Dengan air mata yang berlinang meleleh membasahi kedua pipinya, Yoga Kumala menyambut pemberian pedang pusaka dari Eyangnya dengan kedua belah tangannya. Sambil menangis terisak-isak ia berkata terputus-putus:
“Eyang,… maafkan cucunda… yang amat bodoh ini… Bagaimana saya dapat memenuhi… harapan Eyang… karena pedang pusaka pemberian Eyang… di tangan cucunda hanya akan menjadi… benda mati… walaupun demikian... ampuhnya pedang pusaka itu… Tidak!! Tidak Eyang!… Saya tak berhak memilikinya. Dengan tangan yang gemetar Yoga Kumala menyerahkan kembali pedang pusaka itu, dengan masih menangis terisak-isak.
Indah Kumala Wardhani yang biasanya senang menggoda kakaknya, kini duduk terpaku dengan muka tertunduk penuh dengan rasa haru. Sedangkan Indra Sambada duduk diam penuh rasa iba, melihat adik angkatnya yang sedang menggigil dan sambil menangis terisak-isak itu. Ingin ia berkata sesuatu untuk raenghibur Yoga Kumala, namun perasaan budi luhurnya mencegah ia tak berbuat demikian. Bukankah Ajengan Cahayabuana sebagai Eyangnya lebih berhak menghibur Yoga Kumala??. Ketenangannya kini kembali menguasai dirinya. Selagi Indra Sambada masih duduk terdiam, tiba2 Cahayabuana berkata lirih:
“Yoga Kumala cucuku. Jangan kau bersedih hati dan cepat berputus asa. Tenangkanlah perasaanmu, dan dengarkan petunjuk2ku ini. Aku tahu maksudmu yang terkandung dalam lubuk hatimu yang jujur, yaaahh…. bahkan aku lega mendengar pengakuanmu yang jujur itu, maka letakkanlah pedang pusaka itu dipangkuanmu dahulu:.
Tanpa membantah Eyangnya, Yoga Kumala mengikuti semua perintah Cahayabuana. Perlahan-lahan isak tangisnya mereda untuk kemudian tidak kedengaran lagi. Ia duduk tertunduk sambil mengusapi air mata yang membasahi pipinya dengan ujung baju.
“Cucuku Yoga Kumala!” Cahayabuana melanjutkan bicaranya, dengan menatap pedang ke arah Yoga Kumala. Suaranya terdengar lemah lembut penuh rasa sayang. “Ketahuilah, bahwa kau adalah cucuku priya yang tunggal. Dengan bakatmu, serta dasar2 ilmu krida yudha yang pernah kau pelajari dari kangmas angkatmu Gustiku Senapati Indra Sambada, dan ilmu kanuragan aneh yang telah kau miliki sebagai pemberian dari gurumu Dadung Ngawuk, aku yakin benar bahwa dalam waktu yang sangat singkat kau akan dapat memahami ilmu pedangku ini yang akan kuwariskan padamu.
Walaupun ilmu pedangku ini jauh belum sempurna, akan tetapi cukup untuk digunakan sebagai bekal daiam pengabdianmu kelak. Aku percaya, bahwa Gustiku Indra tentunya bersedia pula memberikan petunjuk2 yang berguna, agar kau dapat menggunakan pedang pusakamu dengan tidak mengecewakan”.
Karena kata2 Cahayabuana secara tidak langsung memuji ketinggian ilmu Indra Sambada, maka cepat2 Indra Sambada mengelak serta merendahkan diri secara tidak Iangsung pula, katanya :
“Adikku, Yoga Kumala !!. Kiranya tidak ada alasan kau berkecil hati. Percayalah, bahwa dalam asuhan Eyangmu sendiri, kelak ilmu krida Yudhamu akan jauh melampaui kepandaianku. Berbahagialah kau adikku Yoga yang masih mempunyai Eyang sebagai junjunganmu yang ilmunya baik jasmani ataupun rohani telah mumpuni tidak ada taranya. Akupun turut merasa bahagia, setelah Eyangmu sudi mengangkatku sebagai anggauta keluargamu dan juga sebagai muridnya. Maka pesanku, tekunlah berlatih dibawah asuhan Eyangmu !!”. Dan sambil berpaling kepada Ajengan Cahayabuana ia berkata dengan penuh hormat:
“Maafkan Bapak Ajengan Cahayabuana !!. Atas kelancanganku ini, sekedar petunjuk untuk adikku Yoga Kumala, agar ia tidak kehilangan semangat !!”.
“Heh... heehh… heeehhh… Benar2 seorang priyagung yang berbudi luhur yang tak pernah mau menerima kata pujian, tetapi selalu merendah. Semoga kedua cucuku dapat mencontoh tauladan yang luhur itu !!”. Cahayabuana mejawab pelan sambil ketawa.
Suasana yang diliputi rasa keharuan tadi menjadi lenyap, bagaikan kabut tipis tersapu oleh angin.
“Nah… jangan kau iri kepada akangmu, cucuku manis !! Untukmupun ada pula sebuah benda pusaka yang tak kalah indahnya dengan pedang milik akangmu. Kukira, benda ini memang pantas menjadi milikmu. Indah Kumala Wardhani !!”.
Cahayabuana berhenti sejenak dan mengeluarkan sebuah peti kecil yang panjangnya sekitar satu setengah jengkal. Dari dalam peti kecil itu, ia mengambil sebuah keris pusaka berukuran kecil dan pendek, kira2 sepanjang sejengkal yang memang khusus senjata untuk kaum wanita. Keris itu lazim disebut dengan istilah “patrem", Konon ceritanya keris wanita ataupun patrem itu dimiliki oleh tiap-tiap putri raja.
Disamping dipergunakan sebagai senjata untuk menghadapi lawan, patrem itu juga dipergunakan sebagai senjata untuk bunuh diri dalam membela kehormatannya, apabila tidak ada kemungkinan lain untuk mempertahankannya.
Hadiah yang diberikan Ajengan Cahayabuana kepada Indah Kumala Wardhani yang berupa patrem itu tak kalah indahnya dengan pedang panjang yang dihadiahkan kepada Yoga Kumala. Tangkainya terbuat dari gading yang dipahat halus berbentuk kepala garuda dengan sepasang batu mirah sebagai mata kepala garuda itu. Werangkanya dilapis emas murni seluruhnya serta dihiasi dengan permata berlian dan mirah. Keris Patrem itu setelah dihunus dari werangkanya, mengeluarkan bau harum semerbak. Warnanya kehitam-hitaman dengan pamornya berwarna putih bersinar. Bentuknya lurus meruncing dengan kedua sisinya bermata tajam.
Berbeda dengan kakaknya Yoga Kumala yang menangis terisak-isak sewaktu menerima pemberian Eyangnya, kini Indah Kumala Wardhani menyambut pemberian patrem pusaka itu dengan tersenyum girang bercampur bangga, sambil mengucapkan rasa terima kasihnya yang tak terhingga. Keris pusaka ditimang-timang di telapak tangannya, untuk diamat amati sambil tersenyum girang2 puas. Tak puas2nya ia mengagumi benda pusaka yang kini telah menjadi miliknya. Tanpa malu-malu lagi Indah Kumala Wardhani memamerkan milik pusakanya pada Indra Sambada, yang olehnya disambut dengan senyum gembira pula. Demi melihat cucunya yang lucu itu, Ajengan Cahayabuana turut pula bersenyum bangga.
“Simpanlah baik2 dahulu, manis!! Lain hari akan kujelaskan penggunaannya secara lebih mendalam”. Cahayabuana berkata kepada Indah Kumala Wardhani.
Peti panjang yang telah kosong itu, disisihkan kesudut oleh Cahayabuana dan selanjutnya ia berganti meraih peti persegi lainnya untuk diletakkan dekat dihadapannya. Ia menyerahkan gulungan kulit domba yang halus yang diambilnya dari peti persegi itu, kepada Indra Sambada sambil berkata dengan nada yang tenang.
“Nakmas Gustiku Senapati Indra Sambada! Gulungan kulit domba ini aku persembahkan kepada Gustiku Mungkin sangat berguna juga untuk Gustiku Indra!”.
“Eyang,… maafkan cucunda… yang amat bodoh ini… Bagaimana saya dapat memenuhi… harapan Eyang… karena pedang pusaka pemberian Eyang… di tangan cucunda hanya akan menjadi… benda mati… walaupun demikian... ampuhnya pedang pusaka itu… Tidak!! Tidak Eyang!… Saya tak berhak memilikinya. Dengan tangan yang gemetar Yoga Kumala menyerahkan kembali pedang pusaka itu, dengan masih menangis terisak-isak.
Indah Kumala Wardhani yang biasanya senang menggoda kakaknya, kini duduk terpaku dengan muka tertunduk penuh dengan rasa haru. Sedangkan Indra Sambada duduk diam penuh rasa iba, melihat adik angkatnya yang sedang menggigil dan sambil menangis terisak-isak itu. Ingin ia berkata sesuatu untuk raenghibur Yoga Kumala, namun perasaan budi luhurnya mencegah ia tak berbuat demikian. Bukankah Ajengan Cahayabuana sebagai Eyangnya lebih berhak menghibur Yoga Kumala??. Ketenangannya kini kembali menguasai dirinya. Selagi Indra Sambada masih duduk terdiam, tiba2 Cahayabuana berkata lirih:
“Yoga Kumala cucuku. Jangan kau bersedih hati dan cepat berputus asa. Tenangkanlah perasaanmu, dan dengarkan petunjuk2ku ini. Aku tahu maksudmu yang terkandung dalam lubuk hatimu yang jujur, yaaahh…. bahkan aku lega mendengar pengakuanmu yang jujur itu, maka letakkanlah pedang pusaka itu dipangkuanmu dahulu:.
Tanpa membantah Eyangnya, Yoga Kumala mengikuti semua perintah Cahayabuana. Perlahan-lahan isak tangisnya mereda untuk kemudian tidak kedengaran lagi. Ia duduk tertunduk sambil mengusapi air mata yang membasahi pipinya dengan ujung baju.
“Cucuku Yoga Kumala!” Cahayabuana melanjutkan bicaranya, dengan menatap pedang ke arah Yoga Kumala. Suaranya terdengar lemah lembut penuh rasa sayang. “Ketahuilah, bahwa kau adalah cucuku priya yang tunggal. Dengan bakatmu, serta dasar2 ilmu krida yudha yang pernah kau pelajari dari kangmas angkatmu Gustiku Senapati Indra Sambada, dan ilmu kanuragan aneh yang telah kau miliki sebagai pemberian dari gurumu Dadung Ngawuk, aku yakin benar bahwa dalam waktu yang sangat singkat kau akan dapat memahami ilmu pedangku ini yang akan kuwariskan padamu.
Walaupun ilmu pedangku ini jauh belum sempurna, akan tetapi cukup untuk digunakan sebagai bekal daiam pengabdianmu kelak. Aku percaya, bahwa Gustiku Indra tentunya bersedia pula memberikan petunjuk2 yang berguna, agar kau dapat menggunakan pedang pusakamu dengan tidak mengecewakan”.
Karena kata2 Cahayabuana secara tidak langsung memuji ketinggian ilmu Indra Sambada, maka cepat2 Indra Sambada mengelak serta merendahkan diri secara tidak Iangsung pula, katanya :
“Adikku, Yoga Kumala !!. Kiranya tidak ada alasan kau berkecil hati. Percayalah, bahwa dalam asuhan Eyangmu sendiri, kelak ilmu krida Yudhamu akan jauh melampaui kepandaianku. Berbahagialah kau adikku Yoga yang masih mempunyai Eyang sebagai junjunganmu yang ilmunya baik jasmani ataupun rohani telah mumpuni tidak ada taranya. Akupun turut merasa bahagia, setelah Eyangmu sudi mengangkatku sebagai anggauta keluargamu dan juga sebagai muridnya. Maka pesanku, tekunlah berlatih dibawah asuhan Eyangmu !!”. Dan sambil berpaling kepada Ajengan Cahayabuana ia berkata dengan penuh hormat:
“Maafkan Bapak Ajengan Cahayabuana !!. Atas kelancanganku ini, sekedar petunjuk untuk adikku Yoga Kumala, agar ia tidak kehilangan semangat !!”.
“Heh... heehh… heeehhh… Benar2 seorang priyagung yang berbudi luhur yang tak pernah mau menerima kata pujian, tetapi selalu merendah. Semoga kedua cucuku dapat mencontoh tauladan yang luhur itu !!”. Cahayabuana mejawab pelan sambil ketawa.
Suasana yang diliputi rasa keharuan tadi menjadi lenyap, bagaikan kabut tipis tersapu oleh angin.
“Nah… jangan kau iri kepada akangmu, cucuku manis !! Untukmupun ada pula sebuah benda pusaka yang tak kalah indahnya dengan pedang milik akangmu. Kukira, benda ini memang pantas menjadi milikmu. Indah Kumala Wardhani !!”.
Cahayabuana berhenti sejenak dan mengeluarkan sebuah peti kecil yang panjangnya sekitar satu setengah jengkal. Dari dalam peti kecil itu, ia mengambil sebuah keris pusaka berukuran kecil dan pendek, kira2 sepanjang sejengkal yang memang khusus senjata untuk kaum wanita. Keris itu lazim disebut dengan istilah “patrem", Konon ceritanya keris wanita ataupun patrem itu dimiliki oleh tiap-tiap putri raja.
Disamping dipergunakan sebagai senjata untuk menghadapi lawan, patrem itu juga dipergunakan sebagai senjata untuk bunuh diri dalam membela kehormatannya, apabila tidak ada kemungkinan lain untuk mempertahankannya.
Hadiah yang diberikan Ajengan Cahayabuana kepada Indah Kumala Wardhani yang berupa patrem itu tak kalah indahnya dengan pedang panjang yang dihadiahkan kepada Yoga Kumala. Tangkainya terbuat dari gading yang dipahat halus berbentuk kepala garuda dengan sepasang batu mirah sebagai mata kepala garuda itu. Werangkanya dilapis emas murni seluruhnya serta dihiasi dengan permata berlian dan mirah. Keris Patrem itu setelah dihunus dari werangkanya, mengeluarkan bau harum semerbak. Warnanya kehitam-hitaman dengan pamornya berwarna putih bersinar. Bentuknya lurus meruncing dengan kedua sisinya bermata tajam.
Berbeda dengan kakaknya Yoga Kumala yang menangis terisak-isak sewaktu menerima pemberian Eyangnya, kini Indah Kumala Wardhani menyambut pemberian patrem pusaka itu dengan tersenyum girang bercampur bangga, sambil mengucapkan rasa terima kasihnya yang tak terhingga. Keris pusaka ditimang-timang di telapak tangannya, untuk diamat amati sambil tersenyum girang2 puas. Tak puas2nya ia mengagumi benda pusaka yang kini telah menjadi miliknya. Tanpa malu-malu lagi Indah Kumala Wardhani memamerkan milik pusakanya pada Indra Sambada, yang olehnya disambut dengan senyum gembira pula. Demi melihat cucunya yang lucu itu, Ajengan Cahayabuana turut pula bersenyum bangga.
“Simpanlah baik2 dahulu, manis!! Lain hari akan kujelaskan penggunaannya secara lebih mendalam”. Cahayabuana berkata kepada Indah Kumala Wardhani.
Peti panjang yang telah kosong itu, disisihkan kesudut oleh Cahayabuana dan selanjutnya ia berganti meraih peti persegi lainnya untuk diletakkan dekat dihadapannya. Ia menyerahkan gulungan kulit domba yang halus yang diambilnya dari peti persegi itu, kepada Indra Sambada sambil berkata dengan nada yang tenang.
“Nakmas Gustiku Senapati Indra Sambada! Gulungan kulit domba ini aku persembahkan kepada Gustiku Mungkin sangat berguna juga untuk Gustiku Indra!”.
Cepat Indra Sambada menyambut pemberian kulit domba itu dengan kedua belah tangannya, untuk kemudian di gelar serta dilihatnya dengan seksama. Wajah Indra Sambada berseri-seri serta kagum, setelah melihat dengan jelas lukisan peta bumi yang menggambarkan seluruh Nusantara lengkap dengan gunung dan sungai2 serta batas2 daerah Kerajaan. Ia belum pernah melihat peta bumi yang demikian lengkapnya, serta luasnya sebagaimana yang berada ditangannya sekarang.
“Pemberian Bapak Ajengan Cahayabuana ini sangat berharga bagiku dalam mengemban tugas sebagai tamtama Kerajaan. Saya kira di Kerajaanpun tidak ada peta bumi yang demikian lengkap dan jelas serta demikian indah buatannya. Sungguh merupakan hadiah bagiku yang tak ternilai. Jika Bapak Ajengan Cahayabuana tidak keberatan, peta bumi ini akan saya persembahkan kepada Gustiku Sri Baginda Maharaja”, Indra Sambada menyambut dengan kata2nya penuh hormat serta mengemukakan kehendaknya.
“Barang yang tak berguna untukku itu telah kupersembahkan pada Gustiku Indra. Untuk dibuat apapun selanjutnya terserah kepada Gusti Junjunganku sendiri. Kiranya aku telah tidak berhak lagi untuk menyampuri kebijaksanaan Gustiku Indra”, jawab Cahayabuana sambil tersenyum lirih.
Setelah Indra Sambada puas mengagumi peta bumi dari kulit domba yang diterimanya, kini Cahayabuana memperlihatkan lagi tumpukan lembaran kulit domba yang berisikan tulisan2 kuno. Itulah sisa lembaran kitab kuno buah karya Sakya Abindra pada abad ke VII yang telah diceritakan kemarin.
Kesemuanya terdiri dari empat belas lembar bagian terakhir dari kitab kuno itu, yang mana dua lembar diantaranya telah sobek terpotong pada ujungnya. Akan tetapi guratan huruf2 kuno yang terdapat pada lembaran kulit domba itu masih nampak jelas dan mudah dibaca. Sewaktu Indra Sambada masih meneliti akan urutan halaman itu, tiba2 Cahayabuana berkata memecah kesunyian:
“Nakmas Gusti Junjunganku Indra! Sebaiknya kitab kuno itu kita bawa keluar saya, agar dapat kita pelajari bersama ditempat yang lebih terang. Maaf, nakmas Gustiku. Ditempat yang remang2 demikian, mataku yang telah di makan umur tidak dapat diajak bekerja”,
Cahayabuana segera bangkit sambil tersenyum dan kemudian Indra Sambada, Yoga Kumala dan Indah Kumala Wardhani mengikuti pula sambil tersenyum geli demi mendengar pengakuan Cahayabuana bahwa matanya teIah dimakan umur. Bukankah Cahayabuana selalu gemar berjalan di malam hari? — pikir mereka.
Dengan pedang pusaka yang disandang dipinggang kirinya. Yoga Kumala menjadi lebih kelihatan perkasa. Setelah mereka tiba dilapangan terbuka didepan mulut gua, segera mereka duduk ditempat yang teduh dibawah sebuah pohon asem yang rindang. Sambil tersenyum2 ringan serta memegang lembaran2 kitab kuno dengan tangan kanannya, Cahayabuana mulai bicara lagi tertuju pada Indra.
“Nakmas Gustiku Indra ! Nakmas Gustiku Indra! Dalam Iembaran pertama, kedua, dan ketiga, yang mana ketiga lembar sisa kitab itu masing-masing ditandai dengan angka 34, 35, dan 36, jelas menunjukkan bahwa potongan lembaran itu adalah lembaran / halaman yang ke 34, 35 dan 36 dari kitab "Wuru Shakti” yang menjadi rebutan para orang shakti. Dan ketiga lembar itulah yang memuat tulisan2 mengenai kunci dari pada jurus jurus gerakan "wuru shakti". Karena lembaran2 yang memuat bagian jurus2 langkah wuru shakti tidak ada dalam sisa kitab yang kumiliki ini, maka untuk memahaminya lebih lanjut secara jelas, hendaknya Gustiku Indra membuktikan dahulu akan kehebatan dari pada gerakan langkah2 wuru shakti yang telah dimiliki cucuku Yoga Kumala.
Nach, sekarang sebaiknya cucuku Yoga supaya mempertunjukkan ilmu "wuru shakti" yang telah kau miliki dan kau pelajari dari gurumu Dadung Ngawuk, agar kita semua mendapat gambaran yang lebih jelas tentang kehebatan dari pada ilmumu itu. Maka hendaknya cucuku Yoga tidak usah bersikap malu2”.Berkata demikian Cahayabuana menatap pandang pada Yoga Kumala, sebagai isyarat agar cucunya Yoga Kumala mau mempertunjukkan sebentar ilmunya.
Dengan sikap yang canggung dan ragu2 karena agak malu, Yoga Kumala bangkit berdiri sambil melepaskan pedang pusakanya, dan melangkah maju ketengah lapangan. Dengan gerakan yang kurang bersemangat, ia mulai dengan langkah2 jurus wuru shakti yang diikuti dengan penuh perhatian oleh Cahayabuana dan Indra Sambada serta Indah Kumala Wardhana.
Demi melihat gerakan Yoga Kumala yang canggung penuh keraguan itu, Indra Sambada bangkit berdiri dan mendekat sambil berseru:
“Yoga Kumala!! Mari.... saya temani agar gerakanmu lebih gesit!” Kata2 itu diiringi suara senyum ketawa, yang menghilangkan rasa keragu2annya. “Adikku Yoga, cobalah kau elakkan seranganku ini!” Indra Sambada melanjutkan bicaranya. “Jika dalam waktu sepengunyah sirih pergelangan tanganmu yang kanan tak dapat kutangkap aku kakakmu Indra menyerah kalah serta mengakui akan kehebatan ilmu wuru shakti yang menjadi kebanggaanmu itu!”.
Kata2 sanjungan itu memang sengaja diucapkan Indra Sambada agar Yoga Kumala dapat mempertunjukkan ilmunya dengan sepenuh hati. Dengan demikian, gerak langkah aneh dari jurus2 ilmu kanuragan wuru shakti dapat dibuktikan sendiri kehebatannya serta untuk memudahkan dalam mempelajari kunci ilmu yang termuat dalam lembaran2 kitab kuno, yang kini sedang dipelajari dengan Cahayabuana.
Setelah mendengar seruan kakaknya Indra Sambada, Yoga Kumala cepat berdiri siap siaga untuk menanti datangnya serangan dari Indra Sambada dengan penuh semangat dan tanpa ragu2 lagi. Ia berdiri merendah setengah berjongkok dengan kedua kakinya dipentang lebar. Tangan kiri ditekuk ke atas setinggi bahunya dengan jari2 yang tegang mengembang dan menghadap kedepan. Tangan kanan bergerak dalam gaya menjangkau, lurus setinggi jajar dengan dadanya sendiri. Telapak tangannya mengembang dengan jari2 yang ditegangkan pula. Matanya mernandang tajam ke depan dengan mulut yang tersenyum menyeringai.
Inilah gerak langkah wuru shakti dalam bentuk jurus yang dikenal dengan nama “menyarnbut serangan maut dari empat penjuru". Jurus Wurushakti yang demikian ini, khusus diciptakan untuk menghadapi serangan2 dahsyat yang belum diketahui bentuk gerakan serangan lawannya serta yang tidak diketahui pula dari arah mana serangan itu mendatang.
Walaupun gerakan itu tak sedap dipandang karena memang tak memiliki gaya keindahan, akan tetapi cukup membingungkan bagi lawan yang akan menyerang. Dari gerakan itupun dapat dilihat, bahwa tiap2 gerakan sambutan serangan dari lawan, tentu akan mengandung unsur2 serangan balasan yang cukup berbahaya.
Jurus menyambut serangan maut dari empat penjuru itu diciptakan sedemikian rupa, sehingga dengan secara cepat bagaikan kilat dapat menukar arah dengan hanya menggeser salah satu kakinya saja tanpa merobah bentuk gerakannya.
“Awas serangan!!” seru Indra Sambada sambil melompat langsung menerjang dari samping kanan dengan pukulan telapak tangan ke arah pelipis Yoga Kumala, sedangkan telapak tangan kirinya menyambar secepaa kilat ke arah pergelangan tangan kanan Yoga Kumala untuk ditangkapnya.
Suatu gerakan serangan yang dahsyat dan sukar untuk diduga sebelumnya. Akan tetapi sebagai murid Dadung Ngawuk yang pernah pula memakan buah “daru saketi", Yoga Kumala dengan perasaan nalurinya, tiba-tiba mengubah jangkauan tangan kanannya menjadi sebuah serangan tebangan kearah lengan kiri Indra Sambada sambil terhuyung-huyung melangkah kedepan dengan jari2 tangan kiri yang mengembang tegang menyambut pukulan tangan kanan Indra yang menyambar kearah pelipisnya.
Sesaat Indra Sambada terperanjat dan cepat menarik kembali serangan tangan kirinya sambil melompat kesamping kanan, sedangkan tangan kanannya dirubah menadi kepalan untuk memapaki datangnya sambaran tangan kiri Yoga Kumala. Dua lengan berbenturan keras, dan masing2 berseru tertahan karena merasakan dasyatnya tenaga benturan yang mengakibatkan rasa ngilu ditulang lengannya.
“Benar2 ilmu tata kelahi yang aneh” pikir Indra Sambada.
Pada umumnya, orang menyambut serangan yang pertama kali dengan gerakan mengelak. Akan tetapi kini apa yang disaksikan olehnya adalah sebaliknya. Serangan yang pertama disambut serangan pula yang tidak kalah dahsyatnya, tanpa menghiraukan akan kekuatan lawan tarlebih dahulu. Lebih mengherankan lagi ialah bahwa Yoga Kumala tidak mau menghindar kesamping, justru malah menerjang dan menerobos kedepan dengan langkah-langkah yang aneh serta membingungkan, hingga ia menjadi berada dibelakangnya. Karena kuatir akan datangnya rangkaian serangan aneh dari adiknya, Indra Sambada cepat membalikkan badannya serta melontarkan serangan tendangan berangkai. Sambil berseru nyaring:
“Awas serangan kedua!”.
Akan tetapi malah ia sendiri yang dibuat menjadi sibuk, karena tanpa diketahui, Yoga Kumala telah menjatuhkan diri dan berjumpalitan kearahnya secara menelusup dibawah kakinya sambil menyerang dengan totokan jari2 kearah paha kakinya.
Menghadapi serangan yang sukar di duga itu, Indra Sambada terpaksa meloncat tinggi dan berpusingan agar dapat jatuh berdiri dengan menghadap lawannya kembali. Kini tanpa memberikan peringatan, Indra Sambada cepat menyerang lagi dengan sebuah tinju yang disusul tendangan berangkai, sambil menyambar pergelangan tangan kanan lawan dengan tangan kirinya.
Akan tetapi ternyata semua serangannya tak pernah menyentuh sasaran dan selalu jatuh di tempat kosong. Gerakan adiknya yang mirip seorang setengah mabok dan kelihatan lambat itu, ternyata merupakan pengelakan dan sekaligus merangkap unsur serangan balasan yang dahsyat dan berbahaya. Pertarungan yang hanya merupakan latihan dan pertunjukan. kini menjadi seru dan berlangsung dengan gerakan yang lebih cepat dan lebih dahsyat, sehingga mengeluarkan angin sambaran yang menderu-deru.
Masing2 saling memperlihatkan ketangkasannya, serta ketinggihan ilmunya dalam tata kelahi bertangan kosong dengan gaya gerakan satu sama lain yang jauh berlainan. Pun seruan2 melengking sebagai peringatan dari Indra Sambada selalu disambut oleh Yoga Kumala dengan suara terkekeh-kekeh yang menyeramkan. Pertarungan yang seru itu telah berlangsung agak lama, tanpa ada yang roboh terluka.
Tiba2 Cahayabuana berseru dengan suaranya yang penuh wibawa, menghentikan pertarungan yang masih berlangsung dengan sengitnya. Keduanya yang sedang bertempur, serentak menghentikan gerakannya, sambil tersenyum dan kemudian berjabatan tangan.
“Aku mengaku kalah, Yoga !! Sungguh bangga mempunyai adik seperti kau ini !!”. Indra Sambada mulai bicara pada adik angkatnya Yoga Kumala.
“Ach,… kangmas Indra sengaja mengalah !!”. Yoga menjawab sambil ketawa.
“Bukan aku mengalah, akan tetapi aku memang tidak mampu menangkap pergelangan tanganmu. Hampir2 aku lupa bahwa waktu sepengunyah sirih telah lama lewat. Dan ternyata, belum juga aku berhasil menangkap pergelangan tanganmu, walaupun seluruh kepandaianku telah kuperas. Ilmumu yang aneh sungguh mengagumkan !!!”.
Dengan bergandengan tangan, mereka berdua berjalan kembali menghadap Ajengan Cahayabuana yang masih duduk bersila dengan Indah Kumala Wardhani disampingnya.
“Nach, bagaimana sekarang pendapat nakmas Gustiku tentang ilmu wuru shakti yang baru saja dipertunjukkan cucuku Yoga Kumala?. Cahayabuana mulai berkata, setelah mereka berdua duduk bersila dihadapannya,
“Ilmu yang sangat aneh dan mengagumkan, Bapak Ajengan ! Jika aku tidak membuktikan sendiri tentunya tidak akan percaya kehebatan ilmu “Wuru shakti" itu. Tak mengira bahwa adikku Yoga Kumala dapat menguasai ilmunya yang aneh itu dengan sempurna”. Indra Sambada mejawab dengan sungguh2 dalam mengutarakan pendapatnya.
“Heh… hehh… heeeehh II… Cucuku Yoga!! Terimalah dengan rasa bangga, bahwa kangmasmu Indra Sambada hari ini berkenan memuji ilmu kepandaianmu”.
Demi mendengar kata2 pujian yang tertuju pada dirinya, Yoga Kumala menundukkan kepala sambil tersenyum tersipu-sipu.
“Idiiiihh… Akang Yoga pura2 malu !!”. Indah Kumala Wardhani menyahut memotong pembicaraan, sambil tersenyum menggoda kakaknya.
“Kau selalu ceriwis !!”. Tegur kakaknya. Dan mukanya semakin menjadi lebih merah sampai diujung telinganya. Ia tak dapat berkutik menghadapi ejekan adiknya yang usilan.
Ajengan Cahayabuana dan Indra Sambada tersenyum geli menyaksikan sifat2 kelucuan dari kedua remaja itu. Dengan suara lemah lembut penuh kasih sayang, Cahayabuana kemudian menyapih kedua cucunya, agar mereka tidak saling bertengkar.
Kini mereka berempat segera asyik mempelajari tulisan2 yang tertera dalam lembaran2 kitab kuno. Dengan tenang dan penuh kesabaran Cahavabuana memberikan jawaban penjelasannya atas pertanyaan yang diajukan kedua cucunya.
Sementara itu Indra Sambada mencurahkan perhatiannya sendiri pada uraian kalimat2 yang termaktub dalam kitab kuno itu, dengan daya ingatan dan pikiran yang tajam. Dengan cepat ia dapat menangkap semua intisari dari pada kunci “wuru shakti" yang termuat dalam tiga lembar pertama dari kitab kuno itu, yang oleh penciptanya kunci “wuru shakti" itu, dinamakan “penutup langkah wuru shakti ".
Dalam lembaran kedua dan ketiga dengan jelas diuraikan, bahwa untuk menutup langkah2 wuru shakti, serangan harus dilancarkan pertama-tama mengikuti gerakannya, kemudian rangkaian serangannya justru harus tertuju pada tempat kosong kearah yang berlawanan dengan kedudukan lawan. Lagi pula rangkaian serangan yang dilancarkan pada tempat kosong harus dilancarkan dengan tenaga sepenuhnya, dan bukan sebagai gerak tipu atau serangan pancingan.
Karena apabila serangan susulan itu dilancarkan tanpa menggunakan sepenuh tenaga, maka akan berbahaya bagi si penyerang sendiri. Hal ini disebabkan karena tiap gerakan jurus wuru shakti selalu mengandung unsur gerakan serangan balasan. Akan tetapi dalam akhir uraian itu dijelaskan bahwa penutup langkah wuru shakti khusus diciptakan hanya untuk menghadapi “ilmu wuru shakti yang bertangan kosong”. Sedangkan ilmu pedang wuru shakti memiliki sifat2 gerakan tersendiri.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dalam kitab kuno itu tentu ada pula lembaran2 lain yang memuat bagian dari pada pelajaran2 ilmu pedang wuru shakti. Sayang, bahwa kitab itu tak dapat dikuasai seluruhnya, pikir Indra Sibambada. Sewaktu Indra Sambada masih memperhatikan lembaran2 berikutnya tiba2 Cahayabuana berkata memecah kesunyian:
“Nakmas Gustiku Indra. Lembaran2 yang penting lainnya adalah tuju lembar yang terakhir ini”. Berkata demikian ia mengangsurkan tujuh lembar bagian terakhir dari pada sisa kitab kuno yang berada di hadapannya, sambil melanjutkan katanya: “Dalam tujuh lembar bagian akhir ini, memuat pelajaran ilmu pedang wuru shakti, sebagaimana diuraikan dalam lembar ketiga tadi. Akan tetapi setelah saya teliti, ternyata ilmu pedang wuru shakti yang termaktub dalam lembaran2 yang dimiliki ini, hanya merupakan bagian terakhir saja, tanpa ada penjelasan mengenai pelajaran permulaannya serta bagian2 tengahnya. Maka dengan demikian, tak mungkin kita meyakinkan akan kehebatan ilmu pedang wuru shakti. Lagi pula bagi yang memiliki lembaran2 lainnya tidak akan dapat menguasai ilmu pedang aneh itu secara sempurna pula.
Cobalah kita teliti bersama mengenai intisari dari peIajaran2 babak terakhir ini, mungkin dengan ketajaman Gustiku Indra Sambada dapat kita mencari segi2 manfaatnya bagi Yoga Kumala cucuku, ataupun untuk Gustiku Indra sendiri”.
Setelah lembaran2 sisa kitab kuno bagian akhir diteliti dengan seksama, disamping pelajaran babak akhir dari ilmu pedang wuru shakti juga memuat tentang ketentuan dari bentuk pedang yang dipergunakan khusus dalam ilmu pedang wuru-shakti itu. Panjang pedang dalam ilmu pedang wuru shakti seluruhnya termasuk gagangnya harus sehasta dari pemegangnya, dari pangkal lengan hingga ujung jari.
Sedangkan gagangnya harus berukuran satu setengah tebah. Selain dari pada keterangan tentang ketentuan ukuran panjangnya di jelaskan juga mengenai ukuran beratnya yang tidak boleh lebih dari 40 potong uang tembaga.
Ternyata setelah dibandingkan dengan ketentuan2 ukuran yang termuat dalam kitab kuno itu, pedang pusaka yang dimiliki Yoga Kumala masih terdapat selisih dua jari lebih panjang dari pada ukuran hasta Yoga Kumala sendiri. Hanya ukuran gagang dan beratnya tepat memenuhi syarat2 yang dimaksud.
Dengan mengikuti petunjuk2 bagian terakhir dari ilmu pedang wuru shakti. Cahayabuana sebenarnya telah lama menciptakan sendiri suatu ilmu pedang yang terdiri dari gabungan intisari pedang tamtama Kerajaan Majapahit, ilmu pedang wuru-shakti bagian akhir dan ilmu pedang yang telah dianutnya sebagai warisan leluhur.
Dahulu sewaktu masih muda dengan ilmu pedang warisannya saja ia telah diangkat sebagai guru krida-yudha dalam ilmu pedang untuk memberikan pelajaran pada para tamtama Kerajaan Pajajaran dan selanjutnya ilmu pedangnya itu menjadi dasar pegangan dari seluruh tamtama. Olehnya ilmu pedang ciptaannya yang baru itu dinamakan ilmu pedang “Cahaya Tangkubanperahu”.
Mulai hari berikutnya, Yoga Kumala dibawah asuhan Cahayabuana dengan penuh semangat tekun berlatih meyakini ilmu pedang ciptaan Eyangnya sendiri, tanpa membuang gerak dasar "wuru -shakti "nya. Hanya gerakan2 yang tidak memungkinkan untuk menyertai gerakan pedangnya, diganti dengan langkah2 yang sesuai menurut petunjuk2 Eyangnya petapa shakti Ajengan Cahayabuana.
Senapati Manggala Tamtama Pengawal Raja Indra Sambada berkenan pula menyaksikan berlatihnya adik angkatnya Yoga Kumala selama sepuluh hari, dan setelah itu ia berpamit untuk pulang kembali ke Kota Raja beserta para pengiringnya.
Menurut pendapat Cahayabuana, Yoga Kumala masih harus berlatih dua tahun lamanya ditempat pertapaan Eyangnya, sedangkan Indah Kumala Wardhani masih harus menekuni untuk menyakinkan ilmu angkin dan keris patremnya setahun lamanya. Setelah nanti setahun dalam asuhan Eyangnya, Indah Kumala Wardhani masih harus tinggal di Indramayu setahun untuk mempelajari tata kehidupan Kerajaan serta seni budaya lainnya.
Dengan demikian, maka mereka berdua dapat diharapkan untuk menghadap Senapati Indra Sambada pada waktu dua tahun lagi mendatang, Dan ternyata Indra Sambadapun sependapat dengan Cahayabuana. Ia kini lebih percaya lagi, bahwa kelak kedua adik angkatnya tentu akan menjadi pengabdi Negara yang tidak mengecewakan.
“Pemberian Bapak Ajengan Cahayabuana ini sangat berharga bagiku dalam mengemban tugas sebagai tamtama Kerajaan. Saya kira di Kerajaanpun tidak ada peta bumi yang demikian lengkap dan jelas serta demikian indah buatannya. Sungguh merupakan hadiah bagiku yang tak ternilai. Jika Bapak Ajengan Cahayabuana tidak keberatan, peta bumi ini akan saya persembahkan kepada Gustiku Sri Baginda Maharaja”, Indra Sambada menyambut dengan kata2nya penuh hormat serta mengemukakan kehendaknya.
“Barang yang tak berguna untukku itu telah kupersembahkan pada Gustiku Indra. Untuk dibuat apapun selanjutnya terserah kepada Gusti Junjunganku sendiri. Kiranya aku telah tidak berhak lagi untuk menyampuri kebijaksanaan Gustiku Indra”, jawab Cahayabuana sambil tersenyum lirih.
Setelah Indra Sambada puas mengagumi peta bumi dari kulit domba yang diterimanya, kini Cahayabuana memperlihatkan lagi tumpukan lembaran kulit domba yang berisikan tulisan2 kuno. Itulah sisa lembaran kitab kuno buah karya Sakya Abindra pada abad ke VII yang telah diceritakan kemarin.
Kesemuanya terdiri dari empat belas lembar bagian terakhir dari kitab kuno itu, yang mana dua lembar diantaranya telah sobek terpotong pada ujungnya. Akan tetapi guratan huruf2 kuno yang terdapat pada lembaran kulit domba itu masih nampak jelas dan mudah dibaca. Sewaktu Indra Sambada masih meneliti akan urutan halaman itu, tiba2 Cahayabuana berkata memecah kesunyian:
“Nakmas Gusti Junjunganku Indra! Sebaiknya kitab kuno itu kita bawa keluar saya, agar dapat kita pelajari bersama ditempat yang lebih terang. Maaf, nakmas Gustiku. Ditempat yang remang2 demikian, mataku yang telah di makan umur tidak dapat diajak bekerja”,
Cahayabuana segera bangkit sambil tersenyum dan kemudian Indra Sambada, Yoga Kumala dan Indah Kumala Wardhani mengikuti pula sambil tersenyum geli demi mendengar pengakuan Cahayabuana bahwa matanya teIah dimakan umur. Bukankah Cahayabuana selalu gemar berjalan di malam hari? — pikir mereka.
Dengan pedang pusaka yang disandang dipinggang kirinya. Yoga Kumala menjadi lebih kelihatan perkasa. Setelah mereka tiba dilapangan terbuka didepan mulut gua, segera mereka duduk ditempat yang teduh dibawah sebuah pohon asem yang rindang. Sambil tersenyum2 ringan serta memegang lembaran2 kitab kuno dengan tangan kanannya, Cahayabuana mulai bicara lagi tertuju pada Indra.
“Nakmas Gustiku Indra ! Nakmas Gustiku Indra! Dalam Iembaran pertama, kedua, dan ketiga, yang mana ketiga lembar sisa kitab itu masing-masing ditandai dengan angka 34, 35, dan 36, jelas menunjukkan bahwa potongan lembaran itu adalah lembaran / halaman yang ke 34, 35 dan 36 dari kitab "Wuru Shakti” yang menjadi rebutan para orang shakti. Dan ketiga lembar itulah yang memuat tulisan2 mengenai kunci dari pada jurus jurus gerakan "wuru shakti". Karena lembaran2 yang memuat bagian jurus2 langkah wuru shakti tidak ada dalam sisa kitab yang kumiliki ini, maka untuk memahaminya lebih lanjut secara jelas, hendaknya Gustiku Indra membuktikan dahulu akan kehebatan dari pada gerakan langkah2 wuru shakti yang telah dimiliki cucuku Yoga Kumala.
Nach, sekarang sebaiknya cucuku Yoga supaya mempertunjukkan ilmu "wuru shakti" yang telah kau miliki dan kau pelajari dari gurumu Dadung Ngawuk, agar kita semua mendapat gambaran yang lebih jelas tentang kehebatan dari pada ilmumu itu. Maka hendaknya cucuku Yoga tidak usah bersikap malu2”.Berkata demikian Cahayabuana menatap pandang pada Yoga Kumala, sebagai isyarat agar cucunya Yoga Kumala mau mempertunjukkan sebentar ilmunya.
Dengan sikap yang canggung dan ragu2 karena agak malu, Yoga Kumala bangkit berdiri sambil melepaskan pedang pusakanya, dan melangkah maju ketengah lapangan. Dengan gerakan yang kurang bersemangat, ia mulai dengan langkah2 jurus wuru shakti yang diikuti dengan penuh perhatian oleh Cahayabuana dan Indra Sambada serta Indah Kumala Wardhana.
Demi melihat gerakan Yoga Kumala yang canggung penuh keraguan itu, Indra Sambada bangkit berdiri dan mendekat sambil berseru:
“Yoga Kumala!! Mari.... saya temani agar gerakanmu lebih gesit!” Kata2 itu diiringi suara senyum ketawa, yang menghilangkan rasa keragu2annya. “Adikku Yoga, cobalah kau elakkan seranganku ini!” Indra Sambada melanjutkan bicaranya. “Jika dalam waktu sepengunyah sirih pergelangan tanganmu yang kanan tak dapat kutangkap aku kakakmu Indra menyerah kalah serta mengakui akan kehebatan ilmu wuru shakti yang menjadi kebanggaanmu itu!”.
Kata2 sanjungan itu memang sengaja diucapkan Indra Sambada agar Yoga Kumala dapat mempertunjukkan ilmunya dengan sepenuh hati. Dengan demikian, gerak langkah aneh dari jurus2 ilmu kanuragan wuru shakti dapat dibuktikan sendiri kehebatannya serta untuk memudahkan dalam mempelajari kunci ilmu yang termuat dalam lembaran2 kitab kuno, yang kini sedang dipelajari dengan Cahayabuana.
Setelah mendengar seruan kakaknya Indra Sambada, Yoga Kumala cepat berdiri siap siaga untuk menanti datangnya serangan dari Indra Sambada dengan penuh semangat dan tanpa ragu2 lagi. Ia berdiri merendah setengah berjongkok dengan kedua kakinya dipentang lebar. Tangan kiri ditekuk ke atas setinggi bahunya dengan jari2 yang tegang mengembang dan menghadap kedepan. Tangan kanan bergerak dalam gaya menjangkau, lurus setinggi jajar dengan dadanya sendiri. Telapak tangannya mengembang dengan jari2 yang ditegangkan pula. Matanya mernandang tajam ke depan dengan mulut yang tersenyum menyeringai.
Inilah gerak langkah wuru shakti dalam bentuk jurus yang dikenal dengan nama “menyarnbut serangan maut dari empat penjuru". Jurus Wurushakti yang demikian ini, khusus diciptakan untuk menghadapi serangan2 dahsyat yang belum diketahui bentuk gerakan serangan lawannya serta yang tidak diketahui pula dari arah mana serangan itu mendatang.
Walaupun gerakan itu tak sedap dipandang karena memang tak memiliki gaya keindahan, akan tetapi cukup membingungkan bagi lawan yang akan menyerang. Dari gerakan itupun dapat dilihat, bahwa tiap2 gerakan sambutan serangan dari lawan, tentu akan mengandung unsur2 serangan balasan yang cukup berbahaya.
Jurus menyambut serangan maut dari empat penjuru itu diciptakan sedemikian rupa, sehingga dengan secara cepat bagaikan kilat dapat menukar arah dengan hanya menggeser salah satu kakinya saja tanpa merobah bentuk gerakannya.
“Awas serangan!!” seru Indra Sambada sambil melompat langsung menerjang dari samping kanan dengan pukulan telapak tangan ke arah pelipis Yoga Kumala, sedangkan telapak tangan kirinya menyambar secepaa kilat ke arah pergelangan tangan kanan Yoga Kumala untuk ditangkapnya.
Suatu gerakan serangan yang dahsyat dan sukar untuk diduga sebelumnya. Akan tetapi sebagai murid Dadung Ngawuk yang pernah pula memakan buah “daru saketi", Yoga Kumala dengan perasaan nalurinya, tiba-tiba mengubah jangkauan tangan kanannya menjadi sebuah serangan tebangan kearah lengan kiri Indra Sambada sambil terhuyung-huyung melangkah kedepan dengan jari2 tangan kiri yang mengembang tegang menyambut pukulan tangan kanan Indra yang menyambar kearah pelipisnya.
Sesaat Indra Sambada terperanjat dan cepat menarik kembali serangan tangan kirinya sambil melompat kesamping kanan, sedangkan tangan kanannya dirubah menadi kepalan untuk memapaki datangnya sambaran tangan kiri Yoga Kumala. Dua lengan berbenturan keras, dan masing2 berseru tertahan karena merasakan dasyatnya tenaga benturan yang mengakibatkan rasa ngilu ditulang lengannya.
“Benar2 ilmu tata kelahi yang aneh” pikir Indra Sambada.
Pada umumnya, orang menyambut serangan yang pertama kali dengan gerakan mengelak. Akan tetapi kini apa yang disaksikan olehnya adalah sebaliknya. Serangan yang pertama disambut serangan pula yang tidak kalah dahsyatnya, tanpa menghiraukan akan kekuatan lawan tarlebih dahulu. Lebih mengherankan lagi ialah bahwa Yoga Kumala tidak mau menghindar kesamping, justru malah menerjang dan menerobos kedepan dengan langkah-langkah yang aneh serta membingungkan, hingga ia menjadi berada dibelakangnya. Karena kuatir akan datangnya rangkaian serangan aneh dari adiknya, Indra Sambada cepat membalikkan badannya serta melontarkan serangan tendangan berangkai. Sambil berseru nyaring:
“Awas serangan kedua!”.
Akan tetapi malah ia sendiri yang dibuat menjadi sibuk, karena tanpa diketahui, Yoga Kumala telah menjatuhkan diri dan berjumpalitan kearahnya secara menelusup dibawah kakinya sambil menyerang dengan totokan jari2 kearah paha kakinya.
Menghadapi serangan yang sukar di duga itu, Indra Sambada terpaksa meloncat tinggi dan berpusingan agar dapat jatuh berdiri dengan menghadap lawannya kembali. Kini tanpa memberikan peringatan, Indra Sambada cepat menyerang lagi dengan sebuah tinju yang disusul tendangan berangkai, sambil menyambar pergelangan tangan kanan lawan dengan tangan kirinya.
Akan tetapi ternyata semua serangannya tak pernah menyentuh sasaran dan selalu jatuh di tempat kosong. Gerakan adiknya yang mirip seorang setengah mabok dan kelihatan lambat itu, ternyata merupakan pengelakan dan sekaligus merangkap unsur serangan balasan yang dahsyat dan berbahaya. Pertarungan yang hanya merupakan latihan dan pertunjukan. kini menjadi seru dan berlangsung dengan gerakan yang lebih cepat dan lebih dahsyat, sehingga mengeluarkan angin sambaran yang menderu-deru.
Masing2 saling memperlihatkan ketangkasannya, serta ketinggihan ilmunya dalam tata kelahi bertangan kosong dengan gaya gerakan satu sama lain yang jauh berlainan. Pun seruan2 melengking sebagai peringatan dari Indra Sambada selalu disambut oleh Yoga Kumala dengan suara terkekeh-kekeh yang menyeramkan. Pertarungan yang seru itu telah berlangsung agak lama, tanpa ada yang roboh terluka.
Tiba2 Cahayabuana berseru dengan suaranya yang penuh wibawa, menghentikan pertarungan yang masih berlangsung dengan sengitnya. Keduanya yang sedang bertempur, serentak menghentikan gerakannya, sambil tersenyum dan kemudian berjabatan tangan.
“Aku mengaku kalah, Yoga !! Sungguh bangga mempunyai adik seperti kau ini !!”. Indra Sambada mulai bicara pada adik angkatnya Yoga Kumala.
“Ach,… kangmas Indra sengaja mengalah !!”. Yoga menjawab sambil ketawa.
“Bukan aku mengalah, akan tetapi aku memang tidak mampu menangkap pergelangan tanganmu. Hampir2 aku lupa bahwa waktu sepengunyah sirih telah lama lewat. Dan ternyata, belum juga aku berhasil menangkap pergelangan tanganmu, walaupun seluruh kepandaianku telah kuperas. Ilmumu yang aneh sungguh mengagumkan !!!”.
Dengan bergandengan tangan, mereka berdua berjalan kembali menghadap Ajengan Cahayabuana yang masih duduk bersila dengan Indah Kumala Wardhani disampingnya.
“Nach, bagaimana sekarang pendapat nakmas Gustiku tentang ilmu wuru shakti yang baru saja dipertunjukkan cucuku Yoga Kumala?. Cahayabuana mulai berkata, setelah mereka berdua duduk bersila dihadapannya,
“Ilmu yang sangat aneh dan mengagumkan, Bapak Ajengan ! Jika aku tidak membuktikan sendiri tentunya tidak akan percaya kehebatan ilmu “Wuru shakti" itu. Tak mengira bahwa adikku Yoga Kumala dapat menguasai ilmunya yang aneh itu dengan sempurna”. Indra Sambada mejawab dengan sungguh2 dalam mengutarakan pendapatnya.
“Heh… hehh… heeeehh II… Cucuku Yoga!! Terimalah dengan rasa bangga, bahwa kangmasmu Indra Sambada hari ini berkenan memuji ilmu kepandaianmu”.
Demi mendengar kata2 pujian yang tertuju pada dirinya, Yoga Kumala menundukkan kepala sambil tersenyum tersipu-sipu.
“Idiiiihh… Akang Yoga pura2 malu !!”. Indah Kumala Wardhani menyahut memotong pembicaraan, sambil tersenyum menggoda kakaknya.
“Kau selalu ceriwis !!”. Tegur kakaknya. Dan mukanya semakin menjadi lebih merah sampai diujung telinganya. Ia tak dapat berkutik menghadapi ejekan adiknya yang usilan.
Ajengan Cahayabuana dan Indra Sambada tersenyum geli menyaksikan sifat2 kelucuan dari kedua remaja itu. Dengan suara lemah lembut penuh kasih sayang, Cahayabuana kemudian menyapih kedua cucunya, agar mereka tidak saling bertengkar.
Kini mereka berempat segera asyik mempelajari tulisan2 yang tertera dalam lembaran2 kitab kuno. Dengan tenang dan penuh kesabaran Cahavabuana memberikan jawaban penjelasannya atas pertanyaan yang diajukan kedua cucunya.
Sementara itu Indra Sambada mencurahkan perhatiannya sendiri pada uraian kalimat2 yang termaktub dalam kitab kuno itu, dengan daya ingatan dan pikiran yang tajam. Dengan cepat ia dapat menangkap semua intisari dari pada kunci “wuru shakti" yang termuat dalam tiga lembar pertama dari kitab kuno itu, yang oleh penciptanya kunci “wuru shakti" itu, dinamakan “penutup langkah wuru shakti ".
Dalam lembaran kedua dan ketiga dengan jelas diuraikan, bahwa untuk menutup langkah2 wuru shakti, serangan harus dilancarkan pertama-tama mengikuti gerakannya, kemudian rangkaian serangannya justru harus tertuju pada tempat kosong kearah yang berlawanan dengan kedudukan lawan. Lagi pula rangkaian serangan yang dilancarkan pada tempat kosong harus dilancarkan dengan tenaga sepenuhnya, dan bukan sebagai gerak tipu atau serangan pancingan.
Karena apabila serangan susulan itu dilancarkan tanpa menggunakan sepenuh tenaga, maka akan berbahaya bagi si penyerang sendiri. Hal ini disebabkan karena tiap gerakan jurus wuru shakti selalu mengandung unsur gerakan serangan balasan. Akan tetapi dalam akhir uraian itu dijelaskan bahwa penutup langkah wuru shakti khusus diciptakan hanya untuk menghadapi “ilmu wuru shakti yang bertangan kosong”. Sedangkan ilmu pedang wuru shakti memiliki sifat2 gerakan tersendiri.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dalam kitab kuno itu tentu ada pula lembaran2 lain yang memuat bagian dari pada pelajaran2 ilmu pedang wuru shakti. Sayang, bahwa kitab itu tak dapat dikuasai seluruhnya, pikir Indra Sibambada. Sewaktu Indra Sambada masih memperhatikan lembaran2 berikutnya tiba2 Cahayabuana berkata memecah kesunyian:
“Nakmas Gustiku Indra. Lembaran2 yang penting lainnya adalah tuju lembar yang terakhir ini”. Berkata demikian ia mengangsurkan tujuh lembar bagian terakhir dari pada sisa kitab kuno yang berada di hadapannya, sambil melanjutkan katanya: “Dalam tujuh lembar bagian akhir ini, memuat pelajaran ilmu pedang wuru shakti, sebagaimana diuraikan dalam lembar ketiga tadi. Akan tetapi setelah saya teliti, ternyata ilmu pedang wuru shakti yang termaktub dalam lembaran2 yang dimiliki ini, hanya merupakan bagian terakhir saja, tanpa ada penjelasan mengenai pelajaran permulaannya serta bagian2 tengahnya. Maka dengan demikian, tak mungkin kita meyakinkan akan kehebatan ilmu pedang wuru shakti. Lagi pula bagi yang memiliki lembaran2 lainnya tidak akan dapat menguasai ilmu pedang aneh itu secara sempurna pula.
Cobalah kita teliti bersama mengenai intisari dari peIajaran2 babak terakhir ini, mungkin dengan ketajaman Gustiku Indra Sambada dapat kita mencari segi2 manfaatnya bagi Yoga Kumala cucuku, ataupun untuk Gustiku Indra sendiri”.
Setelah lembaran2 sisa kitab kuno bagian akhir diteliti dengan seksama, disamping pelajaran babak akhir dari ilmu pedang wuru shakti juga memuat tentang ketentuan dari bentuk pedang yang dipergunakan khusus dalam ilmu pedang wuru-shakti itu. Panjang pedang dalam ilmu pedang wuru shakti seluruhnya termasuk gagangnya harus sehasta dari pemegangnya, dari pangkal lengan hingga ujung jari.
Sedangkan gagangnya harus berukuran satu setengah tebah. Selain dari pada keterangan tentang ketentuan ukuran panjangnya di jelaskan juga mengenai ukuran beratnya yang tidak boleh lebih dari 40 potong uang tembaga.
Ternyata setelah dibandingkan dengan ketentuan2 ukuran yang termuat dalam kitab kuno itu, pedang pusaka yang dimiliki Yoga Kumala masih terdapat selisih dua jari lebih panjang dari pada ukuran hasta Yoga Kumala sendiri. Hanya ukuran gagang dan beratnya tepat memenuhi syarat2 yang dimaksud.
Dengan mengikuti petunjuk2 bagian terakhir dari ilmu pedang wuru shakti. Cahayabuana sebenarnya telah lama menciptakan sendiri suatu ilmu pedang yang terdiri dari gabungan intisari pedang tamtama Kerajaan Majapahit, ilmu pedang wuru-shakti bagian akhir dan ilmu pedang yang telah dianutnya sebagai warisan leluhur.
Dahulu sewaktu masih muda dengan ilmu pedang warisannya saja ia telah diangkat sebagai guru krida-yudha dalam ilmu pedang untuk memberikan pelajaran pada para tamtama Kerajaan Pajajaran dan selanjutnya ilmu pedangnya itu menjadi dasar pegangan dari seluruh tamtama. Olehnya ilmu pedang ciptaannya yang baru itu dinamakan ilmu pedang “Cahaya Tangkubanperahu”.
Mulai hari berikutnya, Yoga Kumala dibawah asuhan Cahayabuana dengan penuh semangat tekun berlatih meyakini ilmu pedang ciptaan Eyangnya sendiri, tanpa membuang gerak dasar "wuru -shakti "nya. Hanya gerakan2 yang tidak memungkinkan untuk menyertai gerakan pedangnya, diganti dengan langkah2 yang sesuai menurut petunjuk2 Eyangnya petapa shakti Ajengan Cahayabuana.
Senapati Manggala Tamtama Pengawal Raja Indra Sambada berkenan pula menyaksikan berlatihnya adik angkatnya Yoga Kumala selama sepuluh hari, dan setelah itu ia berpamit untuk pulang kembali ke Kota Raja beserta para pengiringnya.
Menurut pendapat Cahayabuana, Yoga Kumala masih harus berlatih dua tahun lamanya ditempat pertapaan Eyangnya, sedangkan Indah Kumala Wardhani masih harus menekuni untuk menyakinkan ilmu angkin dan keris patremnya setahun lamanya. Setelah nanti setahun dalam asuhan Eyangnya, Indah Kumala Wardhani masih harus tinggal di Indramayu setahun untuk mempelajari tata kehidupan Kerajaan serta seni budaya lainnya.
Dengan demikian, maka mereka berdua dapat diharapkan untuk menghadap Senapati Indra Sambada pada waktu dua tahun lagi mendatang, Dan ternyata Indra Sambadapun sependapat dengan Cahayabuana. Ia kini lebih percaya lagi, bahwa kelak kedua adik angkatnya tentu akan menjadi pengabdi Negara yang tidak mengecewakan.
**** 012 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment