Selesai acara yang pertama, kini menyusul acara yang kedua. Ialah ketangkasan memanah. Para Senopati muda turut pula dalam lomba ketangkasan memanah ini, karena banyak digemari oleh segenap Tamtama. Diantara pohon-pohon pucang yang berdiri, tergantung deretan boneka-boneka dengan jarak antaranya dua jengkal, sebesar ibu jari kaki dan terbuat dari papah daun kelapa.
Tinggi antara tanah dengan boneka-boneka yang terpancang itu kira-kira segalah. Kini Para Senopati Muda telah siap dengan busur dan tiga buah anak panah ditangan masing-masing. Jarak antaranya dengan sasaran boneka-boneka itu adalah kira-kira 100 langkah. Gusti Surwendar mulai dengan bidikannya. Busurnya telah dipentang dan sebatang anak panah lepas seperti kilat tepat mengenai sasaran. Anak panah kedua dan menyusul anak panah ketiga dilepaskan dari busurnya. Satu persatu semua tepat mengenai sasarannya. Semua kagum demi menyaksikan ketangkasan beliau.
Kini menyusul Gusti Senopati Muda Bharatarajasa mulai membidik. Anak panah satu persatu dilepaskan hingga tiga kali. Ternyata satu diantaranya tidak mengenai sasarannya. Demikian pula Gusti Pangeran Pekik. Beliau juga hanya berhasil dengan dua batang anak panah yang tepat dapat mengenai sasarannya.
Gusti Adityawardhana segera mulai mementang busurnya. Sebuah anak panah terlepas dan tepat mengenai sasaran yang dimaksud. Kini beliau memusatkan kekuatan bathinnya kembali. Dua batang anak panah dilepaskan sekali pentang. dan kedua-duanya tepat mengenai sebuah boneka yang tadi telah dipanahnya. Tiga batang anak panah kini berkumpul jadi satu tertancap di sebuah boneka papah kelapa tadi. Semua yang melihat kagum akan ketangkasan yang luar biasa itu. Tidak sedikit prijagung-prijagung turut geleng-geleng kepala serta memuji akan ketangkasan Gusti Adityawardhana dalam hal memanah.
Indra Sambada kini dapat gilirannya. Dengan tenang ia mulai mementang busurnya. Sebatang anak panah segera dilepaskan dan tepat mengenai sasarannya. Kiranya ia ingin pula memamerkan kepandaian panahan. Dua batang anak panah sisanya digenggam erat, untuk kemudian ditaruh ditali busurnya. Busur dipentang dengan pelan-pelan, sambil memusatkan tenaga batinnya, untuk kemudian disalurkan dalam rasa pandangannya agar dapat mengemudikan lepasnya anak panah. Setelah bulat-bulat tenaga bathin terkumpul, dua batang anak panah tadi dilepas sekali pentang.
Dan dua batang anak panah bersama-sama terlepas untuk kemudian bersimpang arah. Dua buah boneka dikanan dan kiri boneka yang tadi terkena oleh panahnya yang pertama, tertancap masing-masing sebatang panah dalam saat yang bersamaan. Para Senopati berdiri ternganga dengan penuh rasa heran. Kiranya bukan hanya para Senopati saja yang kagum akan kemahiran memanah Indra Simbada. Sri Baginda Maharaja dan Gusti Patih Mangkubumi bersama-sama para tamu Kerajaan berkenan menaruh perhatian pula. Telah dua kali Indra Sambada membuat kagumnya para pengunjung yang menyaksikan ketangkasannya dalam lomba krida yudha.
Setelah semua tamtama mendapat giliran, dan hasil lomba tadi telah dicatat semua, maka sekarang menyusul acara lomba krida yudha yang terakhir. Lomba krida yudha yang ketiga atau terakhir ini diikuti oleh semua tamtama beserta para Senopati Muda, Acaranya ialah lomba "sodoran", atau disebutnya pula "watangan". Perlombaan ini adalah kegemaran para tamtama, baik yang turut berlomba maupun yang melihatnya.
Gusti Adityawardhana dengan Gusti Bharatarajasa dibantu oleh Tumenggung Sunata memimpin pasukan berkuda sebanyak 500 tamtama. Semuanya bersenjatakan tongkat sepanjang tangkai tombak, yang tumpul diujung pangkalnya, dan mengambil tempat di alun-alun sebelah barat. Gusti Surwendar dan Pangeran Pekik dibantu oleh Tumenggung Indra Sambada memimpin pula pasukan tamtama berkuda sebanyak 500 orang dan bersenjatakan tongkat sebagaimana senjata lawannya, mengambil tempat kedudukan disebelah timur. Demikian para perwira-perwiranyapun dibagi dua dan dimasukkan dalam klompok pasukan tadi.
Gong besar segera ditabuh oleh tamtama yang bertugas atas perintah Sang Senopati Manggala Yudha, sebagai isyarat bahwa lomba "sodoran" dimulai. Dengan riuh ramai pasukan menyerbu ditengah alun-alun untuk saling menjatuhkan lawannya dengan tongkatnya. Para tamtama yang telah jatuh dari kudanya segera lari keluar dari tempat pertempuran itu dan tidak diperkenankan turut lagi.
Satu sama lain pukul memukul, sodok-menyodok, dan ada pula yang memutar-mutarkan tongkatnya untuk menjatuhkan lawan sebanyak-banyaknya dan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Mereka yang lepas akan genggaman tongkatnya segera merangkul lawan untuk menjatuhkan dengan bergulat diatas pelana kuda.
Sebentar saja telah ratusan bergelimpangan ditanah. Mereka yang telah jatuh, segera bangkit dan meninggalkan tempat pertempuran, karena takut terinjak injak kuda ataupun terpukul oleh temannya yang sedang bertempur. Para petugas mengawasi jalannya pertempuran dengan cermat, menjaga jika ada yang terluka dalam lomba "Sodoran" itu.
Sorak sorai dari penonton memekakkan telinga, setelah melihat Gusti Bhamtarajasa jatuh bergelimpangan ditanah terkena sodornya Gusti Surwendar. Pertempuran menjadi lebih seru lagi, karena Gusti Adityawardhana memperlihatkan ketangkasannya, membalas menebus kekalahan yang baru saja dideritanya. Gusti Surwendar digempurnya dengan sodokan sodor oleh Gusti Adityawardhana. Segera terjadi pertarungan sengit.
Tinggi antara tanah dengan boneka-boneka yang terpancang itu kira-kira segalah. Kini Para Senopati Muda telah siap dengan busur dan tiga buah anak panah ditangan masing-masing. Jarak antaranya dengan sasaran boneka-boneka itu adalah kira-kira 100 langkah. Gusti Surwendar mulai dengan bidikannya. Busurnya telah dipentang dan sebatang anak panah lepas seperti kilat tepat mengenai sasaran. Anak panah kedua dan menyusul anak panah ketiga dilepaskan dari busurnya. Satu persatu semua tepat mengenai sasarannya. Semua kagum demi menyaksikan ketangkasan beliau.
Kini menyusul Gusti Senopati Muda Bharatarajasa mulai membidik. Anak panah satu persatu dilepaskan hingga tiga kali. Ternyata satu diantaranya tidak mengenai sasarannya. Demikian pula Gusti Pangeran Pekik. Beliau juga hanya berhasil dengan dua batang anak panah yang tepat dapat mengenai sasarannya.
Gusti Adityawardhana segera mulai mementang busurnya. Sebuah anak panah terlepas dan tepat mengenai sasaran yang dimaksud. Kini beliau memusatkan kekuatan bathinnya kembali. Dua batang anak panah dilepaskan sekali pentang. dan kedua-duanya tepat mengenai sebuah boneka yang tadi telah dipanahnya. Tiga batang anak panah kini berkumpul jadi satu tertancap di sebuah boneka papah kelapa tadi. Semua yang melihat kagum akan ketangkasan yang luar biasa itu. Tidak sedikit prijagung-prijagung turut geleng-geleng kepala serta memuji akan ketangkasan Gusti Adityawardhana dalam hal memanah.
Indra Sambada kini dapat gilirannya. Dengan tenang ia mulai mementang busurnya. Sebatang anak panah segera dilepaskan dan tepat mengenai sasarannya. Kiranya ia ingin pula memamerkan kepandaian panahan. Dua batang anak panah sisanya digenggam erat, untuk kemudian ditaruh ditali busurnya. Busur dipentang dengan pelan-pelan, sambil memusatkan tenaga batinnya, untuk kemudian disalurkan dalam rasa pandangannya agar dapat mengemudikan lepasnya anak panah. Setelah bulat-bulat tenaga bathin terkumpul, dua batang anak panah tadi dilepas sekali pentang.
Dan dua batang anak panah bersama-sama terlepas untuk kemudian bersimpang arah. Dua buah boneka dikanan dan kiri boneka yang tadi terkena oleh panahnya yang pertama, tertancap masing-masing sebatang panah dalam saat yang bersamaan. Para Senopati berdiri ternganga dengan penuh rasa heran. Kiranya bukan hanya para Senopati saja yang kagum akan kemahiran memanah Indra Simbada. Sri Baginda Maharaja dan Gusti Patih Mangkubumi bersama-sama para tamu Kerajaan berkenan menaruh perhatian pula. Telah dua kali Indra Sambada membuat kagumnya para pengunjung yang menyaksikan ketangkasannya dalam lomba krida yudha.
Setelah semua tamtama mendapat giliran, dan hasil lomba tadi telah dicatat semua, maka sekarang menyusul acara lomba krida yudha yang terakhir. Lomba krida yudha yang ketiga atau terakhir ini diikuti oleh semua tamtama beserta para Senopati Muda, Acaranya ialah lomba "sodoran", atau disebutnya pula "watangan". Perlombaan ini adalah kegemaran para tamtama, baik yang turut berlomba maupun yang melihatnya.
Gusti Adityawardhana dengan Gusti Bharatarajasa dibantu oleh Tumenggung Sunata memimpin pasukan berkuda sebanyak 500 tamtama. Semuanya bersenjatakan tongkat sepanjang tangkai tombak, yang tumpul diujung pangkalnya, dan mengambil tempat di alun-alun sebelah barat. Gusti Surwendar dan Pangeran Pekik dibantu oleh Tumenggung Indra Sambada memimpin pula pasukan tamtama berkuda sebanyak 500 orang dan bersenjatakan tongkat sebagaimana senjata lawannya, mengambil tempat kedudukan disebelah timur. Demikian para perwira-perwiranyapun dibagi dua dan dimasukkan dalam klompok pasukan tadi.
Gong besar segera ditabuh oleh tamtama yang bertugas atas perintah Sang Senopati Manggala Yudha, sebagai isyarat bahwa lomba "sodoran" dimulai. Dengan riuh ramai pasukan menyerbu ditengah alun-alun untuk saling menjatuhkan lawannya dengan tongkatnya. Para tamtama yang telah jatuh dari kudanya segera lari keluar dari tempat pertempuran itu dan tidak diperkenankan turut lagi.
Satu sama lain pukul memukul, sodok-menyodok, dan ada pula yang memutar-mutarkan tongkatnya untuk menjatuhkan lawan sebanyak-banyaknya dan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Mereka yang lepas akan genggaman tongkatnya segera merangkul lawan untuk menjatuhkan dengan bergulat diatas pelana kuda.
Sebentar saja telah ratusan bergelimpangan ditanah. Mereka yang telah jatuh, segera bangkit dan meninggalkan tempat pertempuran, karena takut terinjak injak kuda ataupun terpukul oleh temannya yang sedang bertempur. Para petugas mengawasi jalannya pertempuran dengan cermat, menjaga jika ada yang terluka dalam lomba "Sodoran" itu.
Sorak sorai dari penonton memekakkan telinga, setelah melihat Gusti Bhamtarajasa jatuh bergelimpangan ditanah terkena sodornya Gusti Surwendar. Pertempuran menjadi lebih seru lagi, karena Gusti Adityawardhana memperlihatkan ketangkasannya, membalas menebus kekalahan yang baru saja dideritanya. Gusti Surwendar digempurnya dengan sodokan sodor oleh Gusti Adityawardhana. Segera terjadi pertarungan sengit.
Masing-masing memperlihatkan ketangkasannya. Tumenggung Sunata cepat membantu menjatuhkan lawannya dari samping dengan pukulan sodornya. Tak ayal lagi, Gusti Surwendar segera jatuh terguling ditanah. Dua orang tamtama petugas segera menjemputnya dan meneliti akan luka yang diderita. Namun ternyata sedikitpun tak terluka. Beliau mengumpat-umpat sambil ketawa lebar, Indra Sambada segera tampil menggantikan kedudukan Gusti Surwendar.
Dengan sodor ditangan kanannya Indra Sambada mengamuk menggempur siapa saja yang berada di sekelilingnya. Dalam waktu singkat lawannya telah banyak yang bergelimpangan jatuh ditanah. Tumenggung Sunata tak mampu pula menghadapi Indra Sambada, dan jatuh terguling untuk kemudian meninggalkan gelanggang. Kini Senopati pasukan sodoran tinggal dua orang, ialah Indra Sambada melawan Gusti Adityawardhana. Pasukan para tamtama yang masih bertempur seluruhnya tinggal lima puluhan.
Indra Sambada langsung memacukan kudanya kearah Gusti Adityawardhana, namun lawannya tidak kalah tangkasnya. Secepat kilat beliau menarik lisnya, sehingga kudanya terperanjat berdiri diatas kedua kakinya dengan meringkik. Indra Sambada menubruk tempat kosong dengan tangkasnya ia segera membalikkan kudanya dan memacunya kearah lawan. Kini ia telah berhadapan kembali dengan Gusti Adityawardhana yang masih tegap duduk diatas pelana.
Beliau segera menyerang lebih dahulu dengan sabetan tongkatnya kearah lambung Indra Sambada, yang segera ditangkis dengan tangkasnya memakai tongkatnya pula. Tongkat sama tongkat beradu dengan dahsyatnya. Ternyata sewaktu memukul tadi Gusti Adityawardhana menggunakan kekuatan bathinnya untuk mengukur kekuatan Indra Sambada.
Namun siang-siang Indra Sambada telah mengetahui, bahwa pukulan tongkat tadi berisikan pemusatan kekuatan bathin. Karena keinginan untuk mengukur kekuatan lawan, maka pukulan disambutnya dengan tangkisan yang tak kalah dahsyatnya. Telapak tangannya bergetar dan terasa pedih namun tongkat masih dapat ia menggenggam erat dengan tangannya. Gusti Adityawardhana memandang dengan penuh rasa heran, karena ternyata tangannya terasa pedih pula, bahkan hampir-hampir tongkatnya jatuh terlepas dari genggaman.
“Tumenggung Indra!” seru beliau sambil bertempur. “lekas selesaikan pertempuran ini. Pukullah aku dengan ketangkasanmu. Aku akan memberi kesempatan, demi melihat dan menyaksikan sendiri kesaktianmu. Kau adalah pemuda harapan. Cepat!” beliau berseru lebih keras.
Dan Indra Sambada segera tahu akan maksudnya. Dengan ketangkasan yang mengagumkan ia memutar tongkatnya diatas kepala sebagai tangkisan terhadap semua pukulan yang dilancarkan oleh para lawan dan secepat kilat putaran tongkat berobah menjadi pukulan yang dahsyat mengenai lengan Gusti Adityawardhana.
Terkena serangan lengannya oleh Indra Sambada beliau segera menjatuhkan diri bergulingan ditanah. Kiranya Indra Sambada tak mau pula menerima pujian yang tidak wajar itu. Segera ia menyusul, jatuh bergulingan ditanah pula. Namun para petugas telah memutuskan Indra Sambada sebagai pemenang. Kembali sorak sorai gemuruh menggelegar diangkasa memekakkan telinga.
Gong besar segera dipukul lagi, sebagai tanda, bahwa lomba krida yudha telah selesai seluruhnya. Tiba-tiba empat Tamtama pengawal Raja berjalan cepat rnenuju kearah Indra, dan segera berhenti dihadapan Indra Sambada.
“Atas titah Tuan hamba Gusti Sri Baginda Maharaja, Gustiku Tumenggung diperintah menghadap di depan mimbar.” berkata seorang diantara empat Tamtama pengawal Raja tadi.
Indra Sambada segera mengikuti mereka berjalan menuju ke depan mimbar dan berhenti berdiri tegak, serta rnenghaturkan sembah kehadapan Sri Baginda Maharaja.
“Tumenggung Indra!” Sribaginda Maharaja menyambut sembah Indra dengan berdiri serta bersabda, “aku ingin melihat ketangkasanmu sekali lagi. Jika kau bersedia, banteng piaraanku akan kuperintahkan untuk dilepas. Jika berhasil menundukkan dengan keris pusakamu itu, gelar “Banteng Majapahit" ku berikan kepadamu, dan sekaligus ku angkat kau sebagai Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja. Bagaimana? sanggupkah engkau?”.
“Hamba selalu akan menunjukkan dharma bakti hamba kehadapan Gusti hamba Sri Baginda Maharaja. Semua titah Gusti hamba Sri Baginda Maharaja kami junjung tinggi demi kejayaan Kerajaan.” Indra menjawab dengan tidak ragu-ragu, dan menutup kata jawabannya dengan sembah. Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra segera turun dari mimbar dan mendekati Indra Sambada, seraya menepuk nepuk bahunya
“Kau putraku, harus dapat membuktikan kesanggupanmu. Aku akan membantumu dengan doa pada Dewata Yang Maha Agung,” beliau berkata lirih kepadanya.
“Doa restu Gusti Pamanku semoga selalu menyertai hamba.” Jawab Indra singkat.
Empat orang Tamtama segera diperintahkan untuk melepaskan seekor banteng piaraan yang kandangnya berada di alun-alun sebelah timur. Semua Tamtama segera menghunus pedang masing-masing dan berdiri dengan pedang terhunus berjajar rapat menyerupai pagar kokoh laksana benteng, merupakan bentuk lingkaran yang luas didepan mimbar.
Pagar yang dari para Tamtama itu berlapis ampat. Yang berada didepan sendiri semua duduk bersila, dilapis kedua duduk berjongkok, sedangkan lapis ketiga dan ke empat berdiri. Semua tak terkecuali, bersenjatakan pedang terhunus ditangannya. Duapuluh Tamtama Pengawal Raja duduk bersila dimimbar siap siaga dengan busur dan anak panah ditangannya, menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi.
Setelah Banteng dihalau dan masuk didalam gelanggang yang dipagari rapat oleh para Tamtama, Sang Banteng segera berusaha untuk keluar dari gelanggang. Namun tiap-tiap kali ia mendekati para Tamtama yang berjaga sabagai pagar tadi, berpuluh-puluh senjata segera diacungkan kearahnya. Sang Banteng mendengus-dengus dan kembali menggagalkan niatnya.
Sorak ramainya para Tamtama yang menghalau sang banteng untuk selalu berusaha agar banteng berada di tengah-tengah lapangan, menggema jauh diudara. Rakyat banyak pula yang memanjat pohon, agar dapat melihat lebih jelas pertunjukkan yang mendebarkan penonton itu.
Banteng Istana itu adalah banteng jantan yang telah cukup usianya. Satu-satunya banteng yang terpilih diantara berpuluh-puluh banteng lain yang telah tertangkap pada waktu berburu sebulan yang lalu.
Dapat dibayangkan, bahwa banteng itu masih sangat liar dan lebih besar dibandingkan dengan banteng-banteng Istana yang lain. Indra Sambada setelah mohon doa restu para Senopati dan sekali lagi menyembah ke hadapan Sri Baginda Maharaja segera melangkah maju menuju ke medan gelanggang. Sambil berjalan ia mulai dengan semadhinya, mengumpulkan daya kekuatan bathin, untuk kemudian dipusatkan, dan disalurkan melalui pancaran sinar matanya.
Indra Sambada kini memasuki gelanggang dan dengan tenang menghadapi banteng yang sedang mendengus-dengus dengan matanya yang telah merah. Dan air liur membuih keluar dari mulutnya. Kaki depannya berganti ganti mencakur-cakur tanah, dengan kepala menunduk sampai mulutnya menjamah tanah.
Indra Sambada dengan tak berkedip menatap mata banteng dengan sinar pancaran yang tajam mengandung daya kesaktian. Kiranya banteng tak tahan menatap sinar pandangan Indra Sambada. Kepalanya menunduk dengan membuang pandangan kebawah sesaat. Dan kini sang banteng dengan tanduknya telah mulai menerjang kearah Indra Sambada. Dengan tenang Indra mengelak terjangan banteng yang dahsyat itu, dengan hanya melangkah setindak surut kesamping. Sang banteng yang menerjang sasaran kosong, kini membalikkan badannya dan mengulangi kembali menerjang lawannya.
Namun Indra dengan tangkas mengelak menghindari terjangan yang ketiga kalinya dengan gaya yang sama. Kembali tampik sorak menggema berkumandang memekakkan telinga. Tetapi sesaat kemudian segera sunyi kembali, karena semua menahan nafas dengan penuh kecemasan.
Setelah berulang-ulang dapat mempermainkan sang banteng Indra Sambada kini ingin segera mengakhiri pertarungan yang sengit itu. la berdiri mendekati dengan kuda-kudanya yang kokok kuat didepan banteng yang sedang mengamuk laksana banteng terluka, dengan matanya yang merah menyala. Kepalanya ditundukkan dengan tanduknya hampir mengenai tanah. Liurnya tambah membuih-buih dan mendengus-dengus menakutkan. Semua penonton menahan nafas dengan hati yang berdebar-debar karena tidak tahu akan kelanjutan cara Indra bertarung melawan banteng itu. Semua penonton terpaku seperti patung, penuh rasa keheranan.
Mengapa hingga detik ini Indra tak mencabut kerisnya, dan masih tetap bertangan kosong. Sri Baginda Permaisuri dan para selir menutup matanya dengan kedua belah tangannya. Sri Baginda Maharaja sendiri menanti berakhirnya pertarungan dengan penuh kecemasan hampir-hampir beliau menghentikan pertarungan itu, tetapi sang Senopati segera mencegah akan kehendak beliau.
Sebagai seorang Senopati Manggala Yudha yang memiliki ilmu tenaga bathin yang telah mendekati kearah sempurna, beliau segera tahu, bahwa lndra Sambada sedang metak aji kesaktiannya. Ingin pula beliau turut menyaksikan aji kesaktian yang dimiliki oleh Indra Sambada.
Kini Indra Sambada mengerahkan pemusatan tenaga dalam untuk menghadapi benturan dengan tenaga kekuatan lahir. Sebagian disalurkan kearah tangannya untuk menciptakan kekuatan genggaman, sedangkan keseluruhan kekuatan yang telah memusat itu dimasukan dalam berat badannya sendiri.
Banteng menerjang lagi, tapi kini Indra Sambada tidak mengelak, bahkan menerima benturan kepala banteng, dengan ketangkasan yang menakjubkan. Kedua belah tangannya memegang pada tanduk banteng. Kekuatan yang menciptakan daya sakti itu adalah perpaduan ilmu dari ayahnya dan ilmu guru Pendetanya dari Badung. Olehnya dan selanjutnya dinamakan aji sakti Badung Bandawasa. Banteng dengan sekuat tenaga mencoba akan mengangkat badan Indra Sambada, namun Indra Samhada yang sudah dilindungi oleh aji sakti Badung Bandawasa kini berat badannya menjadi sepuluh kali lipat.
Tak mampu banteng mengangkatnya. Banteng mendengus lagi degan mengeluarkan suara desisan yang cukup mengerikan. Tetapi kembali sang banteng tak mampu mengangkatnya. Para penonton seolah-olah berhenti detakan jantungnya demi menyaksikan suatu adegan pertempuran kedua kekuatan yang dahsyat itu.
Setelah kekuatan banteng berkurang, maka Indra Sambada dengan kedua belah tangannya yang berpegangan pada kedua tanduknya, segera mengkilirkan dengan pelan kepala sang banteng, hingga sesaat kemudian banteng roboh ditanah dengan sepasang tanduknya masih dalam genggaman tangan Indra Sambada. Kaki keempat-empatnya berkelejetan untuk berusaha berdiri, tetapi kini ia telah tak berdaya.
Sri Baginda Maharaja segera memberi isyarat untuk membunuh banteng itu dengan keris pusakanya yang terselip dipinggangnya sebelah kiri. Tetapi Indra Sambada tak mau menodai keris pusakanya dengan darah banteng.
Kekuatan yang telah terpusat dan mengalir keseluruh badannya, cepat dikumpulkan kembali dan disalurkan ditelapak tangan kanannya. Kini pegangan pada sepasang tanduk banteng dilepaskan dan dengan cepat tangan kanan Indra yang telah diisi dengan aji sakti Badung Bandawasa dikepalkan menjadi tinju, untuk kemudian dipukulkan kearah kepala Banteng yang berada dihadapannya.
Pukulan yang dahsyat kini bersarang dikepalanya. Dan tak ayal lagi kepala banteng pecah seketika dengan menyemburkan darah merah bercampur dengan otak yang pecah berantakan.
Tepuk tangan dan sorak sorai gemuruh memenuhi seluruh alun-alun dan berkumandang diangkasa laksana merobohkan benteng baja. Gong besar dipukul tiga kali dan dari keempat penjuru semua gamelan berbunyi lagi dengan lagunya kebugiro.
Semua penonton bersorak puas dan kagum akan kesaktian Indra Sambada yang masih semuda itu. Delapan Tamtama datang menyambut Indra Sambada dan dipanggulnya ganti berganti sampai didepan mimbar agung. Semua Senopati mengucapkan selamat serta menjabat tangannya.
Dan pada waktu itulah Sri Baginda Maharaja berkenan melantik Tumenggung Indra Sambada sebagai Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja, mewakili Gusti Senopati Adityawardhana dengan anugerah gelar “Pendekar Majapahit”.
Waktu pelantikan Indra Sambada, memenuhi adat upacara, mengucapkan janji pasti Panca Setya Tamtama yang dipimpin oleh Pendeta Istana.
Demi Dewata Yang Malia Agung dan disaksikan oleh Alam Semesta, hamba berjanji:
Demikianlah hamba mengucapkan janji pasti hamba dengan penuh kesadaran akan hukuman dan kutukan yang dilimpahkan oleh Gustiku Sri Baginda Maharaja Rajasanegara dan Dewata Yang Maha Agung. Apabila hamba tidak memenuhi janji pasti hamba.
Sampai disinilah Sambada sadar bahwa tugaslah sebagai rangkaian ucapan janjinya dan ia sadar dari lamunannya.
Dengan sodor ditangan kanannya Indra Sambada mengamuk menggempur siapa saja yang berada di sekelilingnya. Dalam waktu singkat lawannya telah banyak yang bergelimpangan jatuh ditanah. Tumenggung Sunata tak mampu pula menghadapi Indra Sambada, dan jatuh terguling untuk kemudian meninggalkan gelanggang. Kini Senopati pasukan sodoran tinggal dua orang, ialah Indra Sambada melawan Gusti Adityawardhana. Pasukan para tamtama yang masih bertempur seluruhnya tinggal lima puluhan.
Indra Sambada langsung memacukan kudanya kearah Gusti Adityawardhana, namun lawannya tidak kalah tangkasnya. Secepat kilat beliau menarik lisnya, sehingga kudanya terperanjat berdiri diatas kedua kakinya dengan meringkik. Indra Sambada menubruk tempat kosong dengan tangkasnya ia segera membalikkan kudanya dan memacunya kearah lawan. Kini ia telah berhadapan kembali dengan Gusti Adityawardhana yang masih tegap duduk diatas pelana.
Beliau segera menyerang lebih dahulu dengan sabetan tongkatnya kearah lambung Indra Sambada, yang segera ditangkis dengan tangkasnya memakai tongkatnya pula. Tongkat sama tongkat beradu dengan dahsyatnya. Ternyata sewaktu memukul tadi Gusti Adityawardhana menggunakan kekuatan bathinnya untuk mengukur kekuatan Indra Sambada.
Namun siang-siang Indra Sambada telah mengetahui, bahwa pukulan tongkat tadi berisikan pemusatan kekuatan bathin. Karena keinginan untuk mengukur kekuatan lawan, maka pukulan disambutnya dengan tangkisan yang tak kalah dahsyatnya. Telapak tangannya bergetar dan terasa pedih namun tongkat masih dapat ia menggenggam erat dengan tangannya. Gusti Adityawardhana memandang dengan penuh rasa heran, karena ternyata tangannya terasa pedih pula, bahkan hampir-hampir tongkatnya jatuh terlepas dari genggaman.
“Tumenggung Indra!” seru beliau sambil bertempur. “lekas selesaikan pertempuran ini. Pukullah aku dengan ketangkasanmu. Aku akan memberi kesempatan, demi melihat dan menyaksikan sendiri kesaktianmu. Kau adalah pemuda harapan. Cepat!” beliau berseru lebih keras.
Dan Indra Sambada segera tahu akan maksudnya. Dengan ketangkasan yang mengagumkan ia memutar tongkatnya diatas kepala sebagai tangkisan terhadap semua pukulan yang dilancarkan oleh para lawan dan secepat kilat putaran tongkat berobah menjadi pukulan yang dahsyat mengenai lengan Gusti Adityawardhana.
Terkena serangan lengannya oleh Indra Sambada beliau segera menjatuhkan diri bergulingan ditanah. Kiranya Indra Sambada tak mau pula menerima pujian yang tidak wajar itu. Segera ia menyusul, jatuh bergulingan ditanah pula. Namun para petugas telah memutuskan Indra Sambada sebagai pemenang. Kembali sorak sorai gemuruh menggelegar diangkasa memekakkan telinga.
Gong besar segera dipukul lagi, sebagai tanda, bahwa lomba krida yudha telah selesai seluruhnya. Tiba-tiba empat Tamtama pengawal Raja berjalan cepat rnenuju kearah Indra, dan segera berhenti dihadapan Indra Sambada.
“Atas titah Tuan hamba Gusti Sri Baginda Maharaja, Gustiku Tumenggung diperintah menghadap di depan mimbar.” berkata seorang diantara empat Tamtama pengawal Raja tadi.
Indra Sambada segera mengikuti mereka berjalan menuju ke depan mimbar dan berhenti berdiri tegak, serta rnenghaturkan sembah kehadapan Sri Baginda Maharaja.
“Tumenggung Indra!” Sribaginda Maharaja menyambut sembah Indra dengan berdiri serta bersabda, “aku ingin melihat ketangkasanmu sekali lagi. Jika kau bersedia, banteng piaraanku akan kuperintahkan untuk dilepas. Jika berhasil menundukkan dengan keris pusakamu itu, gelar “Banteng Majapahit" ku berikan kepadamu, dan sekaligus ku angkat kau sebagai Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja. Bagaimana? sanggupkah engkau?”.
“Hamba selalu akan menunjukkan dharma bakti hamba kehadapan Gusti hamba Sri Baginda Maharaja. Semua titah Gusti hamba Sri Baginda Maharaja kami junjung tinggi demi kejayaan Kerajaan.” Indra menjawab dengan tidak ragu-ragu, dan menutup kata jawabannya dengan sembah. Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra segera turun dari mimbar dan mendekati Indra Sambada, seraya menepuk nepuk bahunya
“Kau putraku, harus dapat membuktikan kesanggupanmu. Aku akan membantumu dengan doa pada Dewata Yang Maha Agung,” beliau berkata lirih kepadanya.
“Doa restu Gusti Pamanku semoga selalu menyertai hamba.” Jawab Indra singkat.
Empat orang Tamtama segera diperintahkan untuk melepaskan seekor banteng piaraan yang kandangnya berada di alun-alun sebelah timur. Semua Tamtama segera menghunus pedang masing-masing dan berdiri dengan pedang terhunus berjajar rapat menyerupai pagar kokoh laksana benteng, merupakan bentuk lingkaran yang luas didepan mimbar.
Pagar yang dari para Tamtama itu berlapis ampat. Yang berada didepan sendiri semua duduk bersila, dilapis kedua duduk berjongkok, sedangkan lapis ketiga dan ke empat berdiri. Semua tak terkecuali, bersenjatakan pedang terhunus ditangannya. Duapuluh Tamtama Pengawal Raja duduk bersila dimimbar siap siaga dengan busur dan anak panah ditangannya, menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi.
Setelah Banteng dihalau dan masuk didalam gelanggang yang dipagari rapat oleh para Tamtama, Sang Banteng segera berusaha untuk keluar dari gelanggang. Namun tiap-tiap kali ia mendekati para Tamtama yang berjaga sabagai pagar tadi, berpuluh-puluh senjata segera diacungkan kearahnya. Sang Banteng mendengus-dengus dan kembali menggagalkan niatnya.
Sorak ramainya para Tamtama yang menghalau sang banteng untuk selalu berusaha agar banteng berada di tengah-tengah lapangan, menggema jauh diudara. Rakyat banyak pula yang memanjat pohon, agar dapat melihat lebih jelas pertunjukkan yang mendebarkan penonton itu.
Banteng Istana itu adalah banteng jantan yang telah cukup usianya. Satu-satunya banteng yang terpilih diantara berpuluh-puluh banteng lain yang telah tertangkap pada waktu berburu sebulan yang lalu.
Dapat dibayangkan, bahwa banteng itu masih sangat liar dan lebih besar dibandingkan dengan banteng-banteng Istana yang lain. Indra Sambada setelah mohon doa restu para Senopati dan sekali lagi menyembah ke hadapan Sri Baginda Maharaja segera melangkah maju menuju ke medan gelanggang. Sambil berjalan ia mulai dengan semadhinya, mengumpulkan daya kekuatan bathin, untuk kemudian dipusatkan, dan disalurkan melalui pancaran sinar matanya.
Indra Sambada kini memasuki gelanggang dan dengan tenang menghadapi banteng yang sedang mendengus-dengus dengan matanya yang telah merah. Dan air liur membuih keluar dari mulutnya. Kaki depannya berganti ganti mencakur-cakur tanah, dengan kepala menunduk sampai mulutnya menjamah tanah.
Indra Sambada dengan tak berkedip menatap mata banteng dengan sinar pancaran yang tajam mengandung daya kesaktian. Kiranya banteng tak tahan menatap sinar pandangan Indra Sambada. Kepalanya menunduk dengan membuang pandangan kebawah sesaat. Dan kini sang banteng dengan tanduknya telah mulai menerjang kearah Indra Sambada. Dengan tenang Indra mengelak terjangan banteng yang dahsyat itu, dengan hanya melangkah setindak surut kesamping. Sang banteng yang menerjang sasaran kosong, kini membalikkan badannya dan mengulangi kembali menerjang lawannya.
Namun Indra dengan tangkas mengelak menghindari terjangan yang ketiga kalinya dengan gaya yang sama. Kembali tampik sorak menggema berkumandang memekakkan telinga. Tetapi sesaat kemudian segera sunyi kembali, karena semua menahan nafas dengan penuh kecemasan.
Setelah berulang-ulang dapat mempermainkan sang banteng Indra Sambada kini ingin segera mengakhiri pertarungan yang sengit itu. la berdiri mendekati dengan kuda-kudanya yang kokok kuat didepan banteng yang sedang mengamuk laksana banteng terluka, dengan matanya yang merah menyala. Kepalanya ditundukkan dengan tanduknya hampir mengenai tanah. Liurnya tambah membuih-buih dan mendengus-dengus menakutkan. Semua penonton menahan nafas dengan hati yang berdebar-debar karena tidak tahu akan kelanjutan cara Indra bertarung melawan banteng itu. Semua penonton terpaku seperti patung, penuh rasa keheranan.
Mengapa hingga detik ini Indra tak mencabut kerisnya, dan masih tetap bertangan kosong. Sri Baginda Permaisuri dan para selir menutup matanya dengan kedua belah tangannya. Sri Baginda Maharaja sendiri menanti berakhirnya pertarungan dengan penuh kecemasan hampir-hampir beliau menghentikan pertarungan itu, tetapi sang Senopati segera mencegah akan kehendak beliau.
Sebagai seorang Senopati Manggala Yudha yang memiliki ilmu tenaga bathin yang telah mendekati kearah sempurna, beliau segera tahu, bahwa lndra Sambada sedang metak aji kesaktiannya. Ingin pula beliau turut menyaksikan aji kesaktian yang dimiliki oleh Indra Sambada.
Kini Indra Sambada mengerahkan pemusatan tenaga dalam untuk menghadapi benturan dengan tenaga kekuatan lahir. Sebagian disalurkan kearah tangannya untuk menciptakan kekuatan genggaman, sedangkan keseluruhan kekuatan yang telah memusat itu dimasukan dalam berat badannya sendiri.
Banteng menerjang lagi, tapi kini Indra Sambada tidak mengelak, bahkan menerima benturan kepala banteng, dengan ketangkasan yang menakjubkan. Kedua belah tangannya memegang pada tanduk banteng. Kekuatan yang menciptakan daya sakti itu adalah perpaduan ilmu dari ayahnya dan ilmu guru Pendetanya dari Badung. Olehnya dan selanjutnya dinamakan aji sakti Badung Bandawasa. Banteng dengan sekuat tenaga mencoba akan mengangkat badan Indra Sambada, namun Indra Samhada yang sudah dilindungi oleh aji sakti Badung Bandawasa kini berat badannya menjadi sepuluh kali lipat.
Tak mampu banteng mengangkatnya. Banteng mendengus lagi degan mengeluarkan suara desisan yang cukup mengerikan. Tetapi kembali sang banteng tak mampu mengangkatnya. Para penonton seolah-olah berhenti detakan jantungnya demi menyaksikan suatu adegan pertempuran kedua kekuatan yang dahsyat itu.
Setelah kekuatan banteng berkurang, maka Indra Sambada dengan kedua belah tangannya yang berpegangan pada kedua tanduknya, segera mengkilirkan dengan pelan kepala sang banteng, hingga sesaat kemudian banteng roboh ditanah dengan sepasang tanduknya masih dalam genggaman tangan Indra Sambada. Kaki keempat-empatnya berkelejetan untuk berusaha berdiri, tetapi kini ia telah tak berdaya.
Sri Baginda Maharaja segera memberi isyarat untuk membunuh banteng itu dengan keris pusakanya yang terselip dipinggangnya sebelah kiri. Tetapi Indra Sambada tak mau menodai keris pusakanya dengan darah banteng.
Kekuatan yang telah terpusat dan mengalir keseluruh badannya, cepat dikumpulkan kembali dan disalurkan ditelapak tangan kanannya. Kini pegangan pada sepasang tanduk banteng dilepaskan dan dengan cepat tangan kanan Indra yang telah diisi dengan aji sakti Badung Bandawasa dikepalkan menjadi tinju, untuk kemudian dipukulkan kearah kepala Banteng yang berada dihadapannya.
Pukulan yang dahsyat kini bersarang dikepalanya. Dan tak ayal lagi kepala banteng pecah seketika dengan menyemburkan darah merah bercampur dengan otak yang pecah berantakan.
Tepuk tangan dan sorak sorai gemuruh memenuhi seluruh alun-alun dan berkumandang diangkasa laksana merobohkan benteng baja. Gong besar dipukul tiga kali dan dari keempat penjuru semua gamelan berbunyi lagi dengan lagunya kebugiro.
Semua penonton bersorak puas dan kagum akan kesaktian Indra Sambada yang masih semuda itu. Delapan Tamtama datang menyambut Indra Sambada dan dipanggulnya ganti berganti sampai didepan mimbar agung. Semua Senopati mengucapkan selamat serta menjabat tangannya.
Dan pada waktu itulah Sri Baginda Maharaja berkenan melantik Tumenggung Indra Sambada sebagai Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja, mewakili Gusti Senopati Adityawardhana dengan anugerah gelar “Pendekar Majapahit”.
Waktu pelantikan Indra Sambada, memenuhi adat upacara, mengucapkan janji pasti Panca Setya Tamtama yang dipimpin oleh Pendeta Istana.
Demi Dewata Yang Malia Agung dan disaksikan oleh Alam Semesta, hamba berjanji:
- Setia patuh dan taat akan semua titah Gusti hamba Sri Baginda Maharaja Rajasanegara dan semua perintah Pri-jagung yang menjabat lebih tinggi dari pada jabatan hamba.
- Bersedia membela dan mempertahankan takhta Kerajaan Agung Majapahit hingga hembusan nafas yang penghabisan
- Bersedia membela dan mempertahankan keagungan nama Gusti hamha Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, dan bertanggung jawab akan keselamatan Gusti hamba Sri Baginda Maharaja beserta Sri Baginda Permaisuri dan keluarga Istana Kerajaan hingga hembusan nafas yang terakhir.
- Bersedia membela dan menegakkan keadilan demi kesejahteraan Negara dan rakyatnya.
- Bersedia menjadi suri tauladan bagi seluruh Tamtama Kerajaan Majapahit dan segenap rakyat.
Demikianlah hamba mengucapkan janji pasti hamba dengan penuh kesadaran akan hukuman dan kutukan yang dilimpahkan oleh Gustiku Sri Baginda Maharaja Rajasanegara dan Dewata Yang Maha Agung. Apabila hamba tidak memenuhi janji pasti hamba.
Sampai disinilah Sambada sadar bahwa tugaslah sebagai rangkaian ucapan janjinya dan ia sadar dari lamunannya.
**** 004 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment