Ads

Tuesday, February 8, 2022

Pendekar Majapahit 009

Bersampan mereka bertiga menuju kehulu sungai dengan pelan. Sebentar-sebentar Kyai Tunggul melemparkan jaringnya yang mengembang seperti Iingkaran jatuh diair dangkal ditepi, dan kemudian ditariknya pelan-pelan untuk diangkat. Jaring yang berkembang melingkar dengan pelan menjadi kecil kembali dan melipat. Ikan-ikan kecil, wader dan sebangsanya berkelojotan didalam jaring, dan Sujud membantu mengambil ikan-ikan itu untuk kemudian dimasukkan dalam kantong yang dibawanya. Yaitu kepis yang terbuat dari bambu yang dianyam. Indra Sambada mendayung sampan dengan pelan-pelan, terus menyusuri tepi Bengawan menuju kehilir.

Kini kantong ikan telah terisi hampir penuh. Tiga perempat dari kepis itu penuh dengan ikan yang bermacam-macam. Setelah mengawasi kekanan kekiri yang ternyata sepi, perahu sampan segera dibelokkan ketepian dan Kyai Tunggul segera memulai bicara.

“Nakmas Indra, kurasa sekarang telah tiba saarnya aku membuka rahasia yang aku pendam dan juga mengenai kejadian kemarin dulu itu kepadamu!”

Indra Sambada membetulkan duduknya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Sebetulnya aku telah mengenaI si Kerta Gembong” Kyai Tunggul melanjutkan kata-katanyanya. “Kerta Gembong itu dulunya adalah Bupati tamtama juga dari Kerajaan Pajajaran bernama Kertanata Kusumah. Terang bahwa baginya ada maksud-maksud tertentu dibalik memimpin rampok yang mengganas didaerah ini. Semalam aku mengintai pula dari luar dengan jelas dari celah-celah gebyok untuk meyakinkan. Ternyata yang telah aku dengar, sejak waktu lama berselang itu benar.” Kyai Tunggul menghela nafas panjang.

“Jika dernikian apa kira-kira maksud yang sebenarnya, pak? Dan siapakah kakek-kakek itu yang serba aneh?” Indra memotong pembicaraan.

“Sabarlah dahulu.” Kyai Tunggul menjawab. “Untuk menjawab pertanyaanmu, ceritanya sangat panjang. Sewindu yang lalu sewaktu perang Bubat yang menyedihkan itu terjadi, hingga merupakan malapetaka bagi seluruh Narapraja dan tamtama bahkan meliputi pula sebagian besar rakyat. Banyaklah para perwira tamtama yang meninggalkan Kota Raja dan kini mereka berada didaerah Sumedang yang disebut orang Gunung Nyalindung. Mereka berkumpul disitu untuk menghimpun kembali kekuatan baru yang maksudnya merebut kembali Kerajaan Pajajaran.

Tetapi ternyata Kerajaan Majapahit telah lebih cepat menggantikan para pimpinan tamtama dan punggawa narapraja untuk menggagalkan maksud-maksud itu. Punggawa narapraja dari Kerajaan Majapahit yang memerintah daerah Pajajaran itu, ternyata dari sebagian diantaranya ada yang kejam dan menindas rakjatnya. Rasa kurang puas dalam hati tiap-tiap para perwira tamtama yang memang sudah tertanam itu, menjadi lebih melonjak lagi. Namun ada pula diantara para perwira tamtama dan bekas narapraja Pajajaran yang ingin mengetahui lebih dalam lagi, sebelum menentang kekuasaan yang menindas daerah Pajajaran itu.

Bahkan ada pula para perwira tamtama yang berpendapat bahwa perang Bubat itu disebabkan adanya Durno-durno dalam istana Kerajaan Majapahit jadi bukan atas kehendak Baginda Rajasanegara ataupun Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada. Kiranya para perwira tamtama masih terus akan melanjutkan usaha-usahanya itu hingga berhasil. Mereka tidak mau berhenti sebelum mengetahui siapa Durno-durno yang berada di Istana Kerajaan Majapahit.

Dengan semboyan mereka akan menuntut kembalinya daerah Pajajaran. Hal ini dapat dimengerti dengan adanya tindakan-tindakan dari para punggawa-punggawa yang ditempatkan untuk memerintah dari Kerajaan Majapahit yang telah memeras dan menindas secara kejam didalam daerah yang dikuasai.”

Kyai Tunggul menceriterakan dengan semangat yang bernyala-nyala dan kelihatanlah diwajahnya bahwa ia juga turut dendam pada punggawa-punggawa yang menyeleweng itu.

“Karena tidak adanya perpaduan pendapat dalam hal pelaksanaan cara menentang kebijaksanaan Kerajaan Majapahit yang semena-mena itu, maka para perwira tamtama yang mempunyai keberanian dan kecintaan terhadap Tanah Air dan rakyatnya bertindak sendiri-sendiri. Ada yang bermaksud untuk membalas mengacau didaerah Majapahit dan ada pula yang bermaksud untuk membalas membunuh pada Durno-durno yang berada di Istana.

Namun adapula yang mengambil jalan secara halus dengan berniat menyampaikan kepada Baginda di Kerajaan Majapahit, keadaan yang sebenarnya demi kepentingan rakyat banyak. Tetapi maksud yang terakhir ini sukar dicapai, sebelum menyelidiki lebih dalam lagi tentang kebijaksanaan Kerajaan Majapahit yang sesungguhnya, dalam memperlakukan rakyat daerah bekas Kerajaan Pajajaran. Dan pula tidak mudah untuk menghadap secara langsung kehadapan Sri Baginda Maharaja Rajasanegara.

Jika diteliti keadaan dahulu sebelum perang Bubat terjadi, hubungan antara kedua Kerajaan dan hubungan rakyatnya sangat baik sekali, namun sekarang masing-masing terutama dari sebagian besar rakyat Pajajaran telah menyimpan benih kedendaman yang mendalam terhadap rakyat Kerajaan Majapahit yang sukar dipadamkan.

Telah tiba saatnya aku sekarang akan membeberkan semua rahasiaku sendiri kepadamu dengan sejujur-jujurnya.” Sampai disini Kyai Tunggul berhenti bicara sejenak dan mengawasi kembali kanan-kiri sekitarnya, untuk kemudian memandang tajam kepada Indra Sambada.

“Nakmas Indra, sebagai muridku tentunya nakmas tahu apa yang kumaksud” Kyai Tunggul melanjutkan ceritanya kembali “Janganlah nakmas melihat dari kacamata sepihak, apabila hendak bertindak adil dan bijaksana demi kepentingan rakyat banyak. Rakyat tak mungkin mau diajak bertindak yang bukan-bukan, seperti memberontak atau menuntut yang bukan-bukan apabila mereka diperlakukan wajar dan bijaksana oleh para punggawa yang menguasai. Dan kurasa dengan jalan yang bijaksana dapat pula Kerajaan Majapahit menaungi Kerajaan Pajajaran, dengan mengangkat para bekas perwira tamtama dan para punggawa narapraja untuk ditempatkan dalam kedudukan yang wajar.

Tentunya dalam hal ini memerlukan penelitian dan penyaringan lebih dahulu terhadap kelakuan dan sifat-sifat para perwira tamtama dan punggawa narapraja tadi. Aku jakin bahwa hubungan baik antara rakyat Pajajaran dan Majapahit akan terjalin pulih baik kembali. Dan dengan demikian nama keagungan Kerajaan Majapahit akan lebih harum. Rakyat akan dapat bersatu kembali dalam naungan satu bendera Kerajaan Majapahit seperti dahulu kala.”

“Apakah yang bapak maksudkan itu, agar Kerajaan Pajajaran dihidupkan kembali?” Sela Indra Sambada.

“Bukan, bukan dernikian maksudku nakrnas.” menjawab Kyai Tunggul dengan cepatnya. “Jika pemerintahan diserahkan kepada orang-orang Pajajaran sendiri aku yakin bahwa ketenteraman dan kesejahteraan rakyat akan lebih dapat dicapai. Hal ini tidak perlu dengan menghidupkan kembali Kerajaan Pajajaran yang telah musnah. Dahulu Sri Baginda Raja menyerahkan putrinya untuk dipersunting oleh Sri Baginda Rajasanegara, adalah dengan maksud mempererat hubungan kedua Kerajaan yang telah terjalin lama dan rela pula untuk dinaungi dibawah satu bendera Kerajaan. Tetapi kiranya ada Durno-durno dalam Istana, sehingga perang Bubat terjadi dan sangat menyedihkan.

Tujuh tahun lebih aku tekun menyelidiki tata Pemerintahan Kerajaan Majapahit dan sekarang aku telah mengetahui dengan jelas, bahwa Priyagung-priyagung pimpinan Pernerintahan Kerajaan Majapahit pada umumnya bersifat ksatrya dan arif bijaksana. Demikian pula sifat Gusti Patih Mangkubumi Gaja Mada yang lebih mendekati seorang Brahmana. Atas dasar pengetahuanku ini, aku yakin bahwa apabila salah seorang Priyagung mengetahui keadaan daerah Pajajaran yang sebenarnya tentu akan sependapat dengan usulku. Hanya kepadamulah aku berani bicara terus terang, karena yakin bahwa nakmas yang dapat menyelesaikan persoalan ini dengan jalan penuh arif dan bijaksana.” Kyai Tunggul berhenti lagi berbicara, untuk menunggu kesediaan jawaban Indra Sambada dalam hal ini.

“Pak, kiranya hal ini tidak menyimpang dari tugas saya sebagai tamtama mengingat akan janji pasti Panca Setia tamtama yang telah menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasku. Saya tidak berjanji akan berhasilnya ataupun tidaknya dalam menghadapi tugas baru yang dibebankan oleh bapak, tetapi sudahlah menjadi kewajiban saya untuk melaksanakannya. Hanya ada pertanyaan saya yang belum dijawab oleh bapak Kyai Tunggul, siapakah sebenarnya Bapak Kyai Guruku ini?” Indra menjawab dan mengajukan pertanyaan lagi.

“Dan siapakah kakek-kakek kemarin malam yang aneh itu.”

“Bagiku tak ada alasan lagi untuk selalu menyembunyikan dan membohongi kepadamu. Aku adalah bekas punggawa narapraja pula dari Kerajaan Pajajaran, Bupati didaerah Indramayu. Dan namaku yang sebenarnya adalah Wirahadinata. Sejak daerahku diperintah oleh Bupati Tumenggung Praja-ratmaka, saya lalu meninggalkan Kabupaten Indramayu dan menetap di Ngawi ini, dengan nama samaran Kyai Tunggul. Dengan bekal keakhlianku dalam ilmu usadha, saya dapat mengenal lebih banyak Priyagung-priyagung dari Kerajaan Majapahit dan telah tujuh tahun lamanya aku dapat bertahan tinggal disini. Maksud dan tujuanku telah aku utarakan padamu tadi, namun hingga sekarang belum memungkinkan untuk langsung menghadap berhadapan dengan Baginda Maharaja Rajasa-negara ataupun Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada.



Sekali lagi hanya nakmas Indralah yang menjadi harapanku dapat menyelesaikan maksudku, demi kepentingan rakyat banyak, dan demi keharuman nama Kerajaan kita semua Majapahit.

Tentang kakek-kakek semalam, saya tidak banyak mengetahui. Hanya menurut dugaanku ia adalah Kyai Pandan Gede yang telah dijuluki oleh orang-orang dengan "Siluman ambek paraamerta” Dahulu tempat kediamannya adalah di Gunung Pandan tak jauh dari sini, namun sekarang orang tak tahu akan tempat tinggalnya yang tetap. Di-mana-dimana diwaktu ada peristiwa-peristiwa penting ia selalu muncull. Maksud dan tujuannyapun tidak banyak saya mengetahuinya. Tetapi selama tujuh tahun aku berdiam disini tak pernah mendapat gangguan dari Kyai Pandan Gede, bahkan ketemu saja baru kemarin malam itu. Itupun jika tebakanku benar. Dulu saya kuatirkan bila rahasiaku akan bocor, dan ia bertindak terhadapku.

Namun kekuatiranku kini telah hilang lenyap. Karena orang-orang selalu hanya menceritakan tentang kebaikannya dari tindakan Kyai Pandan Gede dan kesaktian sebagai siluman yang dimilikinya. Saya pernah berusaha menemuinya, tetapi sudah dua kali aku mendaki Gunung Pandan, tidak pernah dapat berhasil menemui. Mungkin jika nakmas dapat menemuinya akan banyak manfaatnya dalam menunaikan tugasmu.” Kyai Tunggul berhenti lagi sejenak.

Kiranya panas terik matahari yang menyinari langsung dari atas kepala mengganggunya. Sebentar-sebentar ia menyeka peluhnya. Indra Sambada mendengarkan cerita Kyai Tunggul dengan saksama. Kalimat demi kalimat diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Sedangkan Sujud lama-lama duduk terkantuk dengan sendirinya,

Setelah puas mereka bercakap cakap dengan tiada gangguan, maka mereka bertiga kembali pulang, dengan sampannya mengikuti mengalirnya air kali Bengawan. Dalam perjalanan pulang tidak banyak yang mereka bicarakan karena masing-masing terbawa dalam alam lamunan mereka sendiri. Hanya Sujudlah sebentar-sebentar mengajukan pertanyaan yang bukan-bukan kepada Kyai Tunggul. Karena ia kini tahu pula, bahwa ayah angkatnya sebenarnya adalah seorang bekas Bupati. Diam-diam iapun turut mengikuti jalan ceritanya.

***

Sedang ia duduk bersemadi memuji akan kebesaran Yang Maha Agung serta mohon penerangan dan kekuatan pada-Nya demi untuk mengabdi pada Kerajaan dan rakyat, terdengar suara ketukan pelan tiga kali dari dinding kayu yang berada dibelakangnya. Indra Sambada setelah mengambil keris pusakanya yang berada dibawah bantal, segera keluar lewat pintu belakang, untuk tidak mengganggu seisi rumah yang sedang tidur nyenyak.

Malam itu telah tengah malam. Cuaca gelap, awan hitam menggantung diangkasa. Di-sela-selanya memancar bintang-bintang dengan sinarnya yang pudar. Tak kuasa sinarnya menembus tebalnya awan yang menghalang. Angin basah meniup dari selatan, membuat segarnya badan. Dengan pelan ia menutup pintu belakang kembali dan berjalan dengan penuh kewaspadaan menuju kearah suara ketukan yang tadi didengarnya dengan hati yang berdebar-debar.

Tetapi alangkah herannya setelah didatangi, ternyata tidak ada seorang manusia. Keadaan disekitarnya sunyi sepi. Ia segera bertindak pelan memasuki kandang sapi dan memeriksa dengan teliti pula, didalam dan dikolong pedati. Namun tidak nampak juga apa yang dicarinya. Kembali ia berdiri ditengah-tengah pekarangan serta mengawasi kearah atas pohon-pohon yang rindang. Tetapi ternyata dahan serta rantingnya sedikitpun tidak bergerak.

Dengan tangkas ia meloncat naik kegenteng dapur dan berjalan mengikuti membujurnya wuwungan. Pun disitu kelihatan sepi, dan tidak ada bekas tanda-tanda injakan orang. Ia segera turun kembali dengan rasa penuh keheranan. Suara ketukan tadi walaupun pelan tapi terdengar jelas olehnya, tidak mungkin ia salah dengar.

Kini ia berdiri seperti patung dikegelapan malam yang sunyi itu. Hanya suara air yang deras mengalir dari kali Bengawan terdengar semakin jelas seperti tak pernah merasa lelah dan jemu.

Tiba-tiba tergerak rasa hatinya untuk pergi ketanggul tepi kali Bengawan. Kakinya melangkah mengikuti suara hatinya. Kini ia telah berdiri ditebing kali Bengawan mengawasi kekanan kiri sejauh ia dapat memandang menembus dikegelapan malam. Tetap tidak ada tanda-tanda berkelebatnya bayangan manusia.

Ia berjalan pelan rnenyusuri tebing kearah utara. Setelah merasa lelah berjalan menyusuri tebing kali Bengawan, ia duduk tenang diatas rumput yang tumbuh lebat diatas tanggul.

Ia tengah memikirkan nasib ibunya Martinem, dan nasib rakyat didaerah Pajajaran yang menurut Wiriahadinata, hidup dalam penderitaan. Sedang ia tenggelam dalam lamunan disertai dengan khayalan yang melantur. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya:

“Tumenggung Indra, lekas pulang dan berangkatlah segera kelereng Gunung Sumbing” Begitu suara itu lenyap, bayangan orang bertongkat diseberang kali Bengawan berkelebat dengan pesatnya menjauh kearah barat.

Tak mungkin ia mengejar untuk mengetahui lebih jelas, siapa orang itu. Dan demikian tak ada jalan lain kecuali ia harus mengikuti perintah suara itu. Melihat berkelebatnya bayangan tadi adalah orang bertongkat, maka tak ada lain rabaannya kecuali Kyai Pandan Gede. Tetapi apa maksudnya ia harus pergi kelereng Gunung Sumbing dan pula kesempatan untuk bertanya menjelaskan tak diberinya. Lereng Gunung sebelah manakah yang dimaksud oleh Kyai Pandan Gede tadi?

Penasaran akan rasa ingin tahu ia cepat berjalan laksana bayangan berkelebat ditengah malam menuju kerumah. Dengan tangkas ia melompati pagar bambu yang mengelilingi halaman untuk kemudian menuju kepintu depan dengan langkah yang penuh kewaspadaan, karena mendengar adanya suara percakapan yang ramai didalam rumah, dengan diselingi suara tangis anak terisak-isak.

Ternyata pintupun tak tertutup rapat dan lampu minyak didalam rumah menyala terang. Kini rasa cemasnya hilang seketika setetah melihat Kyai Tunggul bersama Nyai Tunggul sedang duduk berdampingan, menghadapi seorang perempuan yang dikerumuni oleh Martiman dan Martinem.

Martinem duduk dipangkuan orang itu sedangkan Martiman dalam pelukan menyandarkan badannya dekat-dekat kedada perempuan tadi. Indra Sambada melangkah masuk rumah sambil membungkukkan badannya tertuju kepada perempuan yang tak dikenalnya. Ia segera mengambil tempat duduk disisi Kyai Tunggul. Dengan datangnya Indra Sambada, percakapan tadi berhenti sebentar, dan kini Kyai Tunggul bicara tertuju kepada Indra.

“Nakmas Indra, harap kenalkan dahulu pada tamu kita ini, ia adalah Nyai Jayadipa ibunya Martiman.”

Indra segera membetulkan duduknya, sambil menganggukkan kepala. “Kenalkan mbakyu, saya Indra Sambada anak kemenakan Kyai Tunggul”, kata Indra dengan penuh sopan yang disambut oleh Nyai Jayadipa dengan anggukan kepala pula sebagai balasan untuk menghormat.

“Menurut katanya, datangnya kemari diantar seorang kakek-kakek bertongkat” Kyai Tunggul melanjutkan bicaranya! “Dan nakmas tadi dari mana? Apakah tidak ketemu dengan kakek-kakek itu?” tanya Kyai Tunggul kepada Indra.

“Saya tadi dari tanggul Bengawan, pak! Tapi tidak berjumpa dengan siapapun” jawab Indra singkat.

“Coba nak Jaya, teruskan ceritamu tadi, biarlah nakmas Indra ini turut mendengarkan. Bagairnana kakek-kakek itu dapat menolongmu.” Kyai Tunggul kembali mempersilahkan Kyai Jayadipa untuk melanjutkan ceritanya yang terhenti.

“Setelah saya berada di kamar yang pintunya tertutup dari luar, di Kademangan Jlagran, dari sela-sela papan pintu saya melihat banyak sekali orang-orang yang berkumpui, mungkin kira-kira ada dua puluhan, termasuk yang membawa saya. Menurut percakapan mereka yang dapat saya tangkap, saya hanya akan dititipkan selama tiga hari dan setelah itu entah mau dibawa kemana lagi oleh orang yang kasar itu. Oleh Demang Jlagran dan istrinya saya diperlakukan baik-baik, tapi selalu saya menangis bersedih hati, teringat kepada anak-anak saya yang nasib kelanjutannya tak kuketahui. Tentunya Pak Kyai dan Ibu Nyai ataupun si adi, dapat membayangkan, betapa kesedihan yang sedang menimpa diriku itu”, Nyai Jayadipa berhenti sebentar sambil mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya dengan ujung bajunya.

“Bapaknya anak-anak dibunuh, saya dibawa tak tahu akan kemana lagi, sedangkan anak-anak saya yang masih kecil ditinggalkan tak ada yang memperdulikan nasibnya.” kembali ia berhenti bicara, sambil menahan isak. “Maka saya sangat berterima kasih kepada Kyai, si adi maupun Bu Nyai yang telah dengan susah payah sudi merawat anak-anak saya. Semoga Dewata Agung melimpahkan karunia yang setimpal akan jasa Bapak Kyai sekeluarga.

Setelah malam ketiga tiba, kawanan rampok datang kembali di Kademangan Jlagran, dipimpin oleh orang yang sangat kasar itu. Dari percakapan mereka baru saya dapat mengetahui, bahwa nama orang yang kasar itu adalah Suronggolo. Semakin menggigil seluruh badanku karena ketakutan. Nama itu telah tersohor dimana-mana sebagai orang yang sangat kejam. Suronggolo hanya sebentar singgah di Kadernangan Jlagran dan katanya mau berangkat lagi menuju kedesa Trinil.

Pesannya kepada Demang Jlagran dengan jelas dapat kudengarkan. ‘Nanti malam menjelang pagi setelah pertemuan dengan Pak Kerta Gembong, saya kemari pagi dan mengambil simpanan saya’ Yang dimaksudkan simpanan, tentulah diriku ini. Hatiku berdebar-debar, nafasku terasa sesak, setelah mendengar percakapan itu, namun apa dayaku. Ingin aku membenturkan kepalaku ke dinding-dinding kayu jati. Tetapi teringat kembali akan anak-anakku yang aku tinggalkan.” sampai disini ia menghela nafas panjang untuk kemudian melanjutkan ceritanya lagi:

“Semalam suntuk saya tak dapat memejamkan mata, tapi merasa heran hingga fajar pagi orang yang kasar itu tidak nampak datang kembali . Den Demang kelihatan gelisah juga. Wajahnya kelihatan kusut dan pucat. Saya dapat menduga tentu ada hal-hal yang terjadi atas dirinya para perampok. Harapanku untuk dapat menyelamatkan diri dari noda timbul kembali. Sungguhpun belum tahu apa yang telah terjadi. Tiba-tiba datang lima orang langsung masuk kedalam dan kembali pintu kamarku ditutup rapat-rapat dari luar. Saya hampir jatuh pingsan, karena mengira bahwa Suramenggala dan kawan-kawannya telah datang kembali. Harapanku kini terbang seketika”

Kyai Tunggul dan Indra Sambada mendengar dengan penuh perhatian dan sebentar-sebentar mengangguk-anggukan kepala mereka. Sedangkan Nyai Tunggul tak henti-hentinya mengeluarkan suara gersahnya, sambil mengusap air mata. Kembali Nyai Jayadipa melanjutkan ceritanya:

“Tetapi setelah saya dapat menguasai diriku kembali, saya menilingkan dengan seksama akan percakapan mereka yang setengah berbisik itu. Ternyata tak dapat kudengar banyak, Hanya jelas bahwa Sura Macan tidak ada diantara lima orang itu. Kudengarkan Den Demang Jlagran mengumpat dan menggumam pada orang-orang itu. ‘Jika saya ada, tak mungkin itu terjadi’, hanya kata-kata itulah yang dapat dengan jelas kudengar. Pada hari siangnya pintu kamarku dibuka dan saya diajak makan bersama Den Demang. tapi isterinya kelihatan tak berada dirumah. Ternyata Den Demang itu juga orang berhidung belang pula. ‘Sudahlah, dari pada kau diambil Suronggolo, kan lebih senang kalau saya kawin saja’ kata dia kepadaku. Saya tak menjawab hanya terisak-isak menangis ingat anak-anakku kembali.

Kiranya ia dingin saja tak memperdulikan kesedihanku. ‘Sudah tak usah nangis dan lekas masuk kamar kembali’, bentaknya kepadaku. Makanan yang disediakan tadi sedikitpun aku tidak menjamahnya. Baru saja aku bangkit akan masuk kekamar, isterinya Den Demang kelihatan datang. Dan dalam hatiku, saya mengucap syukur kehadlirat Dewata Yang Maha Agung akan kemurahan-Nya. Karena dengan demikian, tak dapat terjadi sesuatu atas diri saya.

Kembali tangisku terisak-isak tak dapat kutahan setelah berada didalam kamar. Akh nasib apa yang sedang kualami ini. Tapi tak lupa aku selalu sembahyang kepada Dewata, semoga saya dan anak-anakku dilindungi olehNya. Dan kiranya Dewata mendengarkan tangisku. Yaaaahhh…… bapak Kyai sekeluarga yang menjadi perantaraannya.” Ia terhenti lagi dan menghela napas panjang.

“Lalu bagaimana mbakyu dapat lolos dari Kademangan Jlagran?” Indra memotong dengan tak sabar.

“Inilah yang akan aku ceritakan sekarang adi.” Nyai Jayadipa menjawab.

la menidurkan Martinem yang ternyata telah tidur nyenyak dipangkuannya diatas bale-bale sisinya, sedangkan Martiman juga telah berulang-ulang menguap karena kantuknya. Martiman segera turut merebahkan diri disisi adiknya dan tak lama kemudian kedua anak tadi tidur dengan nyenyaknya. Nyai Jayadipa melanjutkan ceritanya.

“Waktu itu telah tengah malam, sedang Den Demang duduk dipendapa dengan dua orang, entah peronda entah kebayannya, mendadak ketiga–tiganya jatuh tersungkur dengan suara jeritan pendek tertahan. Kemudian pintu kamarku terbuka, dan dihadapan saya berdiri seorang kakek-kakek yang bercelana hitam tak memakai baju atas, dengan tongkatnya, mendekati saya ‘Lekas ikut aku keluar!’ katanya singkat. Dan seperti didorong kekuatan gaib, saya mengikutinya dengan setengah sadar.

Diluar rumah Kademangan, para penjaga Kademangan semua bergelimpangan ditanah. Mati ataupun pingsan, saya tidak mengetahuinya dengan jelas. Untuk menanyakan pada kakek-kakek itu, rasanya mulutkupun seperti tersumbat.” Nyai Jayadipa berhenti lagi dan memejarnkan matanya sesaat, seolah ada yang di-ingat-ingat kembali.

“Aneh…… Aneh....” Indra Sambada berkata kepada dirinya sendiri. “Lalu selain kakek itu, apa ada orang lain yang berada disitu?” tanya Indra kemudian.

“Tidak ada.” jawab Nyai Jayadipa. “Yang ada hanya kakek-kakek itu. Entah kalau orang-orang yang menghajar Den Demang serta kawan-kawannya tadi sudah pergi terlebih dahulu, saya tidak tahu. Saya ditarik lari keluar oleh kakek-kakek tadi dalam keadaan setengah sadar. Dan selanjutnya saya tak ingat lagi. Tahu-tahu saya diturunkan dari gendongan pundaknya didepan pintu ini. Setelah saya sadar kembali, ia membisikkan ketelingaku, bahwa rumah ini rumahnya Kyai Tunggul yang menolong anak-anakku dan supaya segera aku mengetok pintunya. Baru saja aku mengetok pintu depan yang segera kemudian dibuka pak Kyai sendiri, ternyata kakek-kakek yang kuduga berada dibelakangku telah menghilang. Maka itu tadi setelah pintu dibuka oleh pak Kyai saya kembali jatuh pingsan karena ketakutan!”

“Ya, nakmas! Tadi saya juga terperanjat karena begitu pintu saya buka ada perempuan yang jatuh tersungkur kedalam. Untunglah Ibumu Nyai cepat menolongku dengan membawa air yang kemudian kuminumkan.” Kyai Tunggul memperkuat cerita Jayadipa.

“Jadi terangnya, yang menolong saya tadi mungkin memang bukan orang, tetapi siluman yang baik hati, di” Nyai Jayadipa menegaskan.

Nyai Jayadipa bertubuh sedang seperti lazimnya wanita-wanita daerah itu, namun potongan badannya ramping pinggangnya ramping pula “nawon kemit” dan buah dadanya yang padat. Raut mukanya bulat telur, dengan sepasang alisnya yang tipis melengkung. Matanya agak sipit bening berseri-seri. Rambutnya hitam lebat dan panjang, sungguhpun waktu itu kelihatan kusut tidak disisir. Bicaranya lantang, tapi sedap didengar memikat hati, dengan mulutnya yang mungil. Kulitnya kuning ke merah-merahan. Usianya kurang lebih dua puluh dua tahun. Kiranya ia adalah perempuan yang cantik terkenal menjadi buah bibir selalu disekitar daerah itu.

Diluar dari kejauhan, suara ayam jantan mulai bersaut-sautan dikandangnya masing-masing yang kemudian suara itu semakin mendekat, karena sautan ajam jantan yang berada disekitar rumah. Dan sebentar kemudian disusul suaranya orang-orang yang sedang menimba air dari perigi, dan suara orang-orang menyapu pekarangan masing-masing. Hari telah fajar pagi.

“Sudahlah nak Jaya.” Nyai Tunggul turut bicara. “Tinggallah dipondokku ini dengan anak-anakmu, sambil menentramkan hatimu yang sedang risau dan biarlah pak Kyai nanti yang menengok rumahmu”, berkata demikian Nyai Tunggul berpaling kepada Kyai Tunggul untuk menanti usul pendapatnya. “Ia, sebaiknya nak Jaya menuruti akan nasehat ibumu Nyai, biarlah nanti aku dan nakmas Indra menengok di Trinil” Kyai Tunggul berkata.

Indra Sambada diam tak turut bicara, ia masih mengagumi akan keluhuran budi dan kesaktian Kyai Pandan Gede. Pun ia masih memikirkan akan keberangkatannya kelereng Gunung Sumbing, mengikuti perintah Kyai Pandan Gede yang tidak jelas tadi.

**** 009 ****





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment