Ads

Wednesday, February 2, 2022

Pendekar Majapahit 001

Karya : KUSDIO KARTODIWIRJO
Gambar : OYI SOEDOMO

Dialun-alun Kepatihan di Kota Raja nampak banyak Tamtama hilir mudik menunjukkan kesibukan yang lain dari pada hari biasanya. Kereta-kereta para senopati Manggala Tamtama kelihatan berhenti berderet-deret didepan samping Istana. Para Tamtama pengawal penjaga keamanan Istana Kepatihan, semua siap siaga, berdiri tegak berjajar rapat merupakan barisan penghormatan didepan pura Pintu gerbang lstana Kepatihan.

Pada hari itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada berkenan mengadakan pasewakan paripurna di Istana Kepatihan, yang dihadiri oleh Sang Senopati Manggala Yudha, lengkap beserta Catur Tunggal. Senopati Muda Manggala Tamtama Samudra, Senopati Muda Manggala Tamtama Darat, Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja dan tidak ketinggalan Senopati Muda Manggala Narapraja Gusti Pangeran Pekik.

Indra Sambada sebagai Manggala Muda Tamtama pengawal Raja hadir pula untuk mendampingi Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti Adityawardhana. Gusti Adityawardhana adalah berasal dari tanah Melayu, tetapi sejak usia belasan tahun beliau telah mengabdi dikerajaan Majapahit. Beliau saudara sepupu dengan Pangeran Adityawarman, ialah konon dalam ceritera sejarah Pangeran Adityawarman, adalah sahabat karib daripada Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada.

Pangeran Adityawarman juga memegang jabatan tinggi di Majapahit hingga berusia 46 tahun. Baginda Maharaja Majapahit berkenan mengangkat Pangeran Adityawarman sebagai wakil berkuasa penuh ditanah Melaju, dan kemudian beliau bergelar Raja. Semula beliau hanya menguasai Jambi, kemudian meluas dan pusat kekuasaannya berpindah dekat Pagaruyung di Minangkabau. Pada akhir abad ke XIV beliau bersama-sama dengan pasukan Majapahit berhasil menghancurkan keradjaan Sriwidjaja. Kemudian tanah Melayu menjadi Negeri sejajar dengan Negeri-negeri sahabat yang lazim disebut "Mitreka Satata", walaupun merupakan daerah Nuswantara yang di naungi atau disebut Kabaca.

Dalam Pasewakan paripurna itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada berkenan memberikan keterangan tentang adanya gerombolan besar bajak laut yang terdiri dari bangsa Cina dan kini mengganas melakukan pembajakan-pembajakan disepanjang selat Karimata hingga disepanjang laut Jawa. Bukan hanya perahu-perahu nelayan dan perahu perahu dagang yang dirampoknya, bahkan perahu-perahu dari kerajaan Kota Waringin yang memuat barang-barang antaran bulubhakti untuk Sri Baginda Maharaja dibajaknya pula. Dari hasil karya Tamtama Nara Sandi. yang dipimpin oleh Tumenggung Cakrawirya mendapat penjelasan, bahwa gerombolan bajak laut itu barsarang di Pontianak, sebuah kota dipantai Pulau Tanjung puri bagian Selatan, pantai sebelah utara selat Karimata.

Orang-orang pribumi daerah itu dirampok harta kekayayaannya, dan kemudian diusir dari daerah itu. Kalimantan Barat kekuatan gerombolan bajak laut diperkirakan kurang lebih 1000 orang jumlahnya belum terbitung jumlah anggauta keluarganya. Mereka adalah terdiri daripada bekas Tamtama samudera Kerajaan Cina yang memberontak dan kemudian melarikan diri dari Kerajaan Cina. Karena tidak berani kembali ke negeri asalnya, mereka bergabung menjadi satu merupakan gerombolan besar dan membajak di lautan. Dengan mengarungi laut Cina Selatan mereka menyusuri pantai Malaka menuju bandar Singgapura dari kerajaan Sembilan Negeri, dan kemudian menyeberangi laut Cina Selatan, melintasi selat Karimata untuk kemudian tiba dan menetap di Pontianak. Hingga kini mereka mempertahankan diri bersarang tetap dan menguasai daerah Pontianak dan sekitarnya.

Telah dua kali Kerajaan Kota Waringin mengadakan serangan langsung ke Pontianak tapi tak berhasil menundukkan. Oleh Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada dijelaskan pula, bahwa kegagalan serangan dari Kerajaan Kota Waringin dikarenakan kurang telitinya memperhitungkan kekuatan lawan. Serta siasat-siasat penyerangan yang kurang sempurna.

Disamping memperhitungkan jumlah kekuatan lawan, seharusnya diperhitungkan pula daja kekuatan dalam krida yudha perseorangan dari fihak lawan, jang ternyata mereka adalah sebahagian besar terdiri dari bekas Tamtama pula. Pun tempat kedudukan dari fihak lawan harus mendapat perhatian, dalam waktu mengadakan serangan.

Selesai Sang Patih Mangkubumi Gadjah Mada memberikan keterangan yang panjang lebar, mengenai gerombolan bajak laut yang bersarang di Pontianak itu. Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra segera membeberkan peta bumi dari daerah yang menjadi tujuan sasaran akan penyerangan.

Beliau memberikan penjelasan-penjelasan mengenai tempaf pertahanan lawan serta keadaan alam dari daerah sekitarnya. Untuk tidak mengalami kegagalan, maka oleh Sang Senopati Manggala Yuda Gusti Harja Banendra diputuskan, penyerangan dilakukan dari pantai dan daratan pedalaman.

Tamtama Samudra sebagai penyerang dari pantai di pimpin oleh Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Samudra Gusti Baratarajasa, Sedangkan penyerang dari daratan pedalaman dilakukan oleh Tamtama darat terpilih sebanyak 1000 orang dipimpin oleh Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja, Tumenggung Indra Sambada, dengan dibantu oleh Tumenggung Cakrawirya dari tamtama Nara Sandi, yang telah mengetahui dan menguasai keadaan daerah lawan.

Disamping itu diharapkan pula datangnya bala bantuan Tamtama beserta tambahan perbekalan dari Kerajaan Kota Waringin yang akan langsung menggabung pada saat dan tempat yang ditentukan. Hari penyerangan penumpasan geromlolan bajak laut telah pula ditentukan, ialah pada malam pertama, bulan purnama, duapuluh hari lagi. Setelah perintah-perintah dengan penjelasannya diterima oleh para Manggala dengan saksama, maka pasewakan paripurna segera dibubarkan.

Dalam berjalan berdampingan, Sang Senopati Muda Manggala Tamtama pengawal Radja menepuk bahu Tumenggung Indra Sambada, seraya berkata,

“Dimas Tumenggung Indra! Tunjukkan sekali lagi akan kemampuanmu menjunjung titah Gusti Patih dalam menunaikan tugasmu, dan pertahankanlah nama gelarmu. ‘Banteng Majapahit’. Aku percaya penuh akan berhasilnya dengan gemilang.”

“Kesempatan untuk menunjukkan dharmabakti hamba ini, tak akan hamba sia-siakan. Hanya doa restu Gusti Senopati supaya menyertai hamba.” Indra Sambada menjawab dengan singkat.

Kini masing-masing diliputi oleh kesibukan kearah persiapan untuk melaksanakan tugas. Dalam kesibukan mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya itu. Indra Sambada terkenang kembali akan riwayat dirinya.

***

MATAHARI telah condong kearah Barat, mendekati Cakrawala. Cahaja kemerah-merahan dan cemerlang cerah menyinari buana, menandakan bahwa hari telah hampir senja, yang sebentar lagi akan berganti dengan sang malam.

Seorang pemuda berwajah tampan, berbadan tegap dan berpakaian sebagai seorang saudagar kaya, sedang menuntun kudanya, memasuki halaman sebuah rumah makan yang besar, didekat bandar pelabuhan Surabaja. Ia bercelana sutra biru dengan kain sarung sulaman beraneka warna yang dilipat setinggi lututnya, sedangkan sehelai sutra kuning melintasi pundak dan menutup dadanya yang bidang, sebagai bajunya. Rambutnya berombak, terurai sampai dipundaknya, dan didahinya melingkar pita berwarna merah tua, selebar tiga jari, sebagai ikat kepalanya.

Dipinggang kiri, tergantung sebuah keris berwarangka emas murni dengan bertakhtakan berlian, sedangkan dipinggang sebelah kanan tergantung sebuah kantong, yang terbuat dari kulit sampi yang halus, selebar kira-kira satu jengkal. Dipergelangan tangan kirinya yang kekar, terlihat memakai sebuah gelang akar bahar hitam mengkilat. Setelah menambatkan kudanya yang kelihatan letih sekali, dan memperbaiki letak bajunya jang kusut, dengan tenang ia melangkahkan kakinya menuju langsung memasuki ruangan makan jang lebar itu. Ia menganggukkan kepalanya, sebagai tanda memberi hormat kepada para tamu lainnya yang sedang makan, dan mengambil tempat kosong disuatu ruang makan tersebut. Dengan tenang ia menarik kursi, dan segera duduk menghadap meja didepannya.

Pelayan rumah makan segera mengantarkan dengan hormat dan sopan, makanan dan minuman yang telah dipesannya. Tanpa menghiraukan sekitarnya, ia mula makan hidangan yang disajikan didepannya dengan lahap sekali, seolah-olah telah lama ia menahan lapar.



Sedang ia asyik makan, tiba-tiba seorang tamu yang duduk jauh disudut depannya, berteriak mengaduh dan jatuh tersungkur dilantai dengan berlumuran darah. Sebatang belati menancap dibahu kiri sebelah belakang orang itu.

Indra Sambada terpaksa berhenti makan, dan dengan matanya yang tajam ia mengikuti kejadian yang tiba tiba itu. Keributan segera terjadi diruang rumah makan tersebut. Seorang tamu berpakaian sebagai orang bangsawan, bertubuh tinggi kurus, berusia kurang lebih 40 tahun, menyerang dengan tinjunya, kearah seorang tamu lain, yang ternyata adalah orang yang melemparkan pisau belati tadi. Melihat pakaian dan roman mukanya orang yang diserang oleh bangsawan itu adalah orang asing. Matanya sipit, warna kulitnya kuning ke-merah-merahan, kepalanya gundul.

Ia berkumis panjang, tetapi tipis dan jarang. Bentuk badannya gemuk pendek. Dari pakaiannya yang menyelubungi badannya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang pelaut Cina. Ia adalah seorang Cina yang datang dengan kapal, dibandar Surabaya.

Serangan tinju dari seorang bangsawan yang tiba-tiba dapat dielakkan oleh si orang Cina tadi, dengan tangkas dan mengagumkan. Ia mengelakkan pukulan tinju yang berbahaja, hanya dengan memiringkan badan dan menundukan kepalanya, dengan masih tetap dalam sikap duduk, tidak bergeser sedikitpun.

Pada saat tinju si bangsawan jatuh pada sasaran kosong, tangan kiri si Cina secepat kilat menjulur, untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Si bangsawan yang mempunyai kemahiran dan pengalaman luas dalam ilmu perkelahian, segera menarik tinjunya dengan cepat, dan membuka kepalan tangannya, untuk kemudian dirobah menjadi gaya tebangan, tertuju kearah tengkuknya si orang Cina tadi.

Perobahan serangan itu sangat cepat hingga tidak mungkin dapat dielakkan untuk kedua kalinya. Karena lawan yang dihadapinya, berada dalam posisi duduk dikursi. Tetapi sebelum pukulan tebangan sampai pada sasarannya, bangsawan tadi telah jatuh berguling dilantai, dengan tangan kanan erat menekan pada perutnya sendiri sebelah kiri, menahan rasa sakitnya karena terkena tendangan kaki yang dilancarkan oleh si-Cina.

Para tamu tain yang tidak mau terlibat dalam perkelahian, segera meninggalkan rumah makan itu, sedangkan pemilik rumah makan berteriak minta tolong pada orang-orang yang berada dijalan besar dengan maksud untuk menghentikan perkelahian tadi. Tetapi kiranya teriakan tadi sia-sia belaka, piring-pring, gelas dan lain-lain yang masih berisikan hidangan makanan, yang berada diatas meja dihadapan orang Cina, jatuh berantakan pecah dilantai.

lndra Sambada masih tetap berada dikursinya, mengawasi jalannya perkelahian dengan seksarna. Tetapi ia belum berani untuk campur tangan. Dalam otaknya berkecamuk ber-tubi-tubi pertanyaan. Apakah sebenarnya latar belakarg dari perkelahian itu?. Semuanya tidak mampu ia menjawabnya. Sebab musabab dari perkelahian itupun ia tidak mengetahuinya.

Kini ia bernafsu besar ingin mengetahui peristiwa kejadian yang berada di hadapannya itu. Pada saat lndra Sambada masih terbenam dalam angan-angan yang penuh dengan pertanyaan, si orang bangsawan yang jatuh berguling dilantai, telah bangkit kembali, dengan menggenggam keris terhunus ditangannya. la bangkit berdiri dengan berteriak lantang:

“Bangsat bajak laut Cina! serahkan dirimu, bila kau masih ingm hidup!”

Si orang Cina menjawab dengan nada teriakan pula, tetapi dalam bahasanya sendiri, yang tidak dapat dimengerti oleh Indra Sembada. Tetapi jelas menunjukkan gerakan untuk melawan, karena ternyata tangan kanannya cepat menghunus pisau belati yang panjangnya kurang lebih dua jengkal dan berdiri tegak, siap menghadapi segala kemungkinan serangan-serangan yang datang dari lawannya.

Pada waktu yang bersamaan itu, orang yang jatuh tersungkur dengan berlumuran darah telah bangkit pula. Dengan tangan kanannya mendekap bahu kiri yang terluka tadi, ia lari menuju ke-pintu, yang merupakan satu-satunya jalan keluar dari rumah makan itu. Ia berdiri di-tengah-tengah pintu dengan maksud untuk hadang siorang Cina.

“Yuanku Tumenggung Cakrawirya! Bangsat Cina itu jangan diberi kesempatan untuk meloloskan diri!,” demikian ia berkata tertuju kepada si bangsawan tadi. “Kita tidak perlu mendengarkan kata-katanya yang kita tidak tahu artinya itu. Tetapi terang sudah, bangsat itu adalah pengawal pribadi dari pemimpin bajak laut yang merampas barang-barang antaran dari Kota Waringin untuk Gusti Sri Baginda.”

“Durpada! Jaga pintu keluar!” sahut bangsawan tadi dengan kata memerintah kepada orang yang terluka pada bahu kirinya.

Belum sempat Durpada menjawab si Cina menerjang kearah Durpada dengan maksud hendak lari keluar. Tetapi dengan langkah yang tidak kurang cepatnya, Bupati Tamtama Cakrawirya menyerang kearah punggung si Cina dengan keris yang terhunus.

Dengan tangkas orang Cina tadi membalikkan badannya, untuk menghadapi menyambut serangan yang datang dari belakang, dengan sabetan pisau belatinya yang tepat mengenai ibu jari tangan kanan Bupati Cakrawirya. Sabetan pisau belati yang tepat pada sasarannya, masih disusul pula dengan serangan tendangan kaki kearah perut Cakrawirya. Keris terpental lepas dari tangan Bupati Cakrawirya dan terlempar dua langkah lebih, jatuh dilantai. Bupati Cakrawirya terperanjat dan segera meloncat kebelakang dua langkah, untuk menghindari serangan tendangan yang dilancarkan oleh si Cina.

Tetapi apa daya. Si Cina menerjang maju dan melancarkan serangan dengan pisau belatinya ber-tubi-tubi. Ia merangsang maju terus kedepan menerjang lawannya. Gaya tusukan dalam sekejap mata berrobah-robah menjadi sabetan tebangan kearah pinggang kanan kiri dan kembali lagi merupakan gerak tusukan kearah ulu hati.

Kini Cakrawirya kelihatan terdesak dan tidak berdaya. Hanya kelincahan geraknya yang dapat menolong jiwanya. la menghindari serangan dengan meloncat kesamping kanan dan kekiri, serta surut ke belakang. Tiba-tiba kaki si Cina melontarkan tendangan-tendangan berangkai kearah lambung Cakrawirya.

Kaki si Cina tadi se-olah-olah merupakan baling-baling, silih berganti melontarkan serangan tendangan yang berbahaja. Serangan tendangan yang tiba-tiba ini sama sekali tidak diduga oleh Cakrawirya. Sungguhpun Cakrawirya adalah seorang Tarntama yang berpangkat Bupati dengan sebutan Tumenggung Tamtama dari Pasakan Nara Sandi yang mempunyai pengalaman luas pula dalam pelbagai macam pertempuran, tetapi setelah keris pusakanya lepas terlempar dari genggamannya bahkan ibu jari tangan kanannya putus terbabat, ia kehilangan kepercayaan pada diri sendiri.

Dengan demikian dalam menghadapi lawan yang tangguh itu, kini ia tidak berdaya sama sekali. Senjata lain ia tidak membawanya. Satu-satunya harapan, ialah bantuan dari Lurah Tamtama Durpada, tetapi ini tidak mungkin membawa perobahan yang menguntungkan baginya, karena disamping Durpada terluka pada bahunya, pun diketahui, bahwa ia tidak membawa senjata apapun. Dengan demikian harapan satu-satunya ini pun telah lenyap dari angan-angannya. Tidak heranlah, apabila ia terdesak dalam keadaan yang membahayakan jiwanya.

Kursi-kursi dan meja-meja telah terserak berak karena keterjang, baik oleh Cakrawirya maupun oleh siorang Cina tadi. Jarak antara tempat perkelahian dengan tempat duduknya Indra Sambada, kini tinggal lima langkah lagi. Indra Sambada melihat jelas, bahwa wajah Cakrawirya pucat pasi, menunjukkan rasa putus harapan.

Setelah Indra Sambada mengetahui sepintas lalu persoalan perkelahian, walaupun belum jelas keseluruhannya, ia dapat menarik kesimpulan, bahwa Cakrawirya dan Durpada adalah hamba petugas kerajaan, sedangkan Cina itu adalah salah satu anggauta bajak laut yang sedang di intai oleh hamba petugas Tamtama nara sandi kerajaan.

Orang Cina yang sedang melancarkan serangan tendangan yang hampir mengenai tepat pada sasarannya, tiba-tiba berteriak kesakitan dan jatuh duduk, untuk tidak dapat berdiri lagi. Tepat dibawah kedua lututnya tertancap masing-masing sebuah pisau kecil yang lazimnya disebut taji. Tusukan kedua buah taji tadi tepat mengenai urat besar yang menggunakan telapak kakinya. Tidak heran, apabila si orang cina segera jatuh dan tidak dapat bangkit berdiri lagi. Melihat, bahwa orang cina jatuh duduk dilantai dan tidak dapat bangkit berdiri lagi. Durpada segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dengan mudah si cina diringkus dan diikat kedua belah tangannya kebelakang.

Cakrawirya masih juga ternganga, melihat jatuhnya si orang cina tadi. la hampir tidak percaya pada apa yang dilihatnya sendiri. Pertolongan yang tiba-tiba dari seorang saudagar yang duduk disudut, dapat dikatakan, mengembalikan jiwanya yang hampir melayang menuju ke alam Baka.

Lernparan tajinya beruntun yang sekaligus ke dua-dua-nya tepat pada sasarannya yang dituju, adalah merupakan kejadian yang ia tidak pernah menyaksikan sebelumnya, dengan mata kepalanya sendiri. Baru sekaranglah ia percaya, bahwa orang yang demikian mahirnya dalam ilmu pelemparan taji itu, sebenarnya ada. Bahkan menolong jiwanya pada saat ia hampir menyerahkannya. Dan kini orang itu berdiri dihadapannya.

“Saudara saudagar penolong?” tanya Cakrawirya kepada Indra Sambada. “Siapakah nama dan gelar saudara? Kami berdua sebagai hamba petugas kerajaan, menyampaikan terima kasih kita yang tidak terhingga.” Demikianlah Cakrawirya mulai berkata.

Dengan tenang Indra Sambada mendekati Cakrawirya, serta menjawab dengan sopan dan sikap merendah.

“Perkenankanlah saya berkenalan dengan tuan” sambil membungkukkan badannya “dan tempat tinggal saya adalah dikota Kebanjaran Agung Bondowoso. Maafkan atas kelancangan saya, akan keberanian turut campur tangan dalarn urusan tuan.”

“Ah, bukan pada tempatnya saudara minta maaf kepada saya. Bahkan pertolongan saudara ini akan saya laporkan kepada atasan saya, agar saudara mendapat hadiah yang setimpal” jawab Cakrawirya dengan mengulurkan tangan, yang disambutnya oleh Indra Sambada.

“Silahkan duduk untuk bercakap-cakap, agar kita saling lebih mengenal.”

Mereka berdua segera mengambil tempat dan duduk berhadap-hadapan, sedangkan Durpada menyusul kemudian, dan mengambil tempat duduk disebelah Cakrawirya.

“Kenalkan dulu disebelah ini, adalah anak buahku, bernama Durpada lurah” Tamtama Cakrawirya berkata.

Indra Sambada menganggukkan kepalanya tertuju kepada Durpada yang disambutnya dengan anggukan kepala pula, sambil bersenyum.

“kemahiran saudara, melempar taji, sangat mengagumkan kami. Siapakah gelar saudara sebenarnya?” tanya Cakrawirya.

“Pujian tuan berlebih-lebih. Sesungguhnya, ketepatan lemparan taji saya tadi, hanya suatu kebetulan saja. Dan pula saya hanya seorang hamba biasa, yang tidak mempunyai gelar ataupun pangkat apa-apa.” Indra Sambada menjawab menjelaskan.

“Jika sekiranya tidak mau dipuji, baiklah, akan kita kenang nama saudara selamanya.” Tumenggung Cakrawirya melanjutkan bicara. “Kami berdua, sesungguhnya telah ber-bulan-bulan ditugaskan di Surabaya, untuk menangkap salah satu anggota bajak laut yang berkeliaran di bandar Surabaya. Mereka menurut hasil penyelidikan, bersarang di daerah Kerajaan Kota-waringin, dan orang Cina itu, adalah salah satu anggotanya yang kami pernah jumpai pada setengah tahun berselang di bandar Tuban” sambil menunjuk dengan jari telunjuknya kepada si orang Cina, yang telah diikat dan duduk dilantai.

“Maka dengan demikian, bantuan saudara bukan hanya menyelamatkan jiwa saya, tetapi besar artinya pula bagi Kerajaan. Hal ini akan kita haturkan langsung kehadapan Gusti Mangkubumi Sang Patih Gajah Mada di Majapahit, dan sebaiknya kita berangkat bersama-sama malam ini juga, dengan membawa tawanan Cina itu.”

Kata permintaan Cakrawirya tertuju kepada Indra Sambada itu, diucapkan dengan kesungguhan hati, bahkan dengan penuh pengharapan, bahwa permintaan pergi bersama menghadap Sang Mangkubumi Patih Gajah Mada, tentu akan disambutnya dengan girang. Percakapan terhenti sejenak, karena pemilik rumah makan dan pelajannya yang sedang sibuk menyiapkan air panas di pinggang dan kain pembalut luka, atas perintah Lurah Durpada, telah datang untuk mengantarkannya. Luka-luka Durpada dan luka-luka ibu jari Cakrawirya segera di obati dan dibalutnya.

“Maafkan, tuanku Tumenggung Cakrawirya,” tiba2 Indra Sambada memecah kesunyian, “Bantuan saya yang tidak berarti ini, saya tidak berani mengharapkan hadiah sesuatu. Lagi pula, jika seandainya saya tidak berkepentingan lain, permintaan tuan untuk bersama-sama menghadap Gusti Tuanku Mangkubumi Sang Patih Gajah Mada sangat menggembirakan. Dan kesempatan yang demikian ini, bagi saya merupakan hadiah yang besar sekali. Akan tetapi sungguh menyesal sekali, bahwa saya terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan tuan dalam waktu sekarang, karena saya masih harus menyelesaikan sesuatu. Jika diijinkan, perkenankanlah saya minta tempo selama sepekan lagi” Demikian Indra Sambada menjawab dengan kerendahan hatinya. Jawaban Indra Sambada itu didasarkan atas dua pertimbangan.

Pertama, ia harus menyerahkan surat dari ayahnya terlebih dahulu yang tertuju kepada Manggala Yudha Senopati Perang Majapahit, Gusti Harya Banendra yang bergelar "Alap-Alap Ing Ayudha" di istananya di Mejoagung. Sedangkan yang kedua, mematuhi pesan ayahnya dan guru pendetanya, supaya pada waktu menyerahkan surat itu, dapat menghadap seorang diri.

Maka ia perhitungkan sepekan lamanya, baru dapat memenuhi permintaan Cakrawirya untuk pergi ke Kota Raja. Sesungguhnya, waktu sepekan adalah amat luas bagi Indra Sambada, karena jarak antara Surabaja dengan Mejoagung dapat ditempuhnya daiam waktu satu hari berkuda. Sedangkan dari Mojoagung ke Kota Raja dapat ditempuhnya kurang dari setengah hari berkuda.

Setelah Cakrawirya mendengar jawaban Indra Sambada yang wajar, dari jawaban mana dapat ditarik kesimpulan, bahwa bantuan yang diberikan padanya tidak bermaksud mengharap sesuatu hadiah, dalam hatinya ia sangat memuji akan ketinggian budinya.

“Baiklah, jika demikian,” Cakrawirya menyahut “Tetapi, saya harus berangkat waktu tengah malam nanti, untuk menyelesaikan tugas kita ini. Sepekan lagi waktu tengah hari, saya akan menjemput kedatangan saudara didepan pintu gerbang pura Istana Kepatihan di Kota Raja. Hanya sayang terpaksa saya tidak dapat menemani saudara dalam menyelesaikan urusan saudara itu. Apabila saudara memerlukan sesuatu bantuan berupa apapun, saudara dapat langsung kegedung Kebanjaran Agung Surabaya.”

Dengan tidak menunggu jawaban dari Indra Sambada, Cakrawirya memalingkan kepalanya kepada Lurah Durpada, dan berkata dengan nada memerintah seorang bawahan

“Durpada! kau lekas pergi sekarang juga menuju kegedung Ke-banjaran Agung, dan sampaikan surat ini. Isinya ialah, minta bantuan pengawalan secukupnya untuk membawa tawanan ke Kota Raja malam ini juga. Dan yang kedua, supaya saudara Indra Sambada selama di Surabaya, diperlakukan sebagai tamu punggawa Narapaja.”

Berkata demikian ia sambil menyerahkan sepucuk surat yang baru saja ditulisnya, kepada Durpada yang berada disampingnya. Setelah ia menerima surat dan memberikan tanda hormat dengan membungkukkan badannya, maka cepat Lurah Durpada melangkah keluar dari rumah makan itu.

Tidak lama kemudian, delapan punggawa praja berkuda dan bersenjatakan pedang serta panah telah datang bersama Lurah Durpada. Setelah menyiapkan segala sesuatunya dan tawanan Cina yang telah diikat tangannya dinaikkan kekuda, untuk kemudian diikat erat lagi dengan pelana kuda tadi, maka segera berangkatlah rombongan beserta tawanan dengan dipimpin oleh Bupati Tamtama Nara Sandi Cakrawirya dan didampingi Lurah Tamtama Durpada.

Dikala itu, telah menjelang tengah malam. Oleh pemilik rumah makan, Indra Sambada dipersilahkan bermalam dirumahnya, dan disambutnya dengan ramah sekali. Hal ini dikarenakan setelah pemilik rumah makan mengetahui, bahwa bangsawan yang membikin ribut tadi, adalah seorang Bupati Tamtama. Lagi pula semua kerugian yang dideritanya telah dibayar, bahkan lebih dari jumlah kerugian yang semestinya, oleh Bupati Tamtama Cakrawirya tadi.

Setelah Indra Sambada berkemas dan masuk kekamar tidur, yang telah diatur sangat rapih, maka segera ia merebahkan badannya. Kini ia baru merasakan lelahnya. Tetapi meskipun badan merasa sangat lelah, tidak dapat ia segera tidur. Berulang-ulang ia mencoba memejamkan matanya, tapi kembali peristiwa yang baru saja terjadi, mengganggu ketenangan perasaannya. Waktu dini hari telah tiba, belum juga ia dapat memejamkan matanya.

Indra Sambada bangkit dan duduk bersemadi. Selesai bersemadi, kembali ia merebahkan badannya, dan segera dapat tidur dengan pulas. Waktu ia bangun dan membuka jendela, ia terperanjat karena waktu telah esok pagi-pagi. Sinar matahari memancar cerah menyilaukan pandangan matanya. Segera ia bangkit dan keluar menuju kekamar mandi.

Setelah berkemas dan bersemadi sembahyang sebentar, ia keluar untuk melihat kudanya yang kemarin malam telah di lupakan karena kesibukan yang dihadapi. Tetapi ternyata, kudanyapun telah mendapat perawatan yang baik oleh rumah makan itu.

Untuk menyingkat waktu, serta untuk menghindarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dikehendaki, maka sengaja ia tidak singgah digedung Kebanjaran Agung Surabaya. Ia langsung berkuda, menyusuri tebing kearah hulu sungai Brantas menuju ke Mojoagung, setelah mana ia minta diri pada pemilik rumah makan.

**** 001 ****





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment