Ads

Saturday, February 12, 2022

Pendekar Majapahit 014

Ia tidak mau anggauta badanya tersentuh kuku-kuku lawan yang beracun Dalam saat ia meloncat surut kebelakang, tenaganya sebagian besar yang telah memusat disalurkan ke tangan kanannya yang memegang pedang dan digunakan untuk menyabet kearah datangnya tombak sebagai tangkisan serangan lawan yang dahsyat. Dua senjata beradu keras, dan masing-masing meloncat surut kebelakang satu langkah dengan suara tertahan …he…. Ternyata kedua-duanya saling mengagumi tenaga masing-masing.

Senjata ditangan masing-masing hampir lepas dari genggaman, dan telapak tangan sama-sama dirasakan pedih karena bergetarnya senjata masing-masing yang digenggamnya erat-erat. Pertempuran berlangsung seru. Semua yang menyaksikan menahan nafas, dan tak ada seorangpun yang berani turut campur tangan. Para tamtama hanya duduk mengitari gelanggang, taat akan perintah atasannya. Jaka Wulung dan Jaka Rimang menekan kemarahan yang dikandungnya dengan berdiri seperti patung mengikuti jalannya pertempuran.

Ingin mereka menggantikan Sang Senapati untuk melawan Tambakraga, tetapi atas perintah larangan Temenggung Sunata, terpaksa mereka hanya berdiri terpaku saja. Demikian pula Kyai Tunggul Wiku Sepuh tak mau keluar halaman. Ia bahkan masuk dalam ruang pendapa tengah dan duduk bersamadi. Dan hanya para pamong muridlah yang disuruh turut mengamat-amati dari dekat melihat jalannya pertempuran.

Ke duanya yang sedang bertempur, melancarkan serangan-serangan maut, namun ternyata ke duanya ketangkasan yang cukup tinggi dan tenaga kesaktian yang sukar dicari bandingannya. Jari-jari tangan yang dipentang tegang oleh Tambakraga, tak mampu menyentuh badan Sang Senapati. Dimana tangan kanan Tambakraga bergerak menyerang, segera dapat digagalkan karena berkelebatnya pedang Sang Senapati.

Tetapi serangan-serangan pedang dengan kecepatan yang luar biasa serta sangat berbahaya, selalu jatuh ketempat kosong. Kembali kini Sang Senapati mengumpulkan daya pemusatan kekuatan bathinnya, untuk disalurkan ditangan kanannya dengan maksud ingin sekali lagi menguji kekuatan lawan. Pedang ditangan kanan bergerak berputaran cepat, hingga merupakan bentuk lingkaran seperti dayung baja yang menyilaukan pandangan. Dengan perisai ciptaan itu ia bergerak maju mendesak lawan. Akan tetapi Tambakraga telah mengetahui maksud tujuan lawan, pun ia ingin mengukur sampai dimana tenaga keseluruhan milik lawannya.

Ia mundur selangkah, untuk kembali mengatur pernafasannya dan memusatkan seluruh tenaga simpanan ditangan kiri ia memegang tombak pendek. Dengan meloncat selangkah maju kedepan ia menerjang perisai pedang, dengan tusukan tombaknya yang dahsyat.

Kini keduanya telah mengerahkan hampir seluruh tenaga kekuatan dalam tangan masing-masing yang memegang senjata. Dua senjata berbentur, saling beradu dengan disertai tenaga yang dahsyat. Dan masing-masing mengeluarkan seruan nyaring serta terhuyung-huyung surut kebelakang dua langkah.

Ternyata karena kerasnya benturan, kedua senjata itu terpental lepas dari genggaman dan melambung jauh untuk kemudian jatuh hampir sepuluh langkah dari pemilik masing-masing. Tangan-tangan mereka berdua dirasakan sangat pedih dan matanya berkunang-kunang hampir keduanya jatuh pingsan tak sadarkan diri.

Semua yang menyaksikan berseru terkejut, bahkan Sunata dan Kyai Tunggul sudah berniat untuk melangkah maju untuk menolong Sang Senapati, tetapi dengan cepatnya mereka telah menguasai diri masing-masing dan kembali mengumpulkan tenaganya yang baru saja terpukul buyar. Dengan ketangkasan yang luar biasa mereka kini saling mendahului menyerang dengan tak bersenjata.

Sesungguhnya sekalipun dilihat sepintas lalu, pertandingan ini sama-sama tak memegang senjata, akan tetapi Tambakraga dengan kukunya yang runcing beracun adalah merupakan senjata yang lebih dahsyat daripada senjata tajam lainnya. Menghadapi demikian itu Sang Senapati harus berlaku lebih tangkas menghindari datangnya serangan jari-jari beracun yang bertubi-tubi itu.

Jika tadi ia berani memapaki datangnya cengkeraman beracun dengan pedangnya, kini tak berani ia memapakinya dengan kekuatan tangan. Ia menggagalkan serangan lawannya hanya dengan selalu mengelakkan diri ataupun mendahului menyerang dengan tendangan dan tinjunya kearah tempat kelemahan lawan. Kecepatan gerakannya ternyata membuat Tambakraga mencengkeram angin selalu.

Pertempuran bertangan kosong, kiranya lebih seru dari pada sewaktu keduanya memegang senjata. Ternyata Tambakragapun memiliki ketangkasan yang mentakjubkan. Badannya yang gemuk kiranya bukan merupakan penghalang dalam gerakan kelincahannya.

Pertempuran telah berlangsung lama, namun belum ada tanda-tanda siapa yang akan dapat menundukkan lawannya. Sebentar-sebentar terdengar seruan nyaring dengan gerakan loncatan yang berkelebat seperti bayangan menyambar-nyambar. Tetapi Adityawardhana adalah seorang Senapati tamtama sebagai Manggala tamtama Pengawal Raja.

Disamping ketangkasan dan kesaktian dalam krida yudha, iapun memiliki kecerdasan lebih dari pada Tambakraga. Sewaktu ia sedang bertempur mengadu jiwa, masih sempat pula menggunakan kecerdasan otaknya untuk memperhatikan dengan saksama seluruh gerakan lawannya hingga dapat memahami dan mengetahui segi-segi kelemahan gerakan lawan. Dengan perhitungan yang cermat, kini dengan sengaja Sang Senapati memperlambat gerakkannya.

Melihat gerakan Sang Senapati yang kini berobah menjadi lambat, Tambakraga mengira bahwa lawannya telah letih kehabisan tenaga. Dengan satu loncatan yang diiringi seruan nyaring Tambakraga membentangkan jari-jarinya menerjang menyerang kearah kepala lawan. Semua yang menyaksikan menahan nafas dengan rasa penuh cemas, karena mengira pula bahwa Sang Senapati telah letih kehabisan tenaga, dan tak dapat mengelakkan serangan yang dahsyat dan dapat merenggut jiwanya.

Tiba-tiba sebelum cengkeraman maut menyentuh sasarannya, dan selagi Tambakraga terapung diatas tanah, tendangan Sang Senapati tepat mengenai dada Tambakraga. Tendangan itu disertai pemusatan seluruh tenaga kekuatannya dan merupakan suatu tendangan yang dahsyat.

Maka tak ayal lagi Tambakraga terpental kebelakang dan jatuh tersungkur dengan memuntahkan darah segar, Sang Senapati segera melesat akan menerjang lawan yang sedang jatuh tersungkur, tetapi kini ia jatuh terduduk kembali karena kakinya yang kiri yang baru saja digunakan untuk melancarkan tendangan kiranya terasa pegal dan pedih serta tak dapat digerakkan.

la berdiri lagi dengan kakinya yang kanan, tetapi kembali kaki kirinya tak dapat bergerak untuk melangkah. Pada saat itu Tambakraga telah bangkit dengan terhuyung-huyung untuk kemudian lari, dengan meninggalkan kata-kata yang terdengar dengan jelas:

“Saya tak dapat melayani tuan Iebih lama, tetapi saya tetap akan berada di sekitar daerah ini, menunggu kedatangan Pandan Gede dan si Pendekar Majapahit”. Berkata demikian Tambakraga sambil melarikan diri dan menyelinap di hutan yang tak jauh letaknya dari Padepokan.

Para tamtama yang akan mengejarnya dicegah oleh Sang Senapati, karena ia ingat pada janjinya sendiri, bahwa pertarungan ini tak akan membawa-bawa pangkat dan kekuasaannya. Kiranya Sifat-sifat ksatryanya itu telah menjadi satu dengan darahnya.



Kyai Tunggul dan Sunata serta para pamong murid segera mendekati Sang Senapati dan membimbingnya masuk ke Padepokan. Alangkah terkejutnya setelah KyaiTunggul melihat kaki kiri Sang Senapati, kini kelihatan membengkak dan menjadi biru hitam hampir sampai dilututnya. Dibetis kaki kiri itu ternyata kelihatan goresan bekas kuku Tambakraga. Dan hal ini adalah diluar pengetahuan Tambakraga sendiri. Kiranya sewaktu kaki kirinya Sang Senapati melancarkan tendangan yang dahsyat dengan tak sadar Tambakraga menangkis dengan tangannya karena kemungkinan untuk menghindari sudah tidak mungkin. Pemusatan tenaganya disalurkan keseluruh badannya untuk menerima tendangan yang dahsyat, tetapi karena tenaga tendangan Sang Senapati lebih terpusat, maka tak mampulah Tambakraga mengandalkan kekebalannya.

Cepat Kyai Tunggul membaringkan Sang Senapati dan mengambil ramuan obat penolak racun. Wiku Sepuh segera pula mengetahui akan bahayanya racun yang sedang bekerja dalam buluh-buluh darah di kaki Sang Senapati. Ia cepat mengerahkan tenaga bathinnya yang kemudian disalurkan lewat pernafasan untuk ditiupkan pelan dalam mulut Sang Senapati, hingga demikian kedua tokoh itu beradu mulut.

Warna biru hitam yang hampir mendekati lututnya, kini pelan-pelan turun kembali sampai kebetis Sang Senapati. Dengan tiupan sakti daya alir racun itu tertahan dan tak dapat mengalir bersama-sama darah. Ramuan obat setelah masak segera diminumkan, dan kini rasa membeku telapak kakinya mulai berkurang, namun tetap warna hitam dan bengkak kaki itu belum hilang.

Goresan kecil bekas tapak kuku beracun oleh Kyai Tunggul dibelahnya dengan pisau yang tajam, dengan demikian maka luka menjadi agak lebar, dan darah hitam mengucur keluar dari luka itu. Wiku Sepuh mengulangi lagi dengan tiupan saktinya, untuk menahan mengalirnya racun keatas. Sewaktu Wiku Sepuh meniup, Sang Senepati diharuskan diam menahan napas, Jaka Wulung dan Jaka Rimang sibuk pula turut melayani Sang Senapati.

“Seandainya Indra Sambada ada” pikir mereka berdua “tentu luka beracun itu dapat segera disembuhkan”. Mereka ingat kembali pada waktu Jaka Rimang terluka oleh tusukan keris dipahanya. Akan tetapi tak berani mereka mempercakapkan mengenai Indra Sambada.

Pada waktu itu para pamong murid sibuk pula mengatur penjagaan disekitar halaman Padepokan, untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan dari anak buah Tambakraga. Ini adalah atas saran Sang Senapati. Waktu itu matahari telah terbenam dibawah Cakrawala. Hari telah mulai gelap remang-remang.

Sang Senapati masih juga terbaring dengan ditunggu oleh Kyai Tunggul dan Tumenggung Sunata beserta Sujud. Warna hitam biru dikakinya telah banyak berkurang, namun bengkaknya masih tetap belum mau mengering. Darah hitam masih saja menetes keluar, mungkin karena desakan obat pemunah racun yang telah dibuatkan oleh Kyai Tunggul tadi.

Suhu badannya panas, namun jelas Sang Senapati merasakan dingin menggigil. Hebat sekali bekerjanya racun yang merangsang. Sebentar-sebentar Kyai Tunggul mengerahkan tenaga dalamnya untuk meniup pelan kedalam mulut Sang Senapati, sebagaimana tadi telah dilakukan oleh Kyai Wiku Sepuh, untuk menekan kembali mengalirnya sisa racun keatas.

Wiku Sepuh telah kembali lagi ke ruang pendapa dan meneruskan semadhinya, seolah-olah tak ada suatu kejadian. Para pamong murid dan para penjaga yang bertugas, sibuk menyiapkan hidangan makan malam. Tak seorang murid yang berani mendekat dan mengganggu semadhinya Kyai Wiku Sepuh.

****

DUA SOSOK bayangan berkelebat dalam kegelapan malam yang samar-samar memasuki Padepokan dari pagar samping, tanpa diketahui oleh para murid yang sedang berjaga.

Namun mereka setelah sampai dibawah pohon beringin ditengah-tengah halaman depan segera mengurangi kecepatan dan berjalan lenggang biasa menuju ke kolam tempat mencuci kaki, Para pamong murid dan Jaka Wulung serta Jaka Rimang yang sedang menghadap Kyai Wiku Sepuh diruang pendapa segera memalingkan kearah kolam, untuk kemudian tergopoh-gopoh menyambut kedatangan dua tamu itu.

Dan tamu itu segera langsung mendekati Kyai Wiku Sepuh yang sedang duduk bersila, dan satu diantaranya segera bersujud dihadapan Kyai Wiku Sepuh. Wiku Sepuh bangkit dari tempat duduknya seraya memegang bahu yang sedang duduk bersujud dan mengangkatnya sambil berkata pelan.

“Dirgahayulah, Gusti muridku yang baru dating”, Berkata demikan Kyai Wiku Sepuh sambil memberi isyarat pada para pamong murid untuk tidak turut bicara.

“Berkah restumu Bapak Guru Wiku Sepuh, saya telah kembali dengan selamat bersama Bapak Kyai Pandan Gede”, indra Sambada menyahut pelan.

“Gusti muridku indra dan Pandan Gede, marilah kita bertiga masuk ke kamar semadhiku. Ada hal yang penting yang akan kubicarakan bersama kalian”. Wiku Sepuh mempersilahkan kedua orang itu masuk kedalam kamar semadhinya yang berada di dalam. Para pamong murid dan kedua Jaka bersaudara saling berbisik pelan mempercakapkan kedatangan Indra Sambada dan Kyai Pandan GEde.

“Kiranya pada waktu Indra Sambada selesai mencuci nodanya dengan bersemadhi di Candi Arjuna selama empat puluh hari. Pandan Gede datang menjemputnya di dataran tinggi Dieng atas perintah Kyai Wiku Sepuh. Selama dalam perjalanan pulang menuju ke Padepokan Kaliangkrik Indra Sambada banyak menerima petunjuk-petunjuk yang sangat berguna dari Kyai Pandan Gede, baik mengenai ilmu lahiriyah maupun ilmu kerohanian, tentang ketangkasan permainan tongkat dan sebagainya. Dengan tak disadari olehnya sendiri, lndra Sambada kini telah memiliki kesaktian yang jauh lebih dahsyat daripada sebelum bersemadhi di Candi Arjuna. Hawa murni mengalir di tubuhnya dan wajahnya memancarkan cahaya jernih serta berwibawa.

Ia dapat cepat menangkap petunjuk-petunjuk yang diberikan Pandan Gede dan cepat pula mengambil kesimpulan guna memecahkan persoalan-persoalan yang sulit. Pernah Pandan Gede menguji kesaktian Indra Sambada sewaktu dalam perjalanan pulang dan ternyata Pandan Gede sendiri kini merasa setingkat berada dibawahnya. Pandan Gede kagum bercampur girang setelah menyaksikan sendiri kesaktian Indra Sambada yang hampir mendekati titik sempurna itu. Kesanggupan Indra Sambada untuk menerima pengabdian kedua murid Pandan Gede, menambah rasa girangnya Kyai Pandan Gede yang tak terhingga.

Setelah mereka bertiga duduk berhadap dikamar semadhi Wiku Sepuh dengan pintu kamar tertutup dari dalam Wiku Sepuh segera memulai membuka percakapan:

“Saya tak akan menanyakan hasil yang telah dicapai Gusti muridku selama bersemadhi di Candi Arjuna, karena dari pancaran sinar wajahmu, aku telah mengetahui bahwa Gusti muridku tentu mendapat kemajuan yang tak ternilai. Kyai Wiku Sepuh berkata tertuju kepada Indra Sambada.

“Itu semua adalah karena jasa Bapak Guruku Kyai Wiku Sepuh dan jasa Bapak Kyai Pandan Gede, dan saya merasa berhutang budi pada Bapak Guru dan Bapak Pandan Gede”, indra Sambada memotong bicaranya Kyai Wiku Sepuh yang belum selesai.

“Akh, semua itu memang telah digariskan oleh Dewata Yang Maha Agung. Jika bukan karena kehendak Nya, tak mungkin Gusti muridku dapat bertemu dengan kami berdua”. Kyai Wiku Sepuh manyahut dan melanjutkan bicaranya “Ketahuilah adi Pandan Gede dan Gusti muridku, bahwa sekarang ini Padepokanku telah penuh dengan tamu, bahkan diluar halaman masih ada tamu serombongan”.

“Adanya tamu disini telah kami ketahui dari kejauhan, kakang Wiku Sepuh, tetapi siapakah sebenarnya tamu-tamu yang berada disini? Pandan Gede bertanya mendesak dengan tak sabar.

Kiranya kedatangan Pandan Gade dan Indra Sambada, lewat pagar samping tadi memang disengaja agar tidak diketahui para murid penjaga dan tamu. Keadaan Padepokan dan sekitarnya, dirasa oleh mereka berdua mencurigakan.

“Para tamu ini mempunyai kepentingan masing-masing yang ada hubungannya erat dengan Gusti muridku Indra”. Kata Wiku Sepuh menjelaskan. Ia berhenti sesaat dan kembali melanjutkan bicaranya, “Yang datang pertama adalah Gusti Sang Senapati Adityawardhana dan Gusti Tumenggung Sunata beserta pasukan pengiring. Sedangkan menyusul kemudian Kyai Tunggul dengan anak angkatnya”.

“Dimanakah Gustiku Senapati Adityawardhana dan Kangmas Tumenggung Sunata, sekarang berada?” Tanya Indra Sambada tidak sabar.

“Tenangkanlah dahulu Gusti muridku”. Jawab Kyai Wiku Sepuh, sambil menghela nafas panjang, Kyai Wiku Sepuh kemudian melanjutkan bicaranya. “Gusti Senapati berbaring di rumah samping”, berkata demikian Kyai Wiku Sepuh menunjuk dengan jari telunjuknya kearah rumah samping sebelah timur. “Beliau terluka dibetisnya dan kini sedang dirawat oleh Kyai Tunggul dan Gusti Tumenggung Sunata. Beliau terluka kena goresan kuku beracun, tetapi telah dapat ditolong dan tidak membahayakan. Hanya masih terdapat sisa racun sedikit yang mengumpul dibetisnya dan belum mau mengucur keluar. Tetapi aku percaya penuh pada keakhlian Kyai Tunggul yang telah termasyhur namanya. Jaka Rimang pernah juga bercerita padaku, bahwa Gusti muridku juga pandai dan mahir dalam ilmu usadha, maka cobalah nanti supaya turut memeriksa luka Gusti Senapati.

“Dalam ilmu usadha pengertian saya hanya sedikit sekali, jika dibandingkan dengan Kyai Tunggul. Karena yang telah kumiliki hanya sebagian dari pada ilmu usadha yang dimiliki Kyai Tunggul, Bapak Guru Wiku. Jelasnya dalam ilmu usadha, saya adalah muridnya Kyai Tunggul”.

“O…….. begitu. Saya sebenarnya telah mendapat penjelasan dari adikku Pandan Gede, akan tetapi pengakuanmu itu kini meyakinkan apa yang masih menjadi keraguanku”. Jawab Kyai Wiku Sepuh dengan tenang.

Indra Sambada mendengarkan dengan penuh rasa heran, bahwa demikian jauhnya Kyai Wiku Sepuh mengetahui tentang dirinya.

“Nanti dulu kakang Wiku Sepuh”, Kyai Pandan Gede memotong percakapan. “Tadi kakang mengatakan bahwa Gusti Senapati terluka goresan kuku beracun. Menurut pengetahuanku, orang yang memiliki kesaktian dan kuku-kuku beracun hanya Tambakraga dari hutan yang mendapat julukan Si Iblis tangan berbisa. Apakah Gusti Senapati bertempur dengannya?”

“Memang benar dugaanmu itu”, jawab Kyai Wiku Sepuh dengan tenang. “Tadi siang Tambakraga datang kemari, maksudnya mencari adi Pandan Gede dan Gusti muridku, untuk membalas dendam. Menurutnya, muridnya yang bernama Suronggolo pada kira-kira 100 hari yang lalu dikeroyok oleh kalian berdua hingga menemui ajalnya didesa Trinil pinggir Bengawan. Sayapun setelah mendengar tak percaya akan omongannya. Gusti Senapati mendengar nama Gusti muridku Indra disebut-sebut oleh Tambakraga, marahnya meluap tak dapat ditahan. Mereka lalu bertempur diluar halaman padepokan hingga senja tadi.

Tambakraga melarikan diri dengan memuntahkan darah karena kena tendangan Gusti Senapati, sedangkan Gusti Senapati ternyata terluka pula terkena goresan kuku beracun dikakinya. Menurut cerita yang menyaksikan sewaktu Tambakraga melarikan diri, ia meninggalkan pesan bahwa masih tetap akan membalas dendam pada adi Pandan Gede dan Gusti muridku Indra Sambada, serta menunggu disekitar daerah ini, maka para pamong murid mengadakan penjagaan disekitar halaman ini, sungguhpun hal ini sebenarnya aku tak menghendaki. Maka kini terserahlah bagaimana sebaiknya, kuserahkan pemecahannya kepada kalian berdua”.

“Cerita mengenai matinya Suronggolo sangat panjang Bapak Guru Wiku Sepuh”. Indra Sambada menyahut pelan dengan mengerutkan keningnya untuk mengingat-ingat sesuatu, kemudian melanjutkan bicaranya. “Dalam hal ini Bapak Pandan Gede sama sekali tidak turut campur. Waktu itu saya bertempur melawan dua orang perampok, si Kerta Gembong dan Suronggolo. Pada waktu Suronggolo kutendang dan jatuh terlempar, Kyai Tunggul datang membantuku dan memukul dengan tongkatnya ke kepala Suronggolo hingga menemui ajal.

Jadi jelaslah bahwa yang membunuh Suronggolo adalah saya dengan Kyai Tunggul dalam pertempuran dua orang melawan dua orang, bukan Bapak Pandan Gede. Akan tetapi latar belakang perampokan itu luas sekali dan langsung ada hubungannya dengan nama Kerajaan. Yang dapat menjelaskan hal ini adalah Kyai Tunggul. Maka sebaiknya besok pagi saja kita semua merundingkan mencari pemecahan mengenai soal yang besar ini. Dan karena saya telah berpisah satu setengah tahun dengan Gusti Senapati Adityawardhana dan kakang Tumenggung Sunata, perkenankanlah sekarang akan menemuinya dan sambil melihat luka yang diderita beliau, Bapak Guru”, selesai kerkata Indra Sambada kembali menundukkan kepalanya, menunggu jawaban Gurunya Kyai Wiku Sepuh.

“Baiklah kalau demikian, marilah kita bertiga menjenguk Gusti Senapati yang sedang terbaring”, Kyai Wiku Sepuh menjawab serta bangkit mendahului keluar menuju rumah samping dengan diikuti Pandan Gede dan Indra Sambada.

Dalam hati Indra Sambada kagum akan keluhuran budi Gusti Adityawardana, yang telah terluka hanya karena membela nama Indra Sambada, sebagai bawahannya, padahal belum tentu mengetahui dengan jelas tentang duduk perkaranya.

Semua terkejut girang setelah melihat Indra Sambada dengan tiba-tiba berdiri diambang pintu memasuki ruangan di mana Sang Senapati sedang berbaring. Sunata meloncat dari tempat duduknya dan merangkul Indra yang baru datang dengan seruan yang mengejutkan:

“Dimas lndra”. teriaknya.

Kyai Tunggul bersama Sujud bangkit serentak dan menyambut pula kedatangan Indra Sambada. Sujud memegang tangan kanan Indra dan berkata,

“Tak kukira, bahwa kakang Indra datang kemari.”

Sang Senapati yang sedang berbaring setelah melihat bahwa yang datang itu adalah Indra Sambada, segera bangkit dan duduk di pembaringan dengan tersenyum girang.

“Kemarilah Tumenggung Indra”, katanya pelan.

Wiku Sepuh dan Pandan Gede berdiri terpaku melihat betapa akrabnya hubungan mereka dengan Indra Sambada. Indra segera datang mendekat dan berjongkok di hadapan Senapati Muda serta menyembah.

“Hamba tak mengira, bahwa Gustiku Senapati berada disini. Ampunilah segala perbuatan hamba yang telah banyak menyalahi Panca Setya Tamtama Gusti?” kata Indra Sambada dengan pelan.

“Aku telah mengetahui semua persoalanmu dan kau tak bersalah. Si Sampar yang mengkhianatimu kini telah pergi menghilang tak keruan, setelah ia meninggalkan sepucuk surat pengakuan atas perbuatannya yang terkutuk itu. Saya mengucap syukur atas pertemuan kita kembali. Jasamu dalam pengembaraan tak sedikit pula. Saya telah banyak menerima laporan mengenai dirimu. Kau kiranya kini menjadi sedikit kurus dan pucat, hanya wajahmu bersinar lebih bersih daripada dahulu. Saya bangga akan hasil yang telah kau capai”. Sang Senapati berkata sambil memegang bahu Indra.

“Bangkitlah dan silahkan duduk disampingku”. Sang Senapati melanjutkan bicaranya, lalu mengangkat kakinya untuk kemudian diletakkan dipembaringan, beliau sendiri kembali rebah berbaring.

lndra Sambada dengan tak diperintah segera memeriksa luka dibetis Sang Senapati, yang kini masih membengkak dan kelihatan hitam. Dengan seijin Wiku Sepuh ia mengambil kantong taji yang berisi pula gelang akar bahar didalamnya, serta memanggil Jaka Rimang untuk membantu mengobati luka Sang Senaoati. Kini semua berdiri mengelilingi Indra Sambada yang sedang sibuk, dengan penuh perhatian.

Indra Sambada segera bersamadhi memusatkan tenaga dalamnya, untuk kemudian meniup pelan bersamaan dengan keluarnya nafas kemulut Sang Senapati. Setelah tiga kali berturut-turut ia meniupkan tenaga sakti kemulut Sang Senapati, paha Sang Senapati dibalutnya erat-erat dan akar bahar dilekatkan ditempat luka. Darah merah kehitamm-hitaman menetes deras keluar dan berangsur-angsur kaki yang masih bengkak itu menjadi merah.

Setelah gelang akar bahar jatuh dengan sendirinya, Jaka Rimang diperintahkan oleh Indra Sambada agar menghisap dari tempat luka itu dengan mulut, untuk mengeluarkan darah yang masih bercampur dengan sisa racun. Kini darah merah segar mengucur keluar dan warna kehitam-hitaman dikaki Sang Senapati telah hilang sama sekali. Pun bengkaknya berangsur-angsur mengering, tak sedemikian besarnya seperti semula.

Suhu badan Sang Senapati menjadi biasa kembali. Pembalut dipaha dilepas, sedangkan luka dibetis segera diobati oleh Kyai Tunggul dengan ramuan-ramuan yang telah tersedia dan segera dibalut kembali. Kini Sang Senapati dapat bergerak leluasa kembali, hanya luka yang dibetis itu dirasakan masih pegal sedikit. Dipilihnya Jaka Rimang untuk menghisap darah bercampur racun itu, karena Jaka Rimang telah memakan obat pil pemunah racun, pada waktu terluka dipahanya dulu. Ia telah menjadi kebal terhadap semua racun selama lima tahun.

“Takkan aku percaya, jika tidak menyaksikan sendiri, bahwa ada seorang murid yang kesaktiannya melebihi gurunya”. Kyai Tunggul berkata memecah kesunyian dengan kata-kata pujian tertuju kepada Indra Sambada disertai senyum girang.

“Apa susahnya hanya tinggal melanjutkan sesuatu yang telah hampir selesai?” sahut Indra Sambada untuk mengelakkan pujian Kyai Tunggul.

Sang Senapati segera bangkit dan duduk kembali dipembaringannya, dan berkata dengan tersenyum:

“Terima kasih ….. terima kasih Tumenggung Indral. Tak kusangka sama sekali bahwa kau juga memiliki ilmu usadha yang tinggi”.

“Ini semua hamba dapat belajar dari guru hamba Kyai Tunggul, Gusti. Dan hamba hanyalah tinggal menyelesaikan apa yang telah dikerjakan guru hamba Kyai Tunggul”, jawab Indra Sambada merendah.

“Aku telah lama juga menjadi murid Kyai Tunggul, tetapi sama sekali tidak mengetahui, bahwa Dimas Indra sebenarnya saudaraku seperguruan, bahkan lebih lama dari aku sendiri. Mengapakah dahulu Dimas tak pernah berceritera tentang ini?” Tumenggung Sunata menyahut dan bertanya kepada Indra Sambada.

“Janganlah kangmas salah faham. Saya menjadi murid Kyai Tunggul baru kira-kira satu setengah tahun berselang”, jawab Indra Sambada dengan jujur.

“Ha….. Jika demikian, apakah saya yang memang berotak tumpul? Ataukah Guruku Kyai Tunggul yang berat sebelah?” Sunata memotong dengan nada yang tak puas terhadap Kyai Tunggul Gurunya.

“Nakmas Tumenggung Sunata, jangan tergesa-gesa menuduh gurumu ini kurang adil”, Kyai Tunggul cepat menjawab kembali dengan ketawa. “Saya sendiri sekarang merasa setingkat berada dibawah nakmas Tumenggung Indra dalam hal ilmu usadha, entah dari mana lagi nakmas melanjutkan pelajarannya, saya sendiri kurang mengetahui. Tetapi bagaimanapun, saya turut bangga, akan kesaktian nakmas lndra Sambada”.

Hal ini sebenarnya mudah dimengerti, mengapa dalam waktu singkat, semua racun dapat diusir dari peredaran darah Sang Senapati. Pertama: Sang Senapati telah merasakan daya tiupan Indra Sambada lebih dahsyat dibanding dengan tiupan Kyai Tunggul, bahkan menyamai dengan tiupan yang pertama kali dilakukan oleh Kyai Wiku Sepuh. Kedua: sisa racun yang berkumpul dikaki dan tertahan oleh daya tiupan, diisap oleh akar bahar yang memang mempunyai daya penghisap racun, dan ketiganya. Sisa-sisa racun sedikit yang bercampur darah merah masih diisap lagi oleh Jaka Rimang, hingga keluar darah merah, juga meyakinkan bahwa racun telah dapat dikeluarkan melalui luka dibetis itu.

Sebenarnya Indra Sambada telah pula siap dengan pil pemunah racun yang tinggal sebutir, untuk diminumkan kepada Sang Senapati, apabila hasil usaha pengobatannya kurang memuaskan, akan tetapi ia segera menggagalkan maksudnya, karena ternyata Sang Senapati telah sembuh dari serangan racun.

Percakapan segera berlangsung dengan ramainya, dan sebentar-sebentar terdengar pula suara gelak tertawa. Masing-masing menceriterakan pengalamannya sendiri-sendiri, selama mereka tak bertemu. Kini lima orang sakti telah saling berkenalan dan bertemu wajah. Satu sama lain saling mengagumi, dan hubungan akrab terjalin dalam hati orang-orang shakti itu.

Dikala para murid Padepokan sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing pada pagi hari itu, kelima tokoh shakti meneruskan percakapannya diruang dalam yang semalam terhenti, karena masing-masing memerlukan waktu untuk istirahat sejenak.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment