“Sudahlah. Diajeng, sebaiknya kau lekas memanggil pembantu-pembantumu untuk segera membereskan kamar digandok samping, yang akan dipakai Gusti Tumenggung Indra ini.”
Ki Lurah Somad berkata kepada isterinya, dan isterinya segera meninggalkan ruang tamu lagi dan dengan dibantu oleh dua orang inangnya ia membereskan ruang gandok samping.
Tak lama kemudian Nyi Somad telah masuk kembali diruang tamu dan mempersilahkan Indra Sambada dan Sunata untuk memeriksanya terlebih dahulu. Ki Lurah Somad turut juga mempersilahkan, katanya;
“Silahkan, Gustiku sekalian supaya memeriksa kamar yang telah kami persiapkan itu. Jika sekiranya kurang memuaskan, biarlah Gustiku memakai rumah besar ini, dan kami yang berada digandok.”
Berempat mereka segera pergi kegandok samping, dan memeriksa dengan telitinya. Ternyata rumah gandok itu cukup Iuas. Ruangan tengahnya luas pula dan teratur rapih dengan hiasan-hiasan dinding yang serba indah. Tikar permadani digelar di ruang tamu sebagai tempat duduk. Kamar tidurnyapun cukup luas, bahkan terlalu luas untuk hanya dipakai satu orang. Kasurnya digelari dengan tilam sutra, demikianpun dengan sarung bantalnya dari sutera pula, yang disulam dengan gambar bunga. Baunya harum semerbak menyegarkan. Kiranya tidak lupa pula diberi wewangian hingga memenuhi seluruh ruangan.
Dibelakang kamar tidur terdapat kamar mandi tersendiri. Pintu kamar tidurnya ada dua, satu menghubungkan dengan rumah besar, dan satu lagi menuju keruang tamu didepan, Setelah mereka puas dalam meneliti ruang gandok, segera mereka kembali menuju ke ruang tamu untuk melanjutkan percakapan sambil bersendau gurau. Nyi Lurah Somad kelihatan sangat girang, setelah Indra menerima tawarannya untuk tinggal digandoknya. Ki Lurah Sornad merasa girang, karena dengan demikian pengabdiannya akan lebih mendapat perhatian dari Gusti Senapati, lagi pula akan merasa tentram jika rumah ditinggalkan berkenaan dengan tugas-tugasnya.
“Kini kiranya telah larut malam” kata Tumenggung Sunata! “Besok saya pagi-pagi akan datang kemari menjemput Dimas Tumenggung Indra, untuk bersama-sama menghadap Gusti Senopati” Sunata melanjutkan bicaranya! “O, ya Ki Lurah, mungkin besok siang-siangan Gustiku Senopati akan berkenan berkunjung kemari untuk memeriksanya sendiri” Sunata berkata kepada Ki Lurah Somad.
“Akan hamba junjung segala titah Gusti Tumenggung” jawab Ki Lurah Somad singkat.
Tumenggung Sunata setelah pamit, segera bangkit dan keluar menghampiri kudanya. Ki Lurah dan isterinya mengantarkan sampai didepan pintu, bersama Indra Sambada tak ketinggalan pula.
Tak lama kemudian Tumenggung Sunata memacukan kudanya, dan hilang dikegelapan malam. Derap langkah kudanyapun terdengar makin lirih, untuk kemudian lenyap sama sekali dari pandangan.
***
“Tumenggung Indra!” Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra bersabda kepada Indra Sambada.
“Menjunjung titah Gustiku Patih Mangkubumi Gajah Mada, kau diperintahkan menghadap kehadapannya pada hari ini di Istana Kepatihan. Tumenggung Sunata akan kuperintahkan menyertaimu” Beliau diam sejenak dan mengambil sepucuk surat yang telah dimasukkan didalam sampul dengan tertutup rapat, untuk kemudian diberikan Indra Sambada, sambil melanjutkan sabdanya! “Terimalah surat ini dan haturkan kehadapan Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada”
Indra Sambada menyembah, untuk kemudian menerima surat yang diberikan oleh Gusti Harja Banendra. Setelah diterimanya segera dimasukkan ke dalam baju didadanya, dan berkata.
“Menjunjung titah Tuanku Gusti Senopati, hamba akan segera melaksanakan titah Tuanku Gusti” Kata-kata itu ditutup dengan menyembah.
“Tumenggung Sunata!” Sang Senopati Gusti Harya Banendra bersabda kepada Sunata “Antarkan Tumenggung Indra Sambada menghadap Gustiku Patih Mangkubumi GaJah Mada di Istana Kepatihan hari ini, dan jangan lupa sampaikan sembah sujudku kehadapannya.”
Mereka berdua segera mohon diri dengan menyembah terlebih dahulu, dan keluar menuju ketempat penambatan kuda. Kedua Perwira Tamtama tadi, masing-masing telah duduk diatas kuda untuk kemudian memacu kudanya dan berjalan berjajar menuju ke kota Raja di Istana Kepatihan.
“Apakah dimas Tumenggung Indra pernah menghadap Gusti Patih Mangkubumi di Istana Kepatihan?” Sunata bertanya memecah kesunyian dalam perjalanan.
“Belum pernah Kangmas Tumenggung” Indra menjawab “Istana Kepatihan saja aku belum pernah melihatnya, apalagi menghadap”
“Tetapi mengapa tadi Gusti Senopati mengatakan bahwa Dimas diperintahkan menghadap atas titah Gusti Patih Mangkubumi? Darimana beliau tahu bahwa Dimas Tumenggung Indra sekarang berada di Senopaten?” Tumenggung Sunata melanjutkan percakapannya.
“Saja juga tidak tahu, Kangmas” jawab Indra Sambada dengan kejujurannya: “Mungkin Gusti Senopati telah berkenan menghaturkan periksa kehadapannya pada hari-hari kemarin. Bukankah demikian kiranya Kangmas Tumenggung?”, Kata Indra Sambada dengan menduga-duga.
“Ah,…… tidak mungkin!” Sunata menyahut secara cepat! “Biasanya, jika beliau menghadap ke Istana Kepatihan aku harus mengawainya, dan jika dengan surat aku pula yang menghaturkannya. Apa lagi ini soal penting mengenat Dimas Tumenggung Indra” bantah Sunata.
“Entahlah, Kangmas kita saksikan saja nanti,” Indra memotong dan melanjutkan kata-katanya “Mudah-mudahan saja saya tidak menerima kemurkaan dari Gustiku Patih
“Itu juga tidak mungkin, karena Dimas belum pernah menghadap berarti belum pernah berbuat salah kehadapan beliau. Aku harapkan saja Dimas akan menerima hadiah karena jasa-jasa ayahmu.”
Mereka berdua kini kelihatan lebih akrab lagi dari pada waktu-waktu yang lalu. Mereka berkuda berdampingan dengan asyik bercakap-cakap diselingi dengan ketawa riang. Kiranya Tumenggung Sunata senang pula bersenda gurau sambil menggoda Tumenggung Indra Sambada.
“Dimas Tumenggung Indra itu memang sedang memangku wahyu.” katanya berkelakar menggoda. “Bangun pagi saja dibangunkan oleh wanita cantik. Makan pun dilayaninya sendiri. Dan kini diperintah menghadap untuk menerima hadiah. Saya yang bertahun-tahun mengabdi di Senopaten dan sering berjumpa belum pernah duduk bercakap-cakap sendiri dengan sidia” Yang dimaksud sidia adalah. Nyi Lurah Somad.
Berkata demikian Sunata sambil ketawa nyaring. Indra Sambada merasa malu, terlihat mukanya yang merah padam. Tetapi Sunata semakin senang menggodanya
“Sudahlah, saya mau juga tukar tambah dengan tempatmu, Dimas Tumenggung Indra.” Sunata melanjutkan sindirannya.
“Ach,…… Kangmas memang senang menggodaku,” Indra agak bingung untuk membantahnya. “Seperti benar-benar terjadi Kangmas. Pada hal saya kan tidak pernah diperlakukan sedemikian oleh Nyi Somad.”
Ki Lurah Somad berkata kepada isterinya, dan isterinya segera meninggalkan ruang tamu lagi dan dengan dibantu oleh dua orang inangnya ia membereskan ruang gandok samping.
Tak lama kemudian Nyi Somad telah masuk kembali diruang tamu dan mempersilahkan Indra Sambada dan Sunata untuk memeriksanya terlebih dahulu. Ki Lurah Somad turut juga mempersilahkan, katanya;
“Silahkan, Gustiku sekalian supaya memeriksa kamar yang telah kami persiapkan itu. Jika sekiranya kurang memuaskan, biarlah Gustiku memakai rumah besar ini, dan kami yang berada digandok.”
Berempat mereka segera pergi kegandok samping, dan memeriksa dengan telitinya. Ternyata rumah gandok itu cukup Iuas. Ruangan tengahnya luas pula dan teratur rapih dengan hiasan-hiasan dinding yang serba indah. Tikar permadani digelar di ruang tamu sebagai tempat duduk. Kamar tidurnyapun cukup luas, bahkan terlalu luas untuk hanya dipakai satu orang. Kasurnya digelari dengan tilam sutra, demikianpun dengan sarung bantalnya dari sutera pula, yang disulam dengan gambar bunga. Baunya harum semerbak menyegarkan. Kiranya tidak lupa pula diberi wewangian hingga memenuhi seluruh ruangan.
Dibelakang kamar tidur terdapat kamar mandi tersendiri. Pintu kamar tidurnya ada dua, satu menghubungkan dengan rumah besar, dan satu lagi menuju keruang tamu didepan, Setelah mereka puas dalam meneliti ruang gandok, segera mereka kembali menuju ke ruang tamu untuk melanjutkan percakapan sambil bersendau gurau. Nyi Lurah Somad kelihatan sangat girang, setelah Indra menerima tawarannya untuk tinggal digandoknya. Ki Lurah Sornad merasa girang, karena dengan demikian pengabdiannya akan lebih mendapat perhatian dari Gusti Senapati, lagi pula akan merasa tentram jika rumah ditinggalkan berkenaan dengan tugas-tugasnya.
“Kini kiranya telah larut malam” kata Tumenggung Sunata! “Besok saya pagi-pagi akan datang kemari menjemput Dimas Tumenggung Indra, untuk bersama-sama menghadap Gusti Senopati” Sunata melanjutkan bicaranya! “O, ya Ki Lurah, mungkin besok siang-siangan Gustiku Senopati akan berkenan berkunjung kemari untuk memeriksanya sendiri” Sunata berkata kepada Ki Lurah Somad.
“Akan hamba junjung segala titah Gusti Tumenggung” jawab Ki Lurah Somad singkat.
Tumenggung Sunata setelah pamit, segera bangkit dan keluar menghampiri kudanya. Ki Lurah dan isterinya mengantarkan sampai didepan pintu, bersama Indra Sambada tak ketinggalan pula.
Tak lama kemudian Tumenggung Sunata memacukan kudanya, dan hilang dikegelapan malam. Derap langkah kudanyapun terdengar makin lirih, untuk kemudian lenyap sama sekali dari pandangan.
***
“Tumenggung Indra!” Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra bersabda kepada Indra Sambada.
“Menjunjung titah Gustiku Patih Mangkubumi Gajah Mada, kau diperintahkan menghadap kehadapannya pada hari ini di Istana Kepatihan. Tumenggung Sunata akan kuperintahkan menyertaimu” Beliau diam sejenak dan mengambil sepucuk surat yang telah dimasukkan didalam sampul dengan tertutup rapat, untuk kemudian diberikan Indra Sambada, sambil melanjutkan sabdanya! “Terimalah surat ini dan haturkan kehadapan Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada”
Indra Sambada menyembah, untuk kemudian menerima surat yang diberikan oleh Gusti Harja Banendra. Setelah diterimanya segera dimasukkan ke dalam baju didadanya, dan berkata.
“Menjunjung titah Tuanku Gusti Senopati, hamba akan segera melaksanakan titah Tuanku Gusti” Kata-kata itu ditutup dengan menyembah.
“Tumenggung Sunata!” Sang Senopati Gusti Harya Banendra bersabda kepada Sunata “Antarkan Tumenggung Indra Sambada menghadap Gustiku Patih Mangkubumi GaJah Mada di Istana Kepatihan hari ini, dan jangan lupa sampaikan sembah sujudku kehadapannya.”
Mereka berdua segera mohon diri dengan menyembah terlebih dahulu, dan keluar menuju ketempat penambatan kuda. Kedua Perwira Tamtama tadi, masing-masing telah duduk diatas kuda untuk kemudian memacu kudanya dan berjalan berjajar menuju ke kota Raja di Istana Kepatihan.
“Apakah dimas Tumenggung Indra pernah menghadap Gusti Patih Mangkubumi di Istana Kepatihan?” Sunata bertanya memecah kesunyian dalam perjalanan.
“Belum pernah Kangmas Tumenggung” Indra menjawab “Istana Kepatihan saja aku belum pernah melihatnya, apalagi menghadap”
“Tetapi mengapa tadi Gusti Senopati mengatakan bahwa Dimas diperintahkan menghadap atas titah Gusti Patih Mangkubumi? Darimana beliau tahu bahwa Dimas Tumenggung Indra sekarang berada di Senopaten?” Tumenggung Sunata melanjutkan percakapannya.
“Saja juga tidak tahu, Kangmas” jawab Indra Sambada dengan kejujurannya: “Mungkin Gusti Senopati telah berkenan menghaturkan periksa kehadapannya pada hari-hari kemarin. Bukankah demikian kiranya Kangmas Tumenggung?”, Kata Indra Sambada dengan menduga-duga.
“Ah,…… tidak mungkin!” Sunata menyahut secara cepat! “Biasanya, jika beliau menghadap ke Istana Kepatihan aku harus mengawainya, dan jika dengan surat aku pula yang menghaturkannya. Apa lagi ini soal penting mengenat Dimas Tumenggung Indra” bantah Sunata.
“Entahlah, Kangmas kita saksikan saja nanti,” Indra memotong dan melanjutkan kata-katanya “Mudah-mudahan saja saya tidak menerima kemurkaan dari Gustiku Patih
“Itu juga tidak mungkin, karena Dimas belum pernah menghadap berarti belum pernah berbuat salah kehadapan beliau. Aku harapkan saja Dimas akan menerima hadiah karena jasa-jasa ayahmu.”
Mereka berdua kini kelihatan lebih akrab lagi dari pada waktu-waktu yang lalu. Mereka berkuda berdampingan dengan asyik bercakap-cakap diselingi dengan ketawa riang. Kiranya Tumenggung Sunata senang pula bersenda gurau sambil menggoda Tumenggung Indra Sambada.
“Dimas Tumenggung Indra itu memang sedang memangku wahyu.” katanya berkelakar menggoda. “Bangun pagi saja dibangunkan oleh wanita cantik. Makan pun dilayaninya sendiri. Dan kini diperintah menghadap untuk menerima hadiah. Saya yang bertahun-tahun mengabdi di Senopaten dan sering berjumpa belum pernah duduk bercakap-cakap sendiri dengan sidia” Yang dimaksud sidia adalah. Nyi Lurah Somad.
Berkata demikian Sunata sambil ketawa nyaring. Indra Sambada merasa malu, terlihat mukanya yang merah padam. Tetapi Sunata semakin senang menggodanya
“Sudahlah, saya mau juga tukar tambah dengan tempatmu, Dimas Tumenggung Indra.” Sunata melanjutkan sindirannya.
“Ach,…… Kangmas memang senang menggodaku,” Indra agak bingung untuk membantahnya. “Seperti benar-benar terjadi Kangmas. Pada hal saya kan tidak pernah diperlakukan sedemikian oleh Nyi Somad.”
Dengan tidak terasa mereka berdua kini telah sampai di alun-alun Kepatihan dan langsung menuju tempat tambatan kuda. Dua Tamtama segera menyambut kedatangan mereka dengan memberi hormat terlebih dahulu untuk kemudian menambatkan dua ekor kuda yang telah diterimanya itu.
Kedua perwira Tamtama tadi berjalan menuju kepura pintu gerbang Kepatihan. Patung berbentuk gajah setinggi dua orang susun berdiri, terbuat dari batu yang di pahat halus, berdiri megah di-tengah-tengah sepasang pintu gerbang. Belalainya berada diatas kepala yang sedang memegang cis. Itulah lambang kebesaran Gusti Patih Mangku-bumi Gajah Mada yang terkenal akan keagungannya.
Pintu gerbang dikanan kirinya berbingkai ukir-ukiran pahatan berlukiskan sepasang raksasa dikanan kiri. Dan seluruhnya terbuat dari batu hitam alam. Pintu gerbang itu sangat lebar, sehingga kereta-kereta para Senopati dapat masuk tanpa kesulitan. Halaman Istana Kepatihan didalam pura pintu gerbang sangat luas, kira-kira seluas setengah alun alun.
Dua orang Tamtama pengawal yang sedang berdiri tegak didepan pintu gerbang segera memberi hormat kepada kedua perwira Tamtama yang berjalan memasuki pura pintu gerbang itu. Baru saja mereka berdua meninggalkan Balai Pengawalan, tiba- tiba mendengar suara teguran.
“Dimas Tumenggung Indra!” Indra segera menyahut dengan mendekati Perwira Tamtarna yang menegurnya.
“Kangmas Tumenggung Cakrawirya! Aku telah menepati janjiku untuk menemui Kangmas di istana Kepatihan ini!”
Tumenggung Cakrawirya, segera datang mendekat dan menjabat tangannya dengan sangat akrab.
“Saya telah sedari pagi menunggu kedatangan Dimas Tumenggung Indra. Bukankah hari ini hari yang telah Dimas janjikan pada waktu kita berpisah di Surabaya?” Tumenggung Cakrawirya melanjutkan tegurannya.
Tumenggung Sunata berdiri dengan penuh keheranan. Tadi menurut keterangan yang diberikan oleh Indra Sambada, ia belum pernah menghadap di Istana Kepatihan, tetapi ternyata telah mengenal dengan akrab pula dengan Tumenggung Cakrawirya. Ia meraba-raba dalam hatinya.
“Ini semua sayalah yang telah mengaturnya, Dimas Tumenggung Indra!” Cakrawirya melanjutkan bicaranya “Maafkan Dimas Tumenggung Sunata, kiranya sampai lupa untuk menegur Dimas karena rasa rinduku dengan Dimas Indra.“
“Ah,…… silahkan Kangmas Tumenggung Cakrawirya,” jawab Sunata. “Saya malah tidak mengira bahwa, Kangmas Tumenggung Cakrawirya telah mengenal Dimas Turnenggung Indra sejak lama.”
“Memang benar katamu, Dimas,” Cakrawirya menjelaskan. “Perkenalanku dulupun serba kebetulan. Jika waktu itu aku tidak berternu dengan Dimas Indra, tentunya aku tidak berada disini lagi. Dialah penyambung hidupku. Dan itu semua telah kuhaturkan kehadapan Gustiku Patih Mangkubumi. Lalu pada tiga hari berselang aku diutus menghadap Gusti Senopati Harya Banendra di Mojoagung, menyerahkan surat. Isi surat itu Gustiku Patih Mangkubumi berkenan memanggil Dimas Indra. Tetapi alangkah kebetulan ternyata Dimas Indra memang telah menghadap Gusti Senopati pada waktu sehari sebelum aku menghadap beliau. Kiranya oleh Gusti Senopati, Dimas Tumenggung Indrapun telah diterima pengabdiannya sebagai calon Tamtama seperti sekarang ini. Hal ini Gustiku Patih Mangkubumi sangat berkenan sekali.”
Kini Indra Sambada dan Sunata mengerti dengan jelas akan duduk perkaranya dan isi maksud panggilan menghadap itu.
“Terima kasih, atas jasa-jasa Kangmas Cakrawirya.” Indra memotong.
“Ah, saya tidak berjasa apa-apa dalam hal ini. Karena apa yang saya haturkan kepada Gustiku itu memang sewajarnya.” jawab Tumenggung Cakrawirya.
“Marilah kita bertiga bersama-sama segera menghadap.” Tumenggung Cakrawirya mempersilahkan Tumenggung Indra Sambada dan Tumenggung Sunata.
Bertiga mereka segera menghadap kehadapan Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada diruang tamu pendapa. Setelah mereka bertiga bersama-sama menyembah kehadapannya, Indra segera menyerahkan suratnya kehadapan beliau.
Surat diterima dan setelah ditelaah sejenak semua isi maksudnya, beliau segera menulis surat sebagai balasan kepada Sang Senopati Manggala Yudha yang kemudian diserahkan kepada Indra Sambada. Dalam surat itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada menyatakan persetujuannya akan pengangkatan Indra Sambada menjadi Bupati Tamtama, mengingat akan jasanya dalam menangkap orang Cina di Surabaya dan pula mengingat akan jasa-jasa orang tuanya Indra Sambada Tumenggung Karya Laga.
Beliau berpesan pula kepada Indra, agar nanti dalam lomba krida yudha yang akan diadakan untuk menyambut hari ulang tahun ke X atas bertahtanya Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, dapat tarnpil dengan hasil yang tidak mengecewakan. Dalam sampul itu pula dimasukkan sebuah bintang anugerah "Lencana Satya Tamtama" yang mana Sang Menggala Yudha supaya menyematkan pada Indra Sambada.
Selesai menghadap, mereka bertiga segera menyembah lagi dengan khidmadnya untuk mohon diri dan meninggalkan pendapa agung Kepatihan. Kini mereka bertiga berkuda berdampingan pulang kembali menuju Mojoagung.
“Biarlah aku akan singgah semalam dipondoknya Dimas Tumenggung Indra. Tentunya tidak berkeberatan, bukan” Cakrawirya mulai bicara! “Saya masih belum puas akan perternuan kita yang sesingkat ini”.
“Tapi sebaiknya Kangmas Cakra bermalam dipondokku saja,” Sunata menyahut dan melanjutkan bicaranya “Karena Dimas Indra mungkin tidak mau terganggu,” berkata demikian dengan ketawa nyaring menggoda.
“Kangmas Sunata ini tak habis-habisnya menggoda aku,” Indra mengelak godaan dan kemudian berkata kepada Cakrawirya. “Saya akan lebih senang jika Kangmas Tumenggung Cakra sudi menemani tidur dipondokku.”
“Apa sekiranya ada udang dibalik batu Dimas?” Cakrawirya bertanya untuk mendapat penjelasan. “Saya tak dapat menangkap isi percakapan Dimas sekalian.”
“Apakah Kangmas Cakra sudah tahu, dimana Dimas Tumenggung Indra sekarang memilih tempat pondoknya?” Sunata menyahut dengan pertanyaan sindiran. pertanyaan belum sampai ada yang menjawabnya, Sunata melanjutkan menjawab pertanyaan sendiri dengan senyum menggoda. “Dimas Tumenggung Indra sekarang tinggal serumah dengan Ki Lurah Somad!”
Cakrawirya segera menyambut kata-kata Sunata tadi dengan gelak tertawa yang nyaring disusul kemudian dengan suara ketawanya Sunata yang tak kalah nyaringnya.
Indra Sambada bersenyum tersipu-sipu, dengan wajah merah padam. Kini ia tak dapat berkutik akan godaan yang dilancarkan oleh dua perwira tamtama tadi. Dengan ramainya mereka bertiga bersendau gurau sambil berkuda berdampingan. Sampai di Istana Senopaten, mereka bertiga langsung menghadap Sang Senopati yang sedang berada diruang tamu dalam. Surat segera diserahkan kepada beliau dan ternyata beliau sangat pula berkenan dengan isi surat tadi. Oleh beliau sendiri bintang anugerah lencana satya tamtama segera disematkan dibaju dada disebelah kiri.
Sang Senopati Manggala Yudha kemudian berkenan pula menjamu tiga perwira tamtama itu di Istananya sampai jauh malam, dengan dihadiri oleh para perwira-perwira tamtama lainnya.
****
DIKALA ITU, hari Respati Manis. Sepanjang jalan-jalan di Kota Raja Majapahit dihias dengan janur kuning, kembang-kembang, dan diselang-seling dengan pita sutra panjang beraneka warna dengan sangat indahnya. Bendera Keagungan Dwi warna Gula Kelapa dan umbul umbul panji-panji berderet-deret disepanjang jalan berkibar dengan megahnya.
Rumah-rumah yang dipinggir jalan sampai di plosok-plosok tidak ketinggalan pula dihias dengan beraneka ragam dan warna, menambah semaraknya pandangan. Candi-candi penuh pula dengan sesajian yang warna-warni. Sejak hari kemarin orang-orang mudik disepanjang jalan dengan tak henti-hentinya. Dari segala penjuru kini orang-orang datang di Kota Raja dengan pakaian-pakaian yang serba baru dan indah. Anak-anak kecil turut pula bersuka ria dengan pakaiannya yang serba baru, bermain-main berkelompok, ataupun mengikuti kesibukan orang-orang tua. Sejak fajar menyingsing mereka turut orang-orang tua bersembahyang di-candi-candi dengan membawa sesajian.
Kini, jauh diufuk-timur Sang Surya mulai memancarkan sinar cahaya yang terang benderang memadangi seluruh alam buana, menunjukkan bahwa hari telah mulai pagi. Orang-orang berbondong-bondong menuju ke alun-alun lstana Kerajaan untuk menyaksikan dari dekat "lomba kridha yudha” yang diselenggarakan pada hari itu, demi menyambut hari ulang tahun ke sepuluh, atas dinobatkannya Sri Baginda Maharaja Hayam-wuruk bergelar Rajasanegara, sebagai raja di Majapahit.
Hari itu adalah hari kesempatan pula bagi para tamtama untuk menunjukkan ketangkasannya dalam Kridha Yudha. Pura pintu masuk yang menuju ke alun-alun dari empat penjuru, dihas pula dengan sangat Ditiap-tiap penjuru disebelah pintu gerbang itu, dibangun sebuah balai untuk penempatan serakit gamelan, lengkap dengan para pemukulnya yang berpakaian seragam indah pula.
Pohon jambe atau disebutnya pohon pucang yang telah ditebang bagian atasnya, berderet-deret ditanam merupakan lingkaran yang luas di alun-alun. Jarak antara masing-masing pohon pucang tadi kira-kira dua langkah, sedangkan tingginya tak kurang dari dua galah panjang. Di tengah-tengah lingkaran yang sangat luas, hampir seluas dua pertiga alun-alun, berdiri sebatang pohon pucang yang tingginya lebih dari tiga galah panjang, hingga kelihatan menonjol di ketinggian. Dan dipucuk atasnya berkibar Sang Saka Dwiwarna Gula Klapa dengan megahnya.
Didepan pintu gerbang yang menuju masuk ke Istana Raja, berdiri sebuah mimbar dengan tenda berwarna hijau berseretkan pita kuning keemas-emasan dari sutra, mengelilingi luasnya tenda selebar dua jengkal. Mimbar itu dihias dengan pita sutra berwarna merah dan putih diselang-seling, menambah indahnya pandangan.
Tiang-tiang mimbar dibungkus dengan daun-daun beringin dan kemuning, serta kembang-kembang beraneka warna. Mimbar itu tingginya kurang lebih segalah panjang. Ditengah tengah mimbar duduk Sri Baginda Maharaja Hajam Wuruk dengan didampingi Sri Baginda Permaisyuri diatas singgasana tiruan berukir dengan warna keemasan, menyerupai singgasana aslinya. Dibelakang dan samping kanan kirinya duduk para nyai inang yang membawa peralatan beraneka warna.
Didepan sebelah kirinya duduk Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada diatas permadani yang indah berserta Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra. Sedangkan didepan sebelah kanan duduk para pendeta Istana diatas permadani pula.
Dibawah depan mimbar berdiri tegak berjajar rapat, para Tamtama Pengawal Raja dengan pakaian seragam warna merah berseretkan kuning mas, dengan pedang terhunus ditangan kanan, lurus keatas melekat dengan dadanya, dengan mata tajamnya kedepan. Disebelah kiri mimbar itu, masih ada sebuah mimbar lagi yang dihias indah pula, dengan digelari permadani, untuk para Raja ataupun para utusan yang Negerinya dinaungi oleh Majapahit, dan untuk para Raja dan utusan-utusan dari Negeri-negeri sahabat.
Rakyat berjejal-jejal mengitari alun-alun dengan tak sabar menunggu dimulainya lomba krida yudha itu. Para tantama siap siaga berjajar. Gamelan-gamelan dari empat penjuru telah mulai dibunyikan pula oleh para pemukulnya. Suasana segera menjadi riuh ramai berkumandang diangkasa.
Kini sebuah gong besar yang berada di depan mimbar dipukul oleh seorang perwira tantama Pengawal Raja. Suaranya mengaung jauh terdengar dan mengumandang disemua penjuru. Segera suasana sunyi hening seketika.
Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra turun dan berdiri tegak didepan mimbar dengan menghaturkan sembah pada Sri Baginda Rajasanegara. Sri Baginda Rajasanegara menyambutnya dengan berdiri pula diatas mimbar. Dan terdengarlah suara Sang Senopati Manggala Yudha.
“Hamba, Senopati Manggala Yudha menjunjung titah Gusti Sri Baginda Maharaja Majapahit, untuk melaksanakan lomba krida Yudha.”
Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, melambaikan tangan kanannya, sebagai isyarat, bahwa lomba krida Yudha dapat dimulai. Seorang Perwira tamtama berpakaian hijau seragam berseret kuning dengan pita kuning emas pula sebagai ikat kepalanya, maju kedepan dan menyerahkan sebuah tombak panjang sedepa dengan tangkainya dibungkus sutra putih. Mata tombak itu tajam berkilau dan panjangnya kira-kira dua. jengkal. Diujung tangkainya disambung dengan sepuluh utas pita sutra merah.
Tombak diterimanya dengan tangan kanan, dan beliau segera membalikkan badannya memandang sesaat pada pohon pucang yang tinggi berdiri didepannya dengan jarak antara kurang lebih seratus langkah. Setelah beliau memusatkan tenaga bathinnya, segera beliau melangkah satu tindak dan melontarkan tombak yang berada ditangan kanannya ke arah pohon pucang tepat pada sasarannya.
Pohon pucang bergetar dan Sang Saka Dwiwarna Gula Kelapa yang berada di puncaknya turut berkibar menggetar. Mata tombak menancap seluruhnya, dan tangkainya turut pula bergetar. Lemparan tombak oleh Sang Senopati Menggala Yudha tadi merupakan isyarat bagi semua yang menyaksikan, bahwa lomba kridayudha sudah dibuka.
Beliau segera mengundurkan diri dan disambut oleh dua pembantu pribadi beliau ialah Tumenggung Indra Sambada dan Tumenggung Sunata, yang kedua-duanya berpakaian seragam sebagai perwira Tamtama, hijau dengan berseretkan kuning ke emasan dengan seutas pita ke emasan pula selebar dua jari melingkar di kepalanya. Di pinggang sebelah kiri masing-masing tergantung pedang tamtamanya.
Beliau berjalan tegap dengan diapit oleh kedua perwira tamtama, menuju kederetan kereta-kereta yang berada di alun alun sebelah timur. Kini beliau telah duduk didalam kereta kebesaran yang terbuka dengan diapit kedua perwira tamtama tadi, kereta mana ditarik oleh dua pasang kuda yang tinggi-tinggi. Diatas kereta berkibar dengan megahnya duaja kebesaran berlukiskan burung alap-alap yang sedang membentangkan sayapnya berwarna merah, diatas dasar kuning emas. Itulah lambang keagungan "Alap-alaping Ayudha".
Kereta bergerak dan berjalan laju mengitari alun-alun. Dibelakangnya berjalan berturut-turut mengikuti, kereta-kereta kebesaran dengan panji duaja kebesaran berlukiskan senjata cakra warna kuning emas diatas gambar perisai berwarna, merah dengan warna dasar hijau.
Didalam kereta itu, duduk Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti Aditya Wardhana, dengan malambai-lambaikan tangannya kearah rakyat yang berjejal-jejal, Beliau bertubuh tinggi besar, warna kulitnya merah kehitam-hitaman. Mukanya bercambang bauk dengan sepasang alisnya yang tebal. Matanya agak cekung dan bersinar tajam. Didaun telinganya sebelah kanan memakai anting-anting bentuk gelang. Rambutnya hitam di ikat kebelakang diatas tengkuknya dengan pita merah. Dari dahi melintang sampai di ujung daun telinga aras sebelah kiri, terdapat tanda bekas luka, lengannya berbulu subur, beliau berusia 45 tahun. Pakaiannya seragam merah dengan berseretkan kuning mas. Sebilah keris pusaka dengan wrangka mas murni tergantung dipinggang kiri.
Dengan riuh ramai yang menggema, rakyat menyambut lambaian tangannya. Menyusul dibelakangnya kereta kebesaran dengan duaja berkibar, berlukiskan pedang silang sepasang, dengan bintang ditengah atasnya, diatas gambar perisai pula, berwarna hitam dan merah. Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Kerajaan (darat) Gusti Surwendar duduk didalam kereta dengan tenangnya. Beliau berusia lima puluh lima tahun dan bergelar “Surya Laga”.
Raut mukanya bulat telur dan bersih. Pandangan matanya tajam berwibawa. Beliau adalah seorang pendiam. Pakaian yang dikenakan, pakaian seragam hijau dengan berseretkan kuning mas. Ikat kepalanya lebar segi tiga, diikat kebelakang menutupi rambutnya, berlukiskan matahari warna putih diatas dasar kuning sutra.
Menyusul lagi kereta kebesaran terbuka yang megah pula. dengan duaja kebesarannya berlukiskan naga bermahkota warna merah, diatas dasar biru laut, Gusti Bharatarajasa Senopati Muda Manggala Tamtama Samodra duduk dalam kereta itu. Dengan selalu mengangguk-anggukkan kepalanya kepada rakyat dengan diiringi senyuman. Sambutan rakyat riuh gegap gempita.
Beliau mengenakan pakaian seragam biru laut dengan berseretkan kuning mas pula. Bentuk tubuhnya, agak pendek kokoh perkasa. Wajahnya bersinar, menunjukkan kebangsawanannya.
Kini menyusul lagi kereta terakhir, kereta kebesaran Nara Praja, dengan duajanya sebagai lambang kebesarannya, berlukiskan bintang dikelilingi dua untai padi warna kuning mas, diatas dasar putih sutra. Sebagai Senopati Muda Manggala Nara Praja, ialah Gusti Pangeran Pekik. Beliau berusia kira-kira 50 tahun. Berpakaian seragam putih dengan berseret kuning mas mengenakan pula kain panjang yang dilipat dan berkampuh panjang disebakkan ke belakang. Kebangsawanannya terlihat jelas dari pancaran wajahnya.
Dibelakang kereta-kereta kebesaran para Senopati, kini menyusul barisan para Tamtama berkuda dengan pakaian seragamnya menurut angkatannya masing-masing sebanyak dua ratus Tamtama tia-tiap angkatan. Dan terakhir para Tamtama yang berjalan dengan langkahnya yang tegap membawa genderang suling serta bende, yang dibunyikan selama berjalan dengan irama menurut gerak langkahnya.
Gamelan-gamelan dari empat penjuru menyusul berbunyi mengikuti iramanya. Kembali sorak sorai menggema di angkasa. Pawai Agung yang berjalan berkeliling memutari alun-alun itu semuanya memberikan hormat, sewaktu melewati mimbar agung. Sri Baginda Maharaja Rajasa-negara berdiri menyambut dengan melambai-lambaikan tangannya. Kiranya beliau merasa bangga akan keagungan Tamtamanya.
Setelah pawai selesai, lomba krida yudha segera dimulai, dengan acara pertama, memamerkan ketangkasan menggunakan pedang, oleh para perwira Tamtama tidak termasuk para Senopati.
Para perwira Tamtama sebanyak seratus orang, berkuda dengan pedang terhunus menuju pohon-pohon pucang yang berdiri berderet-deret itu, dan membabatnya sambil memacu kudanya. Diantara para perwira ada pula yang dapat menebas sekali tumbang.
Tetapi banyak pula yang tak dapat menumbangkan dengan sekali tebasan. Gerakan cara menebasnya, bermacam-macam gayanya. Ada yang sejak mulai bergerak telah mengayun-ayunkan pedangnya, dan ada pula yang lurus memacu kudanya dengan pedang terhunus diam ditangan kanan, dan baru membabatnya setelah sempat pada sasarannya.
Lain lagi, ada yang memutarkan pedangnya sambil memacu kudanya laksana baling-baling, untuk kemudian dibabatkan kearah sasaran yang dituju. Namun dari sekian banyaknya perwira, tak ada yang dapat menyamai Indra Sambada yang sekali tebang dapat merobohkan tumbang dua pohon pucang. Sorak sorai para Tamtama dan rakyat yang menyaksikan gemuruh, setelah mereka melihat gaya Indra Sambada yang indah dan berhasil dengan memuaskan.
Selesai para perwira Tamtama, kini menyusul para Tamtama rendahan dengan berkuda ataupun dengan lari cepat menebas pohon-pohon pucang tadi dengan klewangnya masing-masing.
Diantara para Tamtama rendahan ada pula yang ketangkasannya melebihi para perwira tadi, namun belum ada juga yang dapat mengimbangi Indra Sambada. Para Senopati kagum akan ketangkasan yang dimiliki oleh Indra Sambada. Hasil lomba krida yudha yang pertama segera diteliti dan dicatat oleh para petugas.
Kedua perwira Tamtama tadi berjalan menuju kepura pintu gerbang Kepatihan. Patung berbentuk gajah setinggi dua orang susun berdiri, terbuat dari batu yang di pahat halus, berdiri megah di-tengah-tengah sepasang pintu gerbang. Belalainya berada diatas kepala yang sedang memegang cis. Itulah lambang kebesaran Gusti Patih Mangku-bumi Gajah Mada yang terkenal akan keagungannya.
Pintu gerbang dikanan kirinya berbingkai ukir-ukiran pahatan berlukiskan sepasang raksasa dikanan kiri. Dan seluruhnya terbuat dari batu hitam alam. Pintu gerbang itu sangat lebar, sehingga kereta-kereta para Senopati dapat masuk tanpa kesulitan. Halaman Istana Kepatihan didalam pura pintu gerbang sangat luas, kira-kira seluas setengah alun alun.
Dua orang Tamtama pengawal yang sedang berdiri tegak didepan pintu gerbang segera memberi hormat kepada kedua perwira Tamtama yang berjalan memasuki pura pintu gerbang itu. Baru saja mereka berdua meninggalkan Balai Pengawalan, tiba- tiba mendengar suara teguran.
“Dimas Tumenggung Indra!” Indra segera menyahut dengan mendekati Perwira Tamtarna yang menegurnya.
“Kangmas Tumenggung Cakrawirya! Aku telah menepati janjiku untuk menemui Kangmas di istana Kepatihan ini!”
Tumenggung Cakrawirya, segera datang mendekat dan menjabat tangannya dengan sangat akrab.
“Saya telah sedari pagi menunggu kedatangan Dimas Tumenggung Indra. Bukankah hari ini hari yang telah Dimas janjikan pada waktu kita berpisah di Surabaya?” Tumenggung Cakrawirya melanjutkan tegurannya.
Tumenggung Sunata berdiri dengan penuh keheranan. Tadi menurut keterangan yang diberikan oleh Indra Sambada, ia belum pernah menghadap di Istana Kepatihan, tetapi ternyata telah mengenal dengan akrab pula dengan Tumenggung Cakrawirya. Ia meraba-raba dalam hatinya.
“Ini semua sayalah yang telah mengaturnya, Dimas Tumenggung Indra!” Cakrawirya melanjutkan bicaranya “Maafkan Dimas Tumenggung Sunata, kiranya sampai lupa untuk menegur Dimas karena rasa rinduku dengan Dimas Indra.“
“Ah,…… silahkan Kangmas Tumenggung Cakrawirya,” jawab Sunata. “Saya malah tidak mengira bahwa, Kangmas Tumenggung Cakrawirya telah mengenal Dimas Turnenggung Indra sejak lama.”
“Memang benar katamu, Dimas,” Cakrawirya menjelaskan. “Perkenalanku dulupun serba kebetulan. Jika waktu itu aku tidak berternu dengan Dimas Indra, tentunya aku tidak berada disini lagi. Dialah penyambung hidupku. Dan itu semua telah kuhaturkan kehadapan Gustiku Patih Mangkubumi. Lalu pada tiga hari berselang aku diutus menghadap Gusti Senopati Harya Banendra di Mojoagung, menyerahkan surat. Isi surat itu Gustiku Patih Mangkubumi berkenan memanggil Dimas Indra. Tetapi alangkah kebetulan ternyata Dimas Indra memang telah menghadap Gusti Senopati pada waktu sehari sebelum aku menghadap beliau. Kiranya oleh Gusti Senopati, Dimas Tumenggung Indrapun telah diterima pengabdiannya sebagai calon Tamtama seperti sekarang ini. Hal ini Gustiku Patih Mangkubumi sangat berkenan sekali.”
Kini Indra Sambada dan Sunata mengerti dengan jelas akan duduk perkaranya dan isi maksud panggilan menghadap itu.
“Terima kasih, atas jasa-jasa Kangmas Cakrawirya.” Indra memotong.
“Ah, saya tidak berjasa apa-apa dalam hal ini. Karena apa yang saya haturkan kepada Gustiku itu memang sewajarnya.” jawab Tumenggung Cakrawirya.
“Marilah kita bertiga bersama-sama segera menghadap.” Tumenggung Cakrawirya mempersilahkan Tumenggung Indra Sambada dan Tumenggung Sunata.
Bertiga mereka segera menghadap kehadapan Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada diruang tamu pendapa. Setelah mereka bertiga bersama-sama menyembah kehadapannya, Indra segera menyerahkan suratnya kehadapan beliau.
Surat diterima dan setelah ditelaah sejenak semua isi maksudnya, beliau segera menulis surat sebagai balasan kepada Sang Senopati Manggala Yudha yang kemudian diserahkan kepada Indra Sambada. Dalam surat itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada menyatakan persetujuannya akan pengangkatan Indra Sambada menjadi Bupati Tamtama, mengingat akan jasanya dalam menangkap orang Cina di Surabaya dan pula mengingat akan jasa-jasa orang tuanya Indra Sambada Tumenggung Karya Laga.
Beliau berpesan pula kepada Indra, agar nanti dalam lomba krida yudha yang akan diadakan untuk menyambut hari ulang tahun ke X atas bertahtanya Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, dapat tarnpil dengan hasil yang tidak mengecewakan. Dalam sampul itu pula dimasukkan sebuah bintang anugerah "Lencana Satya Tamtama" yang mana Sang Menggala Yudha supaya menyematkan pada Indra Sambada.
Selesai menghadap, mereka bertiga segera menyembah lagi dengan khidmadnya untuk mohon diri dan meninggalkan pendapa agung Kepatihan. Kini mereka bertiga berkuda berdampingan pulang kembali menuju Mojoagung.
“Biarlah aku akan singgah semalam dipondoknya Dimas Tumenggung Indra. Tentunya tidak berkeberatan, bukan” Cakrawirya mulai bicara! “Saya masih belum puas akan perternuan kita yang sesingkat ini”.
“Tapi sebaiknya Kangmas Cakra bermalam dipondokku saja,” Sunata menyahut dan melanjutkan bicaranya “Karena Dimas Indra mungkin tidak mau terganggu,” berkata demikian dengan ketawa nyaring menggoda.
“Kangmas Sunata ini tak habis-habisnya menggoda aku,” Indra mengelak godaan dan kemudian berkata kepada Cakrawirya. “Saya akan lebih senang jika Kangmas Tumenggung Cakra sudi menemani tidur dipondokku.”
“Apa sekiranya ada udang dibalik batu Dimas?” Cakrawirya bertanya untuk mendapat penjelasan. “Saya tak dapat menangkap isi percakapan Dimas sekalian.”
“Apakah Kangmas Cakra sudah tahu, dimana Dimas Tumenggung Indra sekarang memilih tempat pondoknya?” Sunata menyahut dengan pertanyaan sindiran. pertanyaan belum sampai ada yang menjawabnya, Sunata melanjutkan menjawab pertanyaan sendiri dengan senyum menggoda. “Dimas Tumenggung Indra sekarang tinggal serumah dengan Ki Lurah Somad!”
Cakrawirya segera menyambut kata-kata Sunata tadi dengan gelak tertawa yang nyaring disusul kemudian dengan suara ketawanya Sunata yang tak kalah nyaringnya.
Indra Sambada bersenyum tersipu-sipu, dengan wajah merah padam. Kini ia tak dapat berkutik akan godaan yang dilancarkan oleh dua perwira tamtama tadi. Dengan ramainya mereka bertiga bersendau gurau sambil berkuda berdampingan. Sampai di Istana Senopaten, mereka bertiga langsung menghadap Sang Senopati yang sedang berada diruang tamu dalam. Surat segera diserahkan kepada beliau dan ternyata beliau sangat pula berkenan dengan isi surat tadi. Oleh beliau sendiri bintang anugerah lencana satya tamtama segera disematkan dibaju dada disebelah kiri.
Sang Senopati Manggala Yudha kemudian berkenan pula menjamu tiga perwira tamtama itu di Istananya sampai jauh malam, dengan dihadiri oleh para perwira-perwira tamtama lainnya.
****
DIKALA ITU, hari Respati Manis. Sepanjang jalan-jalan di Kota Raja Majapahit dihias dengan janur kuning, kembang-kembang, dan diselang-seling dengan pita sutra panjang beraneka warna dengan sangat indahnya. Bendera Keagungan Dwi warna Gula Kelapa dan umbul umbul panji-panji berderet-deret disepanjang jalan berkibar dengan megahnya.
Rumah-rumah yang dipinggir jalan sampai di plosok-plosok tidak ketinggalan pula dihias dengan beraneka ragam dan warna, menambah semaraknya pandangan. Candi-candi penuh pula dengan sesajian yang warna-warni. Sejak hari kemarin orang-orang mudik disepanjang jalan dengan tak henti-hentinya. Dari segala penjuru kini orang-orang datang di Kota Raja dengan pakaian-pakaian yang serba baru dan indah. Anak-anak kecil turut pula bersuka ria dengan pakaiannya yang serba baru, bermain-main berkelompok, ataupun mengikuti kesibukan orang-orang tua. Sejak fajar menyingsing mereka turut orang-orang tua bersembahyang di-candi-candi dengan membawa sesajian.
Kini, jauh diufuk-timur Sang Surya mulai memancarkan sinar cahaya yang terang benderang memadangi seluruh alam buana, menunjukkan bahwa hari telah mulai pagi. Orang-orang berbondong-bondong menuju ke alun-alun lstana Kerajaan untuk menyaksikan dari dekat "lomba kridha yudha” yang diselenggarakan pada hari itu, demi menyambut hari ulang tahun ke sepuluh, atas dinobatkannya Sri Baginda Maharaja Hayam-wuruk bergelar Rajasanegara, sebagai raja di Majapahit.
Hari itu adalah hari kesempatan pula bagi para tamtama untuk menunjukkan ketangkasannya dalam Kridha Yudha. Pura pintu masuk yang menuju ke alun-alun dari empat penjuru, dihas pula dengan sangat Ditiap-tiap penjuru disebelah pintu gerbang itu, dibangun sebuah balai untuk penempatan serakit gamelan, lengkap dengan para pemukulnya yang berpakaian seragam indah pula.
Pohon jambe atau disebutnya pohon pucang yang telah ditebang bagian atasnya, berderet-deret ditanam merupakan lingkaran yang luas di alun-alun. Jarak antara masing-masing pohon pucang tadi kira-kira dua langkah, sedangkan tingginya tak kurang dari dua galah panjang. Di tengah-tengah lingkaran yang sangat luas, hampir seluas dua pertiga alun-alun, berdiri sebatang pohon pucang yang tingginya lebih dari tiga galah panjang, hingga kelihatan menonjol di ketinggian. Dan dipucuk atasnya berkibar Sang Saka Dwiwarna Gula Klapa dengan megahnya.
Didepan pintu gerbang yang menuju masuk ke Istana Raja, berdiri sebuah mimbar dengan tenda berwarna hijau berseretkan pita kuning keemas-emasan dari sutra, mengelilingi luasnya tenda selebar dua jengkal. Mimbar itu dihias dengan pita sutra berwarna merah dan putih diselang-seling, menambah indahnya pandangan.
Tiang-tiang mimbar dibungkus dengan daun-daun beringin dan kemuning, serta kembang-kembang beraneka warna. Mimbar itu tingginya kurang lebih segalah panjang. Ditengah tengah mimbar duduk Sri Baginda Maharaja Hajam Wuruk dengan didampingi Sri Baginda Permaisyuri diatas singgasana tiruan berukir dengan warna keemasan, menyerupai singgasana aslinya. Dibelakang dan samping kanan kirinya duduk para nyai inang yang membawa peralatan beraneka warna.
Didepan sebelah kirinya duduk Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada diatas permadani yang indah berserta Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra. Sedangkan didepan sebelah kanan duduk para pendeta Istana diatas permadani pula.
Dibawah depan mimbar berdiri tegak berjajar rapat, para Tamtama Pengawal Raja dengan pakaian seragam warna merah berseretkan kuning mas, dengan pedang terhunus ditangan kanan, lurus keatas melekat dengan dadanya, dengan mata tajamnya kedepan. Disebelah kiri mimbar itu, masih ada sebuah mimbar lagi yang dihias indah pula, dengan digelari permadani, untuk para Raja ataupun para utusan yang Negerinya dinaungi oleh Majapahit, dan untuk para Raja dan utusan-utusan dari Negeri-negeri sahabat.
Rakyat berjejal-jejal mengitari alun-alun dengan tak sabar menunggu dimulainya lomba krida yudha itu. Para tantama siap siaga berjajar. Gamelan-gamelan dari empat penjuru telah mulai dibunyikan pula oleh para pemukulnya. Suasana segera menjadi riuh ramai berkumandang diangkasa.
Kini sebuah gong besar yang berada di depan mimbar dipukul oleh seorang perwira tantama Pengawal Raja. Suaranya mengaung jauh terdengar dan mengumandang disemua penjuru. Segera suasana sunyi hening seketika.
Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra turun dan berdiri tegak didepan mimbar dengan menghaturkan sembah pada Sri Baginda Rajasanegara. Sri Baginda Rajasanegara menyambutnya dengan berdiri pula diatas mimbar. Dan terdengarlah suara Sang Senopati Manggala Yudha.
“Hamba, Senopati Manggala Yudha menjunjung titah Gusti Sri Baginda Maharaja Majapahit, untuk melaksanakan lomba krida Yudha.”
Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, melambaikan tangan kanannya, sebagai isyarat, bahwa lomba krida Yudha dapat dimulai. Seorang Perwira tamtama berpakaian hijau seragam berseret kuning dengan pita kuning emas pula sebagai ikat kepalanya, maju kedepan dan menyerahkan sebuah tombak panjang sedepa dengan tangkainya dibungkus sutra putih. Mata tombak itu tajam berkilau dan panjangnya kira-kira dua. jengkal. Diujung tangkainya disambung dengan sepuluh utas pita sutra merah.
Tombak diterimanya dengan tangan kanan, dan beliau segera membalikkan badannya memandang sesaat pada pohon pucang yang tinggi berdiri didepannya dengan jarak antara kurang lebih seratus langkah. Setelah beliau memusatkan tenaga bathinnya, segera beliau melangkah satu tindak dan melontarkan tombak yang berada ditangan kanannya ke arah pohon pucang tepat pada sasarannya.
Pohon pucang bergetar dan Sang Saka Dwiwarna Gula Kelapa yang berada di puncaknya turut berkibar menggetar. Mata tombak menancap seluruhnya, dan tangkainya turut pula bergetar. Lemparan tombak oleh Sang Senopati Menggala Yudha tadi merupakan isyarat bagi semua yang menyaksikan, bahwa lomba kridayudha sudah dibuka.
Beliau segera mengundurkan diri dan disambut oleh dua pembantu pribadi beliau ialah Tumenggung Indra Sambada dan Tumenggung Sunata, yang kedua-duanya berpakaian seragam sebagai perwira Tamtama, hijau dengan berseretkan kuning ke emasan dengan seutas pita ke emasan pula selebar dua jari melingkar di kepalanya. Di pinggang sebelah kiri masing-masing tergantung pedang tamtamanya.
Beliau berjalan tegap dengan diapit oleh kedua perwira tamtama, menuju kederetan kereta-kereta yang berada di alun alun sebelah timur. Kini beliau telah duduk didalam kereta kebesaran yang terbuka dengan diapit kedua perwira tamtama tadi, kereta mana ditarik oleh dua pasang kuda yang tinggi-tinggi. Diatas kereta berkibar dengan megahnya duaja kebesaran berlukiskan burung alap-alap yang sedang membentangkan sayapnya berwarna merah, diatas dasar kuning emas. Itulah lambang keagungan "Alap-alaping Ayudha".
Kereta bergerak dan berjalan laju mengitari alun-alun. Dibelakangnya berjalan berturut-turut mengikuti, kereta-kereta kebesaran dengan panji duaja kebesaran berlukiskan senjata cakra warna kuning emas diatas gambar perisai berwarna, merah dengan warna dasar hijau.
Didalam kereta itu, duduk Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti Aditya Wardhana, dengan malambai-lambaikan tangannya kearah rakyat yang berjejal-jejal, Beliau bertubuh tinggi besar, warna kulitnya merah kehitam-hitaman. Mukanya bercambang bauk dengan sepasang alisnya yang tebal. Matanya agak cekung dan bersinar tajam. Didaun telinganya sebelah kanan memakai anting-anting bentuk gelang. Rambutnya hitam di ikat kebelakang diatas tengkuknya dengan pita merah. Dari dahi melintang sampai di ujung daun telinga aras sebelah kiri, terdapat tanda bekas luka, lengannya berbulu subur, beliau berusia 45 tahun. Pakaiannya seragam merah dengan berseretkan kuning mas. Sebilah keris pusaka dengan wrangka mas murni tergantung dipinggang kiri.
Dengan riuh ramai yang menggema, rakyat menyambut lambaian tangannya. Menyusul dibelakangnya kereta kebesaran dengan duaja berkibar, berlukiskan pedang silang sepasang, dengan bintang ditengah atasnya, diatas gambar perisai pula, berwarna hitam dan merah. Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Kerajaan (darat) Gusti Surwendar duduk didalam kereta dengan tenangnya. Beliau berusia lima puluh lima tahun dan bergelar “Surya Laga”.
Raut mukanya bulat telur dan bersih. Pandangan matanya tajam berwibawa. Beliau adalah seorang pendiam. Pakaian yang dikenakan, pakaian seragam hijau dengan berseretkan kuning mas. Ikat kepalanya lebar segi tiga, diikat kebelakang menutupi rambutnya, berlukiskan matahari warna putih diatas dasar kuning sutra.
Menyusul lagi kereta kebesaran terbuka yang megah pula. dengan duaja kebesarannya berlukiskan naga bermahkota warna merah, diatas dasar biru laut, Gusti Bharatarajasa Senopati Muda Manggala Tamtama Samodra duduk dalam kereta itu. Dengan selalu mengangguk-anggukkan kepalanya kepada rakyat dengan diiringi senyuman. Sambutan rakyat riuh gegap gempita.
Beliau mengenakan pakaian seragam biru laut dengan berseretkan kuning mas pula. Bentuk tubuhnya, agak pendek kokoh perkasa. Wajahnya bersinar, menunjukkan kebangsawanannya.
Kini menyusul lagi kereta terakhir, kereta kebesaran Nara Praja, dengan duajanya sebagai lambang kebesarannya, berlukiskan bintang dikelilingi dua untai padi warna kuning mas, diatas dasar putih sutra. Sebagai Senopati Muda Manggala Nara Praja, ialah Gusti Pangeran Pekik. Beliau berusia kira-kira 50 tahun. Berpakaian seragam putih dengan berseret kuning mas mengenakan pula kain panjang yang dilipat dan berkampuh panjang disebakkan ke belakang. Kebangsawanannya terlihat jelas dari pancaran wajahnya.
Dibelakang kereta-kereta kebesaran para Senopati, kini menyusul barisan para Tamtama berkuda dengan pakaian seragamnya menurut angkatannya masing-masing sebanyak dua ratus Tamtama tia-tiap angkatan. Dan terakhir para Tamtama yang berjalan dengan langkahnya yang tegap membawa genderang suling serta bende, yang dibunyikan selama berjalan dengan irama menurut gerak langkahnya.
Gamelan-gamelan dari empat penjuru menyusul berbunyi mengikuti iramanya. Kembali sorak sorai menggema di angkasa. Pawai Agung yang berjalan berkeliling memutari alun-alun itu semuanya memberikan hormat, sewaktu melewati mimbar agung. Sri Baginda Maharaja Rajasa-negara berdiri menyambut dengan melambai-lambaikan tangannya. Kiranya beliau merasa bangga akan keagungan Tamtamanya.
Setelah pawai selesai, lomba krida yudha segera dimulai, dengan acara pertama, memamerkan ketangkasan menggunakan pedang, oleh para perwira Tamtama tidak termasuk para Senopati.
Para perwira Tamtama sebanyak seratus orang, berkuda dengan pedang terhunus menuju pohon-pohon pucang yang berdiri berderet-deret itu, dan membabatnya sambil memacu kudanya. Diantara para perwira ada pula yang dapat menebas sekali tumbang.
Tetapi banyak pula yang tak dapat menumbangkan dengan sekali tebasan. Gerakan cara menebasnya, bermacam-macam gayanya. Ada yang sejak mulai bergerak telah mengayun-ayunkan pedangnya, dan ada pula yang lurus memacu kudanya dengan pedang terhunus diam ditangan kanan, dan baru membabatnya setelah sempat pada sasarannya.
Lain lagi, ada yang memutarkan pedangnya sambil memacu kudanya laksana baling-baling, untuk kemudian dibabatkan kearah sasaran yang dituju. Namun dari sekian banyaknya perwira, tak ada yang dapat menyamai Indra Sambada yang sekali tebang dapat merobohkan tumbang dua pohon pucang. Sorak sorai para Tamtama dan rakyat yang menyaksikan gemuruh, setelah mereka melihat gaya Indra Sambada yang indah dan berhasil dengan memuaskan.
Selesai para perwira Tamtama, kini menyusul para Tamtama rendahan dengan berkuda ataupun dengan lari cepat menebas pohon-pohon pucang tadi dengan klewangnya masing-masing.
Diantara para Tamtama rendahan ada pula yang ketangkasannya melebihi para perwira tadi, namun belum ada juga yang dapat mengimbangi Indra Sambada. Para Senopati kagum akan ketangkasan yang dimiliki oleh Indra Sambada. Hasil lomba krida yudha yang pertama segera diteliti dan dicatat oleh para petugas.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment