Bertepatan dengan datangnya kembali Gusti Adityawardhana beserta Para Priyagung tamtama kerajaan Agung Majapahit dengan pasukan pengiringnya, Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada telah mangkat, sebagai Pahlawan Kusuma Bangsa se Nuswantara, (th. 1364 ). Nama beliau harum semerbak memenuhi angkasa se Nuswantara, ya……. bahkan menghambar keseluruh dunia, dan dikenang sepanjang masa sebagai suri tauladan bagi semua umat manusia.
Kerajaan Agung Majapahit kehilangan seorang Putra yang Besar. Namun semua itu adalah kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Manusia berhak berkabung dan menyesali, akan tetapi tidak kuasa menentang akan Kehendak-Nya. Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang terhadap semua umat-Nya.
Kehilangan seorang Putra Nuswantara yang besar tak perlu disesalkan. Patah tumbuh hilang berganti. Pahlawan-pahlawan Bangsa menyusul akan lahir, seperti tumbuhnya cendawan dimusim hujan.
Selama seratus hari Kerajaan Agung Majapahit beserta rakyat se Nuswantara dalam suasana berkabung. Dengan mangkatnya Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada susunan serta pemerintahan Kerajaan Majapahit mengalami perobahan dan pergeseran. Gajah Enggon diangkat menjadi Patih sebagai pengganti Sang Patih Gajah Mada. Gusti Harya Banendra diangkat sebagai penasehat Agung Sri Baginda Maha Raja, sedangkan Gusti Adityawardhana diangkat menjadi Manggala Yudha Kerajaan Agung Majapahit menggantikan Gusti Senapati Harya Banendra.
Indra Sambada diangkat menjadi Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja, menggantikan kedudukan Gusti Adityawardhana, didampingi oleh Gusti Tumenggung Manggala Muda Tamtama pengawal Raja Tumenggung Cakrawirya sebagai wakilnya.
***
Sebagai seorang kesatrya yang selalu ingat akan menepati janjinya, Gusti Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja, pada suatu hari berkenan berkunjung ke hutan Wonogiri dengan dikawal Lurah tamtama Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
Beliau turun dari kudanya, dikawal kedua lurah tamtama, dengan bersenyum lebar, setelah melihat penyambutan yang meriah dari Tambakraga berserta anak buahnya yang telah sejak pagi buta menantikan kedatangannya. Kyai Pandan Gede tak ketinggalan, hadir pula dalam penyambutan itu. Hal itu adalah tepat satu tahun berselang, sewaktu ketiga orang shakti itu bcrtemu dilereng Gunung Sumbing.
Yang Baskara masih duduk disinggasana dengan tenangnya, ditimur sejauh mata memandang dan telah naik segalah tingginya diatas permukaan bumi, menunjukkan bahwa hari masih pagi. Langit biru membentang bersih dan angin berlalu menampar pohon-pohon rindang yang menghamburkan daun-daun kering berterbangan untuk kemudian jatuh ke tanah. Sinar matahari memancar cerah dan membuat bayangan-bayangan hitam ditanah, melukiskan benda-benda yang tertimpa oleh cahayanya.
Hutan Wonogiri adalah lembah hutan lebat yang luas antara kali Bengawan disebelah timur dan kali Dengkeng disebelah barat, sedangkan disebelah utara adalah titik perpaduan kedua sungai itu yang merupakan kali tempuran, mengalir menjadi satu menunjukkan kali Bengawan yang besar. Disebelah selatan adalah tanah dataran tinggi yang membujur mengikuti mengalirnya kali Oya. Gunung Lawu nampak berdiri tegak ditimur sebelah utara, laksana Yaksa yang sedang duduk bersila, menengadah pancaran sinarnya matahari.
Tidak seorangpun akan mengira bahwa di tengah-tengah hutan belukar itu, terdapat sebuah gua yang luas tak ubahnya seperti bangunan rumah gedung besar yang berada dibawah tanah. Dengan diikuti semua anak buahnya, Tambakraga berturut-turut berlutut menyembah sewaktu menyambut kedatangan lndra Sambada.
“Kami merasa bahagia akan kunjungan Gustiku Senapati dihutan Wonogiri ini”, berkata demikian Tambakraga melepaskan sembahnya, sambil mengerahkan tenaga saktinya yang disalurkan ketelapak tangannya dan mengeluarkan angin dorongan kearah Indra Sambada yang sedang berdiri tegak.
Indra Sambada tertegun sesaat dan cepat mengerahkan pesatan tenaga dalamnya untuk menghadapi dan menghisap lenyap datangnya tenaga dorongan tadi, sambil berkata dengan diiringi senyuman lirih.
“Kedatanganku, bermaksud mengunjungi sahabat karibku yang bernama Tambakraga”. Dengan lenyapnya tenaga dorongan kiranya tenaga penghisap masih bersisa, dan merupakan daya tarik, sehingga Tambakraga tertunduk sedikit karenanya.
Tambakraga terkejut dan bulu tengkuknya berdiri, setelah menyaksikan sendiri akan kesaktian lndra Sambada yang ternyata lebih tinggi dari padanya.
“Gustiku Senapati adalah ksatrya sejati dan pantas menjadi junjungan kami, tetapi Tambakraga hanya berupa tonggak-tonggak kering di tengah-tengah hutan belukar tanpa arti”, Tambakraga menjawab dengan amat merendah.
Kyai Pandan Gede memejamkan matanya sesaat sambil bersenyum, menyaksikan pertemuan kedua orang sakti itu. Seakan-akan ia mengucap syukur kehadapan Dewata Yang Maha Agung, bahwa pertemuan kali ini tidak bersifat permusuhan.
Jaka Wulung dan Jaka Rimang berlutut pula dihadapan Kyai Pandan Gede, sebagaimana lazimnya seorang murid yang menghormat gurunya. Tiga orang sakti kini bertemu dalam suasana yang akrab, saling hormat menghormati, didalam ruangan yang luas serta indah disebuah gua dihutan.
“Sekedar memenuhi janji kita setahun yang telah lampau, tentunya Gustiku Senapati dan kakang Pandan Gede tidak berkeberatan untuk kita saling menghidangkan pertunjukan yang dapat kita nikmati bersama dalam pertemuan ini”. Tambakraga berkata tenang dengan bersenyum riang, sambil melanjutkan bicaranya. “Marilah, kita keluar sebentar, untuk pindah tempat duduk bercakap-cakap didepan gua sambil menghirup hawa yang sejuk”,
Berkata demikian Tambakraga mendahului bangkit berdiri dan melangkah keluar, diikuti Indra Sambada, Kyai Pandan Gede dan Jaka Rimang serta Jaka Wulung. Pandan Gede dan Indra Sambada saling berpandangan dengan mengerutkan keningnya masing-masing karena tidak mengetahui apa yang dikehendaki Tambakraga.
Namun mereka terus berjalan inengikuti dibelakang Tambakraga. Ternyata didepan gua telah digelar tikar babut permadani diatas tanah yang tak beratap itu, lengkap dengan hidangan makanan dan minuman serta buah-buahan segar. Tambakraga segera mempersilahkan para tamunya mengambil tempat duduk masing-masing serta kemudian memanggil seorang muridnya.
“Suta, ambilkan nampan yang berada dikamarku…… Perintahnya.
Sejenak kemudian Suta datang menghadap dan menyerahkan sebuah nampan yang berisikan enam buah pisau belati yang sama bentuknya dan besarnya, masing-masing sepanjang satu jengkal. Nampan diterima oleh Tambakraga dan diletakkan ditengah-tengah para tamu.
“Adi Tambakraga”, Pandan Gede bertanya dengan tidak sabar. “Apa maksudmu, adi menjamu kita dengan alat-alat yang tidak menyedapkan pandangan ini?
“Jangan kakang salah faham”, Tambakraga menjawab tenang. “Kali Ini aku ingin menghidangkan suatu pertunjukkan untuk menghormat Gustiku Senapati dan kakang Pandan Gede sendiri, tetapi setelah itu sayapun ingin melihat pertunjukan dari Gustiku Senapati dan dari kakang Pandan Gede sendiri sebagai hidangan yang akan kukenang sepanjang masa hidupku”.
Berkata demikian Tambakraga mengambil sebilah pisau belati untuk di timang-timang sambil duduk bersila. Kemudian pisau belati dilemparkan kearah sebuah batu sebesar padasan yang berada didepannya antara jarak dua puluh langkah.
Pisau belati melesat dari tangan Tambakraga dan tertancap setengah jengkal dalamnya dibatu yang besar itu, dengan tangkainya masih bergetar. Semua yang menyaksikan tertegun kagum memuji kehebatan Tambakraga dalam mengeluarkan kesaktiannya. Belum juga lenyap rasa herannya, Tambakraga mengulangi lagi lemparannya dengan sebatang pisau belati yang kedua. Dan pisau itu menancap tepat dibawah pisau belati yang pertama sedalam setengah jengkal pula dan merupakan suatu garis lurus dari atas kebawah.
Hanya terdapat retak sedikit karena kerasnya benda yang menjadi sasaran. Apabila sasarannya itu kayu ataupun pohon, mungkin tidak akan begitu mengagumkan. Kyai Pandan Gede dan Indra Sambada ketawa memuji setelah menyaksikan akan pertunjukkan yang mentakjubkan itu.
“Kakang Pandan Gede jangan mentertawakan pertunjukkanku yang dangkal ini”, Tambakraga berkata merendah. “Dan sekarang giliran kakang memulai menyuguh kami”.
“Ach……… adi Tambakraga, memang benar-benar orang yang berkeras hati”. Pandan Gede menjawab dengan ketawa nyaring. “Bagus, bagus…… bagus …… aku tidak akan berani menggurat diatas guratanmu”, berkata demikian Kyai Pandan Gede cepat meraih sebuah pisau belati dihadapannya dan dengan tangkasnya sambil duduk bersila melemparkan pisau belati kearah batu besar itu.
Dengan cepatnya pisau belati menancap dibawah pisau belati Tambakraga dan merupakan bentuk garis lurus menyambung goretan, diatas tangkainya kelihatan serempak dengan kedua tangkai yang lain. Pandan Gede melemparkan sekali lagi sebuah pisau belati yang kedua dan tertancap setengah jengkal dalamnya tepat dibawah pisau yang pertama, tetapi jelas bahwa sedikit keretakan dalam goretan tidak tampak ada.
“Aku menyerah kalah, kakang Pandan Gede…….” Tambakraga mengeluarkan kata-kata pujian. “Benar-benar aku harus meninggalkan hutan Wonogiri, untuk bertapa di Gunung Lawu”. Katanya dengan sungguh-sungguh. “Hanya sebelum aku meninggalkan gua yang penuh noda ini, ingin aku menyaksikan pertunjukkan dari Gustiku Senapati sekalipun berupa apa saja”.
“Saudaraku Tambakraga, memang pandai berkelakar, menghibur tamu-tamunya”. Indra menjawab. “Hanya sayang sekali aku tidak dapat melemparkan pisau”, Indra melanjutkan bicaranya dengan ketawa lirih. Dengan tidak diketahui dari mana tangan kanan Indra Sambada kini telah menggenggam sekuntum bunga kemboja. “Hanya sekuntum bunga inilah yang akan kupersembahkan kepada saudaraku Tambakraga”.
Berkata demikian Indra Sambada memegang bunga kemboja itu dengan jepitan ibu jari dengan telunjuknya, sebagaimana lazimnya seseorang yang memegang sebatang paser, untuk kemudian dengan pelan dilemparkan kearah batu besar itu.
Kerajaan Agung Majapahit kehilangan seorang Putra yang Besar. Namun semua itu adalah kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Manusia berhak berkabung dan menyesali, akan tetapi tidak kuasa menentang akan Kehendak-Nya. Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang terhadap semua umat-Nya.
Kehilangan seorang Putra Nuswantara yang besar tak perlu disesalkan. Patah tumbuh hilang berganti. Pahlawan-pahlawan Bangsa menyusul akan lahir, seperti tumbuhnya cendawan dimusim hujan.
Selama seratus hari Kerajaan Agung Majapahit beserta rakyat se Nuswantara dalam suasana berkabung. Dengan mangkatnya Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada susunan serta pemerintahan Kerajaan Majapahit mengalami perobahan dan pergeseran. Gajah Enggon diangkat menjadi Patih sebagai pengganti Sang Patih Gajah Mada. Gusti Harya Banendra diangkat sebagai penasehat Agung Sri Baginda Maha Raja, sedangkan Gusti Adityawardhana diangkat menjadi Manggala Yudha Kerajaan Agung Majapahit menggantikan Gusti Senapati Harya Banendra.
Indra Sambada diangkat menjadi Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja, menggantikan kedudukan Gusti Adityawardhana, didampingi oleh Gusti Tumenggung Manggala Muda Tamtama pengawal Raja Tumenggung Cakrawirya sebagai wakilnya.
***
Sebagai seorang kesatrya yang selalu ingat akan menepati janjinya, Gusti Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja, pada suatu hari berkenan berkunjung ke hutan Wonogiri dengan dikawal Lurah tamtama Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
Beliau turun dari kudanya, dikawal kedua lurah tamtama, dengan bersenyum lebar, setelah melihat penyambutan yang meriah dari Tambakraga berserta anak buahnya yang telah sejak pagi buta menantikan kedatangannya. Kyai Pandan Gede tak ketinggalan, hadir pula dalam penyambutan itu. Hal itu adalah tepat satu tahun berselang, sewaktu ketiga orang shakti itu bcrtemu dilereng Gunung Sumbing.
Yang Baskara masih duduk disinggasana dengan tenangnya, ditimur sejauh mata memandang dan telah naik segalah tingginya diatas permukaan bumi, menunjukkan bahwa hari masih pagi. Langit biru membentang bersih dan angin berlalu menampar pohon-pohon rindang yang menghamburkan daun-daun kering berterbangan untuk kemudian jatuh ke tanah. Sinar matahari memancar cerah dan membuat bayangan-bayangan hitam ditanah, melukiskan benda-benda yang tertimpa oleh cahayanya.
Hutan Wonogiri adalah lembah hutan lebat yang luas antara kali Bengawan disebelah timur dan kali Dengkeng disebelah barat, sedangkan disebelah utara adalah titik perpaduan kedua sungai itu yang merupakan kali tempuran, mengalir menjadi satu menunjukkan kali Bengawan yang besar. Disebelah selatan adalah tanah dataran tinggi yang membujur mengikuti mengalirnya kali Oya. Gunung Lawu nampak berdiri tegak ditimur sebelah utara, laksana Yaksa yang sedang duduk bersila, menengadah pancaran sinarnya matahari.
Tidak seorangpun akan mengira bahwa di tengah-tengah hutan belukar itu, terdapat sebuah gua yang luas tak ubahnya seperti bangunan rumah gedung besar yang berada dibawah tanah. Dengan diikuti semua anak buahnya, Tambakraga berturut-turut berlutut menyembah sewaktu menyambut kedatangan lndra Sambada.
“Kami merasa bahagia akan kunjungan Gustiku Senapati dihutan Wonogiri ini”, berkata demikian Tambakraga melepaskan sembahnya, sambil mengerahkan tenaga saktinya yang disalurkan ketelapak tangannya dan mengeluarkan angin dorongan kearah Indra Sambada yang sedang berdiri tegak.
Indra Sambada tertegun sesaat dan cepat mengerahkan pesatan tenaga dalamnya untuk menghadapi dan menghisap lenyap datangnya tenaga dorongan tadi, sambil berkata dengan diiringi senyuman lirih.
“Kedatanganku, bermaksud mengunjungi sahabat karibku yang bernama Tambakraga”. Dengan lenyapnya tenaga dorongan kiranya tenaga penghisap masih bersisa, dan merupakan daya tarik, sehingga Tambakraga tertunduk sedikit karenanya.
Tambakraga terkejut dan bulu tengkuknya berdiri, setelah menyaksikan sendiri akan kesaktian lndra Sambada yang ternyata lebih tinggi dari padanya.
“Gustiku Senapati adalah ksatrya sejati dan pantas menjadi junjungan kami, tetapi Tambakraga hanya berupa tonggak-tonggak kering di tengah-tengah hutan belukar tanpa arti”, Tambakraga menjawab dengan amat merendah.
Kyai Pandan Gede memejamkan matanya sesaat sambil bersenyum, menyaksikan pertemuan kedua orang sakti itu. Seakan-akan ia mengucap syukur kehadapan Dewata Yang Maha Agung, bahwa pertemuan kali ini tidak bersifat permusuhan.
Jaka Wulung dan Jaka Rimang berlutut pula dihadapan Kyai Pandan Gede, sebagaimana lazimnya seorang murid yang menghormat gurunya. Tiga orang sakti kini bertemu dalam suasana yang akrab, saling hormat menghormati, didalam ruangan yang luas serta indah disebuah gua dihutan.
“Sekedar memenuhi janji kita setahun yang telah lampau, tentunya Gustiku Senapati dan kakang Pandan Gede tidak berkeberatan untuk kita saling menghidangkan pertunjukan yang dapat kita nikmati bersama dalam pertemuan ini”. Tambakraga berkata tenang dengan bersenyum riang, sambil melanjutkan bicaranya. “Marilah, kita keluar sebentar, untuk pindah tempat duduk bercakap-cakap didepan gua sambil menghirup hawa yang sejuk”,
Berkata demikian Tambakraga mendahului bangkit berdiri dan melangkah keluar, diikuti Indra Sambada, Kyai Pandan Gede dan Jaka Rimang serta Jaka Wulung. Pandan Gede dan Indra Sambada saling berpandangan dengan mengerutkan keningnya masing-masing karena tidak mengetahui apa yang dikehendaki Tambakraga.
Namun mereka terus berjalan inengikuti dibelakang Tambakraga. Ternyata didepan gua telah digelar tikar babut permadani diatas tanah yang tak beratap itu, lengkap dengan hidangan makanan dan minuman serta buah-buahan segar. Tambakraga segera mempersilahkan para tamunya mengambil tempat duduk masing-masing serta kemudian memanggil seorang muridnya.
“Suta, ambilkan nampan yang berada dikamarku…… Perintahnya.
Sejenak kemudian Suta datang menghadap dan menyerahkan sebuah nampan yang berisikan enam buah pisau belati yang sama bentuknya dan besarnya, masing-masing sepanjang satu jengkal. Nampan diterima oleh Tambakraga dan diletakkan ditengah-tengah para tamu.
“Adi Tambakraga”, Pandan Gede bertanya dengan tidak sabar. “Apa maksudmu, adi menjamu kita dengan alat-alat yang tidak menyedapkan pandangan ini?
“Jangan kakang salah faham”, Tambakraga menjawab tenang. “Kali Ini aku ingin menghidangkan suatu pertunjukkan untuk menghormat Gustiku Senapati dan kakang Pandan Gede sendiri, tetapi setelah itu sayapun ingin melihat pertunjukan dari Gustiku Senapati dan dari kakang Pandan Gede sendiri sebagai hidangan yang akan kukenang sepanjang masa hidupku”.
Berkata demikian Tambakraga mengambil sebilah pisau belati untuk di timang-timang sambil duduk bersila. Kemudian pisau belati dilemparkan kearah sebuah batu sebesar padasan yang berada didepannya antara jarak dua puluh langkah.
Pisau belati melesat dari tangan Tambakraga dan tertancap setengah jengkal dalamnya dibatu yang besar itu, dengan tangkainya masih bergetar. Semua yang menyaksikan tertegun kagum memuji kehebatan Tambakraga dalam mengeluarkan kesaktiannya. Belum juga lenyap rasa herannya, Tambakraga mengulangi lagi lemparannya dengan sebatang pisau belati yang kedua. Dan pisau itu menancap tepat dibawah pisau belati yang pertama sedalam setengah jengkal pula dan merupakan suatu garis lurus dari atas kebawah.
Hanya terdapat retak sedikit karena kerasnya benda yang menjadi sasaran. Apabila sasarannya itu kayu ataupun pohon, mungkin tidak akan begitu mengagumkan. Kyai Pandan Gede dan Indra Sambada ketawa memuji setelah menyaksikan akan pertunjukkan yang mentakjubkan itu.
“Kakang Pandan Gede jangan mentertawakan pertunjukkanku yang dangkal ini”, Tambakraga berkata merendah. “Dan sekarang giliran kakang memulai menyuguh kami”.
“Ach……… adi Tambakraga, memang benar-benar orang yang berkeras hati”. Pandan Gede menjawab dengan ketawa nyaring. “Bagus, bagus…… bagus …… aku tidak akan berani menggurat diatas guratanmu”, berkata demikian Kyai Pandan Gede cepat meraih sebuah pisau belati dihadapannya dan dengan tangkasnya sambil duduk bersila melemparkan pisau belati kearah batu besar itu.
Dengan cepatnya pisau belati menancap dibawah pisau belati Tambakraga dan merupakan bentuk garis lurus menyambung goretan, diatas tangkainya kelihatan serempak dengan kedua tangkai yang lain. Pandan Gede melemparkan sekali lagi sebuah pisau belati yang kedua dan tertancap setengah jengkal dalamnya tepat dibawah pisau yang pertama, tetapi jelas bahwa sedikit keretakan dalam goretan tidak tampak ada.
“Aku menyerah kalah, kakang Pandan Gede…….” Tambakraga mengeluarkan kata-kata pujian. “Benar-benar aku harus meninggalkan hutan Wonogiri, untuk bertapa di Gunung Lawu”. Katanya dengan sungguh-sungguh. “Hanya sebelum aku meninggalkan gua yang penuh noda ini, ingin aku menyaksikan pertunjukkan dari Gustiku Senapati sekalipun berupa apa saja”.
“Saudaraku Tambakraga, memang pandai berkelakar, menghibur tamu-tamunya”. Indra menjawab. “Hanya sayang sekali aku tidak dapat melemparkan pisau”, Indra melanjutkan bicaranya dengan ketawa lirih. Dengan tidak diketahui dari mana tangan kanan Indra Sambada kini telah menggenggam sekuntum bunga kemboja. “Hanya sekuntum bunga inilah yang akan kupersembahkan kepada saudaraku Tambakraga”.
Berkata demikian Indra Sambada memegang bunga kemboja itu dengan jepitan ibu jari dengan telunjuknya, sebagaimana lazimnya seseorang yang memegang sebatang paser, untuk kemudian dengan pelan dilemparkan kearah batu besar itu.
Semua yang menyaksikan segera duduk dengan mulut ternganga penuh rasa kekaguman, setelah melihat dengan nyata, bahwa bunga kemboja itu dapat menancap sejari dalamnya, tepat diatas pisau belati yang tertancap paling atas sendiri dan merupakan hiasan yang indah dipandang.
Tambakraga beserta murid-muridnya melihat sekaligus dari dekat, seakan-akan tidak percaya apa yang telah dilihatnya.
“Gustiku Senapati junjungan hamba”. Tambakraga berkata dengan suara berat. “Ijinkanlah hamba, segera meninggalkan hutan Wonogiri ini untuk bertapa di Gunung Lawu. Hamba ingin menghabiskan sisa hidup hamba untuk mencuci semua noda diri hamba dan mengabdi pada Dewata Yang Maha Agung. Hamba hanya mohon doa restu dari Gusti Senapati dan kakang Pandan Gede serta para pinisepuh sekalian. Tolonglah kakang Pandan Gede menyampaikan berita ini kepada kakang Wiku Sepuh. Dan mulai saat ini namaku dengan disaksikan Gusti Senapati dan kakang Pandan Gede serta semua murid-muridku yang hadir disini kuganti dengan nama Tunggakraga”.
Mendengar kata-kata Tambakraga itu semua merasa terharu, tidak berdaya untuk mencegahnya. Kehendak hati Tambakraga sekeras baja yang tidak mungkin dapat ditundukkan oleh siapapun.
Pandan Gede berdiri dengan menganggukkan kepalanya, tidak mampu ia mengeluarkan kata-kata jawaban, untuk kemudian berlalu meninggalkan hutan Wonogiri menuju lereng Gunung Sumbing.
Sedangkan Tunggakraga meninggalkan hutan Wonogiri tanpa berpaling kembali, langsung menuju ke Gunung Lawu.
Indra Sambada dengan dikawal oleh Lurah tamtama Jaka Wulung dan Jaka Rimang berkuda, kembali menuju ke Kota Raja.
Tiga orang sakti bersimpang jalan dengan arahnya masing-masing, namun jelas satu tujuan ialah: “pengabdian”
Sejarah berjalan terus dengan kisah ceritanya yang tidak mengenal ujung, serta tanpa menghiraukan mengeringnya mata pena.
Siapakah Sujud dari manakah asalnya? dan apakah hubungannya dengan perang Bubat. Bacalah buku "PENDEKAR darah PAJAJARAN”
Tambakraga beserta murid-muridnya melihat sekaligus dari dekat, seakan-akan tidak percaya apa yang telah dilihatnya.
“Gustiku Senapati junjungan hamba”. Tambakraga berkata dengan suara berat. “Ijinkanlah hamba, segera meninggalkan hutan Wonogiri ini untuk bertapa di Gunung Lawu. Hamba ingin menghabiskan sisa hidup hamba untuk mencuci semua noda diri hamba dan mengabdi pada Dewata Yang Maha Agung. Hamba hanya mohon doa restu dari Gusti Senapati dan kakang Pandan Gede serta para pinisepuh sekalian. Tolonglah kakang Pandan Gede menyampaikan berita ini kepada kakang Wiku Sepuh. Dan mulai saat ini namaku dengan disaksikan Gusti Senapati dan kakang Pandan Gede serta semua murid-muridku yang hadir disini kuganti dengan nama Tunggakraga”.
Mendengar kata-kata Tambakraga itu semua merasa terharu, tidak berdaya untuk mencegahnya. Kehendak hati Tambakraga sekeras baja yang tidak mungkin dapat ditundukkan oleh siapapun.
Pandan Gede berdiri dengan menganggukkan kepalanya, tidak mampu ia mengeluarkan kata-kata jawaban, untuk kemudian berlalu meninggalkan hutan Wonogiri menuju lereng Gunung Sumbing.
Sedangkan Tunggakraga meninggalkan hutan Wonogiri tanpa berpaling kembali, langsung menuju ke Gunung Lawu.
Indra Sambada dengan dikawal oleh Lurah tamtama Jaka Wulung dan Jaka Rimang berkuda, kembali menuju ke Kota Raja.
Tiga orang sakti bersimpang jalan dengan arahnya masing-masing, namun jelas satu tujuan ialah: “pengabdian”
Sejarah berjalan terus dengan kisah ceritanya yang tidak mengenal ujung, serta tanpa menghiraukan mengeringnya mata pena.
Siapakah Sujud dari manakah asalnya? dan apakah hubungannya dengan perang Bubat. Bacalah buku "PENDEKAR darah PAJAJARAN”
TAMAT
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment