Dengan pakaian baru itu, lndra Sambada kelihatan tampan dan gagah, sedangkan Sujud mirip dengan seorang putra bangsawan. Pakaian atasnya dari sutra berwarna merah muda, dengan celana panjang berwarna biru tua, serta memakai sarang tenun benang, sutra buatan daerah Garut yang telah terkenal. Ikat kepalanya, pita sutra kuning.
Sujud memakai ikat kepala lehar segitiga dari sutra warna kuning pula, dengan baju sutra berwarna merah muda, dan memakai sarung tenun benang sutra dilipat sampai diatas lututnya. Celananya Panjang kepalang sampai dibawah lututnya, berwarna merah tua. Sebentar-sebentar Sujud meraba halusnya pakaian sutra yang dikenakan itu, dengan ketawa gembira dan wajahnya kelihatan berseri-seri. Kiranya seingat dia baru kali inilah ia mengenakan pakaian seindah dan samahal ini. Mereka segera kembali lagi kepasar yang masih sesak dengan pengunjung dan langsung memasuki sebuah warung makan.
Memang warung itu hanya khusus disediakan untuk para pedagang-pedagang besar serta para hartawan yang sedang berbelanja. Masakannya terkenal lezat dengan pelayan-pelayannya wanita yang cantik-cantik. Dengan tidak menghiraukan tamu pengunjung yang lain, Indra Samhada dan Sujud mengambil tempat duduk yang masih kosong, serta memesan makanan dan minuman yang dikehendaki,
Dengan gaya sebagai seorang hartawan, Indra Sambada memerintah pelayan wanita membelikan sebuah sangkar guna menempatkan merpati yang dipegang Sujud. Uang emas sepotong dilemparkan pada pelayan wanita yang diperintah tadi, yang olehnya segera diterimanya dengan senyum gairah yang menarik. Uang kembalinya sengaja diberikan semua kepada pelayan wanita itu, seperti gayanya seorang hartawan muda yang beloboh dan pemboros. Sikap demikian ini membikin iri hati tamu-tamu lainnya.
Karena kini semua para pelayan berebut melayaninya dengan sangat sopan dan hormat. Sudah menjadi kebiasaan warung makan itu, sewaktu hari pasaran, buka terus sampai jauh malam dan waktu itu senjapun belum tiba. Kira-kira masih tiga jengkal lagi matahari mendekati garis cakrawala dibagian bumi sebelah barat.
Tiba-tiba seorang saudagar yang duduk sendiri disudut ruangan datang mendekati Indra Sambada dengan senyum dan anggukkan kepalanya, serta langsung mengambil tempat duduk dihadapan Indra Sambada, dengan tidak menunggu lagi dipersilahkan.
“Baru kali ini saya melihat Tuan dipasar Indramayu. Dagangan apa yang Tuan bawa?” saudagar itu menegor Indra Sambada dengan sopan sekali yang di-buat-buat.
“Memang baru kali ini saya berkunjung kemari”. jawab Indra Sambada dengan tersenyum pula. “perkenalkan, aku Indra dari Banyumas”,
“saya Saputra, pedagang dari Indramayu sini saja. Dan maafkan, barang apa yang tuan Indra akan dijual disini?” Kembali saudagar itu mendesak ingin tahu barang dagangan Indra untuk kedua kalinya.
“Dagangan saya adalah barang-barang permata, yang akan saya tawarkan kepada Gusti Bupati. Karena menurut cerita kawan-kawan, Gusti Bupati gemar akan barang-barang permata yang indah-indah”.
Orang yang mengaku Saputra itu tubuhnya kekar gagah, tingginya sedang dengan pakaian yang indah pula sebagaimana layaknya seorang pedagang besar. Wajahnya bersinar bersih dengan kumis tipis menambah tampannya. Dibalik wajahnya yang tampan itu tersembunyi sifat-sifat angkuh dan sombong. Usianya masih muda sebagai usia Indra Sambada. Usianya kurang lebih sekitar dua puluh tiga tahunan.
“Memang benar kata teman-teman Tuan”, kata Saputra. “Gusti Bupati gemar sekali membeli barang-barang permata yang benar-benar indah ataupun permata-permata kuno dari negeri luar. Jika seandainya Tuan Indra memang bermaksud menawarkan pada Gusti Bupati, saya sanggup menjadi perantaranya, karena tidak mudah sebagai saudagar yang belum dikenal untuk memasuki lstana Kabupaten!” Berkata demikian Saputra memandang dengan penuh selidik kepada Indra Sambada, seakan-akan ia kuatir bahwa barang-barang permata dagangan Indra akan tidak memenuhi syarat-syarat untuk ditawarkan pada Bupati Indramayu.
Indra Sambada sangat menyetujui tawaran Saputra dan untuk tidak mengecewakan yang akan menjadi perantaranya, Indra Sambada segera menunjukkan sebuah cincin mas murni bermatakan jamrut sebesar ibu jari dengan berlian-berlian kecil dan disamping itu Indra Sambada juga menunjukkan pula tangkai keris pusakanya yang berada didalam bajunya.
Saputra mengangguk-anggukkan kepala serta tersenyum girang serta puas. Dalam hati iapun kagum akan keindahan barang yang ditunjukkan padanya. Mereka berdua sepakat besok pagi-pagi ketemu lagi dirumah makan ini dan berangkat bersama-sama menuju ke Kabupaten Malam nanti. Indra Sambada dimintanya bermalam dirumah Saputra, tetapi tawaran tersebut ditolak, dengan alasan bahwa ia masih menunggu kedatangan kawannya yang membawa barang berharga lainnya.
Saputra mendahului meninggalkan warung makan, sedangkan Indra Sambada dan Sujud masih tetap duduk-duduk dengan tenang sambil menikmati hidangan yang dihadapinya. Sewaktu Indra Sambada dan sujud menikmati hidangan makanan kecil, terdengar suara pelayan membentak bentak pengemis yang duduk meminta belas kasihan diambang pintu.
“Pergi…. pergi.... pergi…… dan jangan menggangu Tuan-tuan yang sedang makan disini”. bentaknya.
Tetapi pengemis tua itu bandel, dan tidak mau mengindahkan bentakan para pelayan. Karena kejengkelan para pelayan, maka pengemis tua diusirnya dengan disiram air kearah kepalanya. Melihat pengemis yang basah kepalanya karena diguyur air, Sujud segera akan bangkit, tetapi cepat Indra Sambada menangkap maksud Sujud dan mencegah dengan memegang pergelangan tangan Sujud. Dan kiranya Sujud juga dapat memahami maksud tujuan Indra Sambada. la kembali duduk tenang sambil mengawasi pengemis tua yang pelan-pelan meninggalkan warung makan.
Waktu itu hari mulai gelap samar-samar. Sang surya baru saja menyelinap memasuki permukaan samudra. Tak berselang antara lama, si pengemis meninggalkan rumah makan itu, Indra Sambada dan Sujud, segera bangkit dan meninggalkan pula rumah makan, setelah membayar semua harga makanan yang telah dipesannya dan memberi hadiah uang perakan pada para pelayan-pelayan.
Berdua mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil dan lorong-lorong yang berliku-liku, mengikuti pengemis tua yang berjalan didepannya. Ternyata pengemis tua itu bukan lain Wirahadinata adanya. Kini mereka tiba disebuah desa terpencil dibatas kota. Setelah mereka bertiga memperhatikan sekelilingnya dengan cermat dan tak ada hal-hal yang mencurigakan mereka segera memasuki sebuah rumah dinding yang dibuat dari anyaman bambu serta telah kelihatan reyot.
Tidak diduganya sama sekali, bahwa Tumenggung Cakrawirya dan lurah Durpada telah berada didalam rumah itu sejak sore tadi. Kedua priyagung tamtama setelah berjumpa segeta saling merangkul dengan amat akrabnya untuk menyatakan kerinduannya masing-masing yang telah lama dikandungnya. Setelah mereka menceritakan pengalaman dalam perjalanan, Indra Sambada menjelaskan pula rencana tindakan pada hari esok paginya. Setelah jelas tentang pembagian tugas masing-masing, Cakrawirya dan Durpada meninggalkan rumah reyot itu untuk menuju tempat yang telah disewanya, dimana tadi Jaka Wulung dan Jaka Rimang ditinggalkan.
****
Dua orang saudagar muda turun dari kudanya masing-masing dan memasuki pintu gerbang Kabupaten Indramayu dengan disambut oleh dua punggawa praja yang sedang bertugas sebagai pengawal, untuk kemudian diantar menuju ke ruang tamu dalam gedung Kabupaten yang luas itu.
Bupati Prajaratmaka dengan didampingi Patih Lingganata serta dua orang punggawa praja rendahan yang duduk berhadap-hadapan diruang tamu diatas permadani yang indah. Setelah berkenalan, Indra Sambada segera menunjukkan barang perhiasan permata yang beraneka macam dan jenisnya untuk ditawarkan kepada Bupati Prajaratmaka.
Sujud memakai ikat kepala lehar segitiga dari sutra warna kuning pula, dengan baju sutra berwarna merah muda, dan memakai sarung tenun benang sutra dilipat sampai diatas lututnya. Celananya Panjang kepalang sampai dibawah lututnya, berwarna merah tua. Sebentar-sebentar Sujud meraba halusnya pakaian sutra yang dikenakan itu, dengan ketawa gembira dan wajahnya kelihatan berseri-seri. Kiranya seingat dia baru kali inilah ia mengenakan pakaian seindah dan samahal ini. Mereka segera kembali lagi kepasar yang masih sesak dengan pengunjung dan langsung memasuki sebuah warung makan.
Memang warung itu hanya khusus disediakan untuk para pedagang-pedagang besar serta para hartawan yang sedang berbelanja. Masakannya terkenal lezat dengan pelayan-pelayannya wanita yang cantik-cantik. Dengan tidak menghiraukan tamu pengunjung yang lain, Indra Samhada dan Sujud mengambil tempat duduk yang masih kosong, serta memesan makanan dan minuman yang dikehendaki,
Dengan gaya sebagai seorang hartawan, Indra Sambada memerintah pelayan wanita membelikan sebuah sangkar guna menempatkan merpati yang dipegang Sujud. Uang emas sepotong dilemparkan pada pelayan wanita yang diperintah tadi, yang olehnya segera diterimanya dengan senyum gairah yang menarik. Uang kembalinya sengaja diberikan semua kepada pelayan wanita itu, seperti gayanya seorang hartawan muda yang beloboh dan pemboros. Sikap demikian ini membikin iri hati tamu-tamu lainnya.
Karena kini semua para pelayan berebut melayaninya dengan sangat sopan dan hormat. Sudah menjadi kebiasaan warung makan itu, sewaktu hari pasaran, buka terus sampai jauh malam dan waktu itu senjapun belum tiba. Kira-kira masih tiga jengkal lagi matahari mendekati garis cakrawala dibagian bumi sebelah barat.
Tiba-tiba seorang saudagar yang duduk sendiri disudut ruangan datang mendekati Indra Sambada dengan senyum dan anggukkan kepalanya, serta langsung mengambil tempat duduk dihadapan Indra Sambada, dengan tidak menunggu lagi dipersilahkan.
“Baru kali ini saya melihat Tuan dipasar Indramayu. Dagangan apa yang Tuan bawa?” saudagar itu menegor Indra Sambada dengan sopan sekali yang di-buat-buat.
“Memang baru kali ini saya berkunjung kemari”. jawab Indra Sambada dengan tersenyum pula. “perkenalkan, aku Indra dari Banyumas”,
“saya Saputra, pedagang dari Indramayu sini saja. Dan maafkan, barang apa yang tuan Indra akan dijual disini?” Kembali saudagar itu mendesak ingin tahu barang dagangan Indra untuk kedua kalinya.
“Dagangan saya adalah barang-barang permata, yang akan saya tawarkan kepada Gusti Bupati. Karena menurut cerita kawan-kawan, Gusti Bupati gemar akan barang-barang permata yang indah-indah”.
Orang yang mengaku Saputra itu tubuhnya kekar gagah, tingginya sedang dengan pakaian yang indah pula sebagaimana layaknya seorang pedagang besar. Wajahnya bersinar bersih dengan kumis tipis menambah tampannya. Dibalik wajahnya yang tampan itu tersembunyi sifat-sifat angkuh dan sombong. Usianya masih muda sebagai usia Indra Sambada. Usianya kurang lebih sekitar dua puluh tiga tahunan.
“Memang benar kata teman-teman Tuan”, kata Saputra. “Gusti Bupati gemar sekali membeli barang-barang permata yang benar-benar indah ataupun permata-permata kuno dari negeri luar. Jika seandainya Tuan Indra memang bermaksud menawarkan pada Gusti Bupati, saya sanggup menjadi perantaranya, karena tidak mudah sebagai saudagar yang belum dikenal untuk memasuki lstana Kabupaten!” Berkata demikian Saputra memandang dengan penuh selidik kepada Indra Sambada, seakan-akan ia kuatir bahwa barang-barang permata dagangan Indra akan tidak memenuhi syarat-syarat untuk ditawarkan pada Bupati Indramayu.
Indra Sambada sangat menyetujui tawaran Saputra dan untuk tidak mengecewakan yang akan menjadi perantaranya, Indra Sambada segera menunjukkan sebuah cincin mas murni bermatakan jamrut sebesar ibu jari dengan berlian-berlian kecil dan disamping itu Indra Sambada juga menunjukkan pula tangkai keris pusakanya yang berada didalam bajunya.
Saputra mengangguk-anggukkan kepala serta tersenyum girang serta puas. Dalam hati iapun kagum akan keindahan barang yang ditunjukkan padanya. Mereka berdua sepakat besok pagi-pagi ketemu lagi dirumah makan ini dan berangkat bersama-sama menuju ke Kabupaten Malam nanti. Indra Sambada dimintanya bermalam dirumah Saputra, tetapi tawaran tersebut ditolak, dengan alasan bahwa ia masih menunggu kedatangan kawannya yang membawa barang berharga lainnya.
Saputra mendahului meninggalkan warung makan, sedangkan Indra Sambada dan Sujud masih tetap duduk-duduk dengan tenang sambil menikmati hidangan yang dihadapinya. Sewaktu Indra Sambada dan sujud menikmati hidangan makanan kecil, terdengar suara pelayan membentak bentak pengemis yang duduk meminta belas kasihan diambang pintu.
“Pergi…. pergi.... pergi…… dan jangan menggangu Tuan-tuan yang sedang makan disini”. bentaknya.
Tetapi pengemis tua itu bandel, dan tidak mau mengindahkan bentakan para pelayan. Karena kejengkelan para pelayan, maka pengemis tua diusirnya dengan disiram air kearah kepalanya. Melihat pengemis yang basah kepalanya karena diguyur air, Sujud segera akan bangkit, tetapi cepat Indra Sambada menangkap maksud Sujud dan mencegah dengan memegang pergelangan tangan Sujud. Dan kiranya Sujud juga dapat memahami maksud tujuan Indra Sambada. la kembali duduk tenang sambil mengawasi pengemis tua yang pelan-pelan meninggalkan warung makan.
Waktu itu hari mulai gelap samar-samar. Sang surya baru saja menyelinap memasuki permukaan samudra. Tak berselang antara lama, si pengemis meninggalkan rumah makan itu, Indra Sambada dan Sujud, segera bangkit dan meninggalkan pula rumah makan, setelah membayar semua harga makanan yang telah dipesannya dan memberi hadiah uang perakan pada para pelayan-pelayan.
Berdua mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil dan lorong-lorong yang berliku-liku, mengikuti pengemis tua yang berjalan didepannya. Ternyata pengemis tua itu bukan lain Wirahadinata adanya. Kini mereka tiba disebuah desa terpencil dibatas kota. Setelah mereka bertiga memperhatikan sekelilingnya dengan cermat dan tak ada hal-hal yang mencurigakan mereka segera memasuki sebuah rumah dinding yang dibuat dari anyaman bambu serta telah kelihatan reyot.
Tidak diduganya sama sekali, bahwa Tumenggung Cakrawirya dan lurah Durpada telah berada didalam rumah itu sejak sore tadi. Kedua priyagung tamtama setelah berjumpa segeta saling merangkul dengan amat akrabnya untuk menyatakan kerinduannya masing-masing yang telah lama dikandungnya. Setelah mereka menceritakan pengalaman dalam perjalanan, Indra Sambada menjelaskan pula rencana tindakan pada hari esok paginya. Setelah jelas tentang pembagian tugas masing-masing, Cakrawirya dan Durpada meninggalkan rumah reyot itu untuk menuju tempat yang telah disewanya, dimana tadi Jaka Wulung dan Jaka Rimang ditinggalkan.
****
Dua orang saudagar muda turun dari kudanya masing-masing dan memasuki pintu gerbang Kabupaten Indramayu dengan disambut oleh dua punggawa praja yang sedang bertugas sebagai pengawal, untuk kemudian diantar menuju ke ruang tamu dalam gedung Kabupaten yang luas itu.
Bupati Prajaratmaka dengan didampingi Patih Lingganata serta dua orang punggawa praja rendahan yang duduk berhadap-hadapan diruang tamu diatas permadani yang indah. Setelah berkenalan, Indra Sambada segera menunjukkan barang perhiasan permata yang beraneka macam dan jenisnya untuk ditawarkan kepada Bupati Prajaratmaka.
Barang-barang perhiasan itu ganti berganti dilihat dengan telitinya oleh Patih Lingganata dan kemudian pindah lagi ketangan Bupati Prajaratmaka yang memeriksanya hanya sepintas lalu saja. Kiranya semua ketentuan dalam membeli barang-barang itu terletak ditangan Patih Lingganata. Hal ini sangat menarik perhatian Indra Sambada namun ia tak mau menunjukkan rasa herannya, Bupati Prajaratmaka usianya telah setengah lanjut, sekitar limapuluhan dan berperangai halus, namun wajahnya kelihatan pucat sayu mengandung rasa sedih dan sedikitpun tak nampak kegembiraannya.
Sikap ini jauh berbeda dengan Patih Lingganata, bahkan dapat dikatakan sebaliknya? Patih Lingganata melihat perhiasan-perhiasan dagangan itu dengan penuh nafsu, sedangkan Bupati Prajaratmaka melihatnya hanya sepintas lalu dengan tidak menunjukkan minatnya sama sekali. Nada bicaranya tak mengandung semangat sebagaimana layaknya seorang priyagung narapraja yang menjadi kepala daerah. Segala tindakan dan gerakannya seakan-akan hanya ,sekedar untuk memenuhi permintaan Patih Lingganata.
“Hanya yang tuan ajukan itu sangat mahal! Gustiku Bupati hanya bersedia membeli ini semua dengan harga separo, dari apa yang telah tuan tawarkan tadi”, Patih Lingganata menawar barang-barang perhiasan Indra Sambada.
Kata-kata itu membuat Indra Sambada sangat heran. Lingganata mengajukan penawaran yang sangat rendah, tanpa mendapatkan persetujuan Bupari Prajaratmaka, tetapi menyatakan bahwa yang akan membeli adalah Bupati sendiri. Hal ini menambah rasa curiganya, akan tetapi ketenangan tetap dapat menguasai dirinya.
“Harga yang saya tawarkan ini merupakan harga pasti, sedikitpun Gusti Patih tak dapat menguranginya”, jawab Indra Sambada. “Dan jika memang tak ada kecocokan soal harga, saya mohon diri untuk pulang dengan membawa barang-barang saya kembali”.
“Nanti dulu. Bukankah tuan belum pula membayar bea masuk kota?” Patih Lingganata berseru dengan senyum mengejek dan melanjutkan bicaranya. “Ataukah tuan bermaksud meninggalkan seperempat bagian dari barang-barang milik tuan ini sebagai pelunasan bea masuk?”.
Bupati Prajaratmaka kini kelihatan lebih pucat lagi. setelah Patih Lingganata mengakhiri kata-katanya. Perobahan wajah itupun tak lepas dari pengamatan Indra Sambada, Kini Indra Sambada telah dapat menarik kasimpulan yang pasti bahwa Bupati Prajaratmaka adalah seorang yang lemah sekali dan menjadi boneka, alat para perampok yang mengejar kekayaan.
“Sebagai seorang pedagang saya telah merantau sampai kota Raja, tetapi belum pernah menjumpai peraturan yang mengharuskan meninggalkan seperempat bagian dari miliknya sendiri sebagai bea masuk kota”, Indra Sambada menjawab dengan sinar pandangan tajam menatap wajah patih Lingganata.
Dua pandangan tajam berbenturan dengan perbawa masing-masing, namun jelas bahwa Patih Lingganata cepat memalingkan kepalanya ke arah Bupati Prajaratmaka, karena kalah Perbawa, Bupati Prajaratmaka semakin kelihatan gemetar tangannya dan ia tetap membungkam seribu bahasa, dengan menundukkan kepala.
“Ketahuilah tuan saudagar, bahwa ketentuan pembayaran bea masuk kota ini adalah peraturan yang dikeluarkan Gusti Bupati sendiri. Siapa yang tidak mentaati peraturan ini dapat dianggap pemberontak, bukankah demikian Gusti Bupati?” Patih Lingganata menjelaskan dengan menunggu persetujuan Prajaratmaka, olehnya hanya dijawab dengan anggukkan kepala saja.
“Pemerasan yang tidak pantas”, Indra Sambada berseru lantang.
Mendengar makian Indra Sambada, Lingganata segera bangkit berdiri dan langsung menyerang dengan tinjunya kearah pelipis Indra. Dengan hanya menundukkan kepala Indra Sambada bebas dari serangan tinju. Untuk kedua kalinya Lingganata menghantam dengan tinjunya, tetapi kembali kepalan tanganya jatuh ketempat kosong. Pada saat serangan yang kedua kalinya itu, Indra Sambada telah bangkit berdiri.
“Keparat ! Berani kau menentang kekuasaanku”. Lingganata berseru sambil meloncat dan melancarkan serangan tendangan kearah dada Indra Sambada tetapi tidak mengenai sasaran.
Indra Sambada meloncat kesamping untuk menghindari tendangan sambil memilih tempat yang agak luas, Saputra turut bangkit dan melesat menerjang Indra Sambada dengan golok panjang terhunus. Sejak tadi Indra Sambada, telah menduga bahwa Saputra adalah adik Lingganata, mengingat persamaan perangai mukanya. Dan ini memang merupakan kenyataan yang tak dapat dielakkan. Akan tetapi Indra Sambada adalah Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja, yang memiliki kesaktian hampir mendekati titik kesempurnaan. Serangan tendangan dan tusukkan golok panjang dibiarkan hingga hampir mengenai tubuhnya.
Tetapi sebelum menyentuh bajunya, pergelangan tangan Saputra yang sedang menjulur tiba-tiba ditangkapnya dengan cengkeraman remasan yang dasyat. Saputra menjerit kesakitan, bersamaan dengan jeritan itu golok panjangnya jatuh gemerincing di lantai. Dengan satu dorongan telapak tangan kiri Saputra jatuh terguling di lantai. Dalam saat yang sama, Lingganata telah menyerang pula dengan sabetan klewangnya kearah pinggang.
Dengan tangkas Indra Sambada meloncat tinggi menghindari datangnya klewang yang berkelebat kearah pinggangnya, dengan berpusingan diatas untuk kemudian jatuh berdiri tepat dibelakang Lingganata. Pada saat itu pula telapak tangan Indra Sambada memukul jalinan syaraf penggerak tangan dipundak Lingganata, dengan berseru nyaring.
“Lepaskan klewangmu”, Lingganata jatuh tertelungkup dan bergulingan menghindari rangkaian serangan lawan, dengan tangan kanan yang tak dapat digerakkan, sedangkan klewangrija terpental lepas dari genggaman dan jatuh dilantai lima langkah jauhnya.
Bahwa dalam satu gerakan, klewangnia terlepas dari genggaman, Lingganata tidak menduga sama sekali. Mukanya pucat pasi dan peluh dingin berbintik-bintik keluar dari dahinya. Belum pernah ia kehilangan senjata dalam bertanding hanya satu gebrakan saja. Sebagai perampok ulung, nama Durgawangsa pernah menggetarkan daerah Sumedang sampai Indramayu. Tetapi dalam menghadapi Indra Sambada, kini ia sama sekali tidak berdaya. Ia masih harus berterima kasih, bahwa Indra Sambada tidak meneruskan dengan serangan pukulan mautnya.
Namun perasaan benci dan kemarahan kiranya lebih menguasai dirinya, Cepat Durgawangsa bangkit dan meloncat selangkah kesamping dengan berteriak nyaring.
“Kurung rapat! Dan tangkap bangsat pemberontak ini!” Berkata demikian ia melolos cambuk dari pinggangnya sambil menerjang maju.
Tujuh orang berpakaian punggawa praja meloncat datang dari ruang samping dan mengurung Indra Sambada dengan bersenjatakan klewang dan tombak. Kini Indra Sambada menghadapi delapan orang bersenjata lengkap menyerang secara serentak kearahnya.
Seruan melengking yang memekakkan telinga terdengar disertai gerak loncatan menghindari serangan yang datang bertubi-tubi. Ia meloncat kesamping kanan dan kiri dengan membagi-bagi pukulan pada penyerangnya dengan telapak tangan dan tendangan kaki.
Tiap kali tangan dan kakinya berkelebat, seorang penyerang jatuh dengan jeritan yang mengerikan, Tetapi belum pula ada lima orang yang jatuh tersungkur tak berdaya, telah datang lagi penyerang baru sepuluh orang dan kesemuanya bersenjata tajam.
Melihat datangnya penyerang yang bergelombang bertambah lagi. Indra Sambada menjadi sibuk sekali. Gerakannya bertambah bersemangat laksana banteng mengamuk yang pantang menyerah. Pada saat yang bersamaan di depan balai pengawalan, terdengar pula suara gaduh, bertempurnya seorang pengemis tua melawan para pengawal.
Pengemis tua yang tidak lain adalah Wirahadinata dengan bersenjatakan tongkat bertanding melawan enam orang pengawal yang bersenjatakan klewang. Akan tetapi keenam orang pengawal tersebut bukanlah tandingannya. Dalam waktu yang singkat saja tiga pengawal diantaranya jatuh dengan kepala mengeluarkan darah karena pukulan tongkat pengemis sakti. Sedang tiga orang pengawal lainnya terdesak tak dapat membalas menyerang, mereka hanya berlompatan ke samping dan ke belakang untuk menghindari gerakan tongkat pengemis tua yang sangat dahsyat dan memusingkan kepala mereka.
Tongkat dahan kering ditangan Wirahadinata, sama bahayanya. dengan berkelebatnya tombak yang tajam. Sebentar-sebentar tongkat berputar membuat pening kepala dan sebentar-sebentar berobah menjadi gerakan sodokan ataupun sebentar dengan gerakan-gerakan loncatan mengejar lawan yang sukar dihindari.
Seorang pengeroyok jatuh terlentang terkena sodokan tongkat tepat pada ulu hatinya. Dengan jeritan ngeri tertahan pengawal tadi jatuh terkulai dan tak dapat bergerak lagi. Dengan tidak menghiraukan dua orang pengawal yang mengeroyoknya yang sedang dihadapinya, Wirahadinata menerjang langsung masuk dalam gelanggang pertempuran diruang pendapa yang berlangsung dengan sengitnya. Tetapi belum juga Wirahadinata dapat masuk di tengah-tengah kalangan, terdengar suara yang sangat berpengaruh dari lndra Sambada memberikan perintah padanya:
“Kyai Tunggul! Amankan Bupati Prajaratmaka. Dan biarlah saya sendiri yang akan menghadapi gerombolan perampok ini !!!!!”.
Secepat kilat Wirahadinata melesat menuju tempat dimana Bupati Prajaratmaka sedang duduk gemetar dengan kedua belah tangannya menutupi muka. Dengan tangkasnya Wirahadinata menyambar badan Prajaratmaka dengan tangan kiri dan membawanya pergi kesebuah kamar dibelakang. Dua orang mengejar dan menyerang Wirahadinata dari arah belakang, sebelum ia dapat memasuki kamar.
Dengan tangan kanan memegang tongkat Wirahadinata terpaksa membalikan badan melayani dua orang penyerang yang bersenjatakan klewang. Tiba-tiba empat orang berpakaian tamtama Kerajaan berkelebat datang, dengan suatu loncatan yang mengagumkan dari tembok belakang yang menjulang tinggi itu.
Mereka adalah Tumenggung Cakrawirya, Lurah Durpada, Lurah Jaka Wulung dan Jaka Rimang. Dengan tidak memberi kesempatan pada kedua penyerang Wirahadinata, Jaka Wulung mengayunkan tongkatnya tepat mengenai tengkuk para penyerang dan tak ayal mereka jatuh tersungkur tak dapat bergerak lagi. Tumenggung Cakrawirya dan Durpada langsung menyerbu dengan bersenjatakan pedang tamtamanya membantu Indra Sambada yang sedang bertempur menghadapi sembilan orang.
Tanpa bantuan Cakrawirya dan Durpada sesungguhnya Indra Sambada dapat menghadapi lawan-lawannya dengan tidak terdesak, tetapi karena ia bertangan kosong, maka agak sukar untuk dalam waktu yang singkat dapat menjatuhkan sembilan lawannya.
Cakrawirya dan Durpada dengan pedang tamtamanya, tak mau membuang-buang waktu lagi. Dalam segebrakan dua orang penyerang berteriak ngeri dan jatuh bergelimpangan karena tangannya masing-masing terbabat kutung.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, para penyerang menjadi kacau balau dan berebut untuk melarikan diri, tetapi maksud ini selalu dapat digagalkan karena berkelebatnya pedang ataupun tendangan yang tak dapat di duga-duga menghadang dihadapannya.
Sementara itu Jaka Wulung dan Jaka Rimang telah pula menerjang dan menutup jalan keluar. Hanya Lingganatalah yang masih tetap mengamuk dengan cambuknya yang panjang, sungguhpun gerakan cambuknya tak pernah mengenai sasaran. Lima orang penyerang kini telah bergelimpangan mandi darah, namun Lingganata masih terus mengamuk tidak mau menyerah. Melihat demikian ini Tumenggung Cakrawirya semakin meluap marahnya. Dari samping kanan pedang tamtamanya berkelebat tak mengenal ampun, membabat leher Lingganata hingga putus seketika.
Darah menyembur dan kepalanya jatuh menggelinding dilantai. Indra Sambada yang bergerak untuk mencegahnya ternyata telah terlambat. Tiga orang lainnya cepat-cepat membuang senjatanya masing-masing dan mengangkat tangan dua-duanya keatas, tanda menyerah.
“Terima kasih kangmas Cakrawirya”, Indra Sambada mulai bicara. “Sayang Durgawangsa telah mati”, katanya melanjutkan.
“Maafkan dimas Indra. Saya kehilangan kesabaran melihat sikapnya yang kepala batu”. Cakrawirya menjawab.
Sementara dua orang priyagung bercakap-cakap. Jaka Wulung dan Jaka Rimang membelenggu tiga orang yang menyerah. Sedangkan Lurah Durpada membelenggu orang-orang yang masih pingsan tapi tak terluka berat.
Kini lndra Sambada, Cakrawirya dan Kiai Tunggul berkumpul memeriksa Bupati Prajaratmaka yang sedang duduk dengan muka pucat pasi dengan kepala tertunduk. Dari tanya jawab mereka mendapat penjelasan bahwa, Prajaratmaka sebagai Bupati, sebenarnya telah dikuasai para perampok dibawah Durgawangsa dan kawan-kawannya selama lima tahun.
Demi untuk mencari keselamatan keluarga. Prajaratmaka menyerah dalam cengkeraman para perampok tadi. Hal ini memang beralasan, karena dua putranya yang kecil diculik dan hingga sekarang tak tahu bagaimana nasibnya. Setiap waktu Bupati Prajaratmaka menentang tindakan para perampok, selalu diancam akan dibunuh kedua anaknya.
Maka menghadapi keadaan demikian ia tak berdaya dan hanya menyerah dalam cengkeraman para penjahat. Dengan paksaan dan ancaman bupati Prajaratmaka terpaksa mengangkat para rampok menjadi punggawa praja. Sedangkan Patih Kabupaten Lingganata yang aslipun tidak diketahui pula nasibnya. Mungkin juga ia telah dibunuh oleh para perampok keji yang diketahui oleh Durgawangsa sendiri.
Dengan hilangnya Patih Lingganata, Durgawangsa memaksakan diri untuk diangkat menjadi pengganti patih Lingganata dan untuk tidak mengeruhkan suasana, maka nama Lingganata dilintirnya oleh Durgawangsa yang kini telah menjadi mayat.
Peraturan yang bersifat menindas rakyat, dikeluarkan atas desakan Durgawangsa. Para petani diharuskan menyerahkan hasil panen sepertiga bagiannya, sedangkan sisanya yang akan dijual di pasar masih pula dikenakan bea sebanyak seperempat bagian. Hasil dari pemerasan itu, Prajaratmaka sedikitpun tidak turut mengenyamnya dan mengalir seluruhnya kegudang-gudang Kepatihan untuk kemudian dibagi-bagi dengan kawan-kawannya.
Ini semua tidak diketahui rakyat, mereka hanya mengetahui bahwa Bupati Prajaratmaka yang diangkat Kerajaan Majapahit adalah kejam sekali dan dikenal sebagai pemeras keringat rakyat yang tidak mengenal belas kasihan.
Dengan menangis tersedu sedu Bupati Praharatmaka minta belas kasihan untuk diampuni kesalahannya yang hanya dikarenakan sifat-sifat kelemahan pada dirinya. Pun ia mohon dengan sangat, agar sudi mencarikan kembali anak-anaknya yang diculik dan telah lima tahun berpisah dengan dirinya.
Dengan tidak diduga menurut keterangan Saputra yang kini menjadi tawanan, dapat diketahui bahwa kedua anaknya Prajaratmaka sebenarnya telah dibunuh oleh Daragawangsa kakaknya, pada empat tahun yang telah lalu.
Mendengar keterangan itu, Bupati Prajaratmaka seketika jatuh pingsan dan tak sadarkan diri untuk beberapa saat lamanya. Cakrawirya dan Indra Sambada menggeleng-gelengkan kepala, tidak mengira bahwa ada manusia yang sedemikian kejamnya, Wirahadinata segera turut merasa duka akan nasib Prajaratmaka yang tertimpa penuh dengan kemalangan itu.
Ia sangat menyesal akan anggapan sebelumnya, bahwa ia sampai mengira Prajaratmaka adalah Bupati pengganti yang kejam dan menyalah gunakan kekuasaan untuk menindas rakyat. Sambil mengaso dan merundingkan langkah-langkah selanjutnya, mereka mengaso di gedung Kabupaten Indramayu. Pada hairi itu juga seekor burung merpati yang di bawa Sujud, dengan dikalungi sepucuk surat kecil dilepas oleh lndra Sambada, sebagai laporan yang tertuju ke hadapan Gusti Senapati Muda Adityawardana.
Lima hari kemudian Tumenggung Sunata datang dengan dua ratus pasukan tamtama berkuda, sementara tigaratus tamtama lainnya ditinggalkan di Banyumas sebagai pasukan cadangan.
Kota Indramayu kini bertambah ramai dengan datangnya para tamtama Kerajaan itu. Dimana-mana rakyat berkelompok mempercakapkan penambahan tamtama pemerintahan daerah dengan bermacam macam tafsiran.
Para Kuwu, Demang ataupun Lurah dipanggil semua, untuk menerima penjelasan dari Indra Sambada, dengan pesan bahwa mereka harus tetap pada tugasnya masing-masing, akan tetapi tidak diperbolehkan memeras rakyat lagi. Peraturan-peraturan yang memberatkan beban kehidupan rakyat diganti dengan peraturan yang lazim diperlakukan dan untuk sementara menunggu ketentuan lain, bekas Bupati Wirahadinata dengan di dampingi Jaka Wulung ditugaskan sebagai pejabat Kepala Daerah Kabupaten lndramayu.
Tigapuluh orang tamtama berkuda dikepalai Lurah tamtama Jaka Rimang berangkat menuju ke Banyumas untuk menyerahkan tawanan, kemudian secara berangkai tawanan itu dibawa ke Kota Raja untuk diadili. Bupati Prajaratmaka diperintahkan pula untuk mengikuti rombongan tamtama itu untuk menghadap langsung kehadapan Gusti Pangeran Pekik Manggala Nara Praja guna memberikan laporan sejelas-jelasnya.
Dua pekan lamanya Indra Sambada dan Cakrawirya berserta semua tamtama beristirahat di Kabupaten Indramayu, sambil mengatur tamtama baru demi kesejahteraan rakyat daerah itu. Sementara itu Jaka Rimang telah kembali lagi dengan pasukan pengiringnya.
Atas saran Tumenggung Cakrawirya yang mendapat persetujuan dari Tumenggung Sunata dan Bupati Wirahadinata, Indra Sambada bermaksud mengadakan perundingan dengan para bekas Perwira Pajajaran di Linggarjati sebuah desa yang terletak dilereng kaki Gunung Cerme.
Sebagai utusan untuk menyampaikan undangan ditunjuk Bupati Wirahadinata dengan didampingi Lurah tamtama Durpada dan Lurah tamtama Jaka Rimang. Mereka bertiga segera berangkat berkuda menuju ke Sumedang untuk menaiki Gunung Nyalindung tempat para bekas perwira Pajajaran bersarang. Jalannya menanjak melalui tebing-tebing yang terjal dan berliku-liku. Sementara itu Jaka Wulung diserahi memegang tampuk pemerintahan dengan kekuatan seratus tamtama pilihan.
Tumenggung Bupati Anom Tamtama Sunata dengan seratus orang tamtama lainnya mengantarkan Indra Sambada dan Sujud serta Tumenggung Cakrawirya menuju ke Linggarjati. Mereka mengambil jalan melalui pantai utara menuju ke timur, untuk kemudian setelah tiba di Cirebon membelok kanan lurus kearah selatan. Dengan meninggalkan sepuluh orang pasukan tamtama. Tumenggung Sunata setelah tiba di Linggarjati meneruskan perjalanannya kembali ke Banyumas.
Linggarjati merupakan dataran dilereng Gunung Cerme sebelah timur. Pemandangan alam dari Linggarjati itu sangat indahnya. Memandang kesebelah utara tampak lembah luas membentang yang sangat subur dengan sawah-sawahnya yang menguning, dan lapat-lapat kelihatan pantai laut utara kesebelah timur tampaklah kali Cisanggarung yang berliku-liku dan bermuara dipantai utara laut Jawa tanjung Losari, sedangkan kearah barat kelihatan tebing-tebing terjal menghijau ialah lereng-lereng Gunung Cerme yang menjulang tinggi dan disebelah selatan merupakan tanah pegunungan yang sambung menyambung membujur ke barat.
Hawanyapun sangat sejuk. Sebagai seorang perwira tamtama nara sandi, Tumenggung Cakrawirya selalu bertindak sangat hati-hati dengan penuh rasa curiga. la menyarankan agar Indra Sambada mengundang para bekas tamtama Pajajaran di Linggarjati, dengan dua pokok pertimbangan.
Pertama mendekati Banyumas, tempat dimana pasukan Sunata yang selalu dalam keadaan siap siaga. Dan kedua mengkhawatirkan Indra Sambada terjebak ditangan para bekas Perwira tamtama Pejajaran yang masih mempunyai dendam kesumat, apabila Indra Sambada langsung mendatangi Gunung Nyalindung. Sedangkan jika terjadi demikian, maka sulit baginya memberikan bantuan dalam waktu singkat.
Sikap ini jauh berbeda dengan Patih Lingganata, bahkan dapat dikatakan sebaliknya? Patih Lingganata melihat perhiasan-perhiasan dagangan itu dengan penuh nafsu, sedangkan Bupati Prajaratmaka melihatnya hanya sepintas lalu dengan tidak menunjukkan minatnya sama sekali. Nada bicaranya tak mengandung semangat sebagaimana layaknya seorang priyagung narapraja yang menjadi kepala daerah. Segala tindakan dan gerakannya seakan-akan hanya ,sekedar untuk memenuhi permintaan Patih Lingganata.
“Hanya yang tuan ajukan itu sangat mahal! Gustiku Bupati hanya bersedia membeli ini semua dengan harga separo, dari apa yang telah tuan tawarkan tadi”, Patih Lingganata menawar barang-barang perhiasan Indra Sambada.
Kata-kata itu membuat Indra Sambada sangat heran. Lingganata mengajukan penawaran yang sangat rendah, tanpa mendapatkan persetujuan Bupari Prajaratmaka, tetapi menyatakan bahwa yang akan membeli adalah Bupati sendiri. Hal ini menambah rasa curiganya, akan tetapi ketenangan tetap dapat menguasai dirinya.
“Harga yang saya tawarkan ini merupakan harga pasti, sedikitpun Gusti Patih tak dapat menguranginya”, jawab Indra Sambada. “Dan jika memang tak ada kecocokan soal harga, saya mohon diri untuk pulang dengan membawa barang-barang saya kembali”.
“Nanti dulu. Bukankah tuan belum pula membayar bea masuk kota?” Patih Lingganata berseru dengan senyum mengejek dan melanjutkan bicaranya. “Ataukah tuan bermaksud meninggalkan seperempat bagian dari barang-barang milik tuan ini sebagai pelunasan bea masuk?”.
Bupati Prajaratmaka kini kelihatan lebih pucat lagi. setelah Patih Lingganata mengakhiri kata-katanya. Perobahan wajah itupun tak lepas dari pengamatan Indra Sambada, Kini Indra Sambada telah dapat menarik kasimpulan yang pasti bahwa Bupati Prajaratmaka adalah seorang yang lemah sekali dan menjadi boneka, alat para perampok yang mengejar kekayaan.
“Sebagai seorang pedagang saya telah merantau sampai kota Raja, tetapi belum pernah menjumpai peraturan yang mengharuskan meninggalkan seperempat bagian dari miliknya sendiri sebagai bea masuk kota”, Indra Sambada menjawab dengan sinar pandangan tajam menatap wajah patih Lingganata.
Dua pandangan tajam berbenturan dengan perbawa masing-masing, namun jelas bahwa Patih Lingganata cepat memalingkan kepalanya ke arah Bupati Prajaratmaka, karena kalah Perbawa, Bupati Prajaratmaka semakin kelihatan gemetar tangannya dan ia tetap membungkam seribu bahasa, dengan menundukkan kepala.
“Ketahuilah tuan saudagar, bahwa ketentuan pembayaran bea masuk kota ini adalah peraturan yang dikeluarkan Gusti Bupati sendiri. Siapa yang tidak mentaati peraturan ini dapat dianggap pemberontak, bukankah demikian Gusti Bupati?” Patih Lingganata menjelaskan dengan menunggu persetujuan Prajaratmaka, olehnya hanya dijawab dengan anggukkan kepala saja.
“Pemerasan yang tidak pantas”, Indra Sambada berseru lantang.
Mendengar makian Indra Sambada, Lingganata segera bangkit berdiri dan langsung menyerang dengan tinjunya kearah pelipis Indra. Dengan hanya menundukkan kepala Indra Sambada bebas dari serangan tinju. Untuk kedua kalinya Lingganata menghantam dengan tinjunya, tetapi kembali kepalan tanganya jatuh ketempat kosong. Pada saat serangan yang kedua kalinya itu, Indra Sambada telah bangkit berdiri.
“Keparat ! Berani kau menentang kekuasaanku”. Lingganata berseru sambil meloncat dan melancarkan serangan tendangan kearah dada Indra Sambada tetapi tidak mengenai sasaran.
Indra Sambada meloncat kesamping untuk menghindari tendangan sambil memilih tempat yang agak luas, Saputra turut bangkit dan melesat menerjang Indra Sambada dengan golok panjang terhunus. Sejak tadi Indra Sambada, telah menduga bahwa Saputra adalah adik Lingganata, mengingat persamaan perangai mukanya. Dan ini memang merupakan kenyataan yang tak dapat dielakkan. Akan tetapi Indra Sambada adalah Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja, yang memiliki kesaktian hampir mendekati titik kesempurnaan. Serangan tendangan dan tusukkan golok panjang dibiarkan hingga hampir mengenai tubuhnya.
Tetapi sebelum menyentuh bajunya, pergelangan tangan Saputra yang sedang menjulur tiba-tiba ditangkapnya dengan cengkeraman remasan yang dasyat. Saputra menjerit kesakitan, bersamaan dengan jeritan itu golok panjangnya jatuh gemerincing di lantai. Dengan satu dorongan telapak tangan kiri Saputra jatuh terguling di lantai. Dalam saat yang sama, Lingganata telah menyerang pula dengan sabetan klewangnya kearah pinggang.
Dengan tangkas Indra Sambada meloncat tinggi menghindari datangnya klewang yang berkelebat kearah pinggangnya, dengan berpusingan diatas untuk kemudian jatuh berdiri tepat dibelakang Lingganata. Pada saat itu pula telapak tangan Indra Sambada memukul jalinan syaraf penggerak tangan dipundak Lingganata, dengan berseru nyaring.
“Lepaskan klewangmu”, Lingganata jatuh tertelungkup dan bergulingan menghindari rangkaian serangan lawan, dengan tangan kanan yang tak dapat digerakkan, sedangkan klewangrija terpental lepas dari genggaman dan jatuh dilantai lima langkah jauhnya.
Bahwa dalam satu gerakan, klewangnia terlepas dari genggaman, Lingganata tidak menduga sama sekali. Mukanya pucat pasi dan peluh dingin berbintik-bintik keluar dari dahinya. Belum pernah ia kehilangan senjata dalam bertanding hanya satu gebrakan saja. Sebagai perampok ulung, nama Durgawangsa pernah menggetarkan daerah Sumedang sampai Indramayu. Tetapi dalam menghadapi Indra Sambada, kini ia sama sekali tidak berdaya. Ia masih harus berterima kasih, bahwa Indra Sambada tidak meneruskan dengan serangan pukulan mautnya.
Namun perasaan benci dan kemarahan kiranya lebih menguasai dirinya, Cepat Durgawangsa bangkit dan meloncat selangkah kesamping dengan berteriak nyaring.
“Kurung rapat! Dan tangkap bangsat pemberontak ini!” Berkata demikian ia melolos cambuk dari pinggangnya sambil menerjang maju.
Tujuh orang berpakaian punggawa praja meloncat datang dari ruang samping dan mengurung Indra Sambada dengan bersenjatakan klewang dan tombak. Kini Indra Sambada menghadapi delapan orang bersenjata lengkap menyerang secara serentak kearahnya.
Seruan melengking yang memekakkan telinga terdengar disertai gerak loncatan menghindari serangan yang datang bertubi-tubi. Ia meloncat kesamping kanan dan kiri dengan membagi-bagi pukulan pada penyerangnya dengan telapak tangan dan tendangan kaki.
Tiap kali tangan dan kakinya berkelebat, seorang penyerang jatuh dengan jeritan yang mengerikan, Tetapi belum pula ada lima orang yang jatuh tersungkur tak berdaya, telah datang lagi penyerang baru sepuluh orang dan kesemuanya bersenjata tajam.
Melihat datangnya penyerang yang bergelombang bertambah lagi. Indra Sambada menjadi sibuk sekali. Gerakannya bertambah bersemangat laksana banteng mengamuk yang pantang menyerah. Pada saat yang bersamaan di depan balai pengawalan, terdengar pula suara gaduh, bertempurnya seorang pengemis tua melawan para pengawal.
Pengemis tua yang tidak lain adalah Wirahadinata dengan bersenjatakan tongkat bertanding melawan enam orang pengawal yang bersenjatakan klewang. Akan tetapi keenam orang pengawal tersebut bukanlah tandingannya. Dalam waktu yang singkat saja tiga pengawal diantaranya jatuh dengan kepala mengeluarkan darah karena pukulan tongkat pengemis sakti. Sedang tiga orang pengawal lainnya terdesak tak dapat membalas menyerang, mereka hanya berlompatan ke samping dan ke belakang untuk menghindari gerakan tongkat pengemis tua yang sangat dahsyat dan memusingkan kepala mereka.
Tongkat dahan kering ditangan Wirahadinata, sama bahayanya. dengan berkelebatnya tombak yang tajam. Sebentar-sebentar tongkat berputar membuat pening kepala dan sebentar-sebentar berobah menjadi gerakan sodokan ataupun sebentar dengan gerakan-gerakan loncatan mengejar lawan yang sukar dihindari.
Seorang pengeroyok jatuh terlentang terkena sodokan tongkat tepat pada ulu hatinya. Dengan jeritan ngeri tertahan pengawal tadi jatuh terkulai dan tak dapat bergerak lagi. Dengan tidak menghiraukan dua orang pengawal yang mengeroyoknya yang sedang dihadapinya, Wirahadinata menerjang langsung masuk dalam gelanggang pertempuran diruang pendapa yang berlangsung dengan sengitnya. Tetapi belum juga Wirahadinata dapat masuk di tengah-tengah kalangan, terdengar suara yang sangat berpengaruh dari lndra Sambada memberikan perintah padanya:
“Kyai Tunggul! Amankan Bupati Prajaratmaka. Dan biarlah saya sendiri yang akan menghadapi gerombolan perampok ini !!!!!”.
Secepat kilat Wirahadinata melesat menuju tempat dimana Bupati Prajaratmaka sedang duduk gemetar dengan kedua belah tangannya menutupi muka. Dengan tangkasnya Wirahadinata menyambar badan Prajaratmaka dengan tangan kiri dan membawanya pergi kesebuah kamar dibelakang. Dua orang mengejar dan menyerang Wirahadinata dari arah belakang, sebelum ia dapat memasuki kamar.
Dengan tangan kanan memegang tongkat Wirahadinata terpaksa membalikan badan melayani dua orang penyerang yang bersenjatakan klewang. Tiba-tiba empat orang berpakaian tamtama Kerajaan berkelebat datang, dengan suatu loncatan yang mengagumkan dari tembok belakang yang menjulang tinggi itu.
Mereka adalah Tumenggung Cakrawirya, Lurah Durpada, Lurah Jaka Wulung dan Jaka Rimang. Dengan tidak memberi kesempatan pada kedua penyerang Wirahadinata, Jaka Wulung mengayunkan tongkatnya tepat mengenai tengkuk para penyerang dan tak ayal mereka jatuh tersungkur tak dapat bergerak lagi. Tumenggung Cakrawirya dan Durpada langsung menyerbu dengan bersenjatakan pedang tamtamanya membantu Indra Sambada yang sedang bertempur menghadapi sembilan orang.
Tanpa bantuan Cakrawirya dan Durpada sesungguhnya Indra Sambada dapat menghadapi lawan-lawannya dengan tidak terdesak, tetapi karena ia bertangan kosong, maka agak sukar untuk dalam waktu yang singkat dapat menjatuhkan sembilan lawannya.
Cakrawirya dan Durpada dengan pedang tamtamanya, tak mau membuang-buang waktu lagi. Dalam segebrakan dua orang penyerang berteriak ngeri dan jatuh bergelimpangan karena tangannya masing-masing terbabat kutung.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, para penyerang menjadi kacau balau dan berebut untuk melarikan diri, tetapi maksud ini selalu dapat digagalkan karena berkelebatnya pedang ataupun tendangan yang tak dapat di duga-duga menghadang dihadapannya.
Sementara itu Jaka Wulung dan Jaka Rimang telah pula menerjang dan menutup jalan keluar. Hanya Lingganatalah yang masih tetap mengamuk dengan cambuknya yang panjang, sungguhpun gerakan cambuknya tak pernah mengenai sasaran. Lima orang penyerang kini telah bergelimpangan mandi darah, namun Lingganata masih terus mengamuk tidak mau menyerah. Melihat demikian ini Tumenggung Cakrawirya semakin meluap marahnya. Dari samping kanan pedang tamtamanya berkelebat tak mengenal ampun, membabat leher Lingganata hingga putus seketika.
Darah menyembur dan kepalanya jatuh menggelinding dilantai. Indra Sambada yang bergerak untuk mencegahnya ternyata telah terlambat. Tiga orang lainnya cepat-cepat membuang senjatanya masing-masing dan mengangkat tangan dua-duanya keatas, tanda menyerah.
“Terima kasih kangmas Cakrawirya”, Indra Sambada mulai bicara. “Sayang Durgawangsa telah mati”, katanya melanjutkan.
“Maafkan dimas Indra. Saya kehilangan kesabaran melihat sikapnya yang kepala batu”. Cakrawirya menjawab.
Sementara dua orang priyagung bercakap-cakap. Jaka Wulung dan Jaka Rimang membelenggu tiga orang yang menyerah. Sedangkan Lurah Durpada membelenggu orang-orang yang masih pingsan tapi tak terluka berat.
Kini lndra Sambada, Cakrawirya dan Kiai Tunggul berkumpul memeriksa Bupati Prajaratmaka yang sedang duduk dengan muka pucat pasi dengan kepala tertunduk. Dari tanya jawab mereka mendapat penjelasan bahwa, Prajaratmaka sebagai Bupati, sebenarnya telah dikuasai para perampok dibawah Durgawangsa dan kawan-kawannya selama lima tahun.
Demi untuk mencari keselamatan keluarga. Prajaratmaka menyerah dalam cengkeraman para perampok tadi. Hal ini memang beralasan, karena dua putranya yang kecil diculik dan hingga sekarang tak tahu bagaimana nasibnya. Setiap waktu Bupati Prajaratmaka menentang tindakan para perampok, selalu diancam akan dibunuh kedua anaknya.
Maka menghadapi keadaan demikian ia tak berdaya dan hanya menyerah dalam cengkeraman para penjahat. Dengan paksaan dan ancaman bupati Prajaratmaka terpaksa mengangkat para rampok menjadi punggawa praja. Sedangkan Patih Kabupaten Lingganata yang aslipun tidak diketahui pula nasibnya. Mungkin juga ia telah dibunuh oleh para perampok keji yang diketahui oleh Durgawangsa sendiri.
Dengan hilangnya Patih Lingganata, Durgawangsa memaksakan diri untuk diangkat menjadi pengganti patih Lingganata dan untuk tidak mengeruhkan suasana, maka nama Lingganata dilintirnya oleh Durgawangsa yang kini telah menjadi mayat.
Peraturan yang bersifat menindas rakyat, dikeluarkan atas desakan Durgawangsa. Para petani diharuskan menyerahkan hasil panen sepertiga bagiannya, sedangkan sisanya yang akan dijual di pasar masih pula dikenakan bea sebanyak seperempat bagian. Hasil dari pemerasan itu, Prajaratmaka sedikitpun tidak turut mengenyamnya dan mengalir seluruhnya kegudang-gudang Kepatihan untuk kemudian dibagi-bagi dengan kawan-kawannya.
Ini semua tidak diketahui rakyat, mereka hanya mengetahui bahwa Bupati Prajaratmaka yang diangkat Kerajaan Majapahit adalah kejam sekali dan dikenal sebagai pemeras keringat rakyat yang tidak mengenal belas kasihan.
Dengan menangis tersedu sedu Bupati Praharatmaka minta belas kasihan untuk diampuni kesalahannya yang hanya dikarenakan sifat-sifat kelemahan pada dirinya. Pun ia mohon dengan sangat, agar sudi mencarikan kembali anak-anaknya yang diculik dan telah lima tahun berpisah dengan dirinya.
Dengan tidak diduga menurut keterangan Saputra yang kini menjadi tawanan, dapat diketahui bahwa kedua anaknya Prajaratmaka sebenarnya telah dibunuh oleh Daragawangsa kakaknya, pada empat tahun yang telah lalu.
Mendengar keterangan itu, Bupati Prajaratmaka seketika jatuh pingsan dan tak sadarkan diri untuk beberapa saat lamanya. Cakrawirya dan Indra Sambada menggeleng-gelengkan kepala, tidak mengira bahwa ada manusia yang sedemikian kejamnya, Wirahadinata segera turut merasa duka akan nasib Prajaratmaka yang tertimpa penuh dengan kemalangan itu.
Ia sangat menyesal akan anggapan sebelumnya, bahwa ia sampai mengira Prajaratmaka adalah Bupati pengganti yang kejam dan menyalah gunakan kekuasaan untuk menindas rakyat. Sambil mengaso dan merundingkan langkah-langkah selanjutnya, mereka mengaso di gedung Kabupaten Indramayu. Pada hairi itu juga seekor burung merpati yang di bawa Sujud, dengan dikalungi sepucuk surat kecil dilepas oleh lndra Sambada, sebagai laporan yang tertuju ke hadapan Gusti Senapati Muda Adityawardana.
Lima hari kemudian Tumenggung Sunata datang dengan dua ratus pasukan tamtama berkuda, sementara tigaratus tamtama lainnya ditinggalkan di Banyumas sebagai pasukan cadangan.
Kota Indramayu kini bertambah ramai dengan datangnya para tamtama Kerajaan itu. Dimana-mana rakyat berkelompok mempercakapkan penambahan tamtama pemerintahan daerah dengan bermacam macam tafsiran.
Para Kuwu, Demang ataupun Lurah dipanggil semua, untuk menerima penjelasan dari Indra Sambada, dengan pesan bahwa mereka harus tetap pada tugasnya masing-masing, akan tetapi tidak diperbolehkan memeras rakyat lagi. Peraturan-peraturan yang memberatkan beban kehidupan rakyat diganti dengan peraturan yang lazim diperlakukan dan untuk sementara menunggu ketentuan lain, bekas Bupati Wirahadinata dengan di dampingi Jaka Wulung ditugaskan sebagai pejabat Kepala Daerah Kabupaten lndramayu.
Tigapuluh orang tamtama berkuda dikepalai Lurah tamtama Jaka Rimang berangkat menuju ke Banyumas untuk menyerahkan tawanan, kemudian secara berangkai tawanan itu dibawa ke Kota Raja untuk diadili. Bupati Prajaratmaka diperintahkan pula untuk mengikuti rombongan tamtama itu untuk menghadap langsung kehadapan Gusti Pangeran Pekik Manggala Nara Praja guna memberikan laporan sejelas-jelasnya.
Dua pekan lamanya Indra Sambada dan Cakrawirya berserta semua tamtama beristirahat di Kabupaten Indramayu, sambil mengatur tamtama baru demi kesejahteraan rakyat daerah itu. Sementara itu Jaka Rimang telah kembali lagi dengan pasukan pengiringnya.
Atas saran Tumenggung Cakrawirya yang mendapat persetujuan dari Tumenggung Sunata dan Bupati Wirahadinata, Indra Sambada bermaksud mengadakan perundingan dengan para bekas Perwira Pajajaran di Linggarjati sebuah desa yang terletak dilereng kaki Gunung Cerme.
Sebagai utusan untuk menyampaikan undangan ditunjuk Bupati Wirahadinata dengan didampingi Lurah tamtama Durpada dan Lurah tamtama Jaka Rimang. Mereka bertiga segera berangkat berkuda menuju ke Sumedang untuk menaiki Gunung Nyalindung tempat para bekas perwira Pajajaran bersarang. Jalannya menanjak melalui tebing-tebing yang terjal dan berliku-liku. Sementara itu Jaka Wulung diserahi memegang tampuk pemerintahan dengan kekuatan seratus tamtama pilihan.
Tumenggung Bupati Anom Tamtama Sunata dengan seratus orang tamtama lainnya mengantarkan Indra Sambada dan Sujud serta Tumenggung Cakrawirya menuju ke Linggarjati. Mereka mengambil jalan melalui pantai utara menuju ke timur, untuk kemudian setelah tiba di Cirebon membelok kanan lurus kearah selatan. Dengan meninggalkan sepuluh orang pasukan tamtama. Tumenggung Sunata setelah tiba di Linggarjati meneruskan perjalanannya kembali ke Banyumas.
Linggarjati merupakan dataran dilereng Gunung Cerme sebelah timur. Pemandangan alam dari Linggarjati itu sangat indahnya. Memandang kesebelah utara tampak lembah luas membentang yang sangat subur dengan sawah-sawahnya yang menguning, dan lapat-lapat kelihatan pantai laut utara kesebelah timur tampaklah kali Cisanggarung yang berliku-liku dan bermuara dipantai utara laut Jawa tanjung Losari, sedangkan kearah barat kelihatan tebing-tebing terjal menghijau ialah lereng-lereng Gunung Cerme yang menjulang tinggi dan disebelah selatan merupakan tanah pegunungan yang sambung menyambung membujur ke barat.
Hawanyapun sangat sejuk. Sebagai seorang perwira tamtama nara sandi, Tumenggung Cakrawirya selalu bertindak sangat hati-hati dengan penuh rasa curiga. la menyarankan agar Indra Sambada mengundang para bekas tamtama Pajajaran di Linggarjati, dengan dua pokok pertimbangan.
Pertama mendekati Banyumas, tempat dimana pasukan Sunata yang selalu dalam keadaan siap siaga. Dan kedua mengkhawatirkan Indra Sambada terjebak ditangan para bekas Perwira tamtama Pejajaran yang masih mempunyai dendam kesumat, apabila Indra Sambada langsung mendatangi Gunung Nyalindung. Sedangkan jika terjadi demikian, maka sulit baginya memberikan bantuan dalam waktu singkat.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment