Ads

Tuesday, February 8, 2022

Pendekar Majapahit 010

MATAHARI mulai kelihatan nampak disebelah timur. Sinarnya memancarkan cahaya yang indah, merah membara, kuning keemas-emasan, namun sayang agak terhalang Gunung Merbabu yang berdiri megah laksana raksasa yang sedang duduk bersemadi. Langit cerah menambah resapnya pandangan.

Burung-burung terbang simpang siur diangkasa dengan tak henti-hentinya kearah semua penjuru, sambiI berkicau. Banyak pula yang hinggap didahan pohon-pohon rindang dengan bersiul-siul nyaring, merupakan irama alam diwaktu pagi. Seolah-olah mereka sedang mengucapkan syukur kepada yang Maha Agung, akan kebesaran- Nya.

Hawa pagi terasa segar. Angin meniup pelan dan daun-daun kering jatuh bertebaran ditanah. Lama-lama sinar cahaya merah kuning keemasan tadi naik diketinggian dan kemudian nampak terang benderang. Sang Surya menerangi seluruh alam dengan teriknya.

Dua orang muda sedang bertempur dengan serunya melawan tiga orang, yang menilik usianya tak sebanding. Demikian pula jika dilihat senjata-senjata yang digunakannya. Seorang diantara orang muda tadi hanya bersenjatakan tongkat penjalin sebesar ibu jari dan sepanjang setengah depa, melawan dua orang yang bersenjatakan kampak dan sepasang golok pendek. Seorang lagi kelihatan lebih muda bersenjatakan klewang, melawan orang setengah tua bersenjatakan cemeti ditangan kiri dan keris ditangan kanan. Namun pertempuran berjalan seru dan seimbang. Ternyata dua orang muda tadi tetap dapat melayani tiga orang setengah tua dengan tidak terdesak.

Panas teriknya matahari yang sedang memancarkan cahayanya tak mengganggu sama sekali jalanya pertempuran di tengah hutan dekat dukuh Kapuan, dilembah sebelah barat Gunung Merbabu. Kira-kira jarak lima puluh langkah dari tempat pertempuran tadi, duduk seorang gadis tanggung berusia kurang lebih 15 tahun bersandar dipohon, dan sebentar-sebentar menutup mukanya dengan kedua belah tangannya, serta mangeluarkan suara jeritan yang nyaring mengikuti jalannya pertempuran.

“Adi Rimang, awas sabetan cemeti!” Jaka Wulung memperingatkan adiknya.

Ternyata dalam bertempur melayani dua orang, masih sempat juga ia memberikan petunjuk-petunjuk kepada adiknya Jaka Rimang. Yang diperingatkan segera meloncat dengan tangkas kesamping kiri, dengan diiringi bacokan klewangnya kearah datangnya cambukan cemeti tadi. Tapi orang setengah tua yang memegang cemeti ditangan tak kurang tangkasnya Ia segera membatalkan cambukan dan meloncat surut kebelakang, untuk kemudian mendesak lagi maju dengan serangan-serangan tusukan keris, kearah lawannya yang berbahaya. Kembali suara Jaka Wulung memperingatkan adiknnya.

“Awas, susulan tendangan!” Pertempuran berlangsung terus dengan serunya.

Jaka Wulung berusia kira-kira 20 tahun, berbadan kokoh tidak tinggi atau disebutnya sedepah. Warna kulitnya hitam kemerah-rnerahan. Matanya agak cekung dengan sinar pandangannya yang tajam. Raut mukanya mendekati bulat dan bersih berwibawa. Rambutnya hitam lebat sedikit berombak dan lepas terurai sampai ditengkuknya.

Pita hitam selebar tiga jari yang melingkari kepalanya, diikat di kepala bagian belakang. Pakaiannya lurik hitam tenunan sederhana, dengan sarung tenun pula yang dilipat diperutnya untuk tidak menghalang gerakannya. Lengan-lengannya kokoh berotot namun geraknya sangat tangkas dan ringan, menunjukkan bahwa ia telah menguasai ilrnu pembelaan diri yang mendekati tingkat kesempurnaan.

Lawannya yang seorang, bertubuh tinggi besar dengan raut mukanya yang kejam. Kumis jenggot dan cambang bauknya bertumbuh lebat. Hidungnya melengkung seperti paruh burung hantu. Ikat kepalanya lebar segitiga diikat kebelakang menutupi rambutnya. Kampak yang besar selebar satu jengkal ditangan kanannya, bertubi-tubi dibacokkan kearah lawan dengan ringannya. Ternyata ia memiliki tenaga yang kuat, sesuai dengan bentuk tubuhnya. Jubahnya dari sutra berwarna ungu.

Sedangkan seorang lagi bertubuh kurus tinggi dengan matanya melotot. Raut mukanya panjang, berjenggot pula, tapi tak berkumis. Rambutnya telah berwarna dua dan bertumbuh jarang botaknya di tengah-tengah kepala. Ia tidak memakai ikat kepala. Baju atasnya warna hitam dengan seret kuning keemasan pada lengan bajunya dengan memakai celana hitam panjang sampai dibawah lututnya dan berseret kuning sutra pula. Kainnya dilipat dan diikatkan kebelakang. Ia bersenjatakan sepasang golok pendek yang panjangnya masing-masing setengah hasta, ditangan kanan dan kirinya. Dilihat dari pakaiannya tentunya ia adalah seorang narapraja.

Jaka Rimang memiliki bentuk dan raut muka hampir menyerupai kakaknya, hanya ia lebih langsing sedikit jika dibanding dengan bentuk tubuh kakaknya. Usianya tak jauh berbeda pula, kira-kira 18 tahunan. Pakaiannya sederhana dari tenun lurik hitam bintik-bintik merah, dan kainnya serupa pula. Ia tak memakai pita untuk ikat kepalanya, tetapi memakai sisir panjang melengkung diatas kepalanya terbuat dari tanduk. Kelewang ditangannya menari-nari dengan tangkasnya. Sebentar-sebentar merupakan serangan tusukan-tusukan dan kemudian disusul dengan serangan babatan yang berbahaya ke arah lawan.

Yang sedang dihadapi adalah orang setengah tua dengan punggungnya yang agak bongkok, yang bersenjatakan cambuk pendek berduri dan sebilah keris ditangan kanannya. Pakaiannya seragam menyerupai pakaian tamtama, berseret putih diatas dasar warna merah. Ikat kepalanya seutas pita selebar dua jari berwarna merah diikatkan erat-erat kebelakang.

Serangan maut bertubi-tubi dilancarkan kedua fihak, karena masing-masing ingin segera mengakhiri pertempuran dengan kemenangan difihaknya. Pertempuran tadi telah berlangsung lama melihat pada dahi masing-masing telah basah air peluh. Serangan-serangan kampak dari orang yang bertubuh tinggi besar selalu diiringi dengan bentakan-bentakan memekakkan telinga. Namun ketenangan dan ketangkasan Jaka Wulung membuat kampaknya selalu jatuh ditempat kosong, demikian pula serangan sepasang golok dari Panewu Gunung Pring raden Projopangarso.

Panewu Projopangarso dan Wongsobojo kini telah mengeluarkan semua kepandaiannya dan memeras tenaga habis-habisan untuk menghadapi Jaka Wulung yang hanya bersenjatakan tongkat penjalin. Semula mereka berdua memandang ringan kepada Jaka Wulung, karena melihat usianya yang masih muda. Sedangkan Wongsoboyo telah terkenal dengan kampak mautnya disekitar daerah Gunung Pring.

Pun Panewu Projopangarsa adalah orang terpandang didaerahnya. Baik sebagai Panewu maupun sebagai guru pencak silat. Ia terkenal juga sebagai Panewu yang berhidung belang dan selalu mengganggu ketentraman para gadis didaerahnya. Tapi kiranya banyak yang segan dan takut akan akibatnya apabila mereka menghalangi kehendaknya.

Lebih-lebih mungingat Wongsobojo yang selalu mendampingi Prodjopa-ngarso sebagai tangan kanannya. Wongsobojo sudah dikenal oleh seluruh penduduk Gunung Pring sebagai seorang yang kejam tak mengenal prikemanusiaan. Tapi kini mereka kiranya telah ketemu batunya. Untuk mengelakkan pukulan dan sodokan tongkat penjalinnya Jaka Wulung saja, telah memerlukan seluruh kepandaiannya dan tenaga yang dimilikinya. Sebentar-sebentar mereka berdua meloncat surut kebelakang dan berjumpalitan, menghindari pukulan soddokan tongkat Jaka Wulung yang berbahaja. Ternyata ia makin lama mereka berdua semakin terdesak kedudukannya.

Kampak dan sepasang golok yang silih berganti menyerang tak pernah mengenai sasaran. Tetapi sebaliknya Jaka Wulung sungguhpun dapat mendesak kedudukan lawan, belum juga dapat menundukkan. Tiap kali tongkatnya akan mengenai sasaran segera ditarik kembali karena datangnya serangan senjata lawan yang berganti-ganti.

Pula ia seialu terganggu akan pemusatan pikirannya, karena terpaksa harus memperhatikan pula adiknya yang selalu terdesak dan mendapat serangan-serangan yang berbahaya, dengan menyerukan peringatan-peringatan tertuju pada Jaka Rimang. Kampak berkelebat kearah pelipisnya, sedangkan sepasang golok datang pula menyerang kearah perutnya. Jaka Wulung tak mau melangkah surut kebelakang tapi ia menjatuhkan dirinya dan berguling merapat mendekati lawan.

Bersamaan dengan gerakan itu tongkatnya disodokkan ke arah perut Projopangarso. Dengan tak kurang tangkasnja Projopangarso menangkis dengan golok berada ditangan kiri dan surut selangkah kebelakang. Itulah yang dinanti-nantikan Jaka Wulung, ternyata gerakan tipuannya berhasil. Cepat ia menarik kembali tongkat penjalinnya untuk kemudian berubah menjadi pukulan kearah pergelangan tangan kiri Projopangarso yang sedang menyulurkan tangan kirinya bersenjatakan golok untuk menangkis datangnya sodokan.

Pukulan tepat mengenai sasaran. Golok ditangan kirinya terpental jatuh ditanah dengan diiringi jeritan ngeri tulang pergelangan tangan kirinya terasa patah dan tidak dapat digerakkan kembali. Sambil menjerit Panrwu Projopangarso melompat jauh kesamping kanan. Secepat itu pula Jaka Wulung meloncat mengejar Projopangarso sambil menghindari datangnya serangan kampak dari Wongsoboyo.

Tiba-tiba pukulan tongkat kearah Projopangarso yang hampir mengenai sasara segera ditarik kembali oleh Jaka Wulung dan melompat surut jauh kabelakang, karena mendengar suara jeritan adiknya yang bergelimpangan dengan berlumuran darah dipaha kanannya.



Giyanti, anak gadis tanggung yang bersandarkan pohon tadi, turut menjerit pula dan bangkit mendekati kakaknya yang sedang luka dan bergelimpangan di tanah. Dengan satu lompatan Jaka Wulung telah menggagalkan serangan camhuk dan tusukan yang akan dilancarkan kedua kalinya kearah Jaka Rimang yang sedang jatuh ditanah.

Bertepatan dengan adegan yang mendebarkan itu, dari balik batu besar dibelakang pohon climana Giyanti tadi bersandar, melompat seorang pemuda dengan gayanya yang sangat indah, langsung berdiri di tengah antara Jaka Wulung dan Projopangarso.

“Berhenti dulu!” bentak Indra Sambada: “Apa yang kalian perebutkan?”

Memang sebenarnya sudah sejak lama Indra Sambada bersembunyi dibalik batu besar tadi dan mengikuti jalannya pertempuran dengan saksama. Tapi baginya serba ragu-ragu untuk campur tangan dalam pertempuran itu. Jika menilik keadaan sewajarnya, ia harus membantu fihak Jaka Wulung dengan adiknya, akan tetapi jika ditilik bahwa lawan Jaka Wulung adalah petugas Kerajaan, ia harus mernbantu menangkap Jaka Wu-lung dan adiknya.

Karena dalam pertempuran yang seru itu ia tak dapat mengetahui sebab musabab yang sebenarnya, maka ia hanya melihat saja. Tetapi kini Jaka Rimang jatuh terluka karena tusukan keris berbisa dipahanya, sehingga ia tak tega untuk melihat kelanjutan pertempuran yang tidak seimbang itu. Lagi pula jika Jaka Rimang tak ditolong dengan cepat akan berbahayalah akibatnya. Tidak seorangpun mau menjawab pertanyaan yang diajukan namun bentakan yang berwibawa memaksa pertempuran berhenti sesaat.

“Hai anak muda, bedebah, tak perlu kau turut menghalangi maksudku!” Wongsoboyo menyahut dengan lantangnya. Kini difihaknya mendapat angin baru, setelah Jaka Rimang dapat ditundukkan temannya. Tentu saja dengan munculnya seorang lagi, mereka merasa sangat dongkol. Berkata demikian Wongsobojo sambil rnengayunkan kampaknya kearah Indra Sambada yang berdiri tegak.

Tetapi Indra Sambada telah berpengalaman luas dalam menghadapi serangan tiba-tiba. Dengan perasaan naluri yang telah dimiliki Indra Sambada tidak bergeser sedikitpun dan hanya dengan merendahkan badannya kesamping kanan dengan mukanya mendongak, tangannya bergerak cepat memukul dengan telapak tangan kanannya kearah pundak lawan yang segera melepaskan pegangan pada tangkai kampaknya.

Wongsoboyo melompat kesamping dan berdiri ternganga, demi kenyataan dalam segebrakan saja kampaknya telah lepas dari genggaman. Demikian pula Projopangarso, segera membatalkan niatnya untuk menyerang. Indra Sambada masih berdiri di tengah-tengah mereka sebagai pemisah.

“Hentikan dahulu pertempuran ini!” katanya dengan penuh wibawa.

Orang yang berpakaian seragam menyerupai tamtama tidak menghiraukan kata-kata Indra Sambada tadi. la segera mengayunkan cambuk dan kerisnya yang ditangan kanan dan mulai bergerak menyerang. Dengan tangkas Indra Sambada mendahului melancarkan serangan tendangan dan disusul pukulan tinjunya. Cepat penyerang menarik kembali tusukan kerisnya dan meloncat kebelkang, menghindari datangnya tendangan dan pukulan yang dahsyat. Kali ini Indra memang sengaja akan memperlihatkan simpanan kekuatannya, demi memudahkan berhentinya pertempuran.

Kekuatan yang telah terpusat di bathinnya disalurkan kearah tangan kanan, untuk kemudian mengepal dan melancarkan tinjunya dengan dahsyat kearah pohon jambu sebesar paha lebih, yang berdiri dibelakang penyerang tadi.

Kiranya memang bukan orang yang bersenjatakan cemeti dan keris yang menjadi sasaran Indra. Tak ayal lagi pohon jambu sebesar paha lebih segera patah dan tumbang. Ranting dan daun daun keringnya mendahului jatuh bertebaran ditanah, menyusul sesaat kemudian tumbangnya pohon dengan suara berderak.

Semua yang menyaksikan berdiri ternganga. Baru kali ini mereka menyaksikan keampuhan tinju seorang yang masih semuda itu. Kejadian itu hanya berjalan sebentar, karena dengan tak diduga duga Panewu Projopangarso meloncat kebelakang untuk kemudian melarikan diri dengan kencangnya. Wongsoboyo dan seorang temannya lari pula mengikuti tindakan Panewu Prodiopangarso. Jika dikehendaki, kiranya tidaklah sukar bagi Indra untuk mengejarnya tapi ia segera membalikkan badannya dan mendekati Jaka Wulung yang sedang mengawasinya dengan cermat.

Sementara itu Jaka Rimang masih berbaring di tanah dengan mengerang kesakitan, dan didekatnya, Giyanti duduk dengan memegang paha kakaknya yang luka, sambil menangis.

“Adik sekalian siapa?” Indra memulai bertanya kepada Jaka Wulung “dan apa kesalahan kalian hingga di kejar-kejar petugas Kerajaan?”

“Apakah tuan gusti Tumenggung Indra?” Jaka Wulung berganti tanya dengan tidak menjawab pertanyaan Indra, sambil masih memandangnya penuh perhatian.

“Darimana kau tahu, bahwa aku adalah Tumenggung Indra?” Indra menjawab dengan pertanyaan pula.

“Gusti, maafkan terlebih dahulu, bahwa kami tak segera memberi hormat sebagaimana layaknya,” berkata demiklan Jaka Wulung segera duduk bersila di tanah dan akan menyembahnya, tetapi Indra segera memegang kedua belah tangannya dan turut duduk disebelahnya.

“Ach, tidak perlu kau memakai adat demikian terhadapku. Seperti kau ketahui, bukankah aku sengaja menyamar sebagai petani desa?” Indra Sambada berkata dan mengulangi lagi pertanyaannya, “dari mana kau tahu bahwa aku ini Indra?”

“Guruku pernah bercerita tentang Gusti Indra Sambada” jawab Jaka Wulung.

“Siapakah gurumu, jika aku boleh mengetahuinya?” Indra mendesak bertanya lagi.

“Guruku Kyai Pandan Gede dan menurut ceritanya, beliau pernah ketemu dengan Gusti di Trinil.” Jaka Wulung menjawab. “dan yang terluka itu adalah adikku Jaka Rimang, dan Giyanti adalah adikku yang paling bungsu”

“Panggil saja untuk selanjutnya Kakang pada saya. Dengan demikian kalian membantu dalam penyamaranku. Coba kulihat luka adikmu.” berkata demikian Indra segera mendekati Jaka Rimang yang masih saja mengerang kesakitan.

Giyanti tersipu malu menggeser duduknya kebelakang menjauhi Indra.

“Jangan kau takut dan malu kepadaku di. Anggaplah saya seperti kakakmu sendiri.” Indra berkata kepada Giyanti dengan bersenyum.

Indra segera memegang paha kanan Jaka Rimang dan memeriksa lukanya dengan teliti. Sekitar tempat luka kini telah menjadi bengkak dan berwarna hitam. Terang, bahwa keris yang melukai paha Jaka Rimang beracun. Indra segera melepaskan gelang akar baharnya yang dipakai di pergelangan tangan kiri, untuk kemudian ditempelkan ditempat luka tadi. Ternyata apa yang telah dikatakan Pendeta Gurunya benar adanya. Gelang akar bahar yang hitam mengkilat, kini menempel erat menyedot racun yang telah masuk melalui pembuluh-pembuluh darah.

Darah hitam bercampur hijau keluar menetes sedikit demi sedikit. Tetapi kiranya pertolongan tadi telah terlambat datangnya, karena kini ternyata Jaka Rimang tak sadarkan diri dengan muka yang semakin hitam dan suhu badannya menjadi panas membara. Cepat Indra mengeluarkan sebuah pel merah yang berada di dalam boneka kecil terbuat dari emas, pel mana dengan tidak ragu-ragu lagi, dimasukkan kedalam mulut Jaka Rimang dengan paksa, karena mulut Jaka Rimang mulai terkatub rapat. Jaka Wulung membantu memegang kepalanya, sedang Giyanti mulai menangis kembali terisak-isak sambil memanggil beruIang-ulang nama Jaka Rimang.

“Biarkanlah, baringkan ia disini.” Indra berkata kepada Jaka Wulung “dan tolong ambilkan air” perintahnya.

“Baik kakang”, berkata dernikian Jaka Wulung segera bangkit dan lari menuju ke Desa Kapuan yang dekat letaknya dari tempat itu. la kembali dengan membawa tempurung yang telah berisikan air dari perigi dan diberikan kepada Indra.

Indra menuangkan air itu sedikit demi sedikit ke mulut Jaka Rimang, setelah itu, ia menempelkan mulutnya sendiri kemulut Jaka Rimang dan meniupnya pelan. Semua pusat tenaga batinnya dicurahkan ke napasnya yang kemudian ditiupkan kemulut Jaka Rimang untuk membantu geraknya jalan pernapasan dan jalinan-jalinan syaraf, agar pel penolak racun dapat masuk dalam pencernaannya. Ternyata pertolongannya berhasil dengan memuaskan.

Pelan-pelan panasnya berkurang dan pernapasannya berangsur-angsur menjadi tenang kernbali. Indra istirahat sejenak, sambil memperhatikan raut muka Jaka Rimang dengan penuh pengharapan agar segera sembuh kembali.

Jaka Wulung dan Giyanti duduk terpaku mengawasi wajah Jaka Rimang dengan hati yang berdebar-debar penuh kekhawatiran akan nasib Jaka Rimang. Tetapi segera timbul harapannya kembali, akan sembuhnya Jaka Rimang, setelah ia mulai mengigau dan merintih-rintih merasakan sakitnya.

Benar benar ajaib. Akar bahar jatuh terlepas dari lukanya, sedangkan raut muka Jaka Rimang kini berangsur-angsur menjadi merah kembali. Kini ia telah sadarkan diri, dan mengawasi orang yang duduk disisinya tak dikenal.

“Tenanglah dulu, adi Rimang ! Jangan banyak bergerak. Lukamu sedang diobati kakang Indra,” Jaka Wulung berusaha menenangkan adiknya.

“Aku haus sekali, kakang Wulung,” Jaka Rimang mulai berkata pelan.

Indra mengambil tempurung yang berisi air disisinya dan diberikan pada Jaka Rimang, yang segera diminumnya.

“Kini kau harus dapat menahan sakitmu sebentar, adi Rimang.” Indra berkata padanya, “Luka dipahamu akan kukorek dengan pisau tajiku.” berkata demikian Indra mengambil sebilah taji yang berada dikantongan dan memegang paha yang terluka dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya yang memegang taji segera bekerja dengan tangkasnya.

Kembali Jaka Rimang mengerang kesakitan, tetapi oleh Indra tak didengarkan. Bekal ramuan obat luka luar yang dibawanya ditempelkan di tempat luka yang baru dikoreknya tadi dan selanjutnya dibalut dengan sobekan baju yang diambilkan dari lengan bajunya sendiri.

“Bagaimana sekarang rasa lukamu?” Indra bertanya.

“Tinggal rasa pedihnya, tetapi tak mengapa. Kiraku saya telah dapat berjalan sendiri lagi. Tapi siapakah, kakang. Saya belum mengenal,” jawab Jaka Rimang sambil pelan-pelan berusaha duduk.

Jaka Wulung menolong adiknya dengan memegang bahunya dan mendudukkan. “Ja, ini, yang namanya Gusti Indra Sambada. Bagaimana Kyai guru menceritakan berulang-ulang kepada kita dulu,” Jaka Wulung menyahut, menjelaskan pada adiknya. “Tetapi beliau tak mau dipanggil Gusti, dan atas perintahnya kita harus memanggilnya kakang Indra saja. Tetapi mumpung tak ada orang yang melihatnya, lekaslah menyembah dan berterima kasihlah padanya. Kiranya jika tidak ada pertolongan dari beliau, kita tidak dapat ditolong lagi.

Jaka Rimang segera berusaha akan bersila dan menyembah, tetapi Indra Sambada cepat memegang bahunya serta berkata:

“Tak usah kau susah-susah bersila dan menyembahku. Perhatikanlah lukamu sendiri. Dan tidak perlu kau berterima kasih padaku, karena pel obat dan akar bahar yang kugunakan untuk mengobatimu adalah asal dari pemberian orang pula. Saya hanya perantara belaka. Berterima kasihlah ke Dewata Yang Maha Agung kemurahan-Nya.

“Baiklah kakang Indra tetapi saya tetap merasa berhutang budi selama-lamanya. Kiranya jika Kakang Indra tidak berada disini, saya mungkin sudah tinggal nama saja. Ingin aku memperlihatkan kesetiaanku mengabdi pada kakang.” Jaka Rimang menggagalkan sembahnya serta berkata dengan nada yang sungguh-sungguh.

“Akh, hal itu jangan dibicarakan sekarang disini dan jangan pula memujiku berlebihan. Yang penting taatilah apa perintah gurumu, karena gurumu itu terkenal orang tua yang berambeg paramerta. Sekarang yang ingin kutanyakan, apa sebabnya tadi, adi-adi berdua bertempur melawan punggawa praja?” Indra melanjutkan dengan pertanyaanya kembali.

“Begini, kakang Indra. Saya bertiga sedang berjalan dicegatnya dipersimpangan jalan diujung desa Kapuan tadi, dengan ancaman supaya saya berdua meninggalkan adik saya Giyanti. Penghinaan yang demikian memaksa saya bertindak. Mereka bertiga saya layani sendiri, sedangkan adi Rimang saya suruh melarikan Giyanti di hutan sini. Tetapi saya tidak dapat lama bertahan, karena seorang diantaranya mengejar adikku. Saya berlari mengikuti sampai disini dan kembali bertempur lagi. Karena disini banyak pohon-pohon yang rindang, saya merasa lebih aman akan adikku Giyanti. Segera ia kusuruh jauh-jauh berteduh dipohon besar itu dan kami berdua dapat menghadapi mereka bertiga dengan agak tenang. Selanjutnya,kukira kakang Indra melihat dengan mata kepala sendiri dari balik sebuah batu besar itu, dimana kakang tadi bersembunyi.” Jaka Wulung mejawab.

“Untunglah, kakang Indra segera keluar dari persembunyian, jika tidak, mungkin saya bertiga ini telah menjadi korban keganasannya. Memang jika menilik dari pakaiannya dan percakapan mereka, yang satu orang tadi adalah Panewu Gunung Pring. tetapi saya tak dapat mengerti, mengapa seorang punggawa praja, yang seharusnya rnelindungi rakyatnya bertindak demikian keji”. Jaka Wulung menjelaskan.

“O….. begitu”, Indra Sambada memotong. “Jika demikian, memang sepantasnyalah mendapat hajaran dari kita. Sayang tadi. adi Jaka Wulung tak mau menjelaskan duduk perkaranya padaku. Kiranya kini banyak punggawa praja yang menyeleweng, menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan memuaskan diri sendiri.” Indra Sambada berhenti sebentar untuk memakai gelang akar baharnya kembali setelah dicucinya dan kemudian ia melanjutkan bertanya. “Dan adi bertiga dari mana dan akan kemana?”

“Kami berdua akan ke Secang perlu mengantarkan adik saya yang bungsu,” menjawab pertanyaan itu Jaka Wulung sambil menunjuk kearah Giyanti yang sedang duduk di sisinya.

Jaka Rimang dengan muka tertunduk menahan rasa malu. “maksud kami, ia akan kami titipkan kepada paman agar mendapat asuhan yang baik. Setelah itu kami akan meneruskan perjalanan menuju ke lereng Gunung Sumbing memenuhi perintah Kyai Guru. Kami bertiga tinggal didesa Deles dilereng gunung Merbabu. Sepekan yang lalu Guruku datang dan memberikan perintah itu.” jawab Jaka Wulung dengan jelas.

“Jika demikian, sebaiknya kita jalan bersama saja, itu kalau adi bertiga tidak berkeberatan. Karena saya juga akan pergi kelereng gunung Sumbing memenuhi perintah gurumu yang aneh itu. Dan terus terang aku tak tahu dilereng sebelah mana yang dimaksudkan, dan untuk apa? aku harus pergi kesana”, Indra berkata mengemukakan usulnya.

“Kang Wulung,…… memang Kyai Guru itu seringkali bertindak aneh. Mungkin yang dimaksud Kyai Guru juga di Kaliangkrik, sebagaimana beliau memerintahkan kita”, sahut Jaka Rimang tertuju pada kakaknya dan kemudian melanjutkan bicara tertuju pada Indra, “buat kita bertiga kebetulan sekali, jika kakang Indra mau jalan bersama-sama. Dengan demikian, tak akan lagi kuatir adanya gangguan ditengah jalan. Bukankah demikian kakang Wulung?”

“Jika hanya gangguan ditengah perjalanan saja, kiranya kakakmu Jaka Wulung tentu dapat mengatasinya”, lndra Sambada memotong pembicaraan Jaka Rimang. “Aku telah menyaksikan sendiri akan ketangkasan gerakan tongkatnya yang sukar mendapat tandingan,” lndra Sambada berkata memuji kepada Jaka Wulung.

“Ah….. Kakang Indra ini pandai juga berkelakar menyindir orang” Jaka Wulung menyahut dengan tersenyum.

“Kata-kataku tadi bukan sindiran, tetapi sungguh-sungguh aku mengagumi akan permainan tongkatmu yang tunggal itu.” Indra Sambada menjawab dengan kejujurannya.

“Pujian kakang Indra terlalu tinggi. Buktinya, jika tadi tidak dibantu kakang, kami bertiga mungkin sudah tidak dapat meneruskan perjalanan. Saya masih mengagumi akan kesaktian kakang Indra yang serba lengkap itu. Kesaktian bertempurmu mungkin melebihi guruku, masih pula memiliki kesaktian mengobati orang yang mendekati ajal. Kiranya cerita dongengan guruku benar-benar kenyataan.” Jaka Wulung membalas memujinya.

“Tidak akan habis-habisnya jika kita saling merendahkan diri. Mari kita berangkat sekarang, supaya malam nanti kita telah sampai di desa sebelah utara sana. Kita berjalan pelan-pelan saja” Indra berkata sambil bangkit berdiri.

Jaka Rimang segera bangkit pula dengan pelan-pelan dan dibantu oleh Jaka Wulung dan Giyanti. Mereka segera meneruskan perjalanan dengan berjalan pelan, mengingat akan luka yang diderita Jaka Rimang.

Giyanti berjalan menggandeng tangan Jaka Rimang didepan, sedangkan Indra Sambada berjalan berdampingan dengan Jaka Wulung dibelakangnya. Dalam perjalanan mereka berempat segera menunjukkan keakrabannya, tak ubahnya bagai empat saudara sekandung.

Kiranya Giyanti adalah gadis yang selalu dimanja kakak-kakaknya. Setelah hilang rasa malunya, ternyata ia pandai bergurau dan pandai pula menggoda kakak-kakaknya dan Indra. Wajahnya cantik dengan warna kulit hitam manis. Bibirnya yang merah mungil selalu dihias dengan senyum kekanak-kanakan. Matanya redup, dengan kerlingan yang menggairahkan. Rambutnya hitam panjang digelung dengan tusuk konde terbuat dari tanduk.

Subang bermata intan menghiasi daun telinganya yang selalu gemerlapan karena gerakan kepalanya. Lengannya berlenggang lemah gemulai dengan jari-jarinya yang halus meruncing. Potongan badannya ramping dan padat berisi. Bajunya lurik tenunan desa warna brongsong dengan berkain lurik pula berwarna merah, menambah indahnya.

“Alangkah bangganya aku jika mempunyai adik yang demikian ini” kata bathin Indra pada diri sendiri.

Kini ia diam merenung sambil berjalan karena terkenang kembali akan nasibnya. Tak beribu, tak bersaudara dan jauh dari ayahnya. Hidup sebatangkara terlunta-lunta dengan tidak bertujuan pasti. Seandainya ia mempunyai saudara sekandung seperti Jaka Wulung ini, tentulah dapat ia mencurahkan segaIa kesedihannya. Kini mereka berempat asyik bercerita berganti-ganti sambil berjalan hingga jarak jauh yang telah ditempuhnya tidak terasa olehnya.

Jaka Wulung dan Jaka Rimang menjelaskan akan maksud kepergian mereka kelereng Gunung Sumbing di dukuh Kaliangkrik. Atas perintah gurunya Kyai Pandan Gede, mereka berdua supaya menyantrik pada "Wiku Sepuh” dipadepokannya, untuk mencari tambahan ilmu.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment