Ads

Monday, February 21, 2022

Pendekar Majapahit 018

Setelah menanti di Linggarjati dengan sabar, sebulan lamanya tiba-tiba dari arah kejauhan nampak duapuluh empat orang berkuda mendatangi. Debu mengepul tinggi dan suara ringkikan kuda terdengar bersaut-sautan. Mereka memacu kudanya dan berebut saling susul menyusul untuk mendahului sampai ditempat yang dituju.

Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya berdiri ditempat yang agak tinggi mengawasi rombongan orang-orang berkuda yang kian mendekat. Tetapi alangkah terkejutnya, setelah melihat dengan saksama bahwa yang datang dalam rombongan itu tidak terdapat para utusannya.

Namun jelas, bahwa mereka adalah orang-orang bekas para perwira tamtama Pajajaran, dengan melihat dari pakaiannya yang dikenakan. Indra Sambada dan Cakrawirya diam sesaat saling berpandangan dengan mengerutkan kening masing-masing.

“Melihat para pendatang berkuda itu hatiku merasa was-was, dimas Indra”. Cakrawirya berkata membuka isi hatinya.

“Sayapun demikian halnya, kangmas Cakrawirya”, jawab Indra Sambada dengan masih mengerutkan kening. “Sebaiknya kita bersikap tenang dan hati-hati kangmas”.

“Hendaknya para tamtama pengawal cepat bersembunyi disekitar tempat ini, sedangkan kita berdua menyambut kedatangannya”, Cakrawirya memberikan saran dengan rasa penuh kecemasan.

“Jud”. Indra Sambada memanggil Sujud. dan segera Sujud lari mendatangi.

“Lekas kau panggil salah seorang tamtama menghadapku”. Sesaat kemudian Sujud kembali bersama salah seorang tamtama.

“Lekas perintahkan kawan-kawanmu semua untuk bersembunyi disekitar tempat ini, jangan jauh-jauh, siapkan senjata masing-masing dan menunggu perintahku, nanti jika mendengar seruan dariku atau dari Gustimu Tumenggung Cakrawirya jangan ragu ragu lagi seranglah para pendatang itu”. Indra Sambada memberi perintah dengan tegas serta sambil menunjuk ke arah orang-orang berkuda yang kian mendekat. “Sujud supaya disembunyikan pula”. perintahnya kemudian.

Tamtama dan Sujud cepat meninggalkan tempat itu, untuk kemudian bersama-sama sembilan tamtama lainnya bersembunyi disemak-semak sekitar rumah pesanggrahan darurat. Kini orang-orang berkuda telah tiba didepan pasanggrahan.

Duapuluh orang pendatang itu segera berpencaran mengepung rumah pesanggrahan, sedangkan empat orang diantaranya turun dari kuda dan langsung memasuki pesanggrahan yang segera disambutnya oleh Indra Sambada dan Cakrawirya, dengan sikap sopan dan tenang.

Tetapi dibalik ketenangan, kedua perwira itu tidak meninggalkan kewaspadaannya. Keempat orang itu memakai pakaian seragam hitam dari sutra dengan gambar lukisan kepala harimau didadanya masing-masing tersulam dari benang emas.

Tidak salah lagi bahwa orang yang tinggi besar berjalan di depan sendiri adalah Kertanatakusumah atau terkenal dengan sebutan Kerta Gembong. Menyusul kemudian dibelakangnya seorang bertubuh tinggi besar pula dengan berkumis dan berjenggot lebat, bernama Jaksa kusuma. Kemudian seorang tua kurus tinggi dengan mukanya yang penuh coretan bekas luka, ialah Elang kusuma dan orang yang keempat bertubuh pendek kecil, dengan raut muka bersih dan sinar pandangannya yang tajam. Ia bernama Gandakusuma.

Ke empatnya bersenjatakan pedang yang tergantung dipinggang kiri dan sebuah golok pendek diselipkan dipinggang kanan agak menonjol kedepan. Melihat cara turun dari pelana kudanya, sudah dapat diketahui bahwa keempat orang itu memiliki ketangkasan yang tak dapat dipandang ringan.

Tiga diantara dua puluh orang yang mengurung rumah pesanggrahan darurat itu berdiri didepan pintu dengan memakai jubah sutra berwarna abu-abu. Melihat bentuk tubuh dan warna mukanya, mereka adalah tiga bersaudara, terkenal dengan nama gelarnya sebagai parangjingga dari Gunung Guntur. Hal ini dikarenakan adanya tanda lukisan sebuah golok merah yang tersulam didada jubahnya dan memang mereka adalah orang-orang sakti dari Gunurig Guntur yang waktu itu diminta bantuannya oleh Kartanata kusumah untuk membalas dendam membinasakan para perwira tamtama yang berada di Linggarjati.

Ketiga para berjubah abu-abu itu masing-masing bersenjata, yang tertua memegang tongkat besi, sepanjang setengah depa dengan sebuah golok panjang, yang kedua bersenjatakan dua batang golok pendek, sedangkan yang termuda bersenjatakan kampak dan golok pendek yang terselip dipinggangnya kanan kiri.

“Wahai Tumenggung Indra Pendekar Majapahit”. Kertanata kusumah mulai bicara dengan lantangnya: “Bukankah kita dahulu pernah bertemu dipinggir kali Bengawan?”. Suaranya terdengar jelas menggetar, disertai daya kekuatan bathin yang cukup menegakkan bulu roma.

Cepat Indra Sambada memusatkan tenaga bathinnya dengan menjawab tenang dan sambil bersenyum.

“Daya ingatan Tumenggung Kertanata kusumah kuat sekali. Benar dugaanmu. saya adalah indra Sambada yang pernah bertemu denganmu didesa Trinil dahulu”, berkata demikian Indra Sambada sengaja menyalurkan daya tenaganya yang telah terpusat itu melalui suara dan terkejutlah keempat orang yang berada dihadapannya, karena bajunya bergetar seperti tertiup angin kencang.

“Tidak terduga, bahwa gelar Pendekar Majapahit bukan merupakan gelar yang kosong belaka”. sahut Kertanata kusumah kembali dengan wajah merah padam menahan kemarahan, tetapi cepat ia dapat menguasai kembali ketenangannya serta melanjutkan bicaranya:

“Ketahuilah, demi untuk berdirinya kembali Kerajaan Pajajaran, Tuan-tuan supaya menyerah sebagai tawanan kami”.

“Bedebah pemberontak!!. Kamu semua yang harus menyerah menjadi tawanan kami !!” Cakrawirya dengan tak sabar membentak lantang, sambil menyerang dengan pedang tamtamanya kearah leher Kertanata kusumah.

Keempat bekas perwira Pajajaran serentak menyambut serangan dan sebentar kemudian terjadi pertempuran sengit. Ternyata keempat lawannya memiliki ketangkasan yang tangguh. Tiga orang berjubah abu-abu masih tetap berdiri dengan tenang dan mengawasi jalannya pertempuran dengan acuh tak acuh. Seolah-olah mereka yakin, bahwa keempat orang kawannya dapat merobohkan Indra Sambada dan Cakrawirya.

Tetapi dugaan itu semakin lama semakin jauh dari kenyataan. Kini pertandingan merupakan dua kalangan, Indra Sambada menghadapi Kertanata kusumah dan Elang kusuma, sedangkan Tumenggung Cakrawirya menghadapi Jaksa kusuma dengan Ganda kusuma.

Pedang ditangan lndra Sambada bergerak cepat seperti menarinya kupu-kupu dan menyilaukan pandangan mata yang melihatnya. Beradunya senjata sebentar-sebentar mengeluarkan percikan api yang berpijar dengan diiringi suara gemerincingan nyaring.

Cakrawiryapun menunjukkan ketangkasannya yang menakjubkan. Pedangnya dapat berputaran cepat laksana perisai baja, untuk membatalkan semua serangan senjata yang datang kearahnya. Dan kemudian dengan tidak terduga-duga berobah menjadi gerakan serangan tusukan dan babatan yang sangat berbahaya.

Tetapi Gandakusuma yang pendek kecil itu memiliki ketangkasan yang tak kalah mengagumkan. Gerakkannya sangat lincah dan serangannya disertai tenaga yang dahsyat. Seakan-akan merupakan burung bersayap yang menyambar-nyambar mangsanya.

Sungguhpun Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya masing-masing melawan dua orang tangguh, namun kelihatan masih tetap seimbang. Kertanata kusumah yang telah mengenal kesaktian Indra Sambada, kini bertindak sangat berhati-hati sekali, Ia tidak berani menyerang dengan tendangan dan selalu menghindari beradunya gempuran tenaga.



Tangan kanannya memegang pedang sedangkan yang tangan kiri memegang golok pendek. Sebentar-sebentar berloncatan dengan seruan nyaring diiringi gerakan serangan memakai kedua senjatanya. Tetapi tiba-tiba Indra Sambada mengikuti berloncatan dengan serangan pedangnya yang lebih cepat dan memusingkan kepala lawan.

Dengan tidak diketahui bagaimana caranya tiba-tiba Elang kusuma menjerit ngeri dan melompat surut kebelakang dengan sebuah lengannya terbabat kutung. Ia melesat lari meninggalkan gelanggang dan jatuh terkulai dihalaman pesanggrahan dengan mandi darah.

Melihat robohnya Elang kusuma, seorang termuda yang berjubah abu-abu segera menerjang Indra Sambada dengan ayunan kampaknya, membantu Kertanata kusumah yang telah terdesak kesudut. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya senjata kampak dipapaknya dengan pedang Indra Sambada, sambil berseru nyaring.

“Lepas senjatamu……” Tak ayal lagi kampak terpental jatuh ditanah empat langkah jauhnya.

Ternyata sewaktu pedang berkelebat memapaki datangnya kampak Indra Sambada sempat pula melancarkan tendangan yang tepat mengenai pergelangan tangan lawan yang memegang kampak.

Dua orang kakaknya yang berjubah abu-abu melihat kagum, bahwa kampak adiknya dalam satu gebrakan dapat lepas dari genggaman dan terpental jatuh. Kedua-duanya segera ikut menyerbu Indra Sambada dengan masing-masing senjatanya. Bersamaan dengan itu terdengar suara Cakrawirya memerintah para tamtama.

“Serbu lawan semua !!!”. Sepuluh orang tamtama yang bersembunyi berloncatan menerjang orang-orang yang mengurung pesanggrahan.

Kini pertempuran menjadi berkobar sengit seketika. Sungguhpun mereka tahu bahwa lawannya memang dalam jumlah besar, akan tetapi para tamtama Kerajaan dengan gigihnya menerjang lawan dengan bersemboyan pantang menyerah.

Jika para tamtama rata-rata satu orang menghadapi dua orang lawan, demikian pula Tumenggung Cakrawirya, maka Indra Sambada kini menghadapi empat orang lawan yang sangat tangguh-tangguh.

Kertanata kusumah yang tadi telah terdesak kesudut, kini dapat bergerak leluasa karena bantuan dari tiga orang saudara parangjingga. Ternyata gerakan serangan keempat orang itu kini merupakan serangan dengan silih berganti serta saling membantu dalam satu ikatan rasa.

Menghadapi serangan yang rapih itu, Indra Sambada merasa terdesak dan tak ada kesempatan untuk membalas menyerang. Dalam hatinya ia kagum akan gerakan lawan yang merupakan gerakan persamaan seirama.

Demi melihat Tumenggung Cakrawirya dapat mendesak dua orang lawannya yang tangguh, Indra Sambada semangat tempurnya menjadi bertambah. Dalam saat yang sangat terdesak itu, Indra Sambada dengan ketenangannya masih sempat pula menghindari serangan-serangan sambil melancarkan serangan balasan sekedar untuk mengacau kedudukan lawan.

Diluar pesanggrahan pertempuran tak kalah sengitnya. Suara jeritan mengerikan susul-menyusul terdengar dengan diiringi suara jatuhnya para korban yang bergelimpangan. Seorang tamtama Kerajaan dengan tangkasnya melesat naik kuda dengan membawa Sujud serta memacu kudanya kearah Timur dengan tujuan kembali ke Banyumas untuk melapor kepada Tumenggung Sunata.

Sambil memacu kudanya tamtama itu memutar pedang dibelakang punggungnya sebagai perisai untuk menangkis serangan lima batang anak panah yang melesat mendatang. Untunglah bahwa satu batang anak panahpun tidak melukainya, akan tetapi karena terkejutnya seekor burung merpati terlepas dari genggaman Sujud dan terbang tinggi menghilang kearah timur.

Dengan menangis tersedu-sedu, Sujud menyesali akan kecerobohan tindakannya. Ia selalu ingat akan pesan Indra Sambada. bahwa burung merpati itu jangan dilepaskan jika tanpa ijinnya. Tidak henti-hentinya si tamtama berkata menghiburnya, bahwa perbualan yang telah terlanjur tidak perlu disesali lagi. Dan atas kesalahannya itu iapun akan turut bertanggung jawab.

Waktu itu pertempuran masih berlangsung terus dengan serunya. Tiba-tiba empat orang Pajajaran dapat menerobos masuk pesanggrahan dan langsung menyerang Tumenggung Cakrawirya yang sedang mendesak kedua lawannya. Serangan gencar yang akan mematikan lawannya itu, segera ditariknya kembali, untuk menangkis dan menghindari datangnya serangan empat orang yang tiba-tiba. Tumenggung Cakrawirya menjadi sibuk dan berloncatan kian kemari, untuk menghindari serangan yang dahsyat dari enam orang lawan sekaligus. Semakin lama Tumenggung Cakrawirya semakin terdesak, dan bahkan dalam keadaan yang sangat berbahaya.

Dua senjata pedang menyerang merangsang kearah lehernya, dan tiga golok pendek menyambar kearah pahanya masih pula disusul berkelebatnya pedang yang langsung menerjang dari atas kearah kepalanya.

Melihat Tumenggung Cakrawirya dalam keadaan yang sangat berbahaya, Indra Sambada mengerahkan seluruh tenaganya. Dengan berseru nyaring yang memekakkan telinga, ia meloncat tinggi menghindari serangan yang datang bertubi-tubi kearahnya, menerjang para penyerang Tumenggung Cakrawirya dengan sabetan pedang berangkai.

Serangan maut yang tiba-tiba itu tak diduga sama sekali oleh para penyerang Tumenggung Cakrawirya. Sebuah pedang dan dua buah batang golok lawan terpental dan jatuh gemerincingan di tanah, disusul dengan suara jeritan ngeri dari Jaksa kusuma yang jatuh terkapar ditanah dengan pundaknya bermandikan darah, terkena sabetan pedang Indra Sambada.

Akan tetapi sebelum Indra Sambada berpijak ditanah kembali sebatang golok pendek beracun berkelebat dan menancap dipunggung lndra Sambada. Itulah lemparan dahsyat dari seorang tertua parangjingga Gunung Guntur yang terkenal memiliki kesaktian tangguh.

Tetapi dengan pengerahan tenaga yang telah terpusat, Indra Sambada dengan golok tertancap di pundak kirinya, masih dapat melancarkan serangan rangkaian dengan satu tusukan pedang yang tepat mengenai dada Ganda kusuma, yang kemudian jatuh terkulai di tanah dan tidak dapat berkutik lagi.

Tetapi bersamaan dengan robohnya Ganda kusuma, sebuah tongkat besi berkelebat kearah pinggangnya dengan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat. Indra Sambada berseru melesat tinggi surut kebelakang menghindari sabetan tongkat besi yang hampir menyentuh pinggangnya, sambil merogoh sebutir pel pemunah racun yang berada dalam kantongnya untuk kemudian ditelannya. Hal ini dilakukan, karena pundaknya terasa pedih dan tangan kirinya mulai tak dapat digerakkan.

Akan tetapi perbuatan itu justru menghambat gerakannya dalam menghindari serangan yang bertubi-tubi. Kembali Kertanata kusumah merangsang dengan sabetan goloknya yang tepat mengenai paha kanan Indra Sambada dan susulan sabetan tongkat besi dari parangjingga tertua bersarang dibetisnya. Dengan suara tertahan, Indra Sambada roboh terguling di tanah.

Waktu itu hari telah mulai gelap remang-remang dan senja baru saja berlalu. Sesaat kemudian menyusul robohnya Tumenggung Cakrawirya dengan lengan kanan terluka dan pedangnya terpental jatuh sejauh lima langkah. Bersamaan dengan robohnya Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya, tiba-tiba empat bayangan berkelebat terjun dalam kancah pertempuran.

Dua diantaranya dengan tangkas menyambar tubuh Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya untuk kemudian menyelinap dikegelapan, sedangkan dua orang lagi dengan bersenjatakan tongkat penjalin mengamuk menerjang para penyerang yang datang bergelombang silih berganti.

Itulah Watangan dan Landeyan yang diperintahkan oleh Kjai Wiku Sepuh untuk menyusul perjalanan Indra Sambada. Sedangkan dua bayangan yang menyelamatkan lndra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya adalah Waspada Paniling dan Wasangka Pandulu, sesepuh pamong murid dari padepokan lereng Gunung Sumbing. Kini dihalaman lebih dari sepuluh orang bergelimpangan menjadi mayat, belum terhitung yang merintih-rintih karena luka berat.

Sewaktu Watangan dan, Landejan bertempur mati-matian untuk menghadapi lawan yang jauh tak seimbang jumlahnya, kini datang bayangan berloncatan menyerbu membantunya. Ternyata mereka adalah Wirahadinata, Jaka Rimang Lurah Durpada dan para perwira Pajajaran serta tokoh-tokoh rakyat Pajajaran yang datang untuk memenuhi undangan Indra Sambada.

Satu bentakan yang nyaring dan berpengaruh menggema memekakkan telinga, memaksa berhentinya pertempuran seketika.

“Berhenti !!I! Dan tahan senjata”. Suara itu demikian dahsyat pengaruhnya, sehingga dengan tidak terasa semua melepaskan senjata masing-masing, dan bergemerincingan jatuh ditanah.

Syaraf-syaraf yang tadinya tegang dirasakan lemah dan mengendur. Semua orang yang tadi bertempur dengan sengit kini tidak berdaya dan hanya berdiri dengan mulut ternganga memandang kesatu jurusan kearah datangnya suara. Dengan tidak diketahui datangnya, seorang berjubah kuning keemasan telah berdiri diambang pintu dengan seekor harimau kumbang yang besar disampingnya.

“Hai…… Kesatrya-kesatrya Pajajaran” nada suaranya berat dan berpengaruh namun kata demi kata terdengar jelas dan suaranya mendatangkan rasa ketenangan. “Demi tergalangnya persatuan se Nuswantara, aku harap para ksatrya Pajajaran segera mentaati akan perintah-perintah Tumenggung lndra Sambada Pendekar Majapahit yang bijaksana. Ketahuilah bahwa kita semua rakyat Pajajaran ataupun rakyat Majapahit adalah satu keturunan. Lenyapkan rasa permusuhan dan bersatulah di bawah naungan satu Iambang kebesaran Sang Gula Klapa. Dalam abad-abad yang akan datang, aku percaya bahwa para ksatrya Pajajaran akan menurunkan pahlawan-pahlawan Nuswantara yang dituliskan dengan tinta emas dalam sejarah……. Taatilah pesanku ini…… Datangnya Pendekar Majapahit ini adalah lambang tergalangnya persatuan kembali. Sambutlah dia sebagai pahlawan pengemban amanat penderitaan rakyat.

Berkata demikian beliau menunjuk kearah datangnya dua orang yang membimbing Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya. Semua orang berpaling ke arah yang ditunjuk. Dan pada saat itulah beliau dengan harimau kumbangnya melesat di kegelapan, lenyap dari pandangan tidak berbekas. Seakan-akan beliau dapat menghilang dengan kesaktiannya.

Hanya suara mengaumnya harimau terdengar dari kejauhan: Inilah pendeta tertua dari Pajajaran yang bergelar Ajengan Cahaya Buana, dan bersemayam disebuah goa di Gunung Tangkubanprahu. Tak seorangpun mengetahui nama aslinya. Harimau kumbang peliharaannya tak pernah berpisah dengannya, dimanapun beliau berada. Orang banyak hanya mendengar nama dan mengenyam jasa-jasanya, namun jarang yang pernah melihat wajahnya.

Beliau terkenal seorang pertapa sakti yang selalu mendatangkan kesejahteraan dan ketenteraman. Banyak dongengan rakyat tentang Ajengan Cahaya Buana ini dengan tambahan tafsiran yang bermacam-macam coraknya. Ada yang menceritakan, bahwa beliau adalah pertapa sakti yang dapat menghilang dan ada pula yang menceritakan bahwa Ajengan Cahaya Buana adalah keturunan dewa dan harimau kumbangnya adalah jelmaan dari seorang pertapa pula. Bahkan ada dongengan rakyat yang menceritakan bahwa pertapa sakti itu sebenarnya telah wafat, sedangkan sekarang yang masih ada rohnya saja.

Namun semua cerita itu tidak ada yang benar. Kenyataannya adalah bahwa Ajengan Cahaya Buana adalah pertapa shakti dengan piaraannya harimau kumbang yang setia, dan beliau adalah pecinta kedamaian serta pencinta kesejahteraan rakyat tanpa pamrih, dan sebagai seorang pertapa yang menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, mengejar kemulyaan abadi.

Kini mereka semua merasa seperti terhisap tenaganya, dan tanpa diperintah semua membungkukkan badannya menyambut datangnya Indra Sambada. Dikala itu malam bulan purnama. Langit cerah dan bulan memancarkan cahayanya menerangi remang-remang seluruh alam dan malampun kemudian menjadi pagi…….

Para bekas perwira tamtama Pajajaran dan Narapraja serta tokoh-tokoh rakyat Pajajaran barsatu padu menunggu suara keputusan Indra Sambada. Mereka semua duduk berjajar dalam pertemuan yang sangat akrab.

Sementara itu orang-orang yang terluka dirawat dan di obati seperlunya, sedangkan jenazah-jenazah yang bergelimpangan telah pula dirawat dan dikubur dengan upacara selayaknya. Mereka gugur sebagai ksatrya semua, dalam mempertahankan pendapatnya. Lawan ataupun kawan akan tetap menghargai kepahlawanan mereka…….

“Kini saya telah banyak mengetahui tentang daerah Pajajaran dengan rakyatnya yang sebenarnya”, Indra Sambada mulai membuka pertemuan. “Ketahuilah, Tuan-tuan, bahwa tidak ada lagi yang saya salahkan dan tidak ada lagi yang saya sesalkan atas kejadian-kejadian yang telah berselang. Semua itu hanya terdorong oleh nafsu mempertahankan pendirian masing-masing yang tak dipertimbangkan lebih jauh. Tapi saya percaya, bahwa Tuan-tuan semua adalah pencinta tanah tumpah darah. Sebagaimana dijelaskan Ajengan Cahaya Buana, kita semua adalah satu keturunan dan merupakan satu bangsa. Tanah air kita bukan hanya merupakan sebidang halaman dan rumah dimana kita masing-masing dilahirKan, akan tetapi se Nuswantara”,

sampai disini Indra Sambada berhenti sejenak dengan memandang tajam, menyapu wajah hadirin samua. Suaranya tenang, penuh dengan perbawa. Semua menundukkan kepala dan mendengarkan dengan khikmad.

“Tuan-tuan, saya sebagai Manggala Muda Tamtama Kerajaan, menjunjung titah Gustiku Senapati Manggala Yudha untuk memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang timbul, demi tercapainya persatuan se Nuswantara. Apabila kita semua bersatu padu, maka ketentraman dan kesejahteraan rakyat akan terwujud. Kita dapat bersatu-padu, apabila kita semua membuang jauh-jauh sifat ke akuan, dan sifat kesukuan. Kita semua adalah satu keturunan dalam satu pimpinan Kerajaan ialah Kerajaan Majapahit dibawah naungan satu lambang keagungan, ialah bendera Gula Klapa. Ketahuilah Tuan-tuan, bahwa apabila kita terpecah-belah bercerai-berai, maka bangsa kulit kuning akan mudah mencengkeram kita, untuk kemudian menindas dan memusnahkan kita. Bahaya kulit kuning selalu mengancam dan menunggu kelengahan kita. Hanya persatuanlah yang merupakan perisai Negara yang terkuat.

Maka marilah Tuan-tuan bersama kami mencurahkan jiwa raga kita untuk terwujudnya, persatuan se Nuswantara sebagai pengabdi Kerajaan Majapahit yang setia. Amalkan kesaktian Tuan-tuan untuk mempertahankan tanah air yang luas ini dan mempertahankan lambang kebesaran kita Sang Gula Klapa”.

Semua hadirin diam tertunduk dan tidak seorangpun membantah keterangan Indra Sambada sebagai pengemban titah Kerajaan. Dengan persetujuan para hadlirin semua, Indra Sambada berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang ada padanya mengangkat Wirahadinata dan para bekas narapraja serta tokoh-tokoh rakyat Pajajaran yang telah menunjukkan kesetiaannya, serta mengucapkan sumpah setia terhadap kerajaan Agung Majapahit, menjadi punggawa narapraja ditempat masing-masing.

Sedangkan para bekas perwira tamtama Pajajaran yang menyatakan setianya, akan dihadapkan kehadapan Gusti Senapati Manggala Yudha Harya Banendra. Dengan demikian, maka bekas Kerajaan Pajajaran menjadi daerah bagian dari pada Kerajaan Agung Majapahit dan sejarahnyapun selanjutnya akan mengikuti perkembangan Kerajaan Majapahit.

Semua merasa puas akan keputusan yang tegas dan bijaksana yang digariskan oleh Indra Sambada. Dengan membayangkan hidup rukun damai sejahtera di tengah-tengah keluarga masing-masing yang segera mendatang, menggerakkan rasa gembira, penuh keharuan. Semua segera bersemadi, sembahyang dalam pimpinan Indra Sambada, untuk mengucapkan rasa terima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa atas kemurahanNya yang dilimpahkan. Dan hari itu dirayakan dengan pesta sederhana.

Dengan akrabnya mereka bercakap-cakap, menceritakan pengalaman masing-masing, sambil menikmati hidangan pesta yang dihadapi. Suasana menjadi gembira ria. Ternyata Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya telah sembuh kembali, karena mujarabnya obat-obat yang diberikan Waspada Partiling dan Pandulu serta pengobataan dari Wirahadinata. Pun racun yang merangsang pada tubuh Indra Sambada telah punah semua, karena mujarabnya pel pamunah racun yang dibekalnya sendiri, hasil pemberian dari Cek Sin Cu yang tinggal sebutir itu, dan kini telah ditelannya sendiri.

Selagi mereka tenggelam dalam bersukaria, dari arah kejauhan kelihatan pasukan tamtama Kerajaan berkuda mendatang. Semakin lama semakin dekat, dan kini nampak jelas, bahwa yang berada didepan sendiri adalah Tumenggung Sunata dengan Sujud, di apit-apit oleh dua tamtama kerkuda dengan membawa panji-panji kebesaran.

Indra Sambada segera memerintahkan Jaka Rimang dan lima orang tamtama berkuda menyambut kedatangan Tumenggung Sunata beserta pasukannya. Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya berdiri diketinggian dengan melambaikan tangan.

Daerah yang selalu sunyi sepi, kini berubah menjadi sangat ramai, penuh dengan tamtama berserta para priyagung. Mereka semua segera turut serta berpesta pora. Setelah berjumpa kembali dengan Indra Sambada, serta diketahui bahwa ia dalam keadaan sehat wal'afiat serta gembira. Sujud menari-nari dengan penuh kegembiraan. Ia selalu duduk berdekatan dengan Indra Sambada, seakan-akan tidak mau berpisah lagi.

Tumenggung Sunata turut pula bersuka ria, dan tidak henti-hentinya ia memuji akan keberanian dan kebijaksanaan lndra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya. Untuk merayakan hari yang bahagia itu semua akan tinggal di Linggarjati tiga hari lagi, sambil menunggu sembuhnya para tamtama yang terluka. Belum juga tiga hari berlalu, pasukan besar dari Kerajaan yang dipimpin sendiri oleh Gusti Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Adityawardhana datang berkunjung ke Linggarjati. Semua menyambut kedatangannya dengan tergopoh-gopoh karena kedatangan beliau beserta pasukan adalah diluar dugaan.

Kiranya setelah burung merpati yang terlepas dari genggaman tangan Sujud tiba di Istana Senapaten, tanpa membawa berita sedikitpun, Gusti Adityawardhana meraba-raba dengan penuh kecemasan akan nasib Indra Sambada bersama kawan-kawannya. Beliau segera berangkat dengan membawa pasukan besar dengan panji-panji atas perintah Gusti Senapati Harya Banendra untuk menghadapi segala kemungkinan. Amanat Gusti Senapati Manggala Yudha Harya Banendra tegas.

Demi tercapainya persatuan dan ketenteraman se Nuswantara, jika di pandang perlu, ujung pedang harus turut berbicara. Berdasarkan amanat itulah, beliau membawa pasukan berkuda berkekuatan 1000 orang tamtama, dengan membawa perbekalan yang Iengkap.

Demi melihat hasil Indra Sambada yang gilang gemilang, beliau turut ketawa lebar. Dengan bangga Indra Sambada di sanjung sanjung dan ditepuk tepuk bahunya. Pesta yang semula hanya dilakukan sederhana, mendadak sontak berubah menjadi pesta pora yang besar. Tenda-tenda dipasang, perbekalan-perbekalan diturunkan untuk melengkapi pesta pora yang besar itu.

Panji berkibar diatas perkemahan tenda-tenda dengan megahnya. Dalam pesta pora itu beliau berdasarkan wewenang penuh, berkenan pula mengangkat syah para bekas perwira tamtama Pajajaran menjadi perwira tamtama Kerajaan menurut tingkatan masing-masing dengan disesuaikan berdasarkan kecakapan dan pengalaman. Pesta ditutup. Tenda-tenda dilipat.

Para narapraja yang baru diangkat oleh Sambada menyembah kehadapan Gusti Adityawardhana Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja, untuk mohon diri dan mohon doa restunya dalam menunaikan tugas masing-masing. Setelah mereka berpamitan dengan para priyagung semua, mereka berangkat bersimpang jalan menuju arah daerahnya masing-masing. Kecuali Wirahadinata yang bermaksud akan ke Ngawi terlebih dahulu untuk memboyong istrinya ke Indramaju, ia diperkenankan turut serta dalam rombongan pasukan besar sampai dikali Bengawan.

Para tamtama telah siap duduk dipelana kudanya masing-masing. Tumenggung Tamtama Sunata memberikan aba-aba. Genderang dipukul bertalu-talu dan pasukan besar berkuda mulai bergerak meninggalkan Linggarjati menuju kearah timur. Panji-panji kebesaran tamtama Kerajaan Agung Majapahit berkibar-kibar dengan megahnya dibawa empat orang tamtama berkuda yang berjalan didepan sendiri, mengapit Sang Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti Adityawardhana.

Dibelakangnya menyusul tiga penunggang kuda berjajar, ialah Tumenggung Sunata, Tumenggung Indra Sambada dengan Sujud dan Tumenggung Cakrawirya. Kemudian menyusul lagi berjajar berkuda, para perwira tamtama yang baru diangkat. Dan terakhir pasukan besar tamtama berkuda laksana air bah. Semua mengenakan pakaian kebesaran dengan tanda dan warnanya masing-masing menurut tingkatan dan kesatuannya.

Rakyat berduyun duyun datang menyambut dengan sorak sorai disepanjang jalan yang dilalui, dengan rasa bangga akan pasukan besar Kerajaan Agung Majapahit. Mereka melambai-lambaikan tangan dan mengawasi dengan penuh kekaguman sampai dikejauhan. Sang Senapati beserta para perwira tamtama membalas melambaikan tangan pula kepada rakyat yang berjejal-jejal berdiri di-pinggir-pinggir jalan.

**** 018 ****





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment