Ads

Sunday, February 6, 2022

Pendekar Majapahit 006

“MENJUNJUNG TITAH Gusti hamba Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra, hamba berdua diperintahkan rnenjemput Gusti Tumenggung Manggala Indra, untuk menghadap segera kehadapan Gusti Senopati di Istana Senopaten” Kata-kata tersebut diucapkan oleh seorang diantara yang dua Tamtama pengawal Senopaten, yang, baru saja tiba, setelah turun dari kudanya masing-masing dan dengan langkah tegap menemui Indra Sambada dipendapa tempat kediamannya.

Kata demi kata diucapkan dengan jelas dan ditutup dengan sembah sebagai penghormatan. Dengan sikap tegap kedua Tamtama menunggu jawaban dari Indra Sambada.

Sesaat Indra Sambada diam bagai patung, penuh diliputi pertanyaan dalam kalbunya, akan isi maksud dari panggilan yang tidak diduga terlebih dahulu. Tetapi ia sebagai seorang satrya yang terlatih sempurna segera dapat menguasai dirinya.

“Tunggulah diluar! saya akan berkemas dan segera bersamamu menghadap Gusti Senopati.” Jawaban itu diucapkan singkat dan tegas, setelah mana Indra masuk kedalam untuk ganti dengan pakaian kebesaran sebagai Manggala Muda Tamtama.

Kereta berkuda empat dengan kusirnya telah siap pula dihalaman depan, menanti perintah selanjutnya. Tidak lama kemudian Indra Sambada langsung naik dalam kereta. Kusir segera menggerakkan cambuknya dan terdengarlah suara cambukan mengampar di udara sabagai tanda aba-aba kepada dua pasang kuda yang menarik Kereta.

“Cepat!” perintah Indra kepada kusir.

Kereta berjalan dengan laju, melalui jalan besar yang menuju ke MojoAgung, dengan didampingi oleh dua tamtama pengawal Senopaten, berkuda disamping kanan kiri.

Waktu itu menjelang tengah malam. Awan tebal menggantung diangkasa. Bintang satupun tidak nampak kelihatan, namun hujan tidak turun juga. Sebentar-sebentar terdengar guntur menggelegar diangkasa dan mengumandang jauh. Suasana disekelilingnya sunyi dan gelap gulita. Tetapi sang kusir kiranya telah faham sekali akan liku-likunya jalan yang harus dilalui.

Tiada seorangpun yang berbicara diperjalanan. Indra Sambada diam dalam kereta dengan rasa penuh kecemasan. Gerangan apakah yang menjadi sebab, hingga ia dipanggil untuk menghadap Sang Senopati pada tengah malam ini? pertanyaan itu selalu mengiang dalam angan-angannya. Tetapi tetap merupakan pertanyaan yang tidak dapat diljawab olehnya sendiri.

Dalam pasewakan agung siang tadi, ia baru saja berjumpa pula dengan Gusti Harya Banendra. Bahkan ia berkenan menerima pujian dan tanda jasa atas hasil yang gemilang dalam menunaikan tugasnya ialah menundukkan geromblan besar bajak laut Cina di Pontianak itu.

Setelah mendapat ketenangan sejenak ia mengatur pernapaan dan segera bersemadi untuk mendapatkan kekuatan bathin serta sinar penerang dari Yang Maha Agung. Sesaat dalam semadinya ia melihat Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra sedang duduk bersila dengan wajah yang muram dalam lamunannya. Kini ia tahu bahwa ada persoalan yang sangat rumit didepannya, tetapi soal apa, tetap ia belum dapat menebaknya.

Ia berusaha selalu untuk menenangkan dirinya dengan berulang-ulang bersemadi. Entah berapa lama sudah perjalanan yang telah ditempuhnya. Dengan keadaan dibawah sadar karena lamuaan, kini kereta telah memasuki Istana Senopaten alap-alaping ayudha.

Suara aba-aba dari Tamtama Istana yang memberi penghormatan padanya membuat ia terbangun dari lamunannya dan menyadarkan dirinya kembali. Pintu kereta dibuka oleh Tamtama pengawal dengan penghormatan yang layak dan Indra Sambada segera bangkit dari tempat duduk untuk kemudian turun dari keretanya. Ia menyambut penghormatan Tamtama pengawal, dengan anggukan acuh tak acuh. Dan dengan langkah yang lebar ia memasuki pendapa agung dan langsung menuju keruangan tamu dalam Istana.

Gusti Harya Banendra kiranya telah duduk bersila menantikan kedatangannya. Setelah Indra Samhada menghaturkan sembahnya dengan penuh hormat, segera ia mengambil tempat duduk dihadapan beliau, dengan muka tertunduk.

“Hamba Indra Sambada memenuhi titah Gusti Hamba, telah menghadap.” Itulah kata-kata yang dapat diucapkan oleh lndra Sambada, dan kembaIi ia menundukkan mukanya.

Suasana sunyi sesaat, Sang Senopati tidak segera menjawab. Beliau memandang kearah Indra Sambada dengan sinar mata yang tajam. Terasalah oleh Indra Sambada suatu kekuatan perbawa yang disalurkan melalui sinar pandangan, bagai tajamnya pisau yang menyayat menembus keulu hatinya. Cepat Indra Sambada bersemadi untuk memantulkan kembali kekuatan sinar pandangan yang diterimanya dan tidak lama kemudian Indra mendengar helaan nafas panjang dari Gusti Harya Banendra.

“Indra Sambada,” pelan tapi cukup jelas Gusti Harya Banendra mulai bicara dengan nada yang berat “Panggilan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugasmu, tetapi semata mata sebagai ayah yang ingin mengetahui isi hati dari seorang putranya.” Beliau diam lagi sejenak dan kembali menghela napas yang dalam.

Kini Indra Sambada semakin tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh beliau. Ia mencoba meraba-raba isi maksud kata-kata Sang Senopati, tapi tetap tidak dapat menjawabnya.

“Ketahuilah, wahai Indra,” demikian beliau melanjutkan kata-katanya, “sejak kau pada waktu pertama kali menghadap, aku telah menjelaskan padamu, bahwa dalam hatiku kau kuanggap sebagai puteraku sendiri, dan kiranya memang harus demikian karena mengingat hubungan kekeluargaan mendiang almarhumah Ibumu. Maka adalah seharusnya kau berterus terang padaku dengan tidak usah menyembunyikan sesuatu rahasia, rasa malu atau segan terhadapku. Sebagai ayah, aku selalu berusaha untuk membimbing kau agar kelak menjadi seorang ksatrya yang dapat menjadi suri tauladan bagi lain-lainnya. Tetapi kiranya harapanku ini, kau tidak memperdulikan.” Kembali beliau diam sejenak dan menghela napas.

Kata-kata terakhir dirasakan oleh Indra Sambada sebagai petir yang menyambar kepalanya. Hampir-hampir ia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kini dirasakan semakin tambah gelap dan pekak, karena sama sekali tidak tahu apa yang dimaksudkan beliau.

“Ramanda, Gusti hamba.” Indra memotong kata-kata beliau dengan menyembah. “Hamba belum juga dapat menangkap isi maksud titah Gusti. Apabila hamba berbuat sesuatu kesalahan, yang kiranya tidak hamba sadari, dan dapat diampuni, hamba bersedia untuk menerima pidana dari Gusti Hamba dengan tulus iklas. Tetapi agar hamba tidak merasa penasaran, kiranya perkenankanlah hamba mohon penjelasan tentang kesalahan yang hamba telah perbuat itu.” Ia kembali menundukkan mukanya, dengan hati yang berdedar-debar menunggu jawaban Sang Senopati.

“Sungguh aneh, apabila kau tidak tahu kesalahanmu.” Sang Senopati melanjutkan bicaranya dengan nada penuh kemarahan. “Sungguhpun perbuatanmu itu tiada pidana yang menghukummu, namun perbuatanmu adalah suatu perbuatan yang terkutuk. Ketahuilah, bahwa siksaan bathin akan merupakan nestapa yang lebih berat dari pada pidana lahir yang di terima hanya memenuhi hukum praja.”

Secepat beliau melontarkan kemarahannya, secepat itu pula berubah tenang kembali dan melanjutkan kata-katanya dengan nada yang berat, penuh rasa penyesalan.

“Yah……. mungkin juga kau tidak sadar akan perbuatanmu itu.”

Sang Senopati segera menceritakan riwayat mala petaka yang menimpa keluarga ki Lurah Somad. Tiga bulan yang lalu ki Lurah Somad meninggal dunia karena bunuh diri dengan keris pusakanya, dan satu bulan kemudian Nyi Lurah Somad menyusul suaminya bunuh diri pula dengan jalan minum racun.



Anak yang baru lahir ditinggalkan dengan sepucuk surat tertuju pada Indra Sambada yang isinya menyerahkan anak itu kepada Indra Sambada sebagai ayahnya yang sesungguhnya. Suatu fitnah yang amat keji dan sangat kejam terhadap dirinya. Dan…. suatu fitnah yang amat sukar untuk disanggahnya. Sama sekali ia tak menduga, bahwa Sawitri yang ia anggap dengan tulus ikhlas seperti ibunya sendiri dapat berbuat sekejam itu.

Ia lebih rela untuk menerima tikaman tajamnya ujung pedang yang bersarang di ulu hatinya, ataupun tertancapnya seribu anak panah di sekujur badannya dalam medan Yudha dari pada terkena fitnah yang demikian. Akan tetapi…… apa daya. Dengan kata-kata saja tak mungkin ia dapat membantah tuduhan yang amat keji terhadapnya.

Bahwa ia mencintai Sawitri Nyi Lurah Somad memang benar. Dan ini diakuinya, akan tetapi cinta sebagai anak terhadap ibunya, untuk berbuat yang demikian jauh sebagaimana dituduhkan padanya, ia tak mungkin sampai hati. Budi baik dari Ki Lurah Somad dan kasih sayang dari Sawitri, melebihi dari segala-galanya. Semua itu selalu terngiang-ngiang.

Hatinya bergolak, namun tenggorokannya terasa kering dan tersumbat. Pandangan matanya menjadi kabur berkunang kunang. Hampir indra Sambada jatuh pingsan setelah mendengar dengan jelas apa yang telah terjadi atas keluarga Ki Lurah Somad. Dirasakannya kepala sangat pening, badan melayang ringan. Ia tak mampu menahan terkulainya badan.

Sebagai seorang Senopati Manggala Yudha yang berilmu tinggi, beliau segera dapat membaca isi hati Indra Sambada. Dengan kekuatan bathin yang disalurkan melalui getaran suara beliau segera dapat menyadarkan Indra Sambada. Kini beliau berbicara dengan penuh rasa haru.

“Indra putraku segala sesuatu telah terjadi. Menyesal dikemudian tak ada artinya. Yang penting adalah pemikiran untuk selanjutnya, dan akibat kesalahan yang kau perbuat hendaknya menjadi cambuk untukmu dalam menunaikan tugasmu sebagai seorang ksatrya. Ketahuilah, bahwa rahasia ini sesungguhnya hanya aku dan Tumenggung Sunata yang tahu. Kepada Sunata telah kuperintahkan untuk menutup rapat akan rahasia ini, demi menjaga nama baikmu, karena noda yang kau miliki adalah nodaku pula.”

“Gusti hamba yang pantas hamba junjung” Indra Sambada berkata dengan mata berlinang menahan keluarnya air mata, “Hamba menyerahkan diri, dan pidana apapun yang akan dilimpahkan akan hamba jalani dengan tulus iklas. Hamba tidak akan dapat tenang, sebelum menerima pidana dari Gusti hamba.” Ia tak dapat berkata lain daripada itu.

Sedikitpun ia tak akan membantah fitnah yang amat keji, sebelum ia dapat membuktikan kebersihannya dengan menemukan ayah anak Sawitri yang sebenarnya. Ia telah bertekad untuk menelan mentah-mentah semua tuduhan keji, demi menguji ketabahan diri, serta untuk menebus noda-noda yang mengotori dirinya.

“Cukup, cukup!” Sang Senopati memotong pembicaraan Indra Sambada. “Kini aku tahu bahwa kau telah mengakui kesalahanmu dengan ketulusan hatimu dan penuh penyesalan. Sedikitpun aku tidak ada niat untuk menjatuhkan pidana kepadamu. Hanya permintaanku, kesalahan yang telah kau lakukan tak terulang lagi.”

Dengan menyembah dan mencium lututnya Sang Senopati, Indra Sambada berkata “Budi kebaikan Gusti hamba yang tak ternilai, hamba tidak akan mampu membalasnya. Kini perkenankan hamba mengundurkan diri serta sembah hamba mohon disampaikan Gusti Ayu.” Indra Sambada segera bangkit dan meninggalkan Istana Senopaten.

Dikala itu telah menjelang fajar. Awan gelap yang menggantung diangkasa kini telah tak nampak lagi, kiranya angin menyapu bersih, hingga langit kelihatan biru cerah penuh dengan bintang-bintang yang bergemerlapan.

Sampai dirumah Indra segera masuk dikamar tidurnya. la merebahkan diri, tetapi sedikitpun rasa kantuknya tidak ada. Ia duduk kembali untuk kemudian bersemadi, mohon ampun kepada Sang Maha Agung. Tetapi wajah Nyi Lurah Somad masih selalu nampak mengganggunya dalam ia bersemadi. Terkenanglah ia kembali akan ketulusan budi Nyi Lurah Somad pada waktu yang lampau. Berulang-ulang surat wasiat itu dibacanya.

“Yaa……. akupun sesungguhnya menghormati kau. Akan tetapi, mengapa kau demikian kejam terhadapku” bisik suara hatinya. Akan tetapi…. untuk menghilangkan rasa kebaikan budinya, ternyata tak mudah sebagaimana ia kehendaki.

“Andaikan aku tak menetap dirumah Ki Lurah Somad malapetaka ini tentu tak akan terjadi” pikirnya. Dan kemudian dengan pelan ia mengucapkan doa untuknya: “Semoga Dewata Yang Maha Agung Mengampuni dosa dan kesesatanmu!” Pada dirinya sendiri ia berjanji, bahwa ia akan menutup rapat rahasia ini, walaupun ia harus mengorbankan nama baiknya. Dan iapun harus pula dapat menemukan ayah anak Sawitri yang sebenarnya.

Akan tetapi bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk menginasyafkan serta membimbingnya ke arah yang benar, demi kelangsungan hidup dan nasib anak malang yang kini dituduhkan sebagai anaknya sendiri itu.

Suara ayam jantan sayup-sayup terdengar saut menyaut dari jauh yang kemudian lebih jelas terdengar karena diikuti oleh suara Ayam-ayam jantan yang berada disekitar kediamannya, suatu tanda bahwa sebentar lagi fajar akan menyingsing.

Hari berganti siang, dan siang telah berganti malam. Indra Sambada masih saja tenggelam dalam lamunannya. Satu hari tadi hidangan makanan yang disediakan untuknya, sedikitpun tidak dijamah. Pesan ayah dan Guru Pendetanya kini mengumandang kembali dalam lamunannya.

“wahai lndra keluhuran manusia ditentukan oleh budi pekerti dan perbuatannya, bukan karena darah keturunan ataupun pangkat yang dipangkunya. Sungguhpun perbuatan manusia selalu ada khilafnya karena memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi tiap-kekilafan hendaknya cepat disadari dan segera diimbangi dengan perbuatan-perbuatan amal kebajikan, sebagai mana kau pelajari dalam kitab Niti.”

Getaran suara dalam lamunan itu merupakan pelita dalam kegelapan. Segera Indra Sambada sadar kembali. Dengan ketetapan hati ia berniat akan meninggalkan sementara, segala kemewahan dan kenikmatan hidupnya untuk mengembara menyebar amal kebajikan serta mencari tambahan ilmu. Serta untuk mencari jejak siapa pembunuh keluarga Ki Lurah Somad dan yang telah menfitnahnya.

Dengan tidak ragu-ragu lagi ia menulis sepucuk surat tertuju kepada sang Senopati Gusti Harya Banendra, yang isinya, ia mohon untuk diperkenankan menanggalkan pangkat Tamtamanya, dan akan mengembara selama 3 tahun sebagai penebus dosa yang telah diperbuatnya, pula untuk rnencari ilmu yang lebih mendalam.

Sebagai penutup kata ia mohon doa restu dari beliau dan segenap priyagung Kerajaan, dengan berjanji akan tetap menjunjung tinggi janji pastinya “panca setia Tamtama” sebagai seorang Tamtama Kerajaaan. Kelak apabila diijinkan ia akan kembali dalam pangkat dan kedudukannya. Surat yang telah ditutup rapat segera diberikan pada Lurah Tamtama Sampar, seorang kepala penjaga Senopaten kediamannya, yang menjadi kepercayaannya, dengan pesan agar besok setelah fajar merekah disampaikan pada alamatnya.

Lurah Tamtama Sampar berbadan tegap serta berwajah tampan. Ia adalah seorang pendiam dan amat rajin dalam melakukan tugasnya. Karena jasa-jasanya dan selalu menunjukkan kesetiaannya, ia diangkat sebagai Kepala pengawal Senopaten serta merangkap sebagai pembantu pribadi Indra Sambada, dengan pangkat Lurah Tamtama.

Untuk tidak mencurigakan ia meninggalkan tempat kediamannya pada malam itu dengan berkuda. Ia berpakaian ringkas sederhana dengan membawa uang mas dinar dan berlian milik sendiri sekantong penuh, akan dibagikan kepada rakyat miskin yang dijumpainya dalam pengembaraan. Keris pusakanya tidak ketinggalan pula diselipkan dipinggang kiri.

Ditimur sejauh mata memandang, matahari mulai terbit memancarkan sinar emasnya dengan warna ke merah-merahan. Tanda fajar pagi telah menyingsing. Suara burung-burung berkicau didahan pohon yang rindang terdengar sebagai irama alam. Angin basah meniup pelan, membuat hawa sejuk segar. Pepatah mengatakan, seribu pujangga tak akan mampu melukiskan dengan sempurna keindahan alam diwaktu fajar. Pada hal ini hanya merupakan debu percikan dari pada Kebesaran Tuhan yang Maha Esa.

Indra Sambada turun dari kudanya dan menambatkan dipohon yang berada ditepi jalan. Ia duduk ditanah rumput dan bersandar pada pohun munggur yang rindang, untuk melepaskan lelahnya. Semalam suntuk ia berkuda mengikuti lereng-lereng pegunungan Kendeng, dan kini ia telah sampai dikaki Gunung Pandan, diujung desa Rengga. Tidak ingat lagi berapa desa ia telah melaluinya.

Belum juga ia sempat mengatur nafas untuk bersemadi, tiba-tiba dari jauh sayup-sayup terdengar suara orang bersenandung merdu sekali. Sungguhpun suara hanya terdengar samar-samar, namun kata demi kata dalam rangkaian tembang itu terdengar jelas sekali.

Dapat diperkirakan bahwa orang bersenandung itu tentu mempunyai kesaktian ilmu yang tinggi dalam mengirimkan suara dari jarak jauh. Semakin lama suara itu terdengar semakin mendekat, dan lebih jelas lagi. Lelahnya lenyap seketika, karena pusat perhatian Indra kini diarahkan kesuara lagu tembang mijil, yalah lagu nyanyian rakyat jelata yang datang dari kejauhan tadi.

Dengan jelas ia mendengar bahwa rangkaian kata-kata sederhana dalam tembang mijil itu, merupakan sindiran langsung baginya. Peristiwa yang sedang dialaminya, diuraikan lewat dendang yang merdu itu. Pada lagu bait ketiga, baru ia mengetahui bahwa asal suara adalah dari orang yang berada didalam gerobag pedati, yang kini berjalan pelan menuju kearahnya. Ditengah suara orang yang sedang bersenandung, terdengar pula suara anak kecil yang sedang mengemudikan sepasang sapi yang menarik pedati itu.

“Ja… jak…… jak…… her!”

“Ayoooooooooohh……..!” dan sebentar-sebentar diselingi suara cambuk yang diayunkan dengan tangkasnya.

“Tar,tar!”

Gerobag pedati berjalan terus menuju kearahnya, dan kini jarak dari padanya tinggal kurang lebilt lima puluh indak lagi. Suara orang yang bersenandung masih tetap mengalun dan kini tiba pada bait keempat.

Tergeraklah hatinya ia ingin tahu orang yang sedang berdendang dalam gerobag pedati itu, Indra Sambada segera bangkit berdiri untuk memperhentikan jalannya gerobag pedati.

“Bapak yang berada didalam gerobag! Sudilah kiranya memberhentikan gerobagmu sebentar! Saya ingin turut menumpang dalam gerobagmu!”

“Silahkan jika mau. Saya tidak berkeberatan,” demikian jawaban orang dari dalam pedati dengan singkatnya.

“Tolonglah tunggu sebentar pak! saya akan melepaskan tambatan kudaku lebih dahulu.”

Gerobag pedati berhenti, dan Indra segera melepaskan tambatan kudanya. Ia menuntun kudanya dan untuk kemudian mengikatnya dengan tali lis dibelakang gerobag itu. Dengan satu lompatan Indra Sambada telah berada didalam gerobag pedati dan segera mengambil tempat duduk diatas jerami kering yang berserakan berada didalam gerobag itu.

“Maafkan, siapakah nama Bapak jika saya diperkenankan bertanya?” Dengan penuh kesopanan Indra Sambada mulai bicara.

“0... Raden, nama saya sebenarnya tidak ada artinya, tapi orang-orang yang mengenalku rnenamakan diriku Kyai Tunggul” Jawab Kyai Tunggul dengan tenangnya.

“Bapak Kyai Tunggul!” Indra mengulangi kata-kata itu: “Maafkan saya yang sangat bodoh, pak Kyai. Nama bapak Kyai telah terkenal luas, dan saya pernah pula medengar nama kebesaran bapak Kyai dari kangmas Sunata, tetapi karena belum pernah berjumpa sendiri, maka maafkan lah atas kekilafan saya ini.” Indra Sambada berkata sambil menundukkan mukanya sebagaimana lazimnya seorang muda menghormati orang tua.

“Ah, Raden tidak perlu menghormat saya secara demikian. Bahkan seharusnya sayalah yang menghormati Raden, karena berpangkat tinggi. Sebutlah saya untuk seterusnya Bapak saja, tak usah memakai sebutan-sebutan lain” Kiai Tunggul memotong.

“Jika demikian sebaiknya bapak memanggil saja cukup dengan nak Indra, agar sayapun tidak merasa canggung karenanya. Tadi jika saya tidak salah dengan bapak bersenandung tembang mijil, yang isinya adalah merupakan sindiran langsung bagi diri saya. Dari manakah bapak mengetahui akan kisah saya yang memilukan itu ?”

“Oh, itu. Maafkan terlebih dahulu anakmas, apabila nakmas merasa tersinggung akan uran-uran saya tadi. Sebenarnya saya melihat nakmas dari jauh sebagai orang yang sedang sedih dirundung malang, lalu saya melagukan mijil dengan khayalan yang tidak menentu arah dan artinya”.

“Akan tetapi itu semua bukan hayal pak! dari bait pertama sampai terakhir adalah sungguh-sungguh terjadi pada diriku,” Indra Sambada tak sabar menunggu pembicaraan Kjai Tunggul yang belum selesai itu dan segera memotongnya.

“Ah……. janganlah soal itu dipersoalkan nakmas, orang hidup sebaiknya memikirkan kelanjutannya, dan bukan hal-hal yang telah terjadi.”

Kyai Tunggul usianya mendekati enam puluh tahun. Orangnya kurus dan tingginya sedang. Karena tidak memakai baju atas, maka kelihatan tulang-tulang iganya menonjol. Ia memakai celana hitam panjang sampai dibawah lututnya. Kain Sarung yang dilipatkan diperutnya telah kumal pula Ikat kepalanya hitam. Kumis dan jenggotnya putih beruban dan tumbuh jarang-jarang sekali, panjang tidak terumat, sinar matanya bersih dan tajam. Kyai Tunggul terkenal sebagai dukun akhli mengobati bermacam-macam penyakit.

Namanya telah tersiar luas hingga dikota Kerajaan. Sering pula ia didatangkan oleh para bangsawan yang berpangkat tinggi di Kerajaan untuk mengobati dan pada umumnya ia selalu berhasil dalam menunaikan amalnya.

Tapi ia mempunyai sifat-sifat yang sukar dimengerti. Para bangsawan yang memberi upah padanya, banyak pula yang ditolak, tapi ada pula, yang diterima dengan riang hati.

OLEH Gusti Harya Banendra, Kyai Tunggul pernah pula akan diberi pangkat dan kedudukan sebagai dukun di Senopaten, akan tetapi ia tidak mau menerimanya, dengan alasan ingin hidup bebas. Upah-upah yang diterimanya dari pada para bangsawan sebagian besar dibagi-bagikan pada rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Ia tinggal bersama Nyai Tunggul dan anak angkatnya bernama Sujud yang selalu mengikuti dalam perjalanan itu, didesa Ngawi ditepi kali bengawan.

“Jud, tamu kita ini mempunyai pangkat tinggi sekali di Kerajaan, maka kau harus segera memberi sembah kepadanya” Kata Kyai Tunggul kepada anak angkatnya.

Sujud yang sedari tadi mengamat-amati Indra Sambada segera membetulkan duduk bersilanya dan menyembah dengan rasa penuh hormat. Tapi Indra Sambada segera mendekati dan memegang kedua belah tangan Sujud serta berkata.

“Adikku manis, jangan kau menyembah kepadaku. Anggaplah aku kakakmu sendiri dan selanjutnya panggillah aku dengan kangmas atau kakang saja,” Sujud segera menggagalkan sembah sujudnya dan duduk dengan mulut ternganga, karena tidak tahu apa yang harus ia diperbuat. Ayahnya memerintahkan menyembah tapi tamunya menolak untuk diberi sembah sebagai penghormatan.

Kepalanya yang dicukur gundul dengan kuncung didepan dipegangnya oleh Indra Sambada dengan belaian mesra. Anak itu usianya kira-kira 11 tahun, badannya kokoh kuat. Ia bertubuh pendek agak gemuk, dan mukanya bulat dengan wajah yang masih kekanak-kanakan. Di lengan kirinya nampak jelas sebuah tai lalat, berbentuk bundar sebesar ibu jari kaki, berwarba merah kehitam-hitaman.

“Ya, baiklah panggil saja kangmas kepada tamu kita itu, Jud! Kiranya tamu kita ini baik sekali dan tidak mau memakai adat kebangsawanannya.” Kyai Tunggul berkata kepada anaknya.

Sebentar saja Indra Sambada telah bergaul bebas dengan kyai Tunggul dan Sujud anaknya. Dengan tidak ada rasa canggung lagi Kyai Tunggul memperlakukan Indra sebagai keluarga. Demikianpun Sujud melancarkan pertanyaan yang lucu bertubi-tubi kepada Indra yang selalu dijawab oleh Indra dengan riang hati.

“Sebaiknya nakmas nanti singgah dipondok saya barang sepekan atau lebih untuk mengenal desa kita. Nyai tentu sangat bergirang hati, apabila nakmas sudi singgah dipondok kita.” Demikian usul kyai Tunggul pada Indra Sambada.

“Saya mengucapkan banyak terima kasih, akan kebaikan budi Bapak Kyai” jawab Indra Sambada.:”Sesungguhnya sayapun memang akan bermaksud demikian, kiranya bapak Kyai selalu dapat menebak tepat isi hatiku.”

“Ah… nakmas selalu memberikan pujian terlalu tinggi.” Kyai Tunggul menjawab dengan rendah hati. “Jud, sebaiknya kau keluarkan sekarang saja bekal makanan kita, perutku terasa Iapar sekali. Mari Nakmas kita dahar pagi bertiga.”

Mereka bertiga segera makan dengan lahapnya. Nasi pondoh atau nasi jagung dibungkus dengan daun jati dan lauknya tempe bacem. Dalam sekejap saja, enam bungkus nasi pondoh telah lenyap, tinggal daun bungkusnya. Indra Sambada yang sudah dua hari tidak makan, kini merasakan akan lezatnya makanan sederhana yang dihidangkan itu.

“Nakmas kelihatan sangat letih,” Kyai Tunggul mulai membuka pembicaraan kembali.

“Tebakan bapak sangat tepat karena saya telah dua malam tidak dapat tidur sejenakpun.” jawab Indra Sambada.

“Janganlah sungkan-sungkan, sebaiknya nakmas mengaso saja dengan merebahkan badan. Ambilah tikar pandan yang itu dan silahkan beristirahat, agar badan nanti terasa segar kembali,” berkata demikian Kyai Tunggul sambil menunjuk tikar yang dilipat terselip dipajon gerobagnya.

“Nanti setelah sampai dirumah kita dapat melanjutkan percakapan sepuas hari.” ia melanjutkan kata-katanya.

Dengan tidak diulangi Indra Sambada segera mengambil tikar pandan yang dimaksud untuk kemudian merebahkan diri. Kiranya, setelah perut merasa kenyang, kantuknya kini tak dapat ditahan lagi. Ia segera dapat tidur dengan pulasnya.

Sepasang sapi yang menarik pedati seakan-akan telah tahu jalan yang harus ditempuhnya. Pelan-pelan, dengan tidak menghiraukan segala yang dijumpainya mereka berjalan terus laju.

Dengan tidak terasa kini matahari telah condong kebarat. Dengan pelan sang Surya berangsur turun dan hampir masuk kedalam cakrawala. Kesaktian umat yang bagaimanapun tak nanti dapat menahan turunnya sang Surya. Mega merah membara, mulai membentang diafas cakrawala, dan bayangannya tampak mengindahkan wajah dataran.

Indra Sambada segera terbangun dari tidurnya, dan duduk terpaku melihat keindahan alam didepannya sejauh mata memandang.

“Desa depan disebelah selatan yang kelihatan itu, adalah tempat pondokku.” Kyai Tunggul dengan memalingkan kepalanya kearah Indra sambil tersenyum.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment