Menurut keterangan Kyai Pandan Gede, Wiku Sepuh adalah kakaknya Kyai Pandan Gede seperguruan. Ia telah lama sekali bersembunyi dipadepokan Kaliangkrik dan tidak pernah mencampuri urusan masyarakat ramai. Namanya dulu terkenal harum, jauh mengumandang .sampai dikota Raja. Beliau dulu bernama Sidik Pamungkas dan oleh lawannya dijuluki "Yamadipati”. Kesaktiannya jauh diatas Kyai Pandan Gede gurunya. Demikian mereka berdua menceriterakan dengan semangat yang benyalan nyala.
Dalam hati Indra turut mengagumi pula, sungguhpun ia belum pernah kenal dengan Wiku Sepuh itu. Akan kesaktian Kyai Pandan Gede Si Siluman aneh itu; ia telah merasa kagum, tetapi kini masih ada orang yang kesaktiannya jauh melebihi Kyai Pandan Gede. Bagaimana kesaktian Wiku Sepuh ia tidak dapat membayangkan. Keinginannya untuk turut serta menyantrik padanya kini bertambah besar, tetapi segera timbul rasa takutnya, jika seandainya ia tidak diterima sebagai murid.
Perasaan itu segera terhibur kembali dengan mengenangkan ajaran-ajaran guru Pendetanya. Semua adalah kehendak Dewata Yang Maha Agung namun manusia harus berikhtiar. Kini semangatnya timbul kembali, setelah mengenang ajaran-ajaran Guru Pendetanya. Dan bukankan ia mencari ilmu untuk mengabdi pada Kerajaan dan rakyatnya?
Jaka Wulung dan Jaka Rimang juga menjelaskan bahwa menurut Kyai Pandan Gede, kini dimana mulai timbul kerusuhan-kerusuhan yang bermacam-macam coraknya. Didesa-desa banyak perampokan dan maling, sedangkan dikota kota banyak pembrontakan kecil-kecil, sehingga kewibawaan Kerajaan mulai menurun karenanya. Para Punggawa Narapraja banyak yang mulai menyeleweng, bahkan tidak sedikit yang merangkul para perampok, demi keselamatan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mewah yang berlebih-lebihan untuk kepentingan diri pribadinya.
Memang hal ini telah dirasakan sendiri akan kebenarannya oleh Indra Sambada. Sejak ia mengembara banyaklah hal-hal yang dialami dan diketahuinya. Bahkan sering pula ia terpaksa turut campur turun tangan memberantas kerusuhan-kerusuhan yang dijumpainya demi pembelaan terhadap rakyat jelata. Pengalaman-pengalaman ini merupakan tambahan ilmu pula yang tidak ternilai dalam melanjutkan pengabdiannya.
Setelah bermalam disebuah desa kecil yang dilalui, mereka esok paginya melanjutkan perjalanan menuju ke Secang, yang dapat ditempuh selama satu hari berjalan kaki dari desa yang telah dipakai untuk bermalam.
Pada senja hari mereka berempat sampai di Secang. Dengan mudah segera menemukan tempat kediaman Pamannya. Karena didesa itu Pamannya adalah orang yang terpandang juga. Ia adalah abdi dalem Punggawa Narapraja merangkap Lurah desa Secang. Pangkatnya Bekel dan nama lengkapnya Raden Bekel Jayengguno. Ia dulu pernah mengabdi di Kepatihan di Kota-Raja sebagai abdi dalem jajar dan karena kesetiaannya diangkat menjadi Bekel Lural, ditempat asalnya desa Secang yang kini dibawahkan oleh Bupati Kebanjaran Agung Mataram.
Pak Lurah Bekel Jayengguno usianya telah lanjut, mendekati tujuh puluhan tetapi masih kelihatan kuat, menilik dari jalannya tidak bertongkat dan tegak. Rambutnya telah putih beruban dan diikat ke belakang menyerupai gelung yang kecil. Sedangkan dikepalanya melingkar sebuah sisir lebar yang lengkung terbuat dari tanduk. Dahinya yang lebar telah pula kelihatan banyak kerutnya. Wajahnya kuning bersih berkeriput.
Rasa rindu yang telah lama dikandungnya kepada anak-anak kemenakannya, kini dilampiaskan sepuasnya. Karena sikap Indra Sambada yang selalu dapat menyesuaikan diri dimanapun dia berada, maka Pak Bekel Jayenguno memperlakukan tak ubahnya sebagai anak kemenakannya scndiri. Sampai jauh malarn mereka bercakap-cakap dan tak henti-hentinya,
Pak Bekel Jayengguno menanyakan keadaan para keluarga yang berada di Deles Merbabu, terutama tentang keadaan ayah dan ibu Jaka Wulung sendiri. Hanya Jaka Rimanglah yang segera mendahului istirahat sejak sore malam tadi, karena kakinya yang luka dipahanya dirasakan pegal dan sakit.
Giyanti setelah membantu bibinya didapur kini turut pula mendengarkan percakapan yang mengasikkan. Ibu bibinya yang telah lanjut pula usianya, merasa sangat bahagia dan bangga atas kemenakan-kemenakannya yang setelah dewasa ternyata kelihatan gagah perkasa dan anak kemenakan putrinya yang cantik. Sebentar-sebentar ia bangkit dari tempat duduknya, untuk melihat keadaan Jaka Rimang yang sedang berbaring. Sifat-sifat keibuan yang penuh rasa kasih sayang terhadap kemenakan-kemenakannya, telah melekat padanya.
Pak Jayengguno beserta isteri merasa sangat girang sekali dan mengucapkan syukur kepada Dewata Yang Maha Agung setelah Jaka Wulung mengatakan, bahwa kedatangannya akan menyerahkan adiknya yang bungsu Giyanti agar diasuh Paman dan Bibinya, yang memang tidak mempunyai keturunan. Dulu pula Giyanti telah pernah dimintanya, tetapi karena Giyanti juga merupakan satu-satunya anak perempuan, maka oleh orang tuanya Jaka Wulung dipertahankan.
Tetapi pendirian itu kiranya kini tak dapat dibenarkan, karena apabila Giyanti hanya tinggal didesa pegunungan tak mungkin la akan mendapat kemajuan pendidikan yang layak bagi umumnya para wanita sebagai idaman orang tua.
Atas pesan Indra Sambada sewaktu diperjalanan, Jaka Wulung tak mau juga menceritakan tentang keadaan sebenarnya, tentang Siapa Indra Sambada itu kepada Paman dan Ibu bibinya. Ia hanya mengatakan bahwa Indra Sambada adalah kakak angkatnya. Sambil menunggu sembuhnya luka Jaka Rimang mereka tinggal dirumah Bekel Jayengguno lima hari lamanya.
Jaka Wulung, Jaka Rimang dan Indra Sambada setelah berpamitan kepada Jayengguno dan isterinya serta memberikan pesan berupa petunjuk-petunjuk seperlunya kepada Giyanti, yang ditinggalkan di Secang, mereka berangkat meneruskan perjalanan dengan jalan kaki menuju Lereng Gunung Sumbing, ke Padepokan Wiku Sepuh di Kaliangkrik.
Giyanti menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran sewaktu kedua kakaknya dan Indra Sambada berpamit padanya. Berulang-ulang Giyanti berpesan pada kakak-kakaknya dan Indra Sambada, agar mereka sering pergi ke Secang menjenguknya. Demikian pula Ibu bibinya, yang isak tangisnyapun tak dapat ditahan pula.
“Memang didunia ini tak ada yang kekal”. kata Jayengguno menghibur. “Ada waktu bertemu, tentu pula ada waktu berpisah. Semua itu adalah kehendak Dewata yang Maha Agung. Kita semua tak dapat menentang akan kehendak Nya, Maka ingatlah selalu akan kebesaran Nya”. pesannya berulang-ulang “dan mohonlah selalu penerang dan petunjuk dari Nya.”
Adegan demikian membuat semakin pedih rasa hati Indra Sambada. Dan terkenanglah kembali akan kejadian sewaktu ia meninggalkan rumahnya Kebanjaran Agung Bandawasa, serta semua petuah-petuah ayah serta Guru pendetanya. Ia terkenang pula akan peristiwa sewaktu ia akan berangkat menunaikan tugas menggempur bajak laut di Pontianak sebagai Perwira Tamtama. Dibalik kenangan-kenangan yang indah itu, perasaan sedih yang tak terhingga akan fitnah yang terkutuk, selalu mengejarnya.
Dalam hati Indra turut mengagumi pula, sungguhpun ia belum pernah kenal dengan Wiku Sepuh itu. Akan kesaktian Kyai Pandan Gede Si Siluman aneh itu; ia telah merasa kagum, tetapi kini masih ada orang yang kesaktiannya jauh melebihi Kyai Pandan Gede. Bagaimana kesaktian Wiku Sepuh ia tidak dapat membayangkan. Keinginannya untuk turut serta menyantrik padanya kini bertambah besar, tetapi segera timbul rasa takutnya, jika seandainya ia tidak diterima sebagai murid.
Perasaan itu segera terhibur kembali dengan mengenangkan ajaran-ajaran guru Pendetanya. Semua adalah kehendak Dewata Yang Maha Agung namun manusia harus berikhtiar. Kini semangatnya timbul kembali, setelah mengenang ajaran-ajaran Guru Pendetanya. Dan bukankan ia mencari ilmu untuk mengabdi pada Kerajaan dan rakyatnya?
Jaka Wulung dan Jaka Rimang juga menjelaskan bahwa menurut Kyai Pandan Gede, kini dimana mulai timbul kerusuhan-kerusuhan yang bermacam-macam coraknya. Didesa-desa banyak perampokan dan maling, sedangkan dikota kota banyak pembrontakan kecil-kecil, sehingga kewibawaan Kerajaan mulai menurun karenanya. Para Punggawa Narapraja banyak yang mulai menyeleweng, bahkan tidak sedikit yang merangkul para perampok, demi keselamatan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mewah yang berlebih-lebihan untuk kepentingan diri pribadinya.
Memang hal ini telah dirasakan sendiri akan kebenarannya oleh Indra Sambada. Sejak ia mengembara banyaklah hal-hal yang dialami dan diketahuinya. Bahkan sering pula ia terpaksa turut campur turun tangan memberantas kerusuhan-kerusuhan yang dijumpainya demi pembelaan terhadap rakyat jelata. Pengalaman-pengalaman ini merupakan tambahan ilmu pula yang tidak ternilai dalam melanjutkan pengabdiannya.
Setelah bermalam disebuah desa kecil yang dilalui, mereka esok paginya melanjutkan perjalanan menuju ke Secang, yang dapat ditempuh selama satu hari berjalan kaki dari desa yang telah dipakai untuk bermalam.
Pada senja hari mereka berempat sampai di Secang. Dengan mudah segera menemukan tempat kediaman Pamannya. Karena didesa itu Pamannya adalah orang yang terpandang juga. Ia adalah abdi dalem Punggawa Narapraja merangkap Lurah desa Secang. Pangkatnya Bekel dan nama lengkapnya Raden Bekel Jayengguno. Ia dulu pernah mengabdi di Kepatihan di Kota-Raja sebagai abdi dalem jajar dan karena kesetiaannya diangkat menjadi Bekel Lural, ditempat asalnya desa Secang yang kini dibawahkan oleh Bupati Kebanjaran Agung Mataram.
Pak Lurah Bekel Jayengguno usianya telah lanjut, mendekati tujuh puluhan tetapi masih kelihatan kuat, menilik dari jalannya tidak bertongkat dan tegak. Rambutnya telah putih beruban dan diikat ke belakang menyerupai gelung yang kecil. Sedangkan dikepalanya melingkar sebuah sisir lebar yang lengkung terbuat dari tanduk. Dahinya yang lebar telah pula kelihatan banyak kerutnya. Wajahnya kuning bersih berkeriput.
Rasa rindu yang telah lama dikandungnya kepada anak-anak kemenakannya, kini dilampiaskan sepuasnya. Karena sikap Indra Sambada yang selalu dapat menyesuaikan diri dimanapun dia berada, maka Pak Bekel Jayenguno memperlakukan tak ubahnya sebagai anak kemenakannya scndiri. Sampai jauh malarn mereka bercakap-cakap dan tak henti-hentinya,
Pak Bekel Jayengguno menanyakan keadaan para keluarga yang berada di Deles Merbabu, terutama tentang keadaan ayah dan ibu Jaka Wulung sendiri. Hanya Jaka Rimanglah yang segera mendahului istirahat sejak sore malam tadi, karena kakinya yang luka dipahanya dirasakan pegal dan sakit.
Giyanti setelah membantu bibinya didapur kini turut pula mendengarkan percakapan yang mengasikkan. Ibu bibinya yang telah lanjut pula usianya, merasa sangat bahagia dan bangga atas kemenakan-kemenakannya yang setelah dewasa ternyata kelihatan gagah perkasa dan anak kemenakan putrinya yang cantik. Sebentar-sebentar ia bangkit dari tempat duduknya, untuk melihat keadaan Jaka Rimang yang sedang berbaring. Sifat-sifat keibuan yang penuh rasa kasih sayang terhadap kemenakan-kemenakannya, telah melekat padanya.
Pak Jayengguno beserta isteri merasa sangat girang sekali dan mengucapkan syukur kepada Dewata Yang Maha Agung setelah Jaka Wulung mengatakan, bahwa kedatangannya akan menyerahkan adiknya yang bungsu Giyanti agar diasuh Paman dan Bibinya, yang memang tidak mempunyai keturunan. Dulu pula Giyanti telah pernah dimintanya, tetapi karena Giyanti juga merupakan satu-satunya anak perempuan, maka oleh orang tuanya Jaka Wulung dipertahankan.
Tetapi pendirian itu kiranya kini tak dapat dibenarkan, karena apabila Giyanti hanya tinggal didesa pegunungan tak mungkin la akan mendapat kemajuan pendidikan yang layak bagi umumnya para wanita sebagai idaman orang tua.
Atas pesan Indra Sambada sewaktu diperjalanan, Jaka Wulung tak mau juga menceritakan tentang keadaan sebenarnya, tentang Siapa Indra Sambada itu kepada Paman dan Ibu bibinya. Ia hanya mengatakan bahwa Indra Sambada adalah kakak angkatnya. Sambil menunggu sembuhnya luka Jaka Rimang mereka tinggal dirumah Bekel Jayengguno lima hari lamanya.
Jaka Wulung, Jaka Rimang dan Indra Sambada setelah berpamitan kepada Jayengguno dan isterinya serta memberikan pesan berupa petunjuk-petunjuk seperlunya kepada Giyanti, yang ditinggalkan di Secang, mereka berangkat meneruskan perjalanan dengan jalan kaki menuju Lereng Gunung Sumbing, ke Padepokan Wiku Sepuh di Kaliangkrik.
Giyanti menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran sewaktu kedua kakaknya dan Indra Sambada berpamit padanya. Berulang-ulang Giyanti berpesan pada kakak-kakaknya dan Indra Sambada, agar mereka sering pergi ke Secang menjenguknya. Demikian pula Ibu bibinya, yang isak tangisnyapun tak dapat ditahan pula.
“Memang didunia ini tak ada yang kekal”. kata Jayengguno menghibur. “Ada waktu bertemu, tentu pula ada waktu berpisah. Semua itu adalah kehendak Dewata yang Maha Agung. Kita semua tak dapat menentang akan kehendak Nya, Maka ingatlah selalu akan kebesaran Nya”. pesannya berulang-ulang “dan mohonlah selalu penerang dan petunjuk dari Nya.”
Adegan demikian membuat semakin pedih rasa hati Indra Sambada. Dan terkenanglah kembali akan kejadian sewaktu ia meninggalkan rumahnya Kebanjaran Agung Bandawasa, serta semua petuah-petuah ayah serta Guru pendetanya. Ia terkenang pula akan peristiwa sewaktu ia akan berangkat menunaikan tugas menggempur bajak laut di Pontianak sebagai Perwira Tamtama. Dibalik kenangan-kenangan yang indah itu, perasaan sedih yang tak terhingga akan fitnah yang terkutuk, selalu mengejarnya.
Ya!! Kapan dia akan dapat mencuci noda yang telah melekat??? Dapatkah kelak ia hidup bahagia, dengan noda-noda yang masih tetap melekat padanya? Tetapi Dewata Yang Maha Kuasa, adalah Maha Pengasih. Manusia hanya wajib berikhtiar, namun ketentuan ada dalam kekuasaanNya. Perobahan raut muka yang memancarkan rasa kesedihan itu selalu menjadi perhatian Jaka Rimang. Maka dalam perjalanan menuju ke Lereng Gunung Sumbing, Indra Sambada selalu didesaknya untuk menjelaskan.
“Kakang Indra”, Jaka Rimang mulai menghibur sambil menanyakan pada Indra. “Aku selalu melihat pancaran kesedihan diwajah kakang. Gerangan apakah yang selalu membikin bangkitnya rasa kesedihan kakang Indra? Sejak semula aku kenal kakang, aku telah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan mengabdi selamanya padamu, kakang lndra! Kesedihanmu aku turut merasakan pula. Apabila sekiranya tak menyinggung perasaanmu, dan aku dapat membantu meringankan deritamu, sudilah kakang Indra menjelaskan padaku!”
“Adi Wulung dan adi Rimang”, Jawab Indra Sambada “Sungguhpun adi berdua dalam hatiku telah kuanggap sebagai adikku sekandung, tetapi mengenai kesedihanku ini sukar untuk kujelaskan padamu. Penderitaanku adalah hukuman atas akibat perbuatanku sendiri.”
“Tetapi apabila kakang Indra hanya salah dalam perbuatan, apakah tidak dapat segera ditebus dengan perbuatan pula”. Jaka Rimang mendesak.
“Tidak mungkin karena perbuatanku menyalahi pada janjiku sendiri. Dan bukan terhadap lain orang. Itulah yang selalu aku merasa menderita”, Indra Sambada menjelaskan.
Keterangan Indra Sambada semakin sukar dimengerti oleh Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
“Tetapi jika tidak keberatan, ingin aku mengerti persoalanmu, kakang Indra!” Jaka Rimang semakin mendesak: “Ingatlah kakang, bahwa kakang Indra bukan hanya sebagai kakangku, tetapi juga sebagai guru dan pepundenku”.
Karena desakan dari Jaka Rimang maka Indra Sambada menceritakan kisah yang dialaminya dari awal hingga sampai akhir. Jaka Wulung dan Jaka Rimang saling berpandangan, turut merasakan penderitaan bathin yang dialami Indra Sambada, terutama Jaka Rimang.
“Bagaimana jika kita nanti minta petunjuk-petunjuk dari Paman Guru Wiku Sepuh?” Jaka Rimang mengemukakan pendapatnya.
”Hal itu memang sudah menjadi tujuanku.” Indra Sambada menyahut: “Tetapi apakah Kyai Wiku Sepuh berkenan menerimaku sebagai muridnya, itulah saya masih meragukan”.
“Aku rasa beliau akan bergirang hati menerimamu sebagai murid, karena beliau menurut Guruku, adalah seorang yang waskita, artinya dapat melihat jauh akan sifat-sifat ksatrya yang dimiliki kakang Indra.” Jaka Wulung berkata.
“Justru karena Paman Gurumu itu waskita, saya malah beranggapan sebaliknya. Dapatkah beliau menerimaku sebagai murid dengan nodaku yang melekat pada jiwaku ini?” lndra membuka isi hatinya dengan kejujuran.
“Kakang Indra terlalu mendalam memikirkan kekeliruan perbuatan yang telah lampau”, Jaka Wulung berkata menghibur. “Bukankah pepatah mengatakan, tak ada orang yang sempurna dan pula menurut pelajaran guruku, Dewata Yang Maha Agung itu Maha Pengasih sayang terhadap umat-Nya, apabila umat itu percaya penuh kepadaNya.
“Ya, katamu memang benar. Tetapi perasaanku belum dapat tenang apabila belum mendapat petunjuk-petunjuk bagaimana aku harus membersihkan nodaku, walaupun jiwa ragaku kini kuserahkan untuk mengabdi sebagai tamtama,” lndra Sambada menjawab.
Dalam hati Indra Sambada berterima kasih akan nasehat-nasehat Jaka Wulung dan Jaka Rimang ia memuji pula akan budi luhur yang oleh dua pemuda itu.
“Sebaiknya kita nanti mengaso dahulu setelah menyeberangi Kali Progo dan pada hari tengah malam menjelang fajar kita lanjutkan, supaya dapat sampai di Padepokan pada pagi hari. Dengan demikian kedatangan kita tidak mengganggu orang-orang yang sedang tidur nyenyak dimalam hari”. Indra memberikan saran kepada Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
“Kami sangat menyetujui saran kakang Indra”. jawab mereka berdua hampir berbareng. “Dan juga kita akan mempunyai tenaga segar, sewaktu menghadap Paman Guru Wiku Sepuh.”
Setelah berjalan setengah harian. mereka kini berjalan lebih cepat lagi sambil asyik bercakap-cakap. Pada waktu senja sampailah mereka bertiga diseberang Kali Progo. Kali Progo, sungguhpun lebar tapi airnya tak begitu deras.
Kali Progo bermata air dari lereng-lereng Gunung Bismo kemudian mengitari Gunung Sumbing dan mengalir ke selatan untuk kemudian bermuara di Laut bebas Nuswantara dipantai selatan daerah Kabupaten Kebanjaran Agung Mataram.
Sawah-sawah dan tegalan membentang luas sampai gunung Sumbing, dengan tanaman-tanaman polowijo yang beraneka warna jenisnya dan sayur mayur seperti kobis dan sebagainya. Desa-desanya terpencar jauh satu sama lain. Ternyata daerah disekitar seberang barat Kali Progo sampai dilereng-lereng gunung Sumbing adalah merupakan daerah yang makmur dan sejahtera, berkat dari rakyat desa disekitar itu yang sangat rajin akan mengolah tanah-tanah dan pemeliharaan ternak hewan-hewannya.
Walaupun letak daerah itu agak terpencil dan jauh dari pusat pemerintahan ataupun tempat Punggawa Narapraja, tetapi selalu aman dan tenteram. Setiap kali para perampok ataupun penjahat-penjahat lainnya mencoba masuk didaerah itu, selalu dapat digagalkan oleh murid-murid Wiku Sepuh yang bersemayam di Padepokan Kaliangkrik.
Setelah mereka beristirahat disebuah gubug ditengah tegalan bersama-sama dengan orang yang menjaga tanaman, maka sebelum fajar tiba, berangkatlah mereka menuju Kaliangkrik, Dan waktu pagi hari mereka telah sampai dipadepokan Wiku Sepuh.
Halaman muka Padepokan sangat luas dengan tanaman kembang liar pegunungan beraneka warna dan pohon pohon buah-buahan beraneka macam. Halaman yang luas itu kelihatan bersih dan tanam-tanamannya segar terpelihara. Di-tengah-tengah halaman Padepokan bagian depan yang luas itu, ada berdiri sebuah pohon beringin yang rindang sebagai lambang pengayoman.
Padepokan itu terdiri dari tiga bangunan rumah besar dengan pendapa-pendapa.yang luas, berjajar semuanya menghadap keutara. Semuanya terbuat dari kayu jati yang kokoh kuat dan beratap genting. Namun rumah yang ditengah-tengah semua tiangnya diukir dengan ukir-ukiran berbentuk kembang-kembang dan daun-daun yang indah sekali.
Disebelah kiri dalam Pendapa yang luas itu, kelihatan serakit gamelan terbuat dari perunggu yang mengkilap bersih karena selalu terawat dengan baik. Sedangkan disebelah kanan dalam pendapa terdapat sebarak tempat duduk dari bambu yang sangat lebar hampir selebar seperempat pendapa, dengan digelari tikar anyaman dari mendong putih yang umumnya disebut pula tikar pasir dan kelihatan sangat bersih.
Didalam pendapa-pendapa rumah kanan kiri, terdapat pula bale-bale serupa dan digelari dengan tikar pasir pula. Sebelum memasuki ruang pendapa rumah tengah, ada sebuah kolam seluas kira-kira sepuluh langkah persegi, dengan airnya yang jernih sedalam selutut. Kolam itu disediakan untuk mencuci kaki, sedangkan padasan yang selalu berisi air disamping kolam adalah untuk mencuci tangan dan muka bagi mereka yang akan memasuki ruang pendapa.
Sungguhpun rumah yang berada disamping kanan kiri kelihatan sederhana dibanding dengan bangunan rumah ditengah, namun kiranya tidak kalah bersihnya. Taman-taman disekitarnyapun kelihatan teratur dan terawat baik. Dibelakang rumah padepokan terbentang luas tegalan dengan bermacam-macam tanaman, dan sebagian besar ditanami jagung, ketela, polowijo dan sayur-sayuran, sedangkan sebagian kecil lainnya ditanami rempah-rempah bahan obat-obatan, seperti laos, lempuyang, temulawak, klembak dan daun obat-obatan beraneka jenis.
Dikala pagi itu, Kyai Wiku Sepuh sedang duduk dibale-bale diruang pendapa dengan lima orang muridnya yang telah diangkatnya sebagai pamong atau pemimpin-pemimpin dari pada murid-murid lainnya. Muridnya semua ada 40 orang pemuda dan tiap pagi hari mereka bekerja dalam tugasnya masing-masing bergiliran. Ada yang sedang berlatih bela diri di halaman belakang, ada pula yang sedang bercocok tanam ditegalan dan ada pula yang sedang memasak ataupun mengatur balai rumah.
Wiku Sepuh usianya telah mencapai tujuh puluhan, namun bentuk badan dan wajahnya masih kelihatan segar, seolah beliau baru berusia sekitar empat puluh lima. Badannya kokoh kuat dengan tingginya yang sedang. Rambutnya terurai lepas sampai ditengkuknya. Beliau tidak memakai ikat kepala. Pakaiannya seperti pakaian petani biasa dengan celana hitam panjang sampai dibawah lututnya. Tiga deret kerut keningnya kelihatan jelas. Namun kulit mukanya kuning bersih agak kemerah-merahan dan tidak berkeriput. Alisnya tebal dan telah putih pula. Sinar matanya tajam dan memancarkan daya perbawa yang kuat.
Kelima pamong muridnya pakaiannyapun serupa seperti petani biasa, hanya mereka kelima-lima nya memakai ikat kepala lebar segi tiga dari tenun lurik sederhana, bintik-bintik kuning diatas warna hitam. Mereka sedang duduk berjajar dihadapan gurunya Wiku Sepuh dengan muka tertunduk, mendengarkan petunjuk-petunjuk yang sangat berguna baginya.
Kelima pamong muridnya oleh Wiku Sepuh diberi nama masing-masing yang tertua Waspadha Paniling, yang kedua Wasangka Pandulu, yang ketiga Panyuluh, yang keempat Watangan dan yang kelima Landeyan. Waspadha Paniling berusia kira-kira 40 tahun dan dulunya ia berasal dari Banten. Ia menjadi murid Wiku Sepuh sejak berusia 18 tahun dan dulu ia selalu mengikuti pengembaraan Wiku Sepuh tatkala Wiku Sepuh masih hernama Sidik Pamungkas.
Waspadha Paniling adalah murid kesayangan dari Wiku Sepuh, yang kelak diharapkan dapat menggantikan kedudukan Wiku Sepuh di Padepokan. Nama itu memang sesuai sekali dengan sifat-sifat yang dimiliknya. Ia memiliki sifat ketenangan dan dalam tindakannya selalu cermat dengan penuh perhitungan. Bentuk tubuhnya tinggi agak kurus. Ia jarang tertawa dan ketawanyapun hanya merupakan senyuman saja.
Semua murid-murid selalu taat mematuhi. perintahnya. Wasangka Pandulu adalah tangan kanannya dalam tugasnya sehari-hari mengasuh para murid atas petunjuk-petunjuk Wiku Sepuh. Wasangka Pandulu bentuk tubuhnya sedang, tidak tinggi dan kelihatan kokoh kuat dengan urat-urat yang kelihatan menonjol dilengan-lengannya. lapun mempunyai sifat-sifat yang hampir serupa dengan Waspadha Paniling, tenang dan cermat dengan perhitungan dalam segala tindakan Ia berusia kurang lebih 35 tahun.
Panyuluh mempunyai sifat-sifat yang lain dari kedua kakak seperguruannya. Ia gemar berbicara dan bicaranya selalu diiringi dengan ketawa, Ia adalah murid yang cerdas, dan pandai menceritakan kembali apa yang ia dapat dengar dari gurunya. Bentuk tubuhnya agak kecil dengan wajah yang lucu. Ia berusia kira-kira tigapuluhan tahun dan dahulunya berasal dari Tuban.
Watangan dan Landejan umurnya sebaya kira-kira duapuluh delapan tahun. Bentuk tubuhnya hampir sama dan hampir merupakan sepasang kembar. Namun sifat-sifatnya berlainan. Jika watangan mempunyai sifat tenang dan sabar. Lain halnya Landejan. la sebaliknya mempunyai sifat-sifat yang selalu tergesa-gesa dan lekas marah. Kedua-duanya dulu berasal dari daerah Mantaram. Kedua-duanyapun mempunyai kesaktian dalam ilmu bertempur yang seimbang dan dapat mempergunakan bermacam-macam senjata.
Tetapi semua murid tak terkecuali para pamong murid, setelah mahir dalam mempergunakan bermacam-macam senjata tajam, selanjutnya dilarang oleh Wiku Sepuh mempergunakannya. Mereka hanya diperbolehkan memakai tongkat penjalin sebagai senjata dalam menghadapi segenap bahaya serangan lawan yang mendatang. Itulah ciri asli dari murid-murid Wiku Sepuh. Karena bagi orang yang telah mahir dalam ilmu bela diri, tongkat penjalin tak kalah ampuhnya dibanding dengan senjata-senjata tajam lainnya. Dan dapat digunakan sebagai tongkat biasa yang tidak mempunyai sifat-sifat pamer.
“Paniling dan adi-adimu semua!” Wiku Sepuh berkata kepada murid-muridnya: “Harap semua muridku nanti tidak turut campur tangan apabila aku sedang menyambut datangnya tiga orang tamu yang masih muda. Cukup kau semua mendengarkan saja dan duduk tenang, sekali apapun yang akan terjadi. Perlu kau ketahui semua, bahwa dua orang diantaranya tamu tersebut adalah murid Pandan Gede adikku, yang akan menyantrik disini. Sedangkan seorang lagi adalah priagung dari Kerajaan yang berpangkat Bupati Manggala Muda Tamtama”.
Semua murid dihadapannya mendengarkan dengan penuh perhatian. Dan kini kata-kata Gurunya benar-benar menjadi kenyataan. Tiga orang pemuda berjalan memasuki halaman menuju kerumah Padepokan. Mereka bertiga setelah mencuci kaki masing-masing dikolam dan mencuci muka serta tangannya dengan air yang telah memancur dari padasan, segera masuk keruang pendapa.
Tak ada satu muridpun yang berani menyambut kedatangan tiga orang pemuda itu. Wiku Sepuh masih duduk bersila tenang ditempatnya, seolah-olah tidak memperdulikan kedatangan tiga orang pemuda yang tidak lain adalah Jaka Wulung, Jaka Rimang dan Indra Sambada.
Belum pernah Indra Sambada menghadap seseorang dengan rasa ragu seperti sekarang ini. Keraguan yang diliputi rasa ketakutan. Kekuatan bathin yang tabah akan memusat, selalu buyar kembali dan jantungnya berdebar-debar penuh rasa kecemasan. Berulang ulang ia berusaha mengumpulkan tenaga bathinnya, tetapi selalu gagal dalam samadhinya. Tahulah dia kini, bahwa perbawa Wiku Sepuh yang sedang dihadapi jauh lebih tinggi dari pada daya perbawanya sendiri. Tak kuat ia menatap pandang kearah Wiku Sepuh.
“Dirgahajulah kau bertiga yang baru datang!” Wiku Sepuh menyambut sujud mereka bertiga dengan tenang.
Tetapi belum juga ketiga-tiganya dapat sempat menjawab, Wiku Sepuh segera berobah wajahnya dengan kemarahan yang bernyala nyala, diiringi kata-kata keras penuh daya perbawa!
“Hai, Banteng Majapahit. Tumenggung lndra!” serunya “Nodamu tak cukup dicuci dengan air kolam dan padasan. Apabila kau benar-benar bertobat, mohonlah ampun pada Dewata Yang Maha Agung dan berangkatlah sekarang juga ke Candi Arjuna didataran tinggi Dieng. Bersamadilah untuk mencuci nodamu selama empat puluh hari lamanya dan tanggalkan semua senjata yang melekat dibadanmu.
Mendengar kata-kata Wiku Sepuh yang penuh dengan kemurkaan, Indra Sambada tak kuasa untuk bangkit. Untuk menjawab saja rasa tenggorokkannya seperti tersumbat. Mukanya tertunduk lesu, Itulah daya perbawa aji sakti Wiku Sepuh yang dinamakan aji sakti “Panggendaman Rajawana”. Kini setelah melihat Indra Sambada tertunduk tak berdaya, Wiku Sepuh melanjutkan kata-katanya dengan nada kemarahan yang berkurang.
“Pesanku dalam perjalanan menuju ke Dieng, kau tak diperkenankan membunuh binatang-binatang liar, sekalipun mereka akan menerkammu. Serahkanlah akan keselamatan jiwa ragamu kepada Dewata Yang Maha Agung. Jika mendapat lindungan Nya, tentu kau dapat kembali pulang kemari dengan selamat”.
“Perintah Bapak Wiku Sepuh, akan saya laksanakan. Hanya doa restu Bapak Wiku Sepuh saya minta untuk menyertaiku”, Hanya itulah kata-kata Indra Sambada yang dapat diucapkan.
Dengan berkata demikian, ia segera melepaskan keris pusakanya dari pinggang sebelah kiri dan kantong yang berisikan taji dipinggang sebelah kanan, untuk kemudian diserahkan kepada Wiku Sepuh. Semua yang menyaksikan turut terharu. Terutama Jaka Rimang. Ia tak tahan melihat Indra Sambada diperlakukan demikian. Ingin ia turut berkata untuk membela, namun karena terkena perbawa aji sakti penggendaman rajawana, tak mampu pula ia bergerak.
Wajah Wiku Sepuh yang memancarkan kemurkaan kini berangsur-angsur berobah menjadi tenang kembali dan berkata pelan.
“Dari jauh aku akan selalu semadi berdoa untuk keselamatanmu.” Kini rasa daya perbawa yang menekan telah lenyap, seakan-akan disapu bersih oleh suara kata-kata yang penuh ketenangan tadi.
“Jika Kyai Guru Wiku Sepuh memperkenankan saya akan menyertai kakang Indra Sambada dalam perjalanan”. Jaka Rimang memotong bicara.
“Itu tidak mungkin, kau tidak kuperkenankan, karena tak ada perintah gurumu Pandan Gede” demikian jawab Wiku Sepuh singkat! “Kelak apabila Tumenggung Indra kembali dengan selamat, kau baru dapat rnenyertainya dalam perjalanan mengemban tugas amanat penderitaan rakyat selaku pengikut setia dari pada Banteng Majapahit.”
Setelah meninggalkan keris pusakanya dan semua senjata yang ada padanya. Indra Sambacla segera sujud kembali, untuk berpamit, dan kemudian bangkit meninggalkan rumah Padepokan, Jaka Wulung dan Jaka Rimang dengan para pamong murid mengantarkan perginya Indra Sambada sampai dipagar halaman depan, dengan penuh rasa iba. Sedangkan Wiku Sepuh masih tetap duduk bersila tenang ditempatnya, dengan berkata pelan pada dirinya sendiri.
“Selamat, selamat, selamat.”
Candi Arjuna terletak ditengah-tengah dataran tinggi Dieng, dengan dikelilingi candi-candi lainnya, seperti candi Bima, candi Dwarawati, candi Gatotkaca dan candi-candi kecil lainnya dan merupakan kelompok candi-candi yang terpisah-pisah. Pintu gerbang candi Arjuna bingkainya berupa ukiran lukisan Kalamakara dan tak seberapa jauh dari tempat itu ada sebuah danau dengan airnya yang sangat jernih. Air danau itu mengalir kekali Tulis, yang kemudian bertemu dengan kali Serayu, dan terus mengalir keselatan bermuara di pantai Cilacap. Tidak sebuah pohonpun dapat tumbuh didalam dataran Dieng dekat candi-candi itu. Hal itu mungkin karena tanahnya mengandung uap belirang.
Candi tersebut didirikan Kerajaan Mantaram, dikala Sri Baginda Sanjaya Raka I Bhumi Mantaram bertakhta pada lebih kurang tahun 700. Beliau beragama Hindu syiwa.
Belum lagi lenyap kenangan pedih yang diderita, ujian berat telah menyusul, ia harus berpisah dengan kedua adik angkatnya yang disayang. Namun……. semuanya itu diterima dengan hati tabah, dan tawakkal……! Selesai menyepi, bersamadi, dan mensucikan diri, tugas berat telah menanti…… , diatas pundak Indra Sambada yang Sakti. Dan……. dalam membasmi Tokoh Sakti golongan Dursila ia tetap pada pegangan yang diajarkan oleh Ayah, dan keempat Gurunya yang Sakti: bahwa : SURADIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING, PANGASTUTI
“Kakang Indra”, Jaka Rimang mulai menghibur sambil menanyakan pada Indra. “Aku selalu melihat pancaran kesedihan diwajah kakang. Gerangan apakah yang selalu membikin bangkitnya rasa kesedihan kakang Indra? Sejak semula aku kenal kakang, aku telah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan mengabdi selamanya padamu, kakang lndra! Kesedihanmu aku turut merasakan pula. Apabila sekiranya tak menyinggung perasaanmu, dan aku dapat membantu meringankan deritamu, sudilah kakang Indra menjelaskan padaku!”
“Adi Wulung dan adi Rimang”, Jawab Indra Sambada “Sungguhpun adi berdua dalam hatiku telah kuanggap sebagai adikku sekandung, tetapi mengenai kesedihanku ini sukar untuk kujelaskan padamu. Penderitaanku adalah hukuman atas akibat perbuatanku sendiri.”
“Tetapi apabila kakang Indra hanya salah dalam perbuatan, apakah tidak dapat segera ditebus dengan perbuatan pula”. Jaka Rimang mendesak.
“Tidak mungkin karena perbuatanku menyalahi pada janjiku sendiri. Dan bukan terhadap lain orang. Itulah yang selalu aku merasa menderita”, Indra Sambada menjelaskan.
Keterangan Indra Sambada semakin sukar dimengerti oleh Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
“Tetapi jika tidak keberatan, ingin aku mengerti persoalanmu, kakang Indra!” Jaka Rimang semakin mendesak: “Ingatlah kakang, bahwa kakang Indra bukan hanya sebagai kakangku, tetapi juga sebagai guru dan pepundenku”.
Karena desakan dari Jaka Rimang maka Indra Sambada menceritakan kisah yang dialaminya dari awal hingga sampai akhir. Jaka Wulung dan Jaka Rimang saling berpandangan, turut merasakan penderitaan bathin yang dialami Indra Sambada, terutama Jaka Rimang.
“Bagaimana jika kita nanti minta petunjuk-petunjuk dari Paman Guru Wiku Sepuh?” Jaka Rimang mengemukakan pendapatnya.
”Hal itu memang sudah menjadi tujuanku.” Indra Sambada menyahut: “Tetapi apakah Kyai Wiku Sepuh berkenan menerimaku sebagai muridnya, itulah saya masih meragukan”.
“Aku rasa beliau akan bergirang hati menerimamu sebagai murid, karena beliau menurut Guruku, adalah seorang yang waskita, artinya dapat melihat jauh akan sifat-sifat ksatrya yang dimiliki kakang Indra.” Jaka Wulung berkata.
“Justru karena Paman Gurumu itu waskita, saya malah beranggapan sebaliknya. Dapatkah beliau menerimaku sebagai murid dengan nodaku yang melekat pada jiwaku ini?” lndra membuka isi hatinya dengan kejujuran.
“Kakang Indra terlalu mendalam memikirkan kekeliruan perbuatan yang telah lampau”, Jaka Wulung berkata menghibur. “Bukankah pepatah mengatakan, tak ada orang yang sempurna dan pula menurut pelajaran guruku, Dewata Yang Maha Agung itu Maha Pengasih sayang terhadap umat-Nya, apabila umat itu percaya penuh kepadaNya.
“Ya, katamu memang benar. Tetapi perasaanku belum dapat tenang apabila belum mendapat petunjuk-petunjuk bagaimana aku harus membersihkan nodaku, walaupun jiwa ragaku kini kuserahkan untuk mengabdi sebagai tamtama,” lndra Sambada menjawab.
Dalam hati Indra Sambada berterima kasih akan nasehat-nasehat Jaka Wulung dan Jaka Rimang ia memuji pula akan budi luhur yang oleh dua pemuda itu.
“Sebaiknya kita nanti mengaso dahulu setelah menyeberangi Kali Progo dan pada hari tengah malam menjelang fajar kita lanjutkan, supaya dapat sampai di Padepokan pada pagi hari. Dengan demikian kedatangan kita tidak mengganggu orang-orang yang sedang tidur nyenyak dimalam hari”. Indra memberikan saran kepada Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
“Kami sangat menyetujui saran kakang Indra”. jawab mereka berdua hampir berbareng. “Dan juga kita akan mempunyai tenaga segar, sewaktu menghadap Paman Guru Wiku Sepuh.”
Setelah berjalan setengah harian. mereka kini berjalan lebih cepat lagi sambil asyik bercakap-cakap. Pada waktu senja sampailah mereka bertiga diseberang Kali Progo. Kali Progo, sungguhpun lebar tapi airnya tak begitu deras.
Kali Progo bermata air dari lereng-lereng Gunung Bismo kemudian mengitari Gunung Sumbing dan mengalir ke selatan untuk kemudian bermuara di Laut bebas Nuswantara dipantai selatan daerah Kabupaten Kebanjaran Agung Mataram.
Sawah-sawah dan tegalan membentang luas sampai gunung Sumbing, dengan tanaman-tanaman polowijo yang beraneka warna jenisnya dan sayur mayur seperti kobis dan sebagainya. Desa-desanya terpencar jauh satu sama lain. Ternyata daerah disekitar seberang barat Kali Progo sampai dilereng-lereng gunung Sumbing adalah merupakan daerah yang makmur dan sejahtera, berkat dari rakyat desa disekitar itu yang sangat rajin akan mengolah tanah-tanah dan pemeliharaan ternak hewan-hewannya.
Walaupun letak daerah itu agak terpencil dan jauh dari pusat pemerintahan ataupun tempat Punggawa Narapraja, tetapi selalu aman dan tenteram. Setiap kali para perampok ataupun penjahat-penjahat lainnya mencoba masuk didaerah itu, selalu dapat digagalkan oleh murid-murid Wiku Sepuh yang bersemayam di Padepokan Kaliangkrik.
Setelah mereka beristirahat disebuah gubug ditengah tegalan bersama-sama dengan orang yang menjaga tanaman, maka sebelum fajar tiba, berangkatlah mereka menuju Kaliangkrik, Dan waktu pagi hari mereka telah sampai dipadepokan Wiku Sepuh.
Halaman muka Padepokan sangat luas dengan tanaman kembang liar pegunungan beraneka warna dan pohon pohon buah-buahan beraneka macam. Halaman yang luas itu kelihatan bersih dan tanam-tanamannya segar terpelihara. Di-tengah-tengah halaman Padepokan bagian depan yang luas itu, ada berdiri sebuah pohon beringin yang rindang sebagai lambang pengayoman.
Padepokan itu terdiri dari tiga bangunan rumah besar dengan pendapa-pendapa.yang luas, berjajar semuanya menghadap keutara. Semuanya terbuat dari kayu jati yang kokoh kuat dan beratap genting. Namun rumah yang ditengah-tengah semua tiangnya diukir dengan ukir-ukiran berbentuk kembang-kembang dan daun-daun yang indah sekali.
Disebelah kiri dalam Pendapa yang luas itu, kelihatan serakit gamelan terbuat dari perunggu yang mengkilap bersih karena selalu terawat dengan baik. Sedangkan disebelah kanan dalam pendapa terdapat sebarak tempat duduk dari bambu yang sangat lebar hampir selebar seperempat pendapa, dengan digelari tikar anyaman dari mendong putih yang umumnya disebut pula tikar pasir dan kelihatan sangat bersih.
Didalam pendapa-pendapa rumah kanan kiri, terdapat pula bale-bale serupa dan digelari dengan tikar pasir pula. Sebelum memasuki ruang pendapa rumah tengah, ada sebuah kolam seluas kira-kira sepuluh langkah persegi, dengan airnya yang jernih sedalam selutut. Kolam itu disediakan untuk mencuci kaki, sedangkan padasan yang selalu berisi air disamping kolam adalah untuk mencuci tangan dan muka bagi mereka yang akan memasuki ruang pendapa.
Sungguhpun rumah yang berada disamping kanan kiri kelihatan sederhana dibanding dengan bangunan rumah ditengah, namun kiranya tidak kalah bersihnya. Taman-taman disekitarnyapun kelihatan teratur dan terawat baik. Dibelakang rumah padepokan terbentang luas tegalan dengan bermacam-macam tanaman, dan sebagian besar ditanami jagung, ketela, polowijo dan sayur-sayuran, sedangkan sebagian kecil lainnya ditanami rempah-rempah bahan obat-obatan, seperti laos, lempuyang, temulawak, klembak dan daun obat-obatan beraneka jenis.
Dikala pagi itu, Kyai Wiku Sepuh sedang duduk dibale-bale diruang pendapa dengan lima orang muridnya yang telah diangkatnya sebagai pamong atau pemimpin-pemimpin dari pada murid-murid lainnya. Muridnya semua ada 40 orang pemuda dan tiap pagi hari mereka bekerja dalam tugasnya masing-masing bergiliran. Ada yang sedang berlatih bela diri di halaman belakang, ada pula yang sedang bercocok tanam ditegalan dan ada pula yang sedang memasak ataupun mengatur balai rumah.
Wiku Sepuh usianya telah mencapai tujuh puluhan, namun bentuk badan dan wajahnya masih kelihatan segar, seolah beliau baru berusia sekitar empat puluh lima. Badannya kokoh kuat dengan tingginya yang sedang. Rambutnya terurai lepas sampai ditengkuknya. Beliau tidak memakai ikat kepala. Pakaiannya seperti pakaian petani biasa dengan celana hitam panjang sampai dibawah lututnya. Tiga deret kerut keningnya kelihatan jelas. Namun kulit mukanya kuning bersih agak kemerah-merahan dan tidak berkeriput. Alisnya tebal dan telah putih pula. Sinar matanya tajam dan memancarkan daya perbawa yang kuat.
Kelima pamong muridnya pakaiannyapun serupa seperti petani biasa, hanya mereka kelima-lima nya memakai ikat kepala lebar segi tiga dari tenun lurik sederhana, bintik-bintik kuning diatas warna hitam. Mereka sedang duduk berjajar dihadapan gurunya Wiku Sepuh dengan muka tertunduk, mendengarkan petunjuk-petunjuk yang sangat berguna baginya.
Kelima pamong muridnya oleh Wiku Sepuh diberi nama masing-masing yang tertua Waspadha Paniling, yang kedua Wasangka Pandulu, yang ketiga Panyuluh, yang keempat Watangan dan yang kelima Landeyan. Waspadha Paniling berusia kira-kira 40 tahun dan dulunya ia berasal dari Banten. Ia menjadi murid Wiku Sepuh sejak berusia 18 tahun dan dulu ia selalu mengikuti pengembaraan Wiku Sepuh tatkala Wiku Sepuh masih hernama Sidik Pamungkas.
Waspadha Paniling adalah murid kesayangan dari Wiku Sepuh, yang kelak diharapkan dapat menggantikan kedudukan Wiku Sepuh di Padepokan. Nama itu memang sesuai sekali dengan sifat-sifat yang dimiliknya. Ia memiliki sifat ketenangan dan dalam tindakannya selalu cermat dengan penuh perhitungan. Bentuk tubuhnya tinggi agak kurus. Ia jarang tertawa dan ketawanyapun hanya merupakan senyuman saja.
Semua murid-murid selalu taat mematuhi. perintahnya. Wasangka Pandulu adalah tangan kanannya dalam tugasnya sehari-hari mengasuh para murid atas petunjuk-petunjuk Wiku Sepuh. Wasangka Pandulu bentuk tubuhnya sedang, tidak tinggi dan kelihatan kokoh kuat dengan urat-urat yang kelihatan menonjol dilengan-lengannya. lapun mempunyai sifat-sifat yang hampir serupa dengan Waspadha Paniling, tenang dan cermat dengan perhitungan dalam segala tindakan Ia berusia kurang lebih 35 tahun.
Panyuluh mempunyai sifat-sifat yang lain dari kedua kakak seperguruannya. Ia gemar berbicara dan bicaranya selalu diiringi dengan ketawa, Ia adalah murid yang cerdas, dan pandai menceritakan kembali apa yang ia dapat dengar dari gurunya. Bentuk tubuhnya agak kecil dengan wajah yang lucu. Ia berusia kira-kira tigapuluhan tahun dan dahulunya berasal dari Tuban.
Watangan dan Landejan umurnya sebaya kira-kira duapuluh delapan tahun. Bentuk tubuhnya hampir sama dan hampir merupakan sepasang kembar. Namun sifat-sifatnya berlainan. Jika watangan mempunyai sifat tenang dan sabar. Lain halnya Landejan. la sebaliknya mempunyai sifat-sifat yang selalu tergesa-gesa dan lekas marah. Kedua-duanya dulu berasal dari daerah Mantaram. Kedua-duanyapun mempunyai kesaktian dalam ilmu bertempur yang seimbang dan dapat mempergunakan bermacam-macam senjata.
Tetapi semua murid tak terkecuali para pamong murid, setelah mahir dalam mempergunakan bermacam-macam senjata tajam, selanjutnya dilarang oleh Wiku Sepuh mempergunakannya. Mereka hanya diperbolehkan memakai tongkat penjalin sebagai senjata dalam menghadapi segenap bahaya serangan lawan yang mendatang. Itulah ciri asli dari murid-murid Wiku Sepuh. Karena bagi orang yang telah mahir dalam ilmu bela diri, tongkat penjalin tak kalah ampuhnya dibanding dengan senjata-senjata tajam lainnya. Dan dapat digunakan sebagai tongkat biasa yang tidak mempunyai sifat-sifat pamer.
“Paniling dan adi-adimu semua!” Wiku Sepuh berkata kepada murid-muridnya: “Harap semua muridku nanti tidak turut campur tangan apabila aku sedang menyambut datangnya tiga orang tamu yang masih muda. Cukup kau semua mendengarkan saja dan duduk tenang, sekali apapun yang akan terjadi. Perlu kau ketahui semua, bahwa dua orang diantaranya tamu tersebut adalah murid Pandan Gede adikku, yang akan menyantrik disini. Sedangkan seorang lagi adalah priagung dari Kerajaan yang berpangkat Bupati Manggala Muda Tamtama”.
Semua murid dihadapannya mendengarkan dengan penuh perhatian. Dan kini kata-kata Gurunya benar-benar menjadi kenyataan. Tiga orang pemuda berjalan memasuki halaman menuju kerumah Padepokan. Mereka bertiga setelah mencuci kaki masing-masing dikolam dan mencuci muka serta tangannya dengan air yang telah memancur dari padasan, segera masuk keruang pendapa.
Tak ada satu muridpun yang berani menyambut kedatangan tiga orang pemuda itu. Wiku Sepuh masih duduk bersila tenang ditempatnya, seolah-olah tidak memperdulikan kedatangan tiga orang pemuda yang tidak lain adalah Jaka Wulung, Jaka Rimang dan Indra Sambada.
Belum pernah Indra Sambada menghadap seseorang dengan rasa ragu seperti sekarang ini. Keraguan yang diliputi rasa ketakutan. Kekuatan bathin yang tabah akan memusat, selalu buyar kembali dan jantungnya berdebar-debar penuh rasa kecemasan. Berulang ulang ia berusaha mengumpulkan tenaga bathinnya, tetapi selalu gagal dalam samadhinya. Tahulah dia kini, bahwa perbawa Wiku Sepuh yang sedang dihadapi jauh lebih tinggi dari pada daya perbawanya sendiri. Tak kuat ia menatap pandang kearah Wiku Sepuh.
“Dirgahajulah kau bertiga yang baru datang!” Wiku Sepuh menyambut sujud mereka bertiga dengan tenang.
Tetapi belum juga ketiga-tiganya dapat sempat menjawab, Wiku Sepuh segera berobah wajahnya dengan kemarahan yang bernyala nyala, diiringi kata-kata keras penuh daya perbawa!
“Hai, Banteng Majapahit. Tumenggung lndra!” serunya “Nodamu tak cukup dicuci dengan air kolam dan padasan. Apabila kau benar-benar bertobat, mohonlah ampun pada Dewata Yang Maha Agung dan berangkatlah sekarang juga ke Candi Arjuna didataran tinggi Dieng. Bersamadilah untuk mencuci nodamu selama empat puluh hari lamanya dan tanggalkan semua senjata yang melekat dibadanmu.
Mendengar kata-kata Wiku Sepuh yang penuh dengan kemurkaan, Indra Sambada tak kuasa untuk bangkit. Untuk menjawab saja rasa tenggorokkannya seperti tersumbat. Mukanya tertunduk lesu, Itulah daya perbawa aji sakti Wiku Sepuh yang dinamakan aji sakti “Panggendaman Rajawana”. Kini setelah melihat Indra Sambada tertunduk tak berdaya, Wiku Sepuh melanjutkan kata-katanya dengan nada kemarahan yang berkurang.
“Pesanku dalam perjalanan menuju ke Dieng, kau tak diperkenankan membunuh binatang-binatang liar, sekalipun mereka akan menerkammu. Serahkanlah akan keselamatan jiwa ragamu kepada Dewata Yang Maha Agung. Jika mendapat lindungan Nya, tentu kau dapat kembali pulang kemari dengan selamat”.
“Perintah Bapak Wiku Sepuh, akan saya laksanakan. Hanya doa restu Bapak Wiku Sepuh saya minta untuk menyertaiku”, Hanya itulah kata-kata Indra Sambada yang dapat diucapkan.
Dengan berkata demikian, ia segera melepaskan keris pusakanya dari pinggang sebelah kiri dan kantong yang berisikan taji dipinggang sebelah kanan, untuk kemudian diserahkan kepada Wiku Sepuh. Semua yang menyaksikan turut terharu. Terutama Jaka Rimang. Ia tak tahan melihat Indra Sambada diperlakukan demikian. Ingin ia turut berkata untuk membela, namun karena terkena perbawa aji sakti penggendaman rajawana, tak mampu pula ia bergerak.
Wajah Wiku Sepuh yang memancarkan kemurkaan kini berangsur-angsur berobah menjadi tenang kembali dan berkata pelan.
“Dari jauh aku akan selalu semadi berdoa untuk keselamatanmu.” Kini rasa daya perbawa yang menekan telah lenyap, seakan-akan disapu bersih oleh suara kata-kata yang penuh ketenangan tadi.
“Jika Kyai Guru Wiku Sepuh memperkenankan saya akan menyertai kakang Indra Sambada dalam perjalanan”. Jaka Rimang memotong bicara.
“Itu tidak mungkin, kau tidak kuperkenankan, karena tak ada perintah gurumu Pandan Gede” demikian jawab Wiku Sepuh singkat! “Kelak apabila Tumenggung Indra kembali dengan selamat, kau baru dapat rnenyertainya dalam perjalanan mengemban tugas amanat penderitaan rakyat selaku pengikut setia dari pada Banteng Majapahit.”
Setelah meninggalkan keris pusakanya dan semua senjata yang ada padanya. Indra Sambacla segera sujud kembali, untuk berpamit, dan kemudian bangkit meninggalkan rumah Padepokan, Jaka Wulung dan Jaka Rimang dengan para pamong murid mengantarkan perginya Indra Sambada sampai dipagar halaman depan, dengan penuh rasa iba. Sedangkan Wiku Sepuh masih tetap duduk bersila tenang ditempatnya, dengan berkata pelan pada dirinya sendiri.
“Selamat, selamat, selamat.”
Candi Arjuna terletak ditengah-tengah dataran tinggi Dieng, dengan dikelilingi candi-candi lainnya, seperti candi Bima, candi Dwarawati, candi Gatotkaca dan candi-candi kecil lainnya dan merupakan kelompok candi-candi yang terpisah-pisah. Pintu gerbang candi Arjuna bingkainya berupa ukiran lukisan Kalamakara dan tak seberapa jauh dari tempat itu ada sebuah danau dengan airnya yang sangat jernih. Air danau itu mengalir kekali Tulis, yang kemudian bertemu dengan kali Serayu, dan terus mengalir keselatan bermuara di pantai Cilacap. Tidak sebuah pohonpun dapat tumbuh didalam dataran Dieng dekat candi-candi itu. Hal itu mungkin karena tanahnya mengandung uap belirang.
Candi tersebut didirikan Kerajaan Mantaram, dikala Sri Baginda Sanjaya Raka I Bhumi Mantaram bertakhta pada lebih kurang tahun 700. Beliau beragama Hindu syiwa.
Belum lagi lenyap kenangan pedih yang diderita, ujian berat telah menyusul, ia harus berpisah dengan kedua adik angkatnya yang disayang. Namun……. semuanya itu diterima dengan hati tabah, dan tawakkal……! Selesai menyepi, bersamadi, dan mensucikan diri, tugas berat telah menanti…… , diatas pundak Indra Sambada yang Sakti. Dan……. dalam membasmi Tokoh Sakti golongan Dursila ia tetap pada pegangan yang diajarkan oleh Ayah, dan keempat Gurunya yang Sakti: bahwa : SURADIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING, PANGASTUTI
**** 011 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment