Ads

Friday, February 11, 2022

Pendekar Majapahit 012

KEMBALI LAGI kini Indra Sambada sebatang kara dalam perjalanan, sambil merenungkan dan memikirkan kepedihan nasib yang sedang dialaminya. Baru saja ia terhibur karena pertemuannya dengan Jaka Wulung dan Jaka Rimang serta Giyanti, bahkan bersama-sama menempuh perjalanan dari Kapuan sampai di Secang dan kemudian bersarna sama kedua pemuda itu melanjutkan perjalanan sampai dilereng Gunung Sumbing sambil bersendau gurau dengan mesranya, kini tiba-tiba sebelum ia dapat duduk tenang beristirahat, diusir dari Padepokan, supaya berangkat menuju ke Dieng.

Badannya terasa letih lunglai seperti tidak bertulang. Sedangkan kakinya dirasakan berat untuk melangkah sewaktu ia keluar halaman, ia tak berani memalingkan kepala kebelakang sebentar, untuk menjawab lambaian tangan dari Jaka Wulung dan Jaka Rimang.

Seruan-seruan perpisahan dari Jaka Wulung dan Jaka Rimang, tak pula ia mendengarkan. Ia berjalan terus lurus kearah utara melewati pematang-pematang ditengah sawah yang luas membentang, untuk kemudian tiba didesa berikutnya. Kini ia menempuh jalan-jalan desa, dan sampailah disuatu lembah dengan banyak pohon-pohonnya yang rindang. Indra Sambada berhenti dan duduk beristirahat dibawah pohon asam yang rindang.

Dikala itu sang surya telah condong kebarat. Sinar teriknya memancar memenuhi alam. Benda-benda yang terkena sinarnya sang surya menciptakan bayangan-bayangan hitam ditanah, menyerupai bentuk wujudnya masing-masing. Sewaktu ia sedang duduk bertopang dagu dan tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba suara tertawa nyaring terdengar dari belakang dan membuatnya terkejut. Cepat ia memalingkan kepala kearah datangnya suara tertawa tadi, dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ternyata….. Seorang kakek kakek kurus bertongkat telah berdiri dibelakangnya.

“Tak kusangka orang yang bergelar Banteng Majapahit, semangat juangnya mudah patah”. kakek-kakek itu berseru menyindir ”Jika Tumenggung Indra masih memiliki aji shakti Bandung Bondowoso, kejarlah aku!!!” berkata demikian kakek-kakek bertongkat itu melesat lari kejurusan utara bagaikan berkelebatnya bayangan.

Mendengar kata-kata yang mengejek dirinya itu, Indra Sambada segera terbangun sadar dan tahulah ia dengan pasti, bahwa kakek-kakek itu tak lain dari pada Kyai Pandan Gede adanya. Secepat Pandan Gede melesat lari ke utara, Indra Sambada segera mematek aji shaktinya Bandung Bondowoso memusatkan tenaga bathinnya untuk kemudian menghilangkan rasa berat badannya dan secepat kilat itu pula Indra Sambada melesat mengejar larinya Pandan Gede.

Dua orang kejar-kejaran, laksana berkelebatnya bayangan. Ternyata dua orang memiliki kesaktian yang sama tingkatannya dalam lomba lari, menilik jarak antaranya yang selalu tidak berobah. Sang surya telah memasuki cakrawala, tetapi samar-samar masih kelihatan dua orang lari berkejar-kejaran, menuruni jurang-jurang yang curam untuk kemudian menaiki tebing yang terjal, dan memasuki lembah hutan belukar. Waktu itu telah tengah malam. Pandan Gede mengurangi kecepatan larinya yang segera tersusul oleh Indra Sambada.

“Ha…. Ha…. ha….. menyerah kalah aku” Pandan Gede berkata sambil berhenti lari dan duduk bersandar pada pohon ditengah hutari.

Indra Sambada segera mengikuti duduk ditanah berhadap-hadapan dengan Kyai Pandan Gede.

“Salah…. salah dugaanku tadi. Ternyata gelar Banteng Majapahit sesuai dengan pemiliknya” Pandan Gede mulai bicara dengan kata pujian tertuju pada Indra Sambada.

“Kyai Pandan Gede, sengaja mengalah” jawab Indra Sambada dengan jujurnya “Gelar siluman shakti ambeg paramaarta tepat benar untuk Kyai” Indra Sambada membalas memuji “Dan kiranya saya baru setingkat dengan murid Kyai” Indra bicara merendah.

“Aneh….. aneh….. selalu merendahkan diri.” Kyai Pandan Gede berkata dengan tertawa, dan meneruskan bicaranya “Aku menyerah kalah dan lomba lari selesai sampai disini saja. Pesanku terimalah pengabdian Jaka Rimang sebagai muridmu. Dan ingatlah, bahwa jeritan rakyat menunggu pertolongan dari Pendekar Majapahit” berkata demikian Pandan Gede melesat menghilang di kegelapan malam.

Dengan kata-kata lomba lari sampai disini saja, tahulah Indra Sambada, bahwa mengejar larinya Kyai Pandan Gede tidak ada gunanya. Bagaikan seorang yang baru bangun dari tidur, kini Indra Sambada semangat juangnya berkobar kembali menyala. Ia mengenangkan kembali pesan Wiku Sepuh yang terakhir dan pesan Pandan Gede yang baru saja berselang. Ia telah mendapatkan kebulatan tekad untuk pergi mencuci nodanya dicandi Arjuna, untuk kemudian melanjutkan pengabdiannya sebagai seorang tamtama, demi amanat penderitaan rakyat dan demi keagungan nama Kerajaan Majapahit.

Ia melanjutkan berjalan cepat di kegelapan malam melalui lereng-lereng Gunung Sindoro, untuk kemudian mengitari lereng-lereng gunung Bismo, dan menaiki tebing-tebing terjal menuju ke Gunung Dieng, dengan pusat perhatiannya kearah candi Arjuna. Duabelas hari lamanya ia berjalan melalui jurang-jurang, lembah-lembah dan tebing yang terjal yang sukar dilalui manusia biasa. Binatang liar yang dijumpai dalam perjalanan segera menyimpang jauh, tak kuat menatap wajah Indra Sambada yang bersinar yang dilindungi aji shakti Bandung Bondowoso.

Dengan langkah yang gontai, ia memasuki Candi Arjuna dan bermaksud akan bersemadhi di sudut ruang sebelah dalam. Akan tetapi tiba-tiba detak jantungnya berdebar-debar, dan sebagai Ksatrya shakti cepat pula ia dapat menguasai dirinya kembali untuk menenangkan serta menghentikan langkahnya, sambil mengawasi sekeliling ruangan dengan penuh waspada.

Sesaat ia menjadi terkesiap, demi dilihatnya dengan jelas, bahwa disudut dalam ruangan yang terang samar-samar sebelah kanan, nampak adanya seorang berpakaian seragam sebagai Lurah tamtama Kerajaan, sedang duduk bersila dengan muka tertunduk sambil memegang keris pusaka yang telah terhunus. Sedang Indra Sambada melangkah mendekat, untuk menegornya, tiba-tiba…… orang itu bangkit berdiri dengan masih menggenggam keris pusaka ditangan kanannya.

Indra Sambada melompat surut ke belakang selangkah, untuk berjaga menghadapi segala kemungkinan yang akan mendatang. Namun demi diingatnya kembali, akan pesan Wiku Sepuh, bahwa apapun yang terjadi atas dirinya. ia tak diperkenankan melawan dengan ilmu kanuragan. Maka cepat ia menyalurkan segenap tenaga dalamnya yang telah terpusat ke arah sinar pedang matanya, untuk kemudian menatap pada muka orang yang kini berada dihadapannya dengan pandang tajam penuh perbawa.

Orang itu tiba-tiba terhuyung-huyung kebelakang selangkah, dan keris pusaka ditangan kanannya berkelebat laksana kilat menembus dadanya sendiri. Ia roboh terkulai dilantai dengan mandi darah.

Dengan tangkas lndra Sambada meloncat maju selangkah, dan kemudian berjongkok disisih orang yang kini tengah bergulat dengan maut itu. Kiranya tak mungkin lagi ia dapat tertolong. Keris pusaka yang tertancap di dada orang itu demikian dalamnya, hingga hampir tembus sampai di punggungnya. Sedang Indra Sambada membantu menyilangkan tangan orang itu didadanya, tiba-tiba sambil membuka matanya sesaat, orang itu berbicara dengan suara yang amat lemah dan hampir tak kedengaran serta terputus-putus.

“Gus…. ti…..In…. dra…..Ampu….. In…. do…. .sa….. hamba yang….. hina…. di….. na…. Pun…. su…. rat…. Itu … ham ….ba…. yang….. membu….. at…..” Ia berhenti sesaat sambil berusaba mengerahkan tangannya yang terakhir serta mernbuka lagi matanya yang kian suram untuk melanjutkan kata-katanya. “Kematian Ki Lurah Somad dan istrinya bukan bunuh diri tapi hambalah yang mernbunuhnya.”

Sampai disini suara orang itu terputus. Nafasnya tersengal-sengal... dan kemudian badannya berkelejetan bergulat melawan maut yang kiranya telah menyengkeramnya semakin kuat.

“Lurah Sampar!!! Sampaaaaarrr!!! Seru Indra Sambada sambil menggoyang-goyang tubuhnya yang ternyata telah mulai rnembeku. Namun orang yang dipanggil namanya oleh Indra Sambada, ternyata telah tak bernafas lagi. Dan suasana kini menjadi sunyi hening kembali.

Ia tak menduga sama sekali, bahwa lurah Tamtama Sampar yang selalu taat dan dipercayai serta dianggapnya sangat setia itu, ternyata adalah orang yang mengkhianatinya. Orang yang melakukan perbuatan pengkhianatan yang amat rendah, keji serta terkutuk. Tetapi semua itu telah terjadi dan segala sesuatu yang telah terjadi tak perlu disesalkan dan diungkap kembali.

“Yah, semoga Dewata Yang Maha Agung dapat pula mengampuni dosa-dosamu” lndra Sambada berkata lirih, setelah mana ia mengubur mayat Lurah tamtama Sampar dibelakang candi.

Kegelapan yang selalu rnenyelimuti dirinya kini perlahan-lahan menyingkir bagaikan tertimpa oleh sinar cahaya nyalanya pelita. Kini ia kembali memasuki candi Arjuna lagi dan dengan tenangnya ia mulai duduk bersila disudut….. Mematikan daya rasa panca indranya. Dan terciptalah “trimurti jati manunggal” ialah bersatu padunya cipta, rasa dan karsa, untuk kemudian menyerah dengan tekad yang bulat dan menghadap pada kekuasaan Dewata Yang Maha Agung dan Maha Pengasih, bagaikan daun-daun kering menyerah pada hembusan angin yang meniupnya. la duduk bersila dan tenggelam dalam samadhinya laksana patung. Yang ada padanya hanya, mohon ampun, dan mohon petunjuk Nya dalam kelanjutan hidupnya demi mengabdi padaNya.

***

DIWAKTU SENJA seorang bangsawan dengan pakaian kebesarannya sebagai Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja bertubuh tinggi besar, bercambang bauk wajahnya, dengan dadanya yang bidang memasuki halaman Padepokan Kaliangkrik tempat Wiku Sepuh bersemayam. Kedatangan Gusti Senopati Adityawardhana didampingi oleh Tumenggung Sunata dan diiringkan oleh sepasukan tamtama sebanyak 30 orang.

Kelima pamong murid sibuk menyambutnya, sedangkan para murid lainnya sibuk menambatkan kuda-kuda tunggangannya dibelakang Padepokan. Pasukan tamtama pengiring dipersilahkan istirahat diruang pendapa dirumah sebelah kanan, sedangkan Gusti Senapati Muda dan Tumenggung Sunata langsung dipersilahkan masuk ke ruang pendapa dirumah tengah.

Wiku Sepuh segera keluar menyambut dengan didampingi Jaka Wulung dan Jaka Rimang, mempersilahkan Gusti Senapati Muda dan Tumenggung Sunata duduk dibale-bale yang lebar itu diruang pendapa. Menyusul kemudian kelima pamong, turut duduk berjajar dibelakang Wiku Sepuh yang sedang menghadapi tamu agung dari kota Raja.

“Maafkan jika kami menyambut kedatangan Gusti Senapati serba kurang pantas.” Wiku Sepuh berkata dengan kerendahan hati “Dan perkenankanlah kami mengucapkan dirgahayu atas kedatangan Gusti Senapati”.

“Sangat berterima kasih atas kesediaan menerima kedatanganku, Bapak Kyai Wiku Sepuh.” Gusti Senapati menjawab. “Tak kusangka bahwa padepokan yang terpencil, demikian indahnya.” ia melanjutkan berkata dengan memuji.

Tetapi dibalik kata-kata pujian, Gusti Senapati mengerahkan tenaga dalamnya dengan menatap wajah Kyai Wiku Sepuh. Kyai Wiku Sepuh tak mau menatap wajah Sang Senapati. Sengaja ia menundukkan mukanya, tetapi dengan pelan ia menghembuskan nafas yang disertai pemusatan kekuatan bathinnya dengan aji kesaktian panggendaman rajawana.

Sang Senapati segera terperanjat sesaat, setelah merasa bahwa ujung kain bajunya bergetar sebentar. Tahulah sekarang, bahwa yang di hadapinya ialah Sang Wiku Sepuh yang memiliki kesaktian mendekati sempurna. Ia segera menundukkan mukanya, menyesal akan kecerobohannya yang telah dilakukan.

“Gustiku Senopati, hendaknya jangan merasa canggung dalam padepokan yang buruk ini. Sudilah berlapang hati dan menganggap seperti di Istana sendiri”, Wiku Sepuh berkata dengan bersenyum. “Saya hanya seorang petani biasa dan tak mampu membangun lebih baik dari pada ini”.

“Kami sangat kagum akan indahnya pandangan dan segarnya hawa disini, rasanya aku tak ingin pulang ke rumahku sendiri”. jawab Sang Senopati dengan tak kurang tangkasnya dalam beradu lidah.

Kyai Wiku Sepuh tersenyum simpul, mendengar kata-kata pujian yang tak langsung itu.

“Tak kusangka, bahwa Gustiku Senopati pandai pula bergurau”. sahut Wiku Sepuh mengalihkan bicaranya.

Tumenggung Sunata dan kelima pamong murid serta Jaka Wulung dan Jaka Rimang duduk diam, rnendengarkan kedua tokoh sakti yang sedang bercakap-cakap. Dua tokoh sakti, tetapi berlainan kedudukannya, Kyai Wiku Sepuli sebagai tokoh rakyat yang termasyur, sedangkan Sang Senopati sebagai Tamtama Kerajaan yang terpandang.

Percakapan berhenti sejenak, karena datangnya para murid yang mengantarkan hidangan makanan berupa nagasari, wajik, ketan dan minuman teh hangat.

“Silahkan Gusti-gusti, hanya inilah hidangan yang dapat kami sajikan”. Wiku Sepuh mulai mempersilahkan untuk menikmati hidangan pada kedua tamunya, yang segera disambutnya dengan riang dan akrab. Sambil menikmati hidangan yang telah tersedia, percakapan masih berlangsung terus dengan asyiknya.

“Murid-murid Kyai Wiku Sepuh disamping mahir dalam ilmu kanuragan, kebathinan, kiranya mahir pula memasak.” Sang Senopati Muda bicara sarnbil menikmati hidangan makanan.

“Saya memang melatih murid-murid, agar kelak dapat terpakai sebagai juru masak di Senopaten.” Kyai Wiku Sepuh menyahut sambil tersenyum riang. “Sedangkan ajaran-ajaran lain yang dapat kuberikan hanya merupakan pelengkap mengingat pengetahuanku yang masih sangat dangkal”. Kyai Wiku Sepuh melanjutkan bicaranya dengan merendah hati, yang sekali gus merupakan sindiran tak langsung.



Sungguhpun percakapan itu telah agak lama berlangsung, tetapi masih tetap berkisar pada pembicaraan yang ringan-ringan saja. Sang Senopati belum juga memberikan penjelasan maksud kedatangannya, sedangkan Wiku Sepuh belum juga mau menanyakan maksud kedatangannya.

HARI telah malam. Sang bulan telah mulai memakai mahkotanya menggantikan sang surya yang telah berselang turun dari takhta, laksana permaisuri yang cantik sedang duduk di singgasana. Cahayanya yang memancar menembus di kegelapan, menerangi ibu pertiwi. Angin pegunungan meniup pelan dan terasalah sejuk menyegarkan badan.

Wiku Sepuhpun minta diri untuk bersemadhi sembahyang di candi halaman belakang dengan diikuti oleh para pamong murid dan para murid-murid semua, tak ketinggalan Jaka Wulung dan Jaka Rimang mengikuti pula.

Kedua tamu priyagung bangkit dari duduknya dan berjalan-jalan mengelilingi halaman sambil menikmati hawa pegunungan yang sejuk. Tak lama kemudian, kembalilah mereka semua diruang pendapa, dan melanjutkan percakapannya.

Para murid kembali mengganggu percakapan yang sedang berlangsung, dengan mengantarkan hidangan makan malam, ialah nasi putih dengan lauk pauknya, yang berupa ayam goreng, sayur mayur, masakan ikan air tawar dan sebagai buahnya pisang raja sebesar pergelangan tangan”.

“Silahkan menikmati hidangan hasil dari padepokan, Gusti”, Wiku Sepuh mulai mempersilahkan untuk menikmati hidangan makan malam.

Dengan lahapnya Sang Senapati Muda Gusti Adityawandhana dan Tumenggung Sunata menikmati makanan yang lezat. Kiranya para pasukan tamtama pengiring yang berada dirumah samping kanan juga sedang berpesta dengan riangnya, bersama-sama para murid yang sedang tidak bertugas. Gelak tertawa para tamtama pengiring terdengar jelas dari ruang pendapa rumah tengah. Mereka sangat bersuka ria atas sambutan yang meriah dan akrab. Satu sama lain asyik menceriterakan pengalaman masing-masing dengan sebentar-sebentar diselingi suara tertawa nyaring. Sedang mereka asyik menikmati hidangan yang lezat itu, tiba-tiba datang seorang murid mengantarkan tamu.

Tamu yang datang itu telah setengah lanjut usianya. la berpakaian seperti petani biasa dengan kantong kulit besar dipinggangnya, bertubuh kurus tidak tinggi dengan ikat kepala hitam lebar segitiga yang telah kumal. Kumis dan jenggotnya putih beruban, panjang tak terawat. Ia membimbing seorang anak lelaki berbadan gemuk agak pendek, berusia kurang lebih mendekati 13 tahun. Setelah tamu itu memasuki ruang pendapa tengah, Tumenggung Sunata segera bangkit berdiri dan menyambutnya dengan penuh hormat.

“Tak kuduga bahwa guruku, Bapak Kyai Tunggul datang pula dipadepokan”. Kata Tumenggung Sunata dengan perasaan heran kepada tamu yang baru datang itu, yang tidak lain memang Kyai Tunggul berserta Sujud anak angkatnya adanya.

Mendengar ucapan kata-kata sambutan dari Tumenggung Sunata, serentak semua berdiri menyambut kedatangannya dan mempersilahkan untuk duduk bersama-sama.

“Kedatangan seorang tabib besar yang termasyur dipadepokan ini adalah suatu kehormatan besar bagi kami,” Wiku Sepuh mulai bicara. “Perkenankanlah saya menyambutnya dengan ucapan dirgahayu pada Kyai Tunggul”.

“Sangat diperbanyak terima kasih atas kesudian menerima kedatangan kami, Kyai Wiku”. Kyai Tunggul menjawab.

“Kedatangan Kyai Tunggul sangat menggirangkan hatiku”, Senapati Muda Adityawardhana memotong pembicaraan. “Namanya telah mengambar harum di Kerajaan, tetapi baru kali ini aku dapat kesempatan bertemu dengan orangnya”, berkata demikian Sang Senapati Muda membungkukkan badannya, sebagai tanda menghormat.

“Terima kasih atas kata pujian Gustiku Senapati, yang berlebih-lebihan itu”. Kyai Tunggul menjawab.

“Silahkan Kyai Tunggul turut serta menikmati hidangan makan bersama-sama”, Wiku Sepuh mempersilahkan Kyai Tunggul dan Sujud untuk segera menyusul makan bersama.

“Tak kusangka bahwa perjalananku selalu dihadang rejeki. Mari Jud, tak usah kuatir, padepokan ini makmur sejahtera”, Kyai Tunggul bicara sambil memulai makan dengan lahapnya.

Kedatangan Kyai Tunggul menambah ramainya percakapan. Namun belum juga mereka membicarakan kepentingan masing-masing. Dan Kyai Wiku Sepuh memang sengaja tak mau menanyakan maksud kedatangannya.

Selesai makan, mereka masih melangsungkan percakapan dengan asiknya hingga larut malam. Dengan masih menyimpan persoalan masing-masing dalam kalbunya, mereka kemudian beristirahat merebahkan badan hingga esok pagi.

Pada esok paginya mereka kembali berkumpul diruang pendapa rumah tengah dan melanjutkan percakapan yang tak ada ujung pangkalnya itu. Tiba-tiba Gusti Adityawardhana memotong pembicaraan dengan usul acara baru.

“Jika Kyai Wiku Sepuh mengijinkan, ingin sekali saya melihat para murid Padepokan yang sedang berlatih kanuragan”

“Untuk menghormat Gustiku Senapati, tentu saya tidak berkeberatan, tetapi hendaknya Gusti nanti jangan mentertawakan permainan para muridku yang sangat dangkal. jawab Kyai Wiku Sepuh merendah.

“Dangkal ataupun tidak, saya ingin sekali melihatnya, agar mendapat tambahan pengetahuan, untuk mengisi kekurangan-kurangan. Ilmu yang ada pada para tamtama Kerajaan. Dan aku kira Kyai Tunggulpun ingin pula menyaksikannya”, Gusti Senapati Muda mendesak.

“Saya sangat setuju akan usul Gusti Senapati Muda, karena pertunjukan itu tentu akan menyegarkan pandangan”, Kyai Tunggul menyahut.

Dengan demikian maka kini Kyai Wiku Sepuh terdesak kesudut dan sebagai tuan rumah ia harus melayaninya.

“Baik, baik". jawab Kyai Wiku Sepuh :"Hanya saja janganlah Gusti-gusti dan Kyai Tunggul mentertawakan. Peniling!", Kyai Wiku Sepuh memalingkan kepalanya dan berkata kepada Waspadha Paniling; "Supaya semua para murid berkumpul dihalaman belakang tempat latihan, Jaka Wulung dan Jaka Rimang bantulah kakakmu, Paniling dan para pamong lain", katanya tertuju pada Jaka Wulung dan Jaka Rimang.

Para pamong murid dengan diikuti oleh Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera meninggalkan ruang pendapa, menuju kehalaman belakang, untuk mempersiapkan tempat latihan para murid beserta bermacam-macam senjata tajam dan tongkat-tongkat penjalin dari bermacam-macam ukuran.

Tempat latihan itu luasnya kira-kira 500 langkah persegi dan merupakan padang rumput hijau yang rapih teratur, menyerupai permadani hijau yang digelar. Di-tiap-tiap sudut terdapat tempat khusus untuk menaruh senjata-senjata tajam dan tongkat-tongkat penjalin. Para murid segera pula berkumpul duduk berjajar dibatas garis tempat latihan sebelah barat dengan tak memakai baju atas. Mereka bercelana hitam panjang sampai dibawah lututnya dengan ikat pinggang pita berwarna, menurut tingkatan mmasing-masing.

Yang termuda atau terendah ikat pinggangnya berwarna merah, sedangkan tingkatan diatas terendah atau tengah, memakai ikat pinggang pita kuning. Kemudian tingkat yang teratas ialah para pamong murid memakai ikat pinggang pita sutra berwarna putih. Para tamtama pengiring dari Kerajaan turut pula menyaksikan latihan yang akan diselenggarakan itu, dan mereka berjajar duduk dibatas sebelah timur.

Dengan berpakaian seragam merah berseret putih, sebagai tamtama pengawal Raja. Bagi para tamtama, kesempatan menyaksikan pertunjukan ini adalah merupakan kegemaran mereka, bahkan banyak diantara mereka yang ingin pula turut serta memamerkan ketangkasannya masing-masing dalam hal krida yudha, hanya saja sebelum ada ijin dari Sang Senapati Muda, mereka tak berani bergerak.

Kini Kyai Wiku Sepuh mempersilahkan kepada para tamunya menuju ke tempat latihan halaman dibelakang yang telah disiapkan dan mengambil tempat dnduk disebelah diatas tikar pandan yang telah digelar. Wiku Sepuh segera memberi isyarat kepada Waspadha Paniling agar latihan segera dimulai.

Semua para murid dengan dipimpin para pamong murid kini mulai bersemadhi mengheningkan cipta sebentar. Jaka Wulung dan Jaka Rimang duduk mendampingi Wiku Sepuh dan berjajar dengan Tumenggung Sunata, dengan memakai ikat pinggang pita sutra putih.

Empat orang murid dari tingkat terendah tampil kedepan, duduk bersila menghadap Kyai Wiku Sepuh dan bersujud serentak, untuk kemudian berdiri ditengah-tengah gelanggang dan memulai dengan mempertunjukkan ketangkasannya masing-masing, dengan gaya gerakan kembang-kembang yang indah, yang lebih menyerupai tarian dari pada pertempuran. Senjata-senjata yang berada disudut dipakai juga satu demi satu dalam gerakan tarian kembang-kembang. Inilah latihan dasar dari olah kanuragan ciptaan Wiku Sepuh.

Para tamtama memperhatikan dengan seksama dan banyak diantara mereka memuji akan ketangkasan gerakan-gerakan itu, tetapi banyak pula yang merasa tidak puas akan pertunjukan yang baru saja dipamerkan dengan mengerutu.

“Tarian yang demikian indah bagi kita tak ada artinya.”

Gusti Senapati Muda segera turut pula bertepuk tangan sebagai pujian, setelah permainan kembang-kembang itu berakhir. Kemudian dua orang pemuda dengan ikat pinggang warna kuning pada masing-masing pinggangnya tampil kedepan dan bersujud paka Wiku Sepuh. Wiku Sepuh memberi isyarat sebagai ijin untuk segera memulai.

Dengan tangkasnya kedua pemuda tadi meloncat dengan gaya yang indah surut kebelakang dan berdiri ditengah-tengah gelanggang, dengan saling beradu punggung. Dengan cepatnya mereka bergerak lagi ketempat senjata yang berada disudut di depan masing-masing. Yang satu mengambil sebuah pedang, sedangkan seorang pemuda yang lain sebagai lawannya mengambil tongkat penjalin berukuran panjang sedepa dan besarnya kira-kira satu setengah ibu jari kaki.

Kini pertarungan pedang melawan tongkat panjang, mulai mendebarkan hati para penonton. Semua perhatian para tamtama terpusat kearah pertunjukan pertarungan itu. Masing-masing memperlihatkan ketangkasannya yang mengagumkan.

Tumenggung Sunata kini mulai tertarik pula akan pertunjukan Itu, bahkan Sang Senapati sendiri seringkali mengeluarkan pujian.

“ah…… hebat” hingga berulang-ulang.

Tongkat penjalin yang berada ditangan murid Kyai Wiku Sepuh dapat bergerak cepat berputar menjadi lingkaran, tak ubahnya seperti payung baja sebagai pemegangnya. Pedang ditangan lawan tak mampu menyerangnya. Tiap kali serangan tusukan dengan ujung pedang dilancarkan, selalu pula dapat digagalkan karena rapatnya perisai yang diciptakan lawan, sipemegang tongkat penjalin.

Bahkan berkali-kali hampir pedang terlepas dari genggaman, karena terbabit benturan gerakan tongkat penjalin yang dahsyat. Kini berganti pemegang rotan melancarkan serangan-serangan sabetan dan pukulan yang tak kalah berbahayanya. Pemegang pedang sibuk menangkis dengan gerakan yang mentakjubkan pula. Tiap kali tangkisan diiringi sebuah gerakan serangan babatan ataupun tusukan kearah lawan.

Namun kiranya keduanya memiliki ketangkasan dan kemahiran yang seimbang. Tepuk tangan terdengar riuh setelah pertunjukan berakhir. Sang Senapati tersenyum girang melihat pertunjukan itu, sedangkan Kyai Tunggul selalu berseru pada anak angkatnya Sujud:

“Hebat, hebat, kau harus banyak belajar dari pertunjukan ini.”

Sujud tidak menjawab, tetapi memperhatikan dengan cermatnya akan pertunjukkan yang mengasyikan dan menarik perhatian para penonton. Sedangkan dalam hatinya ia tidak merasa puas akan pertunjukkan yang hanya merupakan permainan saja. Yang ia inginkan, ialah suatu pertempuran yang sungguh-sungguh dan berakhir dengan ada pihak yang menang. Pikirnya:

“Bagaimana bisa tahu, mana yang lebih mahir, jika hanya merupakan permainan demikian saja.”

“Jika kiranya tak keberatan, saya juga ingin turut meramaikan pertunjukan ini. Lagi pula biarlah salah seorang tamtamaku dapat menerima pelajaran-pelajaran yang berguna dari murid Kyai Wiku Sepuh,” tiba-tiba Sang Senapati Muda bicara memecah kesunyian, kepada Kyai Wiku Sepuh.

“Bagus, bagus”, jawab Kyai Wiku Sepuh dan melanjutkan kata-katanya sambil bersenyum. “Saya telah menduga, bahwa Gusti Senapati sangat gemar akan pertunjukan olah kanuragan, tetapi sudilah Gustiku memperingatkan kepada tamtama yang akan tampil supaya pertunjukan ini berlangsung dengan rasa persahabatan.

“O… tentu, hal itu tak usah Kyai Wiku Sepuh kuatirkan”, sahut Sang Senapati dengan tersenyum pula.

Sang Senapati segera berbisik kepada Tumenggung Sunata, supaya memanggil seorang tamtama yang telah ditunjuknya. Seorang tamtama yang dimaksudkan segera tampil kedepan menghadap Sang Senapati untuk menyembah dan kemudian berdiri tegak ditengah gelanggang, menunggu datangnya lawan.

“Paniling”, Wiku Sepuh berseru memanggil. “Biarlah adikmu Watangan melayani tamu kita, agar ia mendapat pengalaman dan petunjuk-petunjuknya yang berguna.”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment