HARI CERAH. Sang surya menyoroti mayapada dengan sinarnya yang terang benderang. Ia telah berada diketinggian sebelah timur segalah tingginya. Langit biru membentang luas dan awan hitam sedikitpun tidak nampak menodainya. Pepohonan kelihatan hijau segar, karena baru saja bertukar daun. Ranting2 kering yang patahpun telah nampak tumbuh kembali. Lereng2 gunung Tangkubanperahu seakan baru saya terhias kembali. Burung2 berkicau riang, menambah meriahnya suasana alam.
Dan dilereng Gunung Tangkubanperahu itulah nampak jelas adanya seorang pemuda yang baru saja menginjak alam kedewasaan, sedang berlompatan dengan gerakan2nya yang aneh sambil memegang pedang pusaka terhunus ditangan kanannya. Badannya yang kokoh kuat telah basah bermandikan air peluh hingga kelihatan berkilat-kilat terkena pancaran sinar matahari. Sebentar-sebentar ia mengusap keringat yang selalu membasahi keningnya dengan lengan tangan kirinya, seakan-akan air peluh itu mengganggu gerakannya karena mengalir terus didahinya.
Akan tetapi maksud untuk menghentikan gerakannya, sedikitpun belum nampak. Ia terus masih berlatih tanpa menghiraukan suasana sekitarnya. Ia berloncatan bagaikan burung bersayap. Sedangkan pedang pusaka ditangan kanannya bergetar menari2 bagaikan bayangan kupu2, hingga kadang2 hanya menampakkan sinarnya yang putih berkilau semburat biru, bergulung-gulung menyelubungi seluruh tubuhnya.
Perobahan gerakannya sedemikian cepat, hingga tidak mungkin diikuti penglihatan mata biasa. Rangkaian gerakan tusukannya yang bertubi-tubi merupakan pukulan bayangan pucuk pedang. Namun dibalik ketangkasan yang mentakjubkan itu kadang2 diselingi gerakan yang sangat aneh dan tidak demikian sedap dipandang.
Sambil berdiri setengah berjongkok dengan kedua belah kakinya terpentang lebar, dengan pedang pusaka menyilang depan dada, ia ketawa terkekeh-kekeh menyeramkan. Sebentar kemudian meloncat tinggi sambil berjumpalitan di udara untuk kemudian meluncur ke bawah dengan serangan tusukan pedang pusakanya, sedangkan tangan kiri mengembang dengan jari2nya yang tegang bergerak laksana cengkeraman cakar harimau. Itulah ilmu pedang ciptaan Cahayabuana yang bersumber pada gabungan intisari dari ilmu2 pedang shakti yang dinamakan ilmu pedang “Cahaya Tangkubanperahu".
Telah lebih dari setahun, Yoga Kumala mempelajari ilmu pedang ciptaan Eyangnya, langsung dibawah asuhan Cahayabuana sendiri. Sedang ia meloncat tinggi sambil berpusingan diudara dengan mengayunkan pedang pusakanya dalam gerakan babatan berangkai, tiba2 terdengar suara seruan yang amat tajam dari kejauhan.
“Awas !!!”.Dan bersamaan dengan terdengarnya suara seruan itu, sebuah batu sebesar tinju meluncur kearah-nya laksana kilat. Dan……
“CRAATTT !” batu yang menyerangnya terbelah menjadi dua potong, serta potongan batu masing2 terpental jauh kesamping.
Namun belum juga potongan2 batu itu jatuh ditanah, telah pula disusul meluncur tiga buah batu yang semakin kecil secara beruntun dalam saat yang hampir bersamaan, dan diiringi pula dengan suara seruan seperti serangan yang pertama.
“Awas !!!”. Ketiga batu itupun menjadi berkeping-keping dan susul menyusul terpental jauh kesamping kanan kirinya Yoga Kumala.
“Heheheee... !!!!. Bagus… bagus.... !!!!”. Cahayabuana berseru puas sambil ketawa lebar dan berjalan menghampiri cucunya Yoga Kumaia yang sedang giat berlatih.
Demi melihat kedatangan Eyangnya, Yoga Kumala segera menghentikan gerakannya, sambil mengusapi peluhnya yang membasahi muka dengan tangan kirinya.
“Cukup… cukup untuk hari ini, cucuku Yoga !!!. Hanya masih ada sedikit yang harus selalu menjadi perhatian mu. Hendaknya dalam gerak sabetan, bacokan ataupun tebangan, mata tajam senjatamu harus menyerong sedikit. Dengan demikian pedang ditanganmu akan menjadi lebih tajam dengan sendirinya, serta benda2 yang kau papaki dengan senjatamu akan terpental kejurusan yang serong pula sehingga tidak membahayakan dirimu. Selain itu semua gerakanmu cukup bagus !!. Selanjutnya kau tinggal melatih kecepatan memindahkan pemusatan tenaga dalam dan kecepatan membagi tenaga yang terhimpun, dengan tanpa menghentikan gerakan. Karena tanpa memiliki kemahiran dalam hal ini, seranganmu yang kelihatan dahsyat tidak akan berarti, apabila kau menghadapi lawan tangguh”.
“Eyang !. Apakah cucunda kelak akan cukup berharga memiliki pedang pusaka ini, Eyang ??”. Yoga Kumala berkata lemah sambil tertunduk lesu.
Mendengar pertanyaan cucunya, Cahayabuana cepat mendekat dan memegang bahu Yoga Kumala sambil menjawab dengan tersenyum girang.
“Heheheee... !! Tentu… tentu !!! Cucuku Yoga !!. Jangankan kelak… sekarangpun sesungguhnya kau telah dapat mengimbangi tokoh2 pedang kawakan. Tidak perlu kau kuatir akan ilmu kepandaianmu. Maka hendaknya jangan kau bersikap ragu2 dan hilangkan sifat2 tak percaya diri. Contohlah sikap budi luhur kakak angkatmu Gustiku Senapati Indra. Ingatlah, bahwa kau alalah satu2nya priya keturunanku !!. Dan kini kau telah cukup dewasa untuk mewarisi semua ilmuku…..!!”.
“Cucunda akan selalu patuh mengikuti petunjuk2 Eyang !!.
Sebagaimana biasanya, tiap2 hari setelah berlatih, Yoga Kumala bersujud didepan batu nisan tempat makam ibunya. Yaahhh,,,, ibu kandungnya sendiri, Ibu yang telah ditunjuk Dewata Hyang Maha Agung sebagai perantara dari kehadlirannya didunia ramai ini. Seorang ibu yang harus dan wajib menjunjung namanya setinggi tingginya, walaupun ia sendiri tidak ingat lagi, bagaimana bentuk dan roman wajah ibunya.
Namun ia berterima kasih kepada Dewata Yang Maha Agung bahwa kini dapat menemukan kembali jejak asal usulnya, yang ternyata seorang darah keturunan Ksatrya pahlawan Pajajaran dan cucu dari seorang petapa shakti Pajajaran yang namanya telah menggemparkan para tokoh2 berilmu tinggi Pajajaran.
Baru saja Yoga Kumala bangkit berdiri selesai dari sujudnya, tiba2 suara auman si kumbang terdengar jelas, disusul berkelebatnya si kumbang datang kearahnya. Langsung si kumbang mendekam dihadapannya dan kemudian mengangsurkan kaki depannya yang kiri, yang ternyata ada noda darah dibahagian pahanya.
Dengan serta merta Yoga Kumala menyambut angsuran kaki si kumbang sambil membongkok dan memeriksa dengan saksama. Alangkah terkejutnya setelah menyaksikan, bahwa paha kiri kaki depan si kumbang ternyata luka bekas tergores senjata tajam. Maksud hendak memanggil Eyangnya segera dibatalkan, setelah mengetahui bahwa kiranya Eyang mendahului masuk kegoa sewaktu ia bersujud di depan nisan makam ibunya.
Dengan rasa iba ia membelai kepala si kumbang dengan tangan kanannya sambil menatap dengan pandangan yang tajam kearah mata si kumbang. Seakan-akan si kumbangpun hendak mengatakan sesuatu. la mengerang-erang dengan ekornya bergerak-gerak. Ternyata luka goresan itu tak demikian membahayakan. Akan tetapi siapakah gerangan orangnya yang berani melukai si kumbang?. Dimanakah ia mendapat luka itu?.
Dan dilereng Gunung Tangkubanperahu itulah nampak jelas adanya seorang pemuda yang baru saja menginjak alam kedewasaan, sedang berlompatan dengan gerakan2nya yang aneh sambil memegang pedang pusaka terhunus ditangan kanannya. Badannya yang kokoh kuat telah basah bermandikan air peluh hingga kelihatan berkilat-kilat terkena pancaran sinar matahari. Sebentar-sebentar ia mengusap keringat yang selalu membasahi keningnya dengan lengan tangan kirinya, seakan-akan air peluh itu mengganggu gerakannya karena mengalir terus didahinya.
Akan tetapi maksud untuk menghentikan gerakannya, sedikitpun belum nampak. Ia terus masih berlatih tanpa menghiraukan suasana sekitarnya. Ia berloncatan bagaikan burung bersayap. Sedangkan pedang pusaka ditangan kanannya bergetar menari2 bagaikan bayangan kupu2, hingga kadang2 hanya menampakkan sinarnya yang putih berkilau semburat biru, bergulung-gulung menyelubungi seluruh tubuhnya.
Perobahan gerakannya sedemikian cepat, hingga tidak mungkin diikuti penglihatan mata biasa. Rangkaian gerakan tusukannya yang bertubi-tubi merupakan pukulan bayangan pucuk pedang. Namun dibalik ketangkasan yang mentakjubkan itu kadang2 diselingi gerakan yang sangat aneh dan tidak demikian sedap dipandang.
Sambil berdiri setengah berjongkok dengan kedua belah kakinya terpentang lebar, dengan pedang pusaka menyilang depan dada, ia ketawa terkekeh-kekeh menyeramkan. Sebentar kemudian meloncat tinggi sambil berjumpalitan di udara untuk kemudian meluncur ke bawah dengan serangan tusukan pedang pusakanya, sedangkan tangan kiri mengembang dengan jari2nya yang tegang bergerak laksana cengkeraman cakar harimau. Itulah ilmu pedang ciptaan Cahayabuana yang bersumber pada gabungan intisari dari ilmu2 pedang shakti yang dinamakan ilmu pedang “Cahaya Tangkubanperahu".
Telah lebih dari setahun, Yoga Kumala mempelajari ilmu pedang ciptaan Eyangnya, langsung dibawah asuhan Cahayabuana sendiri. Sedang ia meloncat tinggi sambil berpusingan diudara dengan mengayunkan pedang pusakanya dalam gerakan babatan berangkai, tiba2 terdengar suara seruan yang amat tajam dari kejauhan.
“Awas !!!”.Dan bersamaan dengan terdengarnya suara seruan itu, sebuah batu sebesar tinju meluncur kearah-nya laksana kilat. Dan……
“CRAATTT !” batu yang menyerangnya terbelah menjadi dua potong, serta potongan batu masing2 terpental jauh kesamping.
Namun belum juga potongan2 batu itu jatuh ditanah, telah pula disusul meluncur tiga buah batu yang semakin kecil secara beruntun dalam saat yang hampir bersamaan, dan diiringi pula dengan suara seruan seperti serangan yang pertama.
“Awas !!!”. Ketiga batu itupun menjadi berkeping-keping dan susul menyusul terpental jauh kesamping kanan kirinya Yoga Kumala.
“Heheheee... !!!!. Bagus… bagus.... !!!!”. Cahayabuana berseru puas sambil ketawa lebar dan berjalan menghampiri cucunya Yoga Kumaia yang sedang giat berlatih.
Demi melihat kedatangan Eyangnya, Yoga Kumala segera menghentikan gerakannya, sambil mengusapi peluhnya yang membasahi muka dengan tangan kirinya.
“Cukup… cukup untuk hari ini, cucuku Yoga !!!. Hanya masih ada sedikit yang harus selalu menjadi perhatian mu. Hendaknya dalam gerak sabetan, bacokan ataupun tebangan, mata tajam senjatamu harus menyerong sedikit. Dengan demikian pedang ditanganmu akan menjadi lebih tajam dengan sendirinya, serta benda2 yang kau papaki dengan senjatamu akan terpental kejurusan yang serong pula sehingga tidak membahayakan dirimu. Selain itu semua gerakanmu cukup bagus !!. Selanjutnya kau tinggal melatih kecepatan memindahkan pemusatan tenaga dalam dan kecepatan membagi tenaga yang terhimpun, dengan tanpa menghentikan gerakan. Karena tanpa memiliki kemahiran dalam hal ini, seranganmu yang kelihatan dahsyat tidak akan berarti, apabila kau menghadapi lawan tangguh”.
“Eyang !. Apakah cucunda kelak akan cukup berharga memiliki pedang pusaka ini, Eyang ??”. Yoga Kumala berkata lemah sambil tertunduk lesu.
Mendengar pertanyaan cucunya, Cahayabuana cepat mendekat dan memegang bahu Yoga Kumala sambil menjawab dengan tersenyum girang.
“Heheheee... !! Tentu… tentu !!! Cucuku Yoga !!. Jangankan kelak… sekarangpun sesungguhnya kau telah dapat mengimbangi tokoh2 pedang kawakan. Tidak perlu kau kuatir akan ilmu kepandaianmu. Maka hendaknya jangan kau bersikap ragu2 dan hilangkan sifat2 tak percaya diri. Contohlah sikap budi luhur kakak angkatmu Gustiku Senapati Indra. Ingatlah, bahwa kau alalah satu2nya priya keturunanku !!. Dan kini kau telah cukup dewasa untuk mewarisi semua ilmuku…..!!”.
“Cucunda akan selalu patuh mengikuti petunjuk2 Eyang !!.
Sebagaimana biasanya, tiap2 hari setelah berlatih, Yoga Kumala bersujud didepan batu nisan tempat makam ibunya. Yaahhh,,,, ibu kandungnya sendiri, Ibu yang telah ditunjuk Dewata Hyang Maha Agung sebagai perantara dari kehadlirannya didunia ramai ini. Seorang ibu yang harus dan wajib menjunjung namanya setinggi tingginya, walaupun ia sendiri tidak ingat lagi, bagaimana bentuk dan roman wajah ibunya.
Namun ia berterima kasih kepada Dewata Yang Maha Agung bahwa kini dapat menemukan kembali jejak asal usulnya, yang ternyata seorang darah keturunan Ksatrya pahlawan Pajajaran dan cucu dari seorang petapa shakti Pajajaran yang namanya telah menggemparkan para tokoh2 berilmu tinggi Pajajaran.
Baru saja Yoga Kumala bangkit berdiri selesai dari sujudnya, tiba2 suara auman si kumbang terdengar jelas, disusul berkelebatnya si kumbang datang kearahnya. Langsung si kumbang mendekam dihadapannya dan kemudian mengangsurkan kaki depannya yang kiri, yang ternyata ada noda darah dibahagian pahanya.
Dengan serta merta Yoga Kumala menyambut angsuran kaki si kumbang sambil membongkok dan memeriksa dengan saksama. Alangkah terkejutnya setelah menyaksikan, bahwa paha kiri kaki depan si kumbang ternyata luka bekas tergores senjata tajam. Maksud hendak memanggil Eyangnya segera dibatalkan, setelah mengetahui bahwa kiranya Eyang mendahului masuk kegoa sewaktu ia bersujud di depan nisan makam ibunya.
Dengan rasa iba ia membelai kepala si kumbang dengan tangan kanannya sambil menatap dengan pandangan yang tajam kearah mata si kumbang. Seakan-akan si kumbangpun hendak mengatakan sesuatu. la mengerang-erang dengan ekornya bergerak-gerak. Ternyata luka goresan itu tak demikian membahayakan. Akan tetapi siapakah gerangan orangnya yang berani melukai si kumbang?. Dimanakah ia mendapat luka itu?.
Belum juga pertanyaannya terjawab, tiba2 tiga orang berjubah abu2 datang bagaikan berkelebatnya bayangan. Melihat cara mendatangnyapun telah dapat diduga, bahwa tiga orang itu tentu orang yang memiliki kepandain tinggi. Harimau kumbang yang sedang duduk jinak dihadapan Yoga Kumala, mengaum pendek serta hendak melompat menerjang tiga orang itu yang berjubah abu2 yang tengah mendekat, tetapi cepat Yoga Kumala menepuk punggungnya serta membentak keras.
“Kumbang! Diam!”. Karena bentakan itu si kumbangpun menurut jinak kepada perintah majikannya.
“Anak Kaulah kiranya yang memiliki harimau kumbang yang galak itu?”. Salah seorang diantara ketiga pendatang itu bertanya dengan suara pelan. “Maafkan atas kelancangan saudaraku, sehingga harimau piaraanmu terluka sedikit, anak muda!”. Ucapan kata2nya sangat sopan dan sedikitpun tidak mengandung nada permusuhan, akan tetapi suara yang lembut itu cukup berwibawa.
“Karena saya belum mengenal, siapakah nama bapak2?”. Yoga Kumala bangkit berdiri menyambut kedatangan tiga orang berjubah abu2 itu, sambil membungkukkan badannya, sebagai tanda menghormat kepada orang yang usianya lebih tua, seraya bertanya.
“Hahahaaa...! Memang wajar bila kau tidak mengenal kami bertiga, karena baru kali ini pula kau berjumpa denganku. Ketahuilah, bahwa kami saudara bertiga ini yang terkenal dengan nama ‘Parang Jingga’ dari gunung Guntur. Kedatanganku bertiga kemari perlu menemui pertapa shakti Ajengan Cahayabuana. Dan siapakah kau ini sebenarnya anak muda?”.
“Kumbang! Diam!”. Karena bentakan itu si kumbangpun menurut jinak kepada perintah majikannya.
“Anak Kaulah kiranya yang memiliki harimau kumbang yang galak itu?”. Salah seorang diantara ketiga pendatang itu bertanya dengan suara pelan. “Maafkan atas kelancangan saudaraku, sehingga harimau piaraanmu terluka sedikit, anak muda!”. Ucapan kata2nya sangat sopan dan sedikitpun tidak mengandung nada permusuhan, akan tetapi suara yang lembut itu cukup berwibawa.
“Karena saya belum mengenal, siapakah nama bapak2?”. Yoga Kumala bangkit berdiri menyambut kedatangan tiga orang berjubah abu2 itu, sambil membungkukkan badannya, sebagai tanda menghormat kepada orang yang usianya lebih tua, seraya bertanya.
“Hahahaaa...! Memang wajar bila kau tidak mengenal kami bertiga, karena baru kali ini pula kau berjumpa denganku. Ketahuilah, bahwa kami saudara bertiga ini yang terkenal dengan nama ‘Parang Jingga’ dari gunung Guntur. Kedatanganku bertiga kemari perlu menemui pertapa shakti Ajengan Cahayabuana. Dan siapakah kau ini sebenarnya anak muda?”.
Ketiga orang berjubah abu2 itu memang benar tiga saudara pendekar shakti dari gunung Guntur adanya, yang terkenal dengan gelarnya “Parang Jingga”. Jubahnya berwarna abu2 berkilat terbuat dari kain sutra dengan bertandakan lukisan sebatang golok berwarna merah yang tersulam didada bajunya.
Ketiganya hampir merupakan sekembaran. Mukanya bersih berseri dengan pandang mata tajam. Rambutnya diikat diatas kepala dengan pita sutra kuning dan merupakan gelung kecil. Masing2 berbadan tinggi tegap. Hanya pada keningnya yang tertua terdapat tanda goresan bekas luka dan rambutnyapun telah kelihatan berwarna dua. Ia bersenjatakan tongkat besi sepanjang setengah depa dan sebatang golok panjang yang tergantung dipinggang sebelah kanan.
Yang nomor dua tingginya terpaut sedikit dibandingkan dengan yang tertua. Rambutnya hitam pekat serta diikat keatas menyerupai yang tertua. Ia bersenjatakan sepasang golok pendek yang terselip di pinggang kanan kirinya. Sedangkan yang termuda bertubuh agak kurus dan setinggi yang tertua. Berbeda dengan kedua saudaranya, rambutnya terurai lepas dan sepasang golok pendek terselip di pinggang kanan kirinya.
“Saya adalah cucunya Eyang Cahayabuana, dan nama saya Yoga Kumala !!!”. Jawab Yoga Kumala singkat, sambil menatap pandang penuh curiga.
“Tak salah lagi dugaanku, Kau cucu pertapa shakti Ajengan Cahayabuana !!!”. Parang jingga tertua berkata lagi. Sementara kedua saudara Parang Jingga lainnya berdiri diam tak berkata sepatahpun. Namun pandangannya liar menyapu sekitarnya, dan sebentar2 saling menatap pandang.
“Dimana Eyangmu sekarang ? Aku bertiga ingin menemuinya !!!”.
Mendengar pertanyaan itu, Yoga Kumala semakin curiga. Haruskah ia menunjukkan pada Eyangnya yang mungkin sedang bersamadi ? Ataukah ia sendiri harus mewakilinya?. Kini ia sedang menimbang nimbang dan untuk segera mengambil keputusan rasa hatinya penuh ragu. Sedang ia menimbang2 tindakan apa yang harus diambil, tiba-tiba Parang Jingga tertua mengulangi pertanyaan dengan nada yang agak keras.
“Hai Yoga Kumala !!!. Jawablah pertanyaanku !!!. Dimana Eyangmu sekarang ???. Jarak Gunung Guntur dan Gunung Tangkubanperahu bukanlah dekat. Tidak akan aku bertiga jauh-jauh datang kemari, jika tak ada perlunya. Ataukah aku harus mencari sendiri dalam gua itu. ?”.
Agak gugup juga Yoga Kumala menghadapi pertanyaan ulangan yang mendesak ini. Akan tetapi dengan cepat ia dapat menguasai ketenangannya kembali.
“Maafkan Tuan2. Jika sekiranya sangat penting kedatangan Tuan-tuan, silahkan katakan keperluan apa, nanti akan saya sampaikan kepada Eyang !”.
“Haaa… Haaa…! Anak muda yang tak mengerti adat!”. gumamnya, sambil ketawa terbahak-bahak serta melanjutkan kata2nya. “Hai Yoga Kumala! Apakah memang demikian ajaran Eyangmu? Dengarkan!. Aku bertiga bergelar "Parang Jingga" dan datang kemari untuk menemui Eyangmu! Cukup apabila kau sampaikan pada Eyangmu bahwa ada tamu penting dari Gunung Guntur yang datang kemari!, Lekas sampaikan atau aku akan mencarinya sendiri, tanpa kau antarkan.” Berkata demikian, Parang Jingga tertua melangkah maju dengan tangan kirinya mendorong Yoga Kumala kesamping sedangkan kedua saudaranya sambil serentak mengumpat.
“Anak liar tak mengenal aturan!”.
Kiranya dorongan tangan kiri Parang Jingga tertua itu bukan hanya gerakan sambil lalu saja, akan tetapi ternyata di sertai daya pemusatan tenaga shaktinya, sehingga belum juga tangannya menyentuh badan Yoga Kumala, telah dapat pula dirasakan angin dorongan yang dahsyat .
Akan tetapi Yoga Kumala yang telah memiliki tenaga shakti pemunah daya shakti dan setahun lamanya digembleng Eyangnya sendiri, sengaja tidak menghindari serangan gelap itu. Ia sengaja memapaki dengan terhuyung2 kedepan menerjang lawan, sambil jari2nya tegang mengembang untuk mengarah ketiak lawan.
Sebagai orang terkenal dengan nama gelarnya Parang Jingga tertua serta telah banyak pengalaman dalam pelbagai macam pertempuran, ia terperanjat sesaat. Sambil meloncat kesamping untuk mengelak dari serangan totokan yang tiba2 itu.
Menyaksikan sikap Yoga Kumala yang dianggapnya sangat kurang ajar, kedua saudara Parang Jingga serentak menyerang Yoga Kumala dengan maksud untuk meringkusnya. Seorang menubruk dengan kedua tangannya kearah kedua kaki Yoga Kumala, sedangkan seorang lagi melancarkan tendangan mengarah lambung dari samping kanan dalam jarak yang amat dekat.
Serangan serentak dari kedua Parang Jingga itu walaupun berlainan bentuknya, namun jelas merupakan serangan yang mengandung satu titik tujuan. Karena menangkis ataupun mengelakkan tendangan dari samping kanan, berarti menyerah pada serangan tubrukan kedua belah tangan yang mengarah kakinya dari seorang lawan lainnya atau ia harus menerima serangan tendangan yang dahsyat dari lawan satunya.
Akan tetapi Yoga Kumala yang telah menguasai ilmu "wuru shakti" tak berpendapat demikian. la menjatuhkan diri dengan berjongkok hampir tertelungkup dan berjumpalitan menerobos dibawah kaki lawan yang sedang melancarkan tendangan, sambil menyerang dengan totokan jari2 yang tepat mengenai pangkal paha lawan bagian bawah dengan seruan tawa yang menyeramkan.
Tak ayal lagi seorang termuda Parang Jingga yang melancarkan serangan tendangan segera jatuh terlentang dan berjumpalitan kesamping, untuk menghindar dari serangan rangkaian Yoga Kumala, sedangkan seorang lagi melompat surut kesamping dua langkah dengan berseru nyaring, menghindari serangan terkaman si kumbang yang tak diduga2. Ternyata sikumbang tak tinggal diam, melihat majikannya diserang oleh kedua lawan yang telah melukainya. Cepat Yoga Kumala bangkit berjongkok lagi, sambil berseru mencegah gerakan si kumbang yang akan mengulang gerakan terkamannya.
“Kumbang!, Lekas pergi! Jangan turut campur”, bentaknya.
Dan mengerti seperti akan seruan majikannya, si kumbang melompat menjauhi lawan2nya dan kemudian menyelinap di balik makam.
Sementara itu, Parang Jingga tertua telah menerjang Yoga Kumala dengan tongkat besinya. Sedangkan kedua saudara Parang Jingga lainnya telah pula mengurung dengan senjata masing2 dikedua belah tangannya.
“Kurung rapat dan tangkap dia!” Perintah Parang Jingga tertua pada kedua adiknya, sambil memutar tongkat besinya dan berseru lantang pada Yoga Kumala: “Jika kau tak mau menyerah dan mengantar kami bertiga pada Eyangmu. jangan menyesal jika kau terluka ataupun binasa ditanganku!”.
Sesungguhnya ancaman ini semula hanya dimaksudkan menggertak untuk menakut-nakuti saja, agar Yoga Kumala tidak membandel melawan mereka. Akan tetapi, siapa tahu bahwa ancaman demikian, malah membangkitkan semangatnya untuk menguji ilmu pedang yang telah dipelajarinya.
Ia masih berdiri setengah berjongkok dengan kedua kaki terpentang lebar. Telapak tangan kiri mengembang dengan jari2 yang ditegangkan diangkat setinggi pundaknya, sedangkan tangan kanan menggenggam pedang pusaka yang terhunus, melintang didepan dadanya. Ia menyahut dengan kata2 yang diiringi tawanya yang terkekeh-kekeh menyeramkan.
“Haaa.... haahaaaaa ! Silahkan Tuan Parang Jingga. Aku ingin membuktikan sendiri akan kehebatan ilmu shakti dari Parang Jingga bersaudaral. Haaa… haaaa… !”.
Melihat Yoga Kumala bersiaga dengan kuda2 yang aneh disertai suara tawa menyeramkan, Parang Jingga tertua membatalkan serangannya serta memberi isyarat pada kedua saudaranya untuk melayani Yoga Kumala, sementara itu ia sendiri mundur selangkah sambil berseru.
“Hebat !! Hebat…! Pantas sebagai keturunan pertapa shakti!. Yoga Kumala. Layanilah kedua saudaraku dengan ilmu pedangmu yang aneh! Akan kulihat sampai berapa jurus kau mampu melawan kedua saudara mudaku ini! Haaa…. Haaaa”.
Kata2 pujian yang ditutup dengan memandang rendah ilmu pedangnya itu cukup membakar semangat. Ia tidak mau dihina demikian. Ia selalu ingat akan ajaran Eyangnya, yang pantang bertindak sebagai pengecut.
“Jangan kalian sombong, menghina orang lain!” serunya. “Majulah bertiga, aku tak akan mundur selanggkah menghadapi serangan kalian”.
Belum juga ia selesai mengucapkan kata2nya, seorang termuda Parang Jingga telah membuka serangan dengan sebuah bacokan kampak kearah dadanya, sambil berseru:
“Awas serangan !”.
Kaki kiri Yoga Kumala bergerak maju selangkah, dengan badan lebih merendah lagi, Pedang pusaka berkelebat bagaikan kilat menangkis serangan kampak, mengarah pergelangan lawan sedangkan tangan kirinya mengembang tegang menyambar ke arah punggung lawan, diiringi seruan tak kalah lantangnya:
“Awas balasan!”.
Menghadapi serangan balasan dari Yoga Kumala yang tak di duga-duga itu Parang Jingga termuda cepat meloncat kesamping kiri dan membatalkan rangkaian serangannya. Ia terkesiap sesaat. Belum pernah serangan yang demikian dahsyatnya dihindari lawan secara melancarkan serangan balasan.
Melihat adiknya sibuk menghindari serangan balasan dari Yoga Kumala, Parang Jingga penengah segera langsung menerjang dengan tusukan dan babatan sepasang golok pendeknya.
Sementara itu Parang Jingga termuda telah membalikkan badannya dan kembali menyerang lagi dengan senjata kampak dan golok panjangnya. Namun serangan2 yang dahsyat itu, oleh Yoga Kumala dapat selalu dihindari secara aneh dan mengagumkan, hingga serangan2 kedua saudara Parang Jingga selalu menemui tempat kosong. Pertempuran kini menjadi seru dengan gerakan2 serangan senjata tajam masing2 yang amat cepat serta sukar dilihat dan diduga akan perobahan2 gerakannya.
Gulungan sinar putih bersemu kebiruan diselingi dengan berkelebatnya sinar putih kemilau yang menyambar bagaikan kilat susul-menyusul menyelubungi tubuh ketiga orang yang sedang bertempur dengan sengitnya.
Ternyata dalam menghadapi dua orang lawan tangguh, Yoga Kumala dapat mengimbangi ketangkasannya, tanpa terdesak kedudukannya. Parang Jingga tertua yang menyaksikan pertempuran dari dekat tersenyum kagum :
“Bagus! Bagus!” serunya sambil mengikuti jalannya pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengit.
Akan tetapi pertempuran yang semula berjalan dengan seru dan seimbang, tak lama kemudian berobah dengan tiba2. Dua saudara Parang Jingga kini menjadi sibuk berlompatan menghindari serangan2 aneh dan berbahaya, serta sukar diduga akan bentuk perobahan dan arahnya. Kiranya mereka keduanya telah merasa terdesak dan tak sampai memberikan balasan serangan pada Yoga Kumala lawannya.
Serangan kedua saudara Parang Jingga yang tadinya merupakan serangkaian serangan yang serasa serta dahsyat , menjadi buyar dan kalang kabut, hampir2 senjata mereka berdua salimg berbenturan sendiri. Sedang mereka sibuk berlompatan menghindari serangan pedang pusaka yang berkelebatan susul-menyusul ke arah tubuh mereka, tiba2 Yoga Kumala melompat tinggi sambil berjumpalitan di udara dengan berseru keras
“Lepas senjata!!!".
Tidak ayal lagi, kedua golok pendek di tangan kanan kiri lepas dari genggaman dan terpental, sejauh lima langkah dari pemegangnya. Dengan seruan tertahan, penengah Parang Jingga melompat surut ke belakang dua langkah sambil gemetaran. Tangan kanannya terasa seperti lumpuh, sedangkan ibu jari tangan kirinya terbabat sabetan pedang pusaka Yoga Kumala.
Setelah melihat kedua saudaranya terdesak hebat dan bahkan seorang diantaranya cedera pada kedua belah tangannya, ia melompat menerjang ke arah Yoga Kumala dengan serangan pukulan tongkat besi, langsung mengarah bahu kanan Yoga Kumala.
Namun kembali lagi Yoga Kumala dapat terhindar secara mentakjubkan sambil melancarkan serangan balasan yang tak kalah berbahayanya. Pukulan tongkat besi yang jatuh ditempat kosong itu, oleh Parang Jingga tertua dilanjutkan menjadi sabetan ke arah kaki Yoga Kumala yang sedang mengelak kesamping dengan disertai loncatan rendah untuk menghindarkan sabetan pedang Yoga Kumala.
Akan tetapi ia segera melompat dua langkah kesamping kiri, setelah mendapatkan kenyataan bahwa serangan tongkat besinya yang berangkai gagal semua dan Yoga Kumala tanpa diketahuinya telah berada dibelakangnya sambil melancarkan serangan2 yang sangat berbahaya.
Sementara itu Parang Jingga penengah telah terbebas dari kelumpuhan tangan kanannya, sedangkan ibu jari tangan kirinya cepat dibalut dengan sobekan lengan jubahnya, untuk kemudian melompat mendekat Parang Jingga tertua dan mengambil golok panjang yang terselip dipinggang kakaknya.
Kini mereka bertiga dengan senjata masing2 ditangan serentak maju dengan serangan yang amat rapih dan teratur silih berganti susul-menyusul dan kadang2 serangan serentak yang amat dahsyat.
Tongkat besi menyambar ke arah kedua kaki Yoga Kumala, sedangkan ujung golok panjang dari penengah Parang Jingga meluncur kearah dadanya, dan Parang Jingga termuda pada saat bersamaan mengayunkan kampaknya ke arah kepala Yoga Kumala dengan memegang golok pendek terhunus ditangan kirinya siap untuk merangkaikan serangan.
Tiba2 sewaktu tiga senjata hampir mengenai sasaran, Yoga Kumala terhuyung2 kebelakang selangkah untuk kemudian meloncat tinggi sambil berseru melengking menyeramkan.
Ia berpusingan diudara meluncur kembali dengan melancarkan serangan dalam gerak sabetan pedang yang sangat membingungkan bagi ketiga saudara Parang Jingga yang belum siaga. Ketiganya berlompatan surut ke belakang selangkah untuk menghindari serangan pedang maut yang tak dikenal. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa serangan yang demikian rapat dan dahsyat dapat dihindari secara aneh dan mentakjubkan.
Akan tetapi Parang Jingga termuda dengan tangkas melemparkan golok pendeknya ke arah Yoga Kumala sewaktu ia meloncat menghindar dari serangan pedang. Golok pendek meluncur bagaikan kilat mengarah perut Yoga Kumala yang waktu itu belum berpijak ditanah. Dan
“trrraanngg”
Golok pendek tertebas menjadi dua potong serta terpental jauh, masing2 mengarah tubuh kedua lawannya yang sedang berlompatan menghindar dari serangan pedang sehingga mereka terpaksa menangkis dengan gerakan membentuk perisai dengan senjatanya masing. Tiba2 seorang tertua Parang Jingga melompat surut ke belakang dua langkah sambil berseru keras.
“Cukup. Cukup !. Tahan senjata!” Serentak semua mengikuti gerakan Parang Jingga tertua dan berdiri tegak tak bergerak sambil memegang senjata masing2. Bersamaan dengan itu, Ajengan Cahayabuana berdiri dibelakang Yoga Kumala, sambil tertawa nyaring.
“Haa….. haa...! Bagus!…. Bagus! Yoga sambutlah kedatangan para tamu Parang Jingga sebagai mana layaknya. Anggaplah ketiga tamu shakti itu seperti keluarga kita sendiri”.
Mendengar kata2 Eyangnya yang tiba2 itu, ia menjadi terkejut dan heran bukan kepalang. Namun sebagai seorang cucu yang selalu taat akan perintah Eyangnya, Yoga Kumala cepat menyarungkan pedang pusakanya kembali serta membungkukkan badan ke arah ketiga saudara Parang Jingga sambil berkata minta maaf.
“Tidak mengapa !I. Dan tidak ada yang harus kami maafkan Yoga Kumala !!, Saya bangga menyaksikan kepandaianmu!!” Berkata demikian Parang Jingga sambil membalas hormat. “Bapak Ajengan Cahayabuana !!” Ia berkata melanjutkan bicara tertuju pada Cahayabuana, sambil menganggukkan kepalanya: Maaf kan kami bertiga, yang telah lancang berani menguji cucu Bapak Ajengan Cahayabuana sebelum mendapatkan idzin terlebih dahulu. Dan ternyata berhasil dengan sangat memuaskan. Kelancangan kami bertiga sekedar memenuhi permintaan Gusti Senapati Indra Sambada pada setengah tahun yang lalu”.
“Ach…. tidak ada pula yang harus saya maafkan, bahkan saya mengucap banyak terima kasih atas jerih pajah anak2 Parang Jingga yang telah sudi mengulurkan tangan membantu aku yang telah tua ini !!. Dan akupun telah mengerti akan keperluan kedatangan anak2 kemari, maka sengaja tadi aku tak menyambut lebih dahulu. Mari2 silahkan singgah digua pondokku sebentar anak2. Yoga !! Kau juga harus mengucap terima kasih pada tamu2 kita yang bermurah hati”. Belum juga Yoga Kumala sempat mengucapkan terima kasihnya, Parang Jingga telah berkata lagi.
“Maaf kan, Bapak Ajengan Cahayabuana !!. Bukannya kami menolak singgah di pertapaan, akan tetapi terpaksa kami harus meninggalkan Tangkubanperahu sekarang juga, untuk segera menghadap Gusti Senapati Indra Sambada di Kota Raja agar tak terlambat menyampaikan laporan hasil titahnya !!”.
“Baik… baik !!. Aku tak mungkin dapat mencegah kalian !!. Pesanku, sampaikan salam sujudku kehadapan Gusti Indra !!”.
Sambil menepuk-nepuk Yoga Kumala ketiga saudara Parang Jingga berpesan agar kedatangannya di Kota Raja kelak jangan sampai terlambat. Setelah berpamitan, mereka bertiga segera berlalu dengan pesatnya sambil meninggalkan suara seruan pesan.
“Yoga!! Sampai ketemu di Kota Raja !!!”. Suara itu memantul menggema kembali untuk kemudian hilang lenyap sama sekali.
Ketiganya hampir merupakan sekembaran. Mukanya bersih berseri dengan pandang mata tajam. Rambutnya diikat diatas kepala dengan pita sutra kuning dan merupakan gelung kecil. Masing2 berbadan tinggi tegap. Hanya pada keningnya yang tertua terdapat tanda goresan bekas luka dan rambutnyapun telah kelihatan berwarna dua. Ia bersenjatakan tongkat besi sepanjang setengah depa dan sebatang golok panjang yang tergantung dipinggang sebelah kanan.
Yang nomor dua tingginya terpaut sedikit dibandingkan dengan yang tertua. Rambutnya hitam pekat serta diikat keatas menyerupai yang tertua. Ia bersenjatakan sepasang golok pendek yang terselip di pinggang kanan kirinya. Sedangkan yang termuda bertubuh agak kurus dan setinggi yang tertua. Berbeda dengan kedua saudaranya, rambutnya terurai lepas dan sepasang golok pendek terselip di pinggang kanan kirinya.
“Saya adalah cucunya Eyang Cahayabuana, dan nama saya Yoga Kumala !!!”. Jawab Yoga Kumala singkat, sambil menatap pandang penuh curiga.
“Tak salah lagi dugaanku, Kau cucu pertapa shakti Ajengan Cahayabuana !!!”. Parang jingga tertua berkata lagi. Sementara kedua saudara Parang Jingga lainnya berdiri diam tak berkata sepatahpun. Namun pandangannya liar menyapu sekitarnya, dan sebentar2 saling menatap pandang.
“Dimana Eyangmu sekarang ? Aku bertiga ingin menemuinya !!!”.
Mendengar pertanyaan itu, Yoga Kumala semakin curiga. Haruskah ia menunjukkan pada Eyangnya yang mungkin sedang bersamadi ? Ataukah ia sendiri harus mewakilinya?. Kini ia sedang menimbang nimbang dan untuk segera mengambil keputusan rasa hatinya penuh ragu. Sedang ia menimbang2 tindakan apa yang harus diambil, tiba-tiba Parang Jingga tertua mengulangi pertanyaan dengan nada yang agak keras.
“Hai Yoga Kumala !!!. Jawablah pertanyaanku !!!. Dimana Eyangmu sekarang ???. Jarak Gunung Guntur dan Gunung Tangkubanperahu bukanlah dekat. Tidak akan aku bertiga jauh-jauh datang kemari, jika tak ada perlunya. Ataukah aku harus mencari sendiri dalam gua itu. ?”.
Agak gugup juga Yoga Kumala menghadapi pertanyaan ulangan yang mendesak ini. Akan tetapi dengan cepat ia dapat menguasai ketenangannya kembali.
“Maafkan Tuan2. Jika sekiranya sangat penting kedatangan Tuan-tuan, silahkan katakan keperluan apa, nanti akan saya sampaikan kepada Eyang !”.
“Haaa… Haaa…! Anak muda yang tak mengerti adat!”. gumamnya, sambil ketawa terbahak-bahak serta melanjutkan kata2nya. “Hai Yoga Kumala! Apakah memang demikian ajaran Eyangmu? Dengarkan!. Aku bertiga bergelar "Parang Jingga" dan datang kemari untuk menemui Eyangmu! Cukup apabila kau sampaikan pada Eyangmu bahwa ada tamu penting dari Gunung Guntur yang datang kemari!, Lekas sampaikan atau aku akan mencarinya sendiri, tanpa kau antarkan.” Berkata demikian, Parang Jingga tertua melangkah maju dengan tangan kirinya mendorong Yoga Kumala kesamping sedangkan kedua saudaranya sambil serentak mengumpat.
“Anak liar tak mengenal aturan!”.
Kiranya dorongan tangan kiri Parang Jingga tertua itu bukan hanya gerakan sambil lalu saja, akan tetapi ternyata di sertai daya pemusatan tenaga shaktinya, sehingga belum juga tangannya menyentuh badan Yoga Kumala, telah dapat pula dirasakan angin dorongan yang dahsyat .
Akan tetapi Yoga Kumala yang telah memiliki tenaga shakti pemunah daya shakti dan setahun lamanya digembleng Eyangnya sendiri, sengaja tidak menghindari serangan gelap itu. Ia sengaja memapaki dengan terhuyung2 kedepan menerjang lawan, sambil jari2nya tegang mengembang untuk mengarah ketiak lawan.
Sebagai orang terkenal dengan nama gelarnya Parang Jingga tertua serta telah banyak pengalaman dalam pelbagai macam pertempuran, ia terperanjat sesaat. Sambil meloncat kesamping untuk mengelak dari serangan totokan yang tiba2 itu.
Menyaksikan sikap Yoga Kumala yang dianggapnya sangat kurang ajar, kedua saudara Parang Jingga serentak menyerang Yoga Kumala dengan maksud untuk meringkusnya. Seorang menubruk dengan kedua tangannya kearah kedua kaki Yoga Kumala, sedangkan seorang lagi melancarkan tendangan mengarah lambung dari samping kanan dalam jarak yang amat dekat.
Serangan serentak dari kedua Parang Jingga itu walaupun berlainan bentuknya, namun jelas merupakan serangan yang mengandung satu titik tujuan. Karena menangkis ataupun mengelakkan tendangan dari samping kanan, berarti menyerah pada serangan tubrukan kedua belah tangan yang mengarah kakinya dari seorang lawan lainnya atau ia harus menerima serangan tendangan yang dahsyat dari lawan satunya.
Akan tetapi Yoga Kumala yang telah menguasai ilmu "wuru shakti" tak berpendapat demikian. la menjatuhkan diri dengan berjongkok hampir tertelungkup dan berjumpalitan menerobos dibawah kaki lawan yang sedang melancarkan tendangan, sambil menyerang dengan totokan jari2 yang tepat mengenai pangkal paha lawan bagian bawah dengan seruan tawa yang menyeramkan.
Tak ayal lagi seorang termuda Parang Jingga yang melancarkan serangan tendangan segera jatuh terlentang dan berjumpalitan kesamping, untuk menghindar dari serangan rangkaian Yoga Kumala, sedangkan seorang lagi melompat surut kesamping dua langkah dengan berseru nyaring, menghindari serangan terkaman si kumbang yang tak diduga2. Ternyata sikumbang tak tinggal diam, melihat majikannya diserang oleh kedua lawan yang telah melukainya. Cepat Yoga Kumala bangkit berjongkok lagi, sambil berseru mencegah gerakan si kumbang yang akan mengulang gerakan terkamannya.
“Kumbang!, Lekas pergi! Jangan turut campur”, bentaknya.
Dan mengerti seperti akan seruan majikannya, si kumbang melompat menjauhi lawan2nya dan kemudian menyelinap di balik makam.
Sementara itu, Parang Jingga tertua telah menerjang Yoga Kumala dengan tongkat besinya. Sedangkan kedua saudara Parang Jingga lainnya telah pula mengurung dengan senjata masing2 dikedua belah tangannya.
“Kurung rapat dan tangkap dia!” Perintah Parang Jingga tertua pada kedua adiknya, sambil memutar tongkat besinya dan berseru lantang pada Yoga Kumala: “Jika kau tak mau menyerah dan mengantar kami bertiga pada Eyangmu. jangan menyesal jika kau terluka ataupun binasa ditanganku!”.
Sesungguhnya ancaman ini semula hanya dimaksudkan menggertak untuk menakut-nakuti saja, agar Yoga Kumala tidak membandel melawan mereka. Akan tetapi, siapa tahu bahwa ancaman demikian, malah membangkitkan semangatnya untuk menguji ilmu pedang yang telah dipelajarinya.
Ia masih berdiri setengah berjongkok dengan kedua kaki terpentang lebar. Telapak tangan kiri mengembang dengan jari2 yang ditegangkan diangkat setinggi pundaknya, sedangkan tangan kanan menggenggam pedang pusaka yang terhunus, melintang didepan dadanya. Ia menyahut dengan kata2 yang diiringi tawanya yang terkekeh-kekeh menyeramkan.
“Haaa.... haahaaaaa ! Silahkan Tuan Parang Jingga. Aku ingin membuktikan sendiri akan kehebatan ilmu shakti dari Parang Jingga bersaudaral. Haaa… haaaa… !”.
Melihat Yoga Kumala bersiaga dengan kuda2 yang aneh disertai suara tawa menyeramkan, Parang Jingga tertua membatalkan serangannya serta memberi isyarat pada kedua saudaranya untuk melayani Yoga Kumala, sementara itu ia sendiri mundur selangkah sambil berseru.
“Hebat !! Hebat…! Pantas sebagai keturunan pertapa shakti!. Yoga Kumala. Layanilah kedua saudaraku dengan ilmu pedangmu yang aneh! Akan kulihat sampai berapa jurus kau mampu melawan kedua saudara mudaku ini! Haaa…. Haaaa”.
Kata2 pujian yang ditutup dengan memandang rendah ilmu pedangnya itu cukup membakar semangat. Ia tidak mau dihina demikian. Ia selalu ingat akan ajaran Eyangnya, yang pantang bertindak sebagai pengecut.
“Jangan kalian sombong, menghina orang lain!” serunya. “Majulah bertiga, aku tak akan mundur selanggkah menghadapi serangan kalian”.
Belum juga ia selesai mengucapkan kata2nya, seorang termuda Parang Jingga telah membuka serangan dengan sebuah bacokan kampak kearah dadanya, sambil berseru:
“Awas serangan !”.
Kaki kiri Yoga Kumala bergerak maju selangkah, dengan badan lebih merendah lagi, Pedang pusaka berkelebat bagaikan kilat menangkis serangan kampak, mengarah pergelangan lawan sedangkan tangan kirinya mengembang tegang menyambar ke arah punggung lawan, diiringi seruan tak kalah lantangnya:
“Awas balasan!”.
Menghadapi serangan balasan dari Yoga Kumala yang tak di duga-duga itu Parang Jingga termuda cepat meloncat kesamping kiri dan membatalkan rangkaian serangannya. Ia terkesiap sesaat. Belum pernah serangan yang demikian dahsyatnya dihindari lawan secara melancarkan serangan balasan.
Melihat adiknya sibuk menghindari serangan balasan dari Yoga Kumala, Parang Jingga penengah segera langsung menerjang dengan tusukan dan babatan sepasang golok pendeknya.
Sementara itu Parang Jingga termuda telah membalikkan badannya dan kembali menyerang lagi dengan senjata kampak dan golok panjangnya. Namun serangan2 yang dahsyat itu, oleh Yoga Kumala dapat selalu dihindari secara aneh dan mengagumkan, hingga serangan2 kedua saudara Parang Jingga selalu menemui tempat kosong. Pertempuran kini menjadi seru dengan gerakan2 serangan senjata tajam masing2 yang amat cepat serta sukar dilihat dan diduga akan perobahan2 gerakannya.
Gulungan sinar putih bersemu kebiruan diselingi dengan berkelebatnya sinar putih kemilau yang menyambar bagaikan kilat susul-menyusul menyelubungi tubuh ketiga orang yang sedang bertempur dengan sengitnya.
Ternyata dalam menghadapi dua orang lawan tangguh, Yoga Kumala dapat mengimbangi ketangkasannya, tanpa terdesak kedudukannya. Parang Jingga tertua yang menyaksikan pertempuran dari dekat tersenyum kagum :
“Bagus! Bagus!” serunya sambil mengikuti jalannya pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengit.
Akan tetapi pertempuran yang semula berjalan dengan seru dan seimbang, tak lama kemudian berobah dengan tiba2. Dua saudara Parang Jingga kini menjadi sibuk berlompatan menghindari serangan2 aneh dan berbahaya, serta sukar diduga akan bentuk perobahan dan arahnya. Kiranya mereka keduanya telah merasa terdesak dan tak sampai memberikan balasan serangan pada Yoga Kumala lawannya.
Serangan kedua saudara Parang Jingga yang tadinya merupakan serangkaian serangan yang serasa serta dahsyat , menjadi buyar dan kalang kabut, hampir2 senjata mereka berdua salimg berbenturan sendiri. Sedang mereka sibuk berlompatan menghindari serangan pedang pusaka yang berkelebatan susul-menyusul ke arah tubuh mereka, tiba2 Yoga Kumala melompat tinggi sambil berjumpalitan di udara dengan berseru keras
“Lepas senjata!!!".
Tidak ayal lagi, kedua golok pendek di tangan kanan kiri lepas dari genggaman dan terpental, sejauh lima langkah dari pemegangnya. Dengan seruan tertahan, penengah Parang Jingga melompat surut ke belakang dua langkah sambil gemetaran. Tangan kanannya terasa seperti lumpuh, sedangkan ibu jari tangan kirinya terbabat sabetan pedang pusaka Yoga Kumala.
Setelah melihat kedua saudaranya terdesak hebat dan bahkan seorang diantaranya cedera pada kedua belah tangannya, ia melompat menerjang ke arah Yoga Kumala dengan serangan pukulan tongkat besi, langsung mengarah bahu kanan Yoga Kumala.
Namun kembali lagi Yoga Kumala dapat terhindar secara mentakjubkan sambil melancarkan serangan balasan yang tak kalah berbahayanya. Pukulan tongkat besi yang jatuh ditempat kosong itu, oleh Parang Jingga tertua dilanjutkan menjadi sabetan ke arah kaki Yoga Kumala yang sedang mengelak kesamping dengan disertai loncatan rendah untuk menghindarkan sabetan pedang Yoga Kumala.
Akan tetapi ia segera melompat dua langkah kesamping kiri, setelah mendapatkan kenyataan bahwa serangan tongkat besinya yang berangkai gagal semua dan Yoga Kumala tanpa diketahuinya telah berada dibelakangnya sambil melancarkan serangan2 yang sangat berbahaya.
Sementara itu Parang Jingga penengah telah terbebas dari kelumpuhan tangan kanannya, sedangkan ibu jari tangan kirinya cepat dibalut dengan sobekan lengan jubahnya, untuk kemudian melompat mendekat Parang Jingga tertua dan mengambil golok panjang yang terselip dipinggang kakaknya.
Kini mereka bertiga dengan senjata masing2 ditangan serentak maju dengan serangan yang amat rapih dan teratur silih berganti susul-menyusul dan kadang2 serangan serentak yang amat dahsyat.
Tongkat besi menyambar ke arah kedua kaki Yoga Kumala, sedangkan ujung golok panjang dari penengah Parang Jingga meluncur kearah dadanya, dan Parang Jingga termuda pada saat bersamaan mengayunkan kampaknya ke arah kepala Yoga Kumala dengan memegang golok pendek terhunus ditangan kirinya siap untuk merangkaikan serangan.
Tiba2 sewaktu tiga senjata hampir mengenai sasaran, Yoga Kumala terhuyung2 kebelakang selangkah untuk kemudian meloncat tinggi sambil berseru melengking menyeramkan.
Ia berpusingan diudara meluncur kembali dengan melancarkan serangan dalam gerak sabetan pedang yang sangat membingungkan bagi ketiga saudara Parang Jingga yang belum siaga. Ketiganya berlompatan surut ke belakang selangkah untuk menghindari serangan pedang maut yang tak dikenal. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa serangan yang demikian rapat dan dahsyat dapat dihindari secara aneh dan mentakjubkan.
Akan tetapi Parang Jingga termuda dengan tangkas melemparkan golok pendeknya ke arah Yoga Kumala sewaktu ia meloncat menghindar dari serangan pedang. Golok pendek meluncur bagaikan kilat mengarah perut Yoga Kumala yang waktu itu belum berpijak ditanah. Dan
“trrraanngg”
Golok pendek tertebas menjadi dua potong serta terpental jauh, masing2 mengarah tubuh kedua lawannya yang sedang berlompatan menghindar dari serangan pedang sehingga mereka terpaksa menangkis dengan gerakan membentuk perisai dengan senjatanya masing. Tiba2 seorang tertua Parang Jingga melompat surut ke belakang dua langkah sambil berseru keras.
“Cukup. Cukup !. Tahan senjata!” Serentak semua mengikuti gerakan Parang Jingga tertua dan berdiri tegak tak bergerak sambil memegang senjata masing2. Bersamaan dengan itu, Ajengan Cahayabuana berdiri dibelakang Yoga Kumala, sambil tertawa nyaring.
“Haa….. haa...! Bagus!…. Bagus! Yoga sambutlah kedatangan para tamu Parang Jingga sebagai mana layaknya. Anggaplah ketiga tamu shakti itu seperti keluarga kita sendiri”.
Mendengar kata2 Eyangnya yang tiba2 itu, ia menjadi terkejut dan heran bukan kepalang. Namun sebagai seorang cucu yang selalu taat akan perintah Eyangnya, Yoga Kumala cepat menyarungkan pedang pusakanya kembali serta membungkukkan badan ke arah ketiga saudara Parang Jingga sambil berkata minta maaf.
“Tidak mengapa !I. Dan tidak ada yang harus kami maafkan Yoga Kumala !!, Saya bangga menyaksikan kepandaianmu!!” Berkata demikian Parang Jingga sambil membalas hormat. “Bapak Ajengan Cahayabuana !!” Ia berkata melanjutkan bicara tertuju pada Cahayabuana, sambil menganggukkan kepalanya: Maaf kan kami bertiga, yang telah lancang berani menguji cucu Bapak Ajengan Cahayabuana sebelum mendapatkan idzin terlebih dahulu. Dan ternyata berhasil dengan sangat memuaskan. Kelancangan kami bertiga sekedar memenuhi permintaan Gusti Senapati Indra Sambada pada setengah tahun yang lalu”.
“Ach…. tidak ada pula yang harus saya maafkan, bahkan saya mengucap banyak terima kasih atas jerih pajah anak2 Parang Jingga yang telah sudi mengulurkan tangan membantu aku yang telah tua ini !!. Dan akupun telah mengerti akan keperluan kedatangan anak2 kemari, maka sengaja tadi aku tak menyambut lebih dahulu. Mari2 silahkan singgah digua pondokku sebentar anak2. Yoga !! Kau juga harus mengucap terima kasih pada tamu2 kita yang bermurah hati”. Belum juga Yoga Kumala sempat mengucapkan terima kasihnya, Parang Jingga telah berkata lagi.
“Maaf kan, Bapak Ajengan Cahayabuana !!. Bukannya kami menolak singgah di pertapaan, akan tetapi terpaksa kami harus meninggalkan Tangkubanperahu sekarang juga, untuk segera menghadap Gusti Senapati Indra Sambada di Kota Raja agar tak terlambat menyampaikan laporan hasil titahnya !!”.
“Baik… baik !!. Aku tak mungkin dapat mencegah kalian !!. Pesanku, sampaikan salam sujudku kehadapan Gusti Indra !!”.
Sambil menepuk-nepuk Yoga Kumala ketiga saudara Parang Jingga berpesan agar kedatangannya di Kota Raja kelak jangan sampai terlambat. Setelah berpamitan, mereka bertiga segera berlalu dengan pesatnya sambil meninggalkan suara seruan pesan.
“Yoga!! Sampai ketemu di Kota Raja !!!”. Suara itu memantul menggema kembali untuk kemudian hilang lenyap sama sekali.
**** 013 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment