Tepuk tangan dan sorak sorai dari orang2 yang menyaksikan terdengar gemuruh, setelah pamer permainan pedang Kobar selesai. Semuanya kagum akan ketangkasan dan kesaktian yang dimiliki Kobar, walaupun dua diantara enam buah jeruk nipis yang dilempar itu ternyata tidak dapat dihindari lagi dan mengenai tubuhnya dengan meninggalkan dua noda putih masing2 sebesar ibu jari dicelana dan bajunya yang serba hitam pekat itu.
Kini Yoga Kumala tampil kedepan. Gilirannya untuk menunjukkan ketangkasan pedang yang dimilikinya. la berjongkok dihadapan para Manggala dan segenap priyagung untuk memberikan sembah. Dan sesaat kemudian tanpa membalikkan lagi badannya, ia telah melesat tinggi surut kebelakang sambil menghunus pedang pusakanya, untuk kemudian jatuh berdiri ditengah gelanggang dengan kaki yang terpentang lebar setengah jongkok. Semua menjadi kagum terpaku, demi melihat cara Yoga Kumala meloncat membalik kebelakang sejauh itu, walaupun tidak nampak keindahan gaya gerakannya.
Pedang pusaka warisan Eyangnya Cahayabuana yang bersinar putih kebiru2an, menyilang didepan dada, sedangkan tangan kirinya mengembang dengan jari2 yang di tegangkan diangkat setinggi pundaknya.
ITULAH JURUS pembukaan "Cahaya Tangkuban perahu" ciptaan Eyangnya yang dipadukan dengan langkah-langkah "Wuru Shakti". Kini tumit kaki kanan ditegakkan kembali dengan kaki kiri sedikit terangkat. Pedang pusakanya ditangan kanan bergelak cepat dalam gaya tusukkan dan dirangkaikan dengan sabetan dan tebangan sambil berlompatan bagaikan burung rajawali yang mengejar mangsanya.
Sesaat kemudian pedang pusaka ditangannya berputaran semakin cepat hingga cahaya sinarnya yang putih berkilauan semu biru menjadi lingkaran2 bagaikan payung baja, menutup seluruh tubuhnya. Itu adalah jurus ilmu pedang Cahaya Tangkubanperahu yang dijuluki "perisai baja menutup serangan lawan". Angin sambaran dari pedang pusakanya ber desing2 hingga menggetarkan pakaian para tamtama dan penonton disekelilingnya.
Sungguh suatu pameran ilmu pedang yang mengagumkan. Kagum karena setiap gerakan mengandung unsur2 serangan balasan yang sangat berbahaya. Lagi pula gayanya walaupun tidak sedap dipandang akan tetapi nampak jelas kokoh kuat dan perkasa.
Sedang ia merobah jurus perisai bajanya menjadi gerakan jurus tusukan maut, ialah meloncat tinggi dan jatuh menukik ke bawah sambil menjerang dengan pedangnya dalam gaya tusukan tiba2.
“Awas serangan!”
Dan bersamaan dengan seruan itu, dua buah benda putih secara beruntun meluncur ke arahnya bagaikan lepasnya anak panah dari samping kanan. Sesaat para hadlirin seakan-akan berhenti detak jantungnya, demi melihat meluncurnya dua buah benda putih yang mengarah pada Yoga Kumala dimana Yoga Kumala tengah terapung di udara dengan kepala di bawah.
Akan tetapi tiba2 ujung pedang pusakanya ditotolkan ketanah, dengan ayunan tubuhnya melambung ke atas kembali, sambil menyabetkan pedang pusakanya ke arah dua jeruk nipis yang secara beruntun meluncur di bawahnya. Tak ayal lagi dua jeruk nipis berwarna putih itu masing2 menjadi dua potong dan jatuh bertebar disamping kanan dan kirinya, sementara ia telah kembali berdiri di tanah dengan pedang pusakanya menyilang didada.
Dan berturut2 empat buah jeruk nipis yang disaput dengan kapur tebal lainnya, dapat ditebasnya menjadi potongan-potongan belahan, tanpa ada yang menyentuh bajunya. Semua yang menyaksikan bertepuk tangan sambil berseru riuh, mengagumi permainan pedang Yoga Kumala.
Akan tetapi belum juga tepuk sorak-sorai berhenti, tiba2 dua bilah pisau kecil yang lazim disebut taji, berkelebat pesat bagaikan kilat menyambar ke arah dada dan kepalanya. Dari luncurnya dua buah taji yang berkilauan kearahnya, dapat diduga bahwa selain pisau2 itu amat tajam juga pelemparnya.tentu orang shakti pula.
Namun Yoga Kumala adalah cucu pertapa shakti Ajengan Cahayabuana dari lereng Gunung Tangkubanperahu yang namanya telah berkumandang harum disegenap penjuru.
Dengan tangkasnya ia menggeser kaki kiri kesamping dan meloncat surut ke belakang selangkah. Pedang pusaka ditangan kanannya berkelebat, memapaki datangnya dua buah pisau kecil dengan punggung pedang pusakannya dan sesaat kemudian, sedang semua penonton diam terpaku penuh rasa kecemasan, dua buah taji yang amat tajam itu ternyata telah tertancap menjadi satu disebuah batang pohon sawo setinggi kira2 dua orang berdiri, yang berada dibelakang para tamtama yang sedang menonton, dalam jarak kira2 50 langkah.
Kini tepuk tangan dan sorak sorai makin bergemuruh memekakkan telinga para penonton yang sudah tidak menghiraukan lagi akan suasana, hanya untuk melampiaskan rasa kagum dan girangnya maka mereka bersorak sorai yang tak terkendalikan. Semua kagum setelah menyaksikan pameran ilmu pedang yang sangat mentakjubkan. Ternyata pelempar tadi adalah Gusti Senopati Muda Manggala Pengawal Raja Indra Sambada yang berkenan sendiri untuk menguji kesaktian adik angkatnya Yoga Kumala.
Pertandingan penyisihan segera ditutup oleh Gusti Senopati Muda Indra Sambada. Dan atas keputusan Gusti Senopati Manggala Yudha Adityawardhana, Yoga Kumala dinyatakan sebagai pemenang pertama sedangkan Kobar menduduki tempat kedua, dan Sontani dianggap orang shakti yang ketiga.
Malam harinya Sang Senopati Manggala Yudha berkenan mengadakan pesta sederhana guna menjamu para perwira2 tamtama baru, yang juga dihadliri segenap para priyagung Kerajaan serta para undangan orang2 shakti lainnya, dengan dimeriahkan pertunjukan tari2an.
Pada malam itu Yoga Kumala mengenakan pakaian tamtama kebesarannya sebagai Bupati Tamtama. Pakaian seragam kain sutra dengan dasar warna hijau berseretkan kuning. Seutas tali pita kuning keemasan melingkar dikepalanya, dengan ramhutnya yang hitam pekat berombak terurai lepas diatas pundaknya.
Pada masing-masing kedua ujung leher bajunya yang berdiri tegak berseretkan kuning emas itu, nampak jelas sulaman gambar sepasang kembang tanjung dari benang emas pula sebagai tanda pangkat kebesarannya, seorang Bupati Tamtama Kerajaan.
Disebelahnya duduk seorang perwira tamtama yang berusia kira-kira 25 tahun dengan mengenakan pakaian seragam kebesaran yang serupa pula dengan Yoga Kumala. Hanya tanda gambar sulaman kembang tanjungnya sedikit berbeda. Jika dikedua leher baju Yoga Kumala nampak jelas adanya sepasang kembang tanjung yang kuning keemasan, maka pada leher baju perwira tamtama yang duduk disebelahnya hanya terdapat sekuntum bunga tanjung saja.
Ia adalah Bupati Anom tamtama Kerajaan yang bernama Kobar. Dibelakang kedua perwira tamtama baru yang gagah-gagah dan tampan itu duduk berderet-deret para perwira-perwira tamtama bawahan yang baru dalam pakaian kebesarannya yang berseretkan putih perak, dengan tanda pangkat berbentuk kembang tanjung pula tersulam dari benang perak dari yang gemerlapan menurut pangkat mereka masing-masing.
Disebelah ujang kiri Mantri Panewu tamtama Sontani, kemudian Mantri Panewu Anom tamtama Braja Sumedang. Dan berturut-turut duduk disisinya Lurah penatus tamtama Nyoman Ragil, Lurah penatus tamtama Berhala, Lurah penatus tamtama Jaka Gumarang dan terakhir adalah Lurah penatus tamtama Jala Mantra.
Wajah mereka kelihatan berseri-seri penuh rasa bangga, akan anugerah pangkat mereka masing-masing, yang kini telah disandangnya. Hanya Kobar yang cahaya wajahnya nampak muram, mencerminkan perasaan tidak puas akan anugerah pangkat yang diterimanya.
Kini Yoga Kumala tampil kedepan. Gilirannya untuk menunjukkan ketangkasan pedang yang dimilikinya. la berjongkok dihadapan para Manggala dan segenap priyagung untuk memberikan sembah. Dan sesaat kemudian tanpa membalikkan lagi badannya, ia telah melesat tinggi surut kebelakang sambil menghunus pedang pusakanya, untuk kemudian jatuh berdiri ditengah gelanggang dengan kaki yang terpentang lebar setengah jongkok. Semua menjadi kagum terpaku, demi melihat cara Yoga Kumala meloncat membalik kebelakang sejauh itu, walaupun tidak nampak keindahan gaya gerakannya.
Pedang pusaka warisan Eyangnya Cahayabuana yang bersinar putih kebiru2an, menyilang didepan dada, sedangkan tangan kirinya mengembang dengan jari2 yang di tegangkan diangkat setinggi pundaknya.
ITULAH JURUS pembukaan "Cahaya Tangkuban perahu" ciptaan Eyangnya yang dipadukan dengan langkah-langkah "Wuru Shakti". Kini tumit kaki kanan ditegakkan kembali dengan kaki kiri sedikit terangkat. Pedang pusakanya ditangan kanan bergelak cepat dalam gaya tusukkan dan dirangkaikan dengan sabetan dan tebangan sambil berlompatan bagaikan burung rajawali yang mengejar mangsanya.
Sesaat kemudian pedang pusaka ditangannya berputaran semakin cepat hingga cahaya sinarnya yang putih berkilauan semu biru menjadi lingkaran2 bagaikan payung baja, menutup seluruh tubuhnya. Itu adalah jurus ilmu pedang Cahaya Tangkubanperahu yang dijuluki "perisai baja menutup serangan lawan". Angin sambaran dari pedang pusakanya ber desing2 hingga menggetarkan pakaian para tamtama dan penonton disekelilingnya.
Sungguh suatu pameran ilmu pedang yang mengagumkan. Kagum karena setiap gerakan mengandung unsur2 serangan balasan yang sangat berbahaya. Lagi pula gayanya walaupun tidak sedap dipandang akan tetapi nampak jelas kokoh kuat dan perkasa.
Sedang ia merobah jurus perisai bajanya menjadi gerakan jurus tusukan maut, ialah meloncat tinggi dan jatuh menukik ke bawah sambil menjerang dengan pedangnya dalam gaya tusukan tiba2.
“Awas serangan!”
Dan bersamaan dengan seruan itu, dua buah benda putih secara beruntun meluncur ke arahnya bagaikan lepasnya anak panah dari samping kanan. Sesaat para hadlirin seakan-akan berhenti detak jantungnya, demi melihat meluncurnya dua buah benda putih yang mengarah pada Yoga Kumala dimana Yoga Kumala tengah terapung di udara dengan kepala di bawah.
Akan tetapi tiba2 ujung pedang pusakanya ditotolkan ketanah, dengan ayunan tubuhnya melambung ke atas kembali, sambil menyabetkan pedang pusakanya ke arah dua jeruk nipis yang secara beruntun meluncur di bawahnya. Tak ayal lagi dua jeruk nipis berwarna putih itu masing2 menjadi dua potong dan jatuh bertebar disamping kanan dan kirinya, sementara ia telah kembali berdiri di tanah dengan pedang pusakanya menyilang didada.
Dan berturut2 empat buah jeruk nipis yang disaput dengan kapur tebal lainnya, dapat ditebasnya menjadi potongan-potongan belahan, tanpa ada yang menyentuh bajunya. Semua yang menyaksikan bertepuk tangan sambil berseru riuh, mengagumi permainan pedang Yoga Kumala.
Akan tetapi belum juga tepuk sorak-sorai berhenti, tiba2 dua bilah pisau kecil yang lazim disebut taji, berkelebat pesat bagaikan kilat menyambar ke arah dada dan kepalanya. Dari luncurnya dua buah taji yang berkilauan kearahnya, dapat diduga bahwa selain pisau2 itu amat tajam juga pelemparnya.tentu orang shakti pula.
Namun Yoga Kumala adalah cucu pertapa shakti Ajengan Cahayabuana dari lereng Gunung Tangkubanperahu yang namanya telah berkumandang harum disegenap penjuru.
Dengan tangkasnya ia menggeser kaki kiri kesamping dan meloncat surut ke belakang selangkah. Pedang pusaka ditangan kanannya berkelebat, memapaki datangnya dua buah pisau kecil dengan punggung pedang pusakannya dan sesaat kemudian, sedang semua penonton diam terpaku penuh rasa kecemasan, dua buah taji yang amat tajam itu ternyata telah tertancap menjadi satu disebuah batang pohon sawo setinggi kira2 dua orang berdiri, yang berada dibelakang para tamtama yang sedang menonton, dalam jarak kira2 50 langkah.
Kini tepuk tangan dan sorak sorai makin bergemuruh memekakkan telinga para penonton yang sudah tidak menghiraukan lagi akan suasana, hanya untuk melampiaskan rasa kagum dan girangnya maka mereka bersorak sorai yang tak terkendalikan. Semua kagum setelah menyaksikan pameran ilmu pedang yang sangat mentakjubkan. Ternyata pelempar tadi adalah Gusti Senopati Muda Manggala Pengawal Raja Indra Sambada yang berkenan sendiri untuk menguji kesaktian adik angkatnya Yoga Kumala.
Pertandingan penyisihan segera ditutup oleh Gusti Senopati Muda Indra Sambada. Dan atas keputusan Gusti Senopati Manggala Yudha Adityawardhana, Yoga Kumala dinyatakan sebagai pemenang pertama sedangkan Kobar menduduki tempat kedua, dan Sontani dianggap orang shakti yang ketiga.
Malam harinya Sang Senopati Manggala Yudha berkenan mengadakan pesta sederhana guna menjamu para perwira2 tamtama baru, yang juga dihadliri segenap para priyagung Kerajaan serta para undangan orang2 shakti lainnya, dengan dimeriahkan pertunjukan tari2an.
Pada malam itu Yoga Kumala mengenakan pakaian tamtama kebesarannya sebagai Bupati Tamtama. Pakaian seragam kain sutra dengan dasar warna hijau berseretkan kuning. Seutas tali pita kuning keemasan melingkar dikepalanya, dengan ramhutnya yang hitam pekat berombak terurai lepas diatas pundaknya.
Pada masing-masing kedua ujung leher bajunya yang berdiri tegak berseretkan kuning emas itu, nampak jelas sulaman gambar sepasang kembang tanjung dari benang emas pula sebagai tanda pangkat kebesarannya, seorang Bupati Tamtama Kerajaan.
Disebelahnya duduk seorang perwira tamtama yang berusia kira-kira 25 tahun dengan mengenakan pakaian seragam kebesaran yang serupa pula dengan Yoga Kumala. Hanya tanda gambar sulaman kembang tanjungnya sedikit berbeda. Jika dikedua leher baju Yoga Kumala nampak jelas adanya sepasang kembang tanjung yang kuning keemasan, maka pada leher baju perwira tamtama yang duduk disebelahnya hanya terdapat sekuntum bunga tanjung saja.
Ia adalah Bupati Anom tamtama Kerajaan yang bernama Kobar. Dibelakang kedua perwira tamtama baru yang gagah-gagah dan tampan itu duduk berderet-deret para perwira-perwira tamtama bawahan yang baru dalam pakaian kebesarannya yang berseretkan putih perak, dengan tanda pangkat berbentuk kembang tanjung pula tersulam dari benang perak dari yang gemerlapan menurut pangkat mereka masing-masing.
Disebelah ujang kiri Mantri Panewu tamtama Sontani, kemudian Mantri Panewu Anom tamtama Braja Sumedang. Dan berturut-turut duduk disisinya Lurah penatus tamtama Nyoman Ragil, Lurah penatus tamtama Berhala, Lurah penatus tamtama Jaka Gumarang dan terakhir adalah Lurah penatus tamtama Jala Mantra.
Wajah mereka kelihatan berseri-seri penuh rasa bangga, akan anugerah pangkat mereka masing-masing, yang kini telah disandangnya. Hanya Kobar yang cahaya wajahnya nampak muram, mencerminkan perasaan tidak puas akan anugerah pangkat yang diterimanya.
Ya….. tidak puas karena ia tidak dapat berhasil menduduki tempat pertama, dan tidak puas akan keputusan perubahan pada acara babak penyisihan yang tiba-tiba itu hingga ia harus mengalami kegagalan. Menurut perkiraannya sendiri, ia tentu akan dapat berhasil menyisihkan Yoga Kumala asalkan saja, acara babak penyisihan terakhir dilangsungkan secara pertandingan tata kelahi bersenjata.
Bukankah ia memiliki tubuh yang lebih kuat dan tinggi besar apa bila dibandng Yoga Kumala? Dan bukankah ia sebagai tamtama telah memiliki pengalaman lebih luas lagi? Suatu waktu tentu akan kubuktikan, bahwa Yoga Kumala berada dibawah tingkatanku — pikirnya.
Suasana meriah pada pesta matam itu tidak membuat ia gembira. Senyum dan tawanya yang dibuat-buat dan dipaksakan serasa hampa. Ingin ia cepat-cepat mendapat kesempatan untuk menguji sendiri akan kesaktian Yoga Kumala yang kini berpangkat setingkat lebih tinggi dari padanya.
Duduk berderet dikursi terdepan adalah para Manggala dan segenap priyagung Kerajaan dan para undangan kehormatan orang2 sakti yang kenamaan. Sedangkan dibelakang kanan kirinya duduk para perwira tamtama lainnya. Diseberang tempat pertunjukkan, dengan menghadap pada para priyagung, duduk penuh sesak berderet para putri, isteri para Manggala dan segenap priyagung Kerajaan, serta isteri2 para perwira tamtama dalam dan tamu2 putri undangan lainnya.
Tertimpa pancaran cahaya lampu yang terang benderang, hiasan para putri yang bertakhtakan mata berlian serta batu2 kumala lainnya, menjadi gemerlapan, laksana kilau bintang2 yang bertaburan diangkasa.
Sambil menikmati jamuan makanan yang dihidangkan bagaikan mengalir tak ada putusnya, kini mereka semua tengah menyaksikan pula pertunjukan tari serimpi yang diiringi suara bertalunya gamelan.
Para perwira tamtama yang masih bujangan tidak berkedip melihat parasnya para penari serimpi itu. Mereka tersenyum-senyum sendiri sambil sebentar2 membuang pandang penuh birahi ke arah para penari srimpi yang cantik2, dengan harapan sekali-kali dapat berpadu pandang. Dan kiranya bukan hanya yang masih bujangan saja, bahkan yang telah berkeluargapun tak mau kalah lagaknya.
Masing2 berebut dengan tingkah Iakunya sendiri2 ingin menjadi sasaran pandangan dari para penari. Sedangkan diantara para priyagungpun ada pula yang menelan bulat2 dengan tatapan pandangannya pada salah seorang putri penari yang cantik jelita tanpa menghiraukan lirikan istrinya yang agak jauh.
Ternyata satu diantara para penari srimpi adalah Gusti Ayu Sampur Sekar sendiri, putra putri Senopati Muda Manggala Narapraja Gusti Pangeran Pekik, masih gadis remaja. Maka tidak heranlah apabila banyak yang mengagumi keelokan parasnya. Dan Penewu Anom tamtama Braja Semandang termasuk pula sebagai satu diantara para pemujanya.
“Cara bagaimana aku dapat mempersuntingnya?”. katanya dalam hati.
Diatas lantai beralaskan permadani, lima srimpi ayu mempersembahkan tarian yang lemah gemulai mempesona seiring dengan irama suara gamelan. Tari serimpi berakhir, dan disusul pertunjukan tari topeng yang tidak kalah bagusnya. Penari topeng itu tidak lain Indah Kumala Wardhani adanya. Semua kagum akan keindahan wajah dan kelincahan gerakannya.
Jika tadi Kobar hanya muram penuh rasa kecewa, tiba2 kini hatinya tergerak demi melihat keindahan tari topeng yang mengesankan. Hatinya berdebar dan nafsu birahinya melonjak setelah melihat keayuan wajah Indah Kumala Wardhani, sewaktu topeng dibukanya. Matanya memandang liar tak berkedip.
“SIAPAKAH GERANGAN GADIS AYU YANG MEMIKAT HATIKU ITU?”. tanyanya dalam hati. “Ach besok pagi tentu kucari dan akan aku pinang sebagai istriku. Tak mungkin ia menolak seorang perwira tamtama segagah aku”. pikirnya menghibur diri sendiri.
Dan kiranya Sontanipun diam2 terpikat pula oleh penari topeng yang cantik itu. Betapa bahagianya, apabila kelak ia dapat memperistrinya -- pikirnya. Sedikitpun ia tidak mengira bahwa penari topeng itu sebenarnya adik kandung Yoga Kumala.
Pesta keramaian di Istana Senopaten beriangsung hingga larut malam dengan pertunjukan tari2an yang amat mempesona para hadlirin. Pesta ditutup, dan masing2 pulang dengan membawa kesan serta khayalan sendiri-sendiri.
****
DITEMPAT KEDIAMAN yang baru dan serba lengkap dengan perabotan yang mewah2 itu, Yoga Kumala sedang duduk termenung seorang diri sambil bertopang dagu, menghadapi hidangan makan pagi yang masih mengepul hangat. Memang gedung kesatrian yang serba lengkap itu dibangun khusus untuk para perwira tamtama yang masih bujangan. Angan-angannya jauh merana dan hidangan makan yang baru saja disajikan para inang itu belum juga disentuhnya!
Wajah putri remaja dari pulau Dewata selalu membayang dalam angan angannya. Gedung ksatrian dimana ia kini tinggal, merupakan bangunan gedung besar yang panjang membujur serta berpetak petak dalam corak dan bentuk yang sama. Tiap tiap petak memiliki ruangan-ruangan tamu, kamar tidur, dapur, kamar mandi, taman dan ruang berlatih tersendiri.
Pagi itu, udara cerah dan langit biru nampak membentang bersih memantulkan cahaya matahari yang terang benderang. Burung-burung piaraan berkicau disangkar masing-masing dengan riangnya. Namun riangnya pagi yang cemerlang itu, serasa hampa belaka bagi Yoga Kumala. Entah karena semalam matanya tak terpicingkan, ataupun karena terbangun oleh suatu impian yang mengecewakan maka kini ia melamun sambil selalu menguap, hingga suara ketukan pintu yang berulang kali tidak didengarnya.
Tiba-tiba suara ketukan pintu depan, terdengar lebih keras lagi, dan pelan-pelan daun pintupun bergerit terbuka. Tersentak dan sadar dari lamunan, setelah adiknya Indah Kumala Wardhani nampak berdiri ditengah-tengah pintu depan yang terbuka sambil berteriak.
“Akang Yoga. Aku yang datang!”.
“Ach aku kira siapa!”. jawabnya lemah.
Akan tetapi tanpa menghiraukan sekitarnya Indah Kumala Wardhani langsung mendekati dan duduk disamping Yoga Kumala, sambil berkata.
“Habis, kau kira siapa?, bukankah aku ini adikmu Indah?”. tanyanya menggoda sambil bersenyum girang.
“Sudahlah!. Mari kita makan bersama!”. Yoga Kumala memotong. Ia tahu, bahwa kedatangan Indah Kumala Wardhani tak lain hanya alasan menggodanya dan mengacaukan suasana ketenangannya.
“Apakah akang mengira. bahwa kedatanganku kemari hanya untuk mencari makanan saja?”. sahutnya cepat dengan wajah berobah asam.
“Aku tidak beranggapan demikian, adikku Indah yang maniiiis… Temanilah aku makan, supaya akangmu ini dapat makan lebih banyak, dan menjadi sehat, Neng!”.
Jawaban Yoga Kumala yang lemah lembut merayu. kiranya bukan karena perasaan kasih sayang, akan tetapi lebih dekat demi melampiaskan kedongkolan hatinya. Mendengar Rayuan Kakaknya yang menjemukan, Indah Kumala Wardhani semakin cemberut dan menyahut sambil membuang muka serta mencibirkan bibirnya.
“Kau kira, aku ini siapa? Pakai manis…. manis segala! Aku bukan Yayuk Ratnasari!”.
“Indah! Jangan lancang, kau!”.
Dengan wajah yang memerah Yoga Kumala menyahut tak sabar. Ia tahu, bahwa Ratnasari adalah adik kandung Panewu Tamtama Sontani, yang kebetulan kini Panewu tamtama. Sontani tinggal dalam gedung petak yang berada disebelahnya. Betapa malunya, apabila hal ini terdengar Sontani, sedangkan ia sendiri sebenarnya memang tak menaruh hati pada Ratnasari. Akan tetapi baru saja ia menutup mulutnya, tiba2 suara ketukan pintu terdengar nyaring dan bersamaan dengan ketukan pintu itu, Ratnasari bersama Sontani telah berdiri diambang sambil membungkukan badannya, seraya berkata.
“Maafkan, Gusti Yoga! Kami berdua mengganggu percakapan Gustiku!”.
Dengan perasaan malu tersipu-sipu, Yoga Kumala dan Indah Kumala Wardhani tersentak bangkit, menyambut kedatangan kedua tamunya.
“Ach… Sontani dan adi Ratnasari! Silahkan, silahkan masuk. Kamipun sedang kesepian, tanpa ada sesuatu yang menentu!” Yoga Kumala berkata sambil tersenyum menyembunjyikan perasaan malunya. Namun wajahnya masih nampak jelas memerah.
Kini mereka berempat duduk sambil asyik bercakap2 diselingi gelak tawa riang diruang tamu yang luas dan mewah itu. Ternyata Sontani memiliki pula sifat2 keramahan dan pandai bergaul seperti Ratnasari adiknya. Dengan demikian maka percakapan menjadi lancar dan sebentar saja hubungan masing2 menjadi lebih akrab. Penghormatan dalam percakapan yang berlebih2an dari Sontani, sebagaimana layaknya seorang bawahan yang menghadap atasannya, selalu dielakkan Yoga Kumala dan kecanggunganpun menjadi lenyap dalam percakapan bebas itu.
Dari pertemuan yang pertama antara Indah Kumala Wardhani dan Sontani, telah dapat diketahui oleh Yoga Kumala, bahwa cinta kasih diantara kedua remaja itu mulai terjalin. Dalam hati iapun turut gembira, dan semoga saja kelak menjadi pasangan yang bahagia. Demikian pikir Yoga Kumala. Namun dibalik kegembiraannya itu, kadang2 angan-angannya merana jauh kembali pada bayang2 putri Pulau Dewata Ktut Chandra yang selalu melintas dalam kalbunya. Cubitan Indah Kumala Wardhani pada pahanya membuat ia tersentak sadar lagi, dan percakapan berlangsung dalam suasana riang kembali.
“Sontani! Jika kau tidak berkeberatan, kuharap kau dapat menemani aku dalam perjalanan kehutan Blora esok lusa. Tentu saja aku akan berpamitan dahulu pada Gusti Senopati. Tentunya kau bersedia bukan?”. Tanya Yoga Kumula sewaktu Sontani dan Ramasari berpamit hendak pulang.
“Dengan senang hati, Gusti!. Akan tetapi sudilah Gustiku Yoga Kumala memberitahukan hal ini pada Gusti Kobar, demi untuk mencegah salah faham!!”.
“Ach… tak usah kuatir!!. Itu adalah tanggurganku!!”.
“Jika aku dan Yayuk Ratnasari diperkenankan ikut serta, perjalanan jauh tentu akan menyenangkan, akang Yoga!!”. lndah Kumala Wardhani memotong pembicaraan mereka.
“Yaa… tapi… apakah akan diijinkan Kangmas Indra?”.
“Itu urusanku! Aku sendiri nanti yang akan menghadap padanya. Tentu kangmas Indra akan mengijinkan! Pokoknya, asalkan akang Yoga memperbolehkan kami berdua ikut serta. Bagaimana?”.
“Sabarlah dulu! Akan kupikir sejenak bagaimana sebaiknya, manis!”. jawab Yoga Kumala lemah lembut.
“Apalagi yang harus dipikirkan akang? Kan tinggal jawab pendek saja, boleh atau tidak! Bukankah demikian Yayuk Ratnasari?!”.
“Ach... aku terserah saja. Turut pergi… ya senang. Tidakpun… tidak mengapa!”. Ratnasari turut menyahut lemah sambil bersenyum.
“Baik… baik. Tetapi nanti malam, aku sendiri yang akan menghadap Kangmas Indra, untuk memintakan ijin kalian!”.
Dengan diantarkan oleh Yoga Kumala dan Sontani, Indah Kumala Wardhani dan Ratnasari siang itu kembali kegedung Senopaten kediaman Gusti Adityawardhana, dimana mereka tinggal bersama teman sebayanya yang menjadi tamtama narasandi Kerajaan.
Sayang bahwa siang itu Ktut Chandra tidak nampak keluar dari kamar. Harapan Yoga Kumala dapat melihat wajahnya hari itu terpaksa tertunda, dan hatinyapun penuh rasa kecewa. Akan tetapi perasaan demikian, disembunyikannya rapat2. Tentu akan lebih kacau dan heboh, apabila adikku mengetahui rahasia ini — pikir Yoga Kumala.
Dua pasang remaja berkuda, masing-masing saling memacu kudanya melalui jalan pedesan yang berliku liku dengan pesatnya. Seakan akan mereka saling berebut untuk berada didepan sendiri. Dan suatu gelak tawa yang nyaring menyertai derap langkah kuda yang tengah berlari dengan kencangnya. Tak lama kemudian larinya kuda diperlambat, dan kini kuda mereka berjalan berendeng. Sepasang didepan dan tak jauh antaranya sepasang lagi mengikuti dibelakangnya.
“Lihatlah akang Yoga! Betapa indahnya pemandangan alam didepan kita. Sawah-sawah membentang luas dengan tanaman padinya yang menguning dan aneh benar semuanya kini menjadi semu merah lembayung, bagaikan disepuh emas!”.
“Yah… memang demikian pemandangan alam diwaktu menjelang senja”. jawab Yoga Kumala singkat, sambil memandang tajam kedepan tanpa berpaling pada Indah Kumala Wardhani yang tengah berkuda disampingnya.
Sepasang alisnya dikernyitkan hingga dua deretan kerut dikeningnya nampak jelas. Mulutnya kembali terkatub, dan rambutnya yang kusut terkena hembusan angin dibiarkan terurai. Seakan ada sesuatu yang sedang menjadi perhatiannya. Dikala itu, hari telah menjelang senja. Matahari berada dibarat, pada garis cakrawala, dengan bentuknya yang bulat ke-merah2-an. Sinar cahayanya yang merah lembayung memancar menyelimuti angkasa dan memantul kembali ke bumi, hingga pemandangan alam diseluruh menjadi semu merah keemasan. Atas saran Senopati Muda Indra Sambada, mereka berempat hanya mengenakan pakaian ringkas sederhana, tanpa sesuatu tanda kebesaran pangkat masing2.
“Biarlah mendapat tambahan pengalaman”. pesan Indra Sambada, sewaktu mereka meninggalkan Istana Senopaten. “Dan cepatlah kembali, setelah urusanmu selesai”. demikian kata2 pesannya.
Akan tetapi walaupun mereka hanya berpakaian sederhana, dari pedang pusaka yang tersandang dipinggang Yoga Kumala dan pedang tamtama yang tergantung di pinggang Sontani, mudah dapat diterka bahwa dua pasang remaja yang sedang menempuh perjalanan dengan berkuda itu, tentu bukan rakyat biasa. Demikian pula kuda ke empat2-nya dengan pelananya, jelas menunjukkan bukanlah kuda piaraan rakyat jelata.
Sontani dan Ratnasari adiknya, yang sejak tadi selalu bergurau sambil berkuda, kini keduanya tanpa disadari menjadi terdiam dengan sendirinya. Mereka berkuda berjajar mengikuti dibelakang Yoga Kumala dan Indah Kumala Wardhani.
“Sontanil. Sebeclum gelap malam kita harus sudah sampai didesa Kasiman!”, teriak Yoga Kumala tiba2, sambil memalingkan kepalanya kebelakang.
Dan derap langkah kuda2 itupun terdengar lebih cepat lagi. Mereka serentak memacu kudanya masing2. Sawah-sawah dan tegalan telah dilaluinya, dan kini mereka hampir memasuki desa Kasiman. Akan tetapi sebelum mereka tiba dipersimpangan jalan desa yang berada ditengah lapang dan tandus itu, tiba2 Yoga Kumala mengekang tali lis kudanya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya di-angkat tinggi2, sebagai isyarat pada Sontani dan Ratnasari agar merekapun memberhentikan langkah kudanya.
“Sontani! Empat orang yang berdiri ditengah jalan dekat ujung desa didepan kita itu, kiraku sengaja menghadang. Maka kuharap kalian waspada!”. Kata Yoga Kumala, setelah kuda Soniani mengejar mendekat.
“Tetapi apa kehendak mereka Gusti??!”.
“Aku sendiripun kurang mengerti. Sebaiknya nanti setelah dekat, kita semua turun dan kau berjalan mendahului, untuk bertanya pada mereka. Dan jangan memanggil dengan sebutan Gusti lagi dalam perjalanan. Biarpun, mungkin aku lebih muda, akan tetapi sebaiknya kau memanggilku dengan sebutan kang mas saja”.
“Baik, kangmas !!”. Jawab Sontani singkat.
“Dan kau Indah!! Lindungi yayukmu Ratnasari jika aku nanti terpaksa turut turun tangan!”.
“Selama angkin merah dan keris pusaka berada ditanganku, akang Yoga tak usah kuatir. Sebaiknya akang saja yang melindungi yayuk Ratnasari sambil menonton cara bagaimana aku akan menghajar mereka!”. Sambut Indah Kumala Wardhani dengan ketusnya.
Sementara Ratnasari merapatkan kudanya dengan Indah Kumala Wardhani, sambil memandang kedepan. la masih saja tak turut bicara.
“Sudahlah disini bukan tempatnya berkelakar. Turutlah apa kataku!”. Jawab Yiga Kumala singkat dengan wajah bersungut sungut.
Makin dekat makin nampak jelas, bahwa keempat orang yang sengaja di tengah2 jalan itu, dua diantaranya bersenjatakan pedang dan yang dua lainnya bersenjatakan tombak pendek. Keempat orang itu kesemuanya mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat kepala warna hitam pula menutupi rambutnya.
Seorang diantaranya memakai topeng yang nampak mengerikan, sedangkan seorang lagi dari batas bawah matanya, mukanya tertutup kain hitam pula. Pedang terhunus di tangan kanan masing2.
Selang kira2 lima puluh langkah dengan keempat orang yang menghadang itu, Yoga Kumala, Sontani, Indah Kumala Wardhani dan Ratnasari serentak turun dari kudanya dan menambatkan di pohon di pinggir jalan, sementara Sontani jalan mendahului untuk menghampiri ke empat orang itu dengan penuh kewaspadaan yang tinggi.
“Hai saudara !!. Apa kehendak kalian, berdiri menutup jalan?” Tegur Sontani dengan lantangnya dari jarak kira2 sepuluh langkah.
“Hahaha…!! Melintasi dimana kami berdiri, harus meninggalkan kuda dan bebannya !!”. Sahut seorang yang bertopeng diiringi tawa yang ber gelak2.
“Apa ??? !!. Siapa kalian, perampok pengecut yang tak mau memperlihatkan muka ?? !”. Berkata demikian Sontani berjalan mendekat, sambil memegang tangkai pedangnya, siap menghadapi segala kemungkinan.
“Rampok atau bukan, terserah kepadamu. Tetapi perintah saya harus ditaati siapapun yang melalui jalan ini !!”.
“Bangsat, lihat pedang !!”. Bentak Sontani langsung menerjang maju dengan pedang tamtamanya.
Kiranya ia tak dapat menahan lagi kemarahannya yang meluap2. Akan tetapi orang yang bertopeng tinggi besar itu dengan tangkasnya melompat surut kebelakang satu langkah menghindari serangan bacokan Sontani sambil mengeluarkan dan memperdengarkan tawanya.
Tiga orang temannya serentak maju dan dengan senjata mereka masing2 memapaki berkelebatnya pedang Sontani, serta melancarkan serangan balasan yang ber-tubi2. Dengan tangkas Sontani berlompatan kesamping serta menggerakkan pedang tamtamanya, memapaki tiga orang lawannya. Melihat Sontani sibuk menghadapi serangan yang ber-tubi2 itu, Yoga Kumala dengan pedang pusaka ditangan kanan, melesat memasuki kancah pertempuran dengan jurus Cahaya Tangkubanperahu yang cepat dapat mendesak tiga orang lawan Sontani.
Sementara orang tinggi besar bertopeng telah menyambut pula serangan yang dilancarkan Yoga Kumala. Sesungguhnya Yoga Kumala tidak usah kuatir akan Sontani yang bertempur melawan tiga orang itu, akan tetapi demi melihat gerakan lompatan dan suara tawa orang yang bertopeng yang tinggi besar itu, iapun agak cemas juga. Ia tahu, bahwa orang bertopeng itu tentu memiliki kesaktian yang tak dapat dipandang ringan. Maka sengaja ia melibatkan diri dalam pertempuran agar cepat dapat mengakhiri.
Bukankah ia memiliki tubuh yang lebih kuat dan tinggi besar apa bila dibandng Yoga Kumala? Dan bukankah ia sebagai tamtama telah memiliki pengalaman lebih luas lagi? Suatu waktu tentu akan kubuktikan, bahwa Yoga Kumala berada dibawah tingkatanku — pikirnya.
Suasana meriah pada pesta matam itu tidak membuat ia gembira. Senyum dan tawanya yang dibuat-buat dan dipaksakan serasa hampa. Ingin ia cepat-cepat mendapat kesempatan untuk menguji sendiri akan kesaktian Yoga Kumala yang kini berpangkat setingkat lebih tinggi dari padanya.
Duduk berderet dikursi terdepan adalah para Manggala dan segenap priyagung Kerajaan dan para undangan kehormatan orang2 sakti yang kenamaan. Sedangkan dibelakang kanan kirinya duduk para perwira tamtama lainnya. Diseberang tempat pertunjukkan, dengan menghadap pada para priyagung, duduk penuh sesak berderet para putri, isteri para Manggala dan segenap priyagung Kerajaan, serta isteri2 para perwira tamtama dalam dan tamu2 putri undangan lainnya.
Tertimpa pancaran cahaya lampu yang terang benderang, hiasan para putri yang bertakhtakan mata berlian serta batu2 kumala lainnya, menjadi gemerlapan, laksana kilau bintang2 yang bertaburan diangkasa.
Sambil menikmati jamuan makanan yang dihidangkan bagaikan mengalir tak ada putusnya, kini mereka semua tengah menyaksikan pula pertunjukan tari serimpi yang diiringi suara bertalunya gamelan.
Para perwira tamtama yang masih bujangan tidak berkedip melihat parasnya para penari serimpi itu. Mereka tersenyum-senyum sendiri sambil sebentar2 membuang pandang penuh birahi ke arah para penari srimpi yang cantik2, dengan harapan sekali-kali dapat berpadu pandang. Dan kiranya bukan hanya yang masih bujangan saja, bahkan yang telah berkeluargapun tak mau kalah lagaknya.
Masing2 berebut dengan tingkah Iakunya sendiri2 ingin menjadi sasaran pandangan dari para penari. Sedangkan diantara para priyagungpun ada pula yang menelan bulat2 dengan tatapan pandangannya pada salah seorang putri penari yang cantik jelita tanpa menghiraukan lirikan istrinya yang agak jauh.
Ternyata satu diantara para penari srimpi adalah Gusti Ayu Sampur Sekar sendiri, putra putri Senopati Muda Manggala Narapraja Gusti Pangeran Pekik, masih gadis remaja. Maka tidak heranlah apabila banyak yang mengagumi keelokan parasnya. Dan Penewu Anom tamtama Braja Semandang termasuk pula sebagai satu diantara para pemujanya.
“Cara bagaimana aku dapat mempersuntingnya?”. katanya dalam hati.
Diatas lantai beralaskan permadani, lima srimpi ayu mempersembahkan tarian yang lemah gemulai mempesona seiring dengan irama suara gamelan. Tari serimpi berakhir, dan disusul pertunjukan tari topeng yang tidak kalah bagusnya. Penari topeng itu tidak lain Indah Kumala Wardhani adanya. Semua kagum akan keindahan wajah dan kelincahan gerakannya.
Jika tadi Kobar hanya muram penuh rasa kecewa, tiba2 kini hatinya tergerak demi melihat keindahan tari topeng yang mengesankan. Hatinya berdebar dan nafsu birahinya melonjak setelah melihat keayuan wajah Indah Kumala Wardhani, sewaktu topeng dibukanya. Matanya memandang liar tak berkedip.
“SIAPAKAH GERANGAN GADIS AYU YANG MEMIKAT HATIKU ITU?”. tanyanya dalam hati. “Ach besok pagi tentu kucari dan akan aku pinang sebagai istriku. Tak mungkin ia menolak seorang perwira tamtama segagah aku”. pikirnya menghibur diri sendiri.
Dan kiranya Sontanipun diam2 terpikat pula oleh penari topeng yang cantik itu. Betapa bahagianya, apabila kelak ia dapat memperistrinya -- pikirnya. Sedikitpun ia tidak mengira bahwa penari topeng itu sebenarnya adik kandung Yoga Kumala.
Pesta keramaian di Istana Senopaten beriangsung hingga larut malam dengan pertunjukan tari2an yang amat mempesona para hadlirin. Pesta ditutup, dan masing2 pulang dengan membawa kesan serta khayalan sendiri-sendiri.
****
DITEMPAT KEDIAMAN yang baru dan serba lengkap dengan perabotan yang mewah2 itu, Yoga Kumala sedang duduk termenung seorang diri sambil bertopang dagu, menghadapi hidangan makan pagi yang masih mengepul hangat. Memang gedung kesatrian yang serba lengkap itu dibangun khusus untuk para perwira tamtama yang masih bujangan. Angan-angannya jauh merana dan hidangan makan yang baru saja disajikan para inang itu belum juga disentuhnya!
Wajah putri remaja dari pulau Dewata selalu membayang dalam angan angannya. Gedung ksatrian dimana ia kini tinggal, merupakan bangunan gedung besar yang panjang membujur serta berpetak petak dalam corak dan bentuk yang sama. Tiap tiap petak memiliki ruangan-ruangan tamu, kamar tidur, dapur, kamar mandi, taman dan ruang berlatih tersendiri.
Pagi itu, udara cerah dan langit biru nampak membentang bersih memantulkan cahaya matahari yang terang benderang. Burung-burung piaraan berkicau disangkar masing-masing dengan riangnya. Namun riangnya pagi yang cemerlang itu, serasa hampa belaka bagi Yoga Kumala. Entah karena semalam matanya tak terpicingkan, ataupun karena terbangun oleh suatu impian yang mengecewakan maka kini ia melamun sambil selalu menguap, hingga suara ketukan pintu yang berulang kali tidak didengarnya.
Tiba-tiba suara ketukan pintu depan, terdengar lebih keras lagi, dan pelan-pelan daun pintupun bergerit terbuka. Tersentak dan sadar dari lamunan, setelah adiknya Indah Kumala Wardhani nampak berdiri ditengah-tengah pintu depan yang terbuka sambil berteriak.
“Akang Yoga. Aku yang datang!”.
“Ach aku kira siapa!”. jawabnya lemah.
Akan tetapi tanpa menghiraukan sekitarnya Indah Kumala Wardhani langsung mendekati dan duduk disamping Yoga Kumala, sambil berkata.
“Habis, kau kira siapa?, bukankah aku ini adikmu Indah?”. tanyanya menggoda sambil bersenyum girang.
“Sudahlah!. Mari kita makan bersama!”. Yoga Kumala memotong. Ia tahu, bahwa kedatangan Indah Kumala Wardhani tak lain hanya alasan menggodanya dan mengacaukan suasana ketenangannya.
“Apakah akang mengira. bahwa kedatanganku kemari hanya untuk mencari makanan saja?”. sahutnya cepat dengan wajah berobah asam.
“Aku tidak beranggapan demikian, adikku Indah yang maniiiis… Temanilah aku makan, supaya akangmu ini dapat makan lebih banyak, dan menjadi sehat, Neng!”.
Jawaban Yoga Kumala yang lemah lembut merayu. kiranya bukan karena perasaan kasih sayang, akan tetapi lebih dekat demi melampiaskan kedongkolan hatinya. Mendengar Rayuan Kakaknya yang menjemukan, Indah Kumala Wardhani semakin cemberut dan menyahut sambil membuang muka serta mencibirkan bibirnya.
“Kau kira, aku ini siapa? Pakai manis…. manis segala! Aku bukan Yayuk Ratnasari!”.
“Indah! Jangan lancang, kau!”.
Dengan wajah yang memerah Yoga Kumala menyahut tak sabar. Ia tahu, bahwa Ratnasari adalah adik kandung Panewu Tamtama Sontani, yang kebetulan kini Panewu tamtama. Sontani tinggal dalam gedung petak yang berada disebelahnya. Betapa malunya, apabila hal ini terdengar Sontani, sedangkan ia sendiri sebenarnya memang tak menaruh hati pada Ratnasari. Akan tetapi baru saja ia menutup mulutnya, tiba2 suara ketukan pintu terdengar nyaring dan bersamaan dengan ketukan pintu itu, Ratnasari bersama Sontani telah berdiri diambang sambil membungkukan badannya, seraya berkata.
“Maafkan, Gusti Yoga! Kami berdua mengganggu percakapan Gustiku!”.
Dengan perasaan malu tersipu-sipu, Yoga Kumala dan Indah Kumala Wardhani tersentak bangkit, menyambut kedatangan kedua tamunya.
“Ach… Sontani dan adi Ratnasari! Silahkan, silahkan masuk. Kamipun sedang kesepian, tanpa ada sesuatu yang menentu!” Yoga Kumala berkata sambil tersenyum menyembunjyikan perasaan malunya. Namun wajahnya masih nampak jelas memerah.
Kini mereka berempat duduk sambil asyik bercakap2 diselingi gelak tawa riang diruang tamu yang luas dan mewah itu. Ternyata Sontani memiliki pula sifat2 keramahan dan pandai bergaul seperti Ratnasari adiknya. Dengan demikian maka percakapan menjadi lancar dan sebentar saja hubungan masing2 menjadi lebih akrab. Penghormatan dalam percakapan yang berlebih2an dari Sontani, sebagaimana layaknya seorang bawahan yang menghadap atasannya, selalu dielakkan Yoga Kumala dan kecanggunganpun menjadi lenyap dalam percakapan bebas itu.
Dari pertemuan yang pertama antara Indah Kumala Wardhani dan Sontani, telah dapat diketahui oleh Yoga Kumala, bahwa cinta kasih diantara kedua remaja itu mulai terjalin. Dalam hati iapun turut gembira, dan semoga saja kelak menjadi pasangan yang bahagia. Demikian pikir Yoga Kumala. Namun dibalik kegembiraannya itu, kadang2 angan-angannya merana jauh kembali pada bayang2 putri Pulau Dewata Ktut Chandra yang selalu melintas dalam kalbunya. Cubitan Indah Kumala Wardhani pada pahanya membuat ia tersentak sadar lagi, dan percakapan berlangsung dalam suasana riang kembali.
“Sontani! Jika kau tidak berkeberatan, kuharap kau dapat menemani aku dalam perjalanan kehutan Blora esok lusa. Tentu saja aku akan berpamitan dahulu pada Gusti Senopati. Tentunya kau bersedia bukan?”. Tanya Yoga Kumula sewaktu Sontani dan Ramasari berpamit hendak pulang.
“Dengan senang hati, Gusti!. Akan tetapi sudilah Gustiku Yoga Kumala memberitahukan hal ini pada Gusti Kobar, demi untuk mencegah salah faham!!”.
“Ach… tak usah kuatir!!. Itu adalah tanggurganku!!”.
“Jika aku dan Yayuk Ratnasari diperkenankan ikut serta, perjalanan jauh tentu akan menyenangkan, akang Yoga!!”. lndah Kumala Wardhani memotong pembicaraan mereka.
“Yaa… tapi… apakah akan diijinkan Kangmas Indra?”.
“Itu urusanku! Aku sendiri nanti yang akan menghadap padanya. Tentu kangmas Indra akan mengijinkan! Pokoknya, asalkan akang Yoga memperbolehkan kami berdua ikut serta. Bagaimana?”.
“Sabarlah dulu! Akan kupikir sejenak bagaimana sebaiknya, manis!”. jawab Yoga Kumala lemah lembut.
“Apalagi yang harus dipikirkan akang? Kan tinggal jawab pendek saja, boleh atau tidak! Bukankah demikian Yayuk Ratnasari?!”.
“Ach... aku terserah saja. Turut pergi… ya senang. Tidakpun… tidak mengapa!”. Ratnasari turut menyahut lemah sambil bersenyum.
“Baik… baik. Tetapi nanti malam, aku sendiri yang akan menghadap Kangmas Indra, untuk memintakan ijin kalian!”.
Dengan diantarkan oleh Yoga Kumala dan Sontani, Indah Kumala Wardhani dan Ratnasari siang itu kembali kegedung Senopaten kediaman Gusti Adityawardhana, dimana mereka tinggal bersama teman sebayanya yang menjadi tamtama narasandi Kerajaan.
Sayang bahwa siang itu Ktut Chandra tidak nampak keluar dari kamar. Harapan Yoga Kumala dapat melihat wajahnya hari itu terpaksa tertunda, dan hatinyapun penuh rasa kecewa. Akan tetapi perasaan demikian, disembunyikannya rapat2. Tentu akan lebih kacau dan heboh, apabila adikku mengetahui rahasia ini — pikir Yoga Kumala.
Dua pasang remaja berkuda, masing-masing saling memacu kudanya melalui jalan pedesan yang berliku liku dengan pesatnya. Seakan akan mereka saling berebut untuk berada didepan sendiri. Dan suatu gelak tawa yang nyaring menyertai derap langkah kuda yang tengah berlari dengan kencangnya. Tak lama kemudian larinya kuda diperlambat, dan kini kuda mereka berjalan berendeng. Sepasang didepan dan tak jauh antaranya sepasang lagi mengikuti dibelakangnya.
“Lihatlah akang Yoga! Betapa indahnya pemandangan alam didepan kita. Sawah-sawah membentang luas dengan tanaman padinya yang menguning dan aneh benar semuanya kini menjadi semu merah lembayung, bagaikan disepuh emas!”.
“Yah… memang demikian pemandangan alam diwaktu menjelang senja”. jawab Yoga Kumala singkat, sambil memandang tajam kedepan tanpa berpaling pada Indah Kumala Wardhani yang tengah berkuda disampingnya.
Sepasang alisnya dikernyitkan hingga dua deretan kerut dikeningnya nampak jelas. Mulutnya kembali terkatub, dan rambutnya yang kusut terkena hembusan angin dibiarkan terurai. Seakan ada sesuatu yang sedang menjadi perhatiannya. Dikala itu, hari telah menjelang senja. Matahari berada dibarat, pada garis cakrawala, dengan bentuknya yang bulat ke-merah2-an. Sinar cahayanya yang merah lembayung memancar menyelimuti angkasa dan memantul kembali ke bumi, hingga pemandangan alam diseluruh menjadi semu merah keemasan. Atas saran Senopati Muda Indra Sambada, mereka berempat hanya mengenakan pakaian ringkas sederhana, tanpa sesuatu tanda kebesaran pangkat masing2.
“Biarlah mendapat tambahan pengalaman”. pesan Indra Sambada, sewaktu mereka meninggalkan Istana Senopaten. “Dan cepatlah kembali, setelah urusanmu selesai”. demikian kata2 pesannya.
Akan tetapi walaupun mereka hanya berpakaian sederhana, dari pedang pusaka yang tersandang dipinggang Yoga Kumala dan pedang tamtama yang tergantung di pinggang Sontani, mudah dapat diterka bahwa dua pasang remaja yang sedang menempuh perjalanan dengan berkuda itu, tentu bukan rakyat biasa. Demikian pula kuda ke empat2-nya dengan pelananya, jelas menunjukkan bukanlah kuda piaraan rakyat jelata.
Sontani dan Ratnasari adiknya, yang sejak tadi selalu bergurau sambil berkuda, kini keduanya tanpa disadari menjadi terdiam dengan sendirinya. Mereka berkuda berjajar mengikuti dibelakang Yoga Kumala dan Indah Kumala Wardhani.
“Sontanil. Sebeclum gelap malam kita harus sudah sampai didesa Kasiman!”, teriak Yoga Kumala tiba2, sambil memalingkan kepalanya kebelakang.
Dan derap langkah kuda2 itupun terdengar lebih cepat lagi. Mereka serentak memacu kudanya masing2. Sawah-sawah dan tegalan telah dilaluinya, dan kini mereka hampir memasuki desa Kasiman. Akan tetapi sebelum mereka tiba dipersimpangan jalan desa yang berada ditengah lapang dan tandus itu, tiba2 Yoga Kumala mengekang tali lis kudanya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya di-angkat tinggi2, sebagai isyarat pada Sontani dan Ratnasari agar merekapun memberhentikan langkah kudanya.
“Sontani! Empat orang yang berdiri ditengah jalan dekat ujung desa didepan kita itu, kiraku sengaja menghadang. Maka kuharap kalian waspada!”. Kata Yoga Kumala, setelah kuda Soniani mengejar mendekat.
“Tetapi apa kehendak mereka Gusti??!”.
“Aku sendiripun kurang mengerti. Sebaiknya nanti setelah dekat, kita semua turun dan kau berjalan mendahului, untuk bertanya pada mereka. Dan jangan memanggil dengan sebutan Gusti lagi dalam perjalanan. Biarpun, mungkin aku lebih muda, akan tetapi sebaiknya kau memanggilku dengan sebutan kang mas saja”.
“Baik, kangmas !!”. Jawab Sontani singkat.
“Dan kau Indah!! Lindungi yayukmu Ratnasari jika aku nanti terpaksa turut turun tangan!”.
“Selama angkin merah dan keris pusaka berada ditanganku, akang Yoga tak usah kuatir. Sebaiknya akang saja yang melindungi yayuk Ratnasari sambil menonton cara bagaimana aku akan menghajar mereka!”. Sambut Indah Kumala Wardhani dengan ketusnya.
Sementara Ratnasari merapatkan kudanya dengan Indah Kumala Wardhani, sambil memandang kedepan. la masih saja tak turut bicara.
“Sudahlah disini bukan tempatnya berkelakar. Turutlah apa kataku!”. Jawab Yiga Kumala singkat dengan wajah bersungut sungut.
Makin dekat makin nampak jelas, bahwa keempat orang yang sengaja di tengah2 jalan itu, dua diantaranya bersenjatakan pedang dan yang dua lainnya bersenjatakan tombak pendek. Keempat orang itu kesemuanya mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat kepala warna hitam pula menutupi rambutnya.
Seorang diantaranya memakai topeng yang nampak mengerikan, sedangkan seorang lagi dari batas bawah matanya, mukanya tertutup kain hitam pula. Pedang terhunus di tangan kanan masing2.
Selang kira2 lima puluh langkah dengan keempat orang yang menghadang itu, Yoga Kumala, Sontani, Indah Kumala Wardhani dan Ratnasari serentak turun dari kudanya dan menambatkan di pohon di pinggir jalan, sementara Sontani jalan mendahului untuk menghampiri ke empat orang itu dengan penuh kewaspadaan yang tinggi.
“Hai saudara !!. Apa kehendak kalian, berdiri menutup jalan?” Tegur Sontani dengan lantangnya dari jarak kira2 sepuluh langkah.
“Hahaha…!! Melintasi dimana kami berdiri, harus meninggalkan kuda dan bebannya !!”. Sahut seorang yang bertopeng diiringi tawa yang ber gelak2.
“Apa ??? !!. Siapa kalian, perampok pengecut yang tak mau memperlihatkan muka ?? !”. Berkata demikian Sontani berjalan mendekat, sambil memegang tangkai pedangnya, siap menghadapi segala kemungkinan.
“Rampok atau bukan, terserah kepadamu. Tetapi perintah saya harus ditaati siapapun yang melalui jalan ini !!”.
“Bangsat, lihat pedang !!”. Bentak Sontani langsung menerjang maju dengan pedang tamtamanya.
Kiranya ia tak dapat menahan lagi kemarahannya yang meluap2. Akan tetapi orang yang bertopeng tinggi besar itu dengan tangkasnya melompat surut kebelakang satu langkah menghindari serangan bacokan Sontani sambil mengeluarkan dan memperdengarkan tawanya.
Tiga orang temannya serentak maju dan dengan senjata mereka masing2 memapaki berkelebatnya pedang Sontani, serta melancarkan serangan balasan yang ber-tubi2. Dengan tangkas Sontani berlompatan kesamping serta menggerakkan pedang tamtamanya, memapaki tiga orang lawannya. Melihat Sontani sibuk menghadapi serangan yang ber-tubi2 itu, Yoga Kumala dengan pedang pusaka ditangan kanan, melesat memasuki kancah pertempuran dengan jurus Cahaya Tangkubanperahu yang cepat dapat mendesak tiga orang lawan Sontani.
Sementara orang tinggi besar bertopeng telah menyambut pula serangan yang dilancarkan Yoga Kumala. Sesungguhnya Yoga Kumala tidak usah kuatir akan Sontani yang bertempur melawan tiga orang itu, akan tetapi demi melihat gerakan lompatan dan suara tawa orang yang bertopeng yang tinggi besar itu, iapun agak cemas juga. Ia tahu, bahwa orang bertopeng itu tentu memiliki kesaktian yang tak dapat dipandang ringan. Maka sengaja ia melibatkan diri dalam pertempuran agar cepat dapat mengakhiri.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment