IRINGAN-IRINGAN perahu Iayar yang merupakan suatu armada besar, bergerak kearah barat dengan susunan bentuk “Anggang-anggang Samudra” atau serangga laut.
Sebagai pimpinan armada, ialah Senopati Muda Manggala Tamtama Samudra Gusti Bharatarajasa sendiri. Beliau berada diinduk perahu armada yang berada di tengah-tengah. Sedangkan tujuh belas perahu layar yang mengangkut tamtama darat berada dibelakang induk armada.
Delapan perahu layar mendahuIui berlayar didepan samping Iimbung kanan dan kiri dari induk armada, sebagai kaki serangga depan, sedangkan delapan perahu lajar lainnya, berada dibelakang buritan samping kanan kiri, merupakan kaki serangga belakang. Iringan iringan armada perahu layar seluruhnya berjumlah 36 buah perahu layar.
Pada tiang, menara masing-masing berkibar Sang Saka Gula Kelapa dengan megahnya. Sedangkan pada perahu induk armada disamping Sang Saka Dwi warna, berkibar megah bendera juaja kebesaran tamtama Samudra berlukiskan naga bermakhkota warna metah diatas biru laut.
Dikala itu, musim barat daya. Angin meniup dengan kencangnya. Layar-layar mengembang penuh, mempercepat lajunya perahu-perahu yang sedang mengarungi samudra kearah barat. Langit cerah. Sang Surya bersinar dengan teriknya.
Gelombang ringan bergulung-gulung dengan tiada hentinya. Terasalah goncangan-goncangan dalam perahu, yang dindingnya selalu digempurnya oleh ombak yang bergulung-gulung itu. Sejak meninggalkan bandar Gresik armada perah-perahu layar telah lima hari lima malam mengarungi samudra laut Jawa.
Kini iringan-iringan perahu-perahu layar merobah susunan bentuknya menjadi “Naga Sungsang", karena akan merobah haluan, memotong kearah utara untuk menuju ke Teluk Kumai. Perahu-perahu melepaskan jangkarnya dan berlabuh tenang di Teluk itu, menunggu utusan dari Kerajaan Kota Waringin. Selama berlayar hingga di Teluk Kumai sedikitpun tidak mendapat gangguan dari para bajak laut.
Ternyata perhitungan-perhitungan waktu, yang diberikan oleh Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra sedikitpun tidak menyimpang dari pada kenyataan-kenyataan yang dialami. Menurut perhitungan Sang Senopati Manggala Yudha, dalam musim Barat Daya, para bajak laut tidak akan dapat leluasa mengganas disepanjang laut Jawa. Tetapi kemungkinan mereka merobah daerah pembajakannya disepanjang pantai utara Kalimantan, di laut Cina Selatan.
Mereka kemungkinan akan berpangkal dipulau Serasan dengan menyeberangi Selat Api dari Muara Sambas. Didaerah itu, mereka dapat merampok perahu-perahu dagang yang berlayar hendak menuju kekota-kota disepanjang pantai Kalimantan, ataupun yang akan menuju Pilipina dari bandar Singgapura Sembilan Negeri.
Kiranya utusan dari Kerajaan Kota Waringin telah mendahului menunggu pula dipantai Teluk Kumai. Dari para utusan mendapat berita bahwa pasukan Tamtama dari Kerajaan Kota Waringin telah mendahului berlayar menuju keteluk Sukadang dengan berkekuatan lima ratus Tamtama terpilih, dengan lima ratus ekor kuda, serta lengkap dengan membawa perbekalan-perbekalan Tamtama untuk cadangan.
Mereka selanjutnya akan menunggu didaratan sebelah Timur Utara Sukadana, antara sungai Semandang dan sungai Matan, ditengah-tengah hutan belantara yang tidak pernah dilalui manusia. Pasukan Tamtama Kerajaan Kota Waringin itu telah meninggalkan Teluk Kumai pada dua hari yang lalu.
Tujuh belas perahu layar yang mengangkut pasukan Tamtama darat dibawah pimpinan Tumenggung Indra Sambada dan didampingi oleh Tumenggung Cakrawirya segera diperintahkan oleh Sang Senopati Muda Bharatarajasa untuk mendahului berlayar menuju keteluk Sukadana, untuk kemudian menggabung menjadi satu dengan pasukan Tamtama dari Kerajaan Kota Waringin.
Sedangkan armada perahu perahu layar yang dipimpinnya akan berangkat kemudian, setelah berlabuh di teluk Kumai selama 3 hari, dengan tujuan langsung kebandar Pontianak dan pantai Singkawang. Dengan mengarungi Selat Karimata iringan perahu layar yang mengangkut Tamtama darat Kerajaan Majapahit menepi kemuara sungai Pawan, menyusuri pantai Ketapang untuk kemudian tiba diteluk Sukadana.
Indra, Sambada berserta seluruh pasukan segera mendarat dipantai Sukadana. Lima orang tamtama penghubung dari pasukan Kerajaan Kota Waringin yang telah mendahului tiba ditempat itu menyambut kedatangan Indra berserta pasukan, dan kemudian menjadi penunjuk jalan untuk menuju ketempat dimana pasukan dari Kerajaan Kota Waringin telah menunggu berkemah.
Kini pasukan dipimpin oleh Indra Sambada bergerak menuju kehulu sungai Semandang melalui hutan belantara, mengikuti para tamtama penunjuk jalan. Sungguhpun dalam perjalanan darat tidak mengalami rintangan-tintangan yang berarti, tetapi keadaan alam, membuat jalannya pasukan sangat lambat. Sebentar-sebentar pasukan terpaksa berjalan mengitari daerah rawa-rawa yang kiranya tidak dapat diseberangi.
Satu hari semalam penuh dengan tidak berhenti sejenak pun, pasukan kini baru tiba dipersimpangan sungai Semandang dan sungai Matan. Hari telah berganti dengan malam. Para penunjuk jalan berhenti sesaat dan memekikkan suara burung hantu tiga kali. Suaranya terdengar melengking menggema dihutan belantara yang gelap gulita. Segera sunyi kembali… suara ditelan oleh sang gelap malam.
Sesaat kemudian terdengarlah suara burung hantu yang sama, menyahut dari arah utara dalam rimba yang gelap itu. Pasukan bergerak lagi kearah utara, mengikuti para penunjuk jalan. Tak lama berselang, setelah menyusupi hutan belantara mereka tiba di daratan terbuka yang luas sekali. Dari jarak jauh, telah kelihatan samar-samar kubu-kubu darurat, sebagai tempat berteduh untuk para tamtama pasukan dari Kerajaan Kota Waringin, yang menunggu datangnya pasukan dari Kerajaan Majapahit itu.
Dengan penghormatan yang sederhana serta singkat, pimpnan tamtama pasukan dari Kerajaan Kota Waringin menyambut kedatangan Indra Sambada berserta pasukan-pasukannya. Seluruh pasukan, terkecuali yang bertugas bergilir sebagai pengawal, diperkenankan untuk segera beristirahat dikubu-kubu darurat yang telah disiapkan itu.
Bertindak sebagai pimpinan pasukan tamtama Kerajaan Kota Waringin, adalah Senopati Manggala Yudha Pangeran Pati Andrian. Beliau adalah putra yang tertua, calon pengganti Raja Kota Waringin, apabila ayahnya kelak turun takhta. Beliau bertubuh kecil padat, dengan otot-otot yang kokoh kuat, serta tangkas. Sikapnya ramah tamah, dan gemar bergurau. Wajahnya memancarkan sinar kebangsawanannya. Beliau berusia tidak lebih dari 35 tahun.
Pada esok paginya para pimpinan tamtama dibawah Indra Sambada merundingkan tentang siasat penyerangan yang akan dilakukan pada malam pertama bulan purnama yalah tiga hari lagi.
Malam hari telah tiba, kini seluruh pasukan telah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan menunggu perintah dari para pimpinan. Sepertiga dari jumlah kekuatan seluruhnya sebanyak 500 tamtama yang tangguh dalam ilmu yudha, dipimpin oleh Indra Sambada bergerak dengan berkuda kearah barat daya, dengan tujuan diluar daerah kota Pontianak sebelum menyeberang sungai Kapuas.
Sebagai pimpinan armada, ialah Senopati Muda Manggala Tamtama Samudra Gusti Bharatarajasa sendiri. Beliau berada diinduk perahu armada yang berada di tengah-tengah. Sedangkan tujuh belas perahu layar yang mengangkut tamtama darat berada dibelakang induk armada.
Delapan perahu layar mendahuIui berlayar didepan samping Iimbung kanan dan kiri dari induk armada, sebagai kaki serangga depan, sedangkan delapan perahu lajar lainnya, berada dibelakang buritan samping kanan kiri, merupakan kaki serangga belakang. Iringan iringan armada perahu layar seluruhnya berjumlah 36 buah perahu layar.
Pada tiang, menara masing-masing berkibar Sang Saka Gula Kelapa dengan megahnya. Sedangkan pada perahu induk armada disamping Sang Saka Dwi warna, berkibar megah bendera juaja kebesaran tamtama Samudra berlukiskan naga bermakhkota warna metah diatas biru laut.
Dikala itu, musim barat daya. Angin meniup dengan kencangnya. Layar-layar mengembang penuh, mempercepat lajunya perahu-perahu yang sedang mengarungi samudra kearah barat. Langit cerah. Sang Surya bersinar dengan teriknya.
Gelombang ringan bergulung-gulung dengan tiada hentinya. Terasalah goncangan-goncangan dalam perahu, yang dindingnya selalu digempurnya oleh ombak yang bergulung-gulung itu. Sejak meninggalkan bandar Gresik armada perah-perahu layar telah lima hari lima malam mengarungi samudra laut Jawa.
Kini iringan-iringan perahu-perahu layar merobah susunan bentuknya menjadi “Naga Sungsang", karena akan merobah haluan, memotong kearah utara untuk menuju ke Teluk Kumai. Perahu-perahu melepaskan jangkarnya dan berlabuh tenang di Teluk itu, menunggu utusan dari Kerajaan Kota Waringin. Selama berlayar hingga di Teluk Kumai sedikitpun tidak mendapat gangguan dari para bajak laut.
Ternyata perhitungan-perhitungan waktu, yang diberikan oleh Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra sedikitpun tidak menyimpang dari pada kenyataan-kenyataan yang dialami. Menurut perhitungan Sang Senopati Manggala Yudha, dalam musim Barat Daya, para bajak laut tidak akan dapat leluasa mengganas disepanjang laut Jawa. Tetapi kemungkinan mereka merobah daerah pembajakannya disepanjang pantai utara Kalimantan, di laut Cina Selatan.
Mereka kemungkinan akan berpangkal dipulau Serasan dengan menyeberangi Selat Api dari Muara Sambas. Didaerah itu, mereka dapat merampok perahu-perahu dagang yang berlayar hendak menuju kekota-kota disepanjang pantai Kalimantan, ataupun yang akan menuju Pilipina dari bandar Singgapura Sembilan Negeri.
Kiranya utusan dari Kerajaan Kota Waringin telah mendahului menunggu pula dipantai Teluk Kumai. Dari para utusan mendapat berita bahwa pasukan Tamtama dari Kerajaan Kota Waringin telah mendahului berlayar menuju keteluk Sukadang dengan berkekuatan lima ratus Tamtama terpilih, dengan lima ratus ekor kuda, serta lengkap dengan membawa perbekalan-perbekalan Tamtama untuk cadangan.
Mereka selanjutnya akan menunggu didaratan sebelah Timur Utara Sukadana, antara sungai Semandang dan sungai Matan, ditengah-tengah hutan belantara yang tidak pernah dilalui manusia. Pasukan Tamtama Kerajaan Kota Waringin itu telah meninggalkan Teluk Kumai pada dua hari yang lalu.
Tujuh belas perahu layar yang mengangkut pasukan Tamtama darat dibawah pimpinan Tumenggung Indra Sambada dan didampingi oleh Tumenggung Cakrawirya segera diperintahkan oleh Sang Senopati Muda Bharatarajasa untuk mendahului berlayar menuju keteluk Sukadana, untuk kemudian menggabung menjadi satu dengan pasukan Tamtama dari Kerajaan Kota Waringin.
Sedangkan armada perahu perahu layar yang dipimpinnya akan berangkat kemudian, setelah berlabuh di teluk Kumai selama 3 hari, dengan tujuan langsung kebandar Pontianak dan pantai Singkawang. Dengan mengarungi Selat Karimata iringan perahu layar yang mengangkut Tamtama darat Kerajaan Majapahit menepi kemuara sungai Pawan, menyusuri pantai Ketapang untuk kemudian tiba diteluk Sukadana.
Indra, Sambada berserta seluruh pasukan segera mendarat dipantai Sukadana. Lima orang tamtama penghubung dari pasukan Kerajaan Kota Waringin yang telah mendahului tiba ditempat itu menyambut kedatangan Indra berserta pasukan, dan kemudian menjadi penunjuk jalan untuk menuju ketempat dimana pasukan dari Kerajaan Kota Waringin telah menunggu berkemah.
Kini pasukan dipimpin oleh Indra Sambada bergerak menuju kehulu sungai Semandang melalui hutan belantara, mengikuti para tamtama penunjuk jalan. Sungguhpun dalam perjalanan darat tidak mengalami rintangan-tintangan yang berarti, tetapi keadaan alam, membuat jalannya pasukan sangat lambat. Sebentar-sebentar pasukan terpaksa berjalan mengitari daerah rawa-rawa yang kiranya tidak dapat diseberangi.
Satu hari semalam penuh dengan tidak berhenti sejenak pun, pasukan kini baru tiba dipersimpangan sungai Semandang dan sungai Matan. Hari telah berganti dengan malam. Para penunjuk jalan berhenti sesaat dan memekikkan suara burung hantu tiga kali. Suaranya terdengar melengking menggema dihutan belantara yang gelap gulita. Segera sunyi kembali… suara ditelan oleh sang gelap malam.
Sesaat kemudian terdengarlah suara burung hantu yang sama, menyahut dari arah utara dalam rimba yang gelap itu. Pasukan bergerak lagi kearah utara, mengikuti para penunjuk jalan. Tak lama berselang, setelah menyusupi hutan belantara mereka tiba di daratan terbuka yang luas sekali. Dari jarak jauh, telah kelihatan samar-samar kubu-kubu darurat, sebagai tempat berteduh untuk para tamtama pasukan dari Kerajaan Kota Waringin, yang menunggu datangnya pasukan dari Kerajaan Majapahit itu.
Dengan penghormatan yang sederhana serta singkat, pimpnan tamtama pasukan dari Kerajaan Kota Waringin menyambut kedatangan Indra Sambada berserta pasukan-pasukannya. Seluruh pasukan, terkecuali yang bertugas bergilir sebagai pengawal, diperkenankan untuk segera beristirahat dikubu-kubu darurat yang telah disiapkan itu.
Bertindak sebagai pimpinan pasukan tamtama Kerajaan Kota Waringin, adalah Senopati Manggala Yudha Pangeran Pati Andrian. Beliau adalah putra yang tertua, calon pengganti Raja Kota Waringin, apabila ayahnya kelak turun takhta. Beliau bertubuh kecil padat, dengan otot-otot yang kokoh kuat, serta tangkas. Sikapnya ramah tamah, dan gemar bergurau. Wajahnya memancarkan sinar kebangsawanannya. Beliau berusia tidak lebih dari 35 tahun.
Pada esok paginya para pimpinan tamtama dibawah Indra Sambada merundingkan tentang siasat penyerangan yang akan dilakukan pada malam pertama bulan purnama yalah tiga hari lagi.
Malam hari telah tiba, kini seluruh pasukan telah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan menunggu perintah dari para pimpinan. Sepertiga dari jumlah kekuatan seluruhnya sebanyak 500 tamtama yang tangguh dalam ilmu yudha, dipimpin oleh Indra Sambada bergerak dengan berkuda kearah barat daya, dengan tujuan diluar daerah kota Pontianak sebelum menyeberang sungai Kapuas.
Dua pertiga dari jumlah kekuatan sisanya, bergerak kearah Timur jauh dengan tujuan desa Tayan, sebuah desa dipinggir hulu sungai Kapuas dibawah pimpinan Sang Senopati Pangeran Pati Andrian dengan didampingi oleh Tumenggung Cakrawirya. Tempat dimana para pasukan tamtama barpisah itu, kini telah menjadi sebuah kota yang dinamakan kota “Simpang". Karena dari tempat itulah mereka bersimpang jalan.
Setelah pasukan yang dipimpin oleh Indra Sambada tiba ditempat yang dituju, segera mereka membuat kubu-kubu darurat ditengah sebuah desa, sambil menunggu saat yang ditentukan untuk melakukan serangan. Desa itu kini menjadi sebuah Kota pula, yang lazim disebut orang Kota Kubu.
Penduduk desa sekitarnya, berduyun-duyun datang untuk memberikan bantuan berupa makanan dan lain-lain hingga perbekalan pasukan menjadi berlimpah-limpah. Para pemuda tak ketinggalan datang berduyun-duyun untuk menyerahkan jiwa raganya, agar dapat diterima sebagai pembantu pasukan atau merupakan pasukan cadangan. Mereka ingin menunjukkan dharma bhaktinya untuk tanah tumpah daranya.
Pada umumnya, mereka adalah orang-orang pribumi asal dari daerah kota Pontianak, yang telah diusir oleh para bajak laut Cina yang sekarang berkuasa didaerah Pontianak itu. Oleh Indra Sambala para pemuda desa itu dibagi dalam tiga kelompok, yang masing-masing kelompok dipimpin oleh tamtama kerajaan yang telah mahir.
Satu kelompok ditugaskan sebagai pengawal dan penunjuk jalan. Satu kelompok lagi diserahi tugas membawa perbekalan makanan dan senjata-senjata cadangan, sedangkan kelompok ketiga yang terdiri dari pemuda yang terpilih itu, dijadikan pasukan-pasukan cadangan dengan tugas turut menyerbu dan membumi hanguskan kubu-kubu bangunan dari fihak lawan. Kelompok pemuda ketiga-tiganya diberi latihan singkat serta petunjuk-petunjuk yang jelas oleh para pimpinan masing-masing.
Hari yang dinanti-nantikan telah tiba. Pada senja malam pasukan menyeberangi sungai Kapuas dengan perahu-perahu sampan. Tak seorangpun berani mengeluarkan suara, sewaktu menyeberang. Mereka melakukan semua perintah dengan patuh taat dan seksama.
Setelah seluruh pasukan dengan perbekalannya berada di seberang utara sungai Kapuas, mereka berjongkok tidak bergerak dalam susunan bentuk bulan sabit, disepanjang tebing sungai Kapuas. Indra Sambada berjongkok didepan pasukannya sebagai bintang di-tengah-tengah bulan sabit. Didepan mereka kini terbentang dataran yang luas sejauh mata memandang
Diatas dataran yang luas itu, berdiri berserakan kelompok bangunan rumah-rumah sebagai tempat tinggal para bajak laut dengan keluarganya. Sinar lampu lampu minyak dalam perumahan serta halaman-halaman, dari jauh kelihatan gemerlapan menunjukkan suatu kota yang indah.
Telah lama kebesaran sang surya hilang ditelan oleh kegelapan malam, dan kini terbitlah bulan purnama menerangi seluruh alam. Pontianak adalah sebuah kota ditepi pantai laut selat Karimata dan merupakan bandar pelabuhan yang cukup besar. Dengan memasuki muara sungai Kapuas perahu-perahu layar dapat berlabuh menepi daratan di kotanya.
Sejak kota itu digunakan sebagai sarang bajak laut, tidak ada lagi perahu dagang yang berlabuh dibandar itu, terkecuali perahu-perahu layar milik para bajak laut sendiri. Kotanya adalah suatu dataran yang berada ditengah-tengah antara muara sungai Kapuas dan sungai Landak. Sebagian dataran dekat muara sungai Landak merupakan tanah rawa. Dataran itu membentang luas ketimur jauh sampai di desa Sasak. Setelah itu merupakan hutan belukar dan rawa-rawa yang tidak pernah dilalui manusia. Dengan pelan sang bulan melintasi menembus awan putih yang mengurungnya, naik keketinggian, mengikuti perintah alam gaib.
Indra Sambada bersemadi untuk mengumpulkan kekuatan bathinnya. Panah api dilepaskan dari busurnya, jauh diketinggian. Sesaat kemudian dari dua jurusan barat dan timur terlihat pula lintasannya panah api.
Segera Indra Sambada mernberikan isyarat merubah susunan bentuk pasukannya bergerak cepat, menjadi “burung gelatik neba", menyerbu kearah kubu-kubu para bajak laut. Lima ratus Tamtama berkuda menyerbu dengan suara riuh ramai, sedangkan para pemuda-pemuda desa mengikuti dibelakangnya dengan berlari-larian.
Pada saat yang sama diatas pantai Pontianak mendadak kelihatan awan gelap bergulung-gulung membubung tinggi dan kemudian sinar merah membara menjulang keangkasa. Ternyata pasukan Tamtama samudra sedang membakar seluruh perahu-perahu layar milik para bajak laut yang sedang berlabuh serta bangunan-bangunan yang berada didekat pantai.
Suasana yang tadinya sunyi tenang kini berubah menjadi kacau balau. Suara jeritan perempuan-perempuan dan tangis anak-anak kecil bercampur aduk dengan dampratan serta beradunya senjata yang sedang bertempur dan derap larinya kuda yang tak tentu arahnya. Bangunan bangunan rumah yang berkelompok disana-sini, kini menyusul menjadi lautan api pula. Ini adalah karya para pemuda desa yang diserahi tugas untuk membumi hanguskan. Semakin lama semakin gaduh dan kacau balau.
Para bajak laut Cina dengan gigih mengadakan perlawanannya. Ratusan manusia menjadi korban dalam pertempuran yang dahsyat itu. Indra Sambada dengan pedang terhunus ditangannya mengamuk laksana banteng. Setiap lawan yang dihadapi, tidak diberi kesempatan untuk hidup. Pedang ditangannya telah basah berleprotan darah. Dalam pertempuran yang dahsyat, masih pula ia ingat memberi perintah dengan suara lantang dan nyaring agar para pemuda menyelamatkan perempuan dan anak-anak. Pasukan Tamtama samudra mengurung pula kedudukan lawan, sehingga para bajak laut yang akan melarikan diri kearah pantai menemukan ajalnya.
“Buang senjata, jika mau menyerah!” bentak Indra Sambada dengan suara lantang dan parau. Suaranya jelas dan berwibawa.
Karena meliat kenyataan, para bajak laut telah terkurung rapat dan jumlah pasukannya kini jauh tidak seimbang, maka separo bahagian dari sisa yang mnasih hidup segera membuang senjatanya dan menyerahkan diri, dengan kedua belah tangannya diangkat tinggi diatas kepalanya. Yang menyerah segera memisahkan diri, dan dijaga kuat oleh para Tamtama samudra. Sedangkan yang belum mau menyerah masih sibuk bertempur melawan maut.
Jumlah korban bajak laut kini semakin bertambah. Dengan tiba-tiba kira-kira seratus orang bajak laut yang berkuda lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju kearah timur. Indra Sambada beserta para Tarntarna segera memacukan kudanya, mengejar lawan yang sedang melarikan diri itu. Tidak terduga-duga, para bajak laut telah masuk dalam perangkap.
Mereka terkurung rapat oleh pasukan Tamtama yang dipimpin oleh Sang Senopati Pangeran Andrian, yang bergerak dari Timur dengan bentuk susunan garuda melayang. Sayap kiri pasukan menutup sampai tebing sungai Kapuas, sedangkan sayap kanan yang dipimpin oleh Turnenggung Cakrawirya menutup melintang sampai di tebing sungai Landak.
Karena tiada harapan untuk meloloskan diri melewati arah timur, maka mereka melarikan kudanya kearah utara namun disitu pasukan dibawah Tumenggung Cakrawirya bergerak dengan tangkasnya. Para bajak laut segera kembali terkurung rapat, dan kini seluruh pasukan merobah susunan bentuknya menjadi “sapit udang" untuk mengunci semua jalan. Pertempuran kembali dahsyat.
Para bajak laut gigih tidak mau menyerah. Mereka menggunakan keakhliannya dalam melemparkan kampak sebagai senjata terakhir. Tiap kampak berkelebat berarti satu dua Tamtama direnggut jiwanya. Tumenggung Indra Sambada segera memacu kudanya masuk dalam kancah pertempuran.
Demikianpun Tumenggung Cakrawirya segera mengikuti masuk dalam gelanggang. Dengan tombak ditangan kanannya dan perisai ditangan kiri, Tumenggung Cakrawirya menerjang maju dalam pertempuran. Tiap-tiap lawan yang tidak mampu menghindari gerakan tombaknya segera jatuh terkulai menjadi mayat. Dengan tidak terduga-duga, sebuah kampak meluncur kearah kepala Tumenggung Cakrawirya dari belakang. Tetapi sebelum kampak jatuh pada sasarannya, pedang Indra Sambada berkelebat menyambutnya dengan teriakan nyaring
“Kargmas Tumenggung Cakra! Awas kampak dari belakang!”
“Trimakasih,” jawabnya singkat.
Dan dengan demikian Tumenggung Cakrawirya terhindar dari bahaya maut. Desa di tempat pertempuran ditepi sungai Landak itu kemudian dinamakan desa Karangabang dan kini menjadi sebuah kota yaing disebut orang dengan singkatan Ngabang.
Setelah jumlah bajak laut Cina itu tinggal kira-kira tiga puluh orang lagi, dan mereka menyadari, bahwa tidak mungkin melarikan diri, karena terkurung rapat, maka salah satu orang diantaranya, yang berbadan tinggi besar dengan kumis dan jenggotnya yang tebal segera melemparkan senjatanya dan mengangkat kedua belah tangan, tanda menyerah. Tindakan orang cina itu segera diikuti oleh para bajak laut lainnya. Ternyata orang Cina yang tinggi besar itu adalah pemimpin dari gerombolan bajak laut, bernama Tjek Sin Tju.
Semua para bajak laut yang menyerah segera dikumpulkan dan dikawal menuju kekota kembali. Pertempuran itu berlangsung sampai pagi hari. Jumlah korban pada kedua belah fihak tidak sedikit. Dari para bajak laut terhitung lebih dari tiga ratus orang meninggal dan tidak kurang dari dua ratus luka-luka, sedangkan dari para Tamtama penyerang terhitung kira-kira seratus tiga puluh orang meninggal dan lebih dari seratus lima puluh orang luka-luka parah dan ringan.
Pasukan dengan dibantu oleh para pemuda desa dengan cepat mendirikan bangunan-bangunan darurat, disamping membikin betul bangunan-bangunan yang belum musnah termakan api. Para tawanan bajak laut dikumpulkan jadi satu dalam bangunan darurat yang besar dan dijaga kuat oleh para Tamtama. Sedangkan yang luka-luka segera diberi perawatan pengobatan seperlunya.
Dihadapan Indra Sambada, Tjek Sin Tju pemimpin bajak laut tadi menyatakan penyesalannya atas perbuatan-perbuatan yang telah dan berjanji akan selalu patuh, taat dan setia kepaa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Kota Waringin. Ia berjanji pula bahwa selanjutnya akan bertanggung jawab penuh atas para anggota beserta keluarganya yang dibawah pimpinannya untuk menempuh penghidupan baru secara bertani atau berdagang yang wajar. Ia mohon diberi ampunan dan mohon pula diijinkan menetap didaerah Pontianak, karena bagi mereka tidak ada kemungkinan untuk kembali ke negeri asalnya.
Mengingat akan kejujuran hati dari orang-orang Cina itu maka Indra Sambada mengambil keputusan yang sangat bijaksana. Seratus orang Cina dengan keluarganya diperkenankan menetap di Pontianak dan menjadi orang pribumi ditempat itu, sedangkan lainnya diperintahkan menetap didaerah desa Singkawang karena disana tanah yang subur untuk bertani masih sangat luas.
Orang pribumi Pontianak asli yang mengungsi, segera diperintahkan kembali. Sedangkan rumah-rumah dan ladang-ladang serta harta bendanya yang masih ada, dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing.
Sebagai tanda terima kasih atas kemurahan hati yang diberikan oleh Indra Sambada, para cina itu segera membagi-bagikan harta kekayaannya yang masih ada kepada para orang-orang pribumi asli yang kembali.
Tiga malam berturut-turut diadakan pesta kemenangan. Rakyat dari desa sekitarnya turut serta merayakan pesta kemenangan itu. Kini para bekas bajak laut yang menyerah beserta keluarganya, tidak lagi diperlakukan sebagai tawanan. Mereka diperkenankan ikut pula meramaikan perayaan yang dilangsungkan itu.
Sang Senonati Muda Manggala Tamtama samudra Gusti Bharatarajasa, tidak henti-hentinya memberikan pujian atas ketangkasan dan kebijaksanaan lndra Sambada. Beliau selanjutnya menyerahkan kuasa penuh kepada lndra Sambada dalam memimpin seluruh pasukan, serta mengatur daerah yang baru saja dibebaskan dari cengkeraman bajak laut itu.
Kira-kira empat bulan lagi musim barat daya akan bertukar dengan pasat timur laut. Sambil menunggu datangnya pasat timur laut, untuk memudahkan dalam perjalanan pulang ke Majapahit, para tamtama bersama para rakyat diperintahkan oleh Indra Sambada mendirikan bangunan rumah-rumah baru serta jalan ke desa-desa sekitarnya secara gotong-royong.
Dengan demikian Pontianak menjadi kota ,yang indah kembali, bahkan lebih indah dari sebelumnya. Sampan-sampan dan perahu-perahu layar yang telah dibakar ataupun dirusak segera diperbaki kembali secara gotong royong pula. Tambak-tambak sungai diperbaiki dan diperkokoh untuk mencegah banjir dalam musim hujan yang akan datang. Rakyat sangat menghormati dan menghargai akan keluhuran budi para Tamtama Kerajaan Majapahit itu.
Demikian pula Tjek Sin Tju berserta para Cina yang berada dibawah pimpinannya. Sebagai tanda bukti kesetiaannya penghargaan yang tinggi terhadap Indra Sambada, Tjek Sin Tju memberikan sebuah boneka emas murni sebesar ibu jari kaki buatan negeri asalnya, yang didalamnya berisi dua butir pil obat pemunah segala macam racun. Menurut keterangan Tjek Sin Tju sebutir pil apabila diminum, maka selama waktu lima tahun akan kebal terhadap serangan racun, baik yang melewati peredaran darah karena luka, maupun yang melalui pencernaan.
Kini hujan mulai jatuh, pasat timur laut telah tiba. Pohon-pohonpun mulai bertukar daun. Seluruh pasukan tamtama kerajaan meninggalkan bandar Pontianak. Armada bergerak mengarungi samudra menuju kebandar Gresik untuk kemudian kembali kekota Kerajaan.
Setelah tiba di Kota Kerajaan Majapahit, Sri Baginda Maharaja berkenan mengadakan pasewakan agung untuk menyambut kedatangan para tamtama berserta pimpinannya. Dalam pasewakan agung itu Gusti Bharatarajasa dan Indra Sambada menghaturkan laporan mengenai titah yang telah dijunjung tinggi dan dilaksanakan dengan sempurna.
Setelah pasukan yang dipimpin oleh Indra Sambada tiba ditempat yang dituju, segera mereka membuat kubu-kubu darurat ditengah sebuah desa, sambil menunggu saat yang ditentukan untuk melakukan serangan. Desa itu kini menjadi sebuah Kota pula, yang lazim disebut orang Kota Kubu.
Penduduk desa sekitarnya, berduyun-duyun datang untuk memberikan bantuan berupa makanan dan lain-lain hingga perbekalan pasukan menjadi berlimpah-limpah. Para pemuda tak ketinggalan datang berduyun-duyun untuk menyerahkan jiwa raganya, agar dapat diterima sebagai pembantu pasukan atau merupakan pasukan cadangan. Mereka ingin menunjukkan dharma bhaktinya untuk tanah tumpah daranya.
Pada umumnya, mereka adalah orang-orang pribumi asal dari daerah kota Pontianak, yang telah diusir oleh para bajak laut Cina yang sekarang berkuasa didaerah Pontianak itu. Oleh Indra Sambala para pemuda desa itu dibagi dalam tiga kelompok, yang masing-masing kelompok dipimpin oleh tamtama kerajaan yang telah mahir.
Satu kelompok ditugaskan sebagai pengawal dan penunjuk jalan. Satu kelompok lagi diserahi tugas membawa perbekalan makanan dan senjata-senjata cadangan, sedangkan kelompok ketiga yang terdiri dari pemuda yang terpilih itu, dijadikan pasukan-pasukan cadangan dengan tugas turut menyerbu dan membumi hanguskan kubu-kubu bangunan dari fihak lawan. Kelompok pemuda ketiga-tiganya diberi latihan singkat serta petunjuk-petunjuk yang jelas oleh para pimpinan masing-masing.
Hari yang dinanti-nantikan telah tiba. Pada senja malam pasukan menyeberangi sungai Kapuas dengan perahu-perahu sampan. Tak seorangpun berani mengeluarkan suara, sewaktu menyeberang. Mereka melakukan semua perintah dengan patuh taat dan seksama.
Setelah seluruh pasukan dengan perbekalannya berada di seberang utara sungai Kapuas, mereka berjongkok tidak bergerak dalam susunan bentuk bulan sabit, disepanjang tebing sungai Kapuas. Indra Sambada berjongkok didepan pasukannya sebagai bintang di-tengah-tengah bulan sabit. Didepan mereka kini terbentang dataran yang luas sejauh mata memandang
Diatas dataran yang luas itu, berdiri berserakan kelompok bangunan rumah-rumah sebagai tempat tinggal para bajak laut dengan keluarganya. Sinar lampu lampu minyak dalam perumahan serta halaman-halaman, dari jauh kelihatan gemerlapan menunjukkan suatu kota yang indah.
Telah lama kebesaran sang surya hilang ditelan oleh kegelapan malam, dan kini terbitlah bulan purnama menerangi seluruh alam. Pontianak adalah sebuah kota ditepi pantai laut selat Karimata dan merupakan bandar pelabuhan yang cukup besar. Dengan memasuki muara sungai Kapuas perahu-perahu layar dapat berlabuh menepi daratan di kotanya.
Sejak kota itu digunakan sebagai sarang bajak laut, tidak ada lagi perahu dagang yang berlabuh dibandar itu, terkecuali perahu-perahu layar milik para bajak laut sendiri. Kotanya adalah suatu dataran yang berada ditengah-tengah antara muara sungai Kapuas dan sungai Landak. Sebagian dataran dekat muara sungai Landak merupakan tanah rawa. Dataran itu membentang luas ketimur jauh sampai di desa Sasak. Setelah itu merupakan hutan belukar dan rawa-rawa yang tidak pernah dilalui manusia. Dengan pelan sang bulan melintasi menembus awan putih yang mengurungnya, naik keketinggian, mengikuti perintah alam gaib.
Indra Sambada bersemadi untuk mengumpulkan kekuatan bathinnya. Panah api dilepaskan dari busurnya, jauh diketinggian. Sesaat kemudian dari dua jurusan barat dan timur terlihat pula lintasannya panah api.
Segera Indra Sambada mernberikan isyarat merubah susunan bentuk pasukannya bergerak cepat, menjadi “burung gelatik neba", menyerbu kearah kubu-kubu para bajak laut. Lima ratus Tamtama berkuda menyerbu dengan suara riuh ramai, sedangkan para pemuda-pemuda desa mengikuti dibelakangnya dengan berlari-larian.
Pada saat yang sama diatas pantai Pontianak mendadak kelihatan awan gelap bergulung-gulung membubung tinggi dan kemudian sinar merah membara menjulang keangkasa. Ternyata pasukan Tamtama samudra sedang membakar seluruh perahu-perahu layar milik para bajak laut yang sedang berlabuh serta bangunan-bangunan yang berada didekat pantai.
Suasana yang tadinya sunyi tenang kini berubah menjadi kacau balau. Suara jeritan perempuan-perempuan dan tangis anak-anak kecil bercampur aduk dengan dampratan serta beradunya senjata yang sedang bertempur dan derap larinya kuda yang tak tentu arahnya. Bangunan bangunan rumah yang berkelompok disana-sini, kini menyusul menjadi lautan api pula. Ini adalah karya para pemuda desa yang diserahi tugas untuk membumi hanguskan. Semakin lama semakin gaduh dan kacau balau.
Para bajak laut Cina dengan gigih mengadakan perlawanannya. Ratusan manusia menjadi korban dalam pertempuran yang dahsyat itu. Indra Sambada dengan pedang terhunus ditangannya mengamuk laksana banteng. Setiap lawan yang dihadapi, tidak diberi kesempatan untuk hidup. Pedang ditangannya telah basah berleprotan darah. Dalam pertempuran yang dahsyat, masih pula ia ingat memberi perintah dengan suara lantang dan nyaring agar para pemuda menyelamatkan perempuan dan anak-anak. Pasukan Tamtama samudra mengurung pula kedudukan lawan, sehingga para bajak laut yang akan melarikan diri kearah pantai menemukan ajalnya.
“Buang senjata, jika mau menyerah!” bentak Indra Sambada dengan suara lantang dan parau. Suaranya jelas dan berwibawa.
Karena meliat kenyataan, para bajak laut telah terkurung rapat dan jumlah pasukannya kini jauh tidak seimbang, maka separo bahagian dari sisa yang mnasih hidup segera membuang senjatanya dan menyerahkan diri, dengan kedua belah tangannya diangkat tinggi diatas kepalanya. Yang menyerah segera memisahkan diri, dan dijaga kuat oleh para Tamtama samudra. Sedangkan yang belum mau menyerah masih sibuk bertempur melawan maut.
Jumlah korban bajak laut kini semakin bertambah. Dengan tiba-tiba kira-kira seratus orang bajak laut yang berkuda lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju kearah timur. Indra Sambada beserta para Tarntarna segera memacukan kudanya, mengejar lawan yang sedang melarikan diri itu. Tidak terduga-duga, para bajak laut telah masuk dalam perangkap.
Mereka terkurung rapat oleh pasukan Tamtama yang dipimpin oleh Sang Senopati Pangeran Andrian, yang bergerak dari Timur dengan bentuk susunan garuda melayang. Sayap kiri pasukan menutup sampai tebing sungai Kapuas, sedangkan sayap kanan yang dipimpin oleh Turnenggung Cakrawirya menutup melintang sampai di tebing sungai Landak.
Karena tiada harapan untuk meloloskan diri melewati arah timur, maka mereka melarikan kudanya kearah utara namun disitu pasukan dibawah Tumenggung Cakrawirya bergerak dengan tangkasnya. Para bajak laut segera kembali terkurung rapat, dan kini seluruh pasukan merobah susunan bentuknya menjadi “sapit udang" untuk mengunci semua jalan. Pertempuran kembali dahsyat.
Para bajak laut gigih tidak mau menyerah. Mereka menggunakan keakhliannya dalam melemparkan kampak sebagai senjata terakhir. Tiap kampak berkelebat berarti satu dua Tamtama direnggut jiwanya. Tumenggung Indra Sambada segera memacu kudanya masuk dalam kancah pertempuran.
Demikianpun Tumenggung Cakrawirya segera mengikuti masuk dalam gelanggang. Dengan tombak ditangan kanannya dan perisai ditangan kiri, Tumenggung Cakrawirya menerjang maju dalam pertempuran. Tiap-tiap lawan yang tidak mampu menghindari gerakan tombaknya segera jatuh terkulai menjadi mayat. Dengan tidak terduga-duga, sebuah kampak meluncur kearah kepala Tumenggung Cakrawirya dari belakang. Tetapi sebelum kampak jatuh pada sasarannya, pedang Indra Sambada berkelebat menyambutnya dengan teriakan nyaring
“Kargmas Tumenggung Cakra! Awas kampak dari belakang!”
“Trimakasih,” jawabnya singkat.
Dan dengan demikian Tumenggung Cakrawirya terhindar dari bahaya maut. Desa di tempat pertempuran ditepi sungai Landak itu kemudian dinamakan desa Karangabang dan kini menjadi sebuah kota yaing disebut orang dengan singkatan Ngabang.
Setelah jumlah bajak laut Cina itu tinggal kira-kira tiga puluh orang lagi, dan mereka menyadari, bahwa tidak mungkin melarikan diri, karena terkurung rapat, maka salah satu orang diantaranya, yang berbadan tinggi besar dengan kumis dan jenggotnya yang tebal segera melemparkan senjatanya dan mengangkat kedua belah tangan, tanda menyerah. Tindakan orang cina itu segera diikuti oleh para bajak laut lainnya. Ternyata orang Cina yang tinggi besar itu adalah pemimpin dari gerombolan bajak laut, bernama Tjek Sin Tju.
Semua para bajak laut yang menyerah segera dikumpulkan dan dikawal menuju kekota kembali. Pertempuran itu berlangsung sampai pagi hari. Jumlah korban pada kedua belah fihak tidak sedikit. Dari para bajak laut terhitung lebih dari tiga ratus orang meninggal dan tidak kurang dari dua ratus luka-luka, sedangkan dari para Tamtama penyerang terhitung kira-kira seratus tiga puluh orang meninggal dan lebih dari seratus lima puluh orang luka-luka parah dan ringan.
Pasukan dengan dibantu oleh para pemuda desa dengan cepat mendirikan bangunan-bangunan darurat, disamping membikin betul bangunan-bangunan yang belum musnah termakan api. Para tawanan bajak laut dikumpulkan jadi satu dalam bangunan darurat yang besar dan dijaga kuat oleh para Tamtama. Sedangkan yang luka-luka segera diberi perawatan pengobatan seperlunya.
Dihadapan Indra Sambada, Tjek Sin Tju pemimpin bajak laut tadi menyatakan penyesalannya atas perbuatan-perbuatan yang telah dan berjanji akan selalu patuh, taat dan setia kepaa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Kota Waringin. Ia berjanji pula bahwa selanjutnya akan bertanggung jawab penuh atas para anggota beserta keluarganya yang dibawah pimpinannya untuk menempuh penghidupan baru secara bertani atau berdagang yang wajar. Ia mohon diberi ampunan dan mohon pula diijinkan menetap didaerah Pontianak, karena bagi mereka tidak ada kemungkinan untuk kembali ke negeri asalnya.
Mengingat akan kejujuran hati dari orang-orang Cina itu maka Indra Sambada mengambil keputusan yang sangat bijaksana. Seratus orang Cina dengan keluarganya diperkenankan menetap di Pontianak dan menjadi orang pribumi ditempat itu, sedangkan lainnya diperintahkan menetap didaerah desa Singkawang karena disana tanah yang subur untuk bertani masih sangat luas.
Orang pribumi Pontianak asli yang mengungsi, segera diperintahkan kembali. Sedangkan rumah-rumah dan ladang-ladang serta harta bendanya yang masih ada, dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing.
Sebagai tanda terima kasih atas kemurahan hati yang diberikan oleh Indra Sambada, para cina itu segera membagi-bagikan harta kekayaannya yang masih ada kepada para orang-orang pribumi asli yang kembali.
Tiga malam berturut-turut diadakan pesta kemenangan. Rakyat dari desa sekitarnya turut serta merayakan pesta kemenangan itu. Kini para bekas bajak laut yang menyerah beserta keluarganya, tidak lagi diperlakukan sebagai tawanan. Mereka diperkenankan ikut pula meramaikan perayaan yang dilangsungkan itu.
Sang Senonati Muda Manggala Tamtama samudra Gusti Bharatarajasa, tidak henti-hentinya memberikan pujian atas ketangkasan dan kebijaksanaan lndra Sambada. Beliau selanjutnya menyerahkan kuasa penuh kepada lndra Sambada dalam memimpin seluruh pasukan, serta mengatur daerah yang baru saja dibebaskan dari cengkeraman bajak laut itu.
Kira-kira empat bulan lagi musim barat daya akan bertukar dengan pasat timur laut. Sambil menunggu datangnya pasat timur laut, untuk memudahkan dalam perjalanan pulang ke Majapahit, para tamtama bersama para rakyat diperintahkan oleh Indra Sambada mendirikan bangunan rumah-rumah baru serta jalan ke desa-desa sekitarnya secara gotong-royong.
Dengan demikian Pontianak menjadi kota ,yang indah kembali, bahkan lebih indah dari sebelumnya. Sampan-sampan dan perahu-perahu layar yang telah dibakar ataupun dirusak segera diperbaki kembali secara gotong royong pula. Tambak-tambak sungai diperbaiki dan diperkokoh untuk mencegah banjir dalam musim hujan yang akan datang. Rakyat sangat menghormati dan menghargai akan keluhuran budi para Tamtama Kerajaan Majapahit itu.
Demikian pula Tjek Sin Tju berserta para Cina yang berada dibawah pimpinannya. Sebagai tanda bukti kesetiaannya penghargaan yang tinggi terhadap Indra Sambada, Tjek Sin Tju memberikan sebuah boneka emas murni sebesar ibu jari kaki buatan negeri asalnya, yang didalamnya berisi dua butir pil obat pemunah segala macam racun. Menurut keterangan Tjek Sin Tju sebutir pil apabila diminum, maka selama waktu lima tahun akan kebal terhadap serangan racun, baik yang melewati peredaran darah karena luka, maupun yang melalui pencernaan.
Kini hujan mulai jatuh, pasat timur laut telah tiba. Pohon-pohonpun mulai bertukar daun. Seluruh pasukan tamtama kerajaan meninggalkan bandar Pontianak. Armada bergerak mengarungi samudra menuju kebandar Gresik untuk kemudian kembali kekota Kerajaan.
Setelah tiba di Kota Kerajaan Majapahit, Sri Baginda Maharaja berkenan mengadakan pasewakan agung untuk menyambut kedatangan para tamtama berserta pimpinannya. Dalam pasewakan agung itu Gusti Bharatarajasa dan Indra Sambada menghaturkan laporan mengenai titah yang telah dijunjung tinggi dan dilaksanakan dengan sempurna.
**** 005 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment