“Sebagai Senapati Muda, kedatangatku adalah atas titah Gustiku Senapati Manggala Yudha dengan dua tugas utama, pertama mencari Tumenggung Indra Sambada, dan yang kedua mencari tahu latar belakang dari pada kerusuhan-kerusuhan yang kini sedang berkobar di mana-mana”. terdengar suara Sang Senapati Muda Adityawardhana yang sedang menjelaskan maksud kedatangan di Padepokan.
“Ketahuilah Tumenggung Indra, Sejak kau meninggalkan Senapaten, hingga kini banyak terjadi kerusuhan-kerusuhan baik berupa perampokan-perampokan, pembakaran-pembakaran desa, maupun perang kecil-kecilan antar desa, ataupun antar suku. Menurut keterangan dari Gustiku Patih Mangkubumi Gajah Mada, kerusuhan-kerusuhan itu tak mungkin dapat dipadamkan hanya dengan kekerasan saja. Sebelum diketahui dengan pasti latar belakangnya. Dan tugas itu diserahkan penuh kepadaku, karena kuatir akan merembet hingga menyuramkan kebesaran nama Gustiku Sri Baginda Maharaja Rajasanegara. Untuk tugas ini, oleh Gustiku Senapati Harya Banendra disarankan agar aku mencarimu untuk kemudian membawamu serta dalam mengemban titah itu.
Maka sengaja aku mencari orang-orang sakti guna minta bantuan baik berupa petunjuk-petunjuk yang berguna dalam mengetahui latar belakang kerusuhan itu maupun berupa tenaga kesktiannya dalam menumpas kerusuhan-kerusuhan tersebut. Menurut saran dari Tumenggung Cakrawirya aku supaya menemui Kyai Tunggul dipinggir Bengawan, dan untuk memudahkan perjalanan supaya Tumenggung Sunata menyertai aku. Ternyata setelah sampai di Ngawi Kyai Tunggul tidak berada dipadepokan hanya kudamu kulihat berada dikandang belakang pondok”.
Sampai disini Sang Senapati berhenti bicara sebentar untuk minum air teh yang berada dihadapannya, lalu melanjutkan kata-katanya lagi.
“Menurut keterangan Nyai Tunggul kepada Tumenggung Sunata, Kyai Tunggul sedang berpergian ke lereng Gunung Sumbing dan berapa lamanya tak dapat ditentukan. Berdasarkan itu semua, aku langsung menuju kemari, dengan maksud mencari Tumenggung Indra Sambada, dan sekaligus minta bantuan Kyai Wiku Sepuh yang menurut kabar telah berpengalaman luas. Pun saya berkeinginan pula bertemu muka dengan Kyai Tunggul, karena ada beberapa hal yang akan aku tanyakan padanya”.
Berkata demikian Sang Senapati memalingkan kepala kearah Kyai Tunggul yang duduk disamping kirinya, dan sambil melanjutkan bicara.
“Menurut pendapatku tentunya Kyai Tunggul, Kyai Wiku Sepuh serta Kyai Pandan Gede tidak akan keberatan membantuku dalam menjunjung titah Gustiku Maganggala Yudha”. Sampai disini Sang Senapati berhenti bicara, menunggu jawaban dari ketiga orang shakti itu.
“Demi kepentingan rakyat banyak, tentulah kami berdua akan membantu sesuai dengan kemampuan kami, Gustiku Senapati” jawab Kyai Wiku Sepuh dengan sangat berhati-hati.
“Sayapun demikian”, Kyai Tunggul menyahut, dan melanjutkan kata-katanya. “Sesungguhnya mengenai latar belakang kerusuhan-kerusuhan itu, telah saya bentangkan dengan jelas kepada nakmas Tumenggung Indra Sambada, dan atas saran saya itu maka Tumenggung Indra Sambada meninggalkan Ngawi dengan maksud yang sama seperti tujuan Gustiku Senapati. Kiranya tak perlu saya memakai kedok lagi, karena kini sudah waktunya saja berterus terang kehadapan Gustiku Senapati Adityawardhana, bahwa saya sesungguhnya adalah bekas Bupati Indramayu, narapraja dari Pajajaran dulu, sedangkan nama saya yang sebenarnya adalah Wirahadinata.
Dan hal ini semua telah pula saya jelaskan pada nakmas Tumenggung Indra Sambada. Kiranya sudah tidak ada lagi rahasia yang kusembunyikan terhadap nakmas Tumenggung Indra. Maka saya persilahkan Gustiku Senapati mendengar sendiri dari nakmas Tumenggung Indra Sambada”.
Dengan sinar pandangan tajam, Sang Senapati menatap muka Bupati Wirahadinata, sambil mendengarkan pembicaraannya dengan saksama, Kini kelimanya saling berpandangan, dengan demikian suasana menjadi hening sesaat. Diantara kelima orang sakti itu Tumenggung Sunata merasa dirinya yang terendah.
“Demikian bodohku” pikirnya “hingga aku tak tahu bahwa guruku Kyai Tunggul adalah narapraja Bupati Pajajaran”
“Gusti hamba Senapati ataupun kangmas Tumenggung Sunata”. Indra Sambada memecah kesunyian dan bicara dengan tenang. “Hendaknya Gusti hamba Senapati jangan salah terka terhadap Bapak Bupati Wirahadinata. Maksud Bapak Bupati Wirahadinata menyamar sebagai Kyai Tunggul adalah suatu tujuan suci yang pantas kita hormati. Demi kepentingan rakyat banyak Bapak Bupati Wirahadinata berani mengorbankan segala-galanya, dan hidup sebagai seorang dukun petani di pinggir Bengawan. Dilihat dari segi itu saja, kiranya Gusti hamba sudah dapat mengukur jiwa ksatrya yang ada padanya. Hanya belum ada kesempatan dapat membuktikan pengabdiannya kehadapan Gusti hamba Sri Baginda Maharaja Rajasanegara”.
“Kiranya belum sampai aku sempat bertanya, kini telah mendapat jawaban”. Sang Senapati memotong pembicaraan Indra Sambada, dan diperintahkannya Indra Sambada untuk melanjutkan membeberkan ceritanya. “Coba teruskan keteranganmu itu sejelas-jelasnya”.
“Baiklah Gusti, hamba akan melanjutkan membeberkan latar belakang kerusuhan-kerusuhan yang hamba dapat dari Bapak Bupati Wirahadinata”, Indra Sambada menyahut dengan tenang dan melanjutkan bicaranya.
“Pangkal mula dari pada kerusuhan-kerusuhan itu ialah akibat kurang bijaksananya dalam hal penempatan-penempatan para narapraja yang menggantikan narapraja dari Pajajaran. Banyak diantaranya dari narapraja yang diangkat untuk menggantikan para narapraja yang memerintah daerah Pajajaran, menyalahgunakan kekuasaan, hingga jauh menyeleweng dari pada tugas-tugas yang dibebankan. Dengan demikian membangkitkan rasa tidak puas terhadap para bekas perwira-perwira tamtama Pajajaran dan sebagian besar rakyat yang merasa tertindas. Dari para bekas perwira tamtama yang merasa tidak puas itu terpecah lagi menjadi dua golongan.
Satu golongan menghendaki berdirinya kembali Kerajaan Pajajaran yang telah hancur, dengan cara menghimpun kekuatan kembali sedikit demi sedikit. Dan golongan kedua menghendaki menjadi daerah Kerajaan Agung Majapahit dibawah satu bendera gula klapa, tetapi bukan sebagai daerah jajahan, melainkan sebagai daerah bagian.
Dari golongan kedua itu, mereka mempunyai usul, agar para narapraja yang menyalah gunakan kekuasaan diganti dengan para narapraja yang berasal dari pribumi daerah Pajajaran sendiri, demi kewibawaan Kerajaan Agung Majapahit dan demi membina ketentraman rakyat daerah itu. Usul itu telah lama dikandung, tetapi karena tak ada hubungan dengan para priyagung Kerajaan, maka Bapak Bupati Wirahadinata sangat berhati-hati menjaga jangan sampai salah alamat. Bukankah demikian Bapak Bupati Wirahadinata?” Indra Sambada menutup ceritanya dengan pertanyaan kepada Wirahadinata.
“Benar apa yang telah dijelaskan oleh nakmas Tumenggung Indra Sambada. Gustiku Senapati, dan sedikitpun kiranya tidak menyimpang dari kenyataan”. Bupati Wirahadinata menjawab langsung tertuju pada Sang Senapati dan melanjutkan ceritanya.
“Agar Gustiku Senapati mendapat gambaran yang lebih jelas, maka yang disebut, golongan pertama akan saya uraikan sejelas-jelasnya dihadapan Gustiku Senapati. Golongan pertama itu terdiri dari para Perwira-perwira dan orang-orang sakti yang memiliki keberanian, tidak seperti halnya dengan golongan yang kedua, yang pada umumnya terdiri dari para Punggawa narapraja dan sebagian perwira perwira tantama serta orang-orang terkemuka yang cinta akan perdamaian.
Dalam golongan pertama tadi terdapat pula dua aliran, satu sama lain saling mempertahankan pendiriannya, dan tak dapat bekerja sama. Aliran pertama didasari rasa dendam kesumat terhadap para priyagung Kerajaan Majapahit, dan berkeinginan untuk mengadakan pembalasan dendam mengingat jalan terjadinya perang Bubat, hingga hancurnya Kerajaan Pajajaran. Oleh mereka dianggapnya sebagai suatu tindakan penghinaan yang penuh kelicikan. Akan tetapi karena mereka merasa tak mampu untuk melaksanakan maksudnya, maka mereka berusaha mengadakan kekacauan dimana mana, dengan maksud untuk menanam benih ketidak puasan dikalangan rakyat banyak, dan juga menyebarkan benih-benih perpecahan antar suku di Jawa ini.
“Ketahuilah Tumenggung Indra, Sejak kau meninggalkan Senapaten, hingga kini banyak terjadi kerusuhan-kerusuhan baik berupa perampokan-perampokan, pembakaran-pembakaran desa, maupun perang kecil-kecilan antar desa, ataupun antar suku. Menurut keterangan dari Gustiku Patih Mangkubumi Gajah Mada, kerusuhan-kerusuhan itu tak mungkin dapat dipadamkan hanya dengan kekerasan saja. Sebelum diketahui dengan pasti latar belakangnya. Dan tugas itu diserahkan penuh kepadaku, karena kuatir akan merembet hingga menyuramkan kebesaran nama Gustiku Sri Baginda Maharaja Rajasanegara. Untuk tugas ini, oleh Gustiku Senapati Harya Banendra disarankan agar aku mencarimu untuk kemudian membawamu serta dalam mengemban titah itu.
Maka sengaja aku mencari orang-orang sakti guna minta bantuan baik berupa petunjuk-petunjuk yang berguna dalam mengetahui latar belakang kerusuhan itu maupun berupa tenaga kesktiannya dalam menumpas kerusuhan-kerusuhan tersebut. Menurut saran dari Tumenggung Cakrawirya aku supaya menemui Kyai Tunggul dipinggir Bengawan, dan untuk memudahkan perjalanan supaya Tumenggung Sunata menyertai aku. Ternyata setelah sampai di Ngawi Kyai Tunggul tidak berada dipadepokan hanya kudamu kulihat berada dikandang belakang pondok”.
Sampai disini Sang Senapati berhenti bicara sebentar untuk minum air teh yang berada dihadapannya, lalu melanjutkan kata-katanya lagi.
“Menurut keterangan Nyai Tunggul kepada Tumenggung Sunata, Kyai Tunggul sedang berpergian ke lereng Gunung Sumbing dan berapa lamanya tak dapat ditentukan. Berdasarkan itu semua, aku langsung menuju kemari, dengan maksud mencari Tumenggung Indra Sambada, dan sekaligus minta bantuan Kyai Wiku Sepuh yang menurut kabar telah berpengalaman luas. Pun saya berkeinginan pula bertemu muka dengan Kyai Tunggul, karena ada beberapa hal yang akan aku tanyakan padanya”.
Berkata demikian Sang Senapati memalingkan kepala kearah Kyai Tunggul yang duduk disamping kirinya, dan sambil melanjutkan bicara.
“Menurut pendapatku tentunya Kyai Tunggul, Kyai Wiku Sepuh serta Kyai Pandan Gede tidak akan keberatan membantuku dalam menjunjung titah Gustiku Maganggala Yudha”. Sampai disini Sang Senapati berhenti bicara, menunggu jawaban dari ketiga orang shakti itu.
“Demi kepentingan rakyat banyak, tentulah kami berdua akan membantu sesuai dengan kemampuan kami, Gustiku Senapati” jawab Kyai Wiku Sepuh dengan sangat berhati-hati.
“Sayapun demikian”, Kyai Tunggul menyahut, dan melanjutkan kata-katanya. “Sesungguhnya mengenai latar belakang kerusuhan-kerusuhan itu, telah saya bentangkan dengan jelas kepada nakmas Tumenggung Indra Sambada, dan atas saran saya itu maka Tumenggung Indra Sambada meninggalkan Ngawi dengan maksud yang sama seperti tujuan Gustiku Senapati. Kiranya tak perlu saya memakai kedok lagi, karena kini sudah waktunya saja berterus terang kehadapan Gustiku Senapati Adityawardhana, bahwa saya sesungguhnya adalah bekas Bupati Indramayu, narapraja dari Pajajaran dulu, sedangkan nama saya yang sebenarnya adalah Wirahadinata.
Dan hal ini semua telah pula saya jelaskan pada nakmas Tumenggung Indra Sambada. Kiranya sudah tidak ada lagi rahasia yang kusembunyikan terhadap nakmas Tumenggung Indra. Maka saya persilahkan Gustiku Senapati mendengar sendiri dari nakmas Tumenggung Indra Sambada”.
Dengan sinar pandangan tajam, Sang Senapati menatap muka Bupati Wirahadinata, sambil mendengarkan pembicaraannya dengan saksama, Kini kelimanya saling berpandangan, dengan demikian suasana menjadi hening sesaat. Diantara kelima orang sakti itu Tumenggung Sunata merasa dirinya yang terendah.
“Demikian bodohku” pikirnya “hingga aku tak tahu bahwa guruku Kyai Tunggul adalah narapraja Bupati Pajajaran”
“Gusti hamba Senapati ataupun kangmas Tumenggung Sunata”. Indra Sambada memecah kesunyian dan bicara dengan tenang. “Hendaknya Gusti hamba Senapati jangan salah terka terhadap Bapak Bupati Wirahadinata. Maksud Bapak Bupati Wirahadinata menyamar sebagai Kyai Tunggul adalah suatu tujuan suci yang pantas kita hormati. Demi kepentingan rakyat banyak Bapak Bupati Wirahadinata berani mengorbankan segala-galanya, dan hidup sebagai seorang dukun petani di pinggir Bengawan. Dilihat dari segi itu saja, kiranya Gusti hamba sudah dapat mengukur jiwa ksatrya yang ada padanya. Hanya belum ada kesempatan dapat membuktikan pengabdiannya kehadapan Gusti hamba Sri Baginda Maharaja Rajasanegara”.
“Kiranya belum sampai aku sempat bertanya, kini telah mendapat jawaban”. Sang Senapati memotong pembicaraan Indra Sambada, dan diperintahkannya Indra Sambada untuk melanjutkan membeberkan ceritanya. “Coba teruskan keteranganmu itu sejelas-jelasnya”.
“Baiklah Gusti, hamba akan melanjutkan membeberkan latar belakang kerusuhan-kerusuhan yang hamba dapat dari Bapak Bupati Wirahadinata”, Indra Sambada menyahut dengan tenang dan melanjutkan bicaranya.
“Pangkal mula dari pada kerusuhan-kerusuhan itu ialah akibat kurang bijaksananya dalam hal penempatan-penempatan para narapraja yang menggantikan narapraja dari Pajajaran. Banyak diantaranya dari narapraja yang diangkat untuk menggantikan para narapraja yang memerintah daerah Pajajaran, menyalahgunakan kekuasaan, hingga jauh menyeleweng dari pada tugas-tugas yang dibebankan. Dengan demikian membangkitkan rasa tidak puas terhadap para bekas perwira-perwira tamtama Pajajaran dan sebagian besar rakyat yang merasa tertindas. Dari para bekas perwira tamtama yang merasa tidak puas itu terpecah lagi menjadi dua golongan.
Satu golongan menghendaki berdirinya kembali Kerajaan Pajajaran yang telah hancur, dengan cara menghimpun kekuatan kembali sedikit demi sedikit. Dan golongan kedua menghendaki menjadi daerah Kerajaan Agung Majapahit dibawah satu bendera gula klapa, tetapi bukan sebagai daerah jajahan, melainkan sebagai daerah bagian.
Dari golongan kedua itu, mereka mempunyai usul, agar para narapraja yang menyalah gunakan kekuasaan diganti dengan para narapraja yang berasal dari pribumi daerah Pajajaran sendiri, demi kewibawaan Kerajaan Agung Majapahit dan demi membina ketentraman rakyat daerah itu. Usul itu telah lama dikandung, tetapi karena tak ada hubungan dengan para priyagung Kerajaan, maka Bapak Bupati Wirahadinata sangat berhati-hati menjaga jangan sampai salah alamat. Bukankah demikian Bapak Bupati Wirahadinata?” Indra Sambada menutup ceritanya dengan pertanyaan kepada Wirahadinata.
“Benar apa yang telah dijelaskan oleh nakmas Tumenggung Indra Sambada. Gustiku Senapati, dan sedikitpun kiranya tidak menyimpang dari kenyataan”. Bupati Wirahadinata menjawab langsung tertuju pada Sang Senapati dan melanjutkan ceritanya.
“Agar Gustiku Senapati mendapat gambaran yang lebih jelas, maka yang disebut, golongan pertama akan saya uraikan sejelas-jelasnya dihadapan Gustiku Senapati. Golongan pertama itu terdiri dari para Perwira-perwira dan orang-orang sakti yang memiliki keberanian, tidak seperti halnya dengan golongan yang kedua, yang pada umumnya terdiri dari para Punggawa narapraja dan sebagian perwira perwira tantama serta orang-orang terkemuka yang cinta akan perdamaian.
Dalam golongan pertama tadi terdapat pula dua aliran, satu sama lain saling mempertahankan pendiriannya, dan tak dapat bekerja sama. Aliran pertama didasari rasa dendam kesumat terhadap para priyagung Kerajaan Majapahit, dan berkeinginan untuk mengadakan pembalasan dendam mengingat jalan terjadinya perang Bubat, hingga hancurnya Kerajaan Pajajaran. Oleh mereka dianggapnya sebagai suatu tindakan penghinaan yang penuh kelicikan. Akan tetapi karena mereka merasa tak mampu untuk melaksanakan maksudnya, maka mereka berusaha mengadakan kekacauan dimana mana, dengan maksud untuk menanam benih ketidak puasan dikalangan rakyat banyak, dan juga menyebarkan benih-benih perpecahan antar suku di Jawa ini.
Sedangkan aliran yang kedua selalu berusaha menghimpun kekuatan untuk menuntut kembalinya daerah Pajajaran menjadi daerah yang mandirengpribadi sebagai dasarnya jelasnya berusaha mendirikan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan tidak mau mengorbankan rakyat banyak.
Tindakan-tindakan para narapraja yang kini berkuasa didaerah bekas Kerajaan Pajajaran ternyata banyak menyeleweng menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadinya. Hal ini mempercepat bernyalanya kembali semangat dari pada yang clisebut golongan pertama tadi. Sedangkan golongan kedua yang didasari cinta kepada kesatuan bangsa, pengaruhnya semakin surut karena kalah pembuktian.
Dengan selalu tidak adanya titik pertemuan antara dua golongan dan ditambah lagi dengan tindakan sebagian para punggawa narapraja yang menyeleweng menyalah gunakan kekuatannya, maka rakyatlah menjadi korban. Mereka diadu domba, dirampok dan masih tertindas pula. Dapatkah keadaan demikian dibiarkan berlangsung terus? Maka sekarang saya serahkan kehadapan kebijaksanaan Gustiku Senapati, untuk menentukan langkah selanjutnya demi kepentingan rakyat banyak, kesatuan dan keharuman nama Kerajaan Agung kita Majapahit”. Sampai disini Bupati Wirahadinata berhenti bicara, dan menatap wajah Sang Senapati sesaat, untuk kemudian menundukkan muka kembali.
Sang Senapati mengerutkan keningnya, dan mendengarkan cerita Bupati Wiradinata dengan penuh perhatian, Suasana menjadi hening kembali, setelah Bupati Wirahadinata mengakhiri ceritanya. Semua menyimpan pendapatnya masing-masing dengan menarik kesimpulan sendiri, namun tak seorangpun berani mengemukakan pendapatnya.
“Kenalkah Bupati Wirahadinata dengan para pemimpin dari apa yang disebut golongan pertama dan kedua?” Sang Senapati memecah kesunyian, dan bertanya dengan tanda kepada Bupati Wirahadinata,
“Tentu saja saya mengenalnya, Gustiku Senapati”, jawab Wirahadinata, “Bahkan nakmas Tumenggung Indra Sambada pernah bertempur melawan satu diantara pimpinan bekas perwira Pajajaran yang dimaksud itu, dimana terlihat pula Suronggolo, murid Tambakraga hingga menemui ajalnya. Tetapi yang bertempur melawan nakmas Tumenggung Indra Sambada dapat lolos dan melarikan diri”.
“Siapa orang itu?” Sang Senapati memotong dengan nada tak sabar.
“Ia terkenal sebagai pemimpin para rampok dengan gelar Kerta Gembong, tetapi nama yang sebenarnya adalah Kertanata kusumah. Ia, adalah seorang perwira tamtama yang memiliki kesaktian dan keberanian, serta pendiriannya sukar ditundukkan. Dan itulah yang saya maksudkan dengan golongan pertama tadi”.
“Jika demikian adakah hubungannya antara Kertanatakusumah dengan Tambakraga?” Sang Senapati bertanya pada Bupati Wirahadinata.
“Hal itu saya kurang mengetahui, Gustiku. Yang terang murid-murid Tambakraga banyak yang menjadi alat Kertanatakusumah, untuk membangkitkan kerusuhan dimana-mana”, jawab Bupati Wirahadmata singkat.
“Adakah Kyai Wiku Sepuh ataupun Kyai Pandan Gede mengetahui banyak hal ini?” Sang Senapati memalingkan kepala kearah Kyai Wiku Sepuh dan Kyai Pandan Gede serta bertanya dengan mengerutkan kening.
“Hal itu dapat diketahui lebih banyak, apabila kita dapat menangkap hidup-hidup si Tambakraga”. Pandan Gede mendahului menjawab pertanyaan Sang Senapati.
“Bupati Wirahadinata”. Sang Senapati menegor dengan pelan dan kelihatan sangat berhati-hati dalam ucapannya. “Keteranganmu menjadi bahan pertimbangan bagiku untuk melangkah lebih lanjut dalam memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang timbul sekarang, akan tetapi aku belum dapat memenuhi usul-usulmu seluruhnya. Aku masih minta bukti akan kesetiaanmu, kesanggupan untuk menyertai Tumenggung Manggala Muda Indra Sambada menemui para pemimpin yang berkehendak mengabdi pada Kerajaan Majapahit, demi tercapainya penatuan seluruh rakyat senuswantara dibawah naungan satu bendera gula klapa”.
“Saya berjanji akan menjunjung tinggi titah Gustiku Senapati”. Bupati Wirahadinata menjawab singkat sambil bersujud”.
“Tugasmu selanjutnya terserah pada Tumenggung Indra Sambada, sebagai wakilku dalam menjunjung tinggi titah Gusti Senapati Manggala Yudha”. Berkata demikian Sang Senapati sambil mengangkat bahu Bupati Wirahadinata yang kemudian duduk bersila kembali. Sang Senapati melanjutkan bicaranya:
“Kyai Wiku Sepuh serta Kyai Pandan Gede”, kata Sang Senapati: “Ingin juga aku minta pendapat Kyai berdua, sebagai tambahan bahan-bahan pertimbanganku. Dan aku kira Kyai berdua akan bersedia membantu demi kepentingan nusa dan bangsa kita ini, bukankah demikian Kyai Wiku Sepuh dan Kyai Pandan Gede?”
Pandan Gede menyarankan agar Sang Senapati menunggu munculnya kembali Tambakraga dalam beberapa hari lagi. Karena menurut dugaan Kyai Pandan Gede, Tambakraga terpaksa menyembuhkan luka didadanya yang akan memakan waktu kurang lebih 7 hari lamanya. Setelah Tambakraga muncul maka supaya dapat ditangkap hidup-hidup.
“Dengan demikian pada persoalan kerusuhan itu akan segera dapat bertambah lebih terang, dan lagi Tambakraga dapat digunakan untuk mengumpulkan dan menundukkan semua pimpinan para penjahat yang berada dibawah pengaruhnya. Hal ini akan banyak artinya dalam memadamkan kerusuhan-kerusuhan dan membendung merembesnya pengaruh bekas perwira tamtama Pajajaran, yang bermaksud menyurutkan nama kebesaran Kerajaan Majapahit”.
Saran dari Kyai Wiku Sepuh disamping menyetujui usul Kyai Pandan Gede, supaya Sang Senapati berlaku waspada dan bertindak adil serta bijaksana. Segala sesuatu tindakan hendaknya didasarkan sebagai pengabdian pada Kerajaan dan sebagai pengemban amanat penderitaan rakyat.
Kedua saran itu oleh Sang Senapati diterima dengan penuh pengertian. Kini Sang Senapati bermaksud menanti kedatangan Tambakraga selama tiga hari di Padepokan. Apabila dalam waktu tiga hari Tambakraga tidak menampakkan dirinya, Kyai Pandan Gede dan Indra Sambada diperintahkan untuk mencarinya disekitar lereng Gunung Sumbing, sedangkan Tumenggung Sunata supaya menggempur sarang Tambakraga dihutan Wonogiri dengan pasukan.
Pada malam harinya, sewaktu semua sedang tidur dengan nyenyaknya, kecuali para murid yang bertugas jaga, Indra Sambada membangunkan Jaka Rimang untuk kemudian di ajaknya keluar halaman Padepokan. Dengan bersenjatakan tongkat penjalin dan kantong kulit dipinggang, mereka berdua berjalan cepat laksana berkelebatnya bayangan yang segera menyelinap dalam kegelapan memasuki hutan, dimana kemaren Tambakraga menghilang.
Disebuah tempat di desa yang terpencil di sebelah barat dari hutan itu, terlihat dari kejauhan adanya sebuah rumah dengan lampu yang bersinar terang di dalamnya. Suara orang-orang bercakap-cakap pelan terdengar jelas diwaktu malam yang sangat sunyi itu.
“Bagaimana pendapat Bapak Guru jika kita semua pulang saja ke Wonogiri hingga Bapak Guru sembuh kembali”, seorang diantaranya berkata.
Yang disebut dengan panggilan Bapak Guru, adalah seorang berbadan gemuk yang telah lanjut usianya dengan wajah yang penuh dengan cambang bauk dan sedang berbaring di bale-bale yang berada ditengah rumah. Dibalik cambang bauknya yang telah berwarna dua itu, wajahnya kelihatan pucat pasi, serta sebentar-sebentar batuk-batuk kecil dengan memuntahkan darah.
Delapan orang yang mengelilinginya sibuk melayani dengan penuh hormat sebagaimana murid yang menunjukkan kesetiaannya terhadap Guru, ada yang sedang memijit mijit kakinya, adapula yang sedang mengusap dengan bobok parem.
“Tak perlu”, jawab Tambakraga pelan dengan diselingi nafas yang tersengal-sengal, ia melanjutkan bicaranya. “Lebih baik beristirahat disini tiga atau empat hari lagi. Aku akan segera sembuh kembali, jangan kuatir akan kesehatanku. Tolong ambilkan lagi obat yang dipinggan, dan biarlah saya minum sekali lagi”.
Salah seorang yang duduk mengelilingi cepat bangkit dan mengambil mangkok yang berisikan jamu yang sebagaimana dimaksudkan untuk kemudian diminumkan pada Macan Kumbang gurunya. Dengan sekali teguk isi mangkok diminun sekali tenggak habis oleh Tambakraga, nafasnya yang terengah-engah berangsur-angsur tenang kembah. Tetapi demikian ini tak berlangsung lama, segera dirasakan kembali oleh Tambakraga dadanya sesak kembali, dan nafasnya terengah-engah lagi.
“Bagaimana jika kami menculik Wiku Sepuh dan membawanya kemari malam ini, agar penyakit dalam Bapak Guru dapat diobati?” kata orangnya yang mengambilkan mangkok obat tadi.
“Tak mungkin bisa…… tak mungkin”. jawab Tambakraga terputus-putus karena nafasnya dirasakan sesak. “ltu namanya mengantarkan jiwa…… Kyai Wiku Sepuh..... bukan……. anak kecil……. Jangan berbuat yang bukan-bukan,,,,,, jika tidak seijinku……” Tambakraga berkata pelan.
“Besok pagi ambil saja…… rempah obat-obatan yang ditegalannya, seperti tadi.
“Baik, bapak guru”. jawab dua orang serentak.
Tiba-tiba delapan orang yang sedang mengelilingi gurunya bangkit serentak karena terkejut dengan terbukanya pintu depan yang terpentang lebar dan menyusul kemudian masuknya dua orang muda yang langsung masuk keruang tengah.
Delapan orang itu cepat menghunus senjatanya dan bermaksud hendak menyerang serentak, tetapi dua orang muda dengan tenangnya melangkah maju dan satu diantaranya berkata dengan nada penuh wibawa.
“Saya datang untuk mengobati gurumu, jangan mulai membuat keributan.
Kedelapan orang segera menggagalkan niatnya dan berdiri termangu dengan penuh pertanyaan.
“Siapa berani datang kemari di tengah malam” terdengar suara Tambakraga yang parau.
Dua orang itu tidak menjawab, tetapi malah langsung mendekati Tambakraga yang sedang berbaring, dengan tidak memperdulikan adanya delapan orang yang sedang menjaganya.
“Sayalah yang datang dengan maklud mengobatimu Tambakraga” Indra Sambada berkata dengan pelan dan tegas serta langsung duduk dibale-bale dimana Tambakraga berbaring.
“Siapa kau berdua?” Tambakraga bertanya dengan suara lantang yang dipaksakan dengan mengerahkan tenaganya dan matanya memandang tajam kearah Indra Sambada dan Jaka Rimang, serta berusaha untuk bangkit.
“Saya Indra Sambada dan adikku Jaka Rimang yang akan menolongmu. Kuharap jangan menaruh kecurigaan pada kami, dan tenanglah berbaring”. berkata demikian Indra Sambada sambil memegang bahunya Tambakraga dan membaringkannya.
Delapan orang kembali berdiri mengelilingi Indra Sambada dan Jaka Rimang yang sedang duduk dengan senjatanya masing-masing yang masih digenggam dengan erat-erat, menunggu perintah gurunya.
“Tak perlu murid-muridmu bersusah payah untuk menculik Kyai Sepuh, kami muridnya datang mewakili” Ternyata Indra Sambada dengan Jaka Rimang telah lama mengintai dari celah-celah dinding bambu dan mendengarkan percakapan mereka dengan jelas.
Semua tertegun heran, bahwa satupun diantara mereka tiada yang mengetahui adanya dua orang muda yang sedang mengintai dari Iuar rumah. Lebih heran lagi, karena tidak ada laporan daripada para penjaga yang memang ditugaskan berjaga disekitar pinggir desa. Sedangkan jumlah penjaga yang ditugaskan ada duabelas orang.
Mendengar kata-kata terakhir dari Indra Sambada, delapan orang serentak mengacungkan senjata masing-masing kearah Indra Sambada, dan Jaka kimang, serta satu diantaranya berseru.
“Keparat, akan kuperiksa terlebih dahulu apakah kalian tidak bermaksud jahat”.
“Jika kami bermaksud jahat, tentunya sudah sejak tadi dapat kulakukan”, jawab Indra Sambada dengan tenang.
Berkata demikian Indra Sambada sambil mendorong dengan tangan kirinya kepada Tambakraga yang akan memaksakan dirinya untuk bangkit dari pembaringan, sedangkan tangan kanannya meraba punggungnya. Tambakraga jatuh berbaring kembali dengan tak berdaya.
“Siapa kamu ini, dan apa maksudmu?” Tambakraga bersuara lemah dan terputus-putus.
“Tadi aku telah berkata, bahwa kedatanganku untuk menolongmu, maka dari itu suruh orang-orangmu jangan mengganggu kami”. Indra Sambada menjawab dengan tegas.
Dengan lambaian tangannya Tambakraga memberikan perintah isyarat agar anak buahnya segera menyimpan senjatanya.
Tindakan-tindakan para narapraja yang kini berkuasa didaerah bekas Kerajaan Pajajaran ternyata banyak menyeleweng menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadinya. Hal ini mempercepat bernyalanya kembali semangat dari pada yang clisebut golongan pertama tadi. Sedangkan golongan kedua yang didasari cinta kepada kesatuan bangsa, pengaruhnya semakin surut karena kalah pembuktian.
Dengan selalu tidak adanya titik pertemuan antara dua golongan dan ditambah lagi dengan tindakan sebagian para punggawa narapraja yang menyeleweng menyalah gunakan kekuatannya, maka rakyatlah menjadi korban. Mereka diadu domba, dirampok dan masih tertindas pula. Dapatkah keadaan demikian dibiarkan berlangsung terus? Maka sekarang saya serahkan kehadapan kebijaksanaan Gustiku Senapati, untuk menentukan langkah selanjutnya demi kepentingan rakyat banyak, kesatuan dan keharuman nama Kerajaan Agung kita Majapahit”. Sampai disini Bupati Wirahadinata berhenti bicara, dan menatap wajah Sang Senapati sesaat, untuk kemudian menundukkan muka kembali.
Sang Senapati mengerutkan keningnya, dan mendengarkan cerita Bupati Wiradinata dengan penuh perhatian, Suasana menjadi hening kembali, setelah Bupati Wirahadinata mengakhiri ceritanya. Semua menyimpan pendapatnya masing-masing dengan menarik kesimpulan sendiri, namun tak seorangpun berani mengemukakan pendapatnya.
“Kenalkah Bupati Wirahadinata dengan para pemimpin dari apa yang disebut golongan pertama dan kedua?” Sang Senapati memecah kesunyian, dan bertanya dengan tanda kepada Bupati Wirahadinata,
“Tentu saja saya mengenalnya, Gustiku Senapati”, jawab Wirahadinata, “Bahkan nakmas Tumenggung Indra Sambada pernah bertempur melawan satu diantara pimpinan bekas perwira Pajajaran yang dimaksud itu, dimana terlihat pula Suronggolo, murid Tambakraga hingga menemui ajalnya. Tetapi yang bertempur melawan nakmas Tumenggung Indra Sambada dapat lolos dan melarikan diri”.
“Siapa orang itu?” Sang Senapati memotong dengan nada tak sabar.
“Ia terkenal sebagai pemimpin para rampok dengan gelar Kerta Gembong, tetapi nama yang sebenarnya adalah Kertanata kusumah. Ia, adalah seorang perwira tamtama yang memiliki kesaktian dan keberanian, serta pendiriannya sukar ditundukkan. Dan itulah yang saya maksudkan dengan golongan pertama tadi”.
“Jika demikian adakah hubungannya antara Kertanatakusumah dengan Tambakraga?” Sang Senapati bertanya pada Bupati Wirahadinata.
“Hal itu saya kurang mengetahui, Gustiku. Yang terang murid-murid Tambakraga banyak yang menjadi alat Kertanatakusumah, untuk membangkitkan kerusuhan dimana-mana”, jawab Bupati Wirahadmata singkat.
“Adakah Kyai Wiku Sepuh ataupun Kyai Pandan Gede mengetahui banyak hal ini?” Sang Senapati memalingkan kepala kearah Kyai Wiku Sepuh dan Kyai Pandan Gede serta bertanya dengan mengerutkan kening.
“Hal itu dapat diketahui lebih banyak, apabila kita dapat menangkap hidup-hidup si Tambakraga”. Pandan Gede mendahului menjawab pertanyaan Sang Senapati.
“Bupati Wirahadinata”. Sang Senapati menegor dengan pelan dan kelihatan sangat berhati-hati dalam ucapannya. “Keteranganmu menjadi bahan pertimbangan bagiku untuk melangkah lebih lanjut dalam memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang timbul sekarang, akan tetapi aku belum dapat memenuhi usul-usulmu seluruhnya. Aku masih minta bukti akan kesetiaanmu, kesanggupan untuk menyertai Tumenggung Manggala Muda Indra Sambada menemui para pemimpin yang berkehendak mengabdi pada Kerajaan Majapahit, demi tercapainya penatuan seluruh rakyat senuswantara dibawah naungan satu bendera gula klapa”.
“Saya berjanji akan menjunjung tinggi titah Gustiku Senapati”. Bupati Wirahadinata menjawab singkat sambil bersujud”.
“Tugasmu selanjutnya terserah pada Tumenggung Indra Sambada, sebagai wakilku dalam menjunjung tinggi titah Gusti Senapati Manggala Yudha”. Berkata demikian Sang Senapati sambil mengangkat bahu Bupati Wirahadinata yang kemudian duduk bersila kembali. Sang Senapati melanjutkan bicaranya:
“Kyai Wiku Sepuh serta Kyai Pandan Gede”, kata Sang Senapati: “Ingin juga aku minta pendapat Kyai berdua, sebagai tambahan bahan-bahan pertimbanganku. Dan aku kira Kyai berdua akan bersedia membantu demi kepentingan nusa dan bangsa kita ini, bukankah demikian Kyai Wiku Sepuh dan Kyai Pandan Gede?”
Pandan Gede menyarankan agar Sang Senapati menunggu munculnya kembali Tambakraga dalam beberapa hari lagi. Karena menurut dugaan Kyai Pandan Gede, Tambakraga terpaksa menyembuhkan luka didadanya yang akan memakan waktu kurang lebih 7 hari lamanya. Setelah Tambakraga muncul maka supaya dapat ditangkap hidup-hidup.
“Dengan demikian pada persoalan kerusuhan itu akan segera dapat bertambah lebih terang, dan lagi Tambakraga dapat digunakan untuk mengumpulkan dan menundukkan semua pimpinan para penjahat yang berada dibawah pengaruhnya. Hal ini akan banyak artinya dalam memadamkan kerusuhan-kerusuhan dan membendung merembesnya pengaruh bekas perwira tamtama Pajajaran, yang bermaksud menyurutkan nama kebesaran Kerajaan Majapahit”.
Saran dari Kyai Wiku Sepuh disamping menyetujui usul Kyai Pandan Gede, supaya Sang Senapati berlaku waspada dan bertindak adil serta bijaksana. Segala sesuatu tindakan hendaknya didasarkan sebagai pengabdian pada Kerajaan dan sebagai pengemban amanat penderitaan rakyat.
Kedua saran itu oleh Sang Senapati diterima dengan penuh pengertian. Kini Sang Senapati bermaksud menanti kedatangan Tambakraga selama tiga hari di Padepokan. Apabila dalam waktu tiga hari Tambakraga tidak menampakkan dirinya, Kyai Pandan Gede dan Indra Sambada diperintahkan untuk mencarinya disekitar lereng Gunung Sumbing, sedangkan Tumenggung Sunata supaya menggempur sarang Tambakraga dihutan Wonogiri dengan pasukan.
Pada malam harinya, sewaktu semua sedang tidur dengan nyenyaknya, kecuali para murid yang bertugas jaga, Indra Sambada membangunkan Jaka Rimang untuk kemudian di ajaknya keluar halaman Padepokan. Dengan bersenjatakan tongkat penjalin dan kantong kulit dipinggang, mereka berdua berjalan cepat laksana berkelebatnya bayangan yang segera menyelinap dalam kegelapan memasuki hutan, dimana kemaren Tambakraga menghilang.
Disebuah tempat di desa yang terpencil di sebelah barat dari hutan itu, terlihat dari kejauhan adanya sebuah rumah dengan lampu yang bersinar terang di dalamnya. Suara orang-orang bercakap-cakap pelan terdengar jelas diwaktu malam yang sangat sunyi itu.
“Bagaimana pendapat Bapak Guru jika kita semua pulang saja ke Wonogiri hingga Bapak Guru sembuh kembali”, seorang diantaranya berkata.
Yang disebut dengan panggilan Bapak Guru, adalah seorang berbadan gemuk yang telah lanjut usianya dengan wajah yang penuh dengan cambang bauk dan sedang berbaring di bale-bale yang berada ditengah rumah. Dibalik cambang bauknya yang telah berwarna dua itu, wajahnya kelihatan pucat pasi, serta sebentar-sebentar batuk-batuk kecil dengan memuntahkan darah.
Delapan orang yang mengelilinginya sibuk melayani dengan penuh hormat sebagaimana murid yang menunjukkan kesetiaannya terhadap Guru, ada yang sedang memijit mijit kakinya, adapula yang sedang mengusap dengan bobok parem.
“Tak perlu”, jawab Tambakraga pelan dengan diselingi nafas yang tersengal-sengal, ia melanjutkan bicaranya. “Lebih baik beristirahat disini tiga atau empat hari lagi. Aku akan segera sembuh kembali, jangan kuatir akan kesehatanku. Tolong ambilkan lagi obat yang dipinggan, dan biarlah saya minum sekali lagi”.
Salah seorang yang duduk mengelilingi cepat bangkit dan mengambil mangkok yang berisikan jamu yang sebagaimana dimaksudkan untuk kemudian diminumkan pada Macan Kumbang gurunya. Dengan sekali teguk isi mangkok diminun sekali tenggak habis oleh Tambakraga, nafasnya yang terengah-engah berangsur-angsur tenang kembah. Tetapi demikian ini tak berlangsung lama, segera dirasakan kembali oleh Tambakraga dadanya sesak kembali, dan nafasnya terengah-engah lagi.
“Bagaimana jika kami menculik Wiku Sepuh dan membawanya kemari malam ini, agar penyakit dalam Bapak Guru dapat diobati?” kata orangnya yang mengambilkan mangkok obat tadi.
“Tak mungkin bisa…… tak mungkin”. jawab Tambakraga terputus-putus karena nafasnya dirasakan sesak. “ltu namanya mengantarkan jiwa…… Kyai Wiku Sepuh..... bukan……. anak kecil……. Jangan berbuat yang bukan-bukan,,,,,, jika tidak seijinku……” Tambakraga berkata pelan.
“Besok pagi ambil saja…… rempah obat-obatan yang ditegalannya, seperti tadi.
“Baik, bapak guru”. jawab dua orang serentak.
Tiba-tiba delapan orang yang sedang mengelilingi gurunya bangkit serentak karena terkejut dengan terbukanya pintu depan yang terpentang lebar dan menyusul kemudian masuknya dua orang muda yang langsung masuk keruang tengah.
Delapan orang itu cepat menghunus senjatanya dan bermaksud hendak menyerang serentak, tetapi dua orang muda dengan tenangnya melangkah maju dan satu diantaranya berkata dengan nada penuh wibawa.
“Saya datang untuk mengobati gurumu, jangan mulai membuat keributan.
Kedelapan orang segera menggagalkan niatnya dan berdiri termangu dengan penuh pertanyaan.
“Siapa berani datang kemari di tengah malam” terdengar suara Tambakraga yang parau.
Dua orang itu tidak menjawab, tetapi malah langsung mendekati Tambakraga yang sedang berbaring, dengan tidak memperdulikan adanya delapan orang yang sedang menjaganya.
“Sayalah yang datang dengan maklud mengobatimu Tambakraga” Indra Sambada berkata dengan pelan dan tegas serta langsung duduk dibale-bale dimana Tambakraga berbaring.
“Siapa kau berdua?” Tambakraga bertanya dengan suara lantang yang dipaksakan dengan mengerahkan tenaganya dan matanya memandang tajam kearah Indra Sambada dan Jaka Rimang, serta berusaha untuk bangkit.
“Saya Indra Sambada dan adikku Jaka Rimang yang akan menolongmu. Kuharap jangan menaruh kecurigaan pada kami, dan tenanglah berbaring”. berkata demikian Indra Sambada sambil memegang bahunya Tambakraga dan membaringkannya.
Delapan orang kembali berdiri mengelilingi Indra Sambada dan Jaka Rimang yang sedang duduk dengan senjatanya masing-masing yang masih digenggam dengan erat-erat, menunggu perintah gurunya.
“Tak perlu murid-muridmu bersusah payah untuk menculik Kyai Sepuh, kami muridnya datang mewakili” Ternyata Indra Sambada dengan Jaka Rimang telah lama mengintai dari celah-celah dinding bambu dan mendengarkan percakapan mereka dengan jelas.
Semua tertegun heran, bahwa satupun diantara mereka tiada yang mengetahui adanya dua orang muda yang sedang mengintai dari Iuar rumah. Lebih heran lagi, karena tidak ada laporan daripada para penjaga yang memang ditugaskan berjaga disekitar pinggir desa. Sedangkan jumlah penjaga yang ditugaskan ada duabelas orang.
Mendengar kata-kata terakhir dari Indra Sambada, delapan orang serentak mengacungkan senjata masing-masing kearah Indra Sambada, dan Jaka kimang, serta satu diantaranya berseru.
“Keparat, akan kuperiksa terlebih dahulu apakah kalian tidak bermaksud jahat”.
“Jika kami bermaksud jahat, tentunya sudah sejak tadi dapat kulakukan”, jawab Indra Sambada dengan tenang.
Berkata demikian Indra Sambada sambil mendorong dengan tangan kirinya kepada Tambakraga yang akan memaksakan dirinya untuk bangkit dari pembaringan, sedangkan tangan kanannya meraba punggungnya. Tambakraga jatuh berbaring kembali dengan tak berdaya.
“Siapa kamu ini, dan apa maksudmu?” Tambakraga bersuara lemah dan terputus-putus.
“Tadi aku telah berkata, bahwa kedatanganku untuk menolongmu, maka dari itu suruh orang-orangmu jangan mengganggu kami”. Indra Sambada menjawab dengan tegas.
Dengan lambaian tangannya Tambakraga memberikan perintah isyarat agar anak buahnya segera menyimpan senjatanya.
“Luka dalammu agak berat”, kata Indra Sambada melepaskan tangannya yang meraba punggung, memijit-mijit pelan didada Tambakraga, dengan mengerahkan tenaga dalamnya.
Berangsur-angsur jalan pernafasannya dirasakan tidak sedemikian menekan seperti semula. Kini Tambakraga terpaksa menurut apa perintah Indra Sambada. Jaka Rimangpun sibuk menyiapkan ramuan obat yang kemudian direbusnya sendiri didapur, untuk kemudian diminumkan pada Tambakraga.
Delapan orang murid Tambakraga hanya diam berdiri, mengamat-amati apa yang dilakukan kedua orang muda itu. Tambakraga setelah minum obat yang diterimanya dari Jaka Rimang, oleh Indra Sambada segera diperintah untuk duduk bersila menghadapkan punggungnya.
Kembali Indra Sambada mengerahkan tenaga dalamnya yang disalurkan lewat jari-jari tangan kanannya untuk mengurut jalan darah dan jalinan syaraf yang sejalan dengan ruas tulang belakang hingga berulang-ulang.
Setelah Tambakraga dapat bernafas seperti biasa, dan di rasanya tidak sedemikian sakit dadanya, maka diperintahkan untuk berdiri dengan kepala dibawah dan kaki lurus keatas. Empat orang muridnya disuruh membantu memegang kedua kaki Tambakraga, agar dapat berjungkir balik dengan lurus.
Kini Indra Sambada memusatkan tenaga bathinnya, untuk kemudian dihembuskan keluar dengan tiupan kearah mulut Tambakraga, dan dalam waktu yang bersamaan, ia diperintahkan untuk menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian Tambakraga memuntahkan darah hitam bergumpalan, dan tak sadarkan diri.
Segera badan Tambakraga dibaringkan kembali, serta mukanya dibersihkan dengan air hangat, secepat itu pula ia sadar kembali. Kini wajahnya kelihatan menjadi merah dan tidak sepucat tadi, sedangkan pernafasannya dirasakan tak terganggu.
Jaka Rimang kembali lagi menyiapkan ramuan obat yang lain, segera diminumkan kepada Tambakraga yang sedang berbaring. Setelah minum obat ramuan untuk kedua kalinya, Tambakraga merasa hilang sakitnya yang selalu menekan didada. kini dapat bernafas dengan lapang dan dapat berbicara dengan bebas, hanya kekuatan tenaganya yang di rasakan sangat lemah, belum kembali seperti semula. Tiba-tiba Tambakraga menatap wajah Indra Sambada dengan pandangan mata yang bernyala-nyala, dan berseru:
“Pendekar Majapahit! Janganlah kau bertindak sebagai pengecut, mempermainkan seorang yang sedang terluka”.
“Tenanglah, Tambakraga, jangan kau cepat menganggap aku ingin mempermainkan kamu, tetapi dengan kesungguhan hati kami mengharap agar kamu lekas sembuh dan bebas dari penderitaan lukamu”, Indra Sambada menjawab dengan tenang, dan dalam hatinya ia memuji akan sifat-sifat kejantanannya. “Memang aku tadi semula akan bermaksud menangkapmu dengan bertanding secara jantan, tetapi setelah aku mengetahui bahwa kau terluka hebat, maksudku telah kubatalkan dan ingin rasanya aku menolongmu terlebih dahulu, sebagaimana kewajiban seorang manusia biasa terhadap sesama. Dan ketahuilah, bahwa kau masih perlu istirahat untuk waktu lebih dari dua bulan untuk mengembalikan tenagamu”.
Tambakraga memandang dengan rasa kagum. Belum pernah ia menjumpai orang sakti semuda lndra Sambada dengan sifat kesatrya sedemikian. Tetapi sebagai seorang yang namanya telah terkenal dan ditakuti serta memiIiki kesaktian, tak mau ia memperlihatkan kekagumannya. Dengan angkuh ia bicara.
“Priyagung yang berwatak ksatrya”, serunya. “Jika kau memang jantan, tunggulah sampai saya pulih kembali tenagaku, untuk mengadu jiwa denganmu. Dan jasa jerih payahmu sekarang ini akan kubayar menurut permintaanmu. Harta bendaku cukup banyak dan selirkupun cantik-cantik. Kau boleh memilih sebagai upah akan pertolonganmu. Bukankah menjadi priyagung tamtama itu mengejar harta benda dan hidup mewah”.
Berkata demikian disertai suara tawa yang mengejek. Hampir-hampir Jaka Rimang tak tahan mendengar ejekan Tambakraga yang memuakkan itu, tetapi sedang ia mengangkat tongkatnya, Indra Sambada cepat menahan dengan tangan kanannya serta memberi isyarat, agar ia tetap tenang dan jangan mengumbar nafsu.
“Aku tidak membutuhkan harta ataupun perempuan”. Indra menyahut dengan tandas serta dengan ketenangan tetap menguasai dirinya. “Jika kau tak berkeberatan, aku mempunyai usul permintaan sebagai pembayaran atas jerih payahku”. Indra Sambada sengaja menekankan minta ganti kerugian akan jasanya, karena mengingat sifat-sifat yang dimiliki Tambakraga, adalah orang yang tak mau berhutang budi. Semuanya dinilai dengan kebendaan. Hanya karena sifat kejantanannya. Indra Sambada tetap menghargai lawannya.
“Cobalah kemukakan usulmu, jika sekiranya tidak merupakan penghinaan bagiku, tentu akan kupenuhi”. Tambakraga menjawab dan dengan penuh curiga menunggu permintaan apa yang kiranya akan dikemukakan Indra Sambada.
“Sama sakali aku tidak akan bermaksud merendahkan dirimu, Tambakraga”. Indra Sambada menjelaskan, “Aku akan memberi waktu padamu selama satu tahun, agar tenagamu dapat pulih kembali seperti semula, jika kau masih penasaran ingin membunuhku sebagai balas dendam, aku akan melayanimu dengan tidak mengecewakan. Tetapi selama kau menunggu kedatanganku satu tahun lagi aku mengharapkan supaya kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan anak buahmu dihentikan. Baru setelah kita bertanding dan jika kemenangan berada dipihakmu kau boleh berbuat dengan anak buahmu sekehendak hati. Aku percaya, bahwa kau tak akan mengingkari janjimu, jika kau menerima usulku”.
“Bagus, bagus, Gelarmu ternyata tak mengecewakan. Tapi ingat dalam pertandingan yang akan datang, aku akan menganggapmu sebagai lawan yang harus kumusnakan dan hutangku padamu akan kubayar dengan memenuhi permintaanmu. Ketahuilah jika ada terjadi kerusuhan disepanjang kali Bengawan sampai memasuki Kota Raja, sebelum kita bertanding adalah menjadi tanggung jawabku dan kau boleh berbuat sekehendak hatimu atas diriku. Sampaikan juga janjiku ini pada Pandan Gede si Siluman tua itu. Aku menunggu kedatangannya bersamamu”. Tambakraga berkata dengan sinar mata yang menyala-nyala.
Berangsur-angsur jalan pernafasannya dirasakan tidak sedemikian menekan seperti semula. Kini Tambakraga terpaksa menurut apa perintah Indra Sambada. Jaka Rimangpun sibuk menyiapkan ramuan obat yang kemudian direbusnya sendiri didapur, untuk kemudian diminumkan pada Tambakraga.
Delapan orang murid Tambakraga hanya diam berdiri, mengamat-amati apa yang dilakukan kedua orang muda itu. Tambakraga setelah minum obat yang diterimanya dari Jaka Rimang, oleh Indra Sambada segera diperintah untuk duduk bersila menghadapkan punggungnya.
Kembali Indra Sambada mengerahkan tenaga dalamnya yang disalurkan lewat jari-jari tangan kanannya untuk mengurut jalan darah dan jalinan syaraf yang sejalan dengan ruas tulang belakang hingga berulang-ulang.
Setelah Tambakraga dapat bernafas seperti biasa, dan di rasanya tidak sedemikian sakit dadanya, maka diperintahkan untuk berdiri dengan kepala dibawah dan kaki lurus keatas. Empat orang muridnya disuruh membantu memegang kedua kaki Tambakraga, agar dapat berjungkir balik dengan lurus.
Kini Indra Sambada memusatkan tenaga bathinnya, untuk kemudian dihembuskan keluar dengan tiupan kearah mulut Tambakraga, dan dalam waktu yang bersamaan, ia diperintahkan untuk menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian Tambakraga memuntahkan darah hitam bergumpalan, dan tak sadarkan diri.
Segera badan Tambakraga dibaringkan kembali, serta mukanya dibersihkan dengan air hangat, secepat itu pula ia sadar kembali. Kini wajahnya kelihatan menjadi merah dan tidak sepucat tadi, sedangkan pernafasannya dirasakan tak terganggu.
Jaka Rimang kembali lagi menyiapkan ramuan obat yang lain, segera diminumkan kepada Tambakraga yang sedang berbaring. Setelah minum obat ramuan untuk kedua kalinya, Tambakraga merasa hilang sakitnya yang selalu menekan didada. kini dapat bernafas dengan lapang dan dapat berbicara dengan bebas, hanya kekuatan tenaganya yang di rasakan sangat lemah, belum kembali seperti semula. Tiba-tiba Tambakraga menatap wajah Indra Sambada dengan pandangan mata yang bernyala-nyala, dan berseru:
“Pendekar Majapahit! Janganlah kau bertindak sebagai pengecut, mempermainkan seorang yang sedang terluka”.
“Tenanglah, Tambakraga, jangan kau cepat menganggap aku ingin mempermainkan kamu, tetapi dengan kesungguhan hati kami mengharap agar kamu lekas sembuh dan bebas dari penderitaan lukamu”, Indra Sambada menjawab dengan tenang, dan dalam hatinya ia memuji akan sifat-sifat kejantanannya. “Memang aku tadi semula akan bermaksud menangkapmu dengan bertanding secara jantan, tetapi setelah aku mengetahui bahwa kau terluka hebat, maksudku telah kubatalkan dan ingin rasanya aku menolongmu terlebih dahulu, sebagaimana kewajiban seorang manusia biasa terhadap sesama. Dan ketahuilah, bahwa kau masih perlu istirahat untuk waktu lebih dari dua bulan untuk mengembalikan tenagamu”.
Tambakraga memandang dengan rasa kagum. Belum pernah ia menjumpai orang sakti semuda lndra Sambada dengan sifat kesatrya sedemikian. Tetapi sebagai seorang yang namanya telah terkenal dan ditakuti serta memiIiki kesaktian, tak mau ia memperlihatkan kekagumannya. Dengan angkuh ia bicara.
“Priyagung yang berwatak ksatrya”, serunya. “Jika kau memang jantan, tunggulah sampai saya pulih kembali tenagaku, untuk mengadu jiwa denganmu. Dan jasa jerih payahmu sekarang ini akan kubayar menurut permintaanmu. Harta bendaku cukup banyak dan selirkupun cantik-cantik. Kau boleh memilih sebagai upah akan pertolonganmu. Bukankah menjadi priyagung tamtama itu mengejar harta benda dan hidup mewah”.
Berkata demikian disertai suara tawa yang mengejek. Hampir-hampir Jaka Rimang tak tahan mendengar ejekan Tambakraga yang memuakkan itu, tetapi sedang ia mengangkat tongkatnya, Indra Sambada cepat menahan dengan tangan kanannya serta memberi isyarat, agar ia tetap tenang dan jangan mengumbar nafsu.
“Aku tidak membutuhkan harta ataupun perempuan”. Indra menyahut dengan tandas serta dengan ketenangan tetap menguasai dirinya. “Jika kau tak berkeberatan, aku mempunyai usul permintaan sebagai pembayaran atas jerih payahku”. Indra Sambada sengaja menekankan minta ganti kerugian akan jasanya, karena mengingat sifat-sifat yang dimiliki Tambakraga, adalah orang yang tak mau berhutang budi. Semuanya dinilai dengan kebendaan. Hanya karena sifat kejantanannya. Indra Sambada tetap menghargai lawannya.
“Cobalah kemukakan usulmu, jika sekiranya tidak merupakan penghinaan bagiku, tentu akan kupenuhi”. Tambakraga menjawab dan dengan penuh curiga menunggu permintaan apa yang kiranya akan dikemukakan Indra Sambada.
“Sama sakali aku tidak akan bermaksud merendahkan dirimu, Tambakraga”. Indra Sambada menjelaskan, “Aku akan memberi waktu padamu selama satu tahun, agar tenagamu dapat pulih kembali seperti semula, jika kau masih penasaran ingin membunuhku sebagai balas dendam, aku akan melayanimu dengan tidak mengecewakan. Tetapi selama kau menunggu kedatanganku satu tahun lagi aku mengharapkan supaya kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan anak buahmu dihentikan. Baru setelah kita bertanding dan jika kemenangan berada dipihakmu kau boleh berbuat dengan anak buahmu sekehendak hati. Aku percaya, bahwa kau tak akan mengingkari janjimu, jika kau menerima usulku”.
“Bagus, bagus, Gelarmu ternyata tak mengecewakan. Tapi ingat dalam pertandingan yang akan datang, aku akan menganggapmu sebagai lawan yang harus kumusnakan dan hutangku padamu akan kubayar dengan memenuhi permintaanmu. Ketahuilah jika ada terjadi kerusuhan disepanjang kali Bengawan sampai memasuki Kota Raja, sebelum kita bertanding adalah menjadi tanggung jawabku dan kau boleh berbuat sekehendak hatimu atas diriku. Sampaikan juga janjiku ini pada Pandan Gede si Siluman tua itu. Aku menunggu kedatangannya bersamamu”. Tambakraga berkata dengan sinar mata yang menyala-nyala.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment