Pada malam harinya, setelah Yoga Kumala selesai berlatih ilmu pemusatan tenaga dalam, Cahayabuana memberikan petunjuk2 dengan suara yang tenang sambil duduk bersila.
“Dahulu sewaktu kangmasmu Gusti Indra Sambada meninggalkan pondok kita ini, ia meninggalkan pesan padaku, supaya kau berhasil mewarisi kapandaianku dalam waktu tidak lebih dari dua tahun. Walaupun dalam waktu yang singkat itu tentu masih ada kekurangan2 yang belum kau kuasai seluruhnya, akan tetapi Gustiku Indra menaruh kepercayaan, bahwa dengan mewarisi dua pertiga bagian dari kepandaianku saja ditambah ilmumu sendiri telah cukup untuk bekal dalam mengabdi di Kerajaan.
Demikianlah pesan beliau. Hal ini dianggap karena menjelang dua tahun mendatang beliau berkenan mengadakan pemilihan calon2 perwira tamtama baru yang khusus akan ditugaskan ke Kerajaan Tanah Melayu sebagai tamtama bantuan dari Gustiku Sri Baginda Maharaja Hajam Wuruk kepada Sri Baginda Maharaja Adityawarman.
Menurut keterangan Gustiku Senapati Indra bantuan dari Majapahit adalah memenuhi permohonan Kerajaan Tanah Melayu yang bermaksud untuk mengendihkan kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang kini telah suram. Maka berulang-ulang Gustiku Indra berpesan agar kedatanganmu kelak di Kota Raja jangan hendaknya terlambat.
Maka cucuku Yoga! Jangan hendaknya kau membuang-buang kesempatan yang demikian baiknya. Tekunlah berlatih! Demi untuk tercapainya tujuanmu. Pergunakanlah waktu yang singkat dan yang hanya tinggal setahun lagi ini se baik2nya ,serta semanfaat mungkin!”.
“Akan tetapi, Eyang! Cucunda masih ragu akan kemungkinan dapatnya menguasai semua pelajaran dari eyang dalam waktu sesingkat itu. Dan karenanya saya takut… apabila nanti… terpaksa mengalami kegagalan. Bukankah Eyang sendiri sering mengatakan, bahwa kegagalan dalam tahap permulaan sama halnya dengan kegagalan keseluruhan? Maka untuk tampil dalam gelanggang pemilihan calon perwira tamtama yang akan diselenggarakan di Kota Raja setahun mendatang, cucunda merasa tidak mampu?!”. Yoga Kumala mengutarakan isi hatinya dengan se-jujur2nya, dengan kata2 yang terputus-putus serta dengan muka yang tertunduk. Sekilaspun ia tak berani menatap pandang Eyangnya.
“Yoga cucuku sayang!”. Cahayabuana mejawab dengan lemah lembut: Jangan kau mudah berputus asa! Melihat bekal yang telah kau miliki sekarang saja, aku sebagai Eyangmu tidak kecewa dan percaya bahwa dalam waktu setahun mendatang, jika kau selalu tekun berlatih tentu akan dapat menguasai seluruh pelajaran yang kuberikan. Hanya untuk sempurnanya, kau masih harus mencari pengalaman. Dan memang pengalaman itulah yang pada hakekatnya merupakan guru yang tertinggi. Percayalah pada dirimu sendiri! Yaahhh….ketahuilah bahwa kepercayaan pada diri sendiri juga merupakan bekal utama untuk mencapai sesuatu”.
Cahayabuana menghela nafas sejenak dan kemudian melanjutkan lagi bicaranya: “Merendah hati adalah budi luhur akan tetapi…. berkecil hati bukan merupakan sifat ksatrya. Buanglah jauh2 sifat yang demikian. Ketahuilah, bahwa seorang ksatrya harus selalu menunjukkan kesanggupannya, dengan semboyan “pantang menyerah”. Demi untuk menjunjung tinggi martabatnya, demi nama bangsa dan tanah airnya, seorang ksatya akan rela hancur lebur menjadi debu dari pada lari meninggalkan gelanggang sebagai pengkhianat”.
Setelah mendengar petunjuk Eyangnya, rasa hatinya seperti tergugah. Api juangnya menyala kembali. Kata2 Eyangnya seakan merupakan sambaran petir di siang bolong Tidak... tidak! Tak mau ia menjadi pengkhianat. Iapun rela lebur menjadi debu dari pada hidup sebagai pengkhianat. Bukankah mendiang ayahnya juga gugur sebagai pahlawan?. Mulai sejak itu, ia berlatih lebih giat dan tekun lagi serta keinginan untuk ke!ak dapat terpilih menjadi perwira tamtama meluap luap.
Hari demi hari, dan bulan demi bulan telah dilaluinya dengan acara2 yang sama serta menjemukan. Esok pagi-pagi berlatih kanuragan dan malam harinya menerima petunjuk2 ataupun mengungkap kitab kuno. Akan tetapi walaupun demikian, Yoga Kumala tetap mentaati perintah Eyangnya, dan berlatih penuh ketekunan.
Teman untuk ber cakap2 dalam waktu beristirahat adalah Mang Jajang pengasuhnya yang setia. Dari Mang Jajang itulah Yoga Kumala dapat mengetahui banyak tentang kisah kehidupan ayah bundanya yang telah pulang ke alam baka. Sifat2 kesatriaan mendiang ayahnya selalu didongengkan oleh Mang Jajang dengan semangat yang menyala2, seakan ingin ia melukiskan kembali dengan kata bahasanya agar Yoga Kumala dapat pula turut menggambarkannya dengan angan2 yang jelas.
“Wajah mendiang juragan pamegeut mirip sekali dengan Aden Yoga Kumala sekarang”.
Dan apabila ceritanya sampai disini, air mata Mang Jajang deras mengalir membasahi pipinya yang telah berkeriput. Tak terasa, Yoga Kumalapun ikut pula bersedih hati. Air matanya ber linang2 meleleh dikedua pipinya.
Kadang sebagai pelipur duka, ia mengikuti Eyangnya Cahayabuana dimalam hari menjelajali desa2 di lereng pegunungan untuk menolong rakyat tani yang miskin atau mengobati orang2 desa yang jauh terpencil yang sedang menderita sakit. Tak jarang pula Yoga Kumala turut serta memberantas penjahat2 yang mengganggu ketentraman di desa2 yang jauh terpencil dari penjagaan petugas narapraja.
Sang waktu berjalan terus, tanpa mengenal langkah surut, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Dan kini telah lewat satu setengah tahun lamanya ia tinggal dipertapaan Eyangnya dilereng puncak Gunung Tangkubanperahu. Selama itu pula ia digembleng baik jasmani maupun rohani. Ternyata Yoga Kumala sebagai ksatrya keturunan darah pahlawan Pajajaran dengan bakat2nya, telah dapat mencapai kemajuan pesat, sesuai dengan kehendak Eyangnya, pertapa shakti Ajengan Cahayabuana.
Sejak Indah Kumala Wardhani meninggalkannya, rasanya ia tak betah tinggal lebih lama lagi ditempat yang sunyi ini. Ingin ia sekali waktu minta ijin kepada Eyangnya untuk menjenguk adiknya sebentar di lndramayu, akan tetapi tak berani ia mengutarakan keinginannya. Keinginannya tetap hanya menjadi keinginan belaka. Ia tahu, bahwa permintaannya tak mungkin dikabulkan, selama ia dianggap oleh Eyangnya belum lulus dari penempaan dalam ilmu krida kanuragan dan ilmu krida yudha. Terdorong rasa ingin cepat turun gunung, maka semua pelajaran yang diterimanya disambut dengan penuh perhatian serta ketekunan. Ia berlatih tanpa mengenal lelah.
Kiranya semua ini tak Iepas pula dari perhatian pertapa shakti Cahayabuana, Eyangnya. Akan tetapi sebagai pengasuh yang telah mendekati titik kesempurnaan, Cahayabuana seakan tidak memperdulikan akan isi hati cucunya.
“Dahulu sewaktu kangmasmu Gusti Indra Sambada meninggalkan pondok kita ini, ia meninggalkan pesan padaku, supaya kau berhasil mewarisi kapandaianku dalam waktu tidak lebih dari dua tahun. Walaupun dalam waktu yang singkat itu tentu masih ada kekurangan2 yang belum kau kuasai seluruhnya, akan tetapi Gustiku Indra menaruh kepercayaan, bahwa dengan mewarisi dua pertiga bagian dari kepandaianku saja ditambah ilmumu sendiri telah cukup untuk bekal dalam mengabdi di Kerajaan.
Demikianlah pesan beliau. Hal ini dianggap karena menjelang dua tahun mendatang beliau berkenan mengadakan pemilihan calon2 perwira tamtama baru yang khusus akan ditugaskan ke Kerajaan Tanah Melayu sebagai tamtama bantuan dari Gustiku Sri Baginda Maharaja Hajam Wuruk kepada Sri Baginda Maharaja Adityawarman.
Menurut keterangan Gustiku Senapati Indra bantuan dari Majapahit adalah memenuhi permohonan Kerajaan Tanah Melayu yang bermaksud untuk mengendihkan kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang kini telah suram. Maka berulang-ulang Gustiku Indra berpesan agar kedatanganmu kelak di Kota Raja jangan hendaknya terlambat.
Maka cucuku Yoga! Jangan hendaknya kau membuang-buang kesempatan yang demikian baiknya. Tekunlah berlatih! Demi untuk tercapainya tujuanmu. Pergunakanlah waktu yang singkat dan yang hanya tinggal setahun lagi ini se baik2nya ,serta semanfaat mungkin!”.
“Akan tetapi, Eyang! Cucunda masih ragu akan kemungkinan dapatnya menguasai semua pelajaran dari eyang dalam waktu sesingkat itu. Dan karenanya saya takut… apabila nanti… terpaksa mengalami kegagalan. Bukankah Eyang sendiri sering mengatakan, bahwa kegagalan dalam tahap permulaan sama halnya dengan kegagalan keseluruhan? Maka untuk tampil dalam gelanggang pemilihan calon perwira tamtama yang akan diselenggarakan di Kota Raja setahun mendatang, cucunda merasa tidak mampu?!”. Yoga Kumala mengutarakan isi hatinya dengan se-jujur2nya, dengan kata2 yang terputus-putus serta dengan muka yang tertunduk. Sekilaspun ia tak berani menatap pandang Eyangnya.
“Yoga cucuku sayang!”. Cahayabuana mejawab dengan lemah lembut: Jangan kau mudah berputus asa! Melihat bekal yang telah kau miliki sekarang saja, aku sebagai Eyangmu tidak kecewa dan percaya bahwa dalam waktu setahun mendatang, jika kau selalu tekun berlatih tentu akan dapat menguasai seluruh pelajaran yang kuberikan. Hanya untuk sempurnanya, kau masih harus mencari pengalaman. Dan memang pengalaman itulah yang pada hakekatnya merupakan guru yang tertinggi. Percayalah pada dirimu sendiri! Yaahhh….ketahuilah bahwa kepercayaan pada diri sendiri juga merupakan bekal utama untuk mencapai sesuatu”.
Cahayabuana menghela nafas sejenak dan kemudian melanjutkan lagi bicaranya: “Merendah hati adalah budi luhur akan tetapi…. berkecil hati bukan merupakan sifat ksatrya. Buanglah jauh2 sifat yang demikian. Ketahuilah, bahwa seorang ksatrya harus selalu menunjukkan kesanggupannya, dengan semboyan “pantang menyerah”. Demi untuk menjunjung tinggi martabatnya, demi nama bangsa dan tanah airnya, seorang ksatya akan rela hancur lebur menjadi debu dari pada lari meninggalkan gelanggang sebagai pengkhianat”.
Setelah mendengar petunjuk Eyangnya, rasa hatinya seperti tergugah. Api juangnya menyala kembali. Kata2 Eyangnya seakan merupakan sambaran petir di siang bolong Tidak... tidak! Tak mau ia menjadi pengkhianat. Iapun rela lebur menjadi debu dari pada hidup sebagai pengkhianat. Bukankah mendiang ayahnya juga gugur sebagai pahlawan?. Mulai sejak itu, ia berlatih lebih giat dan tekun lagi serta keinginan untuk ke!ak dapat terpilih menjadi perwira tamtama meluap luap.
Hari demi hari, dan bulan demi bulan telah dilaluinya dengan acara2 yang sama serta menjemukan. Esok pagi-pagi berlatih kanuragan dan malam harinya menerima petunjuk2 ataupun mengungkap kitab kuno. Akan tetapi walaupun demikian, Yoga Kumala tetap mentaati perintah Eyangnya, dan berlatih penuh ketekunan.
Teman untuk ber cakap2 dalam waktu beristirahat adalah Mang Jajang pengasuhnya yang setia. Dari Mang Jajang itulah Yoga Kumala dapat mengetahui banyak tentang kisah kehidupan ayah bundanya yang telah pulang ke alam baka. Sifat2 kesatriaan mendiang ayahnya selalu didongengkan oleh Mang Jajang dengan semangat yang menyala2, seakan ingin ia melukiskan kembali dengan kata bahasanya agar Yoga Kumala dapat pula turut menggambarkannya dengan angan2 yang jelas.
“Wajah mendiang juragan pamegeut mirip sekali dengan Aden Yoga Kumala sekarang”.
Dan apabila ceritanya sampai disini, air mata Mang Jajang deras mengalir membasahi pipinya yang telah berkeriput. Tak terasa, Yoga Kumalapun ikut pula bersedih hati. Air matanya ber linang2 meleleh dikedua pipinya.
Kadang sebagai pelipur duka, ia mengikuti Eyangnya Cahayabuana dimalam hari menjelajali desa2 di lereng pegunungan untuk menolong rakyat tani yang miskin atau mengobati orang2 desa yang jauh terpencil yang sedang menderita sakit. Tak jarang pula Yoga Kumala turut serta memberantas penjahat2 yang mengganggu ketentraman di desa2 yang jauh terpencil dari penjagaan petugas narapraja.
Sang waktu berjalan terus, tanpa mengenal langkah surut, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Dan kini telah lewat satu setengah tahun lamanya ia tinggal dipertapaan Eyangnya dilereng puncak Gunung Tangkubanperahu. Selama itu pula ia digembleng baik jasmani maupun rohani. Ternyata Yoga Kumala sebagai ksatrya keturunan darah pahlawan Pajajaran dengan bakat2nya, telah dapat mencapai kemajuan pesat, sesuai dengan kehendak Eyangnya, pertapa shakti Ajengan Cahayabuana.
Sejak Indah Kumala Wardhani meninggalkannya, rasanya ia tak betah tinggal lebih lama lagi ditempat yang sunyi ini. Ingin ia sekali waktu minta ijin kepada Eyangnya untuk menjenguk adiknya sebentar di lndramayu, akan tetapi tak berani ia mengutarakan keinginannya. Keinginannya tetap hanya menjadi keinginan belaka. Ia tahu, bahwa permintaannya tak mungkin dikabulkan, selama ia dianggap oleh Eyangnya belum lulus dari penempaan dalam ilmu krida kanuragan dan ilmu krida yudha. Terdorong rasa ingin cepat turun gunung, maka semua pelajaran yang diterimanya disambut dengan penuh perhatian serta ketekunan. Ia berlatih tanpa mengenal lelah.
Kiranya semua ini tak Iepas pula dari perhatian pertapa shakti Cahayabuana, Eyangnya. Akan tetapi sebagai pengasuh yang telah mendekati titik kesempurnaan, Cahayabuana seakan tidak memperdulikan akan isi hati cucunya.
Dalam hati ia selalu bersyukur pada Dewata Hyang Maha Agung, bahwa ia telah dikaruniai cucu seorang putra yang ternyata perkasa dan berwatak ksatrya. Ia bersyukur pula, bahwa kini cucunya Yoga Kumala telah mewarisi ilmunya krida kanuragan yang dapat dibanggakan. Kini ia bermasud melepas cucunya dari tempat pertapaan, karena dianggapnya telah cukup memiliki bekal untuk mengabdi di Kerajaan Majapahit.
Dikala itu, malam bulan purnama. Langit biru membentang luas dan bintang2 gemerlapan menaburi ruang angkasa. Cahaya sang bulan memancarkan sinar keemasannya dan alam semesta menjadi terang remang-remang karenanya. Namun suasana sekitar lereng puncak Gunung Tangkubanperahu tetap sunyi, sepi seperti biasanya pada tiap2 malam hari. Hanya suara jengkerik ilalanglah yang selalu terdengar nyaring, merupakan irama malam yang tetap. Kadang2 diselingi pula dengan suara auman binatang buas ataupun suara anggukkan burung hantu. Akan tetapi suara selingan itu segera lenyap tertelan kesunyian malam yang kelam.
Waktupun telah lewat tengah malam, akan tetapi Cahayabuana dengan Yoga Kumala masih asyik bercakap-cakap pelan sambil duduk bersila didepan batu nisan tempat makam mendiang Nyi Ayu Darma Kusumah, sedangkan si kumbang dengan setianya mendekam tertunduk di sebelah Cahayabuana. Hawa pegunungan yang dingin itu kiranya tidak mengganggu ketenangan mereka, bahkan dihirupnya dalam2 untuk menambah segarnya badan.
Jika pada waktu malam biasanya mereka duduk diruang semadhi dalam gua, sambil mengungkap kitab kuno, maka malam ini berlainan dengan malam biasanya. Mulai sejak sang bulan tadi bertahta disinggasananya, mereka berdua duduk diatas rumput tanpa alas Iain sambil asyik bercakap2 pelan. Kiranya Cahayabuana ingin sekali lagi mengulang kata-kata petuahnya pada cucunya Yoga Kumala. Seakan-akan ingin ia menyematkan semua petuahnya kelubuk hati cucunya pada malam itu.
“Pesanku… Yoga... jagalah adikmu Indah Kumala Wardhani dan dirimu sendiri baik2. Walaupun kelak pada suatu saat kau berdua terpaksa harus berpisah dan berjauhan namun aku mengharap ikatan rasa sebagai saudara sekandung hendaknya jangan sampai putus. Ingatlah bahwa hanya kau berdua yang menjadi penyambung obor para leluhurrnu dan hendaknya dapat merupakan obor penerang pula bagi mereka yang sedang terperosok dalam kegelapan” Suara itu terputus sejenak, dan suasana menjadi sunyi sepi kembali.
Dengan muka tertunduk, tiba2 Yoga Kumala menyahut pelan memecah kesunyian. “Eyang! Cucunda ingin berbakti pada ayah bunda dan Eyang serta pada para leluhur. Hendaknya batu nisan makam Ibunda ini menjadi saksi akan kata2 cucunda. Hasrat cucunda tidak ada lain kecuali mengabdi pada kebaikan.”
“Aku percaya akan ucapan kata2mu, Yoga! Semoga Dewata Hyang Maha Agung mengabulkan cita2mu yang mulai. Sekali lagi pesanku, bersikaplah selalu rendah hati!. Sesuaikan dirimu, dimanapun kau berada. Dalam kitab kuno Niti Sastra yang telah kau pelajari terdapat sebait wejangan ilmu shakti dari seorang pendeta Budha Sakyakirti kepada salah seorang muridnya tertulis dalam halaman 678 yang berbunyi demikian :
Menjelma asap sewaktu campur awan
Menjadi setetes air dikala hujan
Dapat menghilang digelapan
Dan menjadi debu dikancah laga
Kejarlah aji shakti demikian
Sebagai bekal untuk mencapai tujuan
Arti maksud daripada wejangan itu, ialah tak lain dari pada suatu petuah, agar muridnya selalu dapat menyesuaikan diri dimanapun ia berada. Maka buanglah jauh2 sifat tinggi hati ataupun congkak. Janganlah sekali2 menghina ataupun memandang rendah orang lain. Orang2 shakti yang berada diatas tingkatanmu masih banyak sekali. Kesaktian tanpa landasan kebenaran, pasti akan mengalami kehancuran. Ingatlah, bahwa tujuanmu yang utama adalah “mengabdi"… dalam arti kata yang luas! Yaaahh... mengabdi pada Kerajaan Agung Majapahit, mengabdi pada bangsa dan tanah air, mengabdi pada kebenaran dan keadilan, mengabdi pada Dewata Hyang Maha Agung.
Ilmu, pangkat dan kekuasaan hanyalah alat belaka untuk mewujudkan suatu pengabdian. Kelak kau akan tahu sendiri, dimana letak puncak kesaktian yang sesungguhnya, Carilah dan kau tentu akan menemukan. Nah… cucuku Yoga ! Kiranya ilmu yang kau warisi dariku telah cukup, untuk sekedar penambah bekal, dalam mencapai titik tujuan. Siang malam aku akan selalu berdoa dalam semadhiku, agar Dewata Hyang Maha Agung selalu melindungi dirimu.
Disamping ilmu yang telah kau miliki, setia dan tekun merupakan dua pokok bekal utama pula. Dalam kata setia terkandung arti: taat, patuh, serta bertanggung jawab akan semua kewajiban, sedangkan tekun ialah rajin tak mengenal lelah ataupun jemu. Sebagai contoh, Walaupun hanya selangkah demi selangkah, akan tetapi dengan setia dan ketekunan, kau dapat mendaki puncak gunung setinggi Mahameru. Sebaliknya, walaupun kau bersayap akan tetapi tak memiliki ketetapan hati tidak mungkin dapat terbang mencapai titik tujuan.
Camkanah baik2, pesanku yang sederhana ini. Karena orang yang masih semuda kau, akan banyak menjumpai godaan. Jangan hendaknya kau mengalami kegagalan ditengah jalan, hanya karena tergelincir oleh rintangan yang tak berarti”.
Sampai disini Cahayabuana berhenti bicara, dan suasanapun menjadi hening kembali. Keduanya menghela nafas panjang, seakan sedang mengenangkan sesuatu. Si Kumbangpun mendekam tak bergerak. Hanya matanya yang berkedip2 berkilat terang seperti nyala pelita. Seakan iapun turut pula mendengarkan wejangan majikannya. Sambil batuk2 kecil, Cahayabuana melanjutkan bicaranya dalam nada penuh ketenangan.
“Cucuku, Yoga Kumala !! Yaaahh… walaupun telah berulang kali aku katakan padamu, akan tetapi kiranya tak ada jeleknya apabila dimalam perpisahan ini aku peringatkan sekali lagi. Kenanglah sepanjang masa hidupmu akan jasa2 semua orang yang telah melimpahkan budi kasihnya kepadamu, seperti Gusti Wirahadinata sekeluarga. Gusti Junjunganku Senapati Indra Sambada, Ki Dadung Ngawuk dan lain2nya. Hutang harta mudah dibayar dengan benda pula. Akan tetapi berhutang budi harus dibalas dengan bhakti. Dan bukan dinamakan bhakti apabila tidak rela berkorban untuknya, sewaktu diperlukan !!”.
“Semua petuah Eyang akan saya rekam untuk saya jadikan haluan hidup cucunda, Eyang !!!”.
Baru saja Yoga Kumala selesai mengucapkan kata akhir kalimatnya, tiba2 terdengar suara tawa yang bergelak gelak yang semakin jelas.
“Haaaa haaaaaa… haaaa..!!”.
Si kumbang cepat bangkit berdiri dengan sepasang daun telinganya bergerak gerak, mencari arah datangnya suara. Ia mengerang tertahan, sambil memperlihatkan taring2nya yang runcing berkilat. Namun cepat tangan kanan Cahayabuana menepuk pelan punggung si kumbang, sebagai isyarat agar ia duduk mendekam kembali dengan tenang.
Yoga Kumala terperanjat seketika dan hampir2 ia bangkit hendak menyambut suara tawa yang bergelak gelak nyaring itu, Akan tetapi secepat itu pula ia dapat menguasai ketenangannya kembali, demi disadarinya, bahwa ia sedang menghadap Eyangnya. Ia tertunduk dengan muka yang merah padam, diliputi rasa gelisah. Sebelum gema suara tawa itu hilang tertelan kesepian malam, tiba2 Cahayabuana membalasnya dengan suara yang menggema pula.
“Haaaiii... Dadung Ngawuk !!!. Kedatanganmu tepat pada waktunya !!!”,
Walaupun kata2 itu diucapkan dengan pelan sambil duduk bersila akan tetapi suaranya menggema mengalun jauh dan memantul kembali dalam nada yang lebih jelas terdengar. Gelombang getaran gema suaranya memenuhi alam sekitarnya, hingga suara jangkerik, ilalang dan lain2nya terdesak lenyap. ltulah seruan pertapa shakti Cahayabuana yang diiringi dengan aji shaktinya “Panggendaman Rajawana".
“Haaa… haaaahhhaaaaa ! Kedatanganku tak bermaksud mengganggu pertemuan kakek dan cucu! Tapi sekedar menjenguk muridku si anak gila yang baik”.
Suara itu kini semakin terdengar jelas dan seakan-akan diucapkan orang yang telah berada dihadapannya. Akan tetapi ternyata bayangannyapun belum nampak. Jelas bahwa kakek Dadung Ngawuk menggunakan pula tenaga dalam untuk mengantar suara dari kejauhan.
“Silahkan! Silahkan!! Kedatanganmu kusambut dengan hati terbuka!” Jawab Ajengan Cahayabuana.
Bajangan berkelebat dating dan bersamaan dengan lenyapnya gema suara Cahayabuana, seorang kakek2 gundul setengah telanjang dengan hanya memakai cawat dari kulit ular sanca serta menggenggam cambuk terbuat dari kulit ular sanca pula ditangan kanannya, telah berdiri dihadapan Cahayabuana sambil tertawa tarkeceh-kekeh.
“Heehhh… Heeehhh… heehhh ! Tidak kuduga bahwa pertapa tua masih hidup dan tetap segar seperti dahulu waktu lewat sepuluh tahun yang lalu!”.
Tanpa menunggu perintah Eyangnya, Yoga Kumala segera bangkit dan sujud pada gurunya yang baru saja tiba.
“Kakek Dadung Ngawuk!!! Ampunilah muridmu yang tak berbakti ini. Sekali-kali aku tak bermaksud mangabaikan pesan guru, akan tetapi kesempatan untuk mnemenuhi janjiku memang belum tiba. Sekali lagi… ampunilah kesalahanku ini… kakek Dadung Ngawuk guruku!”.
Sesungguhnya memang Yoga Kumala selalu ingat akan pesan gurunya kakek Dadung Ngawuk, sewaktu ia dahulu meninggalkan hutan Blora. Dan oleh karena itulah ia cepat2 mengutarakan isi hatinya, karena kuatir mendapat teguran dari gurunya, sebelum ia mendapat kesempatan untuk memenuhi pesan gurunya. Telah lama terkandung dalam hatinya, akan tetapi apa daya kesempatan itu belum juga kunjung datang.
“Heeehh… heeeehhh !!. Anak gila yang baik! Tak ada yang harus kumaafkan… Akupun telah tahu semua, Dan bahkan tak pantas apabila kau cengeng. Bukankah kau cucu pertapa tua shakti??? Haaa… haaa… Sudahlah! Sudahlah! Datangku kemari hanya ingin membuktikan akan kebenaran kataku dahulu, dan pula kau harus mengaku kalah bertaruh denganku!”. Berkata demikian, Kakek Dadung Ngawuk segera turut serta duduk sila diatas rumput sambil memegangi bahu Yoga Kumala dan menepuk-nepuknya.
Sementara itu, Yoga Kumala diam ternganga, penuh pertanyaan. Darimana gurunya tahu akan kejadian2 yang telah dialaminya? Cara bagaimana gurunya tahu bahwa ia kini berada ditempat pertapaan Eyangnya? Sedang ia meraba2 mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri, Cahayabuana telah memulai membuka percakapan.
“Kiranya sahabatku Kaki Dadung Ngawuk masih juga tetap segar bugar, dan watak2 aslinya tidak juga berubah!”. Katanya sambil tersenyum. “Dan bahagialah anda berkunjung dipondokku yang terpencil ini!”.
“Haaa haaa haaa...! Pertapa tua yang selalu pantas menjadi tauladan. Jauh berlainan dengan diriku yang gila. Yaaah… memang aku benar2 gila… Terima kasih… terima kasih… atas teguranmu itu, orang tua! Haaa… haaa… haaa…!”.
Dengan muka tertunduk diam dan hati yang girang, Yoga Kumala mengikuti percakapan dua orang shakti yang tengah berlangsung itu. Keduanya adalah gurunya sejati. Ia girang bercampur rasa kagum dan bangga. Girang karena akhirnya dua orang shakti itu bertemu dalam suasana akrab, dan bangga karena keduanya memiliki ilmu yang tinggi serta saling mengagumi.
“Sayang kau pertapa tua terlalu kikir akan Ilmumu. Mudah2an saja menghadapi cucunya sendiri kau menjadi pemurah !”.
Mendengar kata2 cemoohan dari Ki Dadung Ngawuk, Cahayabuana sedikitpun tidak menjadi marah, akan tetapi bahkan turut tertawa terbahak2 pula. Ia tahu akan sifat sifat Dadung Ngawuk yang sinting dan angin2an, dan iapun tahu bahwa kata2nya itu semua sama sekali ticlak mengandung maksud jahat. Tanpa mengindahkan ucapan cemoohannya Cahayabuana berkata sambil tersenyum lebar.
“Heeeh... Heeehhh… akulah yang seharusnya berterima kasih padamu, Ki Dadung Ngawuk! Tanpa bimbinganmu cucuku Yoga Kumala tidak akan sepandai sekarang! Orang tua seperti aku ini tentunya tidak mungkin dapat membalas atas budi kebaikanmu yang tak ternilai itu. Maka terserahlah dan semoga Dewata Hyang Maha Agung dapat membalasnya!”.
“Orang tua baik!. Ternyata kau bukan hanya pandai dalam ihnu kanuragan, tetapi juga pandai bersilat lidah dan menyanjung orang. Haaa… haaaa… haaa… Hampir2 aku jatuh terlentang karena terlalu tinggi kau sanjung-sanjung! Haaa… haaa haaa, Bukankah dahulu dengan ilmu kebanggaanku aku pernah bertekuk lutut padamu? Haaa… haaa… haaa!. Sampai2 aku berani lancang tangan mengangkat cucumu sebagai muridku, adalah karena semula aku tak tahu bahwa anak gila itu sesungguhnya cucumu adanya. Akan tetapi kini, ternyata aku menang taruhan dengan cucumu itu. Haaa…. haaahaaa… bukankah benar akan dugaanku dahulu bahwa nama Sujud adalah nama palsu! Haaa…. Bawa… Bawa… haaa...! Nach, sekarang akan aku jitak kepalamu Yoga!”.
Dan benar2 apa yang dikatakan, ia telah menjitak kepala Yoga Kumala dengan tiba2, sehingga terperanjat sesaat.
“Nach!” katanya kemudian,”Lunas sekarang! Kekalahan taruhanmu telah kau bayar dan akupun tidak penasaran lagi. Haaa… haaa... haaa…”
Akhirnya ketiganya menjadi ketawa atas kejadian itu. Kini suasana nampak lebih gembira dan lebih akrab lagi. Kiranya sifat2 sintingnya Dadung Ngawuk menambah meriahnya suasana pada malam yang sunyi itu.
Percakapan berlangsung terus dengan sebentar-bentar diselingi suara tawa terbahak2. Tanpa diperintah Eyangnya, Yoga Kumala telah pergi kedapur dan membantu Mang Jajang yang sibuk menyiapkan teh hangat dan makanan kecil sederhana untuk menjamu gurunya Ki Dadung Ngawuk.
Ternyata suara tawa yang ber-gelak2 tadi cukup membuat terkejut Mang Jajang yang sedang tidur nyenyak, sehingga ia tersentak bangun. Dengan panjang lebar penuh kelucuan Dadung Ngawuk menceritakan, bahwa sewaktu ia mencari muridnya di Indramayu menemui Wirahadinata, mendapatkan petunjuk2 yang sangat jelas. Dengan demikian maka ia kemudian langsung menuju ke lereng Tangkubanperahu.
Juga sewaktu ia berada di Indramayu telah pula berkenalan dengan adik muridnya Indah Kumala Wardhani yang nakal. Iapun membawa juga pesan dari Bupati Wirahadinata untuk disampaikan pada Cahayabuana. Isi pesannya ialah, agar Yoga Kumala dalam waktu dekat ini dapat berkunjung ke Indramayu, untuk kemudian akan diantarkan sendiri oleh Wirahadinata ke Kota Raja bersama-sama dengan adiknya Indah Kumala Wardhani.
Cahayabuana setelah menerima pesan yang dibawa Ki Dadung Ngawuk dari Bupati Wirahadinata, segera memberikan penjelasan kepada Ki Dadung Ngawuk bahwia Yoga Kumala memang pada besok paginya akan turun gunung menuju ke Kota Raja dengan singgah sebentar untuk sementara hari di Indramayu, tempat kediaman orang tua angkatnya.
“Untung bagiku, bahwa kedatanganmu tidak terlambat”. kata Cahayabuana.
“Haaa… haaa… haaa... Akulah yang beruntung!” Sahut Ki Dadung Ngawuk, “Tidak kecewa aku dari jauh2 datang kemari !”.
Sambil menikmati hidangan2 yang masih hangat kedua orang shakti melanjutkan percakapan. Sementara itu Yoga Kumalapun turut serta duduk bersila mendengarkan percakapan mereka.
“Yoga gila, muridku!”. kata Dadung Ngawuk kemudian, sambil menatap pandang padanya. “Jika kelak kau telah diangkat menjadi priyagung di Kerajaan, jangan hendaknya kau lupa padaku. Berusahalah untuk menjenguk diriku, waktu satu setengah tahun mendatang. Untukmu kuberikan kitab kuno usadha sastra yang mungkin berguna bagimu. Ambilah sendiri kitab kuno itu. Kitab kutanam didekat pohon semboja merah dekat sendang ditengah hutan. Tak usah kuatir, kitab itu kusimpan rapih dalam peti yang tak mungkin rusak. Ingatlah? satu setengah tahun lagi, menjelang bulan purnama pada malam pertama!”.
“Budi kasih kakek Guru kepadaku terlampau banyak” Jawab Yoga Kumala sambil bersujud: “Dengan cara bagaimana aku dapat membalasmu, Kakek Dadung Ngawuk?!”.
“Haaaa… haaaa… haaaa… benar2 kau serupa dengan kakekmu si pertapa tua... Ketahuilah, bahwa aku sama sekali tidak mengharapkan balasan darimu. Cukup jika kau kelak dapat menjadi kebanggaan orang hanyak, seperti kakekmu itu, Akupun akan turut merasa hangga pula. Nach! Kiraku ajaran2 dari kakekrnu pertapa tua cukup padat dengan hal-hal yang baik, dan tidak perlu aku menambah lagi. Ketahuilah, bahwa dihadapan kakekmu, aku pernah menyerah kalah dan bertekuk lutut maka akupun percaya penuh padanya!”.
Berkata demikian Dadung Ngawuk lalu bangkit berdiri sambil berpamit untuk kembali ke hutan Blora tempat tinggalnya. Ajakan Ajengan Cahayabuana agar ia mau singgah lebih lama lagi dipertapaan, sama sekali tak dihiraukannya. Ia telah melesat hilang ditelan kegelapan malam yang pekat sambil meninggalkan suara tawanya yang menggema dipantulkan lereng gunung Tangkubanperahu :
“ha ha ha… Lain waktu kita sambung lagi!”.
Cahayabuana hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil berkata pada diri sendiri: “Orang aneh, orang aneh, tetapi berwatak ksatrya”.
Waktu itu telah larut malam. Bintang2pun mulai nampak pudar cahayanya. Daun2 basah berlapiskan embun pagi. Pada hari itu, pagi2 buta ayam Yoga Kumala dengan diantar Eyangnya, Mang Jajang dan si kumbang sampai dikaki Gunung Tangkubanperahu meninggalkan tempat pertapaan Eyangnya Ajengan Cahayabuana serta tempat makam lbunya untuk menuju ke lndramayu, seorang diri. Sambil berkali-kali menoleh kebelakang dengan melambai-lambaikan tangannya, Yoga Kumala berjalan semakin jauh untuk kemudian hilang dikelokan jalan padesan.
Dikala itu, malam bulan purnama. Langit biru membentang luas dan bintang2 gemerlapan menaburi ruang angkasa. Cahaya sang bulan memancarkan sinar keemasannya dan alam semesta menjadi terang remang-remang karenanya. Namun suasana sekitar lereng puncak Gunung Tangkubanperahu tetap sunyi, sepi seperti biasanya pada tiap2 malam hari. Hanya suara jengkerik ilalanglah yang selalu terdengar nyaring, merupakan irama malam yang tetap. Kadang2 diselingi pula dengan suara auman binatang buas ataupun suara anggukkan burung hantu. Akan tetapi suara selingan itu segera lenyap tertelan kesunyian malam yang kelam.
Waktupun telah lewat tengah malam, akan tetapi Cahayabuana dengan Yoga Kumala masih asyik bercakap-cakap pelan sambil duduk bersila didepan batu nisan tempat makam mendiang Nyi Ayu Darma Kusumah, sedangkan si kumbang dengan setianya mendekam tertunduk di sebelah Cahayabuana. Hawa pegunungan yang dingin itu kiranya tidak mengganggu ketenangan mereka, bahkan dihirupnya dalam2 untuk menambah segarnya badan.
Jika pada waktu malam biasanya mereka duduk diruang semadhi dalam gua, sambil mengungkap kitab kuno, maka malam ini berlainan dengan malam biasanya. Mulai sejak sang bulan tadi bertahta disinggasananya, mereka berdua duduk diatas rumput tanpa alas Iain sambil asyik bercakap2 pelan. Kiranya Cahayabuana ingin sekali lagi mengulang kata-kata petuahnya pada cucunya Yoga Kumala. Seakan-akan ingin ia menyematkan semua petuahnya kelubuk hati cucunya pada malam itu.
“Pesanku… Yoga... jagalah adikmu Indah Kumala Wardhani dan dirimu sendiri baik2. Walaupun kelak pada suatu saat kau berdua terpaksa harus berpisah dan berjauhan namun aku mengharap ikatan rasa sebagai saudara sekandung hendaknya jangan sampai putus. Ingatlah bahwa hanya kau berdua yang menjadi penyambung obor para leluhurrnu dan hendaknya dapat merupakan obor penerang pula bagi mereka yang sedang terperosok dalam kegelapan” Suara itu terputus sejenak, dan suasana menjadi sunyi sepi kembali.
Dengan muka tertunduk, tiba2 Yoga Kumala menyahut pelan memecah kesunyian. “Eyang! Cucunda ingin berbakti pada ayah bunda dan Eyang serta pada para leluhur. Hendaknya batu nisan makam Ibunda ini menjadi saksi akan kata2 cucunda. Hasrat cucunda tidak ada lain kecuali mengabdi pada kebaikan.”
“Aku percaya akan ucapan kata2mu, Yoga! Semoga Dewata Hyang Maha Agung mengabulkan cita2mu yang mulai. Sekali lagi pesanku, bersikaplah selalu rendah hati!. Sesuaikan dirimu, dimanapun kau berada. Dalam kitab kuno Niti Sastra yang telah kau pelajari terdapat sebait wejangan ilmu shakti dari seorang pendeta Budha Sakyakirti kepada salah seorang muridnya tertulis dalam halaman 678 yang berbunyi demikian :
Menjelma asap sewaktu campur awan
Menjadi setetes air dikala hujan
Dapat menghilang digelapan
Dan menjadi debu dikancah laga
Kejarlah aji shakti demikian
Sebagai bekal untuk mencapai tujuan
Arti maksud daripada wejangan itu, ialah tak lain dari pada suatu petuah, agar muridnya selalu dapat menyesuaikan diri dimanapun ia berada. Maka buanglah jauh2 sifat tinggi hati ataupun congkak. Janganlah sekali2 menghina ataupun memandang rendah orang lain. Orang2 shakti yang berada diatas tingkatanmu masih banyak sekali. Kesaktian tanpa landasan kebenaran, pasti akan mengalami kehancuran. Ingatlah, bahwa tujuanmu yang utama adalah “mengabdi"… dalam arti kata yang luas! Yaaahh... mengabdi pada Kerajaan Agung Majapahit, mengabdi pada bangsa dan tanah air, mengabdi pada kebenaran dan keadilan, mengabdi pada Dewata Hyang Maha Agung.
Ilmu, pangkat dan kekuasaan hanyalah alat belaka untuk mewujudkan suatu pengabdian. Kelak kau akan tahu sendiri, dimana letak puncak kesaktian yang sesungguhnya, Carilah dan kau tentu akan menemukan. Nah… cucuku Yoga ! Kiranya ilmu yang kau warisi dariku telah cukup, untuk sekedar penambah bekal, dalam mencapai titik tujuan. Siang malam aku akan selalu berdoa dalam semadhiku, agar Dewata Hyang Maha Agung selalu melindungi dirimu.
Disamping ilmu yang telah kau miliki, setia dan tekun merupakan dua pokok bekal utama pula. Dalam kata setia terkandung arti: taat, patuh, serta bertanggung jawab akan semua kewajiban, sedangkan tekun ialah rajin tak mengenal lelah ataupun jemu. Sebagai contoh, Walaupun hanya selangkah demi selangkah, akan tetapi dengan setia dan ketekunan, kau dapat mendaki puncak gunung setinggi Mahameru. Sebaliknya, walaupun kau bersayap akan tetapi tak memiliki ketetapan hati tidak mungkin dapat terbang mencapai titik tujuan.
Camkanah baik2, pesanku yang sederhana ini. Karena orang yang masih semuda kau, akan banyak menjumpai godaan. Jangan hendaknya kau mengalami kegagalan ditengah jalan, hanya karena tergelincir oleh rintangan yang tak berarti”.
Sampai disini Cahayabuana berhenti bicara, dan suasanapun menjadi hening kembali. Keduanya menghela nafas panjang, seakan sedang mengenangkan sesuatu. Si Kumbangpun mendekam tak bergerak. Hanya matanya yang berkedip2 berkilat terang seperti nyala pelita. Seakan iapun turut pula mendengarkan wejangan majikannya. Sambil batuk2 kecil, Cahayabuana melanjutkan bicaranya dalam nada penuh ketenangan.
“Cucuku, Yoga Kumala !! Yaaahh… walaupun telah berulang kali aku katakan padamu, akan tetapi kiranya tak ada jeleknya apabila dimalam perpisahan ini aku peringatkan sekali lagi. Kenanglah sepanjang masa hidupmu akan jasa2 semua orang yang telah melimpahkan budi kasihnya kepadamu, seperti Gusti Wirahadinata sekeluarga. Gusti Junjunganku Senapati Indra Sambada, Ki Dadung Ngawuk dan lain2nya. Hutang harta mudah dibayar dengan benda pula. Akan tetapi berhutang budi harus dibalas dengan bhakti. Dan bukan dinamakan bhakti apabila tidak rela berkorban untuknya, sewaktu diperlukan !!”.
“Semua petuah Eyang akan saya rekam untuk saya jadikan haluan hidup cucunda, Eyang !!!”.
Baru saja Yoga Kumala selesai mengucapkan kata akhir kalimatnya, tiba2 terdengar suara tawa yang bergelak gelak yang semakin jelas.
“Haaaa haaaaaa… haaaa..!!”.
Si kumbang cepat bangkit berdiri dengan sepasang daun telinganya bergerak gerak, mencari arah datangnya suara. Ia mengerang tertahan, sambil memperlihatkan taring2nya yang runcing berkilat. Namun cepat tangan kanan Cahayabuana menepuk pelan punggung si kumbang, sebagai isyarat agar ia duduk mendekam kembali dengan tenang.
Yoga Kumala terperanjat seketika dan hampir2 ia bangkit hendak menyambut suara tawa yang bergelak gelak nyaring itu, Akan tetapi secepat itu pula ia dapat menguasai ketenangannya kembali, demi disadarinya, bahwa ia sedang menghadap Eyangnya. Ia tertunduk dengan muka yang merah padam, diliputi rasa gelisah. Sebelum gema suara tawa itu hilang tertelan kesepian malam, tiba2 Cahayabuana membalasnya dengan suara yang menggema pula.
“Haaaiii... Dadung Ngawuk !!!. Kedatanganmu tepat pada waktunya !!!”,
Walaupun kata2 itu diucapkan dengan pelan sambil duduk bersila akan tetapi suaranya menggema mengalun jauh dan memantul kembali dalam nada yang lebih jelas terdengar. Gelombang getaran gema suaranya memenuhi alam sekitarnya, hingga suara jangkerik, ilalang dan lain2nya terdesak lenyap. ltulah seruan pertapa shakti Cahayabuana yang diiringi dengan aji shaktinya “Panggendaman Rajawana".
“Haaa… haaaahhhaaaaa ! Kedatanganku tak bermaksud mengganggu pertemuan kakek dan cucu! Tapi sekedar menjenguk muridku si anak gila yang baik”.
Suara itu kini semakin terdengar jelas dan seakan-akan diucapkan orang yang telah berada dihadapannya. Akan tetapi ternyata bayangannyapun belum nampak. Jelas bahwa kakek Dadung Ngawuk menggunakan pula tenaga dalam untuk mengantar suara dari kejauhan.
“Silahkan! Silahkan!! Kedatanganmu kusambut dengan hati terbuka!” Jawab Ajengan Cahayabuana.
Bajangan berkelebat dating dan bersamaan dengan lenyapnya gema suara Cahayabuana, seorang kakek2 gundul setengah telanjang dengan hanya memakai cawat dari kulit ular sanca serta menggenggam cambuk terbuat dari kulit ular sanca pula ditangan kanannya, telah berdiri dihadapan Cahayabuana sambil tertawa tarkeceh-kekeh.
“Heehhh… Heeehhh… heehhh ! Tidak kuduga bahwa pertapa tua masih hidup dan tetap segar seperti dahulu waktu lewat sepuluh tahun yang lalu!”.
Tanpa menunggu perintah Eyangnya, Yoga Kumala segera bangkit dan sujud pada gurunya yang baru saja tiba.
“Kakek Dadung Ngawuk!!! Ampunilah muridmu yang tak berbakti ini. Sekali-kali aku tak bermaksud mangabaikan pesan guru, akan tetapi kesempatan untuk mnemenuhi janjiku memang belum tiba. Sekali lagi… ampunilah kesalahanku ini… kakek Dadung Ngawuk guruku!”.
Sesungguhnya memang Yoga Kumala selalu ingat akan pesan gurunya kakek Dadung Ngawuk, sewaktu ia dahulu meninggalkan hutan Blora. Dan oleh karena itulah ia cepat2 mengutarakan isi hatinya, karena kuatir mendapat teguran dari gurunya, sebelum ia mendapat kesempatan untuk memenuhi pesan gurunya. Telah lama terkandung dalam hatinya, akan tetapi apa daya kesempatan itu belum juga kunjung datang.
“Heeehh… heeeehhh !!. Anak gila yang baik! Tak ada yang harus kumaafkan… Akupun telah tahu semua, Dan bahkan tak pantas apabila kau cengeng. Bukankah kau cucu pertapa tua shakti??? Haaa… haaa… Sudahlah! Sudahlah! Datangku kemari hanya ingin membuktikan akan kebenaran kataku dahulu, dan pula kau harus mengaku kalah bertaruh denganku!”. Berkata demikian, Kakek Dadung Ngawuk segera turut serta duduk sila diatas rumput sambil memegangi bahu Yoga Kumala dan menepuk-nepuknya.
Sementara itu, Yoga Kumala diam ternganga, penuh pertanyaan. Darimana gurunya tahu akan kejadian2 yang telah dialaminya? Cara bagaimana gurunya tahu bahwa ia kini berada ditempat pertapaan Eyangnya? Sedang ia meraba2 mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri, Cahayabuana telah memulai membuka percakapan.
“Kiranya sahabatku Kaki Dadung Ngawuk masih juga tetap segar bugar, dan watak2 aslinya tidak juga berubah!”. Katanya sambil tersenyum. “Dan bahagialah anda berkunjung dipondokku yang terpencil ini!”.
“Haaa haaa haaa...! Pertapa tua yang selalu pantas menjadi tauladan. Jauh berlainan dengan diriku yang gila. Yaaah… memang aku benar2 gila… Terima kasih… terima kasih… atas teguranmu itu, orang tua! Haaa… haaa… haaa…!”.
Dengan muka tertunduk diam dan hati yang girang, Yoga Kumala mengikuti percakapan dua orang shakti yang tengah berlangsung itu. Keduanya adalah gurunya sejati. Ia girang bercampur rasa kagum dan bangga. Girang karena akhirnya dua orang shakti itu bertemu dalam suasana akrab, dan bangga karena keduanya memiliki ilmu yang tinggi serta saling mengagumi.
“Sayang kau pertapa tua terlalu kikir akan Ilmumu. Mudah2an saja menghadapi cucunya sendiri kau menjadi pemurah !”.
Mendengar kata2 cemoohan dari Ki Dadung Ngawuk, Cahayabuana sedikitpun tidak menjadi marah, akan tetapi bahkan turut tertawa terbahak2 pula. Ia tahu akan sifat sifat Dadung Ngawuk yang sinting dan angin2an, dan iapun tahu bahwa kata2nya itu semua sama sekali ticlak mengandung maksud jahat. Tanpa mengindahkan ucapan cemoohannya Cahayabuana berkata sambil tersenyum lebar.
“Heeeh... Heeehhh… akulah yang seharusnya berterima kasih padamu, Ki Dadung Ngawuk! Tanpa bimbinganmu cucuku Yoga Kumala tidak akan sepandai sekarang! Orang tua seperti aku ini tentunya tidak mungkin dapat membalas atas budi kebaikanmu yang tak ternilai itu. Maka terserahlah dan semoga Dewata Hyang Maha Agung dapat membalasnya!”.
“Orang tua baik!. Ternyata kau bukan hanya pandai dalam ihnu kanuragan, tetapi juga pandai bersilat lidah dan menyanjung orang. Haaa… haaaa… haaa… Hampir2 aku jatuh terlentang karena terlalu tinggi kau sanjung-sanjung! Haaa… haaa haaa, Bukankah dahulu dengan ilmu kebanggaanku aku pernah bertekuk lutut padamu? Haaa… haaa… haaa!. Sampai2 aku berani lancang tangan mengangkat cucumu sebagai muridku, adalah karena semula aku tak tahu bahwa anak gila itu sesungguhnya cucumu adanya. Akan tetapi kini, ternyata aku menang taruhan dengan cucumu itu. Haaa…. haaahaaa… bukankah benar akan dugaanku dahulu bahwa nama Sujud adalah nama palsu! Haaa…. Bawa… Bawa… haaa...! Nach, sekarang akan aku jitak kepalamu Yoga!”.
Dan benar2 apa yang dikatakan, ia telah menjitak kepala Yoga Kumala dengan tiba2, sehingga terperanjat sesaat.
“Nach!” katanya kemudian,”Lunas sekarang! Kekalahan taruhanmu telah kau bayar dan akupun tidak penasaran lagi. Haaa… haaa... haaa…”
Akhirnya ketiganya menjadi ketawa atas kejadian itu. Kini suasana nampak lebih gembira dan lebih akrab lagi. Kiranya sifat2 sintingnya Dadung Ngawuk menambah meriahnya suasana pada malam yang sunyi itu.
Percakapan berlangsung terus dengan sebentar-bentar diselingi suara tawa terbahak2. Tanpa diperintah Eyangnya, Yoga Kumala telah pergi kedapur dan membantu Mang Jajang yang sibuk menyiapkan teh hangat dan makanan kecil sederhana untuk menjamu gurunya Ki Dadung Ngawuk.
Ternyata suara tawa yang ber-gelak2 tadi cukup membuat terkejut Mang Jajang yang sedang tidur nyenyak, sehingga ia tersentak bangun. Dengan panjang lebar penuh kelucuan Dadung Ngawuk menceritakan, bahwa sewaktu ia mencari muridnya di Indramayu menemui Wirahadinata, mendapatkan petunjuk2 yang sangat jelas. Dengan demikian maka ia kemudian langsung menuju ke lereng Tangkubanperahu.
Juga sewaktu ia berada di Indramayu telah pula berkenalan dengan adik muridnya Indah Kumala Wardhani yang nakal. Iapun membawa juga pesan dari Bupati Wirahadinata untuk disampaikan pada Cahayabuana. Isi pesannya ialah, agar Yoga Kumala dalam waktu dekat ini dapat berkunjung ke Indramayu, untuk kemudian akan diantarkan sendiri oleh Wirahadinata ke Kota Raja bersama-sama dengan adiknya Indah Kumala Wardhani.
Cahayabuana setelah menerima pesan yang dibawa Ki Dadung Ngawuk dari Bupati Wirahadinata, segera memberikan penjelasan kepada Ki Dadung Ngawuk bahwia Yoga Kumala memang pada besok paginya akan turun gunung menuju ke Kota Raja dengan singgah sebentar untuk sementara hari di Indramayu, tempat kediaman orang tua angkatnya.
“Untung bagiku, bahwa kedatanganmu tidak terlambat”. kata Cahayabuana.
“Haaa… haaa… haaa... Akulah yang beruntung!” Sahut Ki Dadung Ngawuk, “Tidak kecewa aku dari jauh2 datang kemari !”.
Sambil menikmati hidangan2 yang masih hangat kedua orang shakti melanjutkan percakapan. Sementara itu Yoga Kumalapun turut serta duduk bersila mendengarkan percakapan mereka.
“Yoga gila, muridku!”. kata Dadung Ngawuk kemudian, sambil menatap pandang padanya. “Jika kelak kau telah diangkat menjadi priyagung di Kerajaan, jangan hendaknya kau lupa padaku. Berusahalah untuk menjenguk diriku, waktu satu setengah tahun mendatang. Untukmu kuberikan kitab kuno usadha sastra yang mungkin berguna bagimu. Ambilah sendiri kitab kuno itu. Kitab kutanam didekat pohon semboja merah dekat sendang ditengah hutan. Tak usah kuatir, kitab itu kusimpan rapih dalam peti yang tak mungkin rusak. Ingatlah? satu setengah tahun lagi, menjelang bulan purnama pada malam pertama!”.
“Budi kasih kakek Guru kepadaku terlampau banyak” Jawab Yoga Kumala sambil bersujud: “Dengan cara bagaimana aku dapat membalasmu, Kakek Dadung Ngawuk?!”.
“Haaaa… haaaa… haaaa… benar2 kau serupa dengan kakekmu si pertapa tua... Ketahuilah, bahwa aku sama sekali tidak mengharapkan balasan darimu. Cukup jika kau kelak dapat menjadi kebanggaan orang hanyak, seperti kakekmu itu, Akupun akan turut merasa hangga pula. Nach! Kiraku ajaran2 dari kakekrnu pertapa tua cukup padat dengan hal-hal yang baik, dan tidak perlu aku menambah lagi. Ketahuilah, bahwa dihadapan kakekmu, aku pernah menyerah kalah dan bertekuk lutut maka akupun percaya penuh padanya!”.
Berkata demikian Dadung Ngawuk lalu bangkit berdiri sambil berpamit untuk kembali ke hutan Blora tempat tinggalnya. Ajakan Ajengan Cahayabuana agar ia mau singgah lebih lama lagi dipertapaan, sama sekali tak dihiraukannya. Ia telah melesat hilang ditelan kegelapan malam yang pekat sambil meninggalkan suara tawanya yang menggema dipantulkan lereng gunung Tangkubanperahu :
“ha ha ha… Lain waktu kita sambung lagi!”.
Cahayabuana hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil berkata pada diri sendiri: “Orang aneh, orang aneh, tetapi berwatak ksatrya”.
Waktu itu telah larut malam. Bintang2pun mulai nampak pudar cahayanya. Daun2 basah berlapiskan embun pagi. Pada hari itu, pagi2 buta ayam Yoga Kumala dengan diantar Eyangnya, Mang Jajang dan si kumbang sampai dikaki Gunung Tangkubanperahu meninggalkan tempat pertapaan Eyangnya Ajengan Cahayabuana serta tempat makam lbunya untuk menuju ke lndramayu, seorang diri. Sambil berkali-kali menoleh kebelakang dengan melambai-lambaikan tangannya, Yoga Kumala berjalan semakin jauh untuk kemudian hilang dikelokan jalan padesan.
**** 014 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment