“Baiklah, selamat berpisah dan sampai jumpa kembali. Jaga baik-baik dirimu dan peganglah teguh janjimu”. berkata demikian Indra Sambada segera bangkit dan meninggalkan rumah itu yang diikuti Jaka Rimang.
Delapan orang murid Tambakraga mengantar sampai diambang pintu dan sesaat kemudian kedua pemuda tersebut melesat bagai bayangan tak berbekas, hilang ditelan kegelapan malam yang mendekati fajar. Orang-orang murid Tambakraga yang bertugas jaga ternyata tadi diikat kaki dan tangannya masing-masing oleh mereka berdua dan dikumpulkan manjadi satu, bergelimpangan dipinggir desa. Sewaktu meninggalkan desa, masih sempat Indra Sambada dan Jaka Rimang membebaskan mereka terlebih dahulu.
Setelah diberitahu, Sang Senapati sangat menyetujui dan memuji akan tindakan Indra yang cepat serta bijaksana. Untuk langkah selanjutnya Sang Senapati memerintahkan kepada Indra Sambada agar segera berangkat kedaerah Pajajaran bersama dengan Bupati Wirahadinata untuk menemui para bekas perwira tamtama kerajaan Parijajaran, untuk mengadakan perundingan dan bertindak sebagai wakil berkuasa penuh dari Sang Senapati, demi kejayaan dan keagungan nama Kerajaan Majapahit.
Saran Sang Senapati agar Indra Sambada membawa pasukan tamtama, ditolaknya, dengan alasan akan lebih meruncingkan serta lebih mengeruhkan suasana. Tetapi untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak dikehendaki, Tumenggung Sunata diperintahkan menyiapkan pasukan tamtama sebanyak lima ratus orang didaerah Banyumas. Dengan demikian jika sewaktu waktu diperlukan, akan dapat bergerak cepat.
Atas usul Indra Sambada, Jaka Wulung dan Jaka Rimang diterima pengabdiannya sebagai lurah penatus tamtama dan diperintahkan untuk mengikuti Indra Sambada dalam perjalanannya ke Pajajaran sebagai pembantu pribadinya.
“Berhasilnya dalam menjunjung titah Gustiku Senapati Manggala Yudha, kubebankan seluruhnya padamu dan bawalah dua ekor burung merpatiku, agar kau dapat secepatnya mengirim laporan”, Kata Sang Senapati berulang-ulang.
“Doa restu Gusti hamba, semoga menyertai hamba selalu dan sampaikan sembah sujud hamba kehadapan Gusti hamba Senapati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra, serta para priyagung sepuh lainnya”. Indra berkata dengan merendah.
Kyai Pandan Gede pun diminta bantuannya agar mengawasi Tambakraga, jangan sampai Tambakraga mengingkari janjinya. Sedangkan Kyai Wiku Sepuh dimohon doanya demi kesejahteraan rakyat semua.
“Gusti muridku Tumenggung Indra”. Kyai Wiku Sepuh berkata pelan. “Aku akan selalu berdoa pada Dewata Yang Maha Agung, Agar Gusti muridku berhasil dalam menunaikan tugas sebagai pengemban amanat penderitaan rakyat dan selamat tak kurang suatu apapun hingga kembali kekota Raja. Bimbinglah adimu Jaka Wulung dan Jaka Rimang ke arah jalan yang benar, agar kelak menjadi tamtama tauladan. Ingatlah selalu bahwa tugas hidup manusia adalah sembahyang, bekerja dan amal. Jelasnya sembahyanglah menyembah mengagunkan Dewata Yang Maha Agung sebagai pencipta alam semesta serta isinya, bekerja untuk mempertahankan hidup dan kehidupan demi menjunjung tinggi karya-Nya, sedangkan amal ialah pengabdian pada-Nya dan pengabdian pada Nusa Bangsa serta semua umat pada umumnya”, sampai disini Kyai Wiku Sepuh berhenti sejenak dan kemudian melanjutkan bicaranya.
“Berangkatlah dengan langkah penuh kepercayaan, bahwa Yang Maha Kuasa selalu menyertaimu…… selamat…. selamat…..”.
****
“Nakmas Indra”. Wirahadinata berkata sambll berjalan serta memalingkan kepalanya kearah Indra Sambada yang berjalan disampingnya. “Marilah kita mengaso dahulu di warung yang berada dipinggir jalan sebuah desa didepan itu”.
“Baiklah, Bapak Wirahadinata”. jawab Indra tersenyum. “Akan tetapi bukankah lebih baik kita beristirahat disini saja, sambil bercakap-cakap merundingkan hal-hal yang perlu kita pecahkan bersama”.
“Maksudku ialah untuk mengisi perut sambil mengaso, karena laparku telah lama kutahan nakmas”. Wirahadinata menjelaskan dengan jujur.
“O…… jika itu yang dimaksudkan, kita semua tentu setuju, akan tetapi kiraku adi Wulung dan adi Rimang dapat mencarikan makanan untuk kita berlima, sedangkan kami bertiga menunggu sambil mengaso disini. Dengan demikian kita dapat bebas bercakap-cakap sambil mengaso dan tak perlu kuatir di dengar orang lain”. Berkata demikian Indra Sambada mendahului duduk diatas rumput dibawah pohon yang rindang yang berada dipinggir jalan kecil yang sunyi itu. Wirahadinata dan Sujud segera mengikuti duduk dihadapannya, menyusul kemudian Jaka Wulung dan Jaka Rimang ikut serta duduk di sampingnya.
“Benar juga pendapat nakmas Indra. Hampir-hampir aku lupa bahwa kita sekarang hampir sampai diperbatasan daerah Kabupaten Indramayu”, Wirahadinata berkata sambil memandang dataran luas yang terbentang disampingnya. Seakan-akan ia mengingat-ingat untuk mengenal kembali daerahnya.
Ternyata dataran luas yang membentang kebarat utara itu merupakan tanah kosong yang subur tetapi tak ada yang memelihara. Pohon-pohon besar tumbuh liar tak teratur, sedangkan rumput Alang-alang disana sini kelihatan lebat. Matahari telah berada di ketinggian di atas kepala, menunjukkan bahwa kini waktu telah tengah hari siang.
“Maka dari itu, kita sebaiknya mulai selalu berlaku waspada. Bukankah demikian Bapak Wirahadinata”, Indra Sambada berkata pelan: “Adi Wulung dan adi Rimang, tolong carikan apa saja yang dapat untuk mengisi perut kita ini di desa depan. Tetapi berlakulah baik-baik dan merendah terhadap rakyat desa dan bayarlah apa yang kau dapat dari mereka dengan uang secukupnya”.
“Tak usah kakang Indra gelisah akan hal itu”, jawab Jaka Wulung tersenyum.
Berkata demikian Jaka Rimang segera turut bangkit dan mengikuti kakaknya, pergi menuju sebuah desa yang dimaksud dengan air muka yang selalu bersinar girang. Memang selama dalam perjalanan, mereka berdua kakak beradik selalu menunjukkan rasa gembiranya.
Kiranya mereka belum pernah mimpi, bahwa dengan mudahnya kini telah menjadi tamtama Kerajaan dan berpangkat lurah penatus tamtama, sungguhpun hingga sekarang belum pernah mereka mengenakan pakaian tamtama. Seringkali mereka berdua menyebut Indra dengan Gusti Tumenggung, tetapi berulang kali pula dilarang oleh Indra Sambada sendiri. Mereka supaya tetap memanggilnya dengan kakang saja, hanya di tempat-tempat resmilah, mereka diperkenankan menyebut Gusti pada Indra Sambada.
Sujud sejak ketemu dengan Indra Sambada kembali dilereng Gunung Sumbing dulu, selalu mendekatinya dan ingin dimanjakan tak ubahnya seperti adik yang masih belum dewasa menghadapi kakaknya. Pun ia selalu turut bangga, apabila nama Indra Sambada di sebut-sebut orang. Sewaktu mengaso dalam perjalanan dan ada kesempatan yang baik, Sujud selalu di suruh mengulangi pelajaran-pelajaran pembelaan diri yang telah pernah diberikan, serta ditambah pula sedikit demi sedikit. Ternyata cepat Sujud dapat menangkap dan menguasai pelajaran yang diberikan Indra Sambada dengan baiknya.
Tak lama kemudian Jaka Wulung dan Jaka Rimang telah kembali dengan membawa nasi serta lauk pauknya dan kelapa muda sebagai minumnya. Sebentar saja nasi dengan lauk pauknya serta air kelapa muda habis ludes masuk dalam perut kelima orang itu. Kiranya setelah kenyang, Sujud merasa mengantuk dan merebahkan diri tidur disisih Indra dengan nyenyaknya. Kini mereka berempat mulai bercakap-cakap pelan kembali.
Delapan orang murid Tambakraga mengantar sampai diambang pintu dan sesaat kemudian kedua pemuda tersebut melesat bagai bayangan tak berbekas, hilang ditelan kegelapan malam yang mendekati fajar. Orang-orang murid Tambakraga yang bertugas jaga ternyata tadi diikat kaki dan tangannya masing-masing oleh mereka berdua dan dikumpulkan manjadi satu, bergelimpangan dipinggir desa. Sewaktu meninggalkan desa, masih sempat Indra Sambada dan Jaka Rimang membebaskan mereka terlebih dahulu.
Setelah diberitahu, Sang Senapati sangat menyetujui dan memuji akan tindakan Indra yang cepat serta bijaksana. Untuk langkah selanjutnya Sang Senapati memerintahkan kepada Indra Sambada agar segera berangkat kedaerah Pajajaran bersama dengan Bupati Wirahadinata untuk menemui para bekas perwira tamtama kerajaan Parijajaran, untuk mengadakan perundingan dan bertindak sebagai wakil berkuasa penuh dari Sang Senapati, demi kejayaan dan keagungan nama Kerajaan Majapahit.
Saran Sang Senapati agar Indra Sambada membawa pasukan tamtama, ditolaknya, dengan alasan akan lebih meruncingkan serta lebih mengeruhkan suasana. Tetapi untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak dikehendaki, Tumenggung Sunata diperintahkan menyiapkan pasukan tamtama sebanyak lima ratus orang didaerah Banyumas. Dengan demikian jika sewaktu waktu diperlukan, akan dapat bergerak cepat.
Atas usul Indra Sambada, Jaka Wulung dan Jaka Rimang diterima pengabdiannya sebagai lurah penatus tamtama dan diperintahkan untuk mengikuti Indra Sambada dalam perjalanannya ke Pajajaran sebagai pembantu pribadinya.
“Berhasilnya dalam menjunjung titah Gustiku Senapati Manggala Yudha, kubebankan seluruhnya padamu dan bawalah dua ekor burung merpatiku, agar kau dapat secepatnya mengirim laporan”, Kata Sang Senapati berulang-ulang.
“Doa restu Gusti hamba, semoga menyertai hamba selalu dan sampaikan sembah sujud hamba kehadapan Gusti hamba Senapati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra, serta para priyagung sepuh lainnya”. Indra berkata dengan merendah.
Kyai Pandan Gede pun diminta bantuannya agar mengawasi Tambakraga, jangan sampai Tambakraga mengingkari janjinya. Sedangkan Kyai Wiku Sepuh dimohon doanya demi kesejahteraan rakyat semua.
“Gusti muridku Tumenggung Indra”. Kyai Wiku Sepuh berkata pelan. “Aku akan selalu berdoa pada Dewata Yang Maha Agung, Agar Gusti muridku berhasil dalam menunaikan tugas sebagai pengemban amanat penderitaan rakyat dan selamat tak kurang suatu apapun hingga kembali kekota Raja. Bimbinglah adimu Jaka Wulung dan Jaka Rimang ke arah jalan yang benar, agar kelak menjadi tamtama tauladan. Ingatlah selalu bahwa tugas hidup manusia adalah sembahyang, bekerja dan amal. Jelasnya sembahyanglah menyembah mengagunkan Dewata Yang Maha Agung sebagai pencipta alam semesta serta isinya, bekerja untuk mempertahankan hidup dan kehidupan demi menjunjung tinggi karya-Nya, sedangkan amal ialah pengabdian pada-Nya dan pengabdian pada Nusa Bangsa serta semua umat pada umumnya”, sampai disini Kyai Wiku Sepuh berhenti sejenak dan kemudian melanjutkan bicaranya.
“Berangkatlah dengan langkah penuh kepercayaan, bahwa Yang Maha Kuasa selalu menyertaimu…… selamat…. selamat…..”.
****
“Nakmas Indra”. Wirahadinata berkata sambll berjalan serta memalingkan kepalanya kearah Indra Sambada yang berjalan disampingnya. “Marilah kita mengaso dahulu di warung yang berada dipinggir jalan sebuah desa didepan itu”.
“Baiklah, Bapak Wirahadinata”. jawab Indra tersenyum. “Akan tetapi bukankah lebih baik kita beristirahat disini saja, sambil bercakap-cakap merundingkan hal-hal yang perlu kita pecahkan bersama”.
“Maksudku ialah untuk mengisi perut sambil mengaso, karena laparku telah lama kutahan nakmas”. Wirahadinata menjelaskan dengan jujur.
“O…… jika itu yang dimaksudkan, kita semua tentu setuju, akan tetapi kiraku adi Wulung dan adi Rimang dapat mencarikan makanan untuk kita berlima, sedangkan kami bertiga menunggu sambil mengaso disini. Dengan demikian kita dapat bebas bercakap-cakap sambil mengaso dan tak perlu kuatir di dengar orang lain”. Berkata demikian Indra Sambada mendahului duduk diatas rumput dibawah pohon yang rindang yang berada dipinggir jalan kecil yang sunyi itu. Wirahadinata dan Sujud segera mengikuti duduk dihadapannya, menyusul kemudian Jaka Wulung dan Jaka Rimang ikut serta duduk di sampingnya.
“Benar juga pendapat nakmas Indra. Hampir-hampir aku lupa bahwa kita sekarang hampir sampai diperbatasan daerah Kabupaten Indramayu”, Wirahadinata berkata sambil memandang dataran luas yang terbentang disampingnya. Seakan-akan ia mengingat-ingat untuk mengenal kembali daerahnya.
Ternyata dataran luas yang membentang kebarat utara itu merupakan tanah kosong yang subur tetapi tak ada yang memelihara. Pohon-pohon besar tumbuh liar tak teratur, sedangkan rumput Alang-alang disana sini kelihatan lebat. Matahari telah berada di ketinggian di atas kepala, menunjukkan bahwa kini waktu telah tengah hari siang.
“Maka dari itu, kita sebaiknya mulai selalu berlaku waspada. Bukankah demikian Bapak Wirahadinata”, Indra Sambada berkata pelan: “Adi Wulung dan adi Rimang, tolong carikan apa saja yang dapat untuk mengisi perut kita ini di desa depan. Tetapi berlakulah baik-baik dan merendah terhadap rakyat desa dan bayarlah apa yang kau dapat dari mereka dengan uang secukupnya”.
“Tak usah kakang Indra gelisah akan hal itu”, jawab Jaka Wulung tersenyum.
Berkata demikian Jaka Rimang segera turut bangkit dan mengikuti kakaknya, pergi menuju sebuah desa yang dimaksud dengan air muka yang selalu bersinar girang. Memang selama dalam perjalanan, mereka berdua kakak beradik selalu menunjukkan rasa gembiranya.
Kiranya mereka belum pernah mimpi, bahwa dengan mudahnya kini telah menjadi tamtama Kerajaan dan berpangkat lurah penatus tamtama, sungguhpun hingga sekarang belum pernah mereka mengenakan pakaian tamtama. Seringkali mereka berdua menyebut Indra dengan Gusti Tumenggung, tetapi berulang kali pula dilarang oleh Indra Sambada sendiri. Mereka supaya tetap memanggilnya dengan kakang saja, hanya di tempat-tempat resmilah, mereka diperkenankan menyebut Gusti pada Indra Sambada.
Sujud sejak ketemu dengan Indra Sambada kembali dilereng Gunung Sumbing dulu, selalu mendekatinya dan ingin dimanjakan tak ubahnya seperti adik yang masih belum dewasa menghadapi kakaknya. Pun ia selalu turut bangga, apabila nama Indra Sambada di sebut-sebut orang. Sewaktu mengaso dalam perjalanan dan ada kesempatan yang baik, Sujud selalu di suruh mengulangi pelajaran-pelajaran pembelaan diri yang telah pernah diberikan, serta ditambah pula sedikit demi sedikit. Ternyata cepat Sujud dapat menangkap dan menguasai pelajaran yang diberikan Indra Sambada dengan baiknya.
Tak lama kemudian Jaka Wulung dan Jaka Rimang telah kembali dengan membawa nasi serta lauk pauknya dan kelapa muda sebagai minumnya. Sebentar saja nasi dengan lauk pauknya serta air kelapa muda habis ludes masuk dalam perut kelima orang itu. Kiranya setelah kenyang, Sujud merasa mengantuk dan merebahkan diri tidur disisih Indra dengan nyenyaknya. Kini mereka berempat mulai bercakap-cakap pelan kembali.
“Nanti setelah kita sampai di desa Majalengka, sebaiknya saya dengan Sujud mendahului berjalan menuju kota Indranmayu, dan nakmas bertiga menyusul kemudian. Dengan cara demikian perjalanan kita tidak menjadi perhatian orang”. Wirahadinata memberikan usul siasatnya.
“Siasat yang bagus sekali”, Indra Sambada menjawab, sambil masih berfikir mencari siasat yang lebih tepat lagi. Ia diam sejenak, dan meneruskan bicaranya: “Saya juga ada pendapat yang mungkin lebih baik. Mengingat bahwa Bapak adalah bekas kepala daerah ini, sebaiknya bapak menyamar entahlah sebagai apa, agar tidak mudah dikenal orang. Bapak berjalan lebih dahulu dengan di bayang-bayangi dari jauh oleh adi Jaka Wulung dan Jaka Rimang, kemudian saya menyusul dengan Sujud. Kiraku dengan demikian akan mengurangi kemungkinan datangnya kesukaran-kesukaran dalam perjalanan ini”.
“Jika nakmas menghendaki demikian, sayapun sangat setuju, dan sebaliknya kita melanjutkan perjalanan setelah nanti matahari tenggelam”, Wirahadinata menambah.
Pada malam harinya mereka berjalan berpisah, sebagaimana yang mereka rencanakan. Jika Wirahadinata sewaktu memasuki kota Indramaju tak menarik perhatian karena ia menyamar orang tua pengemis dengan bajunya yang compang camping, serta bertongkat sebatang dahan kering, maka lain halnya dengan Jaka Wulung dan Jaka Rimang. Dari tingkah laku dan percakapannya mudah diketahui, bahwa mereka adalah orang pendatang dari lain daerah. Hal ini disebabkan terutama karena mereka tak mengenal akan bahasa daerah setempat.
Pagi itu kebetulan hari pasaran di kota. Orang berduyun-duyun datang memasuki kota dengan membawa dagangannya mmasing-masing yang beraneka macam. Ada yang membawa bahan makanan berupa beras, jagung, kedelai dan lain-lain hasil tanaman seperti sayur-sayuran dan sebagainya. Dan adapula yang membawa ternak seperti ayam, itik dan lain-lain serta bahkan ada yang berjalan sambil menghalau kerbau sapi dan lain sebagainya, untuk nanti dijual dipasar kota.
Empat orang punggawa praja sibuk menghadang para pendatang untuk mengumpulkan bea masuk kota yang tidak sedikit jumlahnya. Yaitu seperempat bagian dari taksiran harga nilai dagangannya, para pedagang itu harus menyerahkan pada empat orang punggawa praja, yang memang ditugaskan oleh Bupati Kepala Daerah lndramayu. Mereka diharuskan membayar tunai dengan mata uang ataupun meninggalkan barang dagangannya sebanyak seperempat bagian.
Mungkin hal itu telah menjadi kebiasaan, sehingga semua pendatang tak ada yang berhasrat menentangnya. Walaupun sesungguhnya dirasakan berat sekali olehnya. Sebentar saja pedati dipinggir jalan yang tadinya kosong itu kini penuh dengan bermacam-macam barang hasil pungutan dari para pedagang, sedangkan kantong goni yang dipentang oleh dua punggawa praja itu cepat juga penuh berisikan uang perak dan tembaga.
Ada dua tiga orang yang menggerutu, tetapi pada hakekatnya, mereka juga membayar penuh. bea masuk kota yang ditentukan oleh empat orang punggawa praja tadi . Tak seorang dapat lolos dari keharusan membayar bea masuk kota, kecuali pengemis tua, karena memang tak ada yang harus ditinggalkan. Dengan pakaian yang compang camping dan dekil itu, para punggawa praja segan untuk menggeledahnya.
“Cepat, serahkan kantong kulitmu masing-masing, untuk kuperiksa dulu isinya”, seorang punggawa praja berseru memerintah pada Jaka wulung dan Jaka Rimang yang kini tiba giliran untuk digeledah.
Mendengar seruan ini muka Jaka. Rimang seketika menjadi merah padam menahan rasa marahnya dan menjawablah dengan bentakan yang tak kalah kerasnya.
“Peraturan mana yang mengharuskan orang berlalu digeledah dan meninggalkan seperempat bagian miliknya padamu”.
“Bangsat….. membantah ketentuan ini, sama halnya dengan memberontak terhadap Gustiku Bupati, tahu”. Salah seorang punggawa praja yang tinggi besar membentak keras.
“Tak usah di jawab. Tangkap saja dua orang itu”. perintah seorang punggawa yang berdiri dibelakang, sambil memperhatikan Jaka Wulung dan Jaka Rimang dengan pandangan mata yang tajam.
Dua orang punggawa yang sedang menghadapi segera merangsak maju hendak menangkap pergelangan tangan Jaka Wulung dan Jaka Rimang, untuk menyeretnya, akan tetapi kedua punggawa praja itu segera jatuh terjungkal kebelakang dan kepalanya babak belur terbentur batu yang berserakan ditanah.
Punggawa praja yang berdiri dibelakang tadi, cepat menghunus golok panjangnya serta menerjang maju dengan serangan kilat yang berbahaya. Sedangkan seorang punggawa lainnya yang sedang memegang kantong goni yang berisi uang, cepat pula turut menyerang dengan kelewangnya.
Orang-orang pendatang banyak pula yang tidak mempedulikan keributan ini dan mengambil kesempatan untuk cepat-cepat berlalu dari tempat itu, dengan tanpa membayar bea masuk. Dari gerakan para penyerang itu, Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera dapat mengukur ketangguhan lawan, yang ternyata jauh berada dibawah tingkatannya.
“Adi Rimang, biarlah kau melayani mereka sendiri, aku akan membagi bagi rejeki pada para penonton”, berkata demikian Jaka Wulung melompat kesamping menuju tempat kantong goni yang beriskan uang.
Dengan tangkas kantong goni disodok dengan tongkatnya dan uang dalam goni itu berkerincingan tersebar dijalanan. Kini tanpa diperintah lagi, orang yang berlalu di situ berebut memunguti uang yang tersebar dijalanan, sewaktu Jaka Rimang sibuk dengan tongkatnya mempermainkan dua punggawa praja yang menyerangnya. Dua orang punggawa praja yang jatuh terjungkal karena tendangan Jaka Wulung dan Jaka Rimang tadi, telah pula merayap bangun dan menyerbu kearah Jaka Rimang, untuk membantu teman-temannya.
Kini pertandingan menjadi satu lawan empat. Tetapi Jaka Wulung masih juga berdiri tenang dengan senyum simpul sambil melihat jalannya pertempuran. Tak lama kemudian senjata masing-masing yang berada ditangan empat orang punggawa praja itu serentak terpental lepas dari pegangan dan jatuh ditanah, dengan diiringi suara jeritan dan mengaduhnya dua orang punggawa praja yang jatuh terpental kebelakang tiga langkah dari tempat pertempuran.
Belum juga suara tertawa hilang dari mulut Jaka Rimang, yang merasa girang karena berhasil serangannya, tiba-tiba ia sendiri jatuh terjungkal dengan pelipisnya sebelah kiri berdarah. Jaka Wulung melompat, untuk menolong adiknya, tetapi suara desis jatuhnya batu krikil datang kearahnya terpaksa ia merobah gerakannya dan dengan tongkatnya Jaka Wulung menangkis datangnya serangan gelap itu.
Batu kerikil sebesar ibu jari tangan terpental jatuh karena terbentur dengan ujung tongkat Jaka Wulung. Terkejut ia setelah merasakan betapa pedihnya telapak tangan yang memegang tongkat. Kembali suara desingan terdengar dan tongkat di tangannya berputaran cepat untuk digunakan sebagai perisai, sambil merendahkan badannya dan dua buah kerikil terpental melambung jauh, karena terbentur tongkat penjalinnya.
Kini ia tahu, bahwa penyerang gelap itu adalah orang yang duduk dalam pedati dipinggir jalan. Orang itu tenang-tenang duduk dalam pedati dipinggir jalan dengan tangan kirinya memegang cambuk dan bandringan atau alat pelempar batu ditangan kanannya, dengan ketawa terkekeh kekeh.
“Hai bedebah, kusir pedati”, Jaka Wulung berseru dengan lantang. “Jangan kau menyerang dengan sembunyi”.
“Ha..... haaaa ….. haaaa….. akan kulihat sampat dimana ketangkasan permainan tongkatmu”. berkata demikian orang yang duduk dalam pedati segera meloncat keluar dengan cambuk pedatinya ditangan kiri. “Sebelum kau hancur kuhajar dengan cambukku, siapakah kau, berani berlagak sebagai pemberontak”. Pakaian orang itu hitam kumal sebagai kusir pedati biasa dengan topi anyaman bambu sebagai penutup kepalanya.
Bentuk tubuhnya tinggi kurus agak bongkok, namun wajahnya kelihatan bersih bersinar. Melihat raut mukanya, usianya tak lebih dari 30 tahun. Matanya juling, menyimpan silat-sifat kepalsuan. Ketawanyapun di buat-buat dengan nada penuh ejekan. Empat orang punggawa praja tadi cepat mengundurkan diri dan berdiri agak jauh di belakang orang itu dengan rasa ketakutan.
“Akulah Jaka Wulung”. Jaka Wulung menyahut cepat. “Dan maksudku bukan untuk memberontak, tetapi sekedar memberi hajaran pada punggawa praja yang memeras rakyat dengan semena-mena. Siapakah kau berani turut campur urusanku”.
Belum juga pertanyaan itu terjawab, pecutnya telah menyambar dengan mengeluarkan suara yang memekakkan telinga, langsung menyambar kearah kepala Jaka Wuiung. Sementara itu Jaka Rimang telah sadarkan diri kembali dan bangkit berdiri dengan tongkat siap ditangan.
Dengan hanya menundukkan kepalanya dan badan merendah sedikit, Jaka Wulung terhindar dari cambukan. Tetapi secepat ia terhindar dari cambukan yang pertama, serangan cambuk yang kedua segera menyusul pula dari arah yang bertentangan ditujukan pada lambung kirinya.
Dengan tangkas Jaka Wulung meloncat tinggi menghindari serangan cambuk sambil menyerang kearah dada lawan. Serangan Jaka Wulung dahsyat sekali hingga bagi orang yang kurang pengalaman akan merasa sukar terhindar. Tetapi kiranya lawannya adalah orang yang memiliki ketangkasan yang luar biasa. Sebelum ujung tongkat menyentuh lehernya, dengan tangkas ia memiringkan badannya, dan sekaligus mengirimkan tendangan dengan kaki kanan.
Serangan yang tak terduga ini sukar sekali untuk dihindarkan, karena saat itu Jaka Wulung belum berpijak di tanah. Jaka Wulung mengerahkan tenaga untuk menerima tendangan lawan dengan tangkisan siku tangannya dan ia terpental dua langkah kebelakang dengan berjumpalitan.
Ternyata tenaga tendangan lawan tadi dahsyat sekali. Cepat Jaka Wulung bangkit dan membalikan badannya, siap untuk mengelakkan serangan tusukan dari lawan. Tiba tiba Jaka Rimang telah menerjang lawan yang sedang melancarkan serangan dengan cambuknya. memukul dengan tongkatnya kearah pergelangan tangan kiri lawan, yang memegang cambuk itu.
Cepat serangan cambuk itu ditarik kembali untuk menghindari pukulan cepat tongkat Jaka Rimang, sambil menangkis dengan cambukan pada tongkat yang menerjang itu serta berseru nyaring.
“lepas”.
Tak ayal lagi tongkat Jaka Rimang terlepas dari genggaman dan terlempar jatuh dua langkah kesamping, Jaka Rimang melompat surut ke belakang dengan wajah yang pucat serta berpeluh dingin. Dalam saat yang sama Jaka Wulung menyerang pula dengan tongkatnya menyapu kaki lawan, tapi tak kurang tangkasnya lawan meloncat tinggi sambil menggerakkan cambuknya memapak datangnya serangan tongkat.
Tongkat Jaka Wulung kini terlibat cambuk lawan yang kemudian ditariknya dengan hentakan yang mengejutkan serta tendangan kearah pergelangan tangan:
“lepaskan tongkat”
Ternyata tongkat Jaka Wulung dengan mudahnya lepas dari genggaman dan melambung tinggi untuk kemudian jatuh di tanah sejauh kurang dari sepuluh langkah. Jaka Wulung meloncat ke belakang dengan tangannya dirasakan pedih terkena tendangan lawan, tetapi belum juga ia berpijak tanah, cambuk datang menyapu ke arah kakinya dan terdengarlah suara mengaduh dari Jaka Wulung untuk kemudian jatuh terkulai di tanah. Kakinya sebelah dirasakan lumpuh tak dapat di gerakkan.
Melihat keadaan kakaknya, Jaka Rimang dengan marahnya menerjang lawan dengan serangan tendangan berangkai. Kakinya bergerak menendang silih berganti ke arah dada dan lambungnya, namun lawannya tangguh dan lebih tangkas. Pada tendangan yang ketiga kalinya lawan sengaja tak menghindar, tetapi menangkis dengan pukulan telapak tangan kanan yang tepat mengenai tulang sambungan pergelangan kaki Jaka Rimang.
Jaka Rimang jatuh tersungkur dan tidak berdaya lagi. Empat punggawa praja yang berdiri menonton, kini lari mendekat dan mengikat tangan dan kaki Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
“Kuwu, lekas masukkan dua tawanan itu kedalam pedati dan bawalah langsung ke Kepatihan”, perintah Patih Lingganata. “aku menunggu jemputan kudaku”.
Lingganata adalah patih Kabupaten, yang baru saja diangkat sebagai pengganti patih Kabupaten yang namanya juga Lingganata. Sesubgguhnya nama patih yang baru itu sebelum diangkat terkenal dengan nama Durgawangsa seorang bekas kepala rampok.
Suara cambuk terdengar sekali lagi dan pedati yang ditarik sepasang sapi mulai bergerak berjalan pelan-pelan. Jaka Wulung dan Jaka Rimang berbaring berhimpitan dengan dibelenggu kaki dan tangannya masing-masing diatas tumpukan barang-barang yang berada didalam pedati itu dengan dijaga dua orang punggawa praja, sedangkan dua orang punggawa praja lainnya duduk didepan memegang tali kemudi.
Tak lama kemudian seorang punggawa praja berkuda datang dengan mengantarkan kudanya Patih Lingganata. Dengan tangkas Patih Lingganata naik ke pelana kudanya dan memacunya memasuki kota Indramayu. Pedati berjalan pelan dan makin lama makin ketinggalan jauh dari dua orang yang berkuda.
Pada waktu pedati melalui tikungan, tiba-tiba dua orang berpakaian seperti saudagar kaya, berkelebat meloncat ke dalam pedati dan langsung menyerang empat orang punggawa praja yang berada dalam pedati. Dalam tempat yang sempit itu mereka bergumul saling menyerang. Kiranya dua orang penyerang memiliki ketangkasan yang jauh lebih tinggi dari pada para punggawa praja yang diserangnya.
Dalam waktu singkat empat orang punggawa praja telah terpukul pingsan, bahkan dua diantaranya terlempar ke luar dari pedati dan tak sadarkan diri. Sementara itu dengan tangkas tali belenggu Jaka Wulung dan Jaka Rimang di putusnya dengan tebasan golok dan kedua Jaka bersaudara itu dipondong oleh kedua orang diatas pundaknya, serta meloncat keluar lari memasuki lorong-lorong jalan kecil di kampung-kampung. Pedati masih terus berjalan tanpa kusir yang mengemudikan.
“Tuan, turunkanlah, kami berdua dapat berjalan sendiri dengan dibimbing”, Jaka Wulung mulai membuka mulutnya dengan bicara pelan.
Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera diturunkan oleh dua orang penolong itu, dan kini berjalan pelan dengan dipapah masing-masing oleh kedua orang yang menolongnya dengan tak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. Dengan isyarat ini Jaka Wulung dan Jaka Rimang menundukkan muka dengan terdiam sambil terus berjalan pelan, dengan kaki sebelah diseret. Kini mereka berempat memasuki sebuah rumah bilik yang cukup luas, tetapi sepi tak kelihatan penghuninya.
Dengan berhati-hati pintu ditutupnya kembali dari dalam dengan palang pintu kayu yang cukup kuat. Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera dipersilahkan berbaring di bale-bale yang telah tersedia. Karena dua orang penolong itu belum memulai bicara, Jaka Wulung dan Jaka Rimang juga masih tetap bungkam dan saling berpandang-pandangan dengan penuh pertanyaan.
Seorang diantara dua penolong itu memandang tajam kearah Jaka Wulung dan Jaka Rimang berganti-ganti dan mulai bicara dengan suara pelan:
“Sebagai seorang lurah tamtama penatus, kau berdua cukup memiliki ketangkasan dan keberanian, tetapi dalam tugasmu sekarang ini, kau berdua kurang berhati-hati. Kecerobohan tindakanmu dapat menggagalkan seluruh rencana Gustimu Tumenggung Indra, tahukah lurah Wulung dan lurah Rimang?”
Jaka Wulung serta Jaka Rimang serentak bangkit dan duduk dengan mulut ternganga dengan penuh rasa heran dan takut, karena tidak menduga bahwa penolongnya itu tahu bahwa mereka berdua telah diangkat Sang Senapati Muda Adityawardhana sebagai lurah tamtama.
“Memang kejadian ini adalah akibat kebodohan kami berdua, mohon penjelasan…… siapakah sebenarnya tuan-tuan berdua ini”, Jaka Wulung bertanya dengan sangat merendah. Karena ia menduga bahwa penolongnya tak mungkin orang biasa. Tentulah orang yang dekat hubungannya dengan para perwira tamtama Kerajaan, demikian pikirnya.
“ya.... memang kita belum saling mengenal. Ketahuilah bahwa aku Bupati tamtama Cakrawirya dan sebutan pangkatku Tumenggung. Pembantuku ini lurah tamtama Durpada!” Cakrawirya menjelaskan.
Jaka Wulung serta Jaka Rimang setelah jelas mendengar kata-kata itu, segera memaksakan duduk bersila dan menyembah serta berkata.
“Ampunilah, Gusti Tumenggung. Kami berdua tak sengaja berlaku kurang hormat kepada Gustiku. Dan kami menghaturkan banyak terima kasih atas kemurahan Gustiku Tumenggung Cakrawirya”. Jaka Wulung berkata dengan menundukkan mukanya.
“Tak mengapa, sebagai tamtama baru, kalian berdua cukup menunjukkan kesetiaan. Untuk selanjutnya sewaktu-waktu kita berjumpa dalam perjalanan jangan sekali kali menyebut dengan Gusti, tetapi cukup dengan Tuan atau saudagar saja. Dan sekarang berbaringlah kembali, biar lurah tamtama Durpada mengobati kakimu yang pecah”.
Tanpa diperintah untuk kedua kalinya Durpada segera memeriksa kaki kedua-duanya, ternyata hanya terkilir saja dan kiranya Jaka Wulung dan Jaka Rimang dapat saling mengurut sendiri, dengan membobokkan ramuan obat yang dibekalnya.
Cakrawirya dan Durpada segera meninggalkan mereka berdua dalam rumah itu, dengan maksud mencari jejak Indra Sambada yang berjalan bersama dengan Sujud. Jaka Rimang dan Jaka Wulung taat mematuhi perintah Cakrawirja, dimana mereka harus beristirahat selama satu hari satu malam, hingga kakinya yang terkilir sembuh kembali.
Dirumah itu selain telah disediakan makanan lebih dari cukup juga pakaian bermacam-macam bentuk dan beraneka warna telah tersedia. Kedatangan tamtama nara sandi Tumenggung Cakrawirya dan Lurah Durpada, adalah atas perintah Patih Mangkubumi Gajah Mada untuk memberikan bantuan pada Tumenggung lndra Sambada yang sedang mengemban tugas dari Sang Senapati Manggala Yudha, Perintah ini adalah memenuhi usul Sang Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti Adityawardhana, setelah mana beliau memberikan laporan selengkapnya tentang hasil peninjauannya serta rencana selanjutnya untuk memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang sedang berkobar.
lndra Sambada dengan Sujud sengaja tak mau melalui jalan besar. Mereka menyusuri tebing kali Cimanuk mengikuti arus air kemuara. Dengan demikian mereka mengambil jalan memutar kearah utara untuk kemudian kembali ketimur melalui jalan-jalan desa yang berliku-liku dan kemudian masuk kekota dengan tak mendapatkan rintangan sesuatupun.
Berdua mereka langsung menuju kepasar Kota Kabupaten, yang penuh sesak dengan orang-orang berdagang dan orang yang sedang berbelanja. Sujud berjalan dengan dua ekor burung merpatinya ditangan, sedangkan Indra Sambada berjalan berlenggang dengan kantong kulit tergantung dipinggangnya. Keris pusakanya tak ketinggalan diselipkan dalam baju dipinggang sebelah kiri agak kedepan. Berkali kali Sujud mengajak berhenti untuk melihat barang-barang yang beraneka warna dan bentuknya yang sedang diperdagangkan serta yang menarik perhatiannya.
Didalam pasar itu Indra Sambada membeli pakaian yang indah untuk Sujud serta untuk dirinya sendiri, tak ubahnya seperti pakaian seorang saudagar kaya raya. Kini mereka keluar dari pasar yang ramai itu dan menuju ke kali Cimanuk yang tak jauh dari kota Indramayu. Memang letak kota Indramayu berada disebelah timur kali Cimanuk, yang mana kali ini bermuara dipantai utara laut Jawa dekat kota Indramayu. Kali Cimanuk kini tidak dapat dilalui oleh perahu-perahu layar, karena tidak dalam dan luasnyapun tidak seluas kali Bengawan.
Perahu-perahu layar hanya dapat memasuki sampai dimuara saja. Setelah sampai dipinggir kali Ciinanuk, pada tempat yang sepi, Indra Sambada serta Sujud segera mengenakan pakaian barunya, yang baru saja dibelinya dari pasar tadi. Memang benar apa kata pepatah yang menyatakan, bahwa pakaian dapat merobah wajah dan bentuk Orang.
“Siasat yang bagus sekali”, Indra Sambada menjawab, sambil masih berfikir mencari siasat yang lebih tepat lagi. Ia diam sejenak, dan meneruskan bicaranya: “Saya juga ada pendapat yang mungkin lebih baik. Mengingat bahwa Bapak adalah bekas kepala daerah ini, sebaiknya bapak menyamar entahlah sebagai apa, agar tidak mudah dikenal orang. Bapak berjalan lebih dahulu dengan di bayang-bayangi dari jauh oleh adi Jaka Wulung dan Jaka Rimang, kemudian saya menyusul dengan Sujud. Kiraku dengan demikian akan mengurangi kemungkinan datangnya kesukaran-kesukaran dalam perjalanan ini”.
“Jika nakmas menghendaki demikian, sayapun sangat setuju, dan sebaliknya kita melanjutkan perjalanan setelah nanti matahari tenggelam”, Wirahadinata menambah.
Pada malam harinya mereka berjalan berpisah, sebagaimana yang mereka rencanakan. Jika Wirahadinata sewaktu memasuki kota Indramaju tak menarik perhatian karena ia menyamar orang tua pengemis dengan bajunya yang compang camping, serta bertongkat sebatang dahan kering, maka lain halnya dengan Jaka Wulung dan Jaka Rimang. Dari tingkah laku dan percakapannya mudah diketahui, bahwa mereka adalah orang pendatang dari lain daerah. Hal ini disebabkan terutama karena mereka tak mengenal akan bahasa daerah setempat.
Pagi itu kebetulan hari pasaran di kota. Orang berduyun-duyun datang memasuki kota dengan membawa dagangannya mmasing-masing yang beraneka macam. Ada yang membawa bahan makanan berupa beras, jagung, kedelai dan lain-lain hasil tanaman seperti sayur-sayuran dan sebagainya. Dan adapula yang membawa ternak seperti ayam, itik dan lain-lain serta bahkan ada yang berjalan sambil menghalau kerbau sapi dan lain sebagainya, untuk nanti dijual dipasar kota.
Empat orang punggawa praja sibuk menghadang para pendatang untuk mengumpulkan bea masuk kota yang tidak sedikit jumlahnya. Yaitu seperempat bagian dari taksiran harga nilai dagangannya, para pedagang itu harus menyerahkan pada empat orang punggawa praja, yang memang ditugaskan oleh Bupati Kepala Daerah lndramayu. Mereka diharuskan membayar tunai dengan mata uang ataupun meninggalkan barang dagangannya sebanyak seperempat bagian.
Mungkin hal itu telah menjadi kebiasaan, sehingga semua pendatang tak ada yang berhasrat menentangnya. Walaupun sesungguhnya dirasakan berat sekali olehnya. Sebentar saja pedati dipinggir jalan yang tadinya kosong itu kini penuh dengan bermacam-macam barang hasil pungutan dari para pedagang, sedangkan kantong goni yang dipentang oleh dua punggawa praja itu cepat juga penuh berisikan uang perak dan tembaga.
Ada dua tiga orang yang menggerutu, tetapi pada hakekatnya, mereka juga membayar penuh. bea masuk kota yang ditentukan oleh empat orang punggawa praja tadi . Tak seorang dapat lolos dari keharusan membayar bea masuk kota, kecuali pengemis tua, karena memang tak ada yang harus ditinggalkan. Dengan pakaian yang compang camping dan dekil itu, para punggawa praja segan untuk menggeledahnya.
“Cepat, serahkan kantong kulitmu masing-masing, untuk kuperiksa dulu isinya”, seorang punggawa praja berseru memerintah pada Jaka wulung dan Jaka Rimang yang kini tiba giliran untuk digeledah.
Mendengar seruan ini muka Jaka. Rimang seketika menjadi merah padam menahan rasa marahnya dan menjawablah dengan bentakan yang tak kalah kerasnya.
“Peraturan mana yang mengharuskan orang berlalu digeledah dan meninggalkan seperempat bagian miliknya padamu”.
“Bangsat….. membantah ketentuan ini, sama halnya dengan memberontak terhadap Gustiku Bupati, tahu”. Salah seorang punggawa praja yang tinggi besar membentak keras.
“Tak usah di jawab. Tangkap saja dua orang itu”. perintah seorang punggawa yang berdiri dibelakang, sambil memperhatikan Jaka Wulung dan Jaka Rimang dengan pandangan mata yang tajam.
Dua orang punggawa yang sedang menghadapi segera merangsak maju hendak menangkap pergelangan tangan Jaka Wulung dan Jaka Rimang, untuk menyeretnya, akan tetapi kedua punggawa praja itu segera jatuh terjungkal kebelakang dan kepalanya babak belur terbentur batu yang berserakan ditanah.
Punggawa praja yang berdiri dibelakang tadi, cepat menghunus golok panjangnya serta menerjang maju dengan serangan kilat yang berbahaya. Sedangkan seorang punggawa lainnya yang sedang memegang kantong goni yang berisi uang, cepat pula turut menyerang dengan kelewangnya.
Orang-orang pendatang banyak pula yang tidak mempedulikan keributan ini dan mengambil kesempatan untuk cepat-cepat berlalu dari tempat itu, dengan tanpa membayar bea masuk. Dari gerakan para penyerang itu, Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera dapat mengukur ketangguhan lawan, yang ternyata jauh berada dibawah tingkatannya.
“Adi Rimang, biarlah kau melayani mereka sendiri, aku akan membagi bagi rejeki pada para penonton”, berkata demikian Jaka Wulung melompat kesamping menuju tempat kantong goni yang beriskan uang.
Dengan tangkas kantong goni disodok dengan tongkatnya dan uang dalam goni itu berkerincingan tersebar dijalanan. Kini tanpa diperintah lagi, orang yang berlalu di situ berebut memunguti uang yang tersebar dijalanan, sewaktu Jaka Rimang sibuk dengan tongkatnya mempermainkan dua punggawa praja yang menyerangnya. Dua orang punggawa praja yang jatuh terjungkal karena tendangan Jaka Wulung dan Jaka Rimang tadi, telah pula merayap bangun dan menyerbu kearah Jaka Rimang, untuk membantu teman-temannya.
Kini pertandingan menjadi satu lawan empat. Tetapi Jaka Wulung masih juga berdiri tenang dengan senyum simpul sambil melihat jalannya pertempuran. Tak lama kemudian senjata masing-masing yang berada ditangan empat orang punggawa praja itu serentak terpental lepas dari pegangan dan jatuh ditanah, dengan diiringi suara jeritan dan mengaduhnya dua orang punggawa praja yang jatuh terpental kebelakang tiga langkah dari tempat pertempuran.
Belum juga suara tertawa hilang dari mulut Jaka Rimang, yang merasa girang karena berhasil serangannya, tiba-tiba ia sendiri jatuh terjungkal dengan pelipisnya sebelah kiri berdarah. Jaka Wulung melompat, untuk menolong adiknya, tetapi suara desis jatuhnya batu krikil datang kearahnya terpaksa ia merobah gerakannya dan dengan tongkatnya Jaka Wulung menangkis datangnya serangan gelap itu.
Batu kerikil sebesar ibu jari tangan terpental jatuh karena terbentur dengan ujung tongkat Jaka Wulung. Terkejut ia setelah merasakan betapa pedihnya telapak tangan yang memegang tongkat. Kembali suara desingan terdengar dan tongkat di tangannya berputaran cepat untuk digunakan sebagai perisai, sambil merendahkan badannya dan dua buah kerikil terpental melambung jauh, karena terbentur tongkat penjalinnya.
Kini ia tahu, bahwa penyerang gelap itu adalah orang yang duduk dalam pedati dipinggir jalan. Orang itu tenang-tenang duduk dalam pedati dipinggir jalan dengan tangan kirinya memegang cambuk dan bandringan atau alat pelempar batu ditangan kanannya, dengan ketawa terkekeh kekeh.
“Hai bedebah, kusir pedati”, Jaka Wulung berseru dengan lantang. “Jangan kau menyerang dengan sembunyi”.
“Ha..... haaaa ….. haaaa….. akan kulihat sampat dimana ketangkasan permainan tongkatmu”. berkata demikian orang yang duduk dalam pedati segera meloncat keluar dengan cambuk pedatinya ditangan kiri. “Sebelum kau hancur kuhajar dengan cambukku, siapakah kau, berani berlagak sebagai pemberontak”. Pakaian orang itu hitam kumal sebagai kusir pedati biasa dengan topi anyaman bambu sebagai penutup kepalanya.
Bentuk tubuhnya tinggi kurus agak bongkok, namun wajahnya kelihatan bersih bersinar. Melihat raut mukanya, usianya tak lebih dari 30 tahun. Matanya juling, menyimpan silat-sifat kepalsuan. Ketawanyapun di buat-buat dengan nada penuh ejekan. Empat orang punggawa praja tadi cepat mengundurkan diri dan berdiri agak jauh di belakang orang itu dengan rasa ketakutan.
“Akulah Jaka Wulung”. Jaka Wulung menyahut cepat. “Dan maksudku bukan untuk memberontak, tetapi sekedar memberi hajaran pada punggawa praja yang memeras rakyat dengan semena-mena. Siapakah kau berani turut campur urusanku”.
Belum juga pertanyaan itu terjawab, pecutnya telah menyambar dengan mengeluarkan suara yang memekakkan telinga, langsung menyambar kearah kepala Jaka Wuiung. Sementara itu Jaka Rimang telah sadarkan diri kembali dan bangkit berdiri dengan tongkat siap ditangan.
Dengan hanya menundukkan kepalanya dan badan merendah sedikit, Jaka Wulung terhindar dari cambukan. Tetapi secepat ia terhindar dari cambukan yang pertama, serangan cambuk yang kedua segera menyusul pula dari arah yang bertentangan ditujukan pada lambung kirinya.
Dengan tangkas Jaka Wulung meloncat tinggi menghindari serangan cambuk sambil menyerang kearah dada lawan. Serangan Jaka Wulung dahsyat sekali hingga bagi orang yang kurang pengalaman akan merasa sukar terhindar. Tetapi kiranya lawannya adalah orang yang memiliki ketangkasan yang luar biasa. Sebelum ujung tongkat menyentuh lehernya, dengan tangkas ia memiringkan badannya, dan sekaligus mengirimkan tendangan dengan kaki kanan.
Serangan yang tak terduga ini sukar sekali untuk dihindarkan, karena saat itu Jaka Wulung belum berpijak di tanah. Jaka Wulung mengerahkan tenaga untuk menerima tendangan lawan dengan tangkisan siku tangannya dan ia terpental dua langkah kebelakang dengan berjumpalitan.
Ternyata tenaga tendangan lawan tadi dahsyat sekali. Cepat Jaka Wulung bangkit dan membalikan badannya, siap untuk mengelakkan serangan tusukan dari lawan. Tiba tiba Jaka Rimang telah menerjang lawan yang sedang melancarkan serangan dengan cambuknya. memukul dengan tongkatnya kearah pergelangan tangan kiri lawan, yang memegang cambuk itu.
Cepat serangan cambuk itu ditarik kembali untuk menghindari pukulan cepat tongkat Jaka Rimang, sambil menangkis dengan cambukan pada tongkat yang menerjang itu serta berseru nyaring.
“lepas”.
Tak ayal lagi tongkat Jaka Rimang terlepas dari genggaman dan terlempar jatuh dua langkah kesamping, Jaka Rimang melompat surut ke belakang dengan wajah yang pucat serta berpeluh dingin. Dalam saat yang sama Jaka Wulung menyerang pula dengan tongkatnya menyapu kaki lawan, tapi tak kurang tangkasnya lawan meloncat tinggi sambil menggerakkan cambuknya memapak datangnya serangan tongkat.
Tongkat Jaka Wulung kini terlibat cambuk lawan yang kemudian ditariknya dengan hentakan yang mengejutkan serta tendangan kearah pergelangan tangan:
“lepaskan tongkat”
Ternyata tongkat Jaka Wulung dengan mudahnya lepas dari genggaman dan melambung tinggi untuk kemudian jatuh di tanah sejauh kurang dari sepuluh langkah. Jaka Wulung meloncat ke belakang dengan tangannya dirasakan pedih terkena tendangan lawan, tetapi belum juga ia berpijak tanah, cambuk datang menyapu ke arah kakinya dan terdengarlah suara mengaduh dari Jaka Wulung untuk kemudian jatuh terkulai di tanah. Kakinya sebelah dirasakan lumpuh tak dapat di gerakkan.
Melihat keadaan kakaknya, Jaka Rimang dengan marahnya menerjang lawan dengan serangan tendangan berangkai. Kakinya bergerak menendang silih berganti ke arah dada dan lambungnya, namun lawannya tangguh dan lebih tangkas. Pada tendangan yang ketiga kalinya lawan sengaja tak menghindar, tetapi menangkis dengan pukulan telapak tangan kanan yang tepat mengenai tulang sambungan pergelangan kaki Jaka Rimang.
Jaka Rimang jatuh tersungkur dan tidak berdaya lagi. Empat punggawa praja yang berdiri menonton, kini lari mendekat dan mengikat tangan dan kaki Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
“Kuwu, lekas masukkan dua tawanan itu kedalam pedati dan bawalah langsung ke Kepatihan”, perintah Patih Lingganata. “aku menunggu jemputan kudaku”.
Lingganata adalah patih Kabupaten, yang baru saja diangkat sebagai pengganti patih Kabupaten yang namanya juga Lingganata. Sesubgguhnya nama patih yang baru itu sebelum diangkat terkenal dengan nama Durgawangsa seorang bekas kepala rampok.
Suara cambuk terdengar sekali lagi dan pedati yang ditarik sepasang sapi mulai bergerak berjalan pelan-pelan. Jaka Wulung dan Jaka Rimang berbaring berhimpitan dengan dibelenggu kaki dan tangannya masing-masing diatas tumpukan barang-barang yang berada didalam pedati itu dengan dijaga dua orang punggawa praja, sedangkan dua orang punggawa praja lainnya duduk didepan memegang tali kemudi.
Tak lama kemudian seorang punggawa praja berkuda datang dengan mengantarkan kudanya Patih Lingganata. Dengan tangkas Patih Lingganata naik ke pelana kudanya dan memacunya memasuki kota Indramayu. Pedati berjalan pelan dan makin lama makin ketinggalan jauh dari dua orang yang berkuda.
Pada waktu pedati melalui tikungan, tiba-tiba dua orang berpakaian seperti saudagar kaya, berkelebat meloncat ke dalam pedati dan langsung menyerang empat orang punggawa praja yang berada dalam pedati. Dalam tempat yang sempit itu mereka bergumul saling menyerang. Kiranya dua orang penyerang memiliki ketangkasan yang jauh lebih tinggi dari pada para punggawa praja yang diserangnya.
Dalam waktu singkat empat orang punggawa praja telah terpukul pingsan, bahkan dua diantaranya terlempar ke luar dari pedati dan tak sadarkan diri. Sementara itu dengan tangkas tali belenggu Jaka Wulung dan Jaka Rimang di putusnya dengan tebasan golok dan kedua Jaka bersaudara itu dipondong oleh kedua orang diatas pundaknya, serta meloncat keluar lari memasuki lorong-lorong jalan kecil di kampung-kampung. Pedati masih terus berjalan tanpa kusir yang mengemudikan.
“Tuan, turunkanlah, kami berdua dapat berjalan sendiri dengan dibimbing”, Jaka Wulung mulai membuka mulutnya dengan bicara pelan.
Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera diturunkan oleh dua orang penolong itu, dan kini berjalan pelan dengan dipapah masing-masing oleh kedua orang yang menolongnya dengan tak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. Dengan isyarat ini Jaka Wulung dan Jaka Rimang menundukkan muka dengan terdiam sambil terus berjalan pelan, dengan kaki sebelah diseret. Kini mereka berempat memasuki sebuah rumah bilik yang cukup luas, tetapi sepi tak kelihatan penghuninya.
Dengan berhati-hati pintu ditutupnya kembali dari dalam dengan palang pintu kayu yang cukup kuat. Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera dipersilahkan berbaring di bale-bale yang telah tersedia. Karena dua orang penolong itu belum memulai bicara, Jaka Wulung dan Jaka Rimang juga masih tetap bungkam dan saling berpandang-pandangan dengan penuh pertanyaan.
Seorang diantara dua penolong itu memandang tajam kearah Jaka Wulung dan Jaka Rimang berganti-ganti dan mulai bicara dengan suara pelan:
“Sebagai seorang lurah tamtama penatus, kau berdua cukup memiliki ketangkasan dan keberanian, tetapi dalam tugasmu sekarang ini, kau berdua kurang berhati-hati. Kecerobohan tindakanmu dapat menggagalkan seluruh rencana Gustimu Tumenggung Indra, tahukah lurah Wulung dan lurah Rimang?”
Jaka Wulung serta Jaka Rimang serentak bangkit dan duduk dengan mulut ternganga dengan penuh rasa heran dan takut, karena tidak menduga bahwa penolongnya itu tahu bahwa mereka berdua telah diangkat Sang Senapati Muda Adityawardhana sebagai lurah tamtama.
“Memang kejadian ini adalah akibat kebodohan kami berdua, mohon penjelasan…… siapakah sebenarnya tuan-tuan berdua ini”, Jaka Wulung bertanya dengan sangat merendah. Karena ia menduga bahwa penolongnya tak mungkin orang biasa. Tentulah orang yang dekat hubungannya dengan para perwira tamtama Kerajaan, demikian pikirnya.
“ya.... memang kita belum saling mengenal. Ketahuilah bahwa aku Bupati tamtama Cakrawirya dan sebutan pangkatku Tumenggung. Pembantuku ini lurah tamtama Durpada!” Cakrawirya menjelaskan.
Jaka Wulung serta Jaka Rimang setelah jelas mendengar kata-kata itu, segera memaksakan duduk bersila dan menyembah serta berkata.
“Ampunilah, Gusti Tumenggung. Kami berdua tak sengaja berlaku kurang hormat kepada Gustiku. Dan kami menghaturkan banyak terima kasih atas kemurahan Gustiku Tumenggung Cakrawirya”. Jaka Wulung berkata dengan menundukkan mukanya.
“Tak mengapa, sebagai tamtama baru, kalian berdua cukup menunjukkan kesetiaan. Untuk selanjutnya sewaktu-waktu kita berjumpa dalam perjalanan jangan sekali kali menyebut dengan Gusti, tetapi cukup dengan Tuan atau saudagar saja. Dan sekarang berbaringlah kembali, biar lurah tamtama Durpada mengobati kakimu yang pecah”.
Tanpa diperintah untuk kedua kalinya Durpada segera memeriksa kaki kedua-duanya, ternyata hanya terkilir saja dan kiranya Jaka Wulung dan Jaka Rimang dapat saling mengurut sendiri, dengan membobokkan ramuan obat yang dibekalnya.
Cakrawirya dan Durpada segera meninggalkan mereka berdua dalam rumah itu, dengan maksud mencari jejak Indra Sambada yang berjalan bersama dengan Sujud. Jaka Rimang dan Jaka Wulung taat mematuhi perintah Cakrawirja, dimana mereka harus beristirahat selama satu hari satu malam, hingga kakinya yang terkilir sembuh kembali.
Dirumah itu selain telah disediakan makanan lebih dari cukup juga pakaian bermacam-macam bentuk dan beraneka warna telah tersedia. Kedatangan tamtama nara sandi Tumenggung Cakrawirya dan Lurah Durpada, adalah atas perintah Patih Mangkubumi Gajah Mada untuk memberikan bantuan pada Tumenggung lndra Sambada yang sedang mengemban tugas dari Sang Senapati Manggala Yudha, Perintah ini adalah memenuhi usul Sang Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti Adityawardhana, setelah mana beliau memberikan laporan selengkapnya tentang hasil peninjauannya serta rencana selanjutnya untuk memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang sedang berkobar.
lndra Sambada dengan Sujud sengaja tak mau melalui jalan besar. Mereka menyusuri tebing kali Cimanuk mengikuti arus air kemuara. Dengan demikian mereka mengambil jalan memutar kearah utara untuk kemudian kembali ketimur melalui jalan-jalan desa yang berliku-liku dan kemudian masuk kekota dengan tak mendapatkan rintangan sesuatupun.
Berdua mereka langsung menuju kepasar Kota Kabupaten, yang penuh sesak dengan orang-orang berdagang dan orang yang sedang berbelanja. Sujud berjalan dengan dua ekor burung merpatinya ditangan, sedangkan Indra Sambada berjalan berlenggang dengan kantong kulit tergantung dipinggangnya. Keris pusakanya tak ketinggalan diselipkan dalam baju dipinggang sebelah kiri agak kedepan. Berkali kali Sujud mengajak berhenti untuk melihat barang-barang yang beraneka warna dan bentuknya yang sedang diperdagangkan serta yang menarik perhatiannya.
Didalam pasar itu Indra Sambada membeli pakaian yang indah untuk Sujud serta untuk dirinya sendiri, tak ubahnya seperti pakaian seorang saudagar kaya raya. Kini mereka keluar dari pasar yang ramai itu dan menuju ke kali Cimanuk yang tak jauh dari kota Indramayu. Memang letak kota Indramayu berada disebelah timur kali Cimanuk, yang mana kali ini bermuara dipantai utara laut Jawa dekat kota Indramayu. Kali Cimanuk kini tidak dapat dilalui oleh perahu-perahu layar, karena tidak dalam dan luasnyapun tidak seluas kali Bengawan.
Perahu-perahu layar hanya dapat memasuki sampai dimuara saja. Setelah sampai dipinggir kali Ciinanuk, pada tempat yang sepi, Indra Sambada serta Sujud segera mengenakan pakaian barunya, yang baru saja dibelinya dari pasar tadi. Memang benar apa kata pepatah yang menyatakan, bahwa pakaian dapat merobah wajah dan bentuk Orang.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment