Ads

Monday, February 7, 2022

Pendekar Majapahit 007

Indra tersentak dari lamunannya dan menjawab dengan anggukan kepala. “Wah, kiranya saya tadi dapat tidur nyenyak sekali, pak. Badanku kini terasa segar kembali.” ia melanjutkan jawabannya.

Gerobag pedati berjalan pelan dan kini memasuki sebuah desa yang dituju. Tidak jauh dari ujung desa itu kelihatan tanggul tebing kali Bengawan. Dari desa Ngawi itu, terdengar jelas air bengawan mengalir dengan derasnya.

Desa Ngawi adalah sebuah desa kecil, yang menilik dari rumah bangunan yang berada disitu, penduduknya tidak akan lebih dari duapuluh kepala somah. Pekarangan pada umumnya luas, hingga jarak rumah-rumah bangunan berjauhan satu sama lain. Tanahnya subur, terlihat dari segarnya tanam-tanaman yang berada dipekarangan. Ini mungkin dikarenakan dekat letaknya dari kali Bengawan yang selalu tak pernah kekurangan air.

Rumah tempat tinggal Kyai Tunggul merupakan rumah bilik atau disebutnya rumah gebyok, terbuat dari kayu dengan ruang pendapa yang sedang luasnya. Pekarangan yang mengitari rumah itu dipagari keliling dengan Lambu yang rapih sekali. Tanam-tanaman bunga liar beraneka dan pohon buah-buahan dipekarangan kelihatan segar terawat bersih.

Tiga orang pemuda tanggung segera menyambutnya atas kedatangan Kyai Tunggul, menyusul kemudian Nyai Tunggul menyambut di depan rumah.

“Nyai ! Kali ini aku datang membawa tamu dari jauh yang akan tinggal sementara disini, hendaknya Nyai segera menyiapkan tempat ia bermalam dan lain-lainnya.” Kyai Tunggul berseru kepada isterinya. “Dan anggaplah tamu ini sebagai keluarga sendiri.” Sambil menunjuk kepada Indra Sambada.

“Mari nakmas Indra, ini adalah Ibumu Nyai yang selalu setia” ia berkata kepada Indra.

Indra segera membungkukkan badannya dengan berkata. “Maafkan Ibu Nyai, bahwa saya datang hanya membikin repot Ibu Nyai saja.”

“Ah, tak mengapa nakmas. Silahkan masuk dan berlakulah seperti dirumah sendiri.” demikian Nyai Tunggul menjawab dengan ramahnya.

Sungguhpun Nyai Tunggul telah lanjut usia dengan rambutnya telah ubanan, dan berpakaian sebagai wanita petani desa biasa, namun jelas nampak diwajahnya, bahwa ia dahulu pada waktu masih muda memiliki wajah yang cantik. Dari pandangan sinar matanya yang memancar jernih, jelas menunjukkan bahwa Nyai Tunggul bukan berasal dari petani biasa, Apalagi jika menilik dari tindak tanduknya yang selalu halus dan sopan, sekalipun, ia sangat ramah tamah.

Pedati dengan sepasang sampi serta kuda Indra Sambada yang menguntit dibelakang pedati tadi, segera dirawatnya oleh tiga orang pemuda tanggung yang tadi menyambutnya. Sujud lari kedalam memapag Nyai Tunggul. Kelakuan Sujud tak ubahnya seperti lazim seorang anak yang selalu dimanja oleh Ibunya.

Mereka semua segera memasuki rumah dan duduk asyik bercakap-cakap diatas balai-balai bambu yang lebar dengan tikar pandan. Dalam hati, Indra Sambada iri akan kebahagiaan keluarga Kyai Tunggul yang sangat sederhana itu. Sadarlah ia kini, bahwa kebahagiaan seseorang tidak tergantung dari pada pangkat kedudukan ataupun harta-benda.

Sang Bulan telah lama menggantikan takhta, menelan terangnya siang. Sinarnya remang-remang menyelubungi seluruh alam semesta. Tiba saatnya Indra Sambada ingin menggunakan kesempatan, untuk mencurahkan isi hatinya yang penuh dengan pertanyaan, selama ia berkenalan dengan Kyai Tunggul.

“Apakah bapak berasal pula dari desa ini?.” Indra Sambada membuka percakapan. “menurut dugaan saya tentunya bapak Kyai dan Ibu, bukan berasal dari desa ini.

Kyai Tunggul menghela nafas panjang dan menjawab! “heh…… ada-ada saja, pertanyaan nakmas Indra. Tak kukira, bahwa penglihatanmu sangat tajam. Untuk menjawab pertanyaan nakmas merupakan suatu kisah yang sangat panjang dan berbelit-belit. Tetapi jika tidak kujawab tentunya nakmas akan selalu merasa penasaran. Lagi pula saya telah banyak mengetahui tentang nakmas. Tidak adilah jika sebaliknya tidak mengenal diriku yang sebenarnya.” Ia berhenti sejenak dan melanjutkan berkata:

“Akan tetapi karena kisahku yang lampau erat hubungannya dengan kepentingan rakyat banyak, serta merupakan beban tugas bagimu untuk penyelesaiannya maka kuharap nakmas untuk bersabar hati sampai pada suatu kesempatan yang baik. Ku kuatirkan akan dinding-dinding bertelinga disini. Sebaliknya hal itu janganlah nakmas singgung pada waktu sekarang. Lebih baik kini kita bercerita lain mengenai hal-hal yang ringan yang langsung ada hubungannya dengan nakmas sendiri.”

Percakapan tadi walaupun diseling dengan suara tertawa tapi bagi Indra cukup menjadi perhatian yang menegangkan syaraf angan-angannya. Sebagai seorang ksatrya yang terlatih cepat ia mengusai kembali akan ketenangan dan menekan rasa sifat ingin tahu dalam bathinnya. Ia sempat pula turut bersenyum dan rnengalihkan pembicaraan.

“Aku masih ingat pada uran-uran mijil bapak tadi pagi. Dan hingga sekarang belum menerima jawaban yang tepat. Yang kuherankan, dari manakah bapak tahu tentang nasib yang sedang kualami ini?” Tanya Indra Sambada.

Kyai Tunggul tertawa nyaring “O, itukah yang nakmas tanyakan. Baiklah akan kujelaskan padamu secara jujur.” Kyai Tunggul melanjutkan ceritanya. “Pada waktu almarhum Lurah Somad mendekati ajalnya, sayalah yang dipanggil untuk memberikan pertolongan oleh Tumenggung Sunata karena kebetulan saya berada di rumahnya. Tetapi segala sesuatu itu telah ditentukan oleh Yang Maha Agung. Luka yang dideritanya terlalu dalam, lagi pula keris yang digunakan untuk bunuh diri itu adalah keris pusaka yang ampuh. Maka tak mungkinlah kudapat menolong. Sukmanya telah kembali keasalnya menghadap Dewata Yang Agung. Hanya kata-kata terakhir yang dapat diucapkan kepadaku jelas terdengar” ia berhenti sesaat sambil mengingat-ingat dan kemudian ia melanjutkan.

“Sampaikan baktiku ini kepada Gusti Indra dan semoga ia hidup bahagia. Hanya itulah yang dapat dikatakan untuk kemudian menutup mata selama-lamanya. Sejak peristiwa yang menyedihkan itu terjadi, Nyi Lurah Somad jatuh sakit dan saya pulalah yang diperintah oleh Tumenggung Sunata untuk mengobatinya. Kepadaku dan kepada Tumenggung Sunata Nyi Lurah Somad menceriterakan semua kisah dan perbuatannya, akan tetapi ia menyatakan tidak menyesal karena ia memang menyintai nakmas lndra.

Berulang kali Tumenggung Sunata memperingatkan kepadaku agar rahasia ini jangan sampai bocor. Bahkan beliau berpesan bahwa kelak beliau sendirilah yang akan memberi tahukan semua kejadian ini kepada nakmas indra. Tetapi selanjutnya dengan tidak terduga-duga setelah melahirkan puteranya, Nyi Somad mengambil jalan yang sesat membunuh diri, dengan minum racun. Sampai disinilah saya mengetahui peristiwa itu, yang menyangkut diri nakmas. Sejak itu saya selalu dekat dengan Tumenggung Sunata karena beliau berhasrat untuk belajar dariku dalam ilmu usadha. Dari beliau pulalah saya banyak mengetahui akan kesaktian dan sifat-sifat kesatryaan nakmas lndra.”

“Maafkan, jika sekiranya ceriteraku ini menyinggung perasaan nakmas Indra.” Kyai Tunggul berhenti bicara dan memperhatikan sikap Indra.

“Ah…… sama sekali saya tidak merasa tersinggung pak Kyai,” jawab Indra “bahkan saya merasa berhutang budi pada bapak Kyai. Menghadapi peristiwa yang telah terjadi ini saya ingin minta petunjuk-petunjuk dari bapak, serta jika diperkenankan saya ingin menjadi murid Bapak, untuk mempelajari ilmu usadha, guna menambah pengetahuanku yang sangat dangkal.”



“Jika nakmas sudi menerima nasehatku hendaknya nak mas jangan tenggelarn dalam rasa kesedihan dan kecemasan akan noda yang telah diperbuat, karena hal itu tidak akan membawa manfaat bagi nakmas sendiri, maupun nama Kebesaran Kerajaan. Ingatlah bahwa hanya orang seperti nakmas yang mampu menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan yang besar. Maka pelita semangat berjuang hendaknya jangan dipadamkan, hanya karena sedih. Kesedihan itu bahkan harus menjadi obor untuk menyalakan semangat berjuangmu.

Beban yang masih dihadapi sedang menunggu, dan membentang dihadapan nakmas Indra. Saya sebagai seorang yang telah lanjut usia, hanya dapat memberikan petunjuk-petunjuk saya. Kembalikanlah kepercayaan pada dirimu sendiri, dengan bekal aji kesaktianmu Bandung Bandawasa yang telah kamu miliki dan binalah terus hingga mencapai kesempurnaan.

Tentang hal nakmas ingin mempelajari ilmu usadha yang kumiliki, saya sangat bergirang hati dan bersedia untuk mewariskan kepandaianku yang tidak berarti ini kepada nakmas Indra. Hanya saja nakmas harus menerima petunjuk-petunjuk saya tadi.”

Sampai disini Kyai Tunggul berhenti sejenak dan meneguk air teh yang berada dihadapannya.

“Aduh, kini benar-benar saya menjumpai seorang tua, tak ubahnya seperti orang tuaku sendiri yang dapat meringankan kesedihanku.” dengan nada terharu Indra melanjutkan bicara: “Nasehat bapak semoga menjadi pedoman hidupku kemudian, dan kesediaan bapak menerima sebagai murid, saya merasa berhutang budi yang sukar untuk membalasnya.”

“Ah…. tak usah nakmas merendah diri dan banyak memuji kepadaku. Baiklah hari besok kita lanjutkan. Karena kini telah larut malam, sebaiknya kita beristirahat dahulu agar besok pulih kembali tenaga kita!” Kyai Tunggul memotong kata-kata Indra.

Sebentar kemudian suasana telah sunyi senyap, hanya suara air mengalir deras dari kali Bengawan yang masih tetap terdengar semakin jelas.

RASANYA INDRA SAMBADA semakin lama semakin betah tinggal didesa Ngawi itu. Semula yang sedianya hanya akan tinggal kira-kira sepekan, tapi kini telah setengah bulan lamanya ia masih tetap tinggal di pondok Kyai Tunggul.

Pada siang hari, tiap harinya Indra selalu mengikuti Kyai Tunggul bersama Sujud menjelajah desa-desa dan kota-kota untuk memberikan pertolongan mengobati orang-orang yang sedang menderita sakit atau membagi-bagikan harta ataupun makanan kepada orang-orang yang sangat miskin yang dijumpainya, sedangkan pada malam hari ia tekun mempelajari ilmu usadha dari gurunya, Kyai Tunggul.

Pada dasarnya, ilmu usadha mempunyai tiga pokok pelajaran, pertama mengobati dengan ramuan jampi-jampi yang terdiri daun-daunan, akar-akar serta bermacam-macam bisa dari binatang-binatang dan bahan-bahan lain. Dalam hal ini ia harus rajin menghafal dari kitab usadha sastra.

Bagian kedua pelajaran "sangkal putung" yaitu cara-cara menyambung tulang-tulang patah ataupun membetulkan sambungan tulang-tulang yang terkikir. Sedangkan bagian pokok yang terakhir atau yang ketiga ialah mengobati dengan kekuatan bathin disalurkan ke ujung jari-jari untuk mengurut si penderita, agar jalinan syaraf-syaraf yang lemah dan tidak mau bekerja sebagaimana mestinya dapat digerakkan dan dikembalikan pada tempat jalinan yang benar.

Pun kekuatan bathin itu dapat pula disalurkan liwat pernafasan dan dikeluarkan dengan tiupan pelan kedalam mulut si penderita untuk membantu pernafasan dan menggerakkan jalan-jalan darah ataupun jalinan-jalinan syaraf yang lemah.

Dengan bekal kecerdasan otaknya serta ketekunan, ditambah karena gemar mempelajari ilmu usadha itu, Indra Sambada dalam waktu yang singkat segera dapat menguasai pelajaran-pelajaran yang diterimanya. Dalam menghimpun kekuatan bathin ia tidak perlu mempelajari pelajaran dasar, karena telah dapat dikatakan mahir mendekati kesempurnaan.

Ternyata dalam ilmu menghimpun tenaga bathin tidak ada bedanya dengan pelajaran-pelajaran yang telah dimiliki, ialah merupakan sebagian dari pada ajian Bandung Bondowoso. Hanya penggunaannya yang berlainan. Waktu setengah tahun telah dilaluinya, namun Indra Sambada ternyata semakin betah tinggal dirumah Kyai Tunggul. semakin lama Nyai Tunggul semakin menyayangi Indra Sambada, tak ubahnya seorang ibu yang menyayangi putranya sendiri. Demikian pula Sujud telah menganggap lndra Sambada sebagai kakaknya.

Diwaktu luang Indra Sambada tidak lupa pula memberikan latihan pelajaran dasar bela diri dengan tangan kosong ataupun dengan senjata tajam kepada Sujud. Karena memang anak itu mempunyai bakat, maka cepat pula Sujud dapat menangkap semua pelajaran-pelajaran yang diterimanya. Dengan rajin ia selalu mengulang latihan-latihan yang telah diberikannya.

Kini Indra Sambada telah menguasai dua pertiga bagian dari seluruh ilmu usadha yang dimiliki Kyai Tunggul dengan saksama, hanya saja masih memerlukan pengalaman-pengalaman untuk memahirkan. Satu tahun penuh ia kini telah menjadi murid Kyai Tunggul.

Sebagaimana biasa ia bersama Sujud mengikuti Kyai Tunggul menjelajah sekitar daerah itu pada tiap-tiap hari. Kali ini Kyai Tunggul dengan diikuti oleh Indra Sambada sendiri memakai sampan menyeberangi kali Bengawan mengikuti arus kehilir. Dengan tangkasnya Kyai Tunggul mendayung sampannya ketepi dan menambatkannya pada patok yang berada dipinggir kali Bengawan, dibawah pohon gayam.

Berdua mereka berjalan kaki menuju kesebelah desa yang tidak jauh dari kali Bengawan itu. Tetapi setelah mereka memasuki desa Trinil, nama desa yang dituju, mereka sangat terperanjat melihat keadaan disekitar itu.

Rumah-rumah banyak yang menjadi puing, bekas kemakan api sedang penduduknya satu orangpun tidak menampakan diri. Kyai Tunggul mendahului memasuki sebuah rumah yang kelihatan masih utuh dengan diikuti Indra Sambada. Pintu yang terkunci dibukanya dengan paksa dan mereka segera masuk kedalam. Tetapi alangkah tercengangnya karena ternyata tidak ada penghuninya. Mereka berdua terperanjat setelah sesaat kemudian melihat dua anak setengah telanjang, merangkak keluar dari kolong balai-balai dengan membawa bangkai seekor ayam.

Dengan lemah-lembut Kyai Tunggul dan Indra membujuk agar kedua anak itu mau diajaknya bicara. Satu diantara anak itu ternyata anak lelaki berusia kurang lebih 6 tahun, sedangkan yang satu lainnya adalah anak perempuan berusia tiga atau empat tahun.

Nasi pondoh untuk bekal dalam perjalanan oleh Kyai Tunggul diberikan kepada dua anak tadi dan bangkai ayam yang dipegangnya diminta oleh Kyai Tunggul untuk kemudian dilempar jauh keluar rumah. Anak laki-laki itu memandang kepada Kyai Tunggul dengan penuh rasa heran, sedangkan yang lebih kecil menangis merengek-rengek meminta kembalinya bangkai ayam yang telah dilempar tadi. Tetapi segera mereka berdua duduk berdekatan dan membuka bungkusan nasi pondoh yang tadi diterimanya dari Kyai Tunggul. Mereka lalu makan dengan lahapnya, saolah-olah apa yang baru saja terjadi telah dilupakan.

Indra Sambada pergi kebelakang untuk menimba air dari perigi yang berada dibelakang rumah serta membawanya untuk kemudian dikasihkan kepada anak tadi sebagai air minum.

“Kemana bapak ibumu pergi nak?” Tanya Kyai Tunggul dengan lemah lembut kepada dua anak tadi, setelah mereka selesai makan.

Lama mereka tidak menjawab: “Kemarin bapak dikubur.” jawab kemudian anak lelaki itu dengan singkat.

“Dikubur? Apakah ada yang membunuhnya?” Kyai Tunggul bertanya lagi.

Anak lelaki itu memandang Kyai Tunggul dan Indra Sambada berganti-ganti dan kelihatan mulai menggigil ketakutan. Ia hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya sambil memandang keluar.

“Jangan takut nak.” Indra berkata mendekati anak perempuan yang kecil dengan membelai kepalanya yang berambut panjang.

“Tahukah kau nak? Siapa yang membunuh orang tuamu? Jangan takut-takut kepadaku, aku ini datang untuk menolong kau berdua.” Kyai Tunggul melanjutkan bertanya dengan lemah lembut.

“Orang banyak berkuda datang kemari, membakari rumah dan membunuh bapak. Ibu kami dibawanya lari.”

Mendengar jawaban anak laki-laki itu Indra Sambada sangat terharu. Ia memeras otaknya ingin mengetahui, gerangan siapakah yang sedemikian kejamnya, membabi buta membunuh sesama manusia dan membakar rumah-rumah. Tetapi sulit baginya untuk mendapat jawaban, karena tak ada orang lain yang dapat menerangkan dengan jelas. Indra memegang lengan anak perempuan yang kecil tadi serta memondongnya melangkah keluar rumah.

Kyai Tunggul dengan menggandeng anak lelaki mengikuti pula keluar rumah dan kini mereka bercakap-cakap dihalaman depan.

“Siapa namamu, anak manis?” tanya Indra Sambada kepada anak yang dipondongnya.

Lama anak itu tak mau menjawab tapi setelah pertanyaan itu diulang lagi oleh Indra dengan lemah-lembut hingga dua kali, barulah anak itu menjawab pelan dengan logat ke kanak-kanakan:

“Atinem.” jawabnya singkat.

Anak lelaki yang digandeng Kyai Tunggul menyaut membetulkan ucapan adiknya. “Martinem. Ia adikku.”

“O, Martinem,” Indra mengulang kata yang diucapkan anak lelaki itu. “Dan kau, siapa namamu?”

“Saya Martiman.” anak lelaki itu menjawab dengan jelas.

Sedang mereka bercakap-cakap dihalaman, tiba-tiba seorang kakek-kakek dengan bertongkat keluar dari rumah yang telah hangus sebagian dan hampir roboh itu, dari seberang jalan desa yang membujur didepannya, tidak jauh dari tempat mereka bercakap-cakap. Kakek-kakek itu mengawasi kanan kiri sejenak dengan bas-was dan kemudian jalan sempoyongan mendekati mereka berempat yang sedang bercakap-cakap dihalaman tadi. Setelah agak dekat, Indra sambil memondong Martinem segera bertanya.

“Mbah Kakek! Ada kejadian apa disini?”

“Den bei sekalian dari mana?” kakek-kakek itu tidak menghiraukan pertanyaan Indra, tetapi bahkan menjawab dengan pertanyaan pula.

Kyai Tunggul memotong: “Silahkan bapak mendekat kemari.

Kakek itu menurut apa kata Kyai Tunggul dan segera datang lebih dekat lagi.

“Jangan panggil kami den bei pak. Kami adalah orang tani biasa yang tinggal diseberang Bengawan didesa Ngawi sana.” kata Kyai Tunggul sambil menunjuk kearah utara. “Dan coba tolonglah ceriterakan, ada kejadian apa sebenarnya didesa ini pak?”

“Kemarin malam desa ini kedatangan rampok, yang dikepalai sendiri oleh Kerta Gembong. Mereka datang berkuda lebih dari 15 orang. Semua isi rumah-rumah diangkut, sedangkan yang melawan dibunuh secara kejam sekali. Kiranya tidak hanya sampai disitu saja kekejamannya, mereka lalu membakari rumah-rumah.” kakek tadi bicara sambil menunjuk kearah puing-puing rumah bekas hangus terbakar disekitarnya.

“Orang-orang yang masih hidup melarikan diri mencari keselamatan masing-masing. Lima enam penduduk yang ditangkap dipesan supaya menyampaikan kepada yang lain agar penduduk disini mengungsi jauh-jauh, karena tiga hari lagi mereka akan menetap didesa Trinil ini.” Kakek itu berhenti berbicara sebentar dan kemudian melanjutkan Iagi. “Hanya saya sendirilah yang ketinggalan disini, karena tidak tahu akan mengungsi kemana. Dan saya juga tidak tahu bahwa anaknya Jayadipa itu, masih juga ketinggalan disini.” berkata demikian kakek-kakek itu memandang kedua anak tadi.

“Lalu pak Jayadipa sendiri sekarang berada dimana pak?” tanya Kyai Tunggul.

“Begini nak, Jayadipa itulah yang menyebabkan adanya banyak korban. Ia sedianya menolong tetangganya dengan mengadakan perlawanan., mungkin karena tidak tahu bahwa rampoknya banyak jumlahnya. Ia dibunuh dengan kejam sekali oleh para rampok tadi dan istrinya dibawa lari”

Kyai Tunggul dan Indra Sambada saling berpandang-pandangan, setelah mendengarkan cerita kakek-kakek tadi.

“Mbah, siapakah sebenarnya Kerta Gembong itu? Dan orangnya bagaimana?” lndra bertanya lagi.

“Apakah belum pernah mendengar nama Kerta Gembong.” kakek-kakek menjawab. “Wah, dia itu namanya telah tersohor sebagai kepala rampok yang menakutkan, jangankan penduduk desa, sedangkan den Demang Jlagran yang sakti saja takut mendengar nama Kerta Gembong. Ia kabarnya kebal, tidak mempan dibacok dengan klewang, dan yang lebih menakutkan lagi ia seperti dapat menghilang seperti siluman.”

Indra Sambada semakin bingung mendengar jawaban tadi. Nama Kerta Gembong ia belum pernah mengenalnya. Kini ditambah dengan nama yang baru lagi baginya seorang sakti yang bernama den Demang Jlagran.

“Lalu simbah tidak mengungsi, apakah tidak takut?”

“Saya ini sudah tua, berjalan kaki terlalu jauhpun tidak mampu, jadi menyerah pada nasib, nak.” berkata demikian kakek itu sambil menundukkan kepalanya, ia melanjutkan: “Sebaiknya anak berdua besuk jangan berada disini, karena mereka besuk siang entah malam hari tentu datang kemari.”

“Bagaimana pendapat bapak?” tanya Indra kepada Kyai Tunggul.

“Sebaiknya kita pulang saja dengan membawa dua anak ini. Biarlah mereka nanti dirawat oleh ibumu.” jawab Kyai Tunggul dengan tegas. “Marilah kita pulang sekarang.” sambil berkata demikian Kyai Tunggul memberi isyarat kepada Indra untuk segera meninggalkan tempat itu.

Mereka berdua dengan memondong dua anak tadi segera berpamitan kepada kakek-kakek itu untuk meninggalkan desa Trinil. Kakek-kakek itu mengawasi Kyai Tunggul dan Indra sebentar, kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata.

“Hati-hati diperjalanan nak, dan semoga Dewata melindungi kita semua.”

Dengan kata-kata terakhir dari kakek tadi sebenarnya Kyai Tunggul agak merasa heran. Bukankah kakek sendiri yang berada dalam bahaya, dan harus berhati-hati, tapi mengapa justru ia dengan Indra yang dikuatirkan dengan pesan yang hati-hati diperjalanan? Rasa heran tadi disimpan didalam hatinya.

Kyai Tunggul dengan menggandeng Martiman berjalan, diikuti oleh Indra dengan memondong Martinem meninggalkan desa Trinil, menuju ketebing kali Bengawan dimana sampannya ditambatkan. Mereka berjalan dengan tidak berbicara sepatah katapun. Kini Martinem ternyata tidur nyenyak dalam pondongan Indra. Terasalah teriknya matahari, karena tak ada pohon yang dijumpainya dalam perjalanan setelah meninggalkan desa Trinil. Yang ada hanya tegalan luas dengan tanam-tanaman palawija yang kelihatan baru saja ditanamnya.

Mereka menuruni tebing kali Bengawan untuk kemudian tiba dipohon gayam tadi. Tiba-tiba ada orang berkelebat meloncat kebawah dari atas pohon, langsung menyerang Kyai Tunggul yang sedang menggandeng Martiman dengan bacokan klewang. Sekalipun serangan tadi dilakukan secara tiba-tiba, tetapi ternyata Kyai Tunggul dengan mudah dapat menghindar. Tangan kirinya mendorong Martiman kesamping sedang ia sendiri menjatuhkan diri berjumpalitan kemuka.

Setelah penyerang gelap tadi rnenemui sasaran kosong, dengan cepatnya bangkit dan menerjang kembali dengan bacokan klewangnya kearah Kyai Tunggul yang sedang berjumpalitan menjatuhkan diri. Namun kembali Kyai Tunggul menyambut serangan tadi dengan tendangan kaki kanannya kearah lambung lawan, yang tepat mengenai sasaran.

Penyerang gelap segera jatuh terduduk kebelakang, tetapi segera bangkit dan melompat kesamping kiri untuk menghindari datangnya pukulan Kyai Tunggul yang menyusul. Indra Sambada masih memegang erat-erat Martinem yang dipondong dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya siap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan datang.

Kiranya Martiman yang didorong dengan tangan kiri oleh Kyai Tunggul tadi jatuh terperosok kesamping, sehingga mukanya berlepotan tanah. Martiman lari kebelakang mendekati Indra Sambada dengan badannya menggigil karena takutnya. Bersamaan dengan meloncatnya penyerang gelap kesamping kiri, menyusul penyerang gelap kedua meloncat dari balik pohon gayam. langsung menyerang Indra Sambada dari arah belakang. Martiman berteriak terkejut. Tetapi Indra Sambada adalah perwira tamtama yang mendapat gelar "Banteng Majapahit”.

Sejak penyerang pertama tadi menyerang Kyai Tunggul, ia telah bersiap siaga. Secepat kilat Indra Sambada membalikkan badannya, dengan sikap merendahkan badan. Tangan kanannya menjulur, menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang sedang mengayunkan klewang kearah kepalanya, lalu ditarik kuat-kuat disusul dengan kaki kirinya bergerak melancarkan tendangan yang tepat mengenai perut orang yang menyerang itu. Tak ayal Iagi, si penyerang jatuh terkulai ditanah dan jatuh tiada sadarkan diri, dengan hanya satu gebrakan saja. Tak kuat ia menerima tendangan yang disertai tenaga dahsyat, padahal Indra Sambada justru sengaja hanya mengkira-kira separo dari tenaganya.

Melihat lawannya yang jatuh tak sadarkan diri, segera Indra Sambada memalingkan kepalanya untuk mengikuti jalannya perkelahian antara Kyai Tunggul dengan penyerang yang pertama tadi. Tetapi ternyata aneh sekali. Penyerang gelap pertama setelah melihat kawannya jatuh dan tidak sadarkan diri cepat meloncat meninggalkan gelanggang dan lari untuk kemudian terjun dikali Bengawan yang airnya deras mengalir.

Ternyata penyerang pertama mempunyai kemahiran berenang. Ia menampakkan dirinya diatas permukaan air, setelah jauh mengikuti derasnya arus air yang membawanya.

Kyai Tunggul segera mendekati Indra Sambada yang sedang berjongkok memegang pergelangan tangan penyerang yang pingsan tadi, dengan Martinem yang telah terbangun menangis meronta-ronta dalam pondongannya. Berdua mereka menyeret orang yang tak sadarkan diri tadi mendekati perahu sampannya, dan Martiman mengikuti dibelakangnya.

Dengan tali pengikat perahu sampan, orang yang tak sadarkan diri itu segera diikat kedua tangannya kebelakang dan dinaikkan dalam perahu. Setelah semua berada diatas perahu sampan, Kyai Tunggul mengambil air kali dengan kedua tangannya dan disiramkan kearah mukanya orang tersebut, yang sesaat kemudian terbangun kembali sadar. Ia bangkit perlahan-lahan dan berusaha duduk dengan kedua tangannya yang masih terikat erat kebelakang.

“Jangan kau berusaha melarikan diri, bila kau masih ingin hidup dan ikuti semua perintahku.” bentak lndra Sambada kepada orang yang terikat itu.

“Ampun den, saya hanya disuruh, dan tidak tahu apa-apa.” jawab orang itu dengan menggigil ketakutan, dan kemudian diam dengan menundukkan wajahnya.

“Untunglah nakmas Indra Sambada ada disampingku, jika tidak tentu namakulah yang kembali dan tidak dapat bergurau lagi dengan Nyai.” Kyai Tunggul memecah kesunyian dengan tersenyum lebar.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment