MOJOAGUNG adalah kota yang indah, terkenaI akan kebersihannya dan kemegahan candi-candinya. Jalan-jalan yang lebar dihiasi dengan pohon rindang dikanan kirinya, melintasi kota silang-menyilang. Kiranya tepat pula dinamakan Mojoagung, karena kota itu memang kota Tamtama yang indah.
Disepanjang jalan yang dilalui Indra Sambada, selalu ia berjumpa dengan para Tamtama yang sedang berjalan-jalan secara berkelompok, ataupun secara sendiri-sendiri. Mereka pada umumnya masih muda remaja.
Pakaian seragam yang serba merah dengan berseret pita putih dilengan dan dicelana sebelah kanan kirinya, membuat resab dipandangnya. Ada pula yang berpakaian seragam hijau dengan berseret putih, dan dipinggangnya tergantung sebuah pedang. Ikat kepalanya pita dari sutra putih selebar tiga jari. Sungguh membanggakan bagi yang melihatnya. Dalam hatinya Indra Sambada memuji akan kegagahan para Tamtama Kerajaan itu.
Andaikan kelak ia dapat memimpin Tamtama yang sedemikian perkasanya, alangkah bahagianya, demikian suara bathinnya. Setelah Indra Sambada tiba di alun-alun, ia langsung menuju ketempat penambatan kuda, untuk kemudian berjalan kaki kearah Istana Senopaten. Kini ia telah sampai didepan pura pintu gerbang yang sangat megah.
Didepan pura kanan kiri, berdiri tegak bagaikan patung. Dua Tamtama dengan pedang terhunus, digenggam erat-erat lurus kemuka, melekat pada badan dengan mata tajamnya kemuka. Dari jauh terlihat diatas pura pintu gerbang, patung burung “alap-alap" yang sedang mementangkan sayapnya, sebagai lambang keagungan gelar ,”Alap-alap ing ayudha".
Setelah Indra Sambada memberi hormat kepada Tamtama pengawal ia memasuki pintu gerbang tadi dan menuju balai pengawalan. Dua orang Tamtama pengawal bangkit berdiri, dan menyambut kedatangan seorang tamu yang masih asing baginya. Mereka mempersilahkan Indra Sambada masuk kedalam balai pengawalan, dan dengan wajah yang ber-sungguh-sungguh menanyakan maksud kedatangannya.
Keris pusaka Indra Sambada tidak ketinggalan dalam pengawasan pengawal pula. Untuk memenuhi peraturan yang berlaku bagai seorang tamu yang tidak dikenalnya, maka keris pusaka dimintanya pula untuk ditinggalkan dibalai pengawalan, pada waktu Indra Sambada akan menghadap Sang Senopati.
Setelah diterangkan bahwa kedatangan Indra Sambada adalah sebagai utusan dari Bupati Karya Laga, Empu Istana merangkap punggawa Natapraja di Kebanjaran Agung Bondowoso, dan akan menghaturkan surat kehadapan pribadi Gusti Harja Banendra Manggala Yudha, dengan disertai bukti menunjukkan suratnya, maka seorang pengawal segera meninggalkan balai pengawalan untuk menghadap pada Sang Senopati.
Tidak lama kemudian, tamtama kembali, dan mempersilahkan Indra Sambada menghadap kehadapan Sang Senopati Perang, ,yang sedang duduk di ruang pendapa tempat penerimaan tamu. Beliau duduk diatas permadani yang sangat indah, dengan didampingi oleh pembantu pribadinya Bupati Anom Tumenggung tamtama Sunata. Dengan jalan berjongkok, Indra Sambada memasuki ruang pendapa yang lebar itu. Setelah mengambil tempat dan memberikan sembah, ia menghadap dan berkata pelan
“Hamba Indra Sambada dari Kebanjaran Agung Bondowoso, menghadap Tuanku Gusti Manggala Yudha, untuk menghaturkan sepucuk surat dari ayah hamba yang rendah” Selesai kata-katanya, ia segera menyerahkan surat ayahnya yang diterima sendiri oleh beliau.
Dengan tidak berkata sepatahpun Sang Senopati memandang kearah Indra Sambada dengan sinar matanya yang tajam sambil menerima surat dengan tangan kanannya. Kembali Indra Sambada menundukkan kepalanya, sebagai seorang murid dari Guru Pendeta Badung dan dari Karya Laga ayahnya, ia cepat bersemadi untuk mengumpulkan cipta, rasa dan karsa kembali yang kemudian disalurkan melalui sinar wajahnya untuk menolak daya kekualan pandangan sang Senopati, yang segera pula dirasakan oleh beliau, bahwa daya kekuatan pandangannya memantul kembali.
Sebagai seorang yang telah memiliki ilmu kebathinan yang tinggi, beliau menyambut kembalinya tenaga bathinnya dengan bersenyum. Dalam hatinya beliau memuji akan daya kekuatan tenaga bathin yang dimiliki oleh Indra Sambada. Segera beliau memejamkan matanya sesaat, untuk dapat mengenang kembali, orang yang duduk dihadapanya, pada masa yang lampau.
Ternyata gelar beliau sebagai "Alap-alap ing ayudha", bukan gelar yang tidak ada artinya. Beliau berbadan tinggi besar. Sinar matanya tajam ditambah sepasang alisnya yang tebal menunjukkan wajah yang angker berwibawa. Diatas kepalanya, melingkar sisir emas, sedangkan rambutnya yang hitam berombak, diikat kebelakang diatas tengkuknya dengan pita kuning sutra keemasan.
Bajunya hitam berseretkan kuning, tersulam dari benang emas, menutupi dadanya yang bidang. Dipergelangan tangannya, melingkar gelang emas, selebar dua jari, diukir gambar alap-alap yang sedang membentangkan sayapnya dengan permata batu mirah sebesar kedelai. Beliau memakai cincin bermata batu jamrut dijari manis tangan kirinya, sedangkan dijari manis tangan kanannya memakai cincin tanda jabatan dan gelarnya, terbuat dari emas murni.
Celananya bludru hitam berseret kuning pula dengan memakai kain sarung dilipat berkampuh panjang disibakkan kesamping, bercorak aneka warna dengan sulaman-sulaman benang emas dan perak. Senyuman yang sering menghiasi bibirnya menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang bermurah hati. Beliau berusia kurang lebih 50 tahun.
“Tidak kuduga, bahwa kau setelah dewasa menjadi pemuda demikian gagah dan perkasa” demkian beliau mulai berkata. “Adakah ayahmu Tumenggung Karya Laga sehat wal afiat” tanya beliau kemudian.
“Restu Tuanku Gusti Senopati, ayahanda dalam keadaan sehat. Hamba sebagai utusan beliau menyampaikan sembah” jawab Indra Sambada dengan hormatnya.
“Indra Sambada! Janganlah kau menghormatku berlebihan. Ketahuilah, bahwa kau sebenarnya masih darah dagingku sendiri. Mendiang ibumu adalah saudara sepupu. Cukuplah kiranya apabila kau menyebutku paman saja,” Sang Senopati meneruskan kata-katanya dengan diiringi senyuman mesra. Beliau diam sejenak, untuk membaca isi surat dari Karya Laga, sambil berulang kali menganggukkan kepalanya.
Kini tahulah sudah beliau akan isi surat dari Karya Laga, bahwa ia Karya Laga hendak mengabdikan anak tunggalnya Indra Sambada kehadapan Sri Baginda Maharaja, sebagai Tamtama dibawah asuhan Sang Senopati Gusti Harya Banendra.
Dahulu dikala Indra masih berusia 5 tahun, pernah pula Sang Senopati memintanya, agar kelak setelah Indra Sambada dewasa dapat diasuhnya, karena Sang Senopati tidak mempunyai keturunan.
Dengan tersenyum puas Sang Senopati berkata “Jika memang demikian kehendakmu, aku turut menyatakan syukur dan terima kasih kepada Dewata yang Maha Agung. Maka mulai hari ini kau telah menjadi tanggunganku, dan kuangkat sebagai Tamtama Kerajaan. Mudah-mudahan kau tidak akan mengecewakan ayahmu. Karena tercapainya cita-citamu yang tinggi itu, tergantung pada semangat dan tingkah lakumu sendiri.”
“Tumenggung Sunata!” perintah beliau kepada Bupati Anom Sunata. “Antarkan Indra Sambada kepondok Lurah Somad, untuk diberikan tempat sementara yang baik, serta segala sesuatu perlengkapan, pakaian dan lain-lain untuk calon Bupati Tamtama Indra Sambada ini. Dan terangkan, bahwa jabatan calon Tumenggung Indra Sambada adalah sementara sebagai pembantu pribadiku. Besok pagi, saya akan berkenan memeriksa sendiri. O, ya, kuharap kau berdua menjadi sepasang pembantuku yang baik!” Demikian ucapan kata-kata Sang Senopati yang tegas dan jelas kepada Tumenggung Sunata.
“Baik Tuanku Gusti Senopati. Segera akan hamba laksanakan sebaik-baiknya semua titah Gusti Senopati,” jawab Sunanta pendek.
Namun demikian, ia sebagai Bupati Anon Tamtama, merasa tidak puas akan keputusan pengangkatan Indra Sambada itu. Ia tidak dapat mengerti, mengapa Indra Sambada yang baru saja datang menghadap lalu diangkatnya menjadi calon Bupati Tamtama, sedangkan ia sendiri untuk mencapai pangkat Bupati Anom Tamtama saja harus ditempuhnya bertahun-tahun dengan jerih payah dan pelbagai macam ujian.
Sungguh kebijaksanaan demikian adalah tidak adil, pikir Sunata. Dan pula, tiga tahun ia telah menjadi pembantu pribadi Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra. Tetapi baru sekarang inilah ia menghadapi suatu peristiwa yang demikian janggal. Adakah Indra Sambada mempunyai kepandaian ilmu krida yudha yang tinggi ? Jika hanya didasarkan karena Indra Sambada adalah masih mempunyai darah bangsawan yang berhubungan erat sebagai keluarga dengan Sang Senopati saja, hal ini tidak dapat dibenarkan. Bukankah ia Sunata juga mempunjai darah bangsawan dari keturunan Singosari? Apabila didasarkan keakhlian dalam ilmu krida yudha, mengapa tidak diuji terlebih dahulu untuk membuktikannya?
Tumenggung Raden Sunata, Bupati Anom Tamtama ini, mempunyai wajah yang tampan. Ia berusia kurang lebih 20 tahun. Dari sikapnya kelihatan bahwa ia adalah seorang yang tangkas. Perawakan tubuhnya tinggi, langsing berisi. Ia memakai pakaian seragam Tamtama, lengkap dengan tanda pangkatnya, sebagai Bupati Anom Tamtama. Pakaiannya berseret kuning emas, diatas dasar warna merah. Ikat kepalanyapun kuning sutra keemasan. Dalam berpakaian, ia sangat rapih sekali.
Disepanjang jalan yang dilalui Indra Sambada, selalu ia berjumpa dengan para Tamtama yang sedang berjalan-jalan secara berkelompok, ataupun secara sendiri-sendiri. Mereka pada umumnya masih muda remaja.
Pakaian seragam yang serba merah dengan berseret pita putih dilengan dan dicelana sebelah kanan kirinya, membuat resab dipandangnya. Ada pula yang berpakaian seragam hijau dengan berseret putih, dan dipinggangnya tergantung sebuah pedang. Ikat kepalanya pita dari sutra putih selebar tiga jari. Sungguh membanggakan bagi yang melihatnya. Dalam hatinya Indra Sambada memuji akan kegagahan para Tamtama Kerajaan itu.
Andaikan kelak ia dapat memimpin Tamtama yang sedemikian perkasanya, alangkah bahagianya, demikian suara bathinnya. Setelah Indra Sambada tiba di alun-alun, ia langsung menuju ketempat penambatan kuda, untuk kemudian berjalan kaki kearah Istana Senopaten. Kini ia telah sampai didepan pura pintu gerbang yang sangat megah.
Didepan pura kanan kiri, berdiri tegak bagaikan patung. Dua Tamtama dengan pedang terhunus, digenggam erat-erat lurus kemuka, melekat pada badan dengan mata tajamnya kemuka. Dari jauh terlihat diatas pura pintu gerbang, patung burung “alap-alap" yang sedang mementangkan sayapnya, sebagai lambang keagungan gelar ,”Alap-alap ing ayudha".
Setelah Indra Sambada memberi hormat kepada Tamtama pengawal ia memasuki pintu gerbang tadi dan menuju balai pengawalan. Dua orang Tamtama pengawal bangkit berdiri, dan menyambut kedatangan seorang tamu yang masih asing baginya. Mereka mempersilahkan Indra Sambada masuk kedalam balai pengawalan, dan dengan wajah yang ber-sungguh-sungguh menanyakan maksud kedatangannya.
Keris pusaka Indra Sambada tidak ketinggalan dalam pengawasan pengawal pula. Untuk memenuhi peraturan yang berlaku bagai seorang tamu yang tidak dikenalnya, maka keris pusaka dimintanya pula untuk ditinggalkan dibalai pengawalan, pada waktu Indra Sambada akan menghadap Sang Senopati.
Setelah diterangkan bahwa kedatangan Indra Sambada adalah sebagai utusan dari Bupati Karya Laga, Empu Istana merangkap punggawa Natapraja di Kebanjaran Agung Bondowoso, dan akan menghaturkan surat kehadapan pribadi Gusti Harja Banendra Manggala Yudha, dengan disertai bukti menunjukkan suratnya, maka seorang pengawal segera meninggalkan balai pengawalan untuk menghadap pada Sang Senopati.
Tidak lama kemudian, tamtama kembali, dan mempersilahkan Indra Sambada menghadap kehadapan Sang Senopati Perang, ,yang sedang duduk di ruang pendapa tempat penerimaan tamu. Beliau duduk diatas permadani yang sangat indah, dengan didampingi oleh pembantu pribadinya Bupati Anom Tumenggung tamtama Sunata. Dengan jalan berjongkok, Indra Sambada memasuki ruang pendapa yang lebar itu. Setelah mengambil tempat dan memberikan sembah, ia menghadap dan berkata pelan
“Hamba Indra Sambada dari Kebanjaran Agung Bondowoso, menghadap Tuanku Gusti Manggala Yudha, untuk menghaturkan sepucuk surat dari ayah hamba yang rendah” Selesai kata-katanya, ia segera menyerahkan surat ayahnya yang diterima sendiri oleh beliau.
Dengan tidak berkata sepatahpun Sang Senopati memandang kearah Indra Sambada dengan sinar matanya yang tajam sambil menerima surat dengan tangan kanannya. Kembali Indra Sambada menundukkan kepalanya, sebagai seorang murid dari Guru Pendeta Badung dan dari Karya Laga ayahnya, ia cepat bersemadi untuk mengumpulkan cipta, rasa dan karsa kembali yang kemudian disalurkan melalui sinar wajahnya untuk menolak daya kekualan pandangan sang Senopati, yang segera pula dirasakan oleh beliau, bahwa daya kekuatan pandangannya memantul kembali.
Sebagai seorang yang telah memiliki ilmu kebathinan yang tinggi, beliau menyambut kembalinya tenaga bathinnya dengan bersenyum. Dalam hatinya beliau memuji akan daya kekuatan tenaga bathin yang dimiliki oleh Indra Sambada. Segera beliau memejamkan matanya sesaat, untuk dapat mengenang kembali, orang yang duduk dihadapanya, pada masa yang lampau.
Ternyata gelar beliau sebagai "Alap-alap ing ayudha", bukan gelar yang tidak ada artinya. Beliau berbadan tinggi besar. Sinar matanya tajam ditambah sepasang alisnya yang tebal menunjukkan wajah yang angker berwibawa. Diatas kepalanya, melingkar sisir emas, sedangkan rambutnya yang hitam berombak, diikat kebelakang diatas tengkuknya dengan pita kuning sutra keemasan.
Bajunya hitam berseretkan kuning, tersulam dari benang emas, menutupi dadanya yang bidang. Dipergelangan tangannya, melingkar gelang emas, selebar dua jari, diukir gambar alap-alap yang sedang membentangkan sayapnya dengan permata batu mirah sebesar kedelai. Beliau memakai cincin bermata batu jamrut dijari manis tangan kirinya, sedangkan dijari manis tangan kanannya memakai cincin tanda jabatan dan gelarnya, terbuat dari emas murni.
Celananya bludru hitam berseret kuning pula dengan memakai kain sarung dilipat berkampuh panjang disibakkan kesamping, bercorak aneka warna dengan sulaman-sulaman benang emas dan perak. Senyuman yang sering menghiasi bibirnya menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang bermurah hati. Beliau berusia kurang lebih 50 tahun.
“Tidak kuduga, bahwa kau setelah dewasa menjadi pemuda demikian gagah dan perkasa” demkian beliau mulai berkata. “Adakah ayahmu Tumenggung Karya Laga sehat wal afiat” tanya beliau kemudian.
“Restu Tuanku Gusti Senopati, ayahanda dalam keadaan sehat. Hamba sebagai utusan beliau menyampaikan sembah” jawab Indra Sambada dengan hormatnya.
“Indra Sambada! Janganlah kau menghormatku berlebihan. Ketahuilah, bahwa kau sebenarnya masih darah dagingku sendiri. Mendiang ibumu adalah saudara sepupu. Cukuplah kiranya apabila kau menyebutku paman saja,” Sang Senopati meneruskan kata-katanya dengan diiringi senyuman mesra. Beliau diam sejenak, untuk membaca isi surat dari Karya Laga, sambil berulang kali menganggukkan kepalanya.
Kini tahulah sudah beliau akan isi surat dari Karya Laga, bahwa ia Karya Laga hendak mengabdikan anak tunggalnya Indra Sambada kehadapan Sri Baginda Maharaja, sebagai Tamtama dibawah asuhan Sang Senopati Gusti Harya Banendra.
Dahulu dikala Indra masih berusia 5 tahun, pernah pula Sang Senopati memintanya, agar kelak setelah Indra Sambada dewasa dapat diasuhnya, karena Sang Senopati tidak mempunyai keturunan.
Dengan tersenyum puas Sang Senopati berkata “Jika memang demikian kehendakmu, aku turut menyatakan syukur dan terima kasih kepada Dewata yang Maha Agung. Maka mulai hari ini kau telah menjadi tanggunganku, dan kuangkat sebagai Tamtama Kerajaan. Mudah-mudahan kau tidak akan mengecewakan ayahmu. Karena tercapainya cita-citamu yang tinggi itu, tergantung pada semangat dan tingkah lakumu sendiri.”
“Tumenggung Sunata!” perintah beliau kepada Bupati Anom Sunata. “Antarkan Indra Sambada kepondok Lurah Somad, untuk diberikan tempat sementara yang baik, serta segala sesuatu perlengkapan, pakaian dan lain-lain untuk calon Bupati Tamtama Indra Sambada ini. Dan terangkan, bahwa jabatan calon Tumenggung Indra Sambada adalah sementara sebagai pembantu pribadiku. Besok pagi, saya akan berkenan memeriksa sendiri. O, ya, kuharap kau berdua menjadi sepasang pembantuku yang baik!” Demikian ucapan kata-kata Sang Senopati yang tegas dan jelas kepada Tumenggung Sunata.
“Baik Tuanku Gusti Senopati. Segera akan hamba laksanakan sebaik-baiknya semua titah Gusti Senopati,” jawab Sunanta pendek.
Namun demikian, ia sebagai Bupati Anon Tamtama, merasa tidak puas akan keputusan pengangkatan Indra Sambada itu. Ia tidak dapat mengerti, mengapa Indra Sambada yang baru saja datang menghadap lalu diangkatnya menjadi calon Bupati Tamtama, sedangkan ia sendiri untuk mencapai pangkat Bupati Anom Tamtama saja harus ditempuhnya bertahun-tahun dengan jerih payah dan pelbagai macam ujian.
Sungguh kebijaksanaan demikian adalah tidak adil, pikir Sunata. Dan pula, tiga tahun ia telah menjadi pembantu pribadi Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra. Tetapi baru sekarang inilah ia menghadapi suatu peristiwa yang demikian janggal. Adakah Indra Sambada mempunyai kepandaian ilmu krida yudha yang tinggi ? Jika hanya didasarkan karena Indra Sambada adalah masih mempunyai darah bangsawan yang berhubungan erat sebagai keluarga dengan Sang Senopati saja, hal ini tidak dapat dibenarkan. Bukankah ia Sunata juga mempunjai darah bangsawan dari keturunan Singosari? Apabila didasarkan keakhlian dalam ilmu krida yudha, mengapa tidak diuji terlebih dahulu untuk membuktikannya?
Tumenggung Raden Sunata, Bupati Anom Tamtama ini, mempunyai wajah yang tampan. Ia berusia kurang lebih 20 tahun. Dari sikapnya kelihatan bahwa ia adalah seorang yang tangkas. Perawakan tubuhnya tinggi, langsing berisi. Ia memakai pakaian seragam Tamtama, lengkap dengan tanda pangkatnya, sebagai Bupati Anom Tamtama. Pakaiannya berseret kuning emas, diatas dasar warna merah. Ikat kepalanyapun kuning sutra keemasan. Dalam berpakaian, ia sangat rapih sekali.
Setelah menghaturkan sembahnya, ia segera mengundurkan diri dengan mempersilahkan Indra Sambada untuk mengikutinja. Senyum mengejek menyertai ajakanya, Indra Sambada segera menghaturkan sembah sebagai tanda hormat, untuk mohon diri kepada Sang Senopati.
“Indra Sambada! hari ini sebaiknya kau beristirahat dulu, dan besok pagi datanglah menghadap kepadaku bersama Tumenggung Sunata. Ketahuilah, bahwa seratus hari lagi saya akan mengadakan perlombaan kemahiran dalam krida yudha dikalangan seluruh Tamiama, atas perintah Tuanku Gusti Mangkubumi Sang Patih Gajahmada. Pada kesempatan ini, hendaknya jangan nanti kau sia-siakan”
“Titah Gusti Pamanku akan kami junjung tinggi”
Berdua mereka berjalan menuju kepintu gerbang keluar, setelah mana Indra Sambada mengambil keris pusaka dahulu dibalai pengawalan. Mereka masing-masing berkuda berdampingan menuju tempat Lurah Somad, yang tidak berapa jauh letaknya dari Istana Senopaten.
Somad adalah Lurah Tamtama yang diserahi tugas untuk mengurus segala sesuatu perlengkapan Tamtama, termasuk pakaian, makanan, perumahan, dan lain sebagainya. Ia dahulu adalah Lurah Demang desa biasa dari sebuah desa di Ponorogo. Pada waktu Sang Senopati bersama pasukannya yang berjumlah lebih dari 1000 orang pulang dari Sembilan Negeri Kerajaan Malaka kembali melalui bandar Pacitan, dan kehabisan perbekalan. Demang Lurah Somad menyerahkan semua milik padinya dan lain-lain hasil bumi, bahkan rumah-rumah miliknya diserahkan pula, guna keperluan para Tamtama untuk berkemah.
Rakyat desanya dikerahkan untuk membantu memasak, agar dapat menghidangkan makanan lezat guna menyambut kembalinya para Tamtama Kerajaan yang dipimpin oleh Sang Senopati sendiri. Atas jasa-jasa itu, Pak Lurah Somad diangkat menjadi Lurah Tamtama, dengan tugas mengurus semua perlengkapan Tamtama, sebagai kepala rumah tangga.
Ia dahulu kaya raya, bukan karena hanya menjadi Lurah Desa saja, tetapi sesungguhnya ia menjadi kepala rampok di daerah Ponorogo, yang disegani dan ditakuti oleh rakyat sekitarnya. Setelah ia merasa telah lanjut usianya, maka ia insyaf dan menyerahkan harta bendanya untuk kepentingan Tamtama Kerajaan, dengan pengharapan secara tidak langsung ia akan mendapatkan perlindungan untuk selanjutnya.
Lurah Somad, sebenarnya buta huruf. Untuk mendampingi pekerjaannya, selain orang-orang pegawai bawahannya, adalah isterinya sendiri yang masih sangat muda belia dan cantik pula parasnya. Isterinya ki Lurah Somad pandai pula dalam surat menyurat.
Tumenggung Raden Sunata yang selalu diliputi perasaan-perasaan kecewa akan tindak kebijaksanaan Sang Senopati, kini timbul pikiran keangkuhannya, untuk menguji sendiri akan kesaktian Indra Sambrada.
“Hai, Tumenggung Indra,” katanya dengan memalingkan kepala kearah Indra Sambada, disertai ketawa ejekannya. “Hadiah pangkat calon Bupati Tamtama yang baru kau terima kurasa tidak sesuai dengan corak wajahmu yang kelihatan seperti pemuda desa itu. Jika aku yang menjadi engkau, lebih baik kutolak dan kuserahkan kembali, agar nama kebesaran dari Gusti Senopati kita tidak suram karenanya. Kini kurasa belum terlambat untuk kau menolaknya. Dari pada kau akan mengalami kegagalan nanti yang memalukan.”
Indra Sambada yang mendengarkan kata-kata Sunata dengan penuh penghinaan tadi, untuk sesaat tidak dapat menahan amarahnya, yang segera meluap. Akan tetapi ia selalu ingat kembali kepada petuah dan pesan pesan ayah serta Guru Pendetanya, bahwa harus selalu bersikap merendahkan diri. Dengan menahan kemarahan, ia menjawab sambil bersenyum yang dipaksakan.
“Kukira, hal itu adalah urusan saya pribadi, dan bukan pada tempatnya saudara Tumenggung Sunata mempersoalkan pula akan kebijaksanaan keputusan Tuanku Gusti Senopati?”
Jawaban yang wajar itu diterima oleh Sunata sebagai tantangan, sungguhpun Indra Sambada tidak bermaksud sama sekali untuk menyakitkan hatinya. Dengan nada penuh kemarahan yang disertai hinaan Sunata berkata
“Indra! tutup mulutmu, jika kau tidak mau mendengarkan nasehatku. Aku Sunata mempunyai pangkat Bupati Anom Tamtama dengan sebutan Tumenggung, bukan karena diberi belas kasihan, tetapi karena kesanggupanku untuk menaklukkan siapa saja yang kuanggap lawan. Orang berpangkat sejajarku, apalagi bawahanku, belum pernah berani melawan kata-kataku. Kau masih seorang calon, yang dimataku belum mempunyai hak akan perintah atas diriku, kini ternyata sudah berlagak congkak. Jika kau memang seorang laki-laki jantan, marilah kita menguji dahulu akan kekuatan kita. Jika kau takut dan jerih melihatku, sekalipun kelak pangkatmu sebagai Bupati, tidak aku dibawah perintah seorang desa pengecut”
Kata-kata yang penuh penghinaan ini, tidak dapat ditekan demikian saja oleh Indra Sambada. Sebagai seorang yang masih muda usianya, rasa kemarahan yang ditahan-tahan saja akan meledak keluar pula. Tetapi Indra Sambada masih sempat pula memikirkan dengan sadar, perlu atau tidaknya tantangan ini dilayani.
“Tumenggung Sunata! terserahlah, bagaimana kehendakmu, aku akan melayani sekedar untuk memuaskan hatimu.” sahut Indra Sambada dengan tenang.
“Hai orang desa dungu! ikutilah aku segera!” perintah Sunata kepadanya dengan disertai cambukan ketubuh kudanya untuk mempercepat larinya, yang kemudian disusul oleh Indra Sambada.
Mereka berkuda menuju kelapangan luas dibelakang asrama Tamtama. Dikala itu, hari telah buta ajam. Matahari baru saja lenyap dari Cakrawala. Jalan yang menuju kearah lapangan dibelakang tembok asrama sangat sunyi. Setelah sampai dilapangan tadi, Sunata segera meloncat turun dari kudanya, dan langsung berjalan menuju ketengah-tengah lapangan. Indra Sambada mengikuti apa yang diperbuatnya. Mereka kini sudah berhadap-hadapan, di tengah-tengah lapangan yang luas itu.
“Indra!” bentak Sunata. “Kau boleh memilih sekehendak hatimu, apakah kau ingin bersenjatakan pedangku ini, ataukah kau bersenjatakan kerismu itu. Bagi saya, senjata apapun tidak akan menjadi soal. Lekas, kau ambil keputusan! Aku ingin cepat menghajar kesombonganmu itu. Baru nanti, kau ketahui siapa Sunata.” Bentakan katanya tajam sekali.
“Sabarlah dahulu, saudara. Tumenggung Sunata,! Hendaknya kita cari pula manfaat dari perkelahian ini, untuk kepentingan bersama. Saya mempunyai suatu syarat. Apabila kau menyetujui-nya. Seandainya nanti saya menang, maukah kau menjadi sahabat karibku dengan kemurnian hatimu?” Indra Sambada menjawab tantangan tadi dengan tenang sekali, bahkan penuh penghargaan, supaya kata-katanya itu dapat menginsyafkan Sunata. Ia tetap pada pendiriannya bahwa tidak menghendaki akan terjadinya permusuhan, tetapi sebaliknya, ia menginginkan persahabatan dengan Sunata.
Tetapi karena Sunata telah sampai pada puncak kemarahannya, ia menyahut dengan suara yang lantang.
“Masih berani juga kau menunjukkan kesombonganmu heh! Ketahuilah, bahwa aku tidak hanya menerima syarat yang kau ajukan, tapi aku akan berguru kepadamu, apabila aku kalah!” demikian Sunata menjawab dengan penuh keyakinan, bahwa ia dalam waktu singkat tentu dapat mengalahkan Indra Sambada. “Tapi jangan jika kau nanti tidak kuat menerima pukulanku, kau akan kukubur, supaya hilang jejakmu semua.”
Kata-kata Sunata ini diucapkan dengan sungguh-sungguh, dan penuh rasa kebencian. Ia kini bukan hanya bermaksud untuk menundukkan Indra Sarnbada saja, tetapi bermaksud pula untuk membunuh benar-benar, karena rasa kebenciannya telah meluap.
Dengan tidak memberi tahukan lebih dahulu, ia telah melancarkan serangannya dengan tinju yang bertubi-tubi. Serangan yang tiba-tiba itu, telah diduga oleh Indra Sambada lebilt duhulu. Dengan diam diri ia telah pula memusatkan kekuatan bathinnya untuk disalurkan keseluruh tubuhnya. Ia tidak mau menyalurkan pemusatan kekuatan ketangan kanannya untuk menyambut serangan tinjunya Sunata, karena ia masih ingin mengukur kekuatan lawannya lebih dahulu.
Ternyata Sunata hanya mengandalkan akan ketangkasannya dan gerakan kekuatan yang wajar belaka. Dengan tangkas Indra Sambada membalik kesamping untuk mengelakkan serangan tinju lawannya. Tinju pertama Sunata yang tidak mengenai sasarannya, disusul dengan tendangan kaki kiri kearah lambung Indra dengan kekuatan penuh, bermaksud untuk segera mengakhiri perkelahian, dengan keyakinan kemenangan difihaknya.
Tetapi perhitungan inipun ternyata dengan hasil yang sebaliknya. Kaki kiri Sunata yang sedang melancarkan tendangan dahsyatnya dielakkan dengan menggeserkan langkah kekanan, dan secepat kilat tangan kanan Indra menebang dengan telapak tangan kanannya, kebetis kaki kiri Sunata yang sedang menjulur kearahnya. Tidak ayal lagi Sunata segera jatuh terguling kesamping kanan, mencium tanah. Sebagai seorang perwira Tamtama yang mudah naik darah, Sunata secepat kilat bangkit kembali dengan menghunus pedang tamtamanya yang tergantung dipinggang.
“Hai, bangsat dusun! jika kau berjiwa jantan, cabutlah kerismu!” bentak Sunata “Jika sekarang lehermu tidak putus karena pedangku ini, benar-benar aku akan berguru kepadamu!”
“Jangan terlalu pagi kau berjanji akan mengangkatku sebagai gurumu, cukup bila kau mengakui aku sebagai sahabat karibmu. Aku akan tetap melayanimu dengan tidak bersenjata. Dan saksikanlah, apabila dalam sepengunyah sirih, pedangmu tidak dapat kurampas, aku menyerah kalah kepadamu.” kata-katanya Indra tetap menunjukkan ketenangan, dan gertakannya penuh berarti.
Kata-kata Indra Sambada yang disertai pemusatan tenaga terdengar jelas dan berwibawa. Tetapi Sunata sebagai seorang Bupati Anom Tamtama, yang banyak mempunyai pengalaman dalam pertempuran, tidak dapat mudah percaya demikian saja sebelum ia membuktikan sendiri. Sungguhpun dalam hatinya ia heran akan keberanian Indra Sambada untuk menyambut senjata pedang hanya dengan bertangan kosong.
Kini Sunata mulai menyerang dengan tusukan2 pedangnya yang sangat berbahaya. Tusukan-tusakan dan babatan pedang yang dilancarkan dengan ketangkasan sebagai Tamtama merupakan sinar putih yang berkilauan, bergulung-gulung menyelubungi badan lawannya. Sesaat merupakan baling-baling yang berputar menyilaukan mata, sesaat kemudian merupakan rangkaian tusukan bertubi-tubi, yang sulit diduga arah sasarannya, ditambah pula susulan bacokan tebangan kekanan dan kekiri kearah leher, pinggang, dan kaki Indra.
Ternyata dalam mempergunakan senjata pedang, Sunata mempunyai kemahiran yang cukup sempurna, sebagai seorang perwira Tamtama. Indra Sambada sibuk menghadapi serangan-serangan maut yang dilancarkan oleh Sunata. Akan tetapi Indra Sambada telah mempelajari tigabelas tahun lamanya ilmu mempergunakan pelbagai macam senjata, dan ditambah dengan ilmu kekuatan bathin yang segera ia dapat mengukur kemahiran ilmu pedang yang dimiliki oleh Sunata serta cepat pula mengetahui segi-segi kelemahan dari permainan pedang lawan.
Dengan demikian, ia bertekat akan melayani Sunata hanya dengan kekuatan dan ketangkasannya yang wajar. Tiba-tiba ia meloncat tinggi berpusing, menghindari tebangan arah kakinya, dan jatuh berdiri tepat Sunata. Kesempatan itu tidak disia-siakan lagi.
“Indra Sambada! hari ini sebaiknya kau beristirahat dulu, dan besok pagi datanglah menghadap kepadaku bersama Tumenggung Sunata. Ketahuilah, bahwa seratus hari lagi saya akan mengadakan perlombaan kemahiran dalam krida yudha dikalangan seluruh Tamiama, atas perintah Tuanku Gusti Mangkubumi Sang Patih Gajahmada. Pada kesempatan ini, hendaknya jangan nanti kau sia-siakan”
“Titah Gusti Pamanku akan kami junjung tinggi”
Berdua mereka berjalan menuju kepintu gerbang keluar, setelah mana Indra Sambada mengambil keris pusaka dahulu dibalai pengawalan. Mereka masing-masing berkuda berdampingan menuju tempat Lurah Somad, yang tidak berapa jauh letaknya dari Istana Senopaten.
Somad adalah Lurah Tamtama yang diserahi tugas untuk mengurus segala sesuatu perlengkapan Tamtama, termasuk pakaian, makanan, perumahan, dan lain sebagainya. Ia dahulu adalah Lurah Demang desa biasa dari sebuah desa di Ponorogo. Pada waktu Sang Senopati bersama pasukannya yang berjumlah lebih dari 1000 orang pulang dari Sembilan Negeri Kerajaan Malaka kembali melalui bandar Pacitan, dan kehabisan perbekalan. Demang Lurah Somad menyerahkan semua milik padinya dan lain-lain hasil bumi, bahkan rumah-rumah miliknya diserahkan pula, guna keperluan para Tamtama untuk berkemah.
Rakyat desanya dikerahkan untuk membantu memasak, agar dapat menghidangkan makanan lezat guna menyambut kembalinya para Tamtama Kerajaan yang dipimpin oleh Sang Senopati sendiri. Atas jasa-jasa itu, Pak Lurah Somad diangkat menjadi Lurah Tamtama, dengan tugas mengurus semua perlengkapan Tamtama, sebagai kepala rumah tangga.
Ia dahulu kaya raya, bukan karena hanya menjadi Lurah Desa saja, tetapi sesungguhnya ia menjadi kepala rampok di daerah Ponorogo, yang disegani dan ditakuti oleh rakyat sekitarnya. Setelah ia merasa telah lanjut usianya, maka ia insyaf dan menyerahkan harta bendanya untuk kepentingan Tamtama Kerajaan, dengan pengharapan secara tidak langsung ia akan mendapatkan perlindungan untuk selanjutnya.
Lurah Somad, sebenarnya buta huruf. Untuk mendampingi pekerjaannya, selain orang-orang pegawai bawahannya, adalah isterinya sendiri yang masih sangat muda belia dan cantik pula parasnya. Isterinya ki Lurah Somad pandai pula dalam surat menyurat.
Tumenggung Raden Sunata yang selalu diliputi perasaan-perasaan kecewa akan tindak kebijaksanaan Sang Senopati, kini timbul pikiran keangkuhannya, untuk menguji sendiri akan kesaktian Indra Sambrada.
“Hai, Tumenggung Indra,” katanya dengan memalingkan kepala kearah Indra Sambada, disertai ketawa ejekannya. “Hadiah pangkat calon Bupati Tamtama yang baru kau terima kurasa tidak sesuai dengan corak wajahmu yang kelihatan seperti pemuda desa itu. Jika aku yang menjadi engkau, lebih baik kutolak dan kuserahkan kembali, agar nama kebesaran dari Gusti Senopati kita tidak suram karenanya. Kini kurasa belum terlambat untuk kau menolaknya. Dari pada kau akan mengalami kegagalan nanti yang memalukan.”
Indra Sambada yang mendengarkan kata-kata Sunata dengan penuh penghinaan tadi, untuk sesaat tidak dapat menahan amarahnya, yang segera meluap. Akan tetapi ia selalu ingat kembali kepada petuah dan pesan pesan ayah serta Guru Pendetanya, bahwa harus selalu bersikap merendahkan diri. Dengan menahan kemarahan, ia menjawab sambil bersenyum yang dipaksakan.
“Kukira, hal itu adalah urusan saya pribadi, dan bukan pada tempatnya saudara Tumenggung Sunata mempersoalkan pula akan kebijaksanaan keputusan Tuanku Gusti Senopati?”
Jawaban yang wajar itu diterima oleh Sunata sebagai tantangan, sungguhpun Indra Sambada tidak bermaksud sama sekali untuk menyakitkan hatinya. Dengan nada penuh kemarahan yang disertai hinaan Sunata berkata
“Indra! tutup mulutmu, jika kau tidak mau mendengarkan nasehatku. Aku Sunata mempunyai pangkat Bupati Anom Tamtama dengan sebutan Tumenggung, bukan karena diberi belas kasihan, tetapi karena kesanggupanku untuk menaklukkan siapa saja yang kuanggap lawan. Orang berpangkat sejajarku, apalagi bawahanku, belum pernah berani melawan kata-kataku. Kau masih seorang calon, yang dimataku belum mempunyai hak akan perintah atas diriku, kini ternyata sudah berlagak congkak. Jika kau memang seorang laki-laki jantan, marilah kita menguji dahulu akan kekuatan kita. Jika kau takut dan jerih melihatku, sekalipun kelak pangkatmu sebagai Bupati, tidak aku dibawah perintah seorang desa pengecut”
Kata-kata yang penuh penghinaan ini, tidak dapat ditekan demikian saja oleh Indra Sambada. Sebagai seorang yang masih muda usianya, rasa kemarahan yang ditahan-tahan saja akan meledak keluar pula. Tetapi Indra Sambada masih sempat pula memikirkan dengan sadar, perlu atau tidaknya tantangan ini dilayani.
“Tumenggung Sunata! terserahlah, bagaimana kehendakmu, aku akan melayani sekedar untuk memuaskan hatimu.” sahut Indra Sambada dengan tenang.
“Hai orang desa dungu! ikutilah aku segera!” perintah Sunata kepadanya dengan disertai cambukan ketubuh kudanya untuk mempercepat larinya, yang kemudian disusul oleh Indra Sambada.
Mereka berkuda menuju kelapangan luas dibelakang asrama Tamtama. Dikala itu, hari telah buta ajam. Matahari baru saja lenyap dari Cakrawala. Jalan yang menuju kearah lapangan dibelakang tembok asrama sangat sunyi. Setelah sampai dilapangan tadi, Sunata segera meloncat turun dari kudanya, dan langsung berjalan menuju ketengah-tengah lapangan. Indra Sambada mengikuti apa yang diperbuatnya. Mereka kini sudah berhadap-hadapan, di tengah-tengah lapangan yang luas itu.
“Indra!” bentak Sunata. “Kau boleh memilih sekehendak hatimu, apakah kau ingin bersenjatakan pedangku ini, ataukah kau bersenjatakan kerismu itu. Bagi saya, senjata apapun tidak akan menjadi soal. Lekas, kau ambil keputusan! Aku ingin cepat menghajar kesombonganmu itu. Baru nanti, kau ketahui siapa Sunata.” Bentakan katanya tajam sekali.
“Sabarlah dahulu, saudara. Tumenggung Sunata,! Hendaknya kita cari pula manfaat dari perkelahian ini, untuk kepentingan bersama. Saya mempunyai suatu syarat. Apabila kau menyetujui-nya. Seandainya nanti saya menang, maukah kau menjadi sahabat karibku dengan kemurnian hatimu?” Indra Sambada menjawab tantangan tadi dengan tenang sekali, bahkan penuh penghargaan, supaya kata-katanya itu dapat menginsyafkan Sunata. Ia tetap pada pendiriannya bahwa tidak menghendaki akan terjadinya permusuhan, tetapi sebaliknya, ia menginginkan persahabatan dengan Sunata.
Tetapi karena Sunata telah sampai pada puncak kemarahannya, ia menyahut dengan suara yang lantang.
“Masih berani juga kau menunjukkan kesombonganmu heh! Ketahuilah, bahwa aku tidak hanya menerima syarat yang kau ajukan, tapi aku akan berguru kepadamu, apabila aku kalah!” demikian Sunata menjawab dengan penuh keyakinan, bahwa ia dalam waktu singkat tentu dapat mengalahkan Indra Sambada. “Tapi jangan jika kau nanti tidak kuat menerima pukulanku, kau akan kukubur, supaya hilang jejakmu semua.”
Kata-kata Sunata ini diucapkan dengan sungguh-sungguh, dan penuh rasa kebencian. Ia kini bukan hanya bermaksud untuk menundukkan Indra Sarnbada saja, tetapi bermaksud pula untuk membunuh benar-benar, karena rasa kebenciannya telah meluap.
Dengan tidak memberi tahukan lebih dahulu, ia telah melancarkan serangannya dengan tinju yang bertubi-tubi. Serangan yang tiba-tiba itu, telah diduga oleh Indra Sambada lebilt duhulu. Dengan diam diri ia telah pula memusatkan kekuatan bathinnya untuk disalurkan keseluruh tubuhnya. Ia tidak mau menyalurkan pemusatan kekuatan ketangan kanannya untuk menyambut serangan tinjunya Sunata, karena ia masih ingin mengukur kekuatan lawannya lebih dahulu.
Ternyata Sunata hanya mengandalkan akan ketangkasannya dan gerakan kekuatan yang wajar belaka. Dengan tangkas Indra Sambada membalik kesamping untuk mengelakkan serangan tinju lawannya. Tinju pertama Sunata yang tidak mengenai sasarannya, disusul dengan tendangan kaki kiri kearah lambung Indra dengan kekuatan penuh, bermaksud untuk segera mengakhiri perkelahian, dengan keyakinan kemenangan difihaknya.
Tetapi perhitungan inipun ternyata dengan hasil yang sebaliknya. Kaki kiri Sunata yang sedang melancarkan tendangan dahsyatnya dielakkan dengan menggeserkan langkah kekanan, dan secepat kilat tangan kanan Indra menebang dengan telapak tangan kanannya, kebetis kaki kiri Sunata yang sedang menjulur kearahnya. Tidak ayal lagi Sunata segera jatuh terguling kesamping kanan, mencium tanah. Sebagai seorang perwira Tamtama yang mudah naik darah, Sunata secepat kilat bangkit kembali dengan menghunus pedang tamtamanya yang tergantung dipinggang.
“Hai, bangsat dusun! jika kau berjiwa jantan, cabutlah kerismu!” bentak Sunata “Jika sekarang lehermu tidak putus karena pedangku ini, benar-benar aku akan berguru kepadamu!”
“Jangan terlalu pagi kau berjanji akan mengangkatku sebagai gurumu, cukup bila kau mengakui aku sebagai sahabat karibmu. Aku akan tetap melayanimu dengan tidak bersenjata. Dan saksikanlah, apabila dalam sepengunyah sirih, pedangmu tidak dapat kurampas, aku menyerah kalah kepadamu.” kata-katanya Indra tetap menunjukkan ketenangan, dan gertakannya penuh berarti.
Kata-kata Indra Sambada yang disertai pemusatan tenaga terdengar jelas dan berwibawa. Tetapi Sunata sebagai seorang Bupati Anom Tamtama, yang banyak mempunyai pengalaman dalam pertempuran, tidak dapat mudah percaya demikian saja sebelum ia membuktikan sendiri. Sungguhpun dalam hatinya ia heran akan keberanian Indra Sambada untuk menyambut senjata pedang hanya dengan bertangan kosong.
Kini Sunata mulai menyerang dengan tusukan2 pedangnya yang sangat berbahaya. Tusukan-tusakan dan babatan pedang yang dilancarkan dengan ketangkasan sebagai Tamtama merupakan sinar putih yang berkilauan, bergulung-gulung menyelubungi badan lawannya. Sesaat merupakan baling-baling yang berputar menyilaukan mata, sesaat kemudian merupakan rangkaian tusukan bertubi-tubi, yang sulit diduga arah sasarannya, ditambah pula susulan bacokan tebangan kekanan dan kekiri kearah leher, pinggang, dan kaki Indra.
Ternyata dalam mempergunakan senjata pedang, Sunata mempunyai kemahiran yang cukup sempurna, sebagai seorang perwira Tamtama. Indra Sambada sibuk menghadapi serangan-serangan maut yang dilancarkan oleh Sunata. Akan tetapi Indra Sambada telah mempelajari tigabelas tahun lamanya ilmu mempergunakan pelbagai macam senjata, dan ditambah dengan ilmu kekuatan bathin yang segera ia dapat mengukur kemahiran ilmu pedang yang dimiliki oleh Sunata serta cepat pula mengetahui segi-segi kelemahan dari permainan pedang lawan.
Dengan demikian, ia bertekat akan melayani Sunata hanya dengan kekuatan dan ketangkasannya yang wajar. Tiba-tiba ia meloncat tinggi berpusing, menghindari tebangan arah kakinya, dan jatuh berdiri tepat Sunata. Kesempatan itu tidak disia-siakan lagi.
Tangan kiri Indra segera memegang lengan tangan Sunata dengan cengkeraman jari-jarinya, menekan pada jalinan syaraf, sedangkan tangan kanannya memukul pergelangan tangan Sunata yang memegang pedang, dengan disertai bentakan yang memekakkan telinga.
“Lepas pedangmu! — teriaknya.
Gerakan serangan tadi hanya berjalan sekejap mata saja. Sebelum Sunata sempat untuk manghindari pegangan tangan Indra pada lengannya, pergelangan tangan kanannya telah terasa sakit karena pukulan lndra. Jari-jari tangannya terbuka seolah-olah dirasakan kaku dan tidak dapat digerakkan lagi. Senjata pedang ditangan Sunata terlepas, dan jatuh ditanah yang secepat kilat pula dipungut oleh Indra dengan gerakan meloncat kesamping, sehingga mereka kembali berhadap-hadapan.
Sunata berdiri ternganga, dengan penuh rasa keheranan. Kini ia sadar bahwa kepandaian krida yudhanya masih jauh dibawah Indra Sambada. Segera ia mendekati Indra Sambada dan mengulurkan tangannya untuk minta berjabatan, sambil berkata!
“Saya menyerah kalah, dan semua janjiku akan kutepati. Sungguhpun Dimas Tumenggung Indra lebih muda dalam usianya, tetapi saya masih harus banyak belajar darimu. Terimalah kesediaan saya ini atas kesudian dimas Indra Sambada menerima saya sebagai sababat baik dan murid, sungguh menunjukkan budi luhur yang dimiliki oleh dimas Tumenegung Indra.”
Kata-kata itu dikeuarkan dengan raut muka penuh rasa penyesalan, akan tindakan-tindakan yang telah diperbuatnya.
“Maka sudilah dimas memaafkan akan semua pertubatanku tadi. Saya tidak menduga, bahwa dimas semuda itu telah mempunyai kesaktian yang tinggi dalam krida yudha.” Demikian Sunata meneruskan bicaranya.
“Janganlah kangmnas Tumenggung Sunata memuji berIebih-lebihan. Bahwa sekarang kangmas Sunata menerima tawaran saya untuk menjadi sahabat karibku, sudah cukup membanggakan diriku. Lagi pula ini memenuhi titah tuanku Gusti Sepopati, agar kita dapat merupakan sepasang pembantu beliau yang baik. Marilah kangmas kita cepat menuju kerumah ki Lurah Somad. Dan lupakanlah segala yang telah terjadi.”
Dengan sungguh akrab, mereka berdua kembali berkuda berdampingan, dan langsung menuju kerumah ki Lurah Tamtama Somad yang tidak jauh letaknya. Kedatangan mereka berdua pada hari hampir malam sungguh mengejutkan ki Lurah Somad berserta isterinya. Suami istri dengan tergopoh-gopoh menyambut kedua tamunya tadi dan mempersilahkan masuk keruang tempat tamu didalam rumahnya.
Ki Somad orangnya kurus, tingginya sedang dan usianya telah lanjut mendekati enam puluhan. Isterinya masih sangat muda dan genit serta pandai bersolek. Bagi orang yang tidak tahu akan mengira, bahwa Nyi Lurah Somad adalah anaknya Ki Lurah Somad.
Raut mukanya bulat telor dengan sepajang alisnya yang hitam tipis melengkung. Matanya redup dengan kerlingan yang kocak serta menggairahkan. Warna kulitnya kuning langsap. Daun telinganya dihiasi dengan subang bentuk tabuh gender dan bermatakan berlian, menambah kecantikan parasnya. Bicaranya lantang dan selalu diiringi dengan senyum dikulum. Perawakan tubuhnya ramping berisi, dengan dadanya yang padat. Tak mengherankan bahwa banyak para Tamtama yang masih muda tergila-gila kepadanya.
“Kedatangan Gustiku Tumenggung yang sudah malam ini membuat kami terkejut,” Ki Lurah Somad mulai membuka pembicaraan, dan melanjutkan bertanya “Apakah Gusti Tumenggung membawa titah dari Gusti Senopati yang penting bagi diri saya?”
Belum juga Tumenggung Sunata dan Indra Sambada rnenjawab, Ny Lurah Somad memotong mempersilahkan tamunya.
“Silahkan, duduk dahulu Gusti, dan saya mohon diri sebentar untuk menyiapkan air minum.” Berkata demikian ia sambil mengerlingkan matanya kearah Indra Sambada yang tampan itu, dan segera pergi kebelakang.
“Memang datangku ini atas perintah Gustiku Senopati Harya Banendra, Ki Somad,” Tumenggung Sunata menjelaskan! ”Yang datang bersamaku ini adalah tumenggung calon Bupati Indra Sambada.” berkata demikian Tumenggung Sunata sambil memalingkan muka kearah Indra Sambada. “Dimas Tumenggung Indra Sambada ini, adalah putra kemenakan Gustiku Senopati,” Sunata melanjutkan bicaranya.
“Sembah hamba untuk Gustiku Tumenggung Indra,” Ki Lurah Somad memotong bicara Tumenggung Sunata, dan segera membetulkan duduk bersilanya sambil menyembah tertuju kepada Indra Sambada “Maafkan atas kekhilapan hamba, karena hamba memang baru kali ini mengenal Gustiku.”
“Tak usahlah Ki Somad memakai adat yang berlebih-lebihan terhadapku. Memang baru kali ini aku datang di Senopaten, dan mudah-mudahan pengabdianku dapat berlangsung” jawab Indra Sambada dengan kejujurannya.
“Begini Ki Lurah Somad!” Sunata melanjutkan bicaranya. “Atas titah Gustiku Senopati, Ki Lurah supaya segera menyiapkan tempat perumahan dengan perlengkapannya serta pakaian-pakaian dan alat-alat keperluan lainnya!” Belum juga Ki Lurah Somad menjawab pertanyaan itu, Nyi Somad telah datang dengan membawa minuman dan kuwe-kuwe, serta mempersilahkan tamu-tamunya untuk mulai mencicipi apa yang dihidangkan.
“Sebaiknya, biarlah Gusti Tumenggung Indra untuk sementara waktu tinggal dikamar gandok samping itu, sambil menunggu selesainya bangunan rumah untuknya.” Kata Nyi Somad kepada Ki Lurah Somad.
Kiranya, pada waktu percakapan terakhir tadi, Nyi Lurah Somad mendengarkan dari balik pintu:
“Nanti akan segera saya siapkan. Ini jika Gustiku Tumenggung sudi tinggal bersama kami dipondok yang jelek ini,”
“Ah untukku rumah ini terlalu bagus.” Indra Sambada menyahut “Tetapi apakah kiranya tidak membuat repotmu sekalian?”
“Soal merepotkan, memang sudah tugas kami, Gusti. Buat kami adalah suatu kehormatan yang besar sekali, apabila Gustiku Tumenggung Indra sudi tinggal sementara disini” Ki Lurah Somad menyahut dengan hormatnya.
“Saya turut bergirang hati apabila Dimas Tumenggung Indra sudi tinggal disini, sebelum mendapatkan perumahan yang lajak.” berkata demikian Sunata mengerling kearah Nyi Lurah Somad sambil bersenyum kecil. “Dan kurasa Dimas Indra akan tetap tinggal disini, karena Nyi Lurah memang pandai memasak dan mengatur isi rumah, hingga selalu sedap dipandang mata. Hawanyapun sejuk pula disini,” Sunata berkelakar menyindir.
“Ah, ada, ada saja, Gusti Tumenggung Sunata ini,” Nyi Lurah Somad memotong bicara sambil tersipu-sipu.
Ki Lurah Somad tidak mendapat kesempatan untuk turut berbicara. Setelah Nyi Somad turut dalam percakapan itu.
“Lepas pedangmu! — teriaknya.
Gerakan serangan tadi hanya berjalan sekejap mata saja. Sebelum Sunata sempat untuk manghindari pegangan tangan Indra pada lengannya, pergelangan tangan kanannya telah terasa sakit karena pukulan lndra. Jari-jari tangannya terbuka seolah-olah dirasakan kaku dan tidak dapat digerakkan lagi. Senjata pedang ditangan Sunata terlepas, dan jatuh ditanah yang secepat kilat pula dipungut oleh Indra dengan gerakan meloncat kesamping, sehingga mereka kembali berhadap-hadapan.
Sunata berdiri ternganga, dengan penuh rasa keheranan. Kini ia sadar bahwa kepandaian krida yudhanya masih jauh dibawah Indra Sambada. Segera ia mendekati Indra Sambada dan mengulurkan tangannya untuk minta berjabatan, sambil berkata!
“Saya menyerah kalah, dan semua janjiku akan kutepati. Sungguhpun Dimas Tumenggung Indra lebih muda dalam usianya, tetapi saya masih harus banyak belajar darimu. Terimalah kesediaan saya ini atas kesudian dimas Indra Sambada menerima saya sebagai sababat baik dan murid, sungguh menunjukkan budi luhur yang dimiliki oleh dimas Tumenegung Indra.”
Kata-kata itu dikeuarkan dengan raut muka penuh rasa penyesalan, akan tindakan-tindakan yang telah diperbuatnya.
“Maka sudilah dimas memaafkan akan semua pertubatanku tadi. Saya tidak menduga, bahwa dimas semuda itu telah mempunyai kesaktian yang tinggi dalam krida yudha.” Demikian Sunata meneruskan bicaranya.
“Janganlah kangmnas Tumenggung Sunata memuji berIebih-lebihan. Bahwa sekarang kangmas Sunata menerima tawaran saya untuk menjadi sahabat karibku, sudah cukup membanggakan diriku. Lagi pula ini memenuhi titah tuanku Gusti Sepopati, agar kita dapat merupakan sepasang pembantu beliau yang baik. Marilah kangmas kita cepat menuju kerumah ki Lurah Somad. Dan lupakanlah segala yang telah terjadi.”
Dengan sungguh akrab, mereka berdua kembali berkuda berdampingan, dan langsung menuju kerumah ki Lurah Tamtama Somad yang tidak jauh letaknya. Kedatangan mereka berdua pada hari hampir malam sungguh mengejutkan ki Lurah Somad berserta isterinya. Suami istri dengan tergopoh-gopoh menyambut kedua tamunya tadi dan mempersilahkan masuk keruang tempat tamu didalam rumahnya.
Ki Somad orangnya kurus, tingginya sedang dan usianya telah lanjut mendekati enam puluhan. Isterinya masih sangat muda dan genit serta pandai bersolek. Bagi orang yang tidak tahu akan mengira, bahwa Nyi Lurah Somad adalah anaknya Ki Lurah Somad.
Raut mukanya bulat telor dengan sepajang alisnya yang hitam tipis melengkung. Matanya redup dengan kerlingan yang kocak serta menggairahkan. Warna kulitnya kuning langsap. Daun telinganya dihiasi dengan subang bentuk tabuh gender dan bermatakan berlian, menambah kecantikan parasnya. Bicaranya lantang dan selalu diiringi dengan senyum dikulum. Perawakan tubuhnya ramping berisi, dengan dadanya yang padat. Tak mengherankan bahwa banyak para Tamtama yang masih muda tergila-gila kepadanya.
“Kedatangan Gustiku Tumenggung yang sudah malam ini membuat kami terkejut,” Ki Lurah Somad mulai membuka pembicaraan, dan melanjutkan bertanya “Apakah Gusti Tumenggung membawa titah dari Gusti Senopati yang penting bagi diri saya?”
Belum juga Tumenggung Sunata dan Indra Sambada rnenjawab, Ny Lurah Somad memotong mempersilahkan tamunya.
“Silahkan, duduk dahulu Gusti, dan saya mohon diri sebentar untuk menyiapkan air minum.” Berkata demikian ia sambil mengerlingkan matanya kearah Indra Sambada yang tampan itu, dan segera pergi kebelakang.
“Memang datangku ini atas perintah Gustiku Senopati Harya Banendra, Ki Somad,” Tumenggung Sunata menjelaskan! ”Yang datang bersamaku ini adalah tumenggung calon Bupati Indra Sambada.” berkata demikian Tumenggung Sunata sambil memalingkan muka kearah Indra Sambada. “Dimas Tumenggung Indra Sambada ini, adalah putra kemenakan Gustiku Senopati,” Sunata melanjutkan bicaranya.
“Sembah hamba untuk Gustiku Tumenggung Indra,” Ki Lurah Somad memotong bicara Tumenggung Sunata, dan segera membetulkan duduk bersilanya sambil menyembah tertuju kepada Indra Sambada “Maafkan atas kekhilapan hamba, karena hamba memang baru kali ini mengenal Gustiku.”
“Tak usahlah Ki Somad memakai adat yang berlebih-lebihan terhadapku. Memang baru kali ini aku datang di Senopaten, dan mudah-mudahan pengabdianku dapat berlangsung” jawab Indra Sambada dengan kejujurannya.
“Begini Ki Lurah Somad!” Sunata melanjutkan bicaranya. “Atas titah Gustiku Senopati, Ki Lurah supaya segera menyiapkan tempat perumahan dengan perlengkapannya serta pakaian-pakaian dan alat-alat keperluan lainnya!” Belum juga Ki Lurah Somad menjawab pertanyaan itu, Nyi Somad telah datang dengan membawa minuman dan kuwe-kuwe, serta mempersilahkan tamu-tamunya untuk mulai mencicipi apa yang dihidangkan.
“Sebaiknya, biarlah Gusti Tumenggung Indra untuk sementara waktu tinggal dikamar gandok samping itu, sambil menunggu selesainya bangunan rumah untuknya.” Kata Nyi Somad kepada Ki Lurah Somad.
Kiranya, pada waktu percakapan terakhir tadi, Nyi Lurah Somad mendengarkan dari balik pintu:
“Nanti akan segera saya siapkan. Ini jika Gustiku Tumenggung sudi tinggal bersama kami dipondok yang jelek ini,”
“Ah untukku rumah ini terlalu bagus.” Indra Sambada menyahut “Tetapi apakah kiranya tidak membuat repotmu sekalian?”
“Soal merepotkan, memang sudah tugas kami, Gusti. Buat kami adalah suatu kehormatan yang besar sekali, apabila Gustiku Tumenggung Indra sudi tinggal sementara disini” Ki Lurah Somad menyahut dengan hormatnya.
“Saya turut bergirang hati apabila Dimas Tumenggung Indra sudi tinggal disini, sebelum mendapatkan perumahan yang lajak.” berkata demikian Sunata mengerling kearah Nyi Lurah Somad sambil bersenyum kecil. “Dan kurasa Dimas Indra akan tetap tinggal disini, karena Nyi Lurah memang pandai memasak dan mengatur isi rumah, hingga selalu sedap dipandang mata. Hawanyapun sejuk pula disini,” Sunata berkelakar menyindir.
“Ah, ada, ada saja, Gusti Tumenggung Sunata ini,” Nyi Lurah Somad memotong bicara sambil tersipu-sipu.
Ki Lurah Somad tidak mendapat kesempatan untuk turut berbicara. Setelah Nyi Somad turut dalam percakapan itu.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment