan berada difihaknya. Mati dimedan Yudha adalah “Pahlawan Bangsa” yang akan dikenang sepanjang masa, serta menjadi kebanggaan para keluarga yang ditinggalkannya. Demikianlah pengertian seorang tamtama.
Sebelum berangkat ke medan YuDha mereka bermandi jamas dengan air bunga rampai suci. Kuil-kuil dan candi-candi serta tempat-tempat suci lainnya telah penuh dengan kembang setaman dan sesajian beraneka macam dan warna. Semua Pendeta memanjatkan do`a dan mantra-mantra, demi tercapainya kemenangan.
Akan tetapi “perang” bagi rakyat kecil, adalah malapetaka .,Perang., adalah sesuatu yang dibenci dan tak diinginkan rakyat. Menang ataupun kalah, rakyat akan tetap menderita karenanya.
Dikala itu, waktu telah lewat tengah malam. Namun belum juga terdengar suara ayam berkokok yang pertama. Langit biru membentang bersih, dan berkeredipnya bintang-bintang diangkasa laksana cahaya taburan batu permata.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment