Sedang mereka duduk diam sambil bertanya dalam angan2, tiba2 kakek gundul bertepuk dengan tangannya lima kali berturut2, sambil terkekeh nyaring, dan sesaat kemudian, bermunculanlah dari segenap penjuru kera piaraan Dadung Ngawuk sejenis si Jamang dengan masing membawa ranting kering dan buah2an.
Melihat banyaknya kera yang berlompatan datang dari arah sekitarnya sambil cecowetan, Ratnasari dan Indah Kumala Wardhani menggigil ngeri. Dan Sontani hanya terlongong2 penuh rasa heran. la tahu kini, bahwa yang dimaksud pasukan adalah kera2 yang kini datang bermunculan. Tapi bagaimana mereka dapat setaat itu, tak ubahnya seperti manusia saja. Pikir Sontani.
Rasa takut kedua gadis itu hilang, setelah menyaksikan sendiri, bahwa satupun tak ada yang berani mengganggunya. Dengan rapih mereka menumpuk ranting2 kering itu untuk kemudian dibuatnya perapian oleh Yoga Kumala, sedang buah2an yang mereka bawa dinikmati bersama.
Atas petunjuk kakek Dadung Ngawuk, Yoga Kumala mengambil rempah2 ramuan obat yang tersimpan di pondok, untuk kemudian dibobokkan pada luka dipaha Dadung Ngawuk. Setelah luka dan seluruh badan Dadung Ngawuk dibasuh dengan air sendang oleh Yoga Kumala.
“Berangkatlah malam ini juga dengan kudamu, menyusul Mbah Duwung, dan kerjakan baik2 semua petunjukku. Adi2mu biarlah menunggu disini, sampai kau kembali”. Kata Badung Ngawuk kemudian: Dan ramuan obat2an yang telah kupisahkan, hendaknya di masukkan dalam kantong kulitmu. Katakan padanya bahwa aku masih sehat-segar, tak kurang sesuatu, serta tetap menganggapnya sebagai sahabat karibku!”.
Sebenarnya Yoga Kumala tak sampai hati meninggalkan kakek gurunya walaupun hanya sebentar, akan tetapi karena patuh dan percaya pada Sontani serta pada kedua gadis itu, bahwa mereka tentu akan merawatnya dengan baik. maka malam itu juga Yoga Kumala dengan berkuda mencari perginya Mbah Duwung dengan muridnya Talang Pati.
“Hati2 diperjalanan!”. Kakek gurunya berpesan, sewaktu Yoga Kumala meninggalkan hutan Blora.
Ratnasarilah yang sedih diantara mereka, setelah Yoga Kumala tak nampak lagi. Ingin ia ikut serta selalu disisi Yoga Kumala, namun sebagai wanita ia malu mengutarakan isi hatinya.
Garis baru orang seperti Mbah Duwung tak mungkin mau mengganggu rakyat padesan. Jika ia menghendaki istirahat, tentunya akan merasa lebih aman di tengah2 hutan - pikir Yoga Kumal, Memang pendapatnya ini sangat beralasan. Setelah pada fajar pagi ia sampai dihutan dekat dukuh Wirosari sebelah barat hutan Blora, ternyata ia dapat menemukannya.
Waktu itu, Mbah Duwung sedang rebah dengan beralaskan daun2 kering sambil batuk2 kecil dengan memuntahkan gumpalan darah segar dan mengigau tak menentu, sedangkan Talang Pati muridnya yang setia menunggu dengan mengurut-urut dadanya. Sebentar2 Talang Pati memberikan minum pada gurunya dengan mangkok yang ia dapat minta tadi siang pada orang2 desa didekat hutan itu.
Perapian di sebelahnyapun masih menyala. Setelah turun dari kudanya, dengan amat perlahan Yoga Kumala mendekati mereka. Ia tak ingin mengejutkan mbah Duwung yang luka parah serta muridnya yang kelihatan sangat letih. Sebagai seorang shakti yang terlatih, walaupun Mbah Duwung dalam keadaan setengah sadar setengah tidak, dapat cepat mengetahui adanya langkah orang yang kian mendekat.
“Talang Pati!. Ada orang !”. bisiknya lemah.
Dan kiranya Talang Pati telah mengetahui pula kedatangan Yoga Kumala. “Siapa kau?”. Desis Talang Pati menghunus golok panjangnya sambil berdiri.
“Aku Yoga Kumala hendak menolong gurumu!”, jawab Yoga Kumala tenang sambil memperlihatkan dirinya dari balik pohon, serta mendekatinya.
“Yoga Kumala!”. Talang Pati mengulang pelan, mengawasi dari kepala hingga telapak kaki. Jika tak salah, ia pernah melihat orang yang kini mengaku Yoga Kumala itu. Tetapi dimana, ia tak ingat lagi. Ach… mungkin berkehendak jahat - pikirnya. Talang Pati menjadi penuh ragu. Suara dalam hatinya bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Melihat ketenangan dan kejernihan wajah anak muda ini, tak muugkin ia berniat jahat. Seandainya berniat jahat, tentu telah sejak tadi ia menghunus pedang yang tersandang. Akan tetapi mengapa ia malahan kian mendekat sambil tersenyum bersahabat. Jika bermaksud menolong, mustahil orang semuda ini mengerti tentang pengobatan luka dalam. Atau mungkin… guruku telah mengenalnya.
Sedang Talang Pati mengawasi sambil mempertimbangkan pendapatnya, tiba2 terdengar suara keluhan lemah namun jelas:
“Yoga... Yoga aku tahu... murid pertapa Cahayabuana... apa perlumu?”.
“Bukan, bukan, Mbah guru!. Aku ingat sekarang! Kaulah Sujud murid Dadung ngawuk musuhku!”. Desis Talang Pati langsung menyerang dengan sabetan golok panjangnya.
Melihat banyaknya kera yang berlompatan datang dari arah sekitarnya sambil cecowetan, Ratnasari dan Indah Kumala Wardhani menggigil ngeri. Dan Sontani hanya terlongong2 penuh rasa heran. la tahu kini, bahwa yang dimaksud pasukan adalah kera2 yang kini datang bermunculan. Tapi bagaimana mereka dapat setaat itu, tak ubahnya seperti manusia saja. Pikir Sontani.
Rasa takut kedua gadis itu hilang, setelah menyaksikan sendiri, bahwa satupun tak ada yang berani mengganggunya. Dengan rapih mereka menumpuk ranting2 kering itu untuk kemudian dibuatnya perapian oleh Yoga Kumala, sedang buah2an yang mereka bawa dinikmati bersama.
Atas petunjuk kakek Dadung Ngawuk, Yoga Kumala mengambil rempah2 ramuan obat yang tersimpan di pondok, untuk kemudian dibobokkan pada luka dipaha Dadung Ngawuk. Setelah luka dan seluruh badan Dadung Ngawuk dibasuh dengan air sendang oleh Yoga Kumala.
“Berangkatlah malam ini juga dengan kudamu, menyusul Mbah Duwung, dan kerjakan baik2 semua petunjukku. Adi2mu biarlah menunggu disini, sampai kau kembali”. Kata Badung Ngawuk kemudian: Dan ramuan obat2an yang telah kupisahkan, hendaknya di masukkan dalam kantong kulitmu. Katakan padanya bahwa aku masih sehat-segar, tak kurang sesuatu, serta tetap menganggapnya sebagai sahabat karibku!”.
Sebenarnya Yoga Kumala tak sampai hati meninggalkan kakek gurunya walaupun hanya sebentar, akan tetapi karena patuh dan percaya pada Sontani serta pada kedua gadis itu, bahwa mereka tentu akan merawatnya dengan baik. maka malam itu juga Yoga Kumala dengan berkuda mencari perginya Mbah Duwung dengan muridnya Talang Pati.
“Hati2 diperjalanan!”. Kakek gurunya berpesan, sewaktu Yoga Kumala meninggalkan hutan Blora.
Ratnasarilah yang sedih diantara mereka, setelah Yoga Kumala tak nampak lagi. Ingin ia ikut serta selalu disisi Yoga Kumala, namun sebagai wanita ia malu mengutarakan isi hatinya.
Garis baru orang seperti Mbah Duwung tak mungkin mau mengganggu rakyat padesan. Jika ia menghendaki istirahat, tentunya akan merasa lebih aman di tengah2 hutan - pikir Yoga Kumal, Memang pendapatnya ini sangat beralasan. Setelah pada fajar pagi ia sampai dihutan dekat dukuh Wirosari sebelah barat hutan Blora, ternyata ia dapat menemukannya.
Waktu itu, Mbah Duwung sedang rebah dengan beralaskan daun2 kering sambil batuk2 kecil dengan memuntahkan gumpalan darah segar dan mengigau tak menentu, sedangkan Talang Pati muridnya yang setia menunggu dengan mengurut-urut dadanya. Sebentar2 Talang Pati memberikan minum pada gurunya dengan mangkok yang ia dapat minta tadi siang pada orang2 desa didekat hutan itu.
Perapian di sebelahnyapun masih menyala. Setelah turun dari kudanya, dengan amat perlahan Yoga Kumala mendekati mereka. Ia tak ingin mengejutkan mbah Duwung yang luka parah serta muridnya yang kelihatan sangat letih. Sebagai seorang shakti yang terlatih, walaupun Mbah Duwung dalam keadaan setengah sadar setengah tidak, dapat cepat mengetahui adanya langkah orang yang kian mendekat.
“Talang Pati!. Ada orang !”. bisiknya lemah.
Dan kiranya Talang Pati telah mengetahui pula kedatangan Yoga Kumala. “Siapa kau?”. Desis Talang Pati menghunus golok panjangnya sambil berdiri.
“Aku Yoga Kumala hendak menolong gurumu!”, jawab Yoga Kumala tenang sambil memperlihatkan dirinya dari balik pohon, serta mendekatinya.
“Yoga Kumala!”. Talang Pati mengulang pelan, mengawasi dari kepala hingga telapak kaki. Jika tak salah, ia pernah melihat orang yang kini mengaku Yoga Kumala itu. Tetapi dimana, ia tak ingat lagi. Ach… mungkin berkehendak jahat - pikirnya. Talang Pati menjadi penuh ragu. Suara dalam hatinya bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Melihat ketenangan dan kejernihan wajah anak muda ini, tak muugkin ia berniat jahat. Seandainya berniat jahat, tentu telah sejak tadi ia menghunus pedang yang tersandang. Akan tetapi mengapa ia malahan kian mendekat sambil tersenyum bersahabat. Jika bermaksud menolong, mustahil orang semuda ini mengerti tentang pengobatan luka dalam. Atau mungkin… guruku telah mengenalnya.
Sedang Talang Pati mengawasi sambil mempertimbangkan pendapatnya, tiba2 terdengar suara keluhan lemah namun jelas:
“Yoga... Yoga aku tahu... murid pertapa Cahayabuana... apa perlumu?”.
“Bukan, bukan, Mbah guru!. Aku ingat sekarang! Kaulah Sujud murid Dadung ngawuk musuhku!”. Desis Talang Pati langsung menyerang dengan sabetan golok panjangnya.
Menghadapi serangan dahsyat yang tiba2, Yoga Kumala terperanjat sesaat. Ia tak menduga sama sekali, bahwa Talang Pati akan menyerangnya. Cepat Yoga Kumala melompat surut ke belakang selangkah menghindari serangan golok panjang, dibalik pohon yang ada dibelakangnya.
“krrraaaakkkkk!!”. Dan pohon yang menghadang sabetan golok Talang Pati terbabat tumbang.
“Benar apa katamu, Kakang Talang Pati! Tetapi sabarlah dulu. akan ku jelaskan”.
“Tak ada tetapi!”. potong Talang Pati sambil menerjang lagi dengan bacokan mengarah kepala Yoga Kumala.
Dengan tangkasnya Yoga Kumala barlompatan kesamping kanan dan kiri menghindari serangan Iawan yang bertubi-tubi dan amat bahaya. Sedikitpun tak ada dalam benak hatinya Yoga Kumala untuk menanggapi kekalapan Talang Pati. Ia hanya berlompatan menghindar, tanpa memberi serangan balasan. Akan tetapi Talang Pati telah sampai pada puncak kemarahan. Ia tak mau dihina demikian.
“Cabut pedangmu!”. serunya sambil terus menyerang, dengan jurus-jurus yang dahsyat.
Kiranya banyak pepohonan dalam hutan itu menolong pula pada Yoga Kumala. Ia berlompatan menghindari serangan dengan cara menyelinap di balik pepohonan yang berada di sekitarnya. Dan lebih dari empat pohon terbabat tumbang oleh amukan golok panjang Talang Pati, Namun Yoga Kumala tetap tenang tak bermaksud membalas serangan.
“Kakang Talang Pati! Kedatanganku untuk menolong gurumu! Dan ketahuilah apabila terlambat. gurumu tak mungkin tertolong lagi”, Sahutnya sambil melompat surut kesamping kanan.
Akan tetapi kata-kata itu seakan tak didengarnya, dan Talang Pati masih terus mendesak dengan serangan-serangan yang bertubi tubi. Semakin lama serangan tak mereda, bahkan sebaliknya. Ia menyerang dengan golok panjangnya sambil melontarkan tendangan-tendangan kilat yang dahsyat.
Dalam hati, Yoga Kumala kagum akan kehebatan ilmu golok panjang Talang Pati. Dan dibalik rasa kagum itu, iapun heran bahwa dasar-dasar gerakan jurusnya hampir menyamai ilmu pedangnya sendiri. Hanya saja terdapat perbedaan dalam rangkaiannya, serta pada gerakan tangan kirinya.
Jika ia sendiri selalu menggunakan tangan kiri sebagai serangan totokan dengan jari-jarinya yang telah dikembangkan, maka Talang Pati menggunakan telapak tangan kiri sebagai pukulan, apabila serangan golok panjangnya tak mengenai sasaran.
Dan menurut pendapat Yoga Kumala golok panjang ditangan Talang Pati itu agaknya terlalu berat, hingga perobahan gerakan nampak agak lambat. Selain itu, pun ternyata golok panjang itu kurang panjang beberapa jari. Seandainya golok panjang itu sedikit ringan dan panjang ukurannya cukup, mungkin serangan-seranganya sukar dielakkan dengan hanya mengandalkan kelincahan saja.
Namun ia sendiri memuji akan kehebatan gerakan-gerakan serangannya. Jelas, bahwa Talang Pati memiliki ilmu golok panjang yang mendekati sempurna. Dengan demikian dapat pula diperkirakan akan kehebatan ilmu yang dimiliki gurunya Mbah Duwung. Dan suatu kenyataan, Dadung Ngawuk yang demikian shaktinya dapat tertebas sebelah kakinya.
“Sujud! Apakah pedang yang kau sandang itu hanya hiasan belaka?! Jangan salahkan aku, apabila lehermu tertebas oleh golok panjang ini”, serunya sambil melompat mengejar dan langsung menyerang.
“Hentikan dulu. Apabila Kakang Talang Pati sungguh mencintai gurumu!”. Seru Yoga yang makin lama makin berkurang pula kesabarannya.
“Bohong. Pengecut! Jika kau bermaksud baik, buat apa memakai nama palsu dengan Yoga Kumala. Sedangkan aku tak lupa, namamu Sujud ! Dan Kaulah pewaris tunggal ilmu wurushakti Dadung Ngawuk yang melukai guruku!”. Sahut Talang Pati sambil masih menyerang dengan golok panjangnya.
Setelah tak ada jalan lain lagi untuk damai menginsyafkannja, dan setelah pula memperhatikan segi-segi kelemahan ilmu golok panjang Talang Pati. Yoga Kumala merobah pendiriannya. Ia akan membuktikan lebih dulu, bahwa jika dikehendaki dapat pula ia mengimbangi kesaktian Talang Pati yang tangguh. Akan tetapi masih juga ia tak bermaksud melukainya. Bagaikan kilat ia mencabut pedang pusakanya, melompat mengelakkan serangan tebasan kearah kakinya.
“Bagus! Jika kau menghendaki perlawanan dengan pedangku!”. Seru Yoga Kumala, sambil memapaki serangan lawan dengan pedang pusakanya.
Dua senjata beradu keras dan Talang Pati melompat surut kebelakang selangkah. Sesaat ia terperanjat, dirasakan telapak tangannya menjadi pedih, dan hampir saja golok panjangnya terpental lepas. Demikian pula Yoga Kumala. la terkesiap. setelah tahu ketangguhan lawan. Dengan tangkas dan cepat, Yoga Kumala merangkaikan serangannya. Pertempuran menjadi seru, dan masing-masing memperlihatkan keshaktiannya yang amat tangguh.
Desiran angin dari sabetan, babatan dan bacokan kedua senjata menggetarkan ranting-ranting pepohonan disekitarnya hingga daun-daun jatuh berterbangan. Dua sinar putih bergulung-gulung menyelubungi tubuh kedua orang shakti yang sedang bertempur.
Jika semula Yoga Kumala hanya mengelak sambil berlompatan menghindar, kini tiba-tiba berobah menjadi sebaliknya. Dengan memeras segenap tenaga dan ketangkasannya Talang Pati terpaksa harus menghadapi ketangguhan lawan, dan dirasakan semakin lama kian terdesak kedudukannya.
Setapak demi setapak dan selangkah demi selangkah, Talang Pati terpaksa harus bergerak surut kebelakang, menghindari serangan lawan yang berbahaya dan bertubi-tubi bagaikan gelombang yang bergulung-gulung menggempur karang tak ada hentinya.
Belum pernah Talang Pati menghadapi lawan demikian tangguhnya. Dalam hati ia kagum dengan penuh rasa heran. Mengapa tiba2 gerakan golok panjangnya yang biasanya ganas kini seakan menjadi lumpuh. Kemanapun golok panjangnya berkelebat, pedang lawan selalu dapat mendahuluinya dan kemudian menutup jalan rangkaian serangannya.
Melihat tingkah laku dan gerakan serangan totokkan jari2 tangan kiri lawan, jelas bahwa lawannya murid Dadung Ngawuk musuh gurunya. Akan tetapi belum pernah ia mendengar bahwa Dadung Ngawuk memiliki ilmu pedang yang demikian shaktinya. Sepanjang pengetahuan yang didapat dari cerita gurunya, orang yang memiliki ilmu pedang shakti hanya ada dua orang. Seorang bernama Kyai Sidik Pamungkas yang kini telah bergelar Wiku Sepuh di Gunung Sumbing dan yang tak mau lagi menggunakan pedang, sedang seorang lagi ialah perampok shakti bergelar si Ular Merah. Akan tetapi si Ular Merah kira kira lima belas tahun yang telah lampau, telah lumpuh terkena pukulan aji shakti dari pertapa tua Pajajaran yang bersemajam di Gunung Tangkubanperahu. Dan selanjutnya cerita tentang si Ular Merah yang memiliki ilmu pedang shakti itu tak terdengar lagi. Pun siapa adanya pertapa tua yang amat shakti itu, ia sendiri tak pernah mendapatkan keterangan lebih jauh dari gurunya.
Akan tetapi, mengapa ia kini menghadapi kenyataan yang menyimpang dari petunjuk gurunya? Dan yang lebih mengherankan lagi, seakan-akan lawannya telah mahir pula ilmu golok panjangnya sendiri. Tiap2 perubahan gerakan serangannya selalu dapat didahului dengan serangan pedang lawan yang amat mentakjubkan. aruskah ia menyerah, sebelum ia terluka?.
“Tidak!! Tidak mungkin!!”. seru hatinya.
Baginya lebih baik mati tertebas pedang lawan, daripada hidup sebagai pengecut dan pengkhianat. Demi melindungi gurunya ia harus melawan terus hingga hembusan nafas terakhir. Tekadnya telah bulat. Pandang matanya berkilat tajam. Mulutnya terkatub rapat, dan giginya bergeretak. Tubuhnya serasa gemetar, sedangkan telapak tangan larinya mengepal meremas2. Golok panjang di tangan kanan tiba2 berputaran cepat, hingga perisai baja putih yang bersinar berkemilauan. la telah bertekad hendak mengadu jiwa dengan lawannya yang amat tangguh itu. Seruan tinggi melengking terdengar, dan
“Brrreeettt!!!!”.
Ternyata sewaktu ia hendak meloncat tinggi dengan maksud malancarkan serangan dengan jurus terampuh, "elang menyambar mangsa" digabung dengan “menerjang baja membara", suatu perubahan gerakan yang tiba-tiba didahului loncatan tinggi serta menyerang langsung dari atas, dalam bentuk gerak tusukan dan sabetan golok panjang yang berantai. tanpa menghiraukan kemungkinan serangan balasan dari lawan, celana dari paha sampai dilututnya terobak ujung pedang pusaka Yoga Kumala hingga gerakan loncatannya menjadi gagal.
Kedua jurus berangkai itu adalah jurus simpanan, yang hanya dilakukan sewaktu terdesak dan menghadapi jalan buntu. Apa daya!! Agaknya lawannya pun telah mengetahui terlebih dahulu akan maksud gerakannya. Jurus simpanan terakhir gagal sama sekali, karena didahului Iawan dengan cara menyerang sambil menutup langkahnya.
Bulu kuduknya berdiri dan peluh dingin mengucur dari keningnya. Ia melompat surut kebelakang lima langkah, hingga hampir saja menginjak Mbah Duwung gurunya sendiri yang masih berbaring ditanah.
“Hentikan.... pertempuran!!”. Walaupun suara itu diucapkan amat lemah oleh Mbah Duwung, akan tetapi Talang Pati dan Yoga Kumala dapat didengar jelas, serta dirasakan pula betapa besarnya perbawa yang disalurkan lewat suara yang lemah itu. Kiranya Mbah Duwung yang telah terluka berat didalam dadanya, masih juga dapat mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengiringi suara seruannya pada kedua orang yang sedang bertempur.
Cepat Yoga Kumala menghentikan gerakannya sambil menyarungkan kembali pedang pusakanya, yang kemudian diikuti Talang Pati. Tanpa rasa curiga keduanya segera berjongkok mendekati Mbah Duwung yang tengah berbaring lemah.
“Talang Pati! Kau tak perlu malu… kalah… dengan cucu… Petapa shakti Cahayabuana!”. Kata Mbah Duwung lemah dan terputus putus. Ia diam sejenak sambil menelan ludah, dan menekan dadanya sendiri dengan telapak tangan, serta kemudian melanjutkan kata2nya dengan nada yang semakin lemah. “Memang ia… sebelum menemukan asal usulnya… namanya Sujud… murid… Dadung Ngawuk… Tetapi… kini nama aslinya Yoga Kumala. Ia… baik dan pantas kau contoh… pun… Dadung Ngawuk juga orang… baik”.
“Tetapi… hendaknya Mbah Duwung jangan banyak bergerak. Luka di dadamu amat parah”. Potong Yoga Kumala, sambil meraba dada Mbah Duwung dengan telapak tangannya.
Sementara itu Talang Pati hanya tertunduk dengan hati yang sedih demi melihat gurunya berbaring merintih2.
“Kedatanganku kemari, memang sengaya menyusulmu memenuhi perintah guruku Dadung Ngawuk, untuk mengobati lukamu sedapatnya”, kata Yoga Kumala kemudian, sambil mengeluarkan ramuan obat2an dari kantong kulitnya.
“Ach… saying… kau… terlambat… Rasanya… tak per… lu… lagi…” Suara Mbah Duwung amat lemah, dan berkata demikian itu ia sambil memegang tangan Yoga Kumala dan menyisihkannya, sebagai isyarat menolak diberi pengobatan. Sejenak kemudian ia melanjutkan bicaranya dengan nada yang terputus2 serta gerak nafas yang tak teratur.
“Ta… lang… Pati. Kau harus… mem… balas… budi… pada Dadung Ngawuk… untukku! Rawat… lah… dia sepanjang… masa. Kasihan… ia… kehilangan… sebelah kakinya. Ketahui… lah Talang Pati!! Antara aku… dan Dadung Ngawuk… tak ada… permusuhan. Semula… karena salah… paham… dan… kemudian… karena ingin menguji… ilmu masing2. Ter.. nya.. ta… aku yang ka… lah. Maka… belajar… lah… dari… dia… agar tak mengece.. wakanmu sen… diri! Yoga… tentu… mau menolong… mu agar kau… diterima… men… jadi murid….Dadung Ngawuk dan… kelak apabila ada… kesempatan . baik bergurulah pada… Yoga ini. Nach… pesanku bersa… habatlah… kalian… berdua”.
Ia berhenti sesaat dengan nafas yang terengah2, dan melanjutkan bicara dengan mengerahkan sisa tenaganya:
“Yoga!!, Terima….lah… muridku Talang Pati… dan bombing… lah ia. Isi… sabukku… ini… untuk… mu… sebagai tanda… terima… kasih . . “.
Sampai disini suara Mbah Duwung berhenti lagi. Ia memejamkan matanya sambil berusaha menarik nafas dalam2. Kedua tangannya disilangkan diatas dada, dan sesaat kemudian ia telah tak bernafas lagi.
“Mbah guru…!!!” Jerit Talang Pati sambil menelungkup di atas tubuh Mbah Duwung yang telah mulai dingin dan makin membeku.
la menangis tersedu sedan dengan air mata yang deras bercucuran. Namun jerit dan tangisnya telah tak terdengar lagi oleh Gurunya. Tak mengira bahwa riwayat gurunya yang ia sangat cintai hanya berhenti sampai disini. Gurunya yang ia cintai dengan sepenuh hati, yang ia bangga2-kan dan yang ia selalu hidup bersandarkan padanya, kini telah meninggalkan untuk selama2 nya.
“Sudahlah, Kakang Talang Pati!!. Hendaknya kita mulai merawat se-baik2nya jenazah gurumu. Akupun turut berduka, tetapi ingatlah bahwa semua kejadian adalah atas kehendak Dewata Hyang maha Agung. Lahir dan mati ummat adalah dalam kekuasaan-Nya. Sesungguhnya akupun sangat menyesal karena tak dapat menolong gurumu, akan tetapi apa daya. Dewata Hyang Maha Agung menghendaki demikian. Maka, kakang Talang Pati hendaknya jangan terlalu menyesali pulangnya Mbah Duwung kealam abadi.?”.
Yoga Kumala berusaha menghibur Talang Pati. Dalam hati ia memuji akan keluhuran budi Talang Pati yang sangat setia pada gurunya. Dengan perlahan Talang Pati bangkit berdiri, mengikuti petunjuk Yoga Kumala.
Setelah jenazah mBah Duwung di kubur sebagaimana layaknya dihutan dekat Wirosari, dan ikat pinggang dari kulit yang tebal serta lebarnya lebih setebah itu diserahkan pada Yoga Kumala oleh Talang Pati sesuai pesan gurunya, mereka berdua segera kembali ke hutan Blora untuk menghadap Kakek Dadung Ngamuk.
Sejak saat itulah, Talang Pati tinggal di hutan Blora, menjadi murid Dadung Ngawuk. Sedangkan Yoga Kumala, Sontani, Indah Kumala Wardhani dan Ratnasari kembali menuju ke Kota Raja untuk menjalankan tugasnya sebagai tamtama Kerajaan Agung Majapahit.
“Semoga Dewata Yang Maha Agung, kelak mempertemukan kita kembali”, seru Talang Pati pada Yoga Kumala, sewaktu mereka berpisah.
“krrraaaakkkkk!!”. Dan pohon yang menghadang sabetan golok Talang Pati terbabat tumbang.
“Benar apa katamu, Kakang Talang Pati! Tetapi sabarlah dulu. akan ku jelaskan”.
“Tak ada tetapi!”. potong Talang Pati sambil menerjang lagi dengan bacokan mengarah kepala Yoga Kumala.
Dengan tangkasnya Yoga Kumala barlompatan kesamping kanan dan kiri menghindari serangan Iawan yang bertubi-tubi dan amat bahaya. Sedikitpun tak ada dalam benak hatinya Yoga Kumala untuk menanggapi kekalapan Talang Pati. Ia hanya berlompatan menghindar, tanpa memberi serangan balasan. Akan tetapi Talang Pati telah sampai pada puncak kemarahan. Ia tak mau dihina demikian.
“Cabut pedangmu!”. serunya sambil terus menyerang, dengan jurus-jurus yang dahsyat.
Kiranya banyak pepohonan dalam hutan itu menolong pula pada Yoga Kumala. Ia berlompatan menghindari serangan dengan cara menyelinap di balik pepohonan yang berada di sekitarnya. Dan lebih dari empat pohon terbabat tumbang oleh amukan golok panjang Talang Pati, Namun Yoga Kumala tetap tenang tak bermaksud membalas serangan.
“Kakang Talang Pati! Kedatanganku untuk menolong gurumu! Dan ketahuilah apabila terlambat. gurumu tak mungkin tertolong lagi”, Sahutnya sambil melompat surut kesamping kanan.
Akan tetapi kata-kata itu seakan tak didengarnya, dan Talang Pati masih terus mendesak dengan serangan-serangan yang bertubi tubi. Semakin lama serangan tak mereda, bahkan sebaliknya. Ia menyerang dengan golok panjangnya sambil melontarkan tendangan-tendangan kilat yang dahsyat.
Dalam hati, Yoga Kumala kagum akan kehebatan ilmu golok panjang Talang Pati. Dan dibalik rasa kagum itu, iapun heran bahwa dasar-dasar gerakan jurusnya hampir menyamai ilmu pedangnya sendiri. Hanya saja terdapat perbedaan dalam rangkaiannya, serta pada gerakan tangan kirinya.
Jika ia sendiri selalu menggunakan tangan kiri sebagai serangan totokan dengan jari-jarinya yang telah dikembangkan, maka Talang Pati menggunakan telapak tangan kiri sebagai pukulan, apabila serangan golok panjangnya tak mengenai sasaran.
Dan menurut pendapat Yoga Kumala golok panjang ditangan Talang Pati itu agaknya terlalu berat, hingga perobahan gerakan nampak agak lambat. Selain itu, pun ternyata golok panjang itu kurang panjang beberapa jari. Seandainya golok panjang itu sedikit ringan dan panjang ukurannya cukup, mungkin serangan-seranganya sukar dielakkan dengan hanya mengandalkan kelincahan saja.
Namun ia sendiri memuji akan kehebatan gerakan-gerakan serangannya. Jelas, bahwa Talang Pati memiliki ilmu golok panjang yang mendekati sempurna. Dengan demikian dapat pula diperkirakan akan kehebatan ilmu yang dimiliki gurunya Mbah Duwung. Dan suatu kenyataan, Dadung Ngawuk yang demikian shaktinya dapat tertebas sebelah kakinya.
“Sujud! Apakah pedang yang kau sandang itu hanya hiasan belaka?! Jangan salahkan aku, apabila lehermu tertebas oleh golok panjang ini”, serunya sambil melompat mengejar dan langsung menyerang.
“Hentikan dulu. Apabila Kakang Talang Pati sungguh mencintai gurumu!”. Seru Yoga yang makin lama makin berkurang pula kesabarannya.
“Bohong. Pengecut! Jika kau bermaksud baik, buat apa memakai nama palsu dengan Yoga Kumala. Sedangkan aku tak lupa, namamu Sujud ! Dan Kaulah pewaris tunggal ilmu wurushakti Dadung Ngawuk yang melukai guruku!”. Sahut Talang Pati sambil masih menyerang dengan golok panjangnya.
Setelah tak ada jalan lain lagi untuk damai menginsyafkannja, dan setelah pula memperhatikan segi-segi kelemahan ilmu golok panjang Talang Pati. Yoga Kumala merobah pendiriannya. Ia akan membuktikan lebih dulu, bahwa jika dikehendaki dapat pula ia mengimbangi kesaktian Talang Pati yang tangguh. Akan tetapi masih juga ia tak bermaksud melukainya. Bagaikan kilat ia mencabut pedang pusakanya, melompat mengelakkan serangan tebasan kearah kakinya.
“Bagus! Jika kau menghendaki perlawanan dengan pedangku!”. Seru Yoga Kumala, sambil memapaki serangan lawan dengan pedang pusakanya.
Dua senjata beradu keras dan Talang Pati melompat surut kebelakang selangkah. Sesaat ia terperanjat, dirasakan telapak tangannya menjadi pedih, dan hampir saja golok panjangnya terpental lepas. Demikian pula Yoga Kumala. la terkesiap. setelah tahu ketangguhan lawan. Dengan tangkas dan cepat, Yoga Kumala merangkaikan serangannya. Pertempuran menjadi seru, dan masing-masing memperlihatkan keshaktiannya yang amat tangguh.
Desiran angin dari sabetan, babatan dan bacokan kedua senjata menggetarkan ranting-ranting pepohonan disekitarnya hingga daun-daun jatuh berterbangan. Dua sinar putih bergulung-gulung menyelubungi tubuh kedua orang shakti yang sedang bertempur.
Jika semula Yoga Kumala hanya mengelak sambil berlompatan menghindar, kini tiba-tiba berobah menjadi sebaliknya. Dengan memeras segenap tenaga dan ketangkasannya Talang Pati terpaksa harus menghadapi ketangguhan lawan, dan dirasakan semakin lama kian terdesak kedudukannya.
Setapak demi setapak dan selangkah demi selangkah, Talang Pati terpaksa harus bergerak surut kebelakang, menghindari serangan lawan yang berbahaya dan bertubi-tubi bagaikan gelombang yang bergulung-gulung menggempur karang tak ada hentinya.
Belum pernah Talang Pati menghadapi lawan demikian tangguhnya. Dalam hati ia kagum dengan penuh rasa heran. Mengapa tiba2 gerakan golok panjangnya yang biasanya ganas kini seakan menjadi lumpuh. Kemanapun golok panjangnya berkelebat, pedang lawan selalu dapat mendahuluinya dan kemudian menutup jalan rangkaian serangannya.
Melihat tingkah laku dan gerakan serangan totokkan jari2 tangan kiri lawan, jelas bahwa lawannya murid Dadung Ngawuk musuh gurunya. Akan tetapi belum pernah ia mendengar bahwa Dadung Ngawuk memiliki ilmu pedang yang demikian shaktinya. Sepanjang pengetahuan yang didapat dari cerita gurunya, orang yang memiliki ilmu pedang shakti hanya ada dua orang. Seorang bernama Kyai Sidik Pamungkas yang kini telah bergelar Wiku Sepuh di Gunung Sumbing dan yang tak mau lagi menggunakan pedang, sedang seorang lagi ialah perampok shakti bergelar si Ular Merah. Akan tetapi si Ular Merah kira kira lima belas tahun yang telah lampau, telah lumpuh terkena pukulan aji shakti dari pertapa tua Pajajaran yang bersemajam di Gunung Tangkubanperahu. Dan selanjutnya cerita tentang si Ular Merah yang memiliki ilmu pedang shakti itu tak terdengar lagi. Pun siapa adanya pertapa tua yang amat shakti itu, ia sendiri tak pernah mendapatkan keterangan lebih jauh dari gurunya.
Akan tetapi, mengapa ia kini menghadapi kenyataan yang menyimpang dari petunjuk gurunya? Dan yang lebih mengherankan lagi, seakan-akan lawannya telah mahir pula ilmu golok panjangnya sendiri. Tiap2 perubahan gerakan serangannya selalu dapat didahului dengan serangan pedang lawan yang amat mentakjubkan. aruskah ia menyerah, sebelum ia terluka?.
“Tidak!! Tidak mungkin!!”. seru hatinya.
Baginya lebih baik mati tertebas pedang lawan, daripada hidup sebagai pengecut dan pengkhianat. Demi melindungi gurunya ia harus melawan terus hingga hembusan nafas terakhir. Tekadnya telah bulat. Pandang matanya berkilat tajam. Mulutnya terkatub rapat, dan giginya bergeretak. Tubuhnya serasa gemetar, sedangkan telapak tangan larinya mengepal meremas2. Golok panjang di tangan kanan tiba2 berputaran cepat, hingga perisai baja putih yang bersinar berkemilauan. la telah bertekad hendak mengadu jiwa dengan lawannya yang amat tangguh itu. Seruan tinggi melengking terdengar, dan
“Brrreeettt!!!!”.
Ternyata sewaktu ia hendak meloncat tinggi dengan maksud malancarkan serangan dengan jurus terampuh, "elang menyambar mangsa" digabung dengan “menerjang baja membara", suatu perubahan gerakan yang tiba-tiba didahului loncatan tinggi serta menyerang langsung dari atas, dalam bentuk gerak tusukan dan sabetan golok panjang yang berantai. tanpa menghiraukan kemungkinan serangan balasan dari lawan, celana dari paha sampai dilututnya terobak ujung pedang pusaka Yoga Kumala hingga gerakan loncatannya menjadi gagal.
Kedua jurus berangkai itu adalah jurus simpanan, yang hanya dilakukan sewaktu terdesak dan menghadapi jalan buntu. Apa daya!! Agaknya lawannya pun telah mengetahui terlebih dahulu akan maksud gerakannya. Jurus simpanan terakhir gagal sama sekali, karena didahului Iawan dengan cara menyerang sambil menutup langkahnya.
Bulu kuduknya berdiri dan peluh dingin mengucur dari keningnya. Ia melompat surut kebelakang lima langkah, hingga hampir saja menginjak Mbah Duwung gurunya sendiri yang masih berbaring ditanah.
“Hentikan.... pertempuran!!”. Walaupun suara itu diucapkan amat lemah oleh Mbah Duwung, akan tetapi Talang Pati dan Yoga Kumala dapat didengar jelas, serta dirasakan pula betapa besarnya perbawa yang disalurkan lewat suara yang lemah itu. Kiranya Mbah Duwung yang telah terluka berat didalam dadanya, masih juga dapat mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengiringi suara seruannya pada kedua orang yang sedang bertempur.
Cepat Yoga Kumala menghentikan gerakannya sambil menyarungkan kembali pedang pusakanya, yang kemudian diikuti Talang Pati. Tanpa rasa curiga keduanya segera berjongkok mendekati Mbah Duwung yang tengah berbaring lemah.
“Talang Pati! Kau tak perlu malu… kalah… dengan cucu… Petapa shakti Cahayabuana!”. Kata Mbah Duwung lemah dan terputus putus. Ia diam sejenak sambil menelan ludah, dan menekan dadanya sendiri dengan telapak tangan, serta kemudian melanjutkan kata2nya dengan nada yang semakin lemah. “Memang ia… sebelum menemukan asal usulnya… namanya Sujud… murid… Dadung Ngawuk… Tetapi… kini nama aslinya Yoga Kumala. Ia… baik dan pantas kau contoh… pun… Dadung Ngawuk juga orang… baik”.
“Tetapi… hendaknya Mbah Duwung jangan banyak bergerak. Luka di dadamu amat parah”. Potong Yoga Kumala, sambil meraba dada Mbah Duwung dengan telapak tangannya.
Sementara itu Talang Pati hanya tertunduk dengan hati yang sedih demi melihat gurunya berbaring merintih2.
“Kedatanganku kemari, memang sengaya menyusulmu memenuhi perintah guruku Dadung Ngawuk, untuk mengobati lukamu sedapatnya”, kata Yoga Kumala kemudian, sambil mengeluarkan ramuan obat2an dari kantong kulitnya.
“Ach… saying… kau… terlambat… Rasanya… tak per… lu… lagi…” Suara Mbah Duwung amat lemah, dan berkata demikian itu ia sambil memegang tangan Yoga Kumala dan menyisihkannya, sebagai isyarat menolak diberi pengobatan. Sejenak kemudian ia melanjutkan bicaranya dengan nada yang terputus2 serta gerak nafas yang tak teratur.
“Ta… lang… Pati. Kau harus… mem… balas… budi… pada Dadung Ngawuk… untukku! Rawat… lah… dia sepanjang… masa. Kasihan… ia… kehilangan… sebelah kakinya. Ketahui… lah Talang Pati!! Antara aku… dan Dadung Ngawuk… tak ada… permusuhan. Semula… karena salah… paham… dan… kemudian… karena ingin menguji… ilmu masing2. Ter.. nya.. ta… aku yang ka… lah. Maka… belajar… lah… dari… dia… agar tak mengece.. wakanmu sen… diri! Yoga… tentu… mau menolong… mu agar kau… diterima… men… jadi murid….Dadung Ngawuk dan… kelak apabila ada… kesempatan . baik bergurulah pada… Yoga ini. Nach… pesanku bersa… habatlah… kalian… berdua”.
Ia berhenti sesaat dengan nafas yang terengah2, dan melanjutkan bicara dengan mengerahkan sisa tenaganya:
“Yoga!!, Terima….lah… muridku Talang Pati… dan bombing… lah ia. Isi… sabukku… ini… untuk… mu… sebagai tanda… terima… kasih . . “.
Sampai disini suara Mbah Duwung berhenti lagi. Ia memejamkan matanya sambil berusaha menarik nafas dalam2. Kedua tangannya disilangkan diatas dada, dan sesaat kemudian ia telah tak bernafas lagi.
“Mbah guru…!!!” Jerit Talang Pati sambil menelungkup di atas tubuh Mbah Duwung yang telah mulai dingin dan makin membeku.
la menangis tersedu sedan dengan air mata yang deras bercucuran. Namun jerit dan tangisnya telah tak terdengar lagi oleh Gurunya. Tak mengira bahwa riwayat gurunya yang ia sangat cintai hanya berhenti sampai disini. Gurunya yang ia cintai dengan sepenuh hati, yang ia bangga2-kan dan yang ia selalu hidup bersandarkan padanya, kini telah meninggalkan untuk selama2 nya.
“Sudahlah, Kakang Talang Pati!!. Hendaknya kita mulai merawat se-baik2nya jenazah gurumu. Akupun turut berduka, tetapi ingatlah bahwa semua kejadian adalah atas kehendak Dewata Hyang maha Agung. Lahir dan mati ummat adalah dalam kekuasaan-Nya. Sesungguhnya akupun sangat menyesal karena tak dapat menolong gurumu, akan tetapi apa daya. Dewata Hyang Maha Agung menghendaki demikian. Maka, kakang Talang Pati hendaknya jangan terlalu menyesali pulangnya Mbah Duwung kealam abadi.?”.
Yoga Kumala berusaha menghibur Talang Pati. Dalam hati ia memuji akan keluhuran budi Talang Pati yang sangat setia pada gurunya. Dengan perlahan Talang Pati bangkit berdiri, mengikuti petunjuk Yoga Kumala.
Setelah jenazah mBah Duwung di kubur sebagaimana layaknya dihutan dekat Wirosari, dan ikat pinggang dari kulit yang tebal serta lebarnya lebih setebah itu diserahkan pada Yoga Kumala oleh Talang Pati sesuai pesan gurunya, mereka berdua segera kembali ke hutan Blora untuk menghadap Kakek Dadung Ngamuk.
Sejak saat itulah, Talang Pati tinggal di hutan Blora, menjadi murid Dadung Ngawuk. Sedangkan Yoga Kumala, Sontani, Indah Kumala Wardhani dan Ratnasari kembali menuju ke Kota Raja untuk menjalankan tugasnya sebagai tamtama Kerajaan Agung Majapahit.
“Semoga Dewata Yang Maha Agung, kelak mempertemukan kita kembali”, seru Talang Pati pada Yoga Kumala, sewaktu mereka berpisah.
**** 019 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment