Dengan langkah2nya yang aneh dan kelihatan sangat lambat, Sujut terhuyung-huyung kedepan seakan jatuh terjengkang, untuk kemudian melompat kesamping sambil menjulurkan tangan kanan yang jari nya telah ditegangkan kearah tubuh lawan yang sedang gencar melancarkan serangan dengan golok panjangnya. Dengan demikian, disamping ia terhindar dari bacokan dan sabetan golok panjang, Durga Saputrapun terpaksa membatalkan serangan rangkaiannya untuk melindungi tubuh dari totokan jari-jari Sujud yang sukar diduga arah datangnya.
Kadang2 Sujud mengelak babatan golok panjang lawan yang semakin buas itu hanya dengan menjatuhkan diri bergulingan di tanah untuk kemudian duduk berjongkok menunggu datangnya serangan susulan. Akan tetapi semua serangan Durga Saputra yang ganas dan bertubi-tubi ternyata selalu jatuh ditempat yang kosong belaka.
Berulang kali Wirahadinata sambil masih bertempur, berseru cemas demi melihat gerakan Sujud yang dalam penglihatannya hampir menjadi korban keganasan. Setiap gerakan untuk berusaha mendekati anaknya selalu di rintangi para pengeroyoknya dengan serangan2 serentak yang bertubi-tubi.
Akan tetapi Wirahadinata adalah Kyai Tunggul yang memiliki kesaktian serta pengalaman yang luas. Dengan mudahnya ia dapat menghindari semua serangan dari para pengeroyoknya. Medan pertempurannya dikuasai kembali.
Sekali pedang tamtamanya berkelebat, para pengeroyok segera sibuk menghindar sambil berlompatan menjauhkan diri dari serangan susulan yang tak dapat diduga sebelumnya. Semula Wirahadinata sama sekali tidak bermaksud kejam kepada para pengeroyoknya dan setiap kesempatan yang terluang hanya dipergunakan untuk memperhatikan anaknya Sujud yang sedang menghadapi serangan2 maut dari Durga Saputra.
Akan tetapi rasa cemasnya kini semakin bertambah, setelah melihat cara Sujud menghindari serangan tusukan maut hanya dengan berjongkok serta ketawa terkekeh2. Ia mengira bahwa anaknya karena rasa takut menghadapi lawan tangguh, hingga tergoncang syarafnya dan menjadi gila.
Tanpa mengenal belas kasihan lagi, Wirahadinata tiba2 melancarkan serangan dengan jurus shakti simpanannya yang olehnya sendiri dinamakan "sabetan pelebur baja". Ditengah2 para pengeroyoknya, Wirahadinata berdiri tegak dengan sepasang matanya terbuka lebar dengan pandangan liar. Wajahnya berubah merah, tubuhnya gemetar. Mulutnya berkali-kali terbuka dan terkatub kembali tanpa mengeluarkan suara. Hembusan nafasnya mengandung daya sakti yang telah terpusat. Tangan kanan yang menggenggam pedang tamtamanya diangkat setinggi pundak dan tangan kiri bergerak perlahan dengan jari2 terbuka seperti cakar harimau yang siap menerkam mangsa.
Seruan tinggi melengking terdengar dan tiba2 ia meloncat menerjang dua orang pengeroyok yang berada didepannya dengan kedua tangannya bergerak semua, dalam bentuk gerakan yang bertentangan.
Tangan kirinya menyengkeram kedepan dari atas kebawah serong kanan, sedangkan tangan kanan yang menggenggam pedang membuat gerakan sabetan dari kanan ke kiri serong kebawah. Suatu jurus dalam satu gerakan yang berlawanan dengan disertai daya kesaktian.
Tak ayal lagi jeritan ngeri dua kali susul-menyusul segera terdengar, diiringi robohnya dua tubuh manusia yang bermandikan darah. Seorang putus lehernya dengan kepala terpisah dari gembungnya. sedang seorang lagi lambungnya terbabat sampai dipusat perutnya. Dan dengan pedang yang masih berlepotan darah, Wirahadinata berpusingan menyambut datangnya serangan dari dua orang pengeroyok yang berada dibebelakangnya.
Demi melihat dua orang temannya roboh tak bernyawa lagi, dua orang pengerojok yang sedang menyerang segera menarik kembali gerakannya, serta serentak meloncat surut kebelakang dua langkah, kemudian lari dikegelapan tunggang langgang.
Cepat seperti kilat Wirahadinata melompat kesamping untuk membantu anaknya, akan tetapi ia segera berdiri terpaku penuh rasa heran sesaat, sewaktu melihat Durga Saputra jatuh roboh tak berdaya tanpa terluka dengan golok panjangnya terlempar jauh, Namun rasa cemas bercampur dendam masih meliputi dirinya. Kuatir akan bangkitnya kembali Durga Saputra yang mengganggu anaknya. Pedang tamtamanya berkelebat lagi. dan
“crattt”.
Kepala Durga Saputra terbelah kena bacokan pedang tamtama Wirahadinata, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Darah segar bercampur otak muncrat, hingga membuat bajunya sendiri berlepotan darah.
Sujud meloncat merangkul leher Wirahadinata sambil berseru. “Bapak”. Ia ingin mencegah kekejaman ayah angkatnya, akan tetapi gerakannya terlambat.
Bersamaan dengan robohnya Durga Saputra, Singayudha yang dibantu Braja Semandang yang sedang bertempur meIawan Tadah Waja, tiba-tiba meloncat dua langkah sambil berseru.
“Semandang! Biarkan aku sendiri yang melayani kepala rampok ini! Lekas lari ke Kebanjaran, untuk membantu adi2mu!”.
Sadarlah ia kini, bahwa larinya mengejar Tadah Waja berarti terkail oleh tipu muslihatnya. Ia melihat adanya awan hitam yang tebal bergulung-gulung membumbung tinggi yang disusul dengan nyala api besar menjilat-jilat naik diangkasa diarah atas Kebanjaran Kapanewon.
Untuk lari menolong orang tua menantunya, baginya tak mungkin, karena ia sedang menghadapi musuh yang sakti dan ganas. Satu-satunya jalan ialah memerintahkan pamong muridnya kembali ke Kebanjaran Kapanewon agar dapat membantu Panewu Arjasuralaga.
“Keparat Tadah Waja! Sambutlah klewangku!”.
Bentak Singayudha samhil menerjang maju dengan klewang ditangan kanan. Gerakannya tangkas dan cepat, seperti kilat. Klewang ditangannya berkelebatan laksana gulungan sinar putih yang menyambar-nyambar, dalam gerakan tusukan, babatan, dan tangkisan susul-menyusul dengan perobahan yang sukar dilihat dengan mata.
Angin sambaran, sabetan klewangnya mengeluarkan suara berdesingan, hingga membuat daun-daun pepohonan yang berada didekatnya jatuh beterbaran. Namun lawannya adalah Tadah Waja, kepala rampok sakti yang berpengalaman luas. Tongkat besi di tangannya berputaran menyerupai lingkaran baja, dengan mengeluarkan angin sambaran laksana badai yang tak kalah hebatnya. Tangan kiri dengan jari-jarinya terbuka dan ditegangkan bergerak menyambar kearah lawan seperti cakar garuda. Keduanya saling mengerahkan tenaga sakti.
Dua senjata yang dahsyat beradu dan percikan api nampak berpijar. Keduanya berseru terkejut sambil terhuyung-huyung ke belakang dua langkah dengan masing-masing hampir jatuh terlentang.
Wirahadinata melompat hendak membantu Singayudha yang sedang terhuyung-huyung dan hampir jatuh itu, tetapi tiba-tiba lebih dari sepuluh orang anak buah Tadah Waja muncul berloncatan dari segenap penjuru disekitarnya dan langsung menyerangnya.
Sementara itu pertempuran di lain kalangan masih berlangsung dengan seru. Suara beradunya senjata terdengar gemerincing diiringi jeritan-jeritan ngeri susul menyusul, dari orang-orang yang terkena senjata roboh bergelimpangan. Darah berceceran dimana mana.
Kadang2 Sujud mengelak babatan golok panjang lawan yang semakin buas itu hanya dengan menjatuhkan diri bergulingan di tanah untuk kemudian duduk berjongkok menunggu datangnya serangan susulan. Akan tetapi semua serangan Durga Saputra yang ganas dan bertubi-tubi ternyata selalu jatuh ditempat yang kosong belaka.
Berulang kali Wirahadinata sambil masih bertempur, berseru cemas demi melihat gerakan Sujud yang dalam penglihatannya hampir menjadi korban keganasan. Setiap gerakan untuk berusaha mendekati anaknya selalu di rintangi para pengeroyoknya dengan serangan2 serentak yang bertubi-tubi.
Akan tetapi Wirahadinata adalah Kyai Tunggul yang memiliki kesaktian serta pengalaman yang luas. Dengan mudahnya ia dapat menghindari semua serangan dari para pengeroyoknya. Medan pertempurannya dikuasai kembali.
Sekali pedang tamtamanya berkelebat, para pengeroyok segera sibuk menghindar sambil berlompatan menjauhkan diri dari serangan susulan yang tak dapat diduga sebelumnya. Semula Wirahadinata sama sekali tidak bermaksud kejam kepada para pengeroyoknya dan setiap kesempatan yang terluang hanya dipergunakan untuk memperhatikan anaknya Sujud yang sedang menghadapi serangan2 maut dari Durga Saputra.
Akan tetapi rasa cemasnya kini semakin bertambah, setelah melihat cara Sujud menghindari serangan tusukan maut hanya dengan berjongkok serta ketawa terkekeh2. Ia mengira bahwa anaknya karena rasa takut menghadapi lawan tangguh, hingga tergoncang syarafnya dan menjadi gila.
Tanpa mengenal belas kasihan lagi, Wirahadinata tiba2 melancarkan serangan dengan jurus shakti simpanannya yang olehnya sendiri dinamakan "sabetan pelebur baja". Ditengah2 para pengeroyoknya, Wirahadinata berdiri tegak dengan sepasang matanya terbuka lebar dengan pandangan liar. Wajahnya berubah merah, tubuhnya gemetar. Mulutnya berkali-kali terbuka dan terkatub kembali tanpa mengeluarkan suara. Hembusan nafasnya mengandung daya sakti yang telah terpusat. Tangan kanan yang menggenggam pedang tamtamanya diangkat setinggi pundak dan tangan kiri bergerak perlahan dengan jari2 terbuka seperti cakar harimau yang siap menerkam mangsa.
Seruan tinggi melengking terdengar dan tiba2 ia meloncat menerjang dua orang pengeroyok yang berada didepannya dengan kedua tangannya bergerak semua, dalam bentuk gerakan yang bertentangan.
Tangan kirinya menyengkeram kedepan dari atas kebawah serong kanan, sedangkan tangan kanan yang menggenggam pedang membuat gerakan sabetan dari kanan ke kiri serong kebawah. Suatu jurus dalam satu gerakan yang berlawanan dengan disertai daya kesaktian.
Tak ayal lagi jeritan ngeri dua kali susul-menyusul segera terdengar, diiringi robohnya dua tubuh manusia yang bermandikan darah. Seorang putus lehernya dengan kepala terpisah dari gembungnya. sedang seorang lagi lambungnya terbabat sampai dipusat perutnya. Dan dengan pedang yang masih berlepotan darah, Wirahadinata berpusingan menyambut datangnya serangan dari dua orang pengeroyok yang berada dibebelakangnya.
Demi melihat dua orang temannya roboh tak bernyawa lagi, dua orang pengerojok yang sedang menyerang segera menarik kembali gerakannya, serta serentak meloncat surut kebelakang dua langkah, kemudian lari dikegelapan tunggang langgang.
Cepat seperti kilat Wirahadinata melompat kesamping untuk membantu anaknya, akan tetapi ia segera berdiri terpaku penuh rasa heran sesaat, sewaktu melihat Durga Saputra jatuh roboh tak berdaya tanpa terluka dengan golok panjangnya terlempar jauh, Namun rasa cemas bercampur dendam masih meliputi dirinya. Kuatir akan bangkitnya kembali Durga Saputra yang mengganggu anaknya. Pedang tamtamanya berkelebat lagi. dan
“crattt”.
Kepala Durga Saputra terbelah kena bacokan pedang tamtama Wirahadinata, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Darah segar bercampur otak muncrat, hingga membuat bajunya sendiri berlepotan darah.
Sujud meloncat merangkul leher Wirahadinata sambil berseru. “Bapak”. Ia ingin mencegah kekejaman ayah angkatnya, akan tetapi gerakannya terlambat.
Bersamaan dengan robohnya Durga Saputra, Singayudha yang dibantu Braja Semandang yang sedang bertempur meIawan Tadah Waja, tiba-tiba meloncat dua langkah sambil berseru.
“Semandang! Biarkan aku sendiri yang melayani kepala rampok ini! Lekas lari ke Kebanjaran, untuk membantu adi2mu!”.
Sadarlah ia kini, bahwa larinya mengejar Tadah Waja berarti terkail oleh tipu muslihatnya. Ia melihat adanya awan hitam yang tebal bergulung-gulung membumbung tinggi yang disusul dengan nyala api besar menjilat-jilat naik diangkasa diarah atas Kebanjaran Kapanewon.
Untuk lari menolong orang tua menantunya, baginya tak mungkin, karena ia sedang menghadapi musuh yang sakti dan ganas. Satu-satunya jalan ialah memerintahkan pamong muridnya kembali ke Kebanjaran Kapanewon agar dapat membantu Panewu Arjasuralaga.
“Keparat Tadah Waja! Sambutlah klewangku!”.
Bentak Singayudha samhil menerjang maju dengan klewang ditangan kanan. Gerakannya tangkas dan cepat, seperti kilat. Klewang ditangannya berkelebatan laksana gulungan sinar putih yang menyambar-nyambar, dalam gerakan tusukan, babatan, dan tangkisan susul-menyusul dengan perobahan yang sukar dilihat dengan mata.
Angin sambaran, sabetan klewangnya mengeluarkan suara berdesingan, hingga membuat daun-daun pepohonan yang berada didekatnya jatuh beterbaran. Namun lawannya adalah Tadah Waja, kepala rampok sakti yang berpengalaman luas. Tongkat besi di tangannya berputaran menyerupai lingkaran baja, dengan mengeluarkan angin sambaran laksana badai yang tak kalah hebatnya. Tangan kiri dengan jari-jarinya terbuka dan ditegangkan bergerak menyambar kearah lawan seperti cakar garuda. Keduanya saling mengerahkan tenaga sakti.
Dua senjata yang dahsyat beradu dan percikan api nampak berpijar. Keduanya berseru terkejut sambil terhuyung-huyung ke belakang dua langkah dengan masing-masing hampir jatuh terlentang.
Wirahadinata melompat hendak membantu Singayudha yang sedang terhuyung-huyung dan hampir jatuh itu, tetapi tiba-tiba lebih dari sepuluh orang anak buah Tadah Waja muncul berloncatan dari segenap penjuru disekitarnya dan langsung menyerangnya.
Sementara itu pertempuran di lain kalangan masih berlangsung dengan seru. Suara beradunya senjata terdengar gemerincing diiringi jeritan-jeritan ngeri susul menyusul, dari orang-orang yang terkena senjata roboh bergelimpangan. Darah berceceran dimana mana.
Demi melihat ayah angkatnya dikurung sepuluh orang lebih yang bersenjatakan klewang, tombak, kampak, golok dan sebagainya, Sujud melompat memasuki kalangan dengan gerakan “Wuru Shakti”nya yang ajaib. Jari-jari tangannya tegang terbuka dan menyambar-nyambar dengan langkah2nya yang aneh serta membingungkan lawan. Dalam waktu yang singkat tiga empat orang roboh terguling di tanah tanpa berdaya, terkena serangan totokan jari-jarinya. Senjata-senjata mereka terpental berterbangan lepas dari genggaman, untuk kemudian jatuh di tanah.
Wirahadinatapun tak mau memberi ampun pada lawannya. Tiap kali pedang tamtamanya berkelebat tentu ada lawan yang roboh mandi darah. Sambil bertempur gerakan anak angkatnya tak lepas dari perhatiannya. Tahulah kini ia, bahwa anak angkatnya telah memiliki ilmu kanuragan yang tak dapat dikatakan rendah, sebagaimana ia semula menduga sebelumnya. Akan tetapi, dari mana ia mendapatkan kepandaian yang aneh itu? Tak mungkin kakak angkatnya Gusti Senapati Indra Sambada mengajarnya demikian.
Gerakannya menyerupai orang mabok minuman keras, dan masih pula diiringi dengan suara tawa yang terkekeh seperti orang setengah gila. Akan tetapi suasana waktu itu tidak memungkinkan ia bertanya pada anaknya. Sedang ia mengagumi anaknya, dengan masih sibuk bertempur, tiba-tiba mendengar suara seruan lantang dari Tadah Waja yang ditujukan padanya.
“Hai….. dukun palsu! Jangan kau berlaku pengecut, merobohkan anak buahku semena-mena! Tunggulah pembalasan serangan tongkat bajaku!”.
Berseru demikian Tadah Waja melancarkan serangan dahsyat dengan tongkat besinya ke arah tubuh Singayudha. Pukulan dan sabetan tongkat besi menyambar ke arah kepala dan pinggang Singayudha dengan perobahan gerakan yang amat cepat, hingga mengeluarkan angin samberan yang berdesing-desing. Serangan yang dahsyat itu masih disusul dengan cengkeraman kuku jari2nya, hingga Singayudha menjadi sibuk karenanya. Klewangnya menari nari ditangan kanannya mengikuti gerakan tongkat besi lawan dengan tak kalah cepatnya.
Sewaktu Tadah Waja berteriak, pemusatan perhatiannya menjadi berkurang, inilah merupakan kesempatan bagus yang tepat bagi lawannya. Tanpa membuang kesempatan yang demikian baiknya Singayudha dengan klewang ditangan kanan meloncat kedepan selangkah dalam gerakan gaya tusukan, disusul serangan tendangan berangkai kearah larnbung lawan.
Seruan tertahan terdengar nyaring, disusul loncatan kesamping sambil berjumpalitan menghindari serangan balasan. Akan tetapi bukannya Tadah Waja yang jatuh berjumpalitan melainkan Singayudha sendiri. Ternyata nama Tadah Waja bukan kosong belaka. Ia sengaja menipu lawan, seakan2 tak memperhatikan serangan lawan. Akan tetapi justru sepenuh perhatiannya tepusat pada gerakan lawan yang sedang dihadapi.
Tusukan klewang Singayudha yang hampir menembus dadanya dihindari dengan menggeser kaki depannya selangkah serong kebelakang sambil memiringkan tubuhnya mengikuti gerakan kaki. Tongkat besi ditangan kanan memapaki datangnya serangan dengan gerakan sodokan, sedang tangan kirinya memukul dengan telapak tangan kearah kaki lawan yang sedang melontarkan tendangan berangkai.
Inilah jurus tipuan mematahkan langkah. Kecepatan Singayudha membuang dirinya kesamping dan berjumpalitan, ternyata dapat menggagalkan rangkaian serangan balasan dari Tadah Waja. Dengan menahan rasa sakit ditulang kakinya, Singayudha cepat berdiri lagi menyambut serangan susulan lawan yang bertubi-tubi dan berbahaya.
Perobahan gerakan tongkat besi Tadah Waja cepat laksana kilat yang menyambar-nyambar tubuhnya, namun ketangkasan Singayudha masih dapat mengimbangi gerakan lawan. la berloncatan menyelinap dibalik sinar tongkat besi yang bergulung-gulung menyelubungi tubuhnya, klewang ditangan kanannya masih perlu mengikuti menari-nari dengan tusukan dan sabetan yang cukup membuat bulu tengkuk lawan berdiri. Akan tetapi semakin lama, gerakan Singayudha semakin lambat. Rasa sakit ditulang kakinya mengganggu ketangkasan gerakannya. Perobahan gerakan lawan ini tak lepas dari perhatian Tadah Waja.
“Haa hahaaaaaaa...... !!!! Kiranya Singa barangan masih dapat menari diatas tiga kakinya !!!”. Tadah Waja berseru mengejek sambil menyerang mendesak Singayudha.
Sebagai guru ilmu kanuragan dan pendiri perguruan Baskara Mijil yang luas pengaruhnya, tak mungkin Singayudha mau menyerah secara demikian. Apalagi lawannya seorang perampok. Dalam keadaan terdesak, Singayudha mengerahkan seluruh tenaganya, melesat tinggi kesamping sejauh empat langkah dan cepat memperbaiki kedudukannya.
Ia berdiri tegak diatas kuda2nya yang ringan. Kaki kanan berdiri sedikit roboh kedepan dengan tumit terangkat, sedangkan kaki kirinya berada setengah langkah didepan kaki kanan dengan lutut ditekuk sedikit, membentuk kuda2 ringan. Tangan kirinya terbuka, dengan lengan terangkat keatas sejajar pundaknya, Siku2nya ditekukkan hingga ibu jari tangan berada disamping telinga kirinya.
Tubuhnya dimiringkan sedikit dengan dada membusung mengikuti gerakan kaki. Ujung mata klewang ditangan kanan, lurus menunjuk kearah dada lawan yang berada dihadapannya, dengan pergelangan telapak tangan berada di atas. Suatu gerakan bersenjatakan klewang yang gagah dan indah dalam pandangan.
Sewaktu Tadah Waja menerjang kuda-kuda dengan sabetan tongkat besinya, kaki Singayudha digeser dan merobah menjadi sebuah tendangan, yang disusul dengan tusukan klewang untuk kemudian dirobah menjadi bacokan kilat dari atas kebawah. Perobahan itu merupakan satu rangkaian gerakan yang amat cepat dalam bentuk jurus sambutan serangan berangkai. Sambil berseru nyaring Tadah Waja terkesiap, melompat tinggi berpusingan, dan membuang diri kearah samping kanan.
Namun masih juga tangan dan kaki kirinya tergores ujung klewang Singayudha, sejengkal panjangnya. Darah merah segar mengucur dari luka dipahanya. Sambutan serangan Singayudha ternyata memerlukan pengerahan tenaga keseluruhannya, hingga kaki kirinya yang terluka kini dirasakan bertambah sakit, dan ia tak dapat lagi menggerakkan kakinya dengan leluasa.
Akan tetapi, melihat hasil serangannya dapat melukai lengan serta paha Tadah Waja, semangat tempurnya bangkit kembali. Dengan sebelah kakinya yang pincang ia melanjutkan serangan kearah lawan dengan klewangnya bertubi-tubi. Cepat Tadah Waja membalikkan badan, menyambut datangnya serangan, dengan tanpa menghiraukan, luka dilengannya. Tongkat besi berputaran, membentuk perisai baja, sedangkan kakinya bergerak silih berganti melancarkan tendangan-tendangan yang dahsyat.
Kembali kini Singayudha dalam keadaan yang terdesak. Hampir pinggangnya patah terkena sabetan tongkat besi yang menyambar-nyambar dengan ganasnya, sewaktu ia terhuyung2 ke belakang menghindari tendangan lawan. Untung, bahwa ia masih sempat menjatuhkan diri berjumpalitan di tanah menghindari serangan lawan yang semakin ganas.
Tetapi serangan Tadah Waja bukan hanya berhenti sampai sekian saja. Sewaktu Singayudha berjumpalitan menghindari serangannya, ia melompat mendahului gerakan Singayudha yang sedang akan bangkit untuk duduk berjongkok. Kaki kirinya berdiri lurus, sedangkan kaki kanannya dengan lutut ditekukkan terangkat keatas setinggi pangkal pahanya. Tongkat besi ditangan kanan diangkat tinggi2, siap untuk mengemplang kepala Singayudha. Dan tangan kiri dengan jari2nya yang tegang mengembang siap menerkam leher lawan. Tangan kanannya diayun…. tangan kiri bergerak menuju sasaran…… dan Singayudha memejamkan mata menyamhut datangnya maut.
“ddaaaarrrr !!!!”.
Suara beradunya dua benda keras terdengar dan Tadah Waja terpelanting kebelakang, kemudian berjumpalitpn menjauhkan diri. Tongkat besi yang diayunkan oleh Tadah Waja sewaktu hampir jatuh di batok kepala Singayudha, tiba2 beradu dengan sebuah lengan berperisai besi baja. Perisai baja itu besarnya hanya setapak tangan dan panjangnya dari siku hingga pergelangan tangan. Dengan perisainya itu mendapat gelar "Sitangan besi". Namun orang itu turut pula terhuyung-huyung hingga tiga langkah kebelakang. Dapat dibayangkan bagaimana hebatnya pengerahan tenaga masing2 yang dilontarkan.
“Haa… haaaaaa… Ternyata banyak kemajuanmu selama tujuh tahun !!”.
Orang bertangan besi berseru nyaring. Ia memiliki tubuh tinggi besar dengan urat2nya melingkar-lingkar di kedua belah tangannya. Dadanya yang telanjang tanpa baju nampak bidang dan berbulu lebat. Masih pula dihias dengan gambaran seekor ular sanca yang sedang membelit badannya. Gambar itu dilukisnya dengan tusukan2 ujung golok yang runcing dan tajam dan kemudian diberi warna, sehingga tak mungkin dapat dihapus.
Ia hanya mengenakan celana hitam berseret merah sampai dibawah lututnya. Dipinggang kirinya tergantung sebilah golok panjang. Rambutnya sudah dua warna, akan tetapi tebal dan panjang diikat diatas kepala menyerupai gelung dengan pita hitarn. Mukanya bercambang bauk dan terdapat banyak goresan bekas luka2 terkena senjata tajam. Dialah yang terkenal dengan nama mBah Duwung "sitangan besi" dari Rongkop, gurunya Talang Pati.
“Duwung bangkotan !!! Apa maksudmu kau turut campur urusankn ?! Bukankah janji kita masih tiga tahun lagi ?? !!!” Tadah Waja menyahut dengan suara bentakan dan dengan sinar pandangan liar sambil berjongkok dengan tongkat besinya yang disilangkan di depan dada.
“Maafkan aku, jika tindakanku mengganggu urusanmu !!! Akan tetapi justru mengingat janji kita tinggal tiga tahun lagi, maka sengaja aku memperingatkan dirimu !!!. Jika kau terlalu banyak musuh, tentu tak akan mungkin kau dapat memenuhi janjimu lagi. Dan janganlah hendaknya, pertemuan kita tertunda lagi dengan alasan2mu yang kau buat2 !!! Nah selamat tinggal, sampai ketemu lagi tiga tahun yang akan datang. Dadung Ngawuk pun telah menantimu pula dengan jemu !!!!. Talang Pati! Mari kita pergi! Tak perlu campur tangan urusan orang lain!”
Belum juga kata2nya berakhir, ia telah melesat bagaikan bayangan di kegelapan malam, yang disusul dengan melesatnya Talang Pati muridnya, sambil berseru memanggil:
“Mbah Duwung!”.
Sementara itu Singayudha telah bangkit berdiri, sedangkan Tadah Waja masih menggumam sendirian. Pada tujuh tahun yang lalu, tiga orang shakti, Mbah Duwung, Dadung Ngawuk dan Tadah Waja pernah saling berternpur segitiga sampai dua hari dua malam lamanya, dengan berakhir tidak ada yang kalah ataupun yang menang.
Waktu itu pertempuran berlangsung dilereng gunung Slamet. Ketiganya roboh tak berdaya karena kehabisan tenaga, dan atas mufakat bersama mereka akan melanjutkan pertempuran tiga tahun lagi. Akan tetapi, ternyata Tadah Waja setelah tiga tahun berlalu, minta agar pertempuran segitiga itu ditunda lima tahun lamanya.
Dan atas mufakat mereka bertiga waktunya ditangguhkan menjadi tujuh tahun. Dalam tujuh tahun itu mereka akan meyakinkan ilmunya sendiri2 untuk bekal dalam pertempuran yang akan datang. Mbah Duwung dengan tangan besinya dan golok panjangnya, Tadah Waja dengan kuku2nya yang beracun dengan tongkat besinya, sedangkan Dadung Ngawuk dengan totokan jari2nya dan cambuk ularnya.
Tempat bertanding mengadu yang hanya kurang tiga tahun itupun telah ditentukan digunung Botak, sebelah utara hutan Blora. Pertempuran mengadu jiwa dalam segitiga, karena masing2 saling mempertahankan kebenarannya. Masing2 saling tuduh-menuduh pernah membunuh anggauta keluarganya. Urusan yang menurut mereka tak dapat diselesaikan dengan kata-kata.
Sedang Tadah Waja akan menerjang kembali kearah Singayudha yang tengah berdiri terpincang2 mendadak terdengar suara ringkikan dan derap kaki kuda, yang riuh mendatang dan langsung mengurung tempat pertempuran yang masih saja berlangsung dengan sengitnya. Seorang kepala pasukan yang tak lain Lurah Tamtama Jaka Rimang berseru memerintah:
“Kurung rapat dan tangkap semua perampok!”.
“Kakang Rimang!” Sujud meloncat di atas kepala pengeroyoknya sambil berseru dan menyambut datangnya Jaka Rimang yang memimpin pasukan 500 orang berkuda.
Melihat gelagat yang tak menguntungkan, Tadah Waja melesat bagaikan bayangan lari di kegelapan malam meninggalkan gelanggang pertempuran. Kiranya peringatan Mbah Duwung tadi sangat beralasan. Para rampok yang tak dapat melarikan diri, segera membuang senjata dan menyerah, setelah melihat tamtama berkuda demikian banyak dan mengurungnya rapat2.
“Adi Sujud!” Lurah Tamtama Jaka Rimang meloncat turun dari kudanya dan langsung mendekap pinggang Sujud, sambil bertanya: “Kau tidak terluka??”.
“Tidak. Untung kakang Rimang segera datang dengan pasukan tamtama. Dimana kakang Wulung? Dan apakah kang mas Indra juga berada disini?”.
“Sudahlah lekas naik kudaku, nanti kita bicarakan panjang lebar”. Jaka Rimang mengangkat tubuh Sujud dan dinaikkan diatas pelana, sedang ia sendiri melompat duduk dibelakangnya.
“Nanti dulu, kakang Rimang!, Bapak ada disini! Itu dia”. Berkata dernikian Sujud menunjuk Wirahadinata yang sedang berjalan mendatang, dan Jaka Rimang melompat turun kembali menyambut kedatangannya, dengan membungkukkan badan.
“Maafkan Gusti. Kedatangan kami disini memang diperintah Gustiku Senapati Indra Sambada untuk mencari dan menjemput Gusti Wirahadinata. Dan kini Gustiku Senapati Indra menunggu di Kebanjaran Agung Indramayu. Sama sekali kami tak mengira bahwa Gustiku berada disini pula”.
“Kebetulan sekali, kau cepat datang. Jika tidak, apa yang akan terjadi?”. Wirahadinata menjawab.
“Mendapat restu Gustiku!” Jaka Rimang merendahkan dirinya. “Silahkan Gustiku menaiki kuda ini saja”. Berkata demikian Jaka Rimang menepuk kuda disebelahnya.
Segera penunggang kuda itu turun dan menyerahkan pada Bupati Wirahadinata. Sekejap kemudian Wirahadinata telah duduk diatas pelana berjajar dengan kuda Jaka Rimang.
“Harap Gustiku sabar sebentar, menunggu kakang Jaka Wulung dan Panewu Arjasuralaga yang mengejar rampok2 yang lari itu”.
“Bukankah sebaiknya kita rnenyusul kakang Wulung dan membantunya?”. Sujud memotong pembicaraan dengan tak sabar.
“Ach…… jangan! Tadi kakang Wulung telah berpesan supaya aku menunggu disini, dan mengatur pasukan yang ditinggalkan ini”. Jawab Jaka Rimang.
Sementara itu dengan tangkas para tarntama telah membelenggu para anak buah Tadah Waja yang menyerah. Tak lama kemudian tampak tiga orang berkuda dalam kegelapan malam yang remang-remang, mendatang dengan pesatnya. Derap kaki kuda yang riuh terdengar semakin jelas.
Mereka adalah Lurah Tamtama Jaka Wulung, Lurah Tamtama Arjarempaka dan Panewu Arjasuralaga dengan dua puluh orang tamtama berkuda dibelakangnya. Pasukan tamtarna yang ditempat itu segera menyisih untuk memberi jalan bagi para pendatang.
“Kakang Wulung”. Sujud berseru demi melihat Jaka Wulung datang. (Penjelasan: Jaka Wulung dan Jaka Rirnang adalah saudara sekandung murid Kyai Pandan Gede dan Kyai Wiku Sepuh dilereng Gunung Sumbing, yang kemudian menjadi sepasang pembantu pribadi Senapati Indra Sarnbada dengan pangkat Lurah Tamtama. Baca Seri "Pendekar Majapahit").
Tiba2 dalarn jarak kira2 duapuluh langkah sebelum sarnpai ditempat Sujud, mereka dengan serentak menarik tali pengekang lis kudanya, hingga kuda mereka tersentak berdiri dengan meringkik2 nyaring.
Panewu Arjasuralaga dengan tangkasnya melompat turun dari kudanya dengan diikuti dua orang lainnya dan berjongkok mendekati orang yang sedang terkulai di tanah dengan merintih2. Tubuh Singayudha yang tinggi besar itu segera di pondong diatas pundaknya, untuk kemudian dibawa dimana Jaka Rimang menunggu.
Wirahadinata, Jaka Rimang dan Sujud juga segera melompat turun kembali dan menyambut kedatangan mereka. Setelah Singayudha diperiksa dengan teliti oleh Wirahadinata, ternyata luka dikaki kirinya mengandung racun, karena kena goresan kuku Tadah Waja.
Akan tetapi Wirahadinata adalah Kyai Tunggul dukun shakti yang tak asing lagi namanya. Dengan dibantu Sujud anaknya, Wirahadinata segera mengobati luka Singayudha hingga ia siuman kembali. Luka yang telah mulai menghitam dikoreknya dengan pisau tajam, dan saluran darahnya diurut hingga darah hitam yang mengandung racun keluar mengucur dari lukanya. Tiupan shakti kearah mulut Singayudha dihembuskan pelan2 sementara Sujud menaburkan bedak obat pemunah racun yang selalu dibekal oleh Wirahadinata.
Panas suhu badan Singayudha berangsur-angsur turun dan menjadi wajar. Singayudha segera bangkit duduk bersila untuk mengatur dan mengerahkan hawa murninya sendiri dengan mengatur pernafasan.
“Terima kasih, Gusti! Budi luhur Gustiku Wirahadinata tak akan saya lupakan! Semoga Dewata Yang Maha Agung membebaskan budi Gustiku !”. Singayudha berkata penuh hormat, setelah merasa ringan sakitnya.
“Ach,.. tak perlu Kyai Singayudha menyanjung demikian berlebih2an. Bahwa luka Kyai Singayuda tak begitu berat, sayapun turut pula bersyukur pada Dewata Yang Maha Agung. Dengan demikian Kyai dapat membimbing perguruan Baskara Mijil.
Tujuh orang segera berkenalan dan bercakap dengan akrabnya sambil duduk diatas rumput.
“Gara2 adi Sujud inilah, semua tamtarna Kerajaan kalang kabut dan disebar kesegala penjuru”. Jaka Wulung berkata ketawa riang dengan menepuk2 bahu Sujud.
Memang sejak Sujud meninggalkan Gedung Senapaten. sebagian tamtama Kerajaan oleh Senapati Indra Sambada diperintahkan mencarinya. Bukan hanya tamtama pasukan saja, akan tetapi tamtama nara sandi Kerajaan turut dikerahkan. Setelah satu setengah tahun lamanya para tamtama tak berhasiI menemukan Sujud, Senapati Indra Sambada sendiri berkenan membawa pasukan pergi ke Indramayu untuk yang keempat kalinya.
Akan tetapi setibanya di Indramayu, ternyata Bupati Wirahadinata sedang berkunjung ke Banjararja untuk memenuhi undangan Panewu Arjasuralaga. Maka oleh Senapati Indra Sambada, Jaka Wulung dan Jaka Rimang diperintahkan menjemputnya, karena ada hal2 yang sangat penting untuk di bicarakan. Sedangkan Indra Sambada sendiri menunggu di Kebanjaran Agung Indramayu.
Tak diduga bahwa Kebanjaran Banjararja dikacaukan para perampok dibawah pimpinan sakti Tadah Waja, hingga Jaka Wulung dan Jaka Rimang terpaksa turun tangan membantu Panewu Arjasuralaga menumpas para perampok. Hanya sayang bahwa Tadah Waja dapat meloloskan diri dari pengepungan. Namun rasa kecewa dan lelahnya Jaka Wulung dan Jaka Rimang lenyap ditutup rasa girang yang tak terhingga karena justru dalam kancah pertempuran mereka berhasil menemukan kembali Sujud yang telah lama dicari2nya.
Tidak henti2nya kedua Lurah tamtama ganti-berganti menanyakan pada Sujud akan pengalamannya dalam pengembaraan. Demikian pula ayah angkatnya Bupati Wirahadinata. Waktu itu fajar telah menyingsing. Dari arah sebelah timur sinar merah keemasan menerangi seluruh mayapada. Sang surya mulai bertahta menggantikan dewi malam.
Seratus tamtama Kerajaan atas perintah Jaka Wulung ditinggalkan di Banjararja untuk membantu Penewu Arjasuralaga, sedangkan Jaka WuIung, Jaka Rimang, Wirahadinata dan Sujud beserta seluruh pasukan berkuda lainnya, meninggalkan Banjararja menuju ke Indramayu. Dengan rasa sedih dan sangat kecewa karena tak dapat menemukan Martinem dan Martiman, Sujud terpaksa mengikuti rombongan berkuda menuju ke rumah ayah angkatnya di Indramayu.
Ternyata pada malam terjadinya keributan dan kebakaran di Banjararja, semua orang dialun-alun segera turut pula mengungsi, takut akan menjalarnya api. Warung2 ditutup dan ditinggalkan. Martiman dan Martinem berteriak-teriak ditengah keributan orang yang akan mengungsi, memanggil2 Sujud, akan tetapi sia-sia belaka. Mereka berdua bergandengan berjalan mengikuti arus orang2 mengungsi tanpa tujuan. Panewu Arjasuralaga akan berusaha mencari kedua anak itu, dan menyanggupi untuk mengantarkan ke Indramayu apabila kelak telah dapat diketemukannya.
Wirahadinatapun tak mau memberi ampun pada lawannya. Tiap kali pedang tamtamanya berkelebat tentu ada lawan yang roboh mandi darah. Sambil bertempur gerakan anak angkatnya tak lepas dari perhatiannya. Tahulah kini ia, bahwa anak angkatnya telah memiliki ilmu kanuragan yang tak dapat dikatakan rendah, sebagaimana ia semula menduga sebelumnya. Akan tetapi, dari mana ia mendapatkan kepandaian yang aneh itu? Tak mungkin kakak angkatnya Gusti Senapati Indra Sambada mengajarnya demikian.
Gerakannya menyerupai orang mabok minuman keras, dan masih pula diiringi dengan suara tawa yang terkekeh seperti orang setengah gila. Akan tetapi suasana waktu itu tidak memungkinkan ia bertanya pada anaknya. Sedang ia mengagumi anaknya, dengan masih sibuk bertempur, tiba-tiba mendengar suara seruan lantang dari Tadah Waja yang ditujukan padanya.
“Hai….. dukun palsu! Jangan kau berlaku pengecut, merobohkan anak buahku semena-mena! Tunggulah pembalasan serangan tongkat bajaku!”.
Berseru demikian Tadah Waja melancarkan serangan dahsyat dengan tongkat besinya ke arah tubuh Singayudha. Pukulan dan sabetan tongkat besi menyambar ke arah kepala dan pinggang Singayudha dengan perobahan gerakan yang amat cepat, hingga mengeluarkan angin samberan yang berdesing-desing. Serangan yang dahsyat itu masih disusul dengan cengkeraman kuku jari2nya, hingga Singayudha menjadi sibuk karenanya. Klewangnya menari nari ditangan kanannya mengikuti gerakan tongkat besi lawan dengan tak kalah cepatnya.
Sewaktu Tadah Waja berteriak, pemusatan perhatiannya menjadi berkurang, inilah merupakan kesempatan bagus yang tepat bagi lawannya. Tanpa membuang kesempatan yang demikian baiknya Singayudha dengan klewang ditangan kanan meloncat kedepan selangkah dalam gerakan gaya tusukan, disusul serangan tendangan berangkai kearah larnbung lawan.
Seruan tertahan terdengar nyaring, disusul loncatan kesamping sambil berjumpalitan menghindari serangan balasan. Akan tetapi bukannya Tadah Waja yang jatuh berjumpalitan melainkan Singayudha sendiri. Ternyata nama Tadah Waja bukan kosong belaka. Ia sengaja menipu lawan, seakan2 tak memperhatikan serangan lawan. Akan tetapi justru sepenuh perhatiannya tepusat pada gerakan lawan yang sedang dihadapi.
Tusukan klewang Singayudha yang hampir menembus dadanya dihindari dengan menggeser kaki depannya selangkah serong kebelakang sambil memiringkan tubuhnya mengikuti gerakan kaki. Tongkat besi ditangan kanan memapaki datangnya serangan dengan gerakan sodokan, sedang tangan kirinya memukul dengan telapak tangan kearah kaki lawan yang sedang melontarkan tendangan berangkai.
Inilah jurus tipuan mematahkan langkah. Kecepatan Singayudha membuang dirinya kesamping dan berjumpalitan, ternyata dapat menggagalkan rangkaian serangan balasan dari Tadah Waja. Dengan menahan rasa sakit ditulang kakinya, Singayudha cepat berdiri lagi menyambut serangan susulan lawan yang bertubi-tubi dan berbahaya.
Perobahan gerakan tongkat besi Tadah Waja cepat laksana kilat yang menyambar-nyambar tubuhnya, namun ketangkasan Singayudha masih dapat mengimbangi gerakan lawan. la berloncatan menyelinap dibalik sinar tongkat besi yang bergulung-gulung menyelubungi tubuhnya, klewang ditangan kanannya masih perlu mengikuti menari-nari dengan tusukan dan sabetan yang cukup membuat bulu tengkuk lawan berdiri. Akan tetapi semakin lama, gerakan Singayudha semakin lambat. Rasa sakit ditulang kakinya mengganggu ketangkasan gerakannya. Perobahan gerakan lawan ini tak lepas dari perhatian Tadah Waja.
“Haa hahaaaaaaa...... !!!! Kiranya Singa barangan masih dapat menari diatas tiga kakinya !!!”. Tadah Waja berseru mengejek sambil menyerang mendesak Singayudha.
Sebagai guru ilmu kanuragan dan pendiri perguruan Baskara Mijil yang luas pengaruhnya, tak mungkin Singayudha mau menyerah secara demikian. Apalagi lawannya seorang perampok. Dalam keadaan terdesak, Singayudha mengerahkan seluruh tenaganya, melesat tinggi kesamping sejauh empat langkah dan cepat memperbaiki kedudukannya.
Ia berdiri tegak diatas kuda2nya yang ringan. Kaki kanan berdiri sedikit roboh kedepan dengan tumit terangkat, sedangkan kaki kirinya berada setengah langkah didepan kaki kanan dengan lutut ditekuk sedikit, membentuk kuda2 ringan. Tangan kirinya terbuka, dengan lengan terangkat keatas sejajar pundaknya, Siku2nya ditekukkan hingga ibu jari tangan berada disamping telinga kirinya.
Tubuhnya dimiringkan sedikit dengan dada membusung mengikuti gerakan kaki. Ujung mata klewang ditangan kanan, lurus menunjuk kearah dada lawan yang berada dihadapannya, dengan pergelangan telapak tangan berada di atas. Suatu gerakan bersenjatakan klewang yang gagah dan indah dalam pandangan.
Sewaktu Tadah Waja menerjang kuda-kuda dengan sabetan tongkat besinya, kaki Singayudha digeser dan merobah menjadi sebuah tendangan, yang disusul dengan tusukan klewang untuk kemudian dirobah menjadi bacokan kilat dari atas kebawah. Perobahan itu merupakan satu rangkaian gerakan yang amat cepat dalam bentuk jurus sambutan serangan berangkai. Sambil berseru nyaring Tadah Waja terkesiap, melompat tinggi berpusingan, dan membuang diri kearah samping kanan.
Namun masih juga tangan dan kaki kirinya tergores ujung klewang Singayudha, sejengkal panjangnya. Darah merah segar mengucur dari luka dipahanya. Sambutan serangan Singayudha ternyata memerlukan pengerahan tenaga keseluruhannya, hingga kaki kirinya yang terluka kini dirasakan bertambah sakit, dan ia tak dapat lagi menggerakkan kakinya dengan leluasa.
Akan tetapi, melihat hasil serangannya dapat melukai lengan serta paha Tadah Waja, semangat tempurnya bangkit kembali. Dengan sebelah kakinya yang pincang ia melanjutkan serangan kearah lawan dengan klewangnya bertubi-tubi. Cepat Tadah Waja membalikkan badan, menyambut datangnya serangan, dengan tanpa menghiraukan, luka dilengannya. Tongkat besi berputaran, membentuk perisai baja, sedangkan kakinya bergerak silih berganti melancarkan tendangan-tendangan yang dahsyat.
Kembali kini Singayudha dalam keadaan yang terdesak. Hampir pinggangnya patah terkena sabetan tongkat besi yang menyambar-nyambar dengan ganasnya, sewaktu ia terhuyung2 ke belakang menghindari tendangan lawan. Untung, bahwa ia masih sempat menjatuhkan diri berjumpalitan di tanah menghindari serangan lawan yang semakin ganas.
Tetapi serangan Tadah Waja bukan hanya berhenti sampai sekian saja. Sewaktu Singayudha berjumpalitan menghindari serangannya, ia melompat mendahului gerakan Singayudha yang sedang akan bangkit untuk duduk berjongkok. Kaki kirinya berdiri lurus, sedangkan kaki kanannya dengan lutut ditekukkan terangkat keatas setinggi pangkal pahanya. Tongkat besi ditangan kanan diangkat tinggi2, siap untuk mengemplang kepala Singayudha. Dan tangan kiri dengan jari2nya yang tegang mengembang siap menerkam leher lawan. Tangan kanannya diayun…. tangan kiri bergerak menuju sasaran…… dan Singayudha memejamkan mata menyamhut datangnya maut.
“ddaaaarrrr !!!!”.
Suara beradunya dua benda keras terdengar dan Tadah Waja terpelanting kebelakang, kemudian berjumpalitpn menjauhkan diri. Tongkat besi yang diayunkan oleh Tadah Waja sewaktu hampir jatuh di batok kepala Singayudha, tiba2 beradu dengan sebuah lengan berperisai besi baja. Perisai baja itu besarnya hanya setapak tangan dan panjangnya dari siku hingga pergelangan tangan. Dengan perisainya itu mendapat gelar "Sitangan besi". Namun orang itu turut pula terhuyung-huyung hingga tiga langkah kebelakang. Dapat dibayangkan bagaimana hebatnya pengerahan tenaga masing2 yang dilontarkan.
“Haa… haaaaaa… Ternyata banyak kemajuanmu selama tujuh tahun !!”.
Orang bertangan besi berseru nyaring. Ia memiliki tubuh tinggi besar dengan urat2nya melingkar-lingkar di kedua belah tangannya. Dadanya yang telanjang tanpa baju nampak bidang dan berbulu lebat. Masih pula dihias dengan gambaran seekor ular sanca yang sedang membelit badannya. Gambar itu dilukisnya dengan tusukan2 ujung golok yang runcing dan tajam dan kemudian diberi warna, sehingga tak mungkin dapat dihapus.
Ia hanya mengenakan celana hitam berseret merah sampai dibawah lututnya. Dipinggang kirinya tergantung sebilah golok panjang. Rambutnya sudah dua warna, akan tetapi tebal dan panjang diikat diatas kepala menyerupai gelung dengan pita hitarn. Mukanya bercambang bauk dan terdapat banyak goresan bekas luka2 terkena senjata tajam. Dialah yang terkenal dengan nama mBah Duwung "sitangan besi" dari Rongkop, gurunya Talang Pati.
“Duwung bangkotan !!! Apa maksudmu kau turut campur urusankn ?! Bukankah janji kita masih tiga tahun lagi ?? !!!” Tadah Waja menyahut dengan suara bentakan dan dengan sinar pandangan liar sambil berjongkok dengan tongkat besinya yang disilangkan di depan dada.
“Maafkan aku, jika tindakanku mengganggu urusanmu !!! Akan tetapi justru mengingat janji kita tinggal tiga tahun lagi, maka sengaja aku memperingatkan dirimu !!!. Jika kau terlalu banyak musuh, tentu tak akan mungkin kau dapat memenuhi janjimu lagi. Dan janganlah hendaknya, pertemuan kita tertunda lagi dengan alasan2mu yang kau buat2 !!! Nah selamat tinggal, sampai ketemu lagi tiga tahun yang akan datang. Dadung Ngawuk pun telah menantimu pula dengan jemu !!!!. Talang Pati! Mari kita pergi! Tak perlu campur tangan urusan orang lain!”
Belum juga kata2nya berakhir, ia telah melesat bagaikan bayangan di kegelapan malam, yang disusul dengan melesatnya Talang Pati muridnya, sambil berseru memanggil:
“Mbah Duwung!”.
Sementara itu Singayudha telah bangkit berdiri, sedangkan Tadah Waja masih menggumam sendirian. Pada tujuh tahun yang lalu, tiga orang shakti, Mbah Duwung, Dadung Ngawuk dan Tadah Waja pernah saling berternpur segitiga sampai dua hari dua malam lamanya, dengan berakhir tidak ada yang kalah ataupun yang menang.
Waktu itu pertempuran berlangsung dilereng gunung Slamet. Ketiganya roboh tak berdaya karena kehabisan tenaga, dan atas mufakat bersama mereka akan melanjutkan pertempuran tiga tahun lagi. Akan tetapi, ternyata Tadah Waja setelah tiga tahun berlalu, minta agar pertempuran segitiga itu ditunda lima tahun lamanya.
Dan atas mufakat mereka bertiga waktunya ditangguhkan menjadi tujuh tahun. Dalam tujuh tahun itu mereka akan meyakinkan ilmunya sendiri2 untuk bekal dalam pertempuran yang akan datang. Mbah Duwung dengan tangan besinya dan golok panjangnya, Tadah Waja dengan kuku2nya yang beracun dengan tongkat besinya, sedangkan Dadung Ngawuk dengan totokan jari2nya dan cambuk ularnya.
Tempat bertanding mengadu yang hanya kurang tiga tahun itupun telah ditentukan digunung Botak, sebelah utara hutan Blora. Pertempuran mengadu jiwa dalam segitiga, karena masing2 saling mempertahankan kebenarannya. Masing2 saling tuduh-menuduh pernah membunuh anggauta keluarganya. Urusan yang menurut mereka tak dapat diselesaikan dengan kata-kata.
Sedang Tadah Waja akan menerjang kembali kearah Singayudha yang tengah berdiri terpincang2 mendadak terdengar suara ringkikan dan derap kaki kuda, yang riuh mendatang dan langsung mengurung tempat pertempuran yang masih saja berlangsung dengan sengitnya. Seorang kepala pasukan yang tak lain Lurah Tamtama Jaka Rimang berseru memerintah:
“Kurung rapat dan tangkap semua perampok!”.
“Kakang Rimang!” Sujud meloncat di atas kepala pengeroyoknya sambil berseru dan menyambut datangnya Jaka Rimang yang memimpin pasukan 500 orang berkuda.
Melihat gelagat yang tak menguntungkan, Tadah Waja melesat bagaikan bayangan lari di kegelapan malam meninggalkan gelanggang pertempuran. Kiranya peringatan Mbah Duwung tadi sangat beralasan. Para rampok yang tak dapat melarikan diri, segera membuang senjata dan menyerah, setelah melihat tamtama berkuda demikian banyak dan mengurungnya rapat2.
“Adi Sujud!” Lurah Tamtama Jaka Rimang meloncat turun dari kudanya dan langsung mendekap pinggang Sujud, sambil bertanya: “Kau tidak terluka??”.
“Tidak. Untung kakang Rimang segera datang dengan pasukan tamtama. Dimana kakang Wulung? Dan apakah kang mas Indra juga berada disini?”.
“Sudahlah lekas naik kudaku, nanti kita bicarakan panjang lebar”. Jaka Rimang mengangkat tubuh Sujud dan dinaikkan diatas pelana, sedang ia sendiri melompat duduk dibelakangnya.
“Nanti dulu, kakang Rimang!, Bapak ada disini! Itu dia”. Berkata dernikian Sujud menunjuk Wirahadinata yang sedang berjalan mendatang, dan Jaka Rimang melompat turun kembali menyambut kedatangannya, dengan membungkukkan badan.
“Maafkan Gusti. Kedatangan kami disini memang diperintah Gustiku Senapati Indra Sambada untuk mencari dan menjemput Gusti Wirahadinata. Dan kini Gustiku Senapati Indra menunggu di Kebanjaran Agung Indramayu. Sama sekali kami tak mengira bahwa Gustiku berada disini pula”.
“Kebetulan sekali, kau cepat datang. Jika tidak, apa yang akan terjadi?”. Wirahadinata menjawab.
“Mendapat restu Gustiku!” Jaka Rimang merendahkan dirinya. “Silahkan Gustiku menaiki kuda ini saja”. Berkata demikian Jaka Rimang menepuk kuda disebelahnya.
Segera penunggang kuda itu turun dan menyerahkan pada Bupati Wirahadinata. Sekejap kemudian Wirahadinata telah duduk diatas pelana berjajar dengan kuda Jaka Rimang.
“Harap Gustiku sabar sebentar, menunggu kakang Jaka Wulung dan Panewu Arjasuralaga yang mengejar rampok2 yang lari itu”.
“Bukankah sebaiknya kita rnenyusul kakang Wulung dan membantunya?”. Sujud memotong pembicaraan dengan tak sabar.
“Ach…… jangan! Tadi kakang Wulung telah berpesan supaya aku menunggu disini, dan mengatur pasukan yang ditinggalkan ini”. Jawab Jaka Rimang.
Sementara itu dengan tangkas para tarntama telah membelenggu para anak buah Tadah Waja yang menyerah. Tak lama kemudian tampak tiga orang berkuda dalam kegelapan malam yang remang-remang, mendatang dengan pesatnya. Derap kaki kuda yang riuh terdengar semakin jelas.
Mereka adalah Lurah Tamtama Jaka Wulung, Lurah Tamtama Arjarempaka dan Panewu Arjasuralaga dengan dua puluh orang tamtama berkuda dibelakangnya. Pasukan tamtarna yang ditempat itu segera menyisih untuk memberi jalan bagi para pendatang.
“Kakang Wulung”. Sujud berseru demi melihat Jaka Wulung datang. (Penjelasan: Jaka Wulung dan Jaka Rirnang adalah saudara sekandung murid Kyai Pandan Gede dan Kyai Wiku Sepuh dilereng Gunung Sumbing, yang kemudian menjadi sepasang pembantu pribadi Senapati Indra Sarnbada dengan pangkat Lurah Tamtama. Baca Seri "Pendekar Majapahit").
Tiba2 dalarn jarak kira2 duapuluh langkah sebelum sarnpai ditempat Sujud, mereka dengan serentak menarik tali pengekang lis kudanya, hingga kuda mereka tersentak berdiri dengan meringkik2 nyaring.
Panewu Arjasuralaga dengan tangkasnya melompat turun dari kudanya dengan diikuti dua orang lainnya dan berjongkok mendekati orang yang sedang terkulai di tanah dengan merintih2. Tubuh Singayudha yang tinggi besar itu segera di pondong diatas pundaknya, untuk kemudian dibawa dimana Jaka Rimang menunggu.
Wirahadinata, Jaka Rimang dan Sujud juga segera melompat turun kembali dan menyambut kedatangan mereka. Setelah Singayudha diperiksa dengan teliti oleh Wirahadinata, ternyata luka dikaki kirinya mengandung racun, karena kena goresan kuku Tadah Waja.
Akan tetapi Wirahadinata adalah Kyai Tunggul dukun shakti yang tak asing lagi namanya. Dengan dibantu Sujud anaknya, Wirahadinata segera mengobati luka Singayudha hingga ia siuman kembali. Luka yang telah mulai menghitam dikoreknya dengan pisau tajam, dan saluran darahnya diurut hingga darah hitam yang mengandung racun keluar mengucur dari lukanya. Tiupan shakti kearah mulut Singayudha dihembuskan pelan2 sementara Sujud menaburkan bedak obat pemunah racun yang selalu dibekal oleh Wirahadinata.
Panas suhu badan Singayudha berangsur-angsur turun dan menjadi wajar. Singayudha segera bangkit duduk bersila untuk mengatur dan mengerahkan hawa murninya sendiri dengan mengatur pernafasan.
“Terima kasih, Gusti! Budi luhur Gustiku Wirahadinata tak akan saya lupakan! Semoga Dewata Yang Maha Agung membebaskan budi Gustiku !”. Singayudha berkata penuh hormat, setelah merasa ringan sakitnya.
“Ach,.. tak perlu Kyai Singayudha menyanjung demikian berlebih2an. Bahwa luka Kyai Singayuda tak begitu berat, sayapun turut pula bersyukur pada Dewata Yang Maha Agung. Dengan demikian Kyai dapat membimbing perguruan Baskara Mijil.
Tujuh orang segera berkenalan dan bercakap dengan akrabnya sambil duduk diatas rumput.
“Gara2 adi Sujud inilah, semua tamtarna Kerajaan kalang kabut dan disebar kesegala penjuru”. Jaka Wulung berkata ketawa riang dengan menepuk2 bahu Sujud.
Memang sejak Sujud meninggalkan Gedung Senapaten. sebagian tamtama Kerajaan oleh Senapati Indra Sambada diperintahkan mencarinya. Bukan hanya tamtama pasukan saja, akan tetapi tamtama nara sandi Kerajaan turut dikerahkan. Setelah satu setengah tahun lamanya para tamtama tak berhasiI menemukan Sujud, Senapati Indra Sambada sendiri berkenan membawa pasukan pergi ke Indramayu untuk yang keempat kalinya.
Akan tetapi setibanya di Indramayu, ternyata Bupati Wirahadinata sedang berkunjung ke Banjararja untuk memenuhi undangan Panewu Arjasuralaga. Maka oleh Senapati Indra Sambada, Jaka Wulung dan Jaka Rimang diperintahkan menjemputnya, karena ada hal2 yang sangat penting untuk di bicarakan. Sedangkan Indra Sambada sendiri menunggu di Kebanjaran Agung Indramayu.
Tak diduga bahwa Kebanjaran Banjararja dikacaukan para perampok dibawah pimpinan sakti Tadah Waja, hingga Jaka Wulung dan Jaka Rimang terpaksa turun tangan membantu Panewu Arjasuralaga menumpas para perampok. Hanya sayang bahwa Tadah Waja dapat meloloskan diri dari pengepungan. Namun rasa kecewa dan lelahnya Jaka Wulung dan Jaka Rimang lenyap ditutup rasa girang yang tak terhingga karena justru dalam kancah pertempuran mereka berhasil menemukan kembali Sujud yang telah lama dicari2nya.
Tidak henti2nya kedua Lurah tamtama ganti-berganti menanyakan pada Sujud akan pengalamannya dalam pengembaraan. Demikian pula ayah angkatnya Bupati Wirahadinata. Waktu itu fajar telah menyingsing. Dari arah sebelah timur sinar merah keemasan menerangi seluruh mayapada. Sang surya mulai bertahta menggantikan dewi malam.
Seratus tamtama Kerajaan atas perintah Jaka Wulung ditinggalkan di Banjararja untuk membantu Penewu Arjasuralaga, sedangkan Jaka WuIung, Jaka Rimang, Wirahadinata dan Sujud beserta seluruh pasukan berkuda lainnya, meninggalkan Banjararja menuju ke Indramayu. Dengan rasa sedih dan sangat kecewa karena tak dapat menemukan Martinem dan Martiman, Sujud terpaksa mengikuti rombongan berkuda menuju ke rumah ayah angkatnya di Indramayu.
Ternyata pada malam terjadinya keributan dan kebakaran di Banjararja, semua orang dialun-alun segera turut pula mengungsi, takut akan menjalarnya api. Warung2 ditutup dan ditinggalkan. Martiman dan Martinem berteriak-teriak ditengah keributan orang yang akan mengungsi, memanggil2 Sujud, akan tetapi sia-sia belaka. Mereka berdua bergandengan berjalan mengikuti arus orang2 mengungsi tanpa tujuan. Panewu Arjasuralaga akan berusaha mencari kedua anak itu, dan menyanggupi untuk mengantarkan ke Indramayu apabila kelak telah dapat diketemukannya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment