BUPATI WIRAHADINATA dengan Sujud diapit kedua Lurah Tamtama Kerajaan Jaka Wulung dan Jaka Rimang, dengan diiringkan pasukan berkuda telah memasuki alun2 Kebanjaran Agung Indramayu.
Akan tetapi sewaktu mereka akan tiba dipintu gerbang halaman Kebanjaran Agung, tiba2 Wirahadinata menarik tali lis kudanya dengan tangan kirinya erat2, sedangkan tangan kanan dilambaikan keatas sebagai isyarat agar semua para pengiring serentak menghentikan langkah kudanya masing2. Karena tarikan tali lis yang tiba2 itu, maka kuda yang dinaiki Wirahadinata terperanjat sesaat hingga meringkik sambil berdiri diatas kedua kaki belakangnya.
Kiranya pada saat itu, Wirahadinata sendiri terkejut penuh rasa cemas demi meliha tiga orang pengawal pintu gerbang bergelimpangan di tanah. Dan menjadi lebih heran lagi, demi melihat lagi seorang anak gadis tanggung berlompatan sambil menggerak-gerakkan angkinnya berwarna merah jingga kearah lima orang pengawal lainnya yang sedang mengurung dara tanggung itu dengan bersenjatakan pedang, di halaman depan balai pengawalan. Gerakan anak dara itu sangat lincah, hingga sebentar-bentar lenyap dari pandangan, terselubung gulungan sinar merah yang menyiIaukan mata.
Matahari berada diketinggian tepat diatas kepala, menunjukkan bahwa waktu itu telah siang tengah hari. Namun, sinar teriknya yang cerah seakan-akan sedikitpun tidak mempengaruhi gerakan dara tanggung itu. Lima orang pengawal yang mengurungnya sibuk pula berlompatan menghindari gulungan sinar merah yang menyerangnya, karena takut menjadi mangsa libatan angkin merah yang ganas, sebagaimana telah dialami kawan-kawannya.
Angkin sutra merah ditangan anak dara bergerak menyambar-nyambar laksana bernyawa dan pedang ditangan para pengawal tak mampu memapaki sambaran sinar merah yang kelihatan lemah. Tiba2 seorang diantara lima orang pengawal-pengawal itu berseru melengking sambil melompat tinggi, menghindari sambaran angkin kearah betisnya. Ia menjatuhkan diri dengan menukik sambil menyerang dengan gerakan tusukan pedang ke arah dada dara tanggung itu.
Ia sengaja melancarkan serangan yang amat dahsyat dan ganas karena sangat marah melihat akan kebandelan anak dara yang tak mau menyerah. Namun anak dara itu seakan-akan tak menghiraukan datangnya serangan maut yang dahsyat kearah dadanya, hingga empat orang pengawal Iainnya terkesiap dan berlompatan satu langkah surut kebelakang karena tak sampai hati melihat akan kejadian yang amat ngeri itu.
Semula mereka memang hanya bermaksud membelenggu dara yang dianggapnya sangat nakal dan sedikitpun tak ada niat melukai ataupun membunuhnya. Bahwa mereka berlima menggunakan senjata pedangnya masing masing hanya karena angkin merah dara tanggung itu sangat membahayakan. Lagi pula pedang di tangan mereka masing2 itu mula mula hanya untuk menakut2i saja, tidak mengira bahwa anak dara itu sama sekali tidak takut akan gertakan mereka.
Tiga orang kawannya terpelanting di tanah dengan pedang terpental lepas melambung jauh kena libatan angkin merah. Tak heranlah bahwa seorang diantaranya kini menjadi gelap mata, dengan melancarkan serangan mautnya. Namun kecemasan empat pengawal itu segera lenyap dan berganti keheranan hingga mereka terperanjat sesaat samhil berdiri dengan ternganga demi meliitat kawannya yang menyerang tadi, jatuh terbanting dan berjumpalitan sambil menjerit-jerit kesakitan.
Dengan tangkasnya anak dara itu menggeser kaki kiri merendahkan badannya, untuk mengelakkan diri dari ujung pedang yang meluncur sewaktu hanya tinggal sejengkal dari dadanya. Ia menyusup dibawah ketiak penyerang sambil membalikkan badannya dengan tangan kirinya menangkap lengan yang menggenggam pedang dan kemudian dikilirkan sedikit kekiri diatas pundaknya untuk kemudian ditariknya dengan suatu gerakan yang mentakjubkan.
Pengawal yang tinggi besar itu tak ayal lagi, terbanting dengan badannya melambung melompati pundak dara tanggung itu. Sebelum ia terbanting diatas lanah, angkin merah mengejar serta melibat pedang untuk kemudian merenggut lepas dari genggamannya. Pedang tersentak dan melambung tinggi kemudian jatuh di tanah sejauh sepuluh langkah dari pemiliknya.
Itulah gerakan membanting dengan meminjam tenaga lawan, atau dalam bentuk jurus “mendayung mengikuti arus". Empat orang pengawal lainnya segera menerjang maju, menyerang anak dara itu yang sedang mengejar dan melibatkan angkinnya ke arah pengawal yang jatuh berjumpalitan, dengan gerakan serangan serentak dengan pedang masing2.
Serangan empat orang pengawal itu merupakan gerakan serentak yang berlainan bentuknya. Seorang membacok kearah kepala, seorang lagi menyerang dengan sebuah tusukan kearah dada, Sedangkan dua orang lainnya mengarah lambung dan kakinya dengan tebangan yang berangkai.
Namun menghadapi serangan pedang serentak dari empat pengawal itu, si dara tanggung masih sempat mencibirkan bibirnya sambil berseru mengejek.
“Lihat, kalau kalian akan menirukan kawanmu berjumpalitan!”. Berseru demikian, angkin merah ditangannya menyambar ke arah pedang datang ke arah kepalanya, sambil meloncat tinggi berpusingan dan seakan-akan hilang dari pandangan empat orang pengeroyoknya.
Tanpa diketahui, sebilah pedang yang mengarah kepalanya dapat dilibat serta disentak-lepas dari genggaman pemiliknya. Kiranya apa yang dikatakan dara tanggung itu merupakan kenyataan. Dua orang pengawal segera jatuh berjumpalitan menghindari serangan sambaran angkin merah yang mengganas, sedangkan dua orang pengawal lainnya meloncat satu langkah surut kebelakang dengan masing2 dipipinya tampak warna merah bekas tamparan dara tanggung itu.
“Tahan sernua senjata!” Bentak Bupati Wirahadinata sambil berlari mendekat, Sujud mengikuti dibelakangnya.
Demi mendengar suara itu, para pengawal semua melompat menjauhi tempat pertempuran dan dengan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Wirahadinata, sedangkan gadis tanggung berdiri tenang ditempatnya sambil bertolak pinggang dan tersenyum mengejek.
Dengan pandangan matanya yang bening kearah Wirahadinata. Suatu sikap kenakalan anak gadis tanggung yang tak mengenal rasa takut. Dara itu berusia kurang lebih 14 tahun. Wajahnya cantik jelita dengan sepasang anting2 bermata mutiara dikedua daun telinganya. Rambutnya yang hitam panjang digelung dengan memakai tusuk konde tiga batang yang kesemuanya bertahtakan mutiara pula.
Bibirnya merah mungil dan sepasang matanya yang redup memancarkan sinar bening. Tubuhnya ramping berisi. Warna kulitnya kuning bersih. Lesung pipit dipipinya yang kemerah2an selalu menghias senyumannya. Ia mengenakan baju berlengan panjang dari sutra berwarna merah jambu dan berkain sarung berwarna hitam dengan sulaman benang emas bergambar kembang2.
Akan tetapi sewaktu mereka akan tiba dipintu gerbang halaman Kebanjaran Agung, tiba2 Wirahadinata menarik tali lis kudanya dengan tangan kirinya erat2, sedangkan tangan kanan dilambaikan keatas sebagai isyarat agar semua para pengiring serentak menghentikan langkah kudanya masing2. Karena tarikan tali lis yang tiba2 itu, maka kuda yang dinaiki Wirahadinata terperanjat sesaat hingga meringkik sambil berdiri diatas kedua kaki belakangnya.
Kiranya pada saat itu, Wirahadinata sendiri terkejut penuh rasa cemas demi meliha tiga orang pengawal pintu gerbang bergelimpangan di tanah. Dan menjadi lebih heran lagi, demi melihat lagi seorang anak gadis tanggung berlompatan sambil menggerak-gerakkan angkinnya berwarna merah jingga kearah lima orang pengawal lainnya yang sedang mengurung dara tanggung itu dengan bersenjatakan pedang, di halaman depan balai pengawalan. Gerakan anak dara itu sangat lincah, hingga sebentar-bentar lenyap dari pandangan, terselubung gulungan sinar merah yang menyiIaukan mata.
Matahari berada diketinggian tepat diatas kepala, menunjukkan bahwa waktu itu telah siang tengah hari. Namun, sinar teriknya yang cerah seakan-akan sedikitpun tidak mempengaruhi gerakan dara tanggung itu. Lima orang pengawal yang mengurungnya sibuk pula berlompatan menghindari gulungan sinar merah yang menyerangnya, karena takut menjadi mangsa libatan angkin merah yang ganas, sebagaimana telah dialami kawan-kawannya.
Angkin sutra merah ditangan anak dara bergerak menyambar-nyambar laksana bernyawa dan pedang ditangan para pengawal tak mampu memapaki sambaran sinar merah yang kelihatan lemah. Tiba2 seorang diantara lima orang pengawal-pengawal itu berseru melengking sambil melompat tinggi, menghindari sambaran angkin kearah betisnya. Ia menjatuhkan diri dengan menukik sambil menyerang dengan gerakan tusukan pedang ke arah dada dara tanggung itu.
Ia sengaja melancarkan serangan yang amat dahsyat dan ganas karena sangat marah melihat akan kebandelan anak dara yang tak mau menyerah. Namun anak dara itu seakan-akan tak menghiraukan datangnya serangan maut yang dahsyat kearah dadanya, hingga empat orang pengawal Iainnya terkesiap dan berlompatan satu langkah surut kebelakang karena tak sampai hati melihat akan kejadian yang amat ngeri itu.
Semula mereka memang hanya bermaksud membelenggu dara yang dianggapnya sangat nakal dan sedikitpun tak ada niat melukai ataupun membunuhnya. Bahwa mereka berlima menggunakan senjata pedangnya masing masing hanya karena angkin merah dara tanggung itu sangat membahayakan. Lagi pula pedang di tangan mereka masing2 itu mula mula hanya untuk menakut2i saja, tidak mengira bahwa anak dara itu sama sekali tidak takut akan gertakan mereka.
Tiga orang kawannya terpelanting di tanah dengan pedang terpental lepas melambung jauh kena libatan angkin merah. Tak heranlah bahwa seorang diantaranya kini menjadi gelap mata, dengan melancarkan serangan mautnya. Namun kecemasan empat pengawal itu segera lenyap dan berganti keheranan hingga mereka terperanjat sesaat samhil berdiri dengan ternganga demi meliitat kawannya yang menyerang tadi, jatuh terbanting dan berjumpalitan sambil menjerit-jerit kesakitan.
Dengan tangkasnya anak dara itu menggeser kaki kiri merendahkan badannya, untuk mengelakkan diri dari ujung pedang yang meluncur sewaktu hanya tinggal sejengkal dari dadanya. Ia menyusup dibawah ketiak penyerang sambil membalikkan badannya dengan tangan kirinya menangkap lengan yang menggenggam pedang dan kemudian dikilirkan sedikit kekiri diatas pundaknya untuk kemudian ditariknya dengan suatu gerakan yang mentakjubkan.
Pengawal yang tinggi besar itu tak ayal lagi, terbanting dengan badannya melambung melompati pundak dara tanggung itu. Sebelum ia terbanting diatas lanah, angkin merah mengejar serta melibat pedang untuk kemudian merenggut lepas dari genggamannya. Pedang tersentak dan melambung tinggi kemudian jatuh di tanah sejauh sepuluh langkah dari pemiliknya.
Itulah gerakan membanting dengan meminjam tenaga lawan, atau dalam bentuk jurus “mendayung mengikuti arus". Empat orang pengawal lainnya segera menerjang maju, menyerang anak dara itu yang sedang mengejar dan melibatkan angkinnya ke arah pengawal yang jatuh berjumpalitan, dengan gerakan serangan serentak dengan pedang masing2.
Serangan empat orang pengawal itu merupakan gerakan serentak yang berlainan bentuknya. Seorang membacok kearah kepala, seorang lagi menyerang dengan sebuah tusukan kearah dada, Sedangkan dua orang lainnya mengarah lambung dan kakinya dengan tebangan yang berangkai.
Namun menghadapi serangan pedang serentak dari empat pengawal itu, si dara tanggung masih sempat mencibirkan bibirnya sambil berseru mengejek.
“Lihat, kalau kalian akan menirukan kawanmu berjumpalitan!”. Berseru demikian, angkin merah ditangannya menyambar ke arah pedang datang ke arah kepalanya, sambil meloncat tinggi berpusingan dan seakan-akan hilang dari pandangan empat orang pengeroyoknya.
Tanpa diketahui, sebilah pedang yang mengarah kepalanya dapat dilibat serta disentak-lepas dari genggaman pemiliknya. Kiranya apa yang dikatakan dara tanggung itu merupakan kenyataan. Dua orang pengawal segera jatuh berjumpalitan menghindari serangan sambaran angkin merah yang mengganas, sedangkan dua orang pengawal lainnya meloncat satu langkah surut kebelakang dengan masing2 dipipinya tampak warna merah bekas tamparan dara tanggung itu.
“Tahan sernua senjata!” Bentak Bupati Wirahadinata sambil berlari mendekat, Sujud mengikuti dibelakangnya.
Demi mendengar suara itu, para pengawal semua melompat menjauhi tempat pertempuran dan dengan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Wirahadinata, sedangkan gadis tanggung berdiri tenang ditempatnya sambil bertolak pinggang dan tersenyum mengejek.
Dengan pandangan matanya yang bening kearah Wirahadinata. Suatu sikap kenakalan anak gadis tanggung yang tak mengenal rasa takut. Dara itu berusia kurang lebih 14 tahun. Wajahnya cantik jelita dengan sepasang anting2 bermata mutiara dikedua daun telinganya. Rambutnya yang hitam panjang digelung dengan memakai tusuk konde tiga batang yang kesemuanya bertahtakan mutiara pula.
Bibirnya merah mungil dan sepasang matanya yang redup memancarkan sinar bening. Tubuhnya ramping berisi. Warna kulitnya kuning bersih. Lesung pipit dipipinya yang kemerah2an selalu menghias senyumannya. Ia mengenakan baju berlengan panjang dari sutra berwarna merah jambu dan berkain sarung berwarna hitam dengan sulaman benang emas bergambar kembang2.
Melihat sikap kenakalan anak dara tanggung itu Wirahadinata tersenyum geli. Ia mengira, bahwa mengamuknya dara tanggung itu, tentu karena diganggu para pengawalnya. Maka tanpa memberi kesempatan pada para pengawal yang berlari menyambut kedatangannya, ia membentak dengan marahnya.
“Orang2 tak tahu aturan. Begitukah kelakuanmu, jika aku tidak ada ditempat? Ataukah kalian memang sengaja minta kuhajar, agar tahu kesopanan ?”.
“Ampunilah kami, Gusti! Bukan kami yang tak mengenal aturan akan tetapi anak gadis itu memang sengaja datang bikin keributan disini!” Jawab salah seorang pengawal sambil menyembah.
Sebelum Wirahadinata berkata lagi, tiba2 anak dara tanggung itu menyahut dengan suaranya yang nyaring, memotong percakapan mereka.
“Bohong! Siapa sudi ribut dengan tikus2 pengecut ! Aku datang untuk minta diantar ketemu Bupati Wirahadinata si kepala rampok, akan tetapi mereka malah mengusirku pergi. Masih untung aku tidak membunuh mereka!”.
Mendengar ucapan yang sangat kasar itu, Wirahadinata terperanjat sesaat. Siapakah gerangan anak dara yang berani memakinya dengan kasar. Apakah keperluannya hingga ia ingin ketemu dengan dirinya? pikir Wirahadinata.
“Akulah Bupati Wirahadinata! Dan siapakah engkau? Ada keperluan apa engkau ingin ketemu dengan diriku?”.
“Hii.. hihi….. hiiii….. kiranya orang yang sudah tua dan menjadi kakek2 inikah dulu yang menjadi kepala rampok. Tak usah kupancung kepalanya, sebentar lagi kau juga akan masuk kubur!” Tanpa menghiraukan pertanyaan Wirahadinata, dara itu memakinya sambil ketawa nyaring, hingga deretan giginya yang putih kecil bersih laksana mutiara itu nampak jelas.
“Hai! Anak gadis liar! Akan kuhajar mulutmu yang lancang!” Tiba-tiba Sujud berseru memotong, sambil meloncat maju dengan kepalan tangan dan meninju kearah muka gadis yang sedang berdiri bertolak pinggang.
Tanpa bergerak dari tempatnya anak dara itu menundukkan kepala, sambil mengulurkan tangan kirinya menangkap pergelangan tangan Sujud. Akan tetapi dengan tangkasnya Sujud menarik kembali serangan tinjunya, diubah menjadi pukulan siku kanan sebagai gerak tipu, sedangkan jari-jari tangan kiri tegang mengembang meluncur kearah muka lawan. Karena dara itu cepat menundukkan kepalanya, maka serangan jari-jari tangan kiri Sujud hanya mengenai gelungan saja, hingga terlepas dan terurai kebawah sampai diatas betisnya.
“Orang2 tak tahu aturan. Begitukah kelakuanmu, jika aku tidak ada ditempat? Ataukah kalian memang sengaja minta kuhajar, agar tahu kesopanan ?”.
“Ampunilah kami, Gusti! Bukan kami yang tak mengenal aturan akan tetapi anak gadis itu memang sengaja datang bikin keributan disini!” Jawab salah seorang pengawal sambil menyembah.
Sebelum Wirahadinata berkata lagi, tiba2 anak dara tanggung itu menyahut dengan suaranya yang nyaring, memotong percakapan mereka.
“Bohong! Siapa sudi ribut dengan tikus2 pengecut ! Aku datang untuk minta diantar ketemu Bupati Wirahadinata si kepala rampok, akan tetapi mereka malah mengusirku pergi. Masih untung aku tidak membunuh mereka!”.
Mendengar ucapan yang sangat kasar itu, Wirahadinata terperanjat sesaat. Siapakah gerangan anak dara yang berani memakinya dengan kasar. Apakah keperluannya hingga ia ingin ketemu dengan dirinya? pikir Wirahadinata.
“Akulah Bupati Wirahadinata! Dan siapakah engkau? Ada keperluan apa engkau ingin ketemu dengan diriku?”.
“Hii.. hihi….. hiiii….. kiranya orang yang sudah tua dan menjadi kakek2 inikah dulu yang menjadi kepala rampok. Tak usah kupancung kepalanya, sebentar lagi kau juga akan masuk kubur!” Tanpa menghiraukan pertanyaan Wirahadinata, dara itu memakinya sambil ketawa nyaring, hingga deretan giginya yang putih kecil bersih laksana mutiara itu nampak jelas.
“Hai! Anak gadis liar! Akan kuhajar mulutmu yang lancang!” Tiba-tiba Sujud berseru memotong, sambil meloncat maju dengan kepalan tangan dan meninju kearah muka gadis yang sedang berdiri bertolak pinggang.
Tanpa bergerak dari tempatnya anak dara itu menundukkan kepala, sambil mengulurkan tangan kirinya menangkap pergelangan tangan Sujud. Akan tetapi dengan tangkasnya Sujud menarik kembali serangan tinjunya, diubah menjadi pukulan siku kanan sebagai gerak tipu, sedangkan jari-jari tangan kiri tegang mengembang meluncur kearah muka lawan. Karena dara itu cepat menundukkan kepalanya, maka serangan jari-jari tangan kiri Sujud hanya mengenai gelungan saja, hingga terlepas dan terurai kebawah sampai diatas betisnya.
Si dara menjerit sambil melompat satu langkah kesamping kiri.
“aaaiii…..! ...... curang kau!”.
Melihat kejadian yang lucu tanpa disengaja Sujud tertawa pula. “Siapa yang curang?”. Serunya ketawa geli.
Cepat si dara tanggung membetulkan gelungannya yang lepas sejadi jadinya saja, sementara Sujud masih berdiri ketawa geli. Kedua pipi dara itu menjadi merah seketika, karena mengira dipermainkan lawan. Tanpa menunggu siapnya lawan ia mulai menyerang dengan angkin sutranya. Angkin merah ditangan, kini bergerak menyambar-nyambar ke arah tubuh dan kaki Sujud, sambil berlompatan membuat kacau pandangan, sedangkan tangan kiri bergerak cepat dalam gaya tamparan yang susul menyusul ke arah muka Sujud.
Akan tetapi Sujud adalah murid Kyai Dadung Ngawuk yang telah mewarisi jurus-jurus wurushakti. Dengan terhuyung-huyung seakan hampir jatuh tertelungkup, untuk kemudian meloncat kesamping dan berjumpalitan, ataupun berjongkok, ia selalu terhindar dari serangan-serangan si dara tanggung, Ia masih saja mengelak menghindari serangan yang dahsyat dengan langkah-langkah wurushakti, dengan tanpa membalas menyerang.
Kini sengaja Wirahadinata membiarkan anaknya bertempur melawan gadis nakal itu, untuk melihat lebih jelas ilmu aneh yang dimiliki Sujud, serta sekaligus ingin mengetahui kepandaian anak dara itu yang lancang mulut. la mengikuti jalannya pertempuran dengan tak berkedip. Dan ternyata keduanya saling memiliki gerakan-gerakan yang sangat aneh dan sukar untuk diduga sebelumnya.
Semula Jaka Wulung dan Jaka Rimang serta para pengawal yang menonton, saling pandang diliputi rasa cemas, demi melihat gerakan Sujud yang lambat dan menyerupai orang mabok. Akan tetapi karena selalu nyaris terhindar dari semua serangan, mereka segera menyadari bahwa gerakan Sujud adalah gerakan ilmu shakti yang mentakjubkan.
Hanya saja, mereka belum melihat kehebatan gerak serangannya. Karena sejak tadi, baru sekali Sujud menyerang dengan hasil dapat melepas gelungannya. Sedangkan gerakan serangannya tadi, mereka tak melihat dengan jelas. Diam-diam Wirahadinata memuji pula akan ketangkasan dan ilmu yang dimiliki dara tanggung itu.
Dan dibalik gerakan mereka yang mentakjubkan itu, ada sesuatu yang lebih menarik perhatiannya pula. Semakin ia memperhatikan, semakin nampak jelas persamaan raut muka dan sinar pandangan antara dara nakal dan Sujud anak angkatnya. Hanya warna kulitnyalah yang berbeda agak menyolok.
Karena serangan yang bertubi-tubi tak pernah mengenai sasaran, dara tanggung menjadi gemas dan membanting-banting kakinya sambil berseru.
“Pengecut curang! Jangan hanya berlompatan menghindar saja, pakailah senjatamu dan seranglah aku”. bentaknya.
“Untuk melawanmu, tak perlu menggunakan senjata! Ayooh, teruskan permainan angkinmu. Jika sampai menyentuh bajuku, aku menyerah kalah!” Sujud menjawab sambil mengejek.
Kini anak dara itu menjadi lebih marah hingga mukanya merah padam sampai didaun telinganya. Dengan sengit ia mulai lagi menyerang Sujud. Angkin sutra merahnya menyambar-nyambar laksana gulungan sinar merah menyelubungi tubuh Sujud, namun kembali si dara tanggung menunjukkan muka asam, karena serangannya tak pernah berhasil.
“Cobalah sekali saja, angkinku kau biarkan melilit kakimu, jika kau ingin merasakan berjumpalitan diudara”. Seru dara tanggung dengan membelalakkan matanya, sambil berdiri menghentikan serangannya.
Kedua anak muda yang berlainan jenis itu, kini saling berpandangan. Sinar mata mereka bertemu. Denyutan jantung masing-masing berdebar lebih keras, dan hati masing2 diliputi perasaan yang sangat aneh. Sepatah katapun tidak dapat keluar dari mulut mereka. Namun itu semua segera berlalu dalam waktu yang sangat singkat. Kekerasan hati dan rasa tak mau mengalah cepat menguasai perasaan si dara tanggung.
Dengan semangat yang menyala-nyala penuh dendam dan jengkel ia mengulang serangan dengan angkin merahnya. Tangan kanan bergerak dan angkin merah mengikuti bergerak menggeliat-geliat laksana ular ganas mencari mangsa. Dengan muka cemberut sambil meludah ditanah, ia melompat mengejar Sujud yang sedang berdiri dengan masih tersenyum. Angkin merahnya menyambar-nyambar lebih ganas lagi.
Akan tetapi seperti tergerak sesuatu daya gaib tiba2 sujud menggagalkan maksudnya untuk menghindari serangan. Rasanya tak sampai hati ia membuat kecewa yang kedua kalinya pada dara tanggung lawannya itu. Ia tetap berdiri dengan masih bersenyum, tanpa bergeser setapakpun, sengaja ia membiarkan angkin merah menyambar ke arah kakinya dan melibatnya.
Sambil bersenyum puas karena serangannya berhasil si dara tanggung menggerakkan angkin dengan tangan kanannya dalam gaya hentakan yang mentakjubkan. Tak ayal lagi tubuh Sujud terhentak melambung tinggi dan berjumpalitan di udara.
Jaka Wulung, Jaka Rimang dan semua yang menyaksikan, hampir serentak berseru cemas, demi melihat Sujud terkena libatan angkin merah dan melambung tinggi di udara. Suatu kecerobohan hingga terlambat menghindari serangan angkin merah si dara tanggung, pikirnya.
Akan tetapi kecemasan para penonton segera lenyap seketika dan berganti menjadi dibuat ternganga penuh keheranan setelah melihat dengan mata kepala sendiri. .Sujud jatuh berjongkok seperti kera didepan lawannya dengan ketawa terkekeh-kekeh. Selamanya baru sekali ini mereka menyaksikan ketangkasan dua anak remaja yang demikian mengagumkan, demikian juga Wirahadinata.
Si dara tanggung yang tadinya mengira akan dapat membanting lawan ternyata kini merasa tertipu dan dipermainkan. Wajahnya cepat berubah menjadi asam kembali, dengan bibirnya bergerak gemetar. Sinar pandangan yang bening cemerlang kini berubah menjadi suram dan matanya berlinang mengembeng air mata. Ia lebih mendekati menangis dari pada ketawa. Ujung angkin sutra merah yang ternyata telah koyak, dipegangnya erat2 dengan tangan kiri, sambil meremas-remas dengan jari2nya yang runcing.
“Awas kau! Jika eyangku dan kumbang datang, tentu kubalas setimpal!” katanya dengan suara tertahan.
Tiba2 bayangan berkelebat datang diiringi auman panjang yang menegakkan bulu roma, dan sebelum semua orang dapat bergerak, pertapa shakti yang berjubah kuning Cahaya buana, yang namanya selalu menjadi buah tutur orang telah berdiri disamping si gadis tanggung diikuti seekor harimau kumbang.
“Eyang!” hanya kata2 itulah yang dapat keluar dari mulut si dara.
Memang benar Ajengan Cahayabuana adanya. Pertapa shakti yang bersemayam di Gunung Tangkuban Perahu. Datang dan perginya laksana bayangan menghilang. Demikian besar pengaruh wibawanya, hingga semua orang terpukau, tak dapat membuka mulut. Ia mencium kening cucunya Indah Kumala Wardhani si dara tanggung sambil memegang tangannya dan membimbing mendekati Sujud yang tengah berdiri ternganga didepannya.
“Benarkah kau putra angkat Gusti Wirahadinata cucuku sayang?” Cahayabuana bertanya dengan lemah lembut, memecah kesunyian sambil memegang bahu Sujud, yang olehnya dijawab dengan menganggukkan kepala. “Nakmas Gusti Wirahadinata! Maafkan akan kedatanganku yang tiba-tiba ini, yang tentunya nakmas Gustiku telah mengetahui akan maksud kedatanganku, bukan?!” la bertanya dengan merendah tertuju kepada Wirahadinata yang sedang berjalan mendekat.
Sambil membungkukkan badannya Wirahadinata menjawab pelan! “Datangnya Bapak Ajengan Cahayabuana membawa obor penerang bagi kami”.
“Ach... jangan nakmas Gustiku terlalu merendah. Orang tua seperti saya ini tak pantas diperlakukan demikian”, berkata demikian, lalu ia berpaling kepada Sujud. “Cobalah… cucuku sayang! Aku ingin melihat lenganmu yang kiri! Dapatkah kau membuka baju lenganmu itu sebentar?!.
Dengan dibantu ayah angkatnya Wirahadinata. Sujud membuka baju atasnya dan apa yang dicarinya bertahun-tahun oleh Ajengan Cahayabuana kini nampak jelas dilengan kiri Sujud, ciri asli berupa tai lalat warna hitam kemerah2an berbentuk bundar sebesar lbu jari kaki. Lenyaplah segala keragu2an seketika yang selama ini dikandungnya. Sujud dirangkul erat2 hingga kepalanya tersandar pada dada Ajengan Cahayabuana. Keningnya diciumi berulang kali, untuk melampiaskan rasa rindunya.
Cahayabuana yang terkenal sebagai pertapa shakti, kini dapat pula menangis terisak-isak. Air matanya mengalir deras membasahi kedua pipinya yang telah nampak keriput. Namun ia bukan menagis karena sedih, tetapi menangis karena girang yang tidak terhingga bercampur dengan rasa haru.
“Akhirnya Dewata Yang Maha Agung melimpahkan kemurahannya”. ia berkata terputus-putus pada diri sendiri. “Yoga!. Yoga Kumala!... Kau adalah cucuku...darah dagingku sendiri…..!” Getaran suara shakti itu menembus menusuk jantung Sujud, hingga ia tersentak sadar seketika dari lamunannya.
“Eyang!” hanya kata itulah yang dapat terlontar dari mulutnya. Ingin rasanya berkata Iebih banyak lagi, namun tenggorokannya terasa seperti tersumbat.
“Yaaaa... kau adalah Yoga Kumala cucuku! Dan Indah Kumala Wardhani yang berdiri disamping itu adalah adik kandungmu”.
Sesaat kemudian kedua remaja saling berpandangan tanpa berkata. Namun rasa kasih sayang dan dendam rindu memenuhi lubuk hati masing2. Pancaran pandangan masing2 merupakan daya tarik laksana gunung besi semberani. Dua remaja saling merangkul dengan eratnya, masing-masing menangis terisak-isak.
“Akang Yoga!”.
“Adikku Kumala Wardhani!”. Hanya suara itulah yang terdengar dan semua yang menyaksikan ikut pula terharu.
Tiba-tiba semua orang dikejutkan suara dari orang yang berdiri dibelakang Ajengan Cahayabuana.
“Yoga Kumala adikku! Aku turut bersyukur kepada Dewata Yang Maha Agung serta mengucapkan selamat akan hari kebahagiaanmu ini!” Ternyata dengan tanpa diketahui, Senapati Muda Indra Sambada telah datang pula dibelakang Cahayabuana. “Terimalah sembahku sebagai sambutan atas kedatangngan Bapak Ajengan Cahayabuana”.
“Demikian pula saya yang rendah menghaturkan sembah kepada nakmas Gusti Senapati junjunganku”. Jawab Ajengan Cahayabuana.
Tak lama kemudian mereka semua telah berpindah tempat digedung Kebanjaran Agung Indramayu, sebagai tamu resmi dari Bupati Wirahadinata. Hari kebahagiaan Sujud Yoga Kumala dirayakan dengan pesta pora.
Mulai sejak hari itu, nama Sujud di ganti dengan resmi, sebagaimana nama aslinya, "YOGA KUMALA" putra priyagung Kerajaan Pajajaran cucu dari pertapa shakti Tangkuban Perahu Ajengan Cahayabuana.
Sementara para tamtama pengiring dan punggawa narapraja Kebanjaran Agung Indramayu menikmati hidangan pesta untuk merayakan hari kebahagiaan bertemunya kembali gugusan Tangkuban perahu, tiga orang shakti dikelilingi Jaka Wulung, Jaka Rimang, Yoga Kumala, dan Indah Kumala Wardhani asyik bercakap-cakap dengan sangat akrabnya di ruang pendapa Gedung Kebanjaran Agung Indramayu.
Dengan dibantu para inang, Gusti Ayu Nyi Wirahadinata berkenan pula melayani sendiri hidangan makanan yang disuguhkan pada tamu-tamu akrabnya. Percakapan berlangsung dengan ramah tamah dan akrab dalam suasana kekeluargaan. Mereka saling menceritakan kisah jalan hidupnya yang telah dilalui.
Indah Kumala Wardhani yang semula mengira, bahwa Wirahadinata adalah orang yang menculik kakak kandungnya dan membunuh ibunya, segera mohon maaf atas kelakuannya yang lancang setelah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya.
Menurut keterangan Eyangnya Cahayabuana pembunuh mendiang Ibunya ternyata Durgawangsa dan Durga Saputra, yang kedua-duanya telah mati terbunuh. Durgawangsa mati pada kira-kira tiga tahun yang lalu oleh sabetan pedang Tamtama Tumenggung Cakrawirya (Baca Seri " Pendekar Majapahit" ). Sedangkan Durga Saputra setelah roboh ditangan Yoga Kumala, mati terkena bacokan pedang Bupati Wirahadinata. Dan semua itu adalah berkat jerih payah jasa Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Indra Sambada.
“Namun manusia hanya pelaku2 biasa, sedangkan Pencipta kisah dan Dalangnya adalah Dewata Yang Maha Agung”. demikianlah Ajengan Cahayabuana memberi wejangan. “Watak dan kelakuan kita semua tentunya menjadi dasar untuk disesuaikan dengan peranan yang diberikan oleh Nya. Dewata Yang Maha Agung adalah Maha Penyayang, Maha Kuasa dan Maha Adil. Sinar pancaran Kebesaran-Nya akan selalu menerangi buana kecil kita masing-masing, apabila kita selalu ingat dan bersujud kepadaNya. Kita semua adalah ummat Ciptaan-Nya yang wajib mengabdi dan berbakti pada-Nya”. Petapa shakti Cahayabuana menutup kata wejangannya.
Tiga hari kemudian Ajengan Cahayabuana dengan harimau kumbang piaraannya yang setia, meninggalkan Kebanjaran Agung Indramayu untuk kembali ketempat pertapaannya dilereng Gunung Tangkuban perahu. Atas permintaan Senapati Indra Sambada sendiri, demi untuk memenuhi janjinya, Yoga Kumala dan Indah Kumala Wardhani akan diantarkan ketempat pertapaan dilereng Gunung Tangkubanperahu pada hari sepekan kemudian.
“Cucuku Yoga! Ketahuilah, bahwa Gusti Wirahadinata dan Gusti Ayu Nyi Wirahadinata adalah gantinya ayah bundamu sendiri yang telah mendahului pulang kepangkuan Dewata Yang Maha Agung dan ini semua adalah atas kehendak-Nya. Demikian pula kau cucuku manis Indah Kumala Wardhani! Taatilah semua petunjuk dan nasehat orang tua angkatmu ini!” Pesan Cahayabuana sewaktu akan meninggalkan Kebanjaran Agung Indramayu pada kedua cucunya. “Kepada Gusti Senapati Indra Sambada yang telah sudi mengangkat dan menerima kalian sebagai adik angkatnya, harus pula kalian patuhi akan semua perintah dan wejangannya”.
Melihat kejadian yang lucu tanpa disengaja Sujud tertawa pula. “Siapa yang curang?”. Serunya ketawa geli.
Cepat si dara tanggung membetulkan gelungannya yang lepas sejadi jadinya saja, sementara Sujud masih berdiri ketawa geli. Kedua pipi dara itu menjadi merah seketika, karena mengira dipermainkan lawan. Tanpa menunggu siapnya lawan ia mulai menyerang dengan angkin sutranya. Angkin merah ditangan, kini bergerak menyambar-nyambar ke arah tubuh dan kaki Sujud, sambil berlompatan membuat kacau pandangan, sedangkan tangan kiri bergerak cepat dalam gaya tamparan yang susul menyusul ke arah muka Sujud.
Akan tetapi Sujud adalah murid Kyai Dadung Ngawuk yang telah mewarisi jurus-jurus wurushakti. Dengan terhuyung-huyung seakan hampir jatuh tertelungkup, untuk kemudian meloncat kesamping dan berjumpalitan, ataupun berjongkok, ia selalu terhindar dari serangan-serangan si dara tanggung, Ia masih saja mengelak menghindari serangan yang dahsyat dengan langkah-langkah wurushakti, dengan tanpa membalas menyerang.
Kini sengaja Wirahadinata membiarkan anaknya bertempur melawan gadis nakal itu, untuk melihat lebih jelas ilmu aneh yang dimiliki Sujud, serta sekaligus ingin mengetahui kepandaian anak dara itu yang lancang mulut. la mengikuti jalannya pertempuran dengan tak berkedip. Dan ternyata keduanya saling memiliki gerakan-gerakan yang sangat aneh dan sukar untuk diduga sebelumnya.
Semula Jaka Wulung dan Jaka Rimang serta para pengawal yang menonton, saling pandang diliputi rasa cemas, demi melihat gerakan Sujud yang lambat dan menyerupai orang mabok. Akan tetapi karena selalu nyaris terhindar dari semua serangan, mereka segera menyadari bahwa gerakan Sujud adalah gerakan ilmu shakti yang mentakjubkan.
Hanya saja, mereka belum melihat kehebatan gerak serangannya. Karena sejak tadi, baru sekali Sujud menyerang dengan hasil dapat melepas gelungannya. Sedangkan gerakan serangannya tadi, mereka tak melihat dengan jelas. Diam-diam Wirahadinata memuji pula akan ketangkasan dan ilmu yang dimiliki dara tanggung itu.
Dan dibalik gerakan mereka yang mentakjubkan itu, ada sesuatu yang lebih menarik perhatiannya pula. Semakin ia memperhatikan, semakin nampak jelas persamaan raut muka dan sinar pandangan antara dara nakal dan Sujud anak angkatnya. Hanya warna kulitnyalah yang berbeda agak menyolok.
Karena serangan yang bertubi-tubi tak pernah mengenai sasaran, dara tanggung menjadi gemas dan membanting-banting kakinya sambil berseru.
“Pengecut curang! Jangan hanya berlompatan menghindar saja, pakailah senjatamu dan seranglah aku”. bentaknya.
“Untuk melawanmu, tak perlu menggunakan senjata! Ayooh, teruskan permainan angkinmu. Jika sampai menyentuh bajuku, aku menyerah kalah!” Sujud menjawab sambil mengejek.
Kini anak dara itu menjadi lebih marah hingga mukanya merah padam sampai didaun telinganya. Dengan sengit ia mulai lagi menyerang Sujud. Angkin sutra merahnya menyambar-nyambar laksana gulungan sinar merah menyelubungi tubuh Sujud, namun kembali si dara tanggung menunjukkan muka asam, karena serangannya tak pernah berhasil.
“Cobalah sekali saja, angkinku kau biarkan melilit kakimu, jika kau ingin merasakan berjumpalitan diudara”. Seru dara tanggung dengan membelalakkan matanya, sambil berdiri menghentikan serangannya.
Kedua anak muda yang berlainan jenis itu, kini saling berpandangan. Sinar mata mereka bertemu. Denyutan jantung masing-masing berdebar lebih keras, dan hati masing2 diliputi perasaan yang sangat aneh. Sepatah katapun tidak dapat keluar dari mulut mereka. Namun itu semua segera berlalu dalam waktu yang sangat singkat. Kekerasan hati dan rasa tak mau mengalah cepat menguasai perasaan si dara tanggung.
Dengan semangat yang menyala-nyala penuh dendam dan jengkel ia mengulang serangan dengan angkin merahnya. Tangan kanan bergerak dan angkin merah mengikuti bergerak menggeliat-geliat laksana ular ganas mencari mangsa. Dengan muka cemberut sambil meludah ditanah, ia melompat mengejar Sujud yang sedang berdiri dengan masih tersenyum. Angkin merahnya menyambar-nyambar lebih ganas lagi.
Akan tetapi seperti tergerak sesuatu daya gaib tiba2 sujud menggagalkan maksudnya untuk menghindari serangan. Rasanya tak sampai hati ia membuat kecewa yang kedua kalinya pada dara tanggung lawannya itu. Ia tetap berdiri dengan masih bersenyum, tanpa bergeser setapakpun, sengaja ia membiarkan angkin merah menyambar ke arah kakinya dan melibatnya.
Sambil bersenyum puas karena serangannya berhasil si dara tanggung menggerakkan angkin dengan tangan kanannya dalam gaya hentakan yang mentakjubkan. Tak ayal lagi tubuh Sujud terhentak melambung tinggi dan berjumpalitan di udara.
Jaka Wulung, Jaka Rimang dan semua yang menyaksikan, hampir serentak berseru cemas, demi melihat Sujud terkena libatan angkin merah dan melambung tinggi di udara. Suatu kecerobohan hingga terlambat menghindari serangan angkin merah si dara tanggung, pikirnya.
Akan tetapi kecemasan para penonton segera lenyap seketika dan berganti menjadi dibuat ternganga penuh keheranan setelah melihat dengan mata kepala sendiri. .Sujud jatuh berjongkok seperti kera didepan lawannya dengan ketawa terkekeh-kekeh. Selamanya baru sekali ini mereka menyaksikan ketangkasan dua anak remaja yang demikian mengagumkan, demikian juga Wirahadinata.
Si dara tanggung yang tadinya mengira akan dapat membanting lawan ternyata kini merasa tertipu dan dipermainkan. Wajahnya cepat berubah menjadi asam kembali, dengan bibirnya bergerak gemetar. Sinar pandangan yang bening cemerlang kini berubah menjadi suram dan matanya berlinang mengembeng air mata. Ia lebih mendekati menangis dari pada ketawa. Ujung angkin sutra merah yang ternyata telah koyak, dipegangnya erat2 dengan tangan kiri, sambil meremas-remas dengan jari2nya yang runcing.
“Awas kau! Jika eyangku dan kumbang datang, tentu kubalas setimpal!” katanya dengan suara tertahan.
Tiba2 bayangan berkelebat datang diiringi auman panjang yang menegakkan bulu roma, dan sebelum semua orang dapat bergerak, pertapa shakti yang berjubah kuning Cahaya buana, yang namanya selalu menjadi buah tutur orang telah berdiri disamping si gadis tanggung diikuti seekor harimau kumbang.
“Eyang!” hanya kata2 itulah yang dapat keluar dari mulut si dara.
Memang benar Ajengan Cahayabuana adanya. Pertapa shakti yang bersemayam di Gunung Tangkuban Perahu. Datang dan perginya laksana bayangan menghilang. Demikian besar pengaruh wibawanya, hingga semua orang terpukau, tak dapat membuka mulut. Ia mencium kening cucunya Indah Kumala Wardhani si dara tanggung sambil memegang tangannya dan membimbing mendekati Sujud yang tengah berdiri ternganga didepannya.
“Benarkah kau putra angkat Gusti Wirahadinata cucuku sayang?” Cahayabuana bertanya dengan lemah lembut, memecah kesunyian sambil memegang bahu Sujud, yang olehnya dijawab dengan menganggukkan kepala. “Nakmas Gusti Wirahadinata! Maafkan akan kedatanganku yang tiba-tiba ini, yang tentunya nakmas Gustiku telah mengetahui akan maksud kedatanganku, bukan?!” la bertanya dengan merendah tertuju kepada Wirahadinata yang sedang berjalan mendekat.
Sambil membungkukkan badannya Wirahadinata menjawab pelan! “Datangnya Bapak Ajengan Cahayabuana membawa obor penerang bagi kami”.
“Ach... jangan nakmas Gustiku terlalu merendah. Orang tua seperti saya ini tak pantas diperlakukan demikian”, berkata demikian, lalu ia berpaling kepada Sujud. “Cobalah… cucuku sayang! Aku ingin melihat lenganmu yang kiri! Dapatkah kau membuka baju lenganmu itu sebentar?!.
Dengan dibantu ayah angkatnya Wirahadinata. Sujud membuka baju atasnya dan apa yang dicarinya bertahun-tahun oleh Ajengan Cahayabuana kini nampak jelas dilengan kiri Sujud, ciri asli berupa tai lalat warna hitam kemerah2an berbentuk bundar sebesar lbu jari kaki. Lenyaplah segala keragu2an seketika yang selama ini dikandungnya. Sujud dirangkul erat2 hingga kepalanya tersandar pada dada Ajengan Cahayabuana. Keningnya diciumi berulang kali, untuk melampiaskan rasa rindunya.
Cahayabuana yang terkenal sebagai pertapa shakti, kini dapat pula menangis terisak-isak. Air matanya mengalir deras membasahi kedua pipinya yang telah nampak keriput. Namun ia bukan menagis karena sedih, tetapi menangis karena girang yang tidak terhingga bercampur dengan rasa haru.
“Akhirnya Dewata Yang Maha Agung melimpahkan kemurahannya”. ia berkata terputus-putus pada diri sendiri. “Yoga!. Yoga Kumala!... Kau adalah cucuku...darah dagingku sendiri…..!” Getaran suara shakti itu menembus menusuk jantung Sujud, hingga ia tersentak sadar seketika dari lamunannya.
“Eyang!” hanya kata itulah yang dapat terlontar dari mulutnya. Ingin rasanya berkata Iebih banyak lagi, namun tenggorokannya terasa seperti tersumbat.
“Yaaaa... kau adalah Yoga Kumala cucuku! Dan Indah Kumala Wardhani yang berdiri disamping itu adalah adik kandungmu”.
Sesaat kemudian kedua remaja saling berpandangan tanpa berkata. Namun rasa kasih sayang dan dendam rindu memenuhi lubuk hati masing2. Pancaran pandangan masing2 merupakan daya tarik laksana gunung besi semberani. Dua remaja saling merangkul dengan eratnya, masing-masing menangis terisak-isak.
“Akang Yoga!”.
“Adikku Kumala Wardhani!”. Hanya suara itulah yang terdengar dan semua yang menyaksikan ikut pula terharu.
Tiba-tiba semua orang dikejutkan suara dari orang yang berdiri dibelakang Ajengan Cahayabuana.
“Yoga Kumala adikku! Aku turut bersyukur kepada Dewata Yang Maha Agung serta mengucapkan selamat akan hari kebahagiaanmu ini!” Ternyata dengan tanpa diketahui, Senapati Muda Indra Sambada telah datang pula dibelakang Cahayabuana. “Terimalah sembahku sebagai sambutan atas kedatangngan Bapak Ajengan Cahayabuana”.
“Demikian pula saya yang rendah menghaturkan sembah kepada nakmas Gusti Senapati junjunganku”. Jawab Ajengan Cahayabuana.
Tak lama kemudian mereka semua telah berpindah tempat digedung Kebanjaran Agung Indramayu, sebagai tamu resmi dari Bupati Wirahadinata. Hari kebahagiaan Sujud Yoga Kumala dirayakan dengan pesta pora.
Mulai sejak hari itu, nama Sujud di ganti dengan resmi, sebagaimana nama aslinya, "YOGA KUMALA" putra priyagung Kerajaan Pajajaran cucu dari pertapa shakti Tangkuban Perahu Ajengan Cahayabuana.
Sementara para tamtama pengiring dan punggawa narapraja Kebanjaran Agung Indramayu menikmati hidangan pesta untuk merayakan hari kebahagiaan bertemunya kembali gugusan Tangkuban perahu, tiga orang shakti dikelilingi Jaka Wulung, Jaka Rimang, Yoga Kumala, dan Indah Kumala Wardhani asyik bercakap-cakap dengan sangat akrabnya di ruang pendapa Gedung Kebanjaran Agung Indramayu.
Dengan dibantu para inang, Gusti Ayu Nyi Wirahadinata berkenan pula melayani sendiri hidangan makanan yang disuguhkan pada tamu-tamu akrabnya. Percakapan berlangsung dengan ramah tamah dan akrab dalam suasana kekeluargaan. Mereka saling menceritakan kisah jalan hidupnya yang telah dilalui.
Indah Kumala Wardhani yang semula mengira, bahwa Wirahadinata adalah orang yang menculik kakak kandungnya dan membunuh ibunya, segera mohon maaf atas kelakuannya yang lancang setelah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya.
Menurut keterangan Eyangnya Cahayabuana pembunuh mendiang Ibunya ternyata Durgawangsa dan Durga Saputra, yang kedua-duanya telah mati terbunuh. Durgawangsa mati pada kira-kira tiga tahun yang lalu oleh sabetan pedang Tamtama Tumenggung Cakrawirya (Baca Seri " Pendekar Majapahit" ). Sedangkan Durga Saputra setelah roboh ditangan Yoga Kumala, mati terkena bacokan pedang Bupati Wirahadinata. Dan semua itu adalah berkat jerih payah jasa Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Indra Sambada.
“Namun manusia hanya pelaku2 biasa, sedangkan Pencipta kisah dan Dalangnya adalah Dewata Yang Maha Agung”. demikianlah Ajengan Cahayabuana memberi wejangan. “Watak dan kelakuan kita semua tentunya menjadi dasar untuk disesuaikan dengan peranan yang diberikan oleh Nya. Dewata Yang Maha Agung adalah Maha Penyayang, Maha Kuasa dan Maha Adil. Sinar pancaran Kebesaran-Nya akan selalu menerangi buana kecil kita masing-masing, apabila kita selalu ingat dan bersujud kepadaNya. Kita semua adalah ummat Ciptaan-Nya yang wajib mengabdi dan berbakti pada-Nya”. Petapa shakti Cahayabuana menutup kata wejangannya.
Tiga hari kemudian Ajengan Cahayabuana dengan harimau kumbang piaraannya yang setia, meninggalkan Kebanjaran Agung Indramayu untuk kembali ketempat pertapaannya dilereng Gunung Tangkuban perahu. Atas permintaan Senapati Indra Sambada sendiri, demi untuk memenuhi janjinya, Yoga Kumala dan Indah Kumala Wardhani akan diantarkan ketempat pertapaan dilereng Gunung Tangkubanperahu pada hari sepekan kemudian.
“Cucuku Yoga! Ketahuilah, bahwa Gusti Wirahadinata dan Gusti Ayu Nyi Wirahadinata adalah gantinya ayah bundamu sendiri yang telah mendahului pulang kepangkuan Dewata Yang Maha Agung dan ini semua adalah atas kehendak-Nya. Demikian pula kau cucuku manis Indah Kumala Wardhani! Taatilah semua petunjuk dan nasehat orang tua angkatmu ini!” Pesan Cahayabuana sewaktu akan meninggalkan Kebanjaran Agung Indramayu pada kedua cucunya. “Kepada Gusti Senapati Indra Sambada yang telah sudi mengangkat dan menerima kalian sebagai adik angkatnya, harus pula kalian patuhi akan semua perintah dan wejangannya”.
**** 009 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment