Watangan segera bersujud menghadap Kyai Wiku Sepuh. Dengan tenang ia mendekati seorang tamtama yang berdiri ditengah gelanggang, serta menganggukkan kepalanya sambil bersenyum. Tamtama yang berdiri itu membalas dengan anggukkan kepala pula dan segera menghunus pedangnya dan langsung menyerang Watangan yang masih berdiri dengan tangan kosong, sambil berseru.
“Awas senjata”
Serangan pedang itu merupakan serangan tebangan kearah pinggang lawan dengan suatu loncatan yang tangkas. Semua orang menahan nafas, melihat serangan yang tiba-tiba, selagi lawannya belum siap dan bertangan kosong. Dan Serangan itu secepat kilat datangnya serta sangat berbahaya.
“Serang curang” Sujud berteriak, tetapi Kyai Tunggul segera memberi isyarat agar Sujud menutup mulutnya.
Tetapi pada saat pedang akan jatuh pada sasarannya, penonton dikejutkan lagi oleh gerakan Watangan yang sangat mentakjubkan. Watangan meloncat tinggi melewati kepala si penyerang dengan suatu seruan yang nyaring dan dilanjutkan dengan susulan lompatan berangkai sewaktu ia berada diatas kepala tamtama. Dengan demikian ia dapat jatuh berdiri ditanah lagi, tepat disudut belakang penyerang, dimana senjata-senjata ditempatkan. Gerakan loncatan itu sangat indah, dan merupakan pameran ketangkasan yang menjadi perhatian para penonton terutama Sang Senapati Muda. Dengan cepat Watangan meraih sebatang tongkat penjalin, yang panjangnya kira-kira setengah depa, sebesar ibu jari kaki.
Kini mereka, keduanya cepat membalikkan badan dan kembali berhadap-hadapan dan saling serang menyerang dengan serunya. Ternyata tongkat penjalin pendek tak kalah dahsyatnya dan berbahaya, dibandingkan dengan serangan-seragan pedang yang tajam berkilat. Sebentar-sebentar adegan pertarungan menegangkan syaraf penonton. Tak selang berapa lama pertarungan yang seru itu tiba-tiba berobah menjadi berat sebelah.
Gerakan pedang tamtama yang tadinya bergetar menyilaukan mata penonton, seolah-olah merupakan cahaya yang bergulung-gulung menyelubungi Watangan kini tak dapat bergerak leluasa. Kemana saja pedang berkelebat, selalu terbentur serangan tongkat penjalin yang disusul dengan rentetan serangan sodokan dan sabetan tongkat.
Si tamtama menjadi sibuk karenanya dan pedangnya hanya dapat digunakan untuk menangkis saja. Dalam keadaan terdesak, si tamtama selalu meloncat kesamping atau surut kebelakang, untuk menghindari datangnya serangan tongkat yang bertubi-tubi.
“Biarlah dia sekali-kali merasakan pedihnya dipukul tongkat rotan”, Sang Senapati menggerutu.
Karena melihat lawannya terdesak tak berdaya, Watangan segera mengurangi dan memperlambat gerakan serangannya, dengan maksud akan segera menghentikan pertempuran. Tetapi segera ia meloncat surut kebelakang, tiba-tiba...
“brebet…….” celana dipahanya robek terkena goresan pedang. Untunglah bahwa kulit dagingnya tak turut terkupas.
“Berhenti…. berhenti……” Seru Sang Senapati Muda dengan suara teriakan nyaring.
Tamtama yang masih akan melanjutkan serangannya, segera menggagalkan maksudnya dan berhenti seketika dengan berdiri tegak ditempatnya. Demikian pula watangan segera meloncat kesamping dan berdiri disudut, untuk kemudian menaruh kembali tongkat penjalin ditempat penempatan senjata-senjata. Si tamtama segera menghadap dan duduk bersila dihadapan Sang Senapati Muda, dengan maksud akan menyembah. Tetapi sebelum ia mengangkat kedua belah tangannya, tamparan Sang Senopati tepat mengenai pelipisnya.
“Tamtama tadi jatuh terkulai ditanah, dengan tak sadarkan diri. Seorangpun tak berani mendekat untuk memberi pertolongan. Tetapi tak tahu, dengan cara bagaimana, tamtama itu segera dapat bangkit kembali dan menyembah lagi.”
“Permainan pedang kanak-kanak, kau pertunjukan disini”. Sang Senopati mengguman padanya. “Tahukah, jika murid Kjai Wiku Sepuh tadi menghendaki kau telah mampus terkena pukulan rotannya”. Dengan nada marah Sang Senapati melanjutkan perintahnya “Lekas menyembah kepada Kyai Wiku Sepuh dan menghaturkan terirna kasih”.
Tamtama itu segera menggeser duduknya dan menghadap Kyai Wiku Sepuh dengan menyembah.
“Terima kasih atas kemurahan Bapak Kyai”. Katanya.
“Bagus, saya juga terima kasih padamu. Permainan pedangmu cukup baik”. Kyai Wiku Sepuh menjawab dengan tersenyum.
Tamtama kemudian bangkit dan dengan muka yang merah padam ia kembali duduk ditempatnya semula, berjajar dengan kawan-kawannya.
“Kyai Wiku Sepuh terlalu memanjakan para tamtamaku”. Sang Senapati berkata pada Kyai Wiku Sepuh. “Terima kasih atas kemurahan Kyai Wiku Sepuh pada orangku tadi”. kata Sang Senapati.
Ternyata pada waktu si tamtama jatuh pingsan, Kyai Wiku Sepuh mengerahkan pemusatan tenaga bathinnya, yang disalurkan lewat pernafasan, untuk kemudian ditiupkan kearah si tamtama dengan pelan. Jarak antaranya kurang lebih ada lima langkah. Karena bantuan Kyai Wiku Sepuh itulah, maka tamtama yang tak sadarkan diri, segera siuman kembali dan bangkit. Hanya Sang Senapati dan Kyai Tunggullah yang dapat mengetahui adanya pertolongan dari Wiku Sepuh kepada tamtama tadi. Mereka menyadari, bahwa ilmu yang dimiliki oleh Wiku Sepuh mendekati titik sempurna.
“Sayalah yang harus mengucapkan terima kasih kepada Gustiku”. jawab Kyai Wiku Sepuh dengan merendah hati. “Murid-muridku telah menerima banyak pelajaran dari Gusti yang sangat berguna”.
“Saya masih ingin sekali lagi mengagumi permainan tongkat penjalin dari seorang murid Kyai Wiku Sepuh”. Sang Senapati berkata lagi. “Dan kali ini biarlah Tumenggung Sunata yang melayaninya, agar pertunjukan dapat sedikit menyegarkan pandangan”. Berkata demikian Sang Senapati memalingkan kepalanya kearah Sunata dengan mengerdipkan matanya sebelah sambil bersenyum.
“Kiranya kini Sang Senapati ingin mengetahui lebih banyak dasar-dasar keseluruhan dari permainan tongkat penjalin hasil ciptaan Kyai Wiku Sepuh. Ingin pula beliau mengetahui sendi-sendi kelemahan dan sendi-sendi keampuhannya. Sebagai seorang Manggala tamtama, beliau memang selalu menaruh perhatian besar dalam pelbagai macam ilmu krida yudha. Hal inipun telah dapat dimengerti oleh Kyai Wiku Sepuh, katanya.
“Atas perhatian Gusti Senapati akan permainan tongkat penjalin dari murid-muridku yang masih dangkal, saya merasa mendapat suatu kehotmatan besar, Gusti.” Setelah mengucapkan kata-kata itu Kyai Wiku Sepuh segera berpaling kepada Jaka Wulung yang berada disampingnya, serta berkata. “Jaka Wulung……. Kesempatan untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk dari Gusti Tumenggung yang sangat berguna untukmu, jangan kau sia-siakan”.
Jaka Wulung segera dapat menangkap pula apa yang di maksudkan gurunya itu. Bersamaan waktunya Sunata dan Jaka Wulung duduk bersila menghadapi Sang Senapati dan Kyai Wiku Sepuh untuk menyembah. Setelah mana mereka berdua menuju ke tengah-tengah gelanggang dengan senjata ditangan masing-masing. Sunata bersenjatakan pedang, sedangkan Jaka Wulung bersenjatakan tongkat penjalin yang tadi dipergunakan oleh Watangan.
“Saya hanya melayani Gustiku Tumenggung. Silahkan, Gustiku memulai lebih dahulu”, kata Jaka Wulung dengan hormatnya. Berkata demikian Jaka Wulung berdiri dengan kaki kuda-kuda. Serta melintangkan tongkat penjalin didepan dadanya.
“Awas senjata”
Serangan pedang itu merupakan serangan tebangan kearah pinggang lawan dengan suatu loncatan yang tangkas. Semua orang menahan nafas, melihat serangan yang tiba-tiba, selagi lawannya belum siap dan bertangan kosong. Dan Serangan itu secepat kilat datangnya serta sangat berbahaya.
“Serang curang” Sujud berteriak, tetapi Kyai Tunggul segera memberi isyarat agar Sujud menutup mulutnya.
Tetapi pada saat pedang akan jatuh pada sasarannya, penonton dikejutkan lagi oleh gerakan Watangan yang sangat mentakjubkan. Watangan meloncat tinggi melewati kepala si penyerang dengan suatu seruan yang nyaring dan dilanjutkan dengan susulan lompatan berangkai sewaktu ia berada diatas kepala tamtama. Dengan demikian ia dapat jatuh berdiri ditanah lagi, tepat disudut belakang penyerang, dimana senjata-senjata ditempatkan. Gerakan loncatan itu sangat indah, dan merupakan pameran ketangkasan yang menjadi perhatian para penonton terutama Sang Senapati Muda. Dengan cepat Watangan meraih sebatang tongkat penjalin, yang panjangnya kira-kira setengah depa, sebesar ibu jari kaki.
Kini mereka, keduanya cepat membalikkan badan dan kembali berhadap-hadapan dan saling serang menyerang dengan serunya. Ternyata tongkat penjalin pendek tak kalah dahsyatnya dan berbahaya, dibandingkan dengan serangan-seragan pedang yang tajam berkilat. Sebentar-sebentar adegan pertarungan menegangkan syaraf penonton. Tak selang berapa lama pertarungan yang seru itu tiba-tiba berobah menjadi berat sebelah.
Gerakan pedang tamtama yang tadinya bergetar menyilaukan mata penonton, seolah-olah merupakan cahaya yang bergulung-gulung menyelubungi Watangan kini tak dapat bergerak leluasa. Kemana saja pedang berkelebat, selalu terbentur serangan tongkat penjalin yang disusul dengan rentetan serangan sodokan dan sabetan tongkat.
Si tamtama menjadi sibuk karenanya dan pedangnya hanya dapat digunakan untuk menangkis saja. Dalam keadaan terdesak, si tamtama selalu meloncat kesamping atau surut kebelakang, untuk menghindari datangnya serangan tongkat yang bertubi-tubi.
“Biarlah dia sekali-kali merasakan pedihnya dipukul tongkat rotan”, Sang Senapati menggerutu.
Karena melihat lawannya terdesak tak berdaya, Watangan segera mengurangi dan memperlambat gerakan serangannya, dengan maksud akan segera menghentikan pertempuran. Tetapi segera ia meloncat surut kebelakang, tiba-tiba...
“brebet…….” celana dipahanya robek terkena goresan pedang. Untunglah bahwa kulit dagingnya tak turut terkupas.
“Berhenti…. berhenti……” Seru Sang Senapati Muda dengan suara teriakan nyaring.
Tamtama yang masih akan melanjutkan serangannya, segera menggagalkan maksudnya dan berhenti seketika dengan berdiri tegak ditempatnya. Demikian pula watangan segera meloncat kesamping dan berdiri disudut, untuk kemudian menaruh kembali tongkat penjalin ditempat penempatan senjata-senjata. Si tamtama segera menghadap dan duduk bersila dihadapan Sang Senapati Muda, dengan maksud akan menyembah. Tetapi sebelum ia mengangkat kedua belah tangannya, tamparan Sang Senopati tepat mengenai pelipisnya.
“Tamtama tadi jatuh terkulai ditanah, dengan tak sadarkan diri. Seorangpun tak berani mendekat untuk memberi pertolongan. Tetapi tak tahu, dengan cara bagaimana, tamtama itu segera dapat bangkit kembali dan menyembah lagi.”
“Permainan pedang kanak-kanak, kau pertunjukan disini”. Sang Senopati mengguman padanya. “Tahukah, jika murid Kjai Wiku Sepuh tadi menghendaki kau telah mampus terkena pukulan rotannya”. Dengan nada marah Sang Senapati melanjutkan perintahnya “Lekas menyembah kepada Kyai Wiku Sepuh dan menghaturkan terirna kasih”.
Tamtama itu segera menggeser duduknya dan menghadap Kyai Wiku Sepuh dengan menyembah.
“Terima kasih atas kemurahan Bapak Kyai”. Katanya.
“Bagus, saya juga terima kasih padamu. Permainan pedangmu cukup baik”. Kyai Wiku Sepuh menjawab dengan tersenyum.
Tamtama kemudian bangkit dan dengan muka yang merah padam ia kembali duduk ditempatnya semula, berjajar dengan kawan-kawannya.
“Kyai Wiku Sepuh terlalu memanjakan para tamtamaku”. Sang Senapati berkata pada Kyai Wiku Sepuh. “Terima kasih atas kemurahan Kyai Wiku Sepuh pada orangku tadi”. kata Sang Senapati.
Ternyata pada waktu si tamtama jatuh pingsan, Kyai Wiku Sepuh mengerahkan pemusatan tenaga bathinnya, yang disalurkan lewat pernafasan, untuk kemudian ditiupkan kearah si tamtama dengan pelan. Jarak antaranya kurang lebih ada lima langkah. Karena bantuan Kyai Wiku Sepuh itulah, maka tamtama yang tak sadarkan diri, segera siuman kembali dan bangkit. Hanya Sang Senapati dan Kyai Tunggullah yang dapat mengetahui adanya pertolongan dari Wiku Sepuh kepada tamtama tadi. Mereka menyadari, bahwa ilmu yang dimiliki oleh Wiku Sepuh mendekati titik sempurna.
“Sayalah yang harus mengucapkan terima kasih kepada Gustiku”. jawab Kyai Wiku Sepuh dengan merendah hati. “Murid-muridku telah menerima banyak pelajaran dari Gusti yang sangat berguna”.
“Saya masih ingin sekali lagi mengagumi permainan tongkat penjalin dari seorang murid Kyai Wiku Sepuh”. Sang Senapati berkata lagi. “Dan kali ini biarlah Tumenggung Sunata yang melayaninya, agar pertunjukan dapat sedikit menyegarkan pandangan”. Berkata demikian Sang Senapati memalingkan kepalanya kearah Sunata dengan mengerdipkan matanya sebelah sambil bersenyum.
“Kiranya kini Sang Senapati ingin mengetahui lebih banyak dasar-dasar keseluruhan dari permainan tongkat penjalin hasil ciptaan Kyai Wiku Sepuh. Ingin pula beliau mengetahui sendi-sendi kelemahan dan sendi-sendi keampuhannya. Sebagai seorang Manggala tamtama, beliau memang selalu menaruh perhatian besar dalam pelbagai macam ilmu krida yudha. Hal inipun telah dapat dimengerti oleh Kyai Wiku Sepuh, katanya.
“Atas perhatian Gusti Senapati akan permainan tongkat penjalin dari murid-muridku yang masih dangkal, saya merasa mendapat suatu kehotmatan besar, Gusti.” Setelah mengucapkan kata-kata itu Kyai Wiku Sepuh segera berpaling kepada Jaka Wulung yang berada disampingnya, serta berkata. “Jaka Wulung……. Kesempatan untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk dari Gusti Tumenggung yang sangat berguna untukmu, jangan kau sia-siakan”.
Jaka Wulung segera dapat menangkap pula apa yang di maksudkan gurunya itu. Bersamaan waktunya Sunata dan Jaka Wulung duduk bersila menghadapi Sang Senapati dan Kyai Wiku Sepuh untuk menyembah. Setelah mana mereka berdua menuju ke tengah-tengah gelanggang dengan senjata ditangan masing-masing. Sunata bersenjatakan pedang, sedangkan Jaka Wulung bersenjatakan tongkat penjalin yang tadi dipergunakan oleh Watangan.
“Saya hanya melayani Gustiku Tumenggung. Silahkan, Gustiku memulai lebih dahulu”, kata Jaka Wulung dengan hormatnya. Berkata demikian Jaka Wulung berdiri dengan kaki kuda-kuda. Serta melintangkan tongkat penjalin didepan dadanya.
“Pemuda yang kuhadapi ini sungguh bersifat kesatrya” pikir Sunata. “Baiklah, tapi jangan terlalu menghormat padaku”, kata Sunata singkat dengan diiringi senyuman.
Belum juga senyuman itu lenyap dari bibirnya, ia menerjang maju kearah Jaka Wulung, dengan berteriak.
“Awas pedang”
Yang diserang segera menghindari datangnya sabetan pedang yang diarahkan kelambung kiri, dengan satu langkah, surut kesamping kanan. Badannya merendah serta tangan yang memegang tongkat penjalin cepat bergerak menangkis datangnya pedang.
Dua senjata beradu keras dan masing-masing segera surut kebelakang satu langkah. Ternyata dengan gerakan tadi keduanya ingin saling mengukur tenaga milik lawan. Kembali Sunata menyerang lagi dengan suatu bacokan pedang yang dahsyat kearah kepala, yang oleh Jaka Wulung hanya dengan memiringkan tubuhnya serangan tersebut dapat dengan mudah dihindari dan disusul dengan sabetan tongkat penjalin kearah kaki Sunata.
Sunata meloncat menghindari sambil manusukkan pedangnya, menahan serangan rangkaian. Setelah keduanya dapat saling menyelami permainan lawannya, kini mulai ganti berganti serang menyerang dengan serunya. Bukan hanya senjata saja yang digunakan untuk saling menyerang tetapi tinju dan tendangan tak ketinggalan juga.
“Permainan pedang Gusti Tumenggung Sunata sungguh bermutu tinggi”, Wiku Sepuh berkata kepada Sang Senapati Muda Gusti Adityawardhana.
“Tetapi muridmu pun tak kalah tangkasnya dan permainan tongkatnya banyak berbeda dengan murid-murid yang tadi”. jawab Sang Senapati Muda.
“Dasar permainan tongkat Kyai Wiku Sepuh yang diajarkan ada dua macam”. Kyai Tunggul memotong.
Kyai Wiku Sepuh bersenyum kepada kedua-duanya dan menjawab pelan sambil memperhatikan berlangsungnya pertarungan.
“Kiranya Gusti Senapati dan Kyai Tunggul sangat tajam penglihatannya. Sudilah Gustiku dan Kyai Tunggul sabar sebentar, nanti akan kujelaskan.”
Sang Senapati sebagai Manggala dan Kyai Tungul yang banyak pengalaman, segera mengetahui, bahwa permainan tongkat penjalin Jaka Wulung terdiri dari dua macam dasar. Hal ini memang disengaja oleh Kyai Wiku Sepuh agar Jaka Wulunglah yang tampil kemuka, dengan permainan tongkatnya ciptaan Kyai Pandan Gede dan digabung dengan ciptaannya sendiri yang baru dua bulan dipelajari oleh Jaka Wulung. Dengan demikian, sukarlah untuk tepat diketahui dasar-dasar keseluruhan dari pada permainan tongkat ciptaannya sendiri.
Kiranya keduanya yang sedang bertanding, memiliki ketangkasan dan tenaga seimbang,. Kembali kini pedang Sunata melancarkan serangan tusukan kearah perut Jaka Wulung. tetapi dengan tangkasnya, tongkat penjalin menghadang didepan dan menahan mengikuti segala gerakan pedang.
Dua senjata seperti saling melekat ujungnya. Dan keduanya saling mengerahkan tenaga untuk dapat mendahului menyerang, dengan masing-masing saling menahan geraknya senjata lawan, Peluh mulai keluar berbintik-bintik dikeningnya masing-masing. Mereka saling mengagumi akan kekuatan lawan. Semua pandangan mata terpusat dalam adegan yang tegang ini, dan semua ingin tahu pula siapakah yang akan memenangkan pertandingan yang seru ini. Tiba-tiba terdengar suara seruan Jaka Wulung yang nyaring;
“Lepas”.
Belum juga senyuman itu lenyap dari bibirnya, ia menerjang maju kearah Jaka Wulung, dengan berteriak.
“Awas pedang”
Yang diserang segera menghindari datangnya sabetan pedang yang diarahkan kelambung kiri, dengan satu langkah, surut kesamping kanan. Badannya merendah serta tangan yang memegang tongkat penjalin cepat bergerak menangkis datangnya pedang.
Dua senjata beradu keras dan masing-masing segera surut kebelakang satu langkah. Ternyata dengan gerakan tadi keduanya ingin saling mengukur tenaga milik lawan. Kembali Sunata menyerang lagi dengan suatu bacokan pedang yang dahsyat kearah kepala, yang oleh Jaka Wulung hanya dengan memiringkan tubuhnya serangan tersebut dapat dengan mudah dihindari dan disusul dengan sabetan tongkat penjalin kearah kaki Sunata.
Sunata meloncat menghindari sambil manusukkan pedangnya, menahan serangan rangkaian. Setelah keduanya dapat saling menyelami permainan lawannya, kini mulai ganti berganti serang menyerang dengan serunya. Bukan hanya senjata saja yang digunakan untuk saling menyerang tetapi tinju dan tendangan tak ketinggalan juga.
“Permainan pedang Gusti Tumenggung Sunata sungguh bermutu tinggi”, Wiku Sepuh berkata kepada Sang Senapati Muda Gusti Adityawardhana.
“Tetapi muridmu pun tak kalah tangkasnya dan permainan tongkatnya banyak berbeda dengan murid-murid yang tadi”. jawab Sang Senapati Muda.
“Dasar permainan tongkat Kyai Wiku Sepuh yang diajarkan ada dua macam”. Kyai Tunggul memotong.
Kyai Wiku Sepuh bersenyum kepada kedua-duanya dan menjawab pelan sambil memperhatikan berlangsungnya pertarungan.
“Kiranya Gusti Senapati dan Kyai Tunggul sangat tajam penglihatannya. Sudilah Gustiku dan Kyai Tunggul sabar sebentar, nanti akan kujelaskan.”
Sang Senapati sebagai Manggala dan Kyai Tungul yang banyak pengalaman, segera mengetahui, bahwa permainan tongkat penjalin Jaka Wulung terdiri dari dua macam dasar. Hal ini memang disengaja oleh Kyai Wiku Sepuh agar Jaka Wulunglah yang tampil kemuka, dengan permainan tongkatnya ciptaan Kyai Pandan Gede dan digabung dengan ciptaannya sendiri yang baru dua bulan dipelajari oleh Jaka Wulung. Dengan demikian, sukarlah untuk tepat diketahui dasar-dasar keseluruhan dari pada permainan tongkat ciptaannya sendiri.
Kiranya keduanya yang sedang bertanding, memiliki ketangkasan dan tenaga seimbang,. Kembali kini pedang Sunata melancarkan serangan tusukan kearah perut Jaka Wulung. tetapi dengan tangkasnya, tongkat penjalin menghadang didepan dan menahan mengikuti segala gerakan pedang.
Dua senjata seperti saling melekat ujungnya. Dan keduanya saling mengerahkan tenaga untuk dapat mendahului menyerang, dengan masing-masing saling menahan geraknya senjata lawan, Peluh mulai keluar berbintik-bintik dikeningnya masing-masing. Mereka saling mengagumi akan kekuatan lawan. Semua pandangan mata terpusat dalam adegan yang tegang ini, dan semua ingin tahu pula siapakah yang akan memenangkan pertandingan yang seru ini. Tiba-tiba terdengar suara seruan Jaka Wulung yang nyaring;
“Lepas”.
Tongkat rotan dengan cepatnya berkelebat terlepas dari ujung pedang dan langsung menyapu kaki Sunata dua kali susul menyusul kekanan kiri. Sabetan tongkat kearah bawah lawan sangat cepatnya, sehingga sukar diikuti dengan penglihatan mata biasa. Tetapi Sunata adalah Tumenggung tamtama yang banyak pengalamannya dalam krida yudha. Secepat geraknya tongkat penjalin itu, Sunata melesat tinggi melambung melampaui kepala Jaka Wulung menghindari sabetan tongkat dan sekaligus menyerang dengan pedangnya kearah dada Jaka Wulung dengan gaya tusukan.
Semua menahan nafas dengan penuh kecemasan, melihat serangan keduanya yang sangat berbahaya bagi masing-masing. Serangan yang saling dilancarkan oleh mereka itu, harus diperhitungkan dengan cermat sekali, karena baik bagi penyerang maupun yang diserang sama-sama berbahaya.
Jaka Wulung tak kurang tangkasnya menjatuhkan diri dan bergulingan ditanah tiga kali, untuk menghindari datangnya serangan tusukan pedang. Cepat ia bangkit kembali untuk melintangkan tongkatnya diatas kepala, menangkis datangnya serangan bacokan pedang Sunata yang datang menyusul.
“Hebat!...... hebat!......” Sang Senapati berseru sambil bertepuk tangan.
Pertarungan itu masih terus berlangsung dengan serunya dan kini masing-masing memamerkan simpanan ketangkasannya. Baru kali ini para tamtama melihat jelas suatu pertandingan krida yudha dengan ketangkasan yang mentakjubkan. Tebasan dan bacokan pedang tak dapat mematahkan tongkat penjalin.
Dan sebaliknya pukulan sodokan dan sabetan tongkat penjalin tak pernah dapat mengenai sasaran. Disela-sela dua senjata yang bergerak cepat, kaki dan tangan masih pula dapat menyerang dengan tendangan dan tinjunya. Gaya loncatan masing-masing sungguhpun berlainan dasarnya, indah dipandang. Demikian pula Sujud. Ia duduk terpaku dengan mulut ternganga melihat hebatnya jalan pertarungan.
Tetapi sedang mereka bertempur dengan serunya, tiba tiba seoang bertubuh gemuk pendek dan berwajah penuh dengan cambang bauk dan telah lanjut usianya, memperlihatkan diri dari balik rumah samping dengan berkata keras.
“Tak kusangka, bahwa Sidik Pamungkas yang katanya telah menjauhi keduniawiaan, ternyata menjadi pelatih para priyagung Kerajaan”. Kata-kata itu demikian kerasnya sehingga semua orang berpaling kearah datangnya suara. Pun yang sedang bertanding segera berhenti dan memandang kejurusan orang gemuk pendek tadi.
Para pamong murid segera bangkit dan menyambut datangnya tamu yang belum dikenal, tetapi segera dibentaknya dengan suara yang kasar dari tamu yang disambut itu.
“Tak usah kalian Menyambutku dangan sopan santun. Kedatanganku hanya ingin menagih hutang pada Pandan Gede dan Banteng Majapahit. Dan hanya Gurumu Wiku Sepuh yang pantas menyambutku, apabila kedua duanya yang kucari tetap disembunyikan oleh Wiku Sepuh”.
“Paniling!” Wiku Sepuh berseru pada ketua pamong murid yang sedang menyambut tamu tadi. “Kembaliah ke tempatmu beserta adi adimu, biarlah aku yang menyambut”.. Berkata demikian, Kyai Wiku Sepuh bangkit berdiri dengan pelan, serta berkata. “Tambakraga, kedatanganmu akan kuterima dengan kegirangan hati. Lama nian kita tak berjumpa, rasanya aku telah rindu padarnu. Silahkan duduk diruang pendapa, nanti akan kuperkenalkan dengan tamuku ini”.
“Wiku Sepuh pandai juga berlaku pura-pura. Saya hanya seorang diri dan berada disarang harimau, tak mungkin aku mudah kau jebak dengan lidahmu yang berbisa. Ketahuilah bahwa yang saya perlukan adalah adimu Pandan Gede dan priyagung si Pendekar Majapahit. Jika memang mereka tak mau keluar dari persembunyiannya, dapat juga kau mewakilinya”. Jawab Tambakraga Dan melanjutkan kata-katanya. “Jauh-jauh dari hutan Wonogiri aku datang, hanya untuk menagih hutang pada dua orang pengecut itu”.
“Sabarlah dahulu Tambakraga”. Wiku Sepuh menyambut dengan tenang. “Aku belum dapat menangkap isi maksudmu. Jika yang kau kehendaki adalah adiku Pandan Gede, dia tak ada disini, demikian pula Tumenggung Indra. Kiranya urusanmu dengan keduanya aku tak mungkin mewakilinya, karena aku tak tahu duduk perkaranya. Jika kau mau sabar menunggu, mungkin mereka hari ini atau besok akan datang kemari.
Senapati Muda Gusti Adityawardhana, setelah mendengar Indra Sambada di sebut-sebut segera bangkit berdiri pula dan memotong percakapan yang tengah berlangsung itu.
“Tuan yang baru datang! Tadi tuan menyebut Pendekar Majapahit. Jika yang dimaksud Tumenggung Indra Sambada, saya akan mewakilinya untuk menyelesaikan urusan dengan Tuan, karena semua perbuatan Tumenggung Indra adalah langsung menjadi tanggung jawab saya, bila ia tidak berada ditempat”.
“Ha, ha, ha...... tak Iuput dugaartku”, Tambakraga menyahut. “hampir-hampir aku terjebak. Siapa lagi yang akan mewakilinya? Asalkan terang orangnya dan jumlahnya saja”.
“Karena Guruku tak berada disini, biarlah kami berdua mewakilinya”. Jaka Wulung dan Jaka Rimang serentak berdiri disamping Gusti Adityawardhana.
“Bagus, bagus, kini sudah ada tiga orang yang berterus terang. Apakah masih ada Iagi?” Tambakraga bertanya.
“Nanti dulu semua perkara dapat diselesaikan dengan tenang, Saya selaku tuan rumah, tidak menghendaki adanya keributan yang tak ada ujung pangkalnya. Sebaiknya kau terangkan terlebih dahulu, apa soal yang sebenarnya, agar semua dapat mengerti maksudmu”. kyai Wiku Sepuh berkata tertuju kepada Tambakraga. “Sekalipun sudah ada yang mewakili masing-masing sebaiknya aku tahu juga agar dapat menjadi penengah”.
“Baiklah, jika kau Wiku tua masih pura-pura belum tahu”, Tambakraga berkata menjelaskan. “Kira-kira seratus hari yang lalu, muridku Suronggolo yang masih dalam asuhanku, dikeroyok adimu siluman Pandan Gede dan si Pendekar Majapahit hingga menemui ajal. Pertarungan itu sungguh tidak jujur. Seorang yang masih hijau dikeroyok dua orang yang namanya telah termasyur. Apakah hal ini dapat dibenarkan? Suronggolo sejajar dengan muridmu yang bodoh, tetapi ia adalah orang yang selalu taat dan setia pada gurunya.
Jika ini dimaksudkan sebagai tantangan kepada gurunya, tentunya sebagai tokoh yang telah termasyur tak perlu membunuh mundku yang tidak berdosa itu. Dan yang kedua bagaimana kau Wiku tua dapat bertindak sebagai penengah, mengingat yang berbuat adalah adikmu seperguruan sendiri dan seorang priyagung yang tentunya akan mengangkat derajatmu”. Kata-kata itu dilontarkan dengan jelas sekali disertai suara tawa ejekan yang sangat memuakkan.
Bagi orang lain nama Tambakraga memang cukup membuat orang menggigil ketakutan. Ia terkenal kejam tak berperikemanusiaan. Kesaktiannya hampir mendekati titik sempurna pula. Jari-jari tangannya berkuku panjang beracun, Kayu-kayu yang bagaimana kerasnya dapat ditembus dengan totokan jari-jarinya. Cengkeraman kuku-kukunya merupakan cengkeraman maut. Ia terkenal pula dengan gelarnya "Raja rampok si Iblis tangan berbisa", Gelar ini dikarenakan banyaknya para rampok dan banyak begal-begal yang tunduk dibawah perintahnya, bahkan tidak sedikit jumlahnya diantara para pejahat yang menjadi muridnya.
Oleh para murid dan bawahannya ia digelari "Macan Kumbang". Para perampok dan begal yang berhasil mendapatkan rampasan harta benda dan lain-lainnya dengan taatnya menyerahkan bagian dari pada hasilnya kepada rajanya itu, la bertempat tinggal di sebuah gua ditengah hutan Wonogiri, tetapi gua itu tak ubahnya seperti bangunan istana didalam tanah saja. Didalam gua itu ia tinggal bersama dengan isterinya yang berjumlah tiga orang dan para budaknya, sedangkan diluar gua para murid-muridnya selalu siap berjaga-jaga demi keamanannya.
Rakyat didesa sekitar hutan itu, tak ada yang berani memasuki hutan Wonogiri yang lebat. Mereka menganggap bahwa hutan itu sangat angker. Cerita-cerita tahayul banyak tersebar luas dikalangan rakyat desa sekitarnya bahwasanya hutan Wonogiri didiami raja siluman dan sebagainya. Dan siapapun yang berani memasuki tak akan dapat diharapkan kembali selamat.
Konon ceritanya dalam sejarah, hutan Wonogiri pernah digunakan sebagai tempat sembunyi Raja Langga putra Udayana Raja Bali. Beliau melarikan diri dengan para pengiring, pada waktu Dharmawangsa diserang oleh Raja Wurantari pada tahun lebih kurang 1007. Dimana kemudian setelah turun takhta wafat sebagai pertapa dalam gua ditengah hutan itu, Th 1049 Dulunya hutan Wonogiri dianggap sebagai tempat keramat oleh rakyat sekitarnya, tetapi kini setelah kenyataan banyak orang yang hilang dihutan Wonogiri, mereka mengira bahwa tempat keramat itu didiami raja siluman yang jahat. Sedemikian hebatnya anggapan rakyat sekitarnya, hingga menceritakan hutan Wonogiri saja bagi rakyat sekitar itu merupakan pantangan ataupun tabu.
Sejak Tambakraga si Iblis tangan berbisa itu mendapat laporan dari Demang Jlagran, bahwa muridnya Suronggolo mati terbunuh oleh seorang yang masih muda dan siluman Pandan gede dan ternyata setelah diselidiki, si pemuda itu adalah perwira tamtama Kerajaan yang bergelar Pendekar Majapahit, maka ia timbul kekhawatirannya, kemungkinan akan diserbu tempat kediamannya oleh pasukan tamtama Kerajaan.
Menurut anggapan Tambakraga tentunya Pandan Gede akan minta bantuan dari priyagung Pendekar Majapahit, untuk menyerang dengan pasukan kehutan Wonogiri. Daripada didahului, baginya lebih baik mendahului mencari dan membunuh Pandan Gede untuk selanjutnya membunuh Pendekar Majapahit. Dengan demikian ia tak perlu kuatir akan terbongkarnya rahasia tempat tinggalnya.
Akan tetapi kiranya tak mudah mencari Pandan Gede si Siluman sakti itu, maka dicarilah ketempat kediaman Wiku Sepuh dilereng Gunung Sumbing, karena ia ingat bahwa Wiku Sepuh adalah kakak seperguruan Pandan Gede. Sungguhpun ia merasa ragu akan menghadapi Wiku Sepuh yang terkenal sakti tiada bandingannya. Maka tak heranlah apabila ia selalu penuh kecurigaan dalam menghadapi Wiku Sepuh. Sama sekali ia tidak menduga bahwa yang memukul mati Suronggolo adalah Kyai Tunggul yang kinipun berhadapan pula dan berada didepannya.
Adanya tamu seorang Senapati Muda Kerajaan beserta pasukan pengiring di Padepokan Wiku Sepuh, memperkuat dugaannya yang sebenarnya salah terka itu. Ia datang dipadepokan Kaliangkrik itu, bukan hanya seorang diri, melainkan membawa anak buahnya sebanyak 20 orang, yang bersembunyi agak jauh sedikit dari Padepokan. Ia cukup mengenal sifat-sifat dan kesaktian Wiku Sepuh.
Sewaktu Wiku Sepuh masih bergelar Sidik Pamungkas ataupun Yamadipati. Cemoohan yang dilontarkan pada Wiku Sepuh sebagai pengejar pangkat, sebenarnya mengandung maksud agar Wiku Sepuh tergugah sifat kesatryaannya untuk tidak turut campur dalam pertikaian ini, antara dia dan Pandan Gede maupun dengan tamtama Kerajaan.
“Macan Kumbang” Wiku Sepuh berkata dengan suara pelan tetapi jelas menahan kemarahan “Jika seandainya apa yang kau katakan itu benar seluruhnya, itupun bukan menjadi urusanku. Saya hanya menyarankan agar semua urusan diselesaikan dengan damai. Dan ingatlah! Bunuh membunuh dihalaman ku ini, tetap menjadi larangan”, suara Wiku Sepuh itu walaupun pelan, tetapi cukup jelas dan mengandung daya perbawa: “Kau datang dari jauh, dan kusambut sebagai tamuku, tetapi tingkah lakumu meninggalkan kesopanan sebagaimana layaknya seorang tamu. Jika sekiranya memang tak mau berurusan denganku, harap segera meninggalkan tempatku”. Wiku Sepuh melanjutkan bicaranya dengan suara yang masih menahan rasa marah.
Mendengar ucapan Wiku Sepuh yang disertai ancaman dan penuh wibawa, membuat Tambakraga serba ragu-ragu dalam tindakannya. Hanya dalam hatinya ia merasa beruntung, bahwa Wiku sepuh tak akan turut campur tangan dalam urusan ini antara dirinya dan Pandan Gede maupun dengan Pendekar Majapahit.
“Jika kaum Wiku tua berjanji tak akan turut campur tangan dalam hal ini baiklah, aku juga tak akan mengganggumu. Tetapi aku tetap akan menunggu kedatangan adimu si Siluman Pandan Gede disekitar tempatmu ini”, sahut Tambakraga dengan suara lantang diiringi tawanya yang nyaring. Berkata demikian, ia membalikkan badannya, hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba suara Kyai Tunggul menghentikan langkahnya:
“Tambakraga!”, serunya dengan nada suara menantang. “Tak perlu kau menunggu datangnya Pandan Gede, karena akulah orang yang membunuhnya. Dan kiranya sudah sepantasnya muridmu Suronggolo binasa ditanganku. karena perbuatannya yang tak pernah mengenal perikemanusiaan terhadap rakyat kecil. Ketahuilah bahwa muridmu kubunuh pada waktu ia sedang merampok dan membunuhi orang-orang tani tak berdosa didesa Trinil. Bahkan melarikan dengan paksa seorang perempuan yang telah bersuami dan mempunyai anak. Sekarang apakah kau juga masih akan membenarkan dan membela muridmu yang durhaka itu?”.
Kata-kata Kyai Tunggul dirasakan sebagai halilintar yang menyambar disiang bolong, oleh Tambakraga. Ia tak mengira sebelumnya bahwa orang setengah tua itu berani terang-terangan menantangnya. Namun tetap ia menduga bahwa pembunuh Suronggolo adalah Pandan Gede, sedangkan orang setengah tua itu menurut dugaannya hanyalah membela Pandan Gede saja.
“Hai orang tua kurus yang telah hampir mati! Janganlah kau turut-turut dalam persoalan saya dengan Pandan Gede. Jika hanya mau mengantar jiwamu silahkan aku tak keberatan memenuhi permintaanmu”. Tambakraga cepat membalikkan badannya kembali dan siap untuk melayani tantangan yang tiba-tiba itu, akan tetapi sebelum Kyai Tunggul datang mendekat, Sang Senapati Muda Adityawardhana telah mencegah niat Kyai Tunggul.
Sang Senapati melangkah sambil berkata dengan nada yang penuh kemarahan. Wajahnya kelihatan merah padam, matanya memandang tajam kearah Tambakraga dengan menyala-nyala, suaranya lantang mendesis agak parau:
“Keparat Tambakraga. Sejak tadi, aku telah muak mendengar kata-katamu yang tidak kenal sopan itu. Tak usah kau mencari Pandan Gede ataupun Tumenggung Indra. Aku yang mewakili mereka semua, dan matinya muridmupun merupakan tanggung-jawabku. Jika kau takut karena pangkatku, baik...... akan kutanggalkan pakaian kebesaranku ini. Demi untuk menjaga kebersihan nama Kyai Wiku Sepuh yang memang tidak tahu menahu. Soal itu, mari kita bertempur diluar halaman sana”.
Berkata demikian Sang Senapati cepat menanggalkan pakaian kebesarannya dan kini hanya tinggal memakai celana saja, tetapi pedang tamtama masih tetap menggantung di pinggangnya. Ia memberi isyarat agar tak ada yang turut campur dalam pertandingan ini. Dengan tangkasnya Sang Senapati mendahului meloncat keluar halaman dan berdiri tegak ditegalan luas menunggu datangnya Tambakraga, yang hanya terpaut lima langkah saja.
“Aku tak bermaksud bermusuhan dengan seorang Senapati priyagung Kerajaan, tetapi kata-kata penghinaan yang telah tuan ucapkan tak mungkin kubiarkan”. Tambakraga menjawab sambil mengikuti meloncat keluar halaman.
“Saat ini kau menghadapi aku sebagai orang biasa, tak perlu pangkatku disebut sebut. Lepas dari semua persoalan, anggaplah aku sebagai musuhmu. Tak usah khawatir, bahwa aku akan membawa-bawa pangkat dan kedudukanku untuk membasmi kau yang tak mengenal sopan itu”. Kiranya berkata demikian kemarahan Sang Senapati telah sampai dipuncaknya. Dengan pedang terhunus ia langsung menyerang menusuk kearah ulu hati Tambakraga.
Sebagai seorang yang berpengalaman luas, serta memiliki kesaktian dan mahir dalam krida yudha. Tambakraga cepat menundukkan kepala serta merendahkan badannya. Dan dengan tangan kirinya yang memegang tombak pendek, ia berganti menyerang lawan kearah perutnya. Tambakraga memegang tombak ditangan kiri bukan karena ia kidal, tetapi senjata itu sebenarnya hanya digunakan sebagai alat penangkis senjata lawan dan serangan parcingan saja.
Tangan kanannya mengembangkan tegang jari-jarinya yang berkuku panjang serta berbisa itu dalam gaya cengkeraman dan merupakan serangan maut yang lebih berbahayaa dari pada tombaknya. Tetapi sebagai seorang Senapati tamtama yang telah berpengalaman luas dalam pertempuran dan memiliki kesaktian pula, ia telah mengetahut cara-cara bertempurnya lawan yang sedang dihadapinya. Ia meloncat surut kebelakang untuk menghindari serangan tombak yang mendatang kearah perutnya dan menghindari cengkeraman kuku-kuku beracun itu.
Semua menahan nafas dengan penuh kecemasan, melihat serangan keduanya yang sangat berbahaya bagi masing-masing. Serangan yang saling dilancarkan oleh mereka itu, harus diperhitungkan dengan cermat sekali, karena baik bagi penyerang maupun yang diserang sama-sama berbahaya.
Jaka Wulung tak kurang tangkasnya menjatuhkan diri dan bergulingan ditanah tiga kali, untuk menghindari datangnya serangan tusukan pedang. Cepat ia bangkit kembali untuk melintangkan tongkatnya diatas kepala, menangkis datangnya serangan bacokan pedang Sunata yang datang menyusul.
“Hebat!...... hebat!......” Sang Senapati berseru sambil bertepuk tangan.
Pertarungan itu masih terus berlangsung dengan serunya dan kini masing-masing memamerkan simpanan ketangkasannya. Baru kali ini para tamtama melihat jelas suatu pertandingan krida yudha dengan ketangkasan yang mentakjubkan. Tebasan dan bacokan pedang tak dapat mematahkan tongkat penjalin.
Dan sebaliknya pukulan sodokan dan sabetan tongkat penjalin tak pernah dapat mengenai sasaran. Disela-sela dua senjata yang bergerak cepat, kaki dan tangan masih pula dapat menyerang dengan tendangan dan tinjunya. Gaya loncatan masing-masing sungguhpun berlainan dasarnya, indah dipandang. Demikian pula Sujud. Ia duduk terpaku dengan mulut ternganga melihat hebatnya jalan pertarungan.
Tetapi sedang mereka bertempur dengan serunya, tiba tiba seoang bertubuh gemuk pendek dan berwajah penuh dengan cambang bauk dan telah lanjut usianya, memperlihatkan diri dari balik rumah samping dengan berkata keras.
“Tak kusangka, bahwa Sidik Pamungkas yang katanya telah menjauhi keduniawiaan, ternyata menjadi pelatih para priyagung Kerajaan”. Kata-kata itu demikian kerasnya sehingga semua orang berpaling kearah datangnya suara. Pun yang sedang bertanding segera berhenti dan memandang kejurusan orang gemuk pendek tadi.
Para pamong murid segera bangkit dan menyambut datangnya tamu yang belum dikenal, tetapi segera dibentaknya dengan suara yang kasar dari tamu yang disambut itu.
“Tak usah kalian Menyambutku dangan sopan santun. Kedatanganku hanya ingin menagih hutang pada Pandan Gede dan Banteng Majapahit. Dan hanya Gurumu Wiku Sepuh yang pantas menyambutku, apabila kedua duanya yang kucari tetap disembunyikan oleh Wiku Sepuh”.
“Paniling!” Wiku Sepuh berseru pada ketua pamong murid yang sedang menyambut tamu tadi. “Kembaliah ke tempatmu beserta adi adimu, biarlah aku yang menyambut”.. Berkata demikian, Kyai Wiku Sepuh bangkit berdiri dengan pelan, serta berkata. “Tambakraga, kedatanganmu akan kuterima dengan kegirangan hati. Lama nian kita tak berjumpa, rasanya aku telah rindu padarnu. Silahkan duduk diruang pendapa, nanti akan kuperkenalkan dengan tamuku ini”.
“Wiku Sepuh pandai juga berlaku pura-pura. Saya hanya seorang diri dan berada disarang harimau, tak mungkin aku mudah kau jebak dengan lidahmu yang berbisa. Ketahuilah bahwa yang saya perlukan adalah adimu Pandan Gede dan priyagung si Pendekar Majapahit. Jika memang mereka tak mau keluar dari persembunyiannya, dapat juga kau mewakilinya”. Jawab Tambakraga Dan melanjutkan kata-katanya. “Jauh-jauh dari hutan Wonogiri aku datang, hanya untuk menagih hutang pada dua orang pengecut itu”.
“Sabarlah dahulu Tambakraga”. Wiku Sepuh menyambut dengan tenang. “Aku belum dapat menangkap isi maksudmu. Jika yang kau kehendaki adalah adiku Pandan Gede, dia tak ada disini, demikian pula Tumenggung Indra. Kiranya urusanmu dengan keduanya aku tak mungkin mewakilinya, karena aku tak tahu duduk perkaranya. Jika kau mau sabar menunggu, mungkin mereka hari ini atau besok akan datang kemari.
Senapati Muda Gusti Adityawardhana, setelah mendengar Indra Sambada di sebut-sebut segera bangkit berdiri pula dan memotong percakapan yang tengah berlangsung itu.
“Tuan yang baru datang! Tadi tuan menyebut Pendekar Majapahit. Jika yang dimaksud Tumenggung Indra Sambada, saya akan mewakilinya untuk menyelesaikan urusan dengan Tuan, karena semua perbuatan Tumenggung Indra adalah langsung menjadi tanggung jawab saya, bila ia tidak berada ditempat”.
“Ha, ha, ha...... tak Iuput dugaartku”, Tambakraga menyahut. “hampir-hampir aku terjebak. Siapa lagi yang akan mewakilinya? Asalkan terang orangnya dan jumlahnya saja”.
“Karena Guruku tak berada disini, biarlah kami berdua mewakilinya”. Jaka Wulung dan Jaka Rimang serentak berdiri disamping Gusti Adityawardhana.
“Bagus, bagus, kini sudah ada tiga orang yang berterus terang. Apakah masih ada Iagi?” Tambakraga bertanya.
“Nanti dulu semua perkara dapat diselesaikan dengan tenang, Saya selaku tuan rumah, tidak menghendaki adanya keributan yang tak ada ujung pangkalnya. Sebaiknya kau terangkan terlebih dahulu, apa soal yang sebenarnya, agar semua dapat mengerti maksudmu”. kyai Wiku Sepuh berkata tertuju kepada Tambakraga. “Sekalipun sudah ada yang mewakili masing-masing sebaiknya aku tahu juga agar dapat menjadi penengah”.
“Baiklah, jika kau Wiku tua masih pura-pura belum tahu”, Tambakraga berkata menjelaskan. “Kira-kira seratus hari yang lalu, muridku Suronggolo yang masih dalam asuhanku, dikeroyok adimu siluman Pandan Gede dan si Pendekar Majapahit hingga menemui ajal. Pertarungan itu sungguh tidak jujur. Seorang yang masih hijau dikeroyok dua orang yang namanya telah termasyur. Apakah hal ini dapat dibenarkan? Suronggolo sejajar dengan muridmu yang bodoh, tetapi ia adalah orang yang selalu taat dan setia pada gurunya.
Jika ini dimaksudkan sebagai tantangan kepada gurunya, tentunya sebagai tokoh yang telah termasyur tak perlu membunuh mundku yang tidak berdosa itu. Dan yang kedua bagaimana kau Wiku tua dapat bertindak sebagai penengah, mengingat yang berbuat adalah adikmu seperguruan sendiri dan seorang priyagung yang tentunya akan mengangkat derajatmu”. Kata-kata itu dilontarkan dengan jelas sekali disertai suara tawa ejekan yang sangat memuakkan.
Bagi orang lain nama Tambakraga memang cukup membuat orang menggigil ketakutan. Ia terkenal kejam tak berperikemanusiaan. Kesaktiannya hampir mendekati titik sempurna pula. Jari-jari tangannya berkuku panjang beracun, Kayu-kayu yang bagaimana kerasnya dapat ditembus dengan totokan jari-jarinya. Cengkeraman kuku-kukunya merupakan cengkeraman maut. Ia terkenal pula dengan gelarnya "Raja rampok si Iblis tangan berbisa", Gelar ini dikarenakan banyaknya para rampok dan banyak begal-begal yang tunduk dibawah perintahnya, bahkan tidak sedikit jumlahnya diantara para pejahat yang menjadi muridnya.
Oleh para murid dan bawahannya ia digelari "Macan Kumbang". Para perampok dan begal yang berhasil mendapatkan rampasan harta benda dan lain-lainnya dengan taatnya menyerahkan bagian dari pada hasilnya kepada rajanya itu, la bertempat tinggal di sebuah gua ditengah hutan Wonogiri, tetapi gua itu tak ubahnya seperti bangunan istana didalam tanah saja. Didalam gua itu ia tinggal bersama dengan isterinya yang berjumlah tiga orang dan para budaknya, sedangkan diluar gua para murid-muridnya selalu siap berjaga-jaga demi keamanannya.
Rakyat didesa sekitar hutan itu, tak ada yang berani memasuki hutan Wonogiri yang lebat. Mereka menganggap bahwa hutan itu sangat angker. Cerita-cerita tahayul banyak tersebar luas dikalangan rakyat desa sekitarnya bahwasanya hutan Wonogiri didiami raja siluman dan sebagainya. Dan siapapun yang berani memasuki tak akan dapat diharapkan kembali selamat.
Konon ceritanya dalam sejarah, hutan Wonogiri pernah digunakan sebagai tempat sembunyi Raja Langga putra Udayana Raja Bali. Beliau melarikan diri dengan para pengiring, pada waktu Dharmawangsa diserang oleh Raja Wurantari pada tahun lebih kurang 1007. Dimana kemudian setelah turun takhta wafat sebagai pertapa dalam gua ditengah hutan itu, Th 1049 Dulunya hutan Wonogiri dianggap sebagai tempat keramat oleh rakyat sekitarnya, tetapi kini setelah kenyataan banyak orang yang hilang dihutan Wonogiri, mereka mengira bahwa tempat keramat itu didiami raja siluman yang jahat. Sedemikian hebatnya anggapan rakyat sekitarnya, hingga menceritakan hutan Wonogiri saja bagi rakyat sekitar itu merupakan pantangan ataupun tabu.
Sejak Tambakraga si Iblis tangan berbisa itu mendapat laporan dari Demang Jlagran, bahwa muridnya Suronggolo mati terbunuh oleh seorang yang masih muda dan siluman Pandan gede dan ternyata setelah diselidiki, si pemuda itu adalah perwira tamtama Kerajaan yang bergelar Pendekar Majapahit, maka ia timbul kekhawatirannya, kemungkinan akan diserbu tempat kediamannya oleh pasukan tamtama Kerajaan.
Menurut anggapan Tambakraga tentunya Pandan Gede akan minta bantuan dari priyagung Pendekar Majapahit, untuk menyerang dengan pasukan kehutan Wonogiri. Daripada didahului, baginya lebih baik mendahului mencari dan membunuh Pandan Gede untuk selanjutnya membunuh Pendekar Majapahit. Dengan demikian ia tak perlu kuatir akan terbongkarnya rahasia tempat tinggalnya.
Akan tetapi kiranya tak mudah mencari Pandan Gede si Siluman sakti itu, maka dicarilah ketempat kediaman Wiku Sepuh dilereng Gunung Sumbing, karena ia ingat bahwa Wiku Sepuh adalah kakak seperguruan Pandan Gede. Sungguhpun ia merasa ragu akan menghadapi Wiku Sepuh yang terkenal sakti tiada bandingannya. Maka tak heranlah apabila ia selalu penuh kecurigaan dalam menghadapi Wiku Sepuh. Sama sekali ia tidak menduga bahwa yang memukul mati Suronggolo adalah Kyai Tunggul yang kinipun berhadapan pula dan berada didepannya.
Adanya tamu seorang Senapati Muda Kerajaan beserta pasukan pengiring di Padepokan Wiku Sepuh, memperkuat dugaannya yang sebenarnya salah terka itu. Ia datang dipadepokan Kaliangkrik itu, bukan hanya seorang diri, melainkan membawa anak buahnya sebanyak 20 orang, yang bersembunyi agak jauh sedikit dari Padepokan. Ia cukup mengenal sifat-sifat dan kesaktian Wiku Sepuh.
Sewaktu Wiku Sepuh masih bergelar Sidik Pamungkas ataupun Yamadipati. Cemoohan yang dilontarkan pada Wiku Sepuh sebagai pengejar pangkat, sebenarnya mengandung maksud agar Wiku Sepuh tergugah sifat kesatryaannya untuk tidak turut campur dalam pertikaian ini, antara dia dan Pandan Gede maupun dengan tamtama Kerajaan.
“Macan Kumbang” Wiku Sepuh berkata dengan suara pelan tetapi jelas menahan kemarahan “Jika seandainya apa yang kau katakan itu benar seluruhnya, itupun bukan menjadi urusanku. Saya hanya menyarankan agar semua urusan diselesaikan dengan damai. Dan ingatlah! Bunuh membunuh dihalaman ku ini, tetap menjadi larangan”, suara Wiku Sepuh itu walaupun pelan, tetapi cukup jelas dan mengandung daya perbawa: “Kau datang dari jauh, dan kusambut sebagai tamuku, tetapi tingkah lakumu meninggalkan kesopanan sebagaimana layaknya seorang tamu. Jika sekiranya memang tak mau berurusan denganku, harap segera meninggalkan tempatku”. Wiku Sepuh melanjutkan bicaranya dengan suara yang masih menahan rasa marah.
Mendengar ucapan Wiku Sepuh yang disertai ancaman dan penuh wibawa, membuat Tambakraga serba ragu-ragu dalam tindakannya. Hanya dalam hatinya ia merasa beruntung, bahwa Wiku sepuh tak akan turut campur tangan dalam urusan ini antara dirinya dan Pandan Gede maupun dengan Pendekar Majapahit.
“Jika kaum Wiku tua berjanji tak akan turut campur tangan dalam hal ini baiklah, aku juga tak akan mengganggumu. Tetapi aku tetap akan menunggu kedatangan adimu si Siluman Pandan Gede disekitar tempatmu ini”, sahut Tambakraga dengan suara lantang diiringi tawanya yang nyaring. Berkata demikian, ia membalikkan badannya, hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba suara Kyai Tunggul menghentikan langkahnya:
“Tambakraga!”, serunya dengan nada suara menantang. “Tak perlu kau menunggu datangnya Pandan Gede, karena akulah orang yang membunuhnya. Dan kiranya sudah sepantasnya muridmu Suronggolo binasa ditanganku. karena perbuatannya yang tak pernah mengenal perikemanusiaan terhadap rakyat kecil. Ketahuilah bahwa muridmu kubunuh pada waktu ia sedang merampok dan membunuhi orang-orang tani tak berdosa didesa Trinil. Bahkan melarikan dengan paksa seorang perempuan yang telah bersuami dan mempunyai anak. Sekarang apakah kau juga masih akan membenarkan dan membela muridmu yang durhaka itu?”.
Kata-kata Kyai Tunggul dirasakan sebagai halilintar yang menyambar disiang bolong, oleh Tambakraga. Ia tak mengira sebelumnya bahwa orang setengah tua itu berani terang-terangan menantangnya. Namun tetap ia menduga bahwa pembunuh Suronggolo adalah Pandan Gede, sedangkan orang setengah tua itu menurut dugaannya hanyalah membela Pandan Gede saja.
“Hai orang tua kurus yang telah hampir mati! Janganlah kau turut-turut dalam persoalan saya dengan Pandan Gede. Jika hanya mau mengantar jiwamu silahkan aku tak keberatan memenuhi permintaanmu”. Tambakraga cepat membalikkan badannya kembali dan siap untuk melayani tantangan yang tiba-tiba itu, akan tetapi sebelum Kyai Tunggul datang mendekat, Sang Senapati Muda Adityawardhana telah mencegah niat Kyai Tunggul.
Sang Senapati melangkah sambil berkata dengan nada yang penuh kemarahan. Wajahnya kelihatan merah padam, matanya memandang tajam kearah Tambakraga dengan menyala-nyala, suaranya lantang mendesis agak parau:
“Keparat Tambakraga. Sejak tadi, aku telah muak mendengar kata-katamu yang tidak kenal sopan itu. Tak usah kau mencari Pandan Gede ataupun Tumenggung Indra. Aku yang mewakili mereka semua, dan matinya muridmupun merupakan tanggung-jawabku. Jika kau takut karena pangkatku, baik...... akan kutanggalkan pakaian kebesaranku ini. Demi untuk menjaga kebersihan nama Kyai Wiku Sepuh yang memang tidak tahu menahu. Soal itu, mari kita bertempur diluar halaman sana”.
Berkata demikian Sang Senapati cepat menanggalkan pakaian kebesarannya dan kini hanya tinggal memakai celana saja, tetapi pedang tamtama masih tetap menggantung di pinggangnya. Ia memberi isyarat agar tak ada yang turut campur dalam pertandingan ini. Dengan tangkasnya Sang Senapati mendahului meloncat keluar halaman dan berdiri tegak ditegalan luas menunggu datangnya Tambakraga, yang hanya terpaut lima langkah saja.
“Aku tak bermaksud bermusuhan dengan seorang Senapati priyagung Kerajaan, tetapi kata-kata penghinaan yang telah tuan ucapkan tak mungkin kubiarkan”. Tambakraga menjawab sambil mengikuti meloncat keluar halaman.
“Saat ini kau menghadapi aku sebagai orang biasa, tak perlu pangkatku disebut sebut. Lepas dari semua persoalan, anggaplah aku sebagai musuhmu. Tak usah khawatir, bahwa aku akan membawa-bawa pangkat dan kedudukanku untuk membasmi kau yang tak mengenal sopan itu”. Kiranya berkata demikian kemarahan Sang Senapati telah sampai dipuncaknya. Dengan pedang terhunus ia langsung menyerang menusuk kearah ulu hati Tambakraga.
Sebagai seorang yang berpengalaman luas, serta memiliki kesaktian dan mahir dalam krida yudha. Tambakraga cepat menundukkan kepala serta merendahkan badannya. Dan dengan tangan kirinya yang memegang tombak pendek, ia berganti menyerang lawan kearah perutnya. Tambakraga memegang tombak ditangan kiri bukan karena ia kidal, tetapi senjata itu sebenarnya hanya digunakan sebagai alat penangkis senjata lawan dan serangan parcingan saja.
Tangan kanannya mengembangkan tegang jari-jarinya yang berkuku panjang serta berbisa itu dalam gaya cengkeraman dan merupakan serangan maut yang lebih berbahayaa dari pada tombaknya. Tetapi sebagai seorang Senapati tamtama yang telah berpengalaman luas dalam pertempuran dan memiliki kesaktian pula, ia telah mengetahut cara-cara bertempurnya lawan yang sedang dihadapinya. Ia meloncat surut kebelakang untuk menghindari serangan tombak yang mendatang kearah perutnya dan menghindari cengkeraman kuku-kuku beracun itu.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment