Dan apabila ada salah satu diantaranya yang merampas karena tak sabar menunggu, oleh si Jamang diberi tamparan dan gigitan. Kiranya satupun di antara mereka tidak ada yang berani melawan si Jamang.
Kera-kera itu semuanya jenis beruk, memang kera jenis beruk rata-rata memiliki daya pengertian yang hampir menyerupai manusia. Mereka dapat dengan mudah menghafal gerakan yang dipelajari dengan isyarat tertentu. Hasil ketekunan kakek Dadung Ngawuk dalam mengasuh mereka yang telah bertahun-tahun lamanya menunjukkan hasil yang memuaskan dimana kera-kera itu selalu menunjukkan ketaatannya dan kesetiaan mereka padanya.
“Anak gila! Nasibku serupa dengan nasibmu!” Dadung Ngawuk mulai lagi dengan bicaranya untuk memecah kesunyian, setelah mereka selesai makan. Dan matanya nampak basah karena mengembeng air mata. “Hanya…. aku telah menemukan tempat batu nisan dimana orang tuaku dikubur, sedangkan kau sama sekali belum menemukan jejaknya. Yaaah…… kunasehatkan agar kau jangan putus asa untuk mencari orang tuamu dan aku akan memberikan bantuan sesuai dengan kemampuanku yang ada”.
Kakek Dadung Ngawuk menghela nalas panjang dan berhenti sejenak untuk mengusap air matanya yang kini mulai meleleh dipipinya yang keriput.
“Tetapi… kau harus masih menambah kepandaianmu untuk bekal dalam perjalanan guna tercapainya tujuanmu. Ketahuilah, bahwa orang-orang terkutuk seperti Durga Saputra dan lainnya yang masih banyak lagi untuk disebutkan satu persatu, kini berkeliaran dimana-mana. Kekebalan menanggulangi daya guna-guna ataupun daya shakti, yang kini telah kau miliki tidak ada artinya jika tidak dilengkapi dengan ketangkasan serta kesaktian lain sebagai pukulan balasan terhadap lawan. Untuk itu, dalam waktu yang singkat ini aku akan mengajarmu, sekedar penambah bekal dalam pengembaraanmu”.
Dengan penuh perhatian Sujud mendengarkan nasehat serta petunjuk dari kakek Dadung Ngawuk. Ia sangat kagum akan ketinggian budi yang dimilikinya. Tidak mengira bahwa kakek yang dalam penglihatannya sebagai orang gila, tiba-tiba dapat berobah menjadi penasehat dengan penuh perasa sebagaimana layaknya seorang guru. Suara tawa yang biasanya selalu mengiringi dengan nada yang terkekeh-kekeh seperti orang sinting, kini lenyap dan menunjukkan wajah yang bersungut-sungut dengan keningnya berkerut.
Sejak saat itu Sujud tiap pagi, sebelum fajar menyingsing mendapat latihan ilmu kanuragan, ialah ilmu ketangkasan serta pukulan shakti dari kakek Dadung Ngawuk. Waktu berjalan, dengan tidak terasa. Sujud telah menjadi murid kakek gila. Dengan bekal kecerdikannya dan ketekunan yang dimiliki maka dengan mudah Sujud dapat menguasai gerakan langkah "wuru shakti" dengan sempurna. Wuru shakti ialah gerakan mengelak dari serangan lawan dengan langkah seperti gerakan orang yang sedang mabok. Gerakan mana dapat juga digunakan sebagai langkah menyerang musuh.
Jari2 tangannya dapat ditegangkan menjadi sekeras baja. Dengan jari2 itu ia dapat menusuk tembus benda2 yang keras seperti kayu dan sebagainya. Kepadanya juga diberikan pelajaran mengenai sendi2 kelemahan tubuh manusia mengikuti dasar jalinan saraf2 pokok, serta nadi2 pembuluh darah, atau disebutnya juga “ilmu pengapesan".
Namun semua rangkaian jurus2nya merupakan gerak "wuru shakti", ciri asli dari pada ilmu tata bela diri ciptaan kakek Dadung Ngawuk, dimana gerakannya menyerupai seorang gila.
Dan si Jamang adalah kawan setianya dalam berlatih tiap hari. Kini Sujud dapat dengan mudah menerobos kepungan kera2 yang empat puluh jumlahnya. Dengan serangan tendangan serta totokan jari2nya yang tepat mengenai jalinan syaraf yang dikehendaki, kera2 teman berlatihnya jatuh bergelimpangan tak berdaya, tanpa mendapat luka yang membahayakan.
Gerakan wuru shakti dengan langkah2nya yang ajaib dapat menghindari serangan2 dahsyat yang bertubi-tubi dan sukar untuk diduga sebelumnya. Setelah dianggap cukup memiliki kepandaian sebagai bekal dalam perjalanan mencari orang tuanya, oleh kakek Dadung Ngawuk, Sujud diperkenankan meninggalkan hutan Blora.
“Dengan bekal kepandaianmu itu, yang sangat sederhana serta kekebalan yang kau miliki, tidak perlu lagi kau kuatir akan berjumpa dengan Durga Saputra atau sebangsanya. Hanya pesanku, setelah kau berhasil menemui orang tuamu, aku sangat mengharapkan kehadiranmu kembali untuk menjengukku sebentar. Sebelum aku meninggalkan dunia yang amat kotor ini, aku masih ingin bertemu dengan kau sekali lagi.
Mendengar pesan kakek Dadung Ngawuk sewaktu ia diantar sampai ditepi hutan dirasakan berat untuk berlalu dari tempat itu. Tenggorokannya terasa sangat sukar mengeluarkan kata2 seperti tersumbat tak kuasa untuk melahirkan isi hatinya. Hanya air matanyalah yang meleleh perlahan-lahan dikedua belah pipinya. Ia hanya dapat menganggukkan kepala sambil berlutut dengan takzimnya. Dalam hati Sujud bersumpah, bahwa ia tentu akan memenuhi pesan kakek Dadung Ngawuk.
Akan tetapi sebelum ia bangkit dari berlutut, kakek Dadung Ngawuk telah lenyap dari depan hidungnya. Sujud memandang dengan heran akan kesaktian kakek Dadung Ngawuk. Kemana perginya sampai ia tak mengetahui, bayangannyapun tak nampak. Dengan langkah yang bimbang serta dipaksakan Sujud berjalan memasuki kota Wirosari yang tak demikian jauh letaknya dari tepi hutan sebelah barat.
Kesibukan dalam kota pada sore itu, ternyata masih nampak ramai. Namun tidak seorangpun kini memperhatikannya sewaktu mereka berpapasan. Mereka diliputi kesibukannya masing2. Dengan pakaiannya yang telah compang-camping serta kumal.
Sujud berjalan mengikuti orang2 yang sedang berbelanja disepanjang jalan tengah kota. Ia membeli pakaian sederhana warna kelabu untuk dikenakan sebagai ganti dari pada baju dan celananya yang telah compang-camping. Setelah berganti pakaian ditempat yang sepi, ia kembali lagi memasuki kota untuk mencari warung makan serta tempat untuk bermalam.
Esok paginya sewaktu Sujud meninggalkan rumah penginapan, tiba2 terdengar jeritan anak kecil dari seberang jalan dimana ia sedang berdiri. Seekor kuda yang tak dapat dikendalikan menerjang dua anak kecil yang sedang enak berjalan bergandengan, hingga satu diantaranya terpental dan jatuh bergulingan ditanah.
Kera-kera itu semuanya jenis beruk, memang kera jenis beruk rata-rata memiliki daya pengertian yang hampir menyerupai manusia. Mereka dapat dengan mudah menghafal gerakan yang dipelajari dengan isyarat tertentu. Hasil ketekunan kakek Dadung Ngawuk dalam mengasuh mereka yang telah bertahun-tahun lamanya menunjukkan hasil yang memuaskan dimana kera-kera itu selalu menunjukkan ketaatannya dan kesetiaan mereka padanya.
“Anak gila! Nasibku serupa dengan nasibmu!” Dadung Ngawuk mulai lagi dengan bicaranya untuk memecah kesunyian, setelah mereka selesai makan. Dan matanya nampak basah karena mengembeng air mata. “Hanya…. aku telah menemukan tempat batu nisan dimana orang tuaku dikubur, sedangkan kau sama sekali belum menemukan jejaknya. Yaaah…… kunasehatkan agar kau jangan putus asa untuk mencari orang tuamu dan aku akan memberikan bantuan sesuai dengan kemampuanku yang ada”.
Kakek Dadung Ngawuk menghela nalas panjang dan berhenti sejenak untuk mengusap air matanya yang kini mulai meleleh dipipinya yang keriput.
“Tetapi… kau harus masih menambah kepandaianmu untuk bekal dalam perjalanan guna tercapainya tujuanmu. Ketahuilah, bahwa orang-orang terkutuk seperti Durga Saputra dan lainnya yang masih banyak lagi untuk disebutkan satu persatu, kini berkeliaran dimana-mana. Kekebalan menanggulangi daya guna-guna ataupun daya shakti, yang kini telah kau miliki tidak ada artinya jika tidak dilengkapi dengan ketangkasan serta kesaktian lain sebagai pukulan balasan terhadap lawan. Untuk itu, dalam waktu yang singkat ini aku akan mengajarmu, sekedar penambah bekal dalam pengembaraanmu”.
Dengan penuh perhatian Sujud mendengarkan nasehat serta petunjuk dari kakek Dadung Ngawuk. Ia sangat kagum akan ketinggian budi yang dimilikinya. Tidak mengira bahwa kakek yang dalam penglihatannya sebagai orang gila, tiba-tiba dapat berobah menjadi penasehat dengan penuh perasa sebagaimana layaknya seorang guru. Suara tawa yang biasanya selalu mengiringi dengan nada yang terkekeh-kekeh seperti orang sinting, kini lenyap dan menunjukkan wajah yang bersungut-sungut dengan keningnya berkerut.
Sejak saat itu Sujud tiap pagi, sebelum fajar menyingsing mendapat latihan ilmu kanuragan, ialah ilmu ketangkasan serta pukulan shakti dari kakek Dadung Ngawuk. Waktu berjalan, dengan tidak terasa. Sujud telah menjadi murid kakek gila. Dengan bekal kecerdikannya dan ketekunan yang dimiliki maka dengan mudah Sujud dapat menguasai gerakan langkah "wuru shakti" dengan sempurna. Wuru shakti ialah gerakan mengelak dari serangan lawan dengan langkah seperti gerakan orang yang sedang mabok. Gerakan mana dapat juga digunakan sebagai langkah menyerang musuh.
Jari2 tangannya dapat ditegangkan menjadi sekeras baja. Dengan jari2 itu ia dapat menusuk tembus benda2 yang keras seperti kayu dan sebagainya. Kepadanya juga diberikan pelajaran mengenai sendi2 kelemahan tubuh manusia mengikuti dasar jalinan saraf2 pokok, serta nadi2 pembuluh darah, atau disebutnya juga “ilmu pengapesan".
Namun semua rangkaian jurus2nya merupakan gerak "wuru shakti", ciri asli dari pada ilmu tata bela diri ciptaan kakek Dadung Ngawuk, dimana gerakannya menyerupai seorang gila.
Dan si Jamang adalah kawan setianya dalam berlatih tiap hari. Kini Sujud dapat dengan mudah menerobos kepungan kera2 yang empat puluh jumlahnya. Dengan serangan tendangan serta totokan jari2nya yang tepat mengenai jalinan syaraf yang dikehendaki, kera2 teman berlatihnya jatuh bergelimpangan tak berdaya, tanpa mendapat luka yang membahayakan.
Gerakan wuru shakti dengan langkah2nya yang ajaib dapat menghindari serangan2 dahsyat yang bertubi-tubi dan sukar untuk diduga sebelumnya. Setelah dianggap cukup memiliki kepandaian sebagai bekal dalam perjalanan mencari orang tuanya, oleh kakek Dadung Ngawuk, Sujud diperkenankan meninggalkan hutan Blora.
“Dengan bekal kepandaianmu itu, yang sangat sederhana serta kekebalan yang kau miliki, tidak perlu lagi kau kuatir akan berjumpa dengan Durga Saputra atau sebangsanya. Hanya pesanku, setelah kau berhasil menemui orang tuamu, aku sangat mengharapkan kehadiranmu kembali untuk menjengukku sebentar. Sebelum aku meninggalkan dunia yang amat kotor ini, aku masih ingin bertemu dengan kau sekali lagi.
Mendengar pesan kakek Dadung Ngawuk sewaktu ia diantar sampai ditepi hutan dirasakan berat untuk berlalu dari tempat itu. Tenggorokannya terasa sangat sukar mengeluarkan kata2 seperti tersumbat tak kuasa untuk melahirkan isi hatinya. Hanya air matanyalah yang meleleh perlahan-lahan dikedua belah pipinya. Ia hanya dapat menganggukkan kepala sambil berlutut dengan takzimnya. Dalam hati Sujud bersumpah, bahwa ia tentu akan memenuhi pesan kakek Dadung Ngawuk.
Akan tetapi sebelum ia bangkit dari berlutut, kakek Dadung Ngawuk telah lenyap dari depan hidungnya. Sujud memandang dengan heran akan kesaktian kakek Dadung Ngawuk. Kemana perginya sampai ia tak mengetahui, bayangannyapun tak nampak. Dengan langkah yang bimbang serta dipaksakan Sujud berjalan memasuki kota Wirosari yang tak demikian jauh letaknya dari tepi hutan sebelah barat.
Kesibukan dalam kota pada sore itu, ternyata masih nampak ramai. Namun tidak seorangpun kini memperhatikannya sewaktu mereka berpapasan. Mereka diliputi kesibukannya masing2. Dengan pakaiannya yang telah compang-camping serta kumal.
Sujud berjalan mengikuti orang2 yang sedang berbelanja disepanjang jalan tengah kota. Ia membeli pakaian sederhana warna kelabu untuk dikenakan sebagai ganti dari pada baju dan celananya yang telah compang-camping. Setelah berganti pakaian ditempat yang sepi, ia kembali lagi memasuki kota untuk mencari warung makan serta tempat untuk bermalam.
Esok paginya sewaktu Sujud meninggalkan rumah penginapan, tiba2 terdengar jeritan anak kecil dari seberang jalan dimana ia sedang berdiri. Seekor kuda yang tak dapat dikendalikan menerjang dua anak kecil yang sedang enak berjalan bergandengan, hingga satu diantaranya terpental dan jatuh bergulingan ditanah.
Yang menjerit adalah anak perempuan yang umurnya kira2 enam tahun sedangkan yang jatuh bergulingan adalah anak lelaki yang usianya sekitar delapan tahunan. Mudah diterka, bahwa mereka adalah kakak beradik dari keluarga miskin. Dengan cepat Sujud lari dan menyambar anak kecil yang menjerit serta dipondongnya mendekati anak laki2 yang masih terlentang di tanah ditepi jalan.
Akan tetapi sewaktu ia berjongkok sambil memondong anak perempuan kecil itu, kuda yang binal itu telah menerjang kembali kearahnya. Sungguhpun dia dapat mengeIak, tetapi anak yang terlentang itu tentu tak mungkin dapat terhindar dari injakan kaki kuda.
Akan tetapi sewaktu ia berjongkok sambil memondong anak perempuan kecil itu, kuda yang binal itu telah menerjang kembali kearahnya. Sungguhpun dia dapat mengeIak, tetapi anak yang terlentang itu tentu tak mungkin dapat terhindar dari injakan kaki kuda.
Orang2 perempuan yang sedang berlalu serentak menjerit demi melihat kejadian yang mendebarkan jantung itu. Akan tetapi, dengan tanpa diketahui orang-orang yang sedang melihatnya dengan penuh kecemasan, kuda dan penunggangnya jatuh terguling kesamping.
Kedua kaki kuda tegang berkelejotan, sedangkan penunggangnya terpental jatuh bergulingan di tengah jalan. Tanpa menghiraukan kejadian atas penunggang dan kudanya, Sujud membangkitkan anak lelaki yang masih terlentang di tanah, segera diseretnya lebih menepi lagi. Kiranya anak lelaki itu hanya terluka ringan karena kebentur batu2 dijalan, hanya ia tak sadarkan diri karena kagetnya.
Penunggang kuda yang jatuh bergulingan segera bangkit berdiri dan melangkah mendekati kudanya yang masih menggelimpang di tanah dengan kaki berkelejotan. Penunggang kuda yang jatuh itu adalah seorang pemuda yang usianya tak lebih dari dua puluh tahun, dengan pakaiannya yang serba indah.
Wajahnya tampan, namun tingkah lakunya kelihatan kasar dan sombong. Dengan muka merah padam karena malu dilihat orang banyak, sambil mengibaskan tangannya untuk menghilangkan debu yang melekat dipakaiannya, ia memeriksa kudanya yang masih terlentang.
“Hai jembel kecil!!, Kau apakan kudaku?” bentaknya tertuju pada Sujud.
“Tak tahu!!. Mungkin terpelanting karena tarikan lis yang kau lakukan sendiri!!” Jawab Sujud dengan tanpa menoleh. Sambil berjalan dengan memondong anak perempuan kecil serta menggandeng anak lelaki yang telah siuman kembali.
“Hai !!!. Berhenti dulu !!!” Berkata demikian pemuda itu mengulang kembali memeriksa kudanya.
Mendengar pemuda itu membentak bentak, orang2 yang mengerumuni segera berlalu untuk menjauh. Sujud segera berhenti sejenak dan mengawasi kearah pemuda yang masih menggumam tak menentu. Pengalamannya yang penuh kepahitan pada tahun yang lalu dapat untuk peringatan. Kini ia tak mau melayani marahnya si pemuda. Ia tetap berlagak tolol, seakan akan tak tahu sama sekali akan sebab musabab terpelantingnya kuda dengan penunggangnya.
Sedangkan sebenarnya, sewaktu kuda menerjang kearahnya dengan cepat ia menotok nadi pembuluh darah serta urat2 penggerak kaki depan kuda, dengan kedua jari tangan kirinya. Akan tetapi karena hal itu dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa, maka sukarlah diikuti orang orang yang tidak mempunyai pengertian. Kiranya totokan jarinya terlampau keras, hingga nadi pembuluh darah sebelah kanan pecah. Dengan demikian maka tak mungkin dapat dipulihkan kembali.
Mendengar jawaban Sujud serta melihat gerak geriknya yang tolol itu si pemuda menjadi percaya.
“Sudahlah !! Lekas pergi !! Kusuruh mengganti kerugianku juga kau tak akan mampu!!!” Ia membentak dan menggumam : “Masih untung kepalamu tak pecah terinjak kudaku”.
Cepat Sujud meninggalkan pemuda itu dengan lagak ketakutan. Pergi menuju kepasar kota dan segera memasuki sebuah warung makan. Kedua anak tadi disuruh makan sepuasnya. Alangkah girangnya, setelah Sujud mengetahui bahwa kedua anak itu adalah Martiman dan Martinem.
Mereka saling berpelukan penuh rasa haru. Tidak menduga bahwa akan berjumpa di kota Wirosari. Dengan tangis terisak-isak Martiman menceritakan, bahwa ibunya telah meninggal setengah tahun yang lalu. Dan kini mereka berdua kakak beradik terlunta-lunta sebagai anak yatim piatu dan menjadi pengemis. Tidak terasa pula pipi Sujud basah air mata yang meleleh karena penuh rasa haru demi mendengar cerita yang dialami Martiman dan Martinem berdua.
“Sudahlah, Man!! Tak usah kau selalu bersedih hati. Ikut saja kau berdua dengan aku. Akupun hidup sebatang kara didunia ini. Kita senasib dan sependeritaan. Nem, kau jangan rewel diperjalanan nanti ya. Jika kau lelah akulah yang akan memondongmu”. Sujud berkata lemah lembut untuk menghibur Martinem.
Kiranya tawaran itu sangat menggirangkan hati kedua anak tadi. Oleh Sujud mereka berdua segera diberikan pakaian untuk ganti, karena pakaian yang mereka kenakan telah kumal cumal.
Setelah cukup kebutuhan yang diperlukan, mereka bertiga segera meningalkan pasar kota melanjutkan perjalanan menuju ke arah barat. Akan tetapi setelah mereka diperbatasan luar kota, tiba-tiba Sujud mendengar derap langkah kaki kuda dari arah kejauhan. Setelah makan buah daru seketi, Sujud memiliki perasaan yang sangat tajam. Denyut jantungnya dirasakan sangat berdebar-debar dan rasa cemas akan datangnya bahaya cepat meliputi dirinya.
“Cepatlah, kau jalan lebih dahulu berdua Martinem. Man! Dan tunggu di desa depan itu sampai aku datang menyusulmu. Biar aku menghadang mereka yang tengah mendatang berkuda”
“Tapi untuk apa, kau menghadang mereka, kang Sujud”.
“Sudahlah!! Jangan membuang-buang waktu!! Aku kuatir mereka datang mengganggu kita!!”
Dengan tak mengulangi pertanyaannya. Martiman segera mentaati perintah Sujud. Ia memondong Martinem sambil berlari-lari kecil dengan rasa ketakutan. Sementara itu Sujud berjalan biasa, akan tetapi dengan penuh kewaspadaan.
Dan memang benar dugaan Sujud. Tiga orang berkuda memacu kudanya masing-masing, seakan akan berebut mendahului sampai ditempat tujuan. Ternyata seorang diantaranya adalah pemuda yang tadi jatuh bergulingan dijalan”.
“Hai, anak jembel! Berhenti sebentar!” serunya, setelah mereka dekat berada dibelakang.
Sujud segera berhenti ditepi jalan, sambil menengok kearah datangnya suara. Tiga orang serentak turun dari kudanya dan mendekati Sujud yang berdiri dengan berlagak tolol.
“Inikah Den Mas Daksa, anaknya?” tanya satu diantaranya kepada si pemuda tadi.
“Ya, betul” jawabnya singkat.
“Tetapi cobalah akan kutanya” kata seorang yang lain.
Sujud masih berdiri dengan lagak tolol mengawasi ketiga orang pendatang dengan ternganga. Den Mas Daksa, demikian nama pemuda itu, adalah putra Panewu Wirosari yang sangat terpandang dan disegani para penduduk kota. Setelah tadi tak dapat memolong kudanya bangkitt, ia pulang ke Banjar Kapanewon dan bersama dengan pengawal praja serta juru penegar (perawat kuda) ia kembali ketempat dimana kudanya menggelimpang ditepi jalan. Setelah juru penegar memeriksanya dengan teliti, kaki kuda sebelah depan ternyata lumpuh, karena terluka didalam.
Dengan susah payah juru penegar mengurut2 tulang kakinya, akan tetapi sia-sia belaka, karena ternyata tulang2nya tak menderita apa2. Hanya pahanya sebelah dalam semakin membengkak. Dengan demikian teranglah, bahwa luka kuda itu bukan karena jatuh terpelanting, ataupun akibat jatuh terkilir. Akan tetapi akibat serangan pukulan yang tak diketahui, bagaimana caranya.
Namun jelas, bahwa penyerang tadi tentu memiliki kepandaian. Timbullah kini kecurigaan akan kemungkinan adanya serangan gelap. Den Mas Daksa menduga, bahwa tentu ada orang lain yang menyerang, sewaktu Sujud menyelamatkan anak kecil itu. Dan orang lain itu tentu kawan atau orang tuanya Sujud yang menyaru sebagai penonton yang tadi banyak mengerumuninya. Maka dengan dikawal dua orang punggawanya Den Mas Daksa mencari Sujud untuk mendapatkan keterangan tentang orang yang berani menyerang kudanya secara gelap.
“Anak jembel!. Siapa namamu?”. tanya seorang dengan kasar. Orang itu tinggi besar dan hitam warna kulitnya mukanya nampak bengis.
“Saya… Sujud! jawabnya singkat sambil masih melongo, memperlihatkan ketololannya.
Sementara itu Den Mas Daksa mengawasi Sujud dengan penuh selidik dan sebentar-bentar saling pandang dengan seorang punggawa disebelahnya yang tubuhnya pendek kokoh!!.
“Sujud! Dimana rumahmu?”.
Menghadapi pertanyaan ini, Sujud agak sukar juga memberikan jawaban. la terdiam memikirkan jawaban apa yang harus diberikan, agar mereka puas. Akan tetapi belum juga ia sempat menjawab, orang yang bertanya telah membentaknya dengan kasar karena tak sabar:
“Jawab cepat dimana rumahmu !?”
“Dari Jepan”. Nama desa itulah yang masih ia ingat, sebelum ia memasuki hutan Blora, maka disebutnyalah sebagai jawaban, agar memuaskan mereka.
Akan tetapi dengan jawaban itu malah semakin menyulitkan baginya. Bertiga mereka saling berpandangan dengan sikap yang mencurigakan.
“Apa ?... Dari Jepan, katamu tadi? Mana mungkin! Jepan itu sangat jauh dari sini dan untuk jalan memotong harus melalui hutan belukar yang sangat berbahaya. Ayo! Jangan bohong, jawab dengan sebenarnyal. Kurangket jika kau membohong!”.
“Benar ! Memang saya dari desa Jepan!”.
“Dengan siapa kau datang ke Wirosari?” Kini kecurigaan ketiga orang itu terhadap Sujud semakin bertambah. Jika ia betul2 dari Jepan, tentu tidak akan berjalan sendirian pikir mereka.
“Bohong” bentaknya: “Ayo Iekas, tunjukkan siapa namamu?! Ataupun orang tuamu yang datang bersamamu ke Wirosari !”.
“Aku tidak dusta ! Datangku kemari seorang diri !”.
“Jika tidak mau mengaku, akan kuseret kembali ke kota.”
Berkata demikian orang tinggi besar itu sambil melangkah maju setindak dan mengulurkan tangannya untuk menangkap pergelangan tangan Sujud yang sedang berdiri terlongong2.
Akan tetapi Sujud sekarang bukan Sujud setahun yang lalu. Dengan pengalamannya yang penuh kepahitan, ia tak mau lagi dipermainkan orang. Ia terhuyung2 kesamping kiri dengan membungkukkan badannya, sambil jari2nya memegang dan menotok kearah ketiak kanan lawan yang terbuka.
Gerakan itu amat cepat dilakukannya dan orang hanya melihat ia terhuyung-huyung seperti langkah orang mabok yang tidak menentu. Dan akibatnya hebat sekali. Orang tinggi besar itu dengan tiba-tiba berjingkrak2 sambil mengaduh kesakitan, karena tangan kanannya dirasakan lumpuh tak dapat digerakkan lagi.
Melihat kejadian yang aneh ini, Den Mas Daksa dan seorang pengawal lainnya ternganga heran dan saling pandang. Mereka belum percaya, bahwa temannya mendapat serangan dari seorang anak tanggung yang kini berada dihadapannya. Dilihatnya kanan kiri dan sekitarnya, barangkali ada orang lain yang turut campur tangan, membantu Sujud dengan serangan rahasia secara sambitan ataupun cara Iainnya. Setelah nyata, bahwa tidak ada orang lain yang bersembunyi, maka teranglah bahwa anak tanggung ini yang sedang dihadapinya bukan anak biasa.
Mereka berdua segera serentak bersama-sama menyerang Sujud dengan pukulan dan tendangan silih berganti. Namun kembali Sujud dengan gerakan langkah wuru shakti dapat dengan mudah menghindari serangan, sehingga mereka selalu memukul tempat kosong.
Seperti layaknya orang sedang mabok minuman, Sujud melangkah maju terhuyung2 untuk kemudian meloncat ke samping ataupun jatuh berjongkok seperti kera dengan kedua tangannya mengibas menangkis serangan susulan yang mendatang.
Sifat keberanian yang dimiliki membuat ia ingin menguji dan membuktikan sendiri akan kehebatan gerak jurus2 wurusakti yang baru saja dipelajari dari kakek Dadung Ngawuk. Ia sengaja tak mau menyerang lawan terlebih dahulu, sebelum mempermainkan lawan2nya yang ternyata hanya mengandalkan ketangkasan dan kekuatan tenaga yang wajar saja.
Sebagai orang yang usianya masih muda, Den Mas Daksa mudah naik darah. Dengan penuh nafsu ingin cepat meringkus lawannya, ia mambabi buta menyerang dengan pukulan2 dan tendangan-tendangan kilat yang ber-tubi2, akan tetapi tidak pernah menyentuh sasaran.
Semula mengira bahwa serangan2 yang selalu jatuh di-tempat kosong itu hanya suatu kebetulan saja. Akan tetapi setelah mereka berdua berulang kali menyerang serentak dengan jurus2 yang mereka anggap sebagai jurus simpanan juga tak mampu merobohkan. Segeralah ia sadar, bahwa lawannya anak tanggung ini memang memiliki kepandaian yang tidak dapat dipandang ringan. Hanya saja karena mereka belum pernah mendapat balasan serangan, maka masih tetap mengira, bahwa lawannya hanya pandai mengelak.
“Jika tak mau menyerah kubelenggu, akan kurobek perutmu dengan golok ini !”. seru Den Mas Daksa sambil menghunus goloknya dan Iangsung menyerang.
Gerakannya cepat laksana kilat menyambar. la meloncat kedepan satu langkah dengan membungkukkan badan, sedang tangan kanannya yang memegang golok menyerang kearah perut sujud dengan gerak tusukan melintang dari kiri ke kanan.
Menghadapi serangan yang sangat ganas dan cepat itu, Sujud masih juga sempat ketawa seperti orang setengah gila. Kiranya sifat2 kakek Dadung Ngawuk yang sinting itu kini dimiliki pula olehnya.
Sewaktu goloknya menyambar kurang setengah jengkal dari perutnya, ia menjatuhkan diri kebelakang dengan ujung kaki menendang siku lengan kanan Den Mas Daksa, dan dirangkaikan dengan gerak berjumpalitan surut kebelakang. Itulah gerak langkah wuru shakti dengan jurus “mabok berguling merampas senjata" yang sukar diduga sebelumnya.
Den Mas Daksa berseru terkejut dan dirasakan tulang tangannya seperti patah dan lumpuh seketika. Goloknya terlepas dari genggaman dan terpental melambung tinggi, untuk kemudian jatuh ditanah dalam jarak kurang dari sepuluh langkah.
Sebenarnya siku-siku lengannya tadi bukan patah tulang, akan tetapi hanya terkena syaraf penggeraknya saja, sehingga dirasakan amat sakit, tak ubahnya seperti patah tulang.
Sebagai orang yang cepat naik darah, Den Mas Daksa tak mau menyerah demikian saja. Serangan yang gagal masih juga dilanjutkan dengan rangkaian tendangan kaki silih berganti dan bersamaan dengan itu, seorang punggawa pembantunya telah pula menghunus klewang serta membantu menerjang Sujud dengan serangan bacokan yang dahsyat.
Namun kembali lagi Sujud menghindari serangan dengan gerakan bergulingan kesamping kanan dengan cepat bangun berjongkok serta meloncat seperti kera meloncati kepala dua orang lawannya untuk kemudian jatuh berdiri dibelakang para penyerangnya didepan kuda yang sedang berdiri dengan meringkik-ringkik. Sungguh suatu gerakan yang mentakjubkan bagi para penyerangnya. Mereka tak menduga, bahwa lawannya seorang anak tanggung memiliki kesaktian yang demiksan tinggi.
“Anak siluman jahanam!” bentak punggawa yang bertubuh pendek dengan klewangnya ditangan. “Rasakan babatan klewangku! Kepalamu akan menggelinding terpisah dari gembungmu!”.
“Hahaha… haaaa! Menyembelih ayampun kau tak becus, apalagi memenggal leherku. Ini, kalau mau memenggal?” Sujud ketawa terkekeh-kekeh mengejek lawannya sambil mengulurkan lehernya yang pendek itu.
Dihina demikian, punggawa yang bersenjatakan klewang itu kelihatan lebih marah lagi. Mukanya menjadi merah padam sampai diujung telinganya dan matanya membelalak liar menahan rasa dendam yang tak terhingga. Ia meloncat selangkah, sambil mengayunkan klewangnya dalam gerakan bacokan yang disertai pengerahan tenaga penuh, karena kemarahan yang telah mencapai puncaknya.
Namun Sujud masih berdiri dengan ketawa terkekeh-kekeh dan kepalanya mengangguk-angguk mengejek lawannya. Klewang berkelebat diatas kepalanya, seakan-akan tak ada kemungkinan lagi untuk menghindari serangan yang kejam dan dahsyat itu.
Tetapi dengan tidak diketahui bagaimana caranya, Sujud telah berada dibalik kuda yang berdiri tadi. Bacokan klewang mengenai tempat kosong, cepat dirobahnya menjadi gerak tebangan yang ternyata tepat mengenai kedua kaki kuda belakang yang berdiri dihadapannya.
Tak ayal lagi kuda meringkik keras dan jatuh terkapar di tanah dengan kedua kaki belakangnya buntung terkena sabetan klewang. Sedangkan kuda lainnya berjingkrakan lari meninggalkan tempat itu. Punggawa itu segera meloncat surut kebelakang sambil berseru terkejut.
Ternyata pada waktu klewang tadi hampir jatuh tepat diatas kepala, Sujud menyelinap dan menerobos dibawah perut kuda yang berdiri dibelakangnya, dengan demikian susulan rangkaian serangan punggawa yang tak dapat ditarik kembali, tepat mengenai kuda yang menjadi penghalang antara dia dan Sujud.
“Haaaa… ha haaaa… ha… ha! Apa kataku? Kalian hanya bisa memotong kaki kudamu sendiri yang tak berdosa!” Sujud berseru mengejek sambil ketawa nyaring.
Dipermainkan demikian punggawa itu menjadi lebih beringas dan kini ia menerjang dengan klewangnya membabi buta. Sementara itu Den Mas Daksa telah lari mengejar kuda yang meninggalkan tuannya. Akhirnya dapat juga kuda itu dipegang dan segera meloncat diatas pelana, untuk kemudian meninggalkan teman2nya dengan tidak menghiraukan lagi. Tangannya masih juga dirasakan sakit dan kaku tak dapat digerakkan.
“Sebentar aku akan kembali !!!”. Teriaknya, sambil memacu kudanya.
Dengan kecerdasan otaknya Sujud segera dapat menangkap maksudnya, bahwa Den Mas Daksa tentu kembali dengan membawa bala bantuan. Dengan langkah2 ajaibnya seperti orang yang mabok, Sujud menyelinap kian kemari diantara sinar klewang yang berkelebatan ber-gulung2 mengurung tubuhnya, Karena menganggap telah cukup mempermainkan lawannya, serta yakin akan kehebatan gerakan ilmu wuru sakti yang dipelajarinya kini Sujud bermaksud segera ingin mengakhiri pertarungan dengan cepat.
Sambil menyelinap dan menerobos dibawah ketiak lawan, jari-jari Sujud yang telah ditegangkan bergerak cepat menotok lambung lawan tepat di bawah tulang rusuk. Tak ayal lagi punggawa itu roboh terguling di tanah dengan jeritan tertahan. Nafasnya terasa sesak dan kemudian tak sadarkan diri. Melihat temannya jatuh pingsan terguling di tanah, si punggawa yang tinggi besar segera lari sambil memegang lengan kanannya sendiri yang dirasakan masih sakit dan lumpuh.
Demikian pula Sujud, dengan tak menyia nyiakan waktu lagi segera melesat pergi, meninggalkan tempat itu menuju ke desa dimana Martinem dan Martiman telah menunggu lama dengan penuh rasa cemas.
Karena kuatir akan tersusul oleh datangnya Den Mas Daksa beserta kawan-kawannya yang belum diketahui jumlahnya, Sujud mempercepat jalannya dengan memondong Martinem dan diikuti Martiman menyusupi jalan-jalan desa dan sawah-sawah menuju ke arah barat.
Dugaan Sujud memang benar adanya. Tak lama kemudian Den Mas Daksa telah datang kembali dengan membawa dua belas orang punggawa berkuda. Mereka memasuki desa-desa disekitarnya dimana pertempuran tadi terjadi untuk menangkap Sujud. Ternyata Sujud tak dapat diketemukan. Untuk melampiaskan kemarahannya orang2 desa yang tak mau membantu mencarinya dipukuli dengan cambuk dan ditendangi beramai ramai.
Setelah berjalan jauh dan merasa yakin sudah terhindar dari para pengejar. Sujud menurunkan Martinem dari pondongannya, kemudian diajaknya berjalan sendiri sambil digandeng tangannya.
“Kang Sujud !!! Mengapa tadi kakang lama sekali Dan bajumu kumal penuh debu ?. Apakah kakang tadi disiksa oleh mereka ?” Martinem bertanya memecah kesunyian.
“Och…… mana mungkin mereka berani menyiksaku ?”. Jawab Sujud sambil membusungkan dadanya. “Aku sampai lama menyusulmu sebab tadi aku harus menyaksikan mereka memotong kaki kudanya sendiri !!”.
“Dipotong sendiri, bagaimana kang ? Dan lagi mengapa bajumu sampai kotor sekali ?”.
Kedua kaki kuda tegang berkelejotan, sedangkan penunggangnya terpental jatuh bergulingan di tengah jalan. Tanpa menghiraukan kejadian atas penunggang dan kudanya, Sujud membangkitkan anak lelaki yang masih terlentang di tanah, segera diseretnya lebih menepi lagi. Kiranya anak lelaki itu hanya terluka ringan karena kebentur batu2 dijalan, hanya ia tak sadarkan diri karena kagetnya.
Penunggang kuda yang jatuh bergulingan segera bangkit berdiri dan melangkah mendekati kudanya yang masih menggelimpang di tanah dengan kaki berkelejotan. Penunggang kuda yang jatuh itu adalah seorang pemuda yang usianya tak lebih dari dua puluh tahun, dengan pakaiannya yang serba indah.
Wajahnya tampan, namun tingkah lakunya kelihatan kasar dan sombong. Dengan muka merah padam karena malu dilihat orang banyak, sambil mengibaskan tangannya untuk menghilangkan debu yang melekat dipakaiannya, ia memeriksa kudanya yang masih terlentang.
“Hai jembel kecil!!, Kau apakan kudaku?” bentaknya tertuju pada Sujud.
“Tak tahu!!. Mungkin terpelanting karena tarikan lis yang kau lakukan sendiri!!” Jawab Sujud dengan tanpa menoleh. Sambil berjalan dengan memondong anak perempuan kecil serta menggandeng anak lelaki yang telah siuman kembali.
“Hai !!!. Berhenti dulu !!!” Berkata demikian pemuda itu mengulang kembali memeriksa kudanya.
Mendengar pemuda itu membentak bentak, orang2 yang mengerumuni segera berlalu untuk menjauh. Sujud segera berhenti sejenak dan mengawasi kearah pemuda yang masih menggumam tak menentu. Pengalamannya yang penuh kepahitan pada tahun yang lalu dapat untuk peringatan. Kini ia tak mau melayani marahnya si pemuda. Ia tetap berlagak tolol, seakan akan tak tahu sama sekali akan sebab musabab terpelantingnya kuda dengan penunggangnya.
Sedangkan sebenarnya, sewaktu kuda menerjang kearahnya dengan cepat ia menotok nadi pembuluh darah serta urat2 penggerak kaki depan kuda, dengan kedua jari tangan kirinya. Akan tetapi karena hal itu dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa, maka sukarlah diikuti orang orang yang tidak mempunyai pengertian. Kiranya totokan jarinya terlampau keras, hingga nadi pembuluh darah sebelah kanan pecah. Dengan demikian maka tak mungkin dapat dipulihkan kembali.
Mendengar jawaban Sujud serta melihat gerak geriknya yang tolol itu si pemuda menjadi percaya.
“Sudahlah !! Lekas pergi !! Kusuruh mengganti kerugianku juga kau tak akan mampu!!!” Ia membentak dan menggumam : “Masih untung kepalamu tak pecah terinjak kudaku”.
Cepat Sujud meninggalkan pemuda itu dengan lagak ketakutan. Pergi menuju kepasar kota dan segera memasuki sebuah warung makan. Kedua anak tadi disuruh makan sepuasnya. Alangkah girangnya, setelah Sujud mengetahui bahwa kedua anak itu adalah Martiman dan Martinem.
Mereka saling berpelukan penuh rasa haru. Tidak menduga bahwa akan berjumpa di kota Wirosari. Dengan tangis terisak-isak Martiman menceritakan, bahwa ibunya telah meninggal setengah tahun yang lalu. Dan kini mereka berdua kakak beradik terlunta-lunta sebagai anak yatim piatu dan menjadi pengemis. Tidak terasa pula pipi Sujud basah air mata yang meleleh karena penuh rasa haru demi mendengar cerita yang dialami Martiman dan Martinem berdua.
“Sudahlah, Man!! Tak usah kau selalu bersedih hati. Ikut saja kau berdua dengan aku. Akupun hidup sebatang kara didunia ini. Kita senasib dan sependeritaan. Nem, kau jangan rewel diperjalanan nanti ya. Jika kau lelah akulah yang akan memondongmu”. Sujud berkata lemah lembut untuk menghibur Martinem.
Kiranya tawaran itu sangat menggirangkan hati kedua anak tadi. Oleh Sujud mereka berdua segera diberikan pakaian untuk ganti, karena pakaian yang mereka kenakan telah kumal cumal.
Setelah cukup kebutuhan yang diperlukan, mereka bertiga segera meningalkan pasar kota melanjutkan perjalanan menuju ke arah barat. Akan tetapi setelah mereka diperbatasan luar kota, tiba-tiba Sujud mendengar derap langkah kaki kuda dari arah kejauhan. Setelah makan buah daru seketi, Sujud memiliki perasaan yang sangat tajam. Denyut jantungnya dirasakan sangat berdebar-debar dan rasa cemas akan datangnya bahaya cepat meliputi dirinya.
“Cepatlah, kau jalan lebih dahulu berdua Martinem. Man! Dan tunggu di desa depan itu sampai aku datang menyusulmu. Biar aku menghadang mereka yang tengah mendatang berkuda”
“Tapi untuk apa, kau menghadang mereka, kang Sujud”.
“Sudahlah!! Jangan membuang-buang waktu!! Aku kuatir mereka datang mengganggu kita!!”
Dengan tak mengulangi pertanyaannya. Martiman segera mentaati perintah Sujud. Ia memondong Martinem sambil berlari-lari kecil dengan rasa ketakutan. Sementara itu Sujud berjalan biasa, akan tetapi dengan penuh kewaspadaan.
Dan memang benar dugaan Sujud. Tiga orang berkuda memacu kudanya masing-masing, seakan akan berebut mendahului sampai ditempat tujuan. Ternyata seorang diantaranya adalah pemuda yang tadi jatuh bergulingan dijalan”.
“Hai, anak jembel! Berhenti sebentar!” serunya, setelah mereka dekat berada dibelakang.
Sujud segera berhenti ditepi jalan, sambil menengok kearah datangnya suara. Tiga orang serentak turun dari kudanya dan mendekati Sujud yang berdiri dengan berlagak tolol.
“Inikah Den Mas Daksa, anaknya?” tanya satu diantaranya kepada si pemuda tadi.
“Ya, betul” jawabnya singkat.
“Tetapi cobalah akan kutanya” kata seorang yang lain.
Sujud masih berdiri dengan lagak tolol mengawasi ketiga orang pendatang dengan ternganga. Den Mas Daksa, demikian nama pemuda itu, adalah putra Panewu Wirosari yang sangat terpandang dan disegani para penduduk kota. Setelah tadi tak dapat memolong kudanya bangkitt, ia pulang ke Banjar Kapanewon dan bersama dengan pengawal praja serta juru penegar (perawat kuda) ia kembali ketempat dimana kudanya menggelimpang ditepi jalan. Setelah juru penegar memeriksanya dengan teliti, kaki kuda sebelah depan ternyata lumpuh, karena terluka didalam.
Dengan susah payah juru penegar mengurut2 tulang kakinya, akan tetapi sia-sia belaka, karena ternyata tulang2nya tak menderita apa2. Hanya pahanya sebelah dalam semakin membengkak. Dengan demikian teranglah, bahwa luka kuda itu bukan karena jatuh terpelanting, ataupun akibat jatuh terkilir. Akan tetapi akibat serangan pukulan yang tak diketahui, bagaimana caranya.
Namun jelas, bahwa penyerang tadi tentu memiliki kepandaian. Timbullah kini kecurigaan akan kemungkinan adanya serangan gelap. Den Mas Daksa menduga, bahwa tentu ada orang lain yang menyerang, sewaktu Sujud menyelamatkan anak kecil itu. Dan orang lain itu tentu kawan atau orang tuanya Sujud yang menyaru sebagai penonton yang tadi banyak mengerumuninya. Maka dengan dikawal dua orang punggawanya Den Mas Daksa mencari Sujud untuk mendapatkan keterangan tentang orang yang berani menyerang kudanya secara gelap.
“Anak jembel!. Siapa namamu?”. tanya seorang dengan kasar. Orang itu tinggi besar dan hitam warna kulitnya mukanya nampak bengis.
“Saya… Sujud! jawabnya singkat sambil masih melongo, memperlihatkan ketololannya.
Sementara itu Den Mas Daksa mengawasi Sujud dengan penuh selidik dan sebentar-bentar saling pandang dengan seorang punggawa disebelahnya yang tubuhnya pendek kokoh!!.
“Sujud! Dimana rumahmu?”.
Menghadapi pertanyaan ini, Sujud agak sukar juga memberikan jawaban. la terdiam memikirkan jawaban apa yang harus diberikan, agar mereka puas. Akan tetapi belum juga ia sempat menjawab, orang yang bertanya telah membentaknya dengan kasar karena tak sabar:
“Jawab cepat dimana rumahmu !?”
“Dari Jepan”. Nama desa itulah yang masih ia ingat, sebelum ia memasuki hutan Blora, maka disebutnyalah sebagai jawaban, agar memuaskan mereka.
Akan tetapi dengan jawaban itu malah semakin menyulitkan baginya. Bertiga mereka saling berpandangan dengan sikap yang mencurigakan.
“Apa ?... Dari Jepan, katamu tadi? Mana mungkin! Jepan itu sangat jauh dari sini dan untuk jalan memotong harus melalui hutan belukar yang sangat berbahaya. Ayo! Jangan bohong, jawab dengan sebenarnyal. Kurangket jika kau membohong!”.
“Benar ! Memang saya dari desa Jepan!”.
“Dengan siapa kau datang ke Wirosari?” Kini kecurigaan ketiga orang itu terhadap Sujud semakin bertambah. Jika ia betul2 dari Jepan, tentu tidak akan berjalan sendirian pikir mereka.
“Bohong” bentaknya: “Ayo Iekas, tunjukkan siapa namamu?! Ataupun orang tuamu yang datang bersamamu ke Wirosari !”.
“Aku tidak dusta ! Datangku kemari seorang diri !”.
“Jika tidak mau mengaku, akan kuseret kembali ke kota.”
Berkata demikian orang tinggi besar itu sambil melangkah maju setindak dan mengulurkan tangannya untuk menangkap pergelangan tangan Sujud yang sedang berdiri terlongong2.
Akan tetapi Sujud sekarang bukan Sujud setahun yang lalu. Dengan pengalamannya yang penuh kepahitan, ia tak mau lagi dipermainkan orang. Ia terhuyung2 kesamping kiri dengan membungkukkan badannya, sambil jari2nya memegang dan menotok kearah ketiak kanan lawan yang terbuka.
Gerakan itu amat cepat dilakukannya dan orang hanya melihat ia terhuyung-huyung seperti langkah orang mabok yang tidak menentu. Dan akibatnya hebat sekali. Orang tinggi besar itu dengan tiba-tiba berjingkrak2 sambil mengaduh kesakitan, karena tangan kanannya dirasakan lumpuh tak dapat digerakkan lagi.
Melihat kejadian yang aneh ini, Den Mas Daksa dan seorang pengawal lainnya ternganga heran dan saling pandang. Mereka belum percaya, bahwa temannya mendapat serangan dari seorang anak tanggung yang kini berada dihadapannya. Dilihatnya kanan kiri dan sekitarnya, barangkali ada orang lain yang turut campur tangan, membantu Sujud dengan serangan rahasia secara sambitan ataupun cara Iainnya. Setelah nyata, bahwa tidak ada orang lain yang bersembunyi, maka teranglah bahwa anak tanggung ini yang sedang dihadapinya bukan anak biasa.
Mereka berdua segera serentak bersama-sama menyerang Sujud dengan pukulan dan tendangan silih berganti. Namun kembali Sujud dengan gerakan langkah wuru shakti dapat dengan mudah menghindari serangan, sehingga mereka selalu memukul tempat kosong.
Seperti layaknya orang sedang mabok minuman, Sujud melangkah maju terhuyung2 untuk kemudian meloncat ke samping ataupun jatuh berjongkok seperti kera dengan kedua tangannya mengibas menangkis serangan susulan yang mendatang.
Sifat keberanian yang dimiliki membuat ia ingin menguji dan membuktikan sendiri akan kehebatan gerak jurus2 wurusakti yang baru saja dipelajari dari kakek Dadung Ngawuk. Ia sengaja tak mau menyerang lawan terlebih dahulu, sebelum mempermainkan lawan2nya yang ternyata hanya mengandalkan ketangkasan dan kekuatan tenaga yang wajar saja.
Sebagai orang yang usianya masih muda, Den Mas Daksa mudah naik darah. Dengan penuh nafsu ingin cepat meringkus lawannya, ia mambabi buta menyerang dengan pukulan2 dan tendangan-tendangan kilat yang ber-tubi2, akan tetapi tidak pernah menyentuh sasaran.
Semula mengira bahwa serangan2 yang selalu jatuh di-tempat kosong itu hanya suatu kebetulan saja. Akan tetapi setelah mereka berdua berulang kali menyerang serentak dengan jurus2 yang mereka anggap sebagai jurus simpanan juga tak mampu merobohkan. Segeralah ia sadar, bahwa lawannya anak tanggung ini memang memiliki kepandaian yang tidak dapat dipandang ringan. Hanya saja karena mereka belum pernah mendapat balasan serangan, maka masih tetap mengira, bahwa lawannya hanya pandai mengelak.
“Jika tak mau menyerah kubelenggu, akan kurobek perutmu dengan golok ini !”. seru Den Mas Daksa sambil menghunus goloknya dan Iangsung menyerang.
Gerakannya cepat laksana kilat menyambar. la meloncat kedepan satu langkah dengan membungkukkan badan, sedang tangan kanannya yang memegang golok menyerang kearah perut sujud dengan gerak tusukan melintang dari kiri ke kanan.
Menghadapi serangan yang sangat ganas dan cepat itu, Sujud masih juga sempat ketawa seperti orang setengah gila. Kiranya sifat2 kakek Dadung Ngawuk yang sinting itu kini dimiliki pula olehnya.
Sewaktu goloknya menyambar kurang setengah jengkal dari perutnya, ia menjatuhkan diri kebelakang dengan ujung kaki menendang siku lengan kanan Den Mas Daksa, dan dirangkaikan dengan gerak berjumpalitan surut kebelakang. Itulah gerak langkah wuru shakti dengan jurus “mabok berguling merampas senjata" yang sukar diduga sebelumnya.
Den Mas Daksa berseru terkejut dan dirasakan tulang tangannya seperti patah dan lumpuh seketika. Goloknya terlepas dari genggaman dan terpental melambung tinggi, untuk kemudian jatuh ditanah dalam jarak kurang dari sepuluh langkah.
Sebenarnya siku-siku lengannya tadi bukan patah tulang, akan tetapi hanya terkena syaraf penggeraknya saja, sehingga dirasakan amat sakit, tak ubahnya seperti patah tulang.
Sebagai orang yang cepat naik darah, Den Mas Daksa tak mau menyerah demikian saja. Serangan yang gagal masih juga dilanjutkan dengan rangkaian tendangan kaki silih berganti dan bersamaan dengan itu, seorang punggawa pembantunya telah pula menghunus klewang serta membantu menerjang Sujud dengan serangan bacokan yang dahsyat.
Namun kembali lagi Sujud menghindari serangan dengan gerakan bergulingan kesamping kanan dengan cepat bangun berjongkok serta meloncat seperti kera meloncati kepala dua orang lawannya untuk kemudian jatuh berdiri dibelakang para penyerangnya didepan kuda yang sedang berdiri dengan meringkik-ringkik. Sungguh suatu gerakan yang mentakjubkan bagi para penyerangnya. Mereka tak menduga, bahwa lawannya seorang anak tanggung memiliki kesaktian yang demiksan tinggi.
“Anak siluman jahanam!” bentak punggawa yang bertubuh pendek dengan klewangnya ditangan. “Rasakan babatan klewangku! Kepalamu akan menggelinding terpisah dari gembungmu!”.
“Hahaha… haaaa! Menyembelih ayampun kau tak becus, apalagi memenggal leherku. Ini, kalau mau memenggal?” Sujud ketawa terkekeh-kekeh mengejek lawannya sambil mengulurkan lehernya yang pendek itu.
Dihina demikian, punggawa yang bersenjatakan klewang itu kelihatan lebih marah lagi. Mukanya menjadi merah padam sampai diujung telinganya dan matanya membelalak liar menahan rasa dendam yang tak terhingga. Ia meloncat selangkah, sambil mengayunkan klewangnya dalam gerakan bacokan yang disertai pengerahan tenaga penuh, karena kemarahan yang telah mencapai puncaknya.
Namun Sujud masih berdiri dengan ketawa terkekeh-kekeh dan kepalanya mengangguk-angguk mengejek lawannya. Klewang berkelebat diatas kepalanya, seakan-akan tak ada kemungkinan lagi untuk menghindari serangan yang kejam dan dahsyat itu.
Tetapi dengan tidak diketahui bagaimana caranya, Sujud telah berada dibalik kuda yang berdiri tadi. Bacokan klewang mengenai tempat kosong, cepat dirobahnya menjadi gerak tebangan yang ternyata tepat mengenai kedua kaki kuda belakang yang berdiri dihadapannya.
Tak ayal lagi kuda meringkik keras dan jatuh terkapar di tanah dengan kedua kaki belakangnya buntung terkena sabetan klewang. Sedangkan kuda lainnya berjingkrakan lari meninggalkan tempat itu. Punggawa itu segera meloncat surut kebelakang sambil berseru terkejut.
Ternyata pada waktu klewang tadi hampir jatuh tepat diatas kepala, Sujud menyelinap dan menerobos dibawah perut kuda yang berdiri dibelakangnya, dengan demikian susulan rangkaian serangan punggawa yang tak dapat ditarik kembali, tepat mengenai kuda yang menjadi penghalang antara dia dan Sujud.
“Haaaa… ha haaaa… ha… ha! Apa kataku? Kalian hanya bisa memotong kaki kudamu sendiri yang tak berdosa!” Sujud berseru mengejek sambil ketawa nyaring.
Dipermainkan demikian punggawa itu menjadi lebih beringas dan kini ia menerjang dengan klewangnya membabi buta. Sementara itu Den Mas Daksa telah lari mengejar kuda yang meninggalkan tuannya. Akhirnya dapat juga kuda itu dipegang dan segera meloncat diatas pelana, untuk kemudian meninggalkan teman2nya dengan tidak menghiraukan lagi. Tangannya masih juga dirasakan sakit dan kaku tak dapat digerakkan.
“Sebentar aku akan kembali !!!”. Teriaknya, sambil memacu kudanya.
Dengan kecerdasan otaknya Sujud segera dapat menangkap maksudnya, bahwa Den Mas Daksa tentu kembali dengan membawa bala bantuan. Dengan langkah2 ajaibnya seperti orang yang mabok, Sujud menyelinap kian kemari diantara sinar klewang yang berkelebatan ber-gulung2 mengurung tubuhnya, Karena menganggap telah cukup mempermainkan lawannya, serta yakin akan kehebatan gerakan ilmu wuru sakti yang dipelajarinya kini Sujud bermaksud segera ingin mengakhiri pertarungan dengan cepat.
Sambil menyelinap dan menerobos dibawah ketiak lawan, jari-jari Sujud yang telah ditegangkan bergerak cepat menotok lambung lawan tepat di bawah tulang rusuk. Tak ayal lagi punggawa itu roboh terguling di tanah dengan jeritan tertahan. Nafasnya terasa sesak dan kemudian tak sadarkan diri. Melihat temannya jatuh pingsan terguling di tanah, si punggawa yang tinggi besar segera lari sambil memegang lengan kanannya sendiri yang dirasakan masih sakit dan lumpuh.
Demikian pula Sujud, dengan tak menyia nyiakan waktu lagi segera melesat pergi, meninggalkan tempat itu menuju ke desa dimana Martinem dan Martiman telah menunggu lama dengan penuh rasa cemas.
Karena kuatir akan tersusul oleh datangnya Den Mas Daksa beserta kawan-kawannya yang belum diketahui jumlahnya, Sujud mempercepat jalannya dengan memondong Martinem dan diikuti Martiman menyusupi jalan-jalan desa dan sawah-sawah menuju ke arah barat.
Dugaan Sujud memang benar adanya. Tak lama kemudian Den Mas Daksa telah datang kembali dengan membawa dua belas orang punggawa berkuda. Mereka memasuki desa-desa disekitarnya dimana pertempuran tadi terjadi untuk menangkap Sujud. Ternyata Sujud tak dapat diketemukan. Untuk melampiaskan kemarahannya orang2 desa yang tak mau membantu mencarinya dipukuli dengan cambuk dan ditendangi beramai ramai.
Setelah berjalan jauh dan merasa yakin sudah terhindar dari para pengejar. Sujud menurunkan Martinem dari pondongannya, kemudian diajaknya berjalan sendiri sambil digandeng tangannya.
“Kang Sujud !!! Mengapa tadi kakang lama sekali Dan bajumu kumal penuh debu ?. Apakah kakang tadi disiksa oleh mereka ?” Martinem bertanya memecah kesunyian.
“Och…… mana mungkin mereka berani menyiksaku ?”. Jawab Sujud sambil membusungkan dadanya. “Aku sampai lama menyusulmu sebab tadi aku harus menyaksikan mereka memotong kaki kudanya sendiri !!”.
“Dipotong sendiri, bagaimana kang ? Dan lagi mengapa bajumu sampai kotor sekali ?”.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment