Ads

Tuesday, March 1, 2022

Pendekar Darah Pajajaran 006

“Dipotong sendiri… yah… dipotong sendiri dengan klewangnya. Mungkin mereka butuh daging kuda. Tadi saya mencoba minta dagingnya sedikit saja, ternyata mereka sangat pelit”.

“Lalu kakang diapakan oleh mereka ?”.

“Yaah… mereka mau memukulku, tapi aku dengan cepat lari sambil memungut batu dan segera kulempar kearahnya yang kebetulan tepat mengenai kepalanya seorang diantara mereka hingga benjol. Lalu mereka lari semua, takut kalau akan kulempar batu lagi !!”.

“Kau pandai membual kang !!. Aku agak tak percaya dengan ceritamu itu !!”.

“Tak percaya ya sudah !! Habis aku harus menjawab bagaimana ?”.

“Betul kok, kang Martiman !! Kang Sujud memang pandai sekali melempar”. Martinem memotong bicara dengan logat kekanak-kanakan yang sangat lucu.

Kini mereka bertiga berjalan sambil bersenda gurau dengan riangnya. Sebentar-sebentar mereka tertawa terpingkal-pingkal karena masing2 senang bergurau dan melucu dengan sifat ke-kanak2annya.

Martinem dan Martiman merasakan betapa senangnya mereka ini mengikuti Sujud yang membekal uang banyak. Mereka tak perlu lagi kuatir kelaparan dalam pengembaraannya, sebagaimana telah dialaminya sewaktu mereka belum berjumpa dengan Sujud. Makanan apapun yang diinginkan pasti akan dibelikan oleh Sujud, untuk dinikmati bersama-sama.

Hanya permintaan memakai pakaian yang indah oleh Sujud selalu ditolak dengan kata-kata lemah lembut serta janji2, bahwa kelak kalau telah sampai di Indramayu akan dibelikannya. Hal ini memang disengaja, karena mengingat pengalamannya sendiri, sewaktu ia minggat dari Senapaten dulu. Bukankah dengan pakaian yang bagus itu hanya akan menarik perhatian orang banyak? Serta akibatnya akan menimbulkan banyak kesulitan. Lagi pula masih berapa lama untuk menempuh perjalanan sampai di Indramayu, ia sendiri juga tidak dapat mengetahuinya.

Dengan mengaku, bahwa mereka bertiga saudara sekandung yang hendak mengunjungi pamannya yang kini tinggal jauh dari desa yang dilaluinya, banyak orang2 pedesan yang menaruh rasa belas kasihan. Dan dengan demikian mereka tak sukar untuk mencari tempat menginap diwaktu malam hari.

Disamping mendapat tempat untuk mengaso dan menginap, tidak jarang pula mereka mendapatkan pemberian sajian berupa makanan dari para orang2 yang memberikan tempat bermalam. Tiap kali ada kesempatan yang baik, pada waktu sepi tak terlihat orang, Sujud selalu mengulang melatih diri semua pelajaran yang pernah diterima dari kakek Dadung Ngawuk.

la melakukan latihan biasanya pada waktu fajar atau senja ditengah tegalan ataupun dataran kosong yang dilalui dalam perjalanannya. Karena geraknya selalu aneh dan sukar diikuti maka Martiman dan Martinem hanya duduk menunggu didekatnya dengan mulut ternganga saja.

Mereka berdua tidak mengerti gerakan apa yang sedang dilakukan Sujud. Seringkali Martiman mengajukan pertanyaan, akan tetapi selalu dijawab dengan bergurau saja. Dan akhirnya Martiman menjadi bosan sendiri untuk mengajukan pertanyaan2 yang sering kali ditanyakan, yang jawabannya tidak memuaskan hati Martiman. yang diketahui kedua anak itu hanya gerakan jari2nya yang mampu memecahkan batu dengan totokan.

Hal ini sungguh membuat mereka berdua heran dan bangga. Sewaktu tengah berjalanpun, Sujud seringkali dengan tiba2 meloncat tinggi meraih dahan pohon yang dijumpai dalam perjalanan, dan kemudian bergantungan seperti kera didahan pohon itu. Sedangkan Martiman dan adiknya hanya dapat ikut bergembira sambil bertepuk-tepuk tangan memuji akan ketangkasan yang mengagumkan itu.

SETELAH mereka berjalan selama empat bulan, sambil menikmati keindahan alam yang dijumpainya, kini mereka bertiga berjalan mengitari Gunung Slamet melalui selatan dan tibalah di desa2 Kranggan, Bumiayu, dan Prupuk untuk kemudian menyeberangi kali Pemali menuju ke kota Banjararja.

Sungguhpun waktu telah lewat senja, mereka tiba di kota Banjararja akan tetapi sinar lampu2 minyak penerang kota ternyata cukup terang menerangi hingga menambah semaraknya keindahan kuta yang ramai itu.

Pada waktu itu memang baru ada keramaian di kota. Dialun-alun kebanjaran nampak jelas adanya bangunan panggung yang luas yang biasa dipergunakan untuk pameran suatu pertunjukan keramaian.

Panggung yang luasnya dalam bentuk segi panjang selebar sepuluh langkah dan panjangnya tak kurang dari dua-puluh langkah itu, dibuat dengan papan kayu jati yang tebalnya kira-kira setengah jengkal dengan tiang-tiangnya yang rapat serta kokoh kuat setinggi manusia berdiri.

Panggung itu merupakan panggung terbuka tak beratap dan disekelilingnya dihias dengan janur kuning serta diselang seling dengan pita2 sutra beraneka warna. Serakit gamelan dengan para pemukulnya nampak pula berada diatas panggung, disudut samping sebelah belakang.

Bangku-bangku panjang dengan meja-mejanya berderet-deret teratur rapih didepan panggung dan telah penuh pula dengan para tamu undangan. Hanya dua baris bangku terdepanlah yang kelihatan masih kosong dan tak ada yang berani menempatinya. Jauh dibelakang para tamu undangan dengan batasnya kawat yang terpancang, dimana rakyat yang menonton telah berjejal-jejal berdiri, dengan saling berebut untuk dapat berada didepan. Demikian pula keadaan disekitarnya, samping kanan dan kiri panggung itu.

Di alun-alun yang luas itu, banyak pula warung-warung darurat yang berjualan makanan serta ada pula yang menyediakan tempat-tempat untuk bermalam bagi para pengunjung dari jauh, dengan penarikan biaya yang sangat rendah. Disamping warung-warung makan itu, masih banyak lagi para pedagang kecil yang berjualan ditempat terbuka, seperti pakaian beraneka warna macam, mainan kanak-kanak, buah-buahan dan lain-lainnya. Dan mereka menawarkan dagangannya dengan caranya masing-masing, berebut untuk menarik perhatian para pengunyung yang berjejal-jejal itu, hingga menambah riuhnya suasana.

Sambil menggandeng tangan Martinem yang tak henti-hentinya menanyakan semua yang dilihatnya, dengan diikuti oleh Martiman disampingnya, Sujud berjalan ditengah-tengah orang yang berjejal-jejal itu, untuk mencari sebuah warung dan tempat bermalam. Mengingat bekalnya yang kian menipis, maka Sujud menuju ke warung yang sederhana di sudut alun-alun yang tempatnya agak sepi.

Kebetulan warung itu menyediakan banyak tikar pula, untuk disewakan pada para pengunjung yang ingin bermalam diwarungnya, dengan harga yang sangat rendah. Pun pemilik warung itu ternyata seorang perempuan yang telah lanjut usia dan sangat peramah. Atas pesan Sujud, pemilik warung itu setelah menghidangkan makan bagi mereka bertiga, segera menggelar tiga tikar di ruangan yang bersih, serta mempersilahkan dengan ramahnya untuk berkemas dan mengaso, sementara ia masih sibuk melayani tamu-tamu lain.

Dari bibi pemilik warung yang ramah itu, Sujud mendapat keterangan bahwa keramaian yang tengan berlangsung adalah perayaan pesta pernikahan dari anak putrinya Panewu Arjasuralaga yang bernama Rara Tanjungsari. Adapun mempelai lelakinya berasal dari Kuningan, seorang pemuda terpandang putra sulung dari Kyai Singa Yudha, guru shakti dalam ilmu kanuragan yang telah terkenal Perguruannya dinamakan "BASKARA MIJIL" (Matahari terbit) dengan lambang kebesarannya berlukiskan gambar matahari terbit dengan garis-garis sinarnya memenuhi separo lingkaran. Sungguhpun perguruan Baskara Mijil itu belum lama didirikan, namun murid-muridnya telah cukup banyak dan pengaruhnya tersebar luas.



Kiranya Panewu Arjasuralaga girang sekali mempunyai menantu yang tanpan dan memiliki ilmu krida yudha yang dianggapnya cukup mengagumkan, sehingga untuk merayakan hari perkawinannya diadakan keramaian lima hari lima malam, juga akan diadakan lomba olah kanuragan untuk memperebutkan gelar kejuaraan daerah Banjararja dengan hadiah-hadiah yang berharga, berupa sejumlah uang emas dan pakaian, serta pemenangnya akan diangkat menjadi lurah narapraja, pengawal pribadi Penewu Arjasuralaga.

Hal ini tidak mengherankan, karena sebelum ia menjabat sebagai Penewu Narapraja di Banjararja, ia sendiri adalah seorang tamtama di kota Raja. Dan kiranya kanuragan masih selalu merupakan kegemarannya. Semenjak Penewu Arjasuralaga menjabat sebagai kepala narapraja di Kebanjaran Banyararja, baru kali inilah diadakan keramaian yang semeriah itu. Keramaian itu telah berlangsung satu hari semalam, dengan mendapat perhatian yang sangat besar dari para tamu undangan maupun rakyat biasa yang menyaksikannya.

Dan keramaian pada malam ini adalah malam yang kedua dengan acara pertunjukkan senitari dari daerah Kuningan berupa tari kelana topeng, dilanjutkan wayang golek siang harinya.

“Kita mengaso dulu sebentar, Nem!. Besok pagi saja, kalau sudah hilang lelah kita, kau tentu akan kuantar melihatnya!” Sujud menjawab dengan suara lemah untuk menghibur.

“Sekarang saja, kang Sujud. Besok tentu sudah bubar” Martinem mendesak dengan merengek-rengek.

“Nem, kau jangan rewel saja! Keramaian itu masih akan berlangsung sampai empat hari Iagi, jadi tak usah kuatir tidak kebagian melihat!”

“Sudahlah… lebih baik sekarang mengaso dulu!” Dengan tak sabar Martiman memotong pembicaraan, menegur adiknya.

DITEGUR KAKAKNYA secara demikian, Martinem malah semakin menangis terisak-isak, sambil bicara dengan kata-katanya yang terputus-putus.

“Aku... tak mau tidur… Aku pergi… sendiri... Biar tak diantar.... aku... berani”.

“Jangan menangis, Nem!. Turutilah nasehat kakakmu. Besok kita bersama-sama pergi nonton wayang golek dan untukmu akan kubelikan mainan katak-katakan yang bisa berbunyi nyaring itu… atau payung kecil biar kalau kau berjalan tidak kepanasan”. Sujud menghiburnya serta bangkit berjongkok sambil membelai rambut Martinem.

Akan tetapi semua kata-katanya seakan tak didengarnya sama sekali, dan Martinem masih saja terus menangis terisak isak, sambil bicara.

“Tidak…… aku mau pergi… sekarang… sendirian.”

Martiman tak sabar lagi mendengar rengekan adiknya. Sambil bangkit berdiri, ia membentak kasar.

“Memang dasar anak bandel! Sekali tidak, tetap tidak! Tahu! Jika kau tetap bandel akan kujewer telingamu”.

Isak tangis Martinem bukannya mereda, akan tetapi bahkan bertambah keras, hingga bibi pemilik warung menjenguknya sebentar sambil menghibur dengan lemah lembut. Namun Martinem tetap menangis juga.

“Sudahlah. Nem! Jangan menangis! Asalkan kau berjanji akan melihat sebentar, kuantar sekarang”. Tiba.-tiba Sujud berkata menyanggupi. Kiranya ia sangat kasihan melihat Martinem menangis tersedu sedan.

Seketika itu juga setelah mendengar kesanggupan Sujud tangisnya berhenti. Sambil mengusapi air mata yang membasahi muka dengan lengannya, Martinem bangkit membetulkan pakaiannya, sementara Sujud mengikat kantong kulitnya dengan ikat pinggangnya erat-erat dipinggang.

“Man, kau mau ikut atau tidak?. Jika sekiranya lelah, tinggal saja disini. Aku akan mengantar adikmu sebentar, biar tak rewel lagi!”.

“Ach… aku ikut pergi kang Sujud. Tak enak tinggal sendirian”.

Dan sebentar kemudian mereka bertiga telah berada ditengah orang yang berjejal-jejal mendekati panggung, dimana akan diadakan pertunjukkan keramaian. Dengan Martinem dipundaknya serta Martiman disisinya sambil memegang erat2 pada ikat pinggangnya,

Sujud mendesak orang2 yang berjejal itu, untuk lebih mendekat di depan panggung. Bentakan dan makian orang2 yang terinjak kakinya, tidak dihiraukan sama sekali. Ia merasa lega dan bersenyum puas setelah berhasil berdiri didepan sendiri, hingga menempel pada kawat yang terpentang sebagai batas antara tamu undangan yang duduk berderet didepannya. Suara gamelan bertalu-talu memekakkan telinga, namun pertunjukkan tari2an memang belum dimulai. Sedangkan orang berjejal2 padat berdesak, suaranya gemerunggung seperti lebah disarangnya.

Martiman dan Martinem tak henti2nya tersenyum kagum melihat keindahan pakaian para tamu undangan yang beraneka warna dan serba mewah, seakan para tamu undangan itu saling berebut perhatian akan pakaian yang dikenakan. Ada yang berbaju sutra warna merah dengan kancing2 mutiara dan ada yang berbaju sutra biru dengan kelat bahu bertatahkan ular naga terbuat dari emas murni, dan ada pula yang memakai sisir mas bermata batu berlian diatas kepalanya seperti mahkota.

Sedangkan para tamu undangan wanita kesemuanya memakai perhiasan yang serba bermatakan berlian. Hidangan makanan para tamu undangan mengalir terus tak ada putusnya, membuat kepingin rakyat yang berjejal2 berdiri melihatnya.

Melihat pesta semacam itu, Sujud teringat kembali akan masa kehidupannya sendiri, sewaktu mengikuti Senapati Indra Sambada. Tiap2 ada perayaan, ia tentu diperkenankan ikut serta dan selalu mendapat penghormatan yang istimewa pula. Betapa tidak! Indra Sambada yang mengaku sebagai kakak angkatnya adalah seorang Senapati Manggala Pengawal Raja, yang disegani dan disanjung2 oleh segenap priyagung di Kota Raja. (baca Seri Pendekar Majapahit).

Tetapi kini Sujud dianggap anak jelata, yang tak dikenal orang2 yang berpesta pora itu. Seorangpun tak ada yang menegur ataupun memperhatikannya. Dan ini semua adalah kesalahannya sendiri yang telah disengaja. Ia memperhatikan wajah2 para tamu undangan satu demi satu yang dapat dilihatnya, barangkali saja ada yang pernah dikenalnya. Akan tetapi kiranya sia2 belaka. Para tamu yang berada jauh dari padanya sukar untuk diteliti satu persatu.

Tiba2 suara gamelan bertalu lebih keras dan nyaring. Dan para penyambut tamu undangan berdiri tegak berjajar didepan panggung dengan pakaian seragam sebagai punggawa narapraja. Seorang tinggi besar dengan jenggotnya yang lebat, berjubah merah dengan gambar sulaman matahari terbit didadanya berwarna kuning keemasan dan diiringkan empat puluh pemuda berbaju sutra hijau dengan tanda gambar yang sama didadanya masing2, telah datang dari arah gedung Kebanjaran menuju kederetan bangku2 terdepan yang masih kosong, yang memang di sediakan untuknya.

Itulah orang gagah yang terkenal shakti, Kyai Singayudha, pemimpin dan pendiri perguruan ilmu kanuragan "BASKARA MIJIL", diiringkan para murid2nya yang bersenjatakan klewang, tergantung dipinggangnya. Ia berjalan melangkahkan kakinya dengan tenang seakan-akan mengikuti irama suara gamelan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya diiringi senyuman kearah para tamu yang serentak berdiri menyambut kedatangannya.

Panewu Arjasuralaga dalam pakaian kebesarannya sebagai Narapraja beserta isterinya berkenan menyambut sendiri atas kedatangan tamu ayah menantunya yang ia banggakan itu. Dengan serta merta Panewu Arjaswalaga suami isteri mempersilahkan Kyai Singayudha duduk ditempat terdepan yang telah disediakan, dekat berjajar dengannya.

Sementara para tamu telah duduk kembali ditempat masing2. Para murid Baskara Mijil masing2 mengambil tempat duduk dibaris kedua, berjajar dibelakang Kyai Singayudha. Suara tepukan tangan tiga kali terdengar nyaring, dan kini gamelan berhenti seketika. Seorang pengacara dengan memamerkan ketangkasannya melayang dengan satu loncatan naik di panggung.

Orangnya masih muda dan tegap perkasa. Ia mengenakan pakaian kebesaran lengkap sebagai Lurah Tamtama Kerajaan. Ia adalah adik kandung dari Panewu Arjasuralaga, yang menjabat lurah tamtama di Kerajaan di Kota Raja. Ialah yang dibanggakan selalu oleh kakaknya dengan pengharapan agar kelak dapat menggantikan kedudukannya sebagai Panewu Kepala Daerah Kebanjaran Banjararja.

Kini ia diserahi tugas sebagai pengacara untuk mewakili menyambut para tamu yang di undang. Perhatian para tamu dan orang2 yang menyaksikan keramaian itu kini tertuju kepada Lurah Tamtama Arjarempaka si pengacara.

Dengan senyuman yang dibuat-buatnya sambil mengangguk2kan kepalanya kepada para tamu, ia berbicara lantang dalam kata bahasanya yang lancar. Dengan singkat dan jelas ia sebagai wakil tuan rumah, menyampaikan terima kasihnya akan kehadiran para tamu yang akan menyaksikan pertunjukan kesenian pada malam ini. Dan berulang kali ia mengucapkan kata2 sanjungan, penuh rasa kebanggaan demi mengangkat nama kebesaran Kyai Singayudha, sebagai tamu kehormatan. Ia tak lupa pula mengutarakan, bahwa pertunjukan yang diselenggarakan malam ini adalah sumbangan dari perguruan Baskara Mijil.

Tepuk tangan para hadirin segera terdengar gegap gempita, setelah pengacara selesai berbicara dan melayang turun dari panggung. Suara gamelanpun segera terdengar ber-talu2 kembali.

Martinem yang duduk dipundak kiri Sujud turut pula bertepuk tangan sambil berseru kegirangan, tanpa menghiraukan teguran Martiman yang selalu melarangnya, karena takut mengganggu orang2 sekitarnya.

Tak lama kemudian, muncul seorang gadis remaja yang cantik jelita dalam pakaian wayang yang indah, duduk bersila diatas panggung, dan menyembah, setelah mana mengenakan topeng yang berwajah priya yang telah berada dipangkuannya. Dengan diiringi suara gamelan, ia menari-nari dengan gerak geriknya tarian seorang priya. Gerakannya tangkas dan gagah. Tarian yang menggambarkan kegagahan seorang perwira yang sedang mengenakan pakaian tamtamanya untuk siap maju kemedan laga.

Suara gamelan seirama dengan lantangnya kendang, namun tepat mengikuti gerakan tarian yang gagah dan mempersona. Tangan kirinya bertolak pinggang sambil menggerak2kan sampur dengan jari2nya yang halus dan runcing, sedangkan tangan kanannya mengepal dengan ibu jari menunjuk kearah mulutnya sambil melagak-lagak, mengikuti suara tawa bergelak-gelak dari ki Dalang, yang diiringi dengan suara gamelan serta kendang, seirama dengan gaya penari.

Sambil memukul gamelan, para penabuh bersorak-sorak mengikuti irama gending, menambah meriahnya suasana. Dengan langkahnya yang bergaya, kini penari kelana topeng berjalan berputaran di atas panggung. Para tamu asyik terpaku melihat gerakannya. Sungguh merupakan tarian yang indah dan mengesankan. Suatu seni tari daerah yang bernilai tinggi.

Sebentar-bentar para tamu bertepuk tangan, memuji akan keindahan tariannya. Dan tak henti-hentinya para tamu dan pengunjung lainnya menyatakan kekagumannya akan kelincahan dan kegagahan si penari, yang bukan lain adalah seorang gadis remaja yang cantik jelita.

Dengan gayanya yang lemah gemulai, kini si penari duduk bersila kembali dan membuka topengnya, untuk kemudian menyembah kepada para tamu sambil menundukkan kepalanya suatu tanda bahwa tarian topeng yang dipentaskan telah berakhir, dan gamelanpun mengikuti berhenti bertalu.

Kembali suara tepuk tangan tendengar gegap gempita, memekakkan telinga susul menyusul tak henti-hentinya. Martinem tak ketinggalan turut pula bersorak. Ternyata tarian daerah yang disumbangkan perguruan Baskara Mijil dapat memikat hati para pengunjung dan menambah keharuman nama perguruan yang telah terkenal itu.

Menyusul kini “tari topeng perang" ciptaan Kyai Singayudha sendiri. Suara gamelan dengan gending2nya, yang berirama pelan, dengan diiringi tiupan suling yang bernada tinggi mengalun melengking, menyayat hati pendengarnya. Seorang dara lain, berpakaian wayang seperti seorang ksatria dengan mengenakan keris dipinggangnya, berjalan dengan penuh gaya lemah gemulai mengikuti irama gamelan.

Selang lima langkah, dengan gaya tariannya yang indah, ia mulai mengenakan topengnya yang melukiskan wajah seorang ksatria yang memiliki budi pekerti yang halus serta luhur. Tarian itu menggambarkan sewaktu Sang Arjuna sedang berduka dan berkelana ditengah hutan.

Tak lama kemudian, irama gamelan berobah menjadi lebih cepat bertalu, dan suara kendang terdengar lantang kembali. Disusul munculnya seekor harimau gembong dengan loncatan yang tangkas dan jatuh berdiri diatas empat kakinya didepan Sang Arjuna. Gerakan loncatannya sangat indah dengan tak meninggalkan irama gamelan dan kendang yang berbunyi mengumandang.

Kiranya kulit harimau itu hanya terbuat dari bahan kain yang tebal dan dilukis dengan cat, tak ubahnya seperti harimau sungguh-sungguh. Kepalanya terbuat dari bahan kardus dengan kumis-kumisnya dari ijuk yang dicat putih, mengkilat, seakan-akan merupakan harimau yang ganas siap untuk menerkam mangsanya. la diperankan seorang priya yang berada didalamnya. Kepalanya menggeleng2 mengikuti suara auma dalang dan diiringi suara tepukan kendang dan gamelan.

Para penonton diam tak berkedip, sambil membuka telinganya lebar-lebar mendengarkan ki dalang yang sedang bercerita dengan masih diiringi suara gamelan yang mengalun pelan.

Tiba-tiba gamelan bertalu2 dengan irama yang ramai, dan suara tepukan kending terdengar Iantang serta cepat. Harimau meloncat kedepan dengan gaya terkaman, melintasi diatas kepala Sang Arjuna, yang dengan tangkasnya mengelak, menundukkan badan dalam gerak tarian yang sangat indah mengikuti suara irama gamelan. Harimau jatuh bergulingan dibelakang Sang Arjuna, dan suara kendang pun mengikuti laksana genderang bertalu. Semua berseru kagum akan ketangkasan dan indahnya tarian perang ini. Jelas bahwa orang yang memegang peranan sebagai harimau, memiliki ilmu kanuragan yang cukup mentakjubkan.

Sang Arjuna kini menghunus kerisnya dan menari-nari dengan gayanya yang indah sambil menggenggam keris terhunus ditangan kanannya. Sementara itu harimau menggerak2kan kakinya sambil menggeliat, mengikuti suara gamelan. Kini pertarungan menjadi lebih seru lagi, namun tetap dalam gaya tarian yang diiringi suara gamelan dengan irama2 yang sesuai dengan selera gaya tariannya. Tari pertarungan itu berakhir dengan kemenangan dipihak Sang Arjuna, sedangkan harimau yang tertusuk keris pusaka Sang Arjuna, mati seketika dan menjelma menjadi Batara Kamajaya.

Tepuk tangan dan sorak sorai para penonton, terdengar lebih riuh lagi, setelah tari topeng itu berakhir. Kiranya tarian yang demikian indah, tak pernah disaksikan sebelumnya oleh para penonton. Dan memang baru kali inilah tari perang topeng ciptaan Kyai Singayuha dipentaskan.

Tari topeng telah berakhir, dan acara dilanjutkan dengan pertunjukan wayang golek yang akan berlangsung hingga esok siang hari. Wayang golek adalah pertunjukan yang digemari segenap lapisan rakyat didaerah ilu. Sementara wayang2nya diatur dan alat-alatnya dipersiapkan, gamelan masih tetap terus mengumandang bertalu-talu. Diantara para tamu banyak pula yang mengundurkan diri untuk beristirahat karena masih ingin menyaksikan kerarnaian pada malam2 berikutnya.

“Nem, ayo kita pulang kepenginapan!! Aku lelah dan mengantuk”. Sujud berkata pada Martinem.

“Sebentar lagi, kang Sujud !! Aku belum ngantuk”. Jawab Martinem dengan masih duduk dipundak Sujud.

“Ayo… kita tinggalkan Martinem disini sendiri, kang Sujud !! Biar ia puas melihat wayang golek sendirian sampai esok siang !!!” Martiman memotong bicara dengan nada marah.

“Man, kau jangan selalu memarahi adikmu. Ayo, Nem kita pulang dulu, besok pagi kita nonton lagi. Sambil membeli mainan yang kujanjikan tadi”, Sujud berkata lembut.

“Tapi, besok pagi kita pergi lagi melihat lho, kang ! Jangan bohong !!!”. Martinem menjawab manja.

“Yaaa... Besok pagi kita pasti nonton lagi !!. Ayo.... kita pulang sekarang dan jangan rewel lagi”.

Mereka bertiga berjalan bergandengan menuju ke warung tempat mereka bermalam. Waktu itu belum lewat tengah malam, namun mereka bertiga merasa lelah dan mengantuk, karena siang tadi habis menempuh perjalanan jauh.

“Man, kau serta adikmu tentu capai sekali malam ini”, Sujud berjongkok diatas tikar sambil bicara dengan Martiman yang sedang rebah berbaring. Sedangkan Martinem sudah tidur pulas disebelahnya. “Maka kau tinggal saja disini mengaso, sambil menunggu adikmu”.

“Apakah kang Sujud mau nonton lagi sekarang ?”. Tanya Martiman demi mendengar perkataan Sujud.

“Yah, betul!! Aku akan pergi nonton sebentar. Aku kira pertunjukan malam ini kurang menarik untuk dilihat anak2 kecil. Maka sebaiknya kau tinggal disini sambil mengaso saja. Tak lama lagi akupun tentu sudah kembali. Hati2lah jaga adikmu. Jika nanti ia terbangun jangan kau bentak2. Dan ini kantongku supaya kau rawat baik2 jangan sampai hilang. Atau sebaiknya kuikatkan dipinggangmu. Kau tahu sendiri, bahwa dalam kantong ini berisi barang2 berharga dan uang untuk bekal kita dalam perjalanan”. Berkata demikian Sujud melepaskan tali ikat pinggangnya dimana kantong kulit itu tergantung, yang segera disambut oleh Martiman setelah ia bangkit berjongkok didepannya.

“Akupun dapat mengikatkan sendiri, kang Sujud!” Dan dengan rapihnya Martiman mengikat kantong kulit itu dipinggangnya sendiri dengan tali ikat pinggang Sujud.

“Tapi, betul ya kang, jangan lama2 pergimu”.

“Tak usah kau kuatir”. Jawabnya. “Dan nanti kalau adikmu terbangun dan minta makanan, belikan saja diwarung, apa yang dikehendakinya dengan uang yang ada dikantong itu”. Tanpa menunggu jawaban. Sujud bangkit berdiri serta meninggalkan Martiman dan Martinem, untuk menuju ke panggung pertunjukan yang dekat letaknya dengan tempat mereka bermalam. Namun masih juga terdengar suara Martiman lapat2,

“Kang Sujud, jangan lama2 pergi”.

Sebagai pemuda tanggung, pertunjukan malam ini memang sangat menarik bagi Sujud. Sejak hari kemarin ia sebenarnya telah menanti2 saat dimulainya pertunjukan olah kanuragan, walaupun semasa ia tinggal di Senapaten Kota Raja sering melihatnya. Kiranya bukan ia saja yang gemar akan pertunjukan semacam itu. Ternyata orang2 telah berjejal berdesakan untuk dapat melihat dengan jelas.

“Wah terlambat datangku” pikir Sujud.

Setapak demi setapak ia mendesak maju, hingga akhirnya dapat berdiri didepan seperti waktu kemarin. Kini ia tidak lagi memperhatikan tamu undangan yang duduk berderet didepannya. Pandangan dan perhatiannya langsung ditujukan ke panggung, dimana empat orang pemuda dengan pakaian serba hijau terbuat dari sutra, dengan masing2 memakai tanda lambang kebesaran perguruan "Baskara Mijil" didada kirinya, sedang bertarung memamerkan ketangkasannya dengan diiringi suara gamelan.

Gerakan jurus2 pukulan, tendangan dan tangkisannya sedemikian indah, hingga lebih banyak menyerupai tarian daripada olah krida yudha. Ya, memang ini adalah gerakan jurus kembang2 ciptaan perguruan Baskara Mijil yang dititik beratkan pada keindahan gerakan yang disesuaikan dengan irama gamelan.

Keempat pemuda murid Kyai Singayudha yang sedang berada diatas panggung itu, silih berganti menyerang dan mengelak dengan gaya gerakannya yang ,kadang2 sangat lambat dan tiba2 berobah menjadi lebih cepat, namun semua gerakannya tak meninggalkan irama suara gamelan.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment