Menganggap bahwa dirinya telah aman dari kejaran orang-orangnya Demang Jlagran, maka larinyapun dikurangi kecepatannya. Jarak antara dirinya dengan para pengejar semakin jauh tertinggal di belakang. Dengan sangat kasar, orang bertangan satu itu membanting Sujud di tanah di atas pematang ditengah-tengah tegalan. Serta duduk melangkah dipunggungnya Sujud yang belum sadarkan diri.
Ia melepaskan cambuk yang panjangnya kira-kira satu setengah depa dari pinggangnya, untuk mengikat erat kedua belah tangannya Sujud dengan ujung cambuk itu. Ia mengerjakan ikatan yang demikian erat itu hanya dengan sebelah-tangannya dibantu gigitan mulut. Akan tetapi demikian cepat dan cermat, tidak ubahnya seperti orang biasa mengerjakan dengan kedua belah tangan.
Setelah yakin bahwa ikatan itu cukup kuat, baru ia bangkit dari duduknya dengan memegang gagang cambuk erat-erat, sambil menengok kekanan-kiri, seakan-akan kuatir akan diketahui orang, ataupun kuatir akan datangnya pengejar. Ternyata kegelapan malam itu banyak membantunya, karena para pengejar kehilangan jejak buruannya.
Sebentar-sebentar terdengar guruh guntur menggelegar diangkasa dengan diselingi suaranya kilat yang menyambar susul menyusul. Hujan mulai turun dengan derasnya. Laksana air bah yang tumpah dari langit. Karena derasnya air hujan, Sujud tersentak sadar kembali dan dengan susah payah karena tangannya terbelenggu ia bangkit berdiri. Seluruh badannya basah kuyup. Juga orang yang bertangan satu. Melihat Sujud sadarkan diri, ia ketawa puas dan lari menuju ketepi desa sambil menyeret Sujud dengan menarik pada cambuknya.
Dalam keadaan terpaksa dan tidak berdaya sama sekali Sujud lari sempoyongan mengikuti. Rintihan karena merasakan sakit seluruh tubuhnya tidak tertahankan. Dalam kegelapan dan hujan yang tak kunjung berhenti, Sujud jatuh bangun sambil berlari terus.
Orang bertangan sebelah itu ternyata tidak mempunyai belas kasihan sedikitpun. Sujud diseretnya terus sambil berlari. Dengan nafas yang tersengal-sengal dan badan basah kuyup serta berlepotan tanah, Sujud akhirnya jatuh terperosok dibawah pohon yang berada dipinggir sebuah desa, dimana orang bertangan satu itu berdiri didepannya dengan masih memegang erat gagang cambuknya yang ditariknya lebih dekat lagi dan kemudian membiarkan Sujud tersungkur ditanah.
Hujan masih saja turun semakin deras. Kilat sebentar-sebentar kelihatan dan kedengaran menggelegar dengan cahayanya yang berkilauan, disusul dengan suara guntur yang gemuruh mengumandang diangkasa.
Orang bertangan satu kini mendekati Sujud dengan berjongkok, sambil mengusap mukanya yang basah kuyup oleh air hujan dengan siku tangannya yang hanya sebelah. Diperlakukan demikian, Sujud menunjukkan sifat yang keras kepala. Tak mau ia menangis merengek rengek. la percaya bahwa tangisnya tidak akan mengurangi siksaannya.
“Pak Buntung!!. Mengapa aku kau belenggu dan kau seret terus??” tanyanya dengan masih tengkurap ditanah.
Ia melepaskan cambuk yang panjangnya kira-kira satu setengah depa dari pinggangnya, untuk mengikat erat kedua belah tangannya Sujud dengan ujung cambuk itu. Ia mengerjakan ikatan yang demikian erat itu hanya dengan sebelah-tangannya dibantu gigitan mulut. Akan tetapi demikian cepat dan cermat, tidak ubahnya seperti orang biasa mengerjakan dengan kedua belah tangan.
Setelah yakin bahwa ikatan itu cukup kuat, baru ia bangkit dari duduknya dengan memegang gagang cambuk erat-erat, sambil menengok kekanan-kiri, seakan-akan kuatir akan diketahui orang, ataupun kuatir akan datangnya pengejar. Ternyata kegelapan malam itu banyak membantunya, karena para pengejar kehilangan jejak buruannya.
Sebentar-sebentar terdengar guruh guntur menggelegar diangkasa dengan diselingi suaranya kilat yang menyambar susul menyusul. Hujan mulai turun dengan derasnya. Laksana air bah yang tumpah dari langit. Karena derasnya air hujan, Sujud tersentak sadar kembali dan dengan susah payah karena tangannya terbelenggu ia bangkit berdiri. Seluruh badannya basah kuyup. Juga orang yang bertangan satu. Melihat Sujud sadarkan diri, ia ketawa puas dan lari menuju ketepi desa sambil menyeret Sujud dengan menarik pada cambuknya.
Dalam keadaan terpaksa dan tidak berdaya sama sekali Sujud lari sempoyongan mengikuti. Rintihan karena merasakan sakit seluruh tubuhnya tidak tertahankan. Dalam kegelapan dan hujan yang tak kunjung berhenti, Sujud jatuh bangun sambil berlari terus.
Orang bertangan sebelah itu ternyata tidak mempunyai belas kasihan sedikitpun. Sujud diseretnya terus sambil berlari. Dengan nafas yang tersengal-sengal dan badan basah kuyup serta berlepotan tanah, Sujud akhirnya jatuh terperosok dibawah pohon yang berada dipinggir sebuah desa, dimana orang bertangan satu itu berdiri didepannya dengan masih memegang erat gagang cambuknya yang ditariknya lebih dekat lagi dan kemudian membiarkan Sujud tersungkur ditanah.
Hujan masih saja turun semakin deras. Kilat sebentar-sebentar kelihatan dan kedengaran menggelegar dengan cahayanya yang berkilauan, disusul dengan suara guntur yang gemuruh mengumandang diangkasa.
Orang bertangan satu kini mendekati Sujud dengan berjongkok, sambil mengusap mukanya yang basah kuyup oleh air hujan dengan siku tangannya yang hanya sebelah. Diperlakukan demikian, Sujud menunjukkan sifat yang keras kepala. Tak mau ia menangis merengek rengek. la percaya bahwa tangisnya tidak akan mengurangi siksaannya.
“Pak Buntung!!. Mengapa aku kau belenggu dan kau seret terus??” tanyanya dengan masih tengkurap ditanah.
“Kurang ajar!!”, desisnya: “Berani kau memanggilku dengan Pak Buntung!! Hahaha....... Dasar anak bandel!! Sekali lagi kau memanggil demikian, aku sobek mulutmu yang lancang itu!!” Orang bertangan satu menjawab dengan kasar dan ketawa mengejek.
“Habis, aku harus panggil apa?”, Sujud membantah, dengan tidak menghiraukan sakit akan pukulan.
“Panggillah aku dengan Tuan Saputra. Yaaahhh... Gusti Durga Saputra tahu!!l!?”, jawab orang bertangan satu dengan kasarnya. “Bukankah kau anak Bupati Wirahadinata yang bernama Sujud? Yang sekarang menjadi adik angkat Senopati Indra?”, ia melanjutkan bertanya.
“Memang aku Sujud adik angkat kakang Senopati Indra, tetapi mengapa kau membelenggu aku?”, Sujud menjawab sambil bertanya.
“Cukup!!! Diam!!!!” Jawabnya singkat. “Tahukah bahwa yang membuat lenganku sebelah kutung adaIah kakakmu bersama Bapakmu dengan gerombolannya?. Nahhh….. jika kau sudah tahu, sekarang aku akan membalas dendam pada Bapakmu terlebih dahulu. Dengan kau ditanganku, tentu semua perintahku akan diturut. Mengerti!!!!”. Durga Saputra menjelaskan dengan diiringi ketawa mengejek, karena merasa bahwa ia tentu akan berhasil membalas dendam pada Wirahadinata dan Indra Sambada.
“Haaa,.... haaaa, dan setelah Bapakmu dan kakakmu kucincang, baru nanti jatuh giliranmu sendiri. Atau, kau tak usah aku bunuh tetapi kukutungi kedua belah lenganmu, saja!!” Sungguh kata-kata itu cukup untuk membuat bulu tengkuk Sujud berdiri, tetapi ia tidak mau memperlihatkan takutnya.
Dengan beraninya ia berkata lantang: “Kau akan membunuh kakang Indra? Orang seperti kau yang berlengan satu tidak mungkin dapat mengalahkan kakang Indra. Kau sendiri yang akan mati dengan kepala hancur berantakan, terkena pukulannya, sebelum kau dapat menyentuh bajunya!!!”
“Apa???? Plak plak!!!!” Tamparan tangan Durga Saputra bersarang di pipi Sujud dua kali. Dan dirasakan cukup pedih. “Tutup mulutmu!!!!” bentaknya kasar “Sebentar setelah hujan berhenti kau akan kuseret lagi, sampai setengah mampus!!!!! Tahu???”
Orang bertangan satu itu memang benar bernama Saputra adanya. Nama lengkapnya Durga Saputra. Ia adik kandung Durgawangsa yang pernah menjadi Patih gadungan bergelar Lingganata di Kabupaten Indramayu dan telah mati terpenggal kepalanya oleh Tumenggung tamtama Cakrawirya dalam pertempuran di Kabanyaran Agung Indramayu. Dimana ia sendiri mendapat cidera patah hancur tulang tangan kanannya, karena dahsyatnya remasan cengkeraman Indra Sambada: Akhirnya terpaksa dikutungi sewaktu ia dirawat dalam penjara Kota Raja sebagai nara pidana.
Wajahnya dahulu tampan. Setelah lengannya kutung sebelah, cambang bawuknya dibiarkan tumbuh lebat tak terawat. Mukanya berubah menjadi bengis dan kasar mengandung rasa dendam. Ia tahu bahwa yang memimpin pasukan tamtama Kerajaan waktu itu adalah Indra Sambada yang sekarang menjabat Senapati Muda di Kota Raja. Dan ia tahu pula bahwa gerakan pembersihan itu dilakukan atas petunjuk dari Bupati Wirahadinata yang sekarang telah diangkat kembali menjadi Bupati di Indramayu. (Baca: Seri “Pendeka• Majapahit").
Akan tetapi untuk membalas dendam kesumat yang terpendam dalam hatinya secara langsung menghadapi Indra Sambada dan Wirahadinata tidak akan mampu dan merasa takut. Maka demi melihat Sujud dalam perjalanan di desa Sumberrejo adalah suatu kesempatan baginya yang baik untuk melaksanakan maksudnya, dengan menggunakan Sujud sebagai perisai.
Ia belum lama berselang telah dibebaskan dari penjara di Kota Raja, dengan mendapat ampunan setelah lengan kanannya dikutungi. Karena pandainya merengek-rengek mohon ampun dengan janji-janji yang muluk, bahwa ia tidak akan melakukan kejahatan lagi. Maka ia segera dibebaskan dari hukuman.
Tetapi kiranya sifat sebagai penjahat telah melekat pada kulit dagingnya. Semua janjinya hanya diucapkan demi untuk mencari jalan selamat, agar kembali dapat melakukan kejahatan.
“Habis, aku harus panggil apa?”, Sujud membantah, dengan tidak menghiraukan sakit akan pukulan.
“Panggillah aku dengan Tuan Saputra. Yaaahhh... Gusti Durga Saputra tahu!!l!?”, jawab orang bertangan satu dengan kasarnya. “Bukankah kau anak Bupati Wirahadinata yang bernama Sujud? Yang sekarang menjadi adik angkat Senopati Indra?”, ia melanjutkan bertanya.
“Memang aku Sujud adik angkat kakang Senopati Indra, tetapi mengapa kau membelenggu aku?”, Sujud menjawab sambil bertanya.
“Cukup!!! Diam!!!!” Jawabnya singkat. “Tahukah bahwa yang membuat lenganku sebelah kutung adaIah kakakmu bersama Bapakmu dengan gerombolannya?. Nahhh….. jika kau sudah tahu, sekarang aku akan membalas dendam pada Bapakmu terlebih dahulu. Dengan kau ditanganku, tentu semua perintahku akan diturut. Mengerti!!!!”. Durga Saputra menjelaskan dengan diiringi ketawa mengejek, karena merasa bahwa ia tentu akan berhasil membalas dendam pada Wirahadinata dan Indra Sambada.
“Haaa,.... haaaa, dan setelah Bapakmu dan kakakmu kucincang, baru nanti jatuh giliranmu sendiri. Atau, kau tak usah aku bunuh tetapi kukutungi kedua belah lenganmu, saja!!” Sungguh kata-kata itu cukup untuk membuat bulu tengkuk Sujud berdiri, tetapi ia tidak mau memperlihatkan takutnya.
Dengan beraninya ia berkata lantang: “Kau akan membunuh kakang Indra? Orang seperti kau yang berlengan satu tidak mungkin dapat mengalahkan kakang Indra. Kau sendiri yang akan mati dengan kepala hancur berantakan, terkena pukulannya, sebelum kau dapat menyentuh bajunya!!!”
“Apa???? Plak plak!!!!” Tamparan tangan Durga Saputra bersarang di pipi Sujud dua kali. Dan dirasakan cukup pedih. “Tutup mulutmu!!!!” bentaknya kasar “Sebentar setelah hujan berhenti kau akan kuseret lagi, sampai setengah mampus!!!!! Tahu???”
Orang bertangan satu itu memang benar bernama Saputra adanya. Nama lengkapnya Durga Saputra. Ia adik kandung Durgawangsa yang pernah menjadi Patih gadungan bergelar Lingganata di Kabupaten Indramayu dan telah mati terpenggal kepalanya oleh Tumenggung tamtama Cakrawirya dalam pertempuran di Kabanyaran Agung Indramayu. Dimana ia sendiri mendapat cidera patah hancur tulang tangan kanannya, karena dahsyatnya remasan cengkeraman Indra Sambada: Akhirnya terpaksa dikutungi sewaktu ia dirawat dalam penjara Kota Raja sebagai nara pidana.
Wajahnya dahulu tampan. Setelah lengannya kutung sebelah, cambang bawuknya dibiarkan tumbuh lebat tak terawat. Mukanya berubah menjadi bengis dan kasar mengandung rasa dendam. Ia tahu bahwa yang memimpin pasukan tamtama Kerajaan waktu itu adalah Indra Sambada yang sekarang menjabat Senapati Muda di Kota Raja. Dan ia tahu pula bahwa gerakan pembersihan itu dilakukan atas petunjuk dari Bupati Wirahadinata yang sekarang telah diangkat kembali menjadi Bupati di Indramayu. (Baca: Seri “Pendeka• Majapahit").
Akan tetapi untuk membalas dendam kesumat yang terpendam dalam hatinya secara langsung menghadapi Indra Sambada dan Wirahadinata tidak akan mampu dan merasa takut. Maka demi melihat Sujud dalam perjalanan di desa Sumberrejo adalah suatu kesempatan baginya yang baik untuk melaksanakan maksudnya, dengan menggunakan Sujud sebagai perisai.
Ia belum lama berselang telah dibebaskan dari penjara di Kota Raja, dengan mendapat ampunan setelah lengan kanannya dikutungi. Karena pandainya merengek-rengek mohon ampun dengan janji-janji yang muluk, bahwa ia tidak akan melakukan kejahatan lagi. Maka ia segera dibebaskan dari hukuman.
Tetapi kiranya sifat sebagai penjahat telah melekat pada kulit dagingnya. Semua janjinya hanya diucapkan demi untuk mencari jalan selamat, agar kembali dapat melakukan kejahatan.
Mendengar ancaman dari Durga Saputra, Sujud sepatah katapun tidak mau menjawab. Rasa takutnya lenyap sama sekali, karena tertutup rasa benci yang meluap-luap. Giginya terkatub rapat menahan kemarahan. Ingin ia rasanya dapat melawan, akan tetapi dengan tangannya yang terbelenggu ia tak dapat berdaya sama sekali.
Awan gelap yang tebal kian menipis. Bintang mulai menampakkan sinar cahayanya yang masih pudar. Gemuruhnya suara guntur di angkasa masih juga terdengar walaupun jarang. Dan derasnya hujanpun kini telah mereda.
Dengan gagang cambuknya yang masih selalu digenggam, Durga Saputra bangkit berdiri, memandang ke langit yang semakin terang.
“Ayoo!!! Lekas lari!!!” bentaknya kasar sambil menarik cambuknya. “Ikuti aku! Sebelum fajar kita harus sudah sampai diseberang kali Bengawan!”
Karena sendalan tali belenggu, Sujud bangkit berdiri dan lari sempoyongan lagi mengikuti langkah Durga Saputra. MeIewati tanah tegalan yang becek, menuju ke tanggul tebing kali Bengawan yang tidak seberapa jauh dari tempat itu. Malang baginya, kakinya tersandung pematang tegalan hingga jatuh terguling ditanah yang becek. Durga Saputra terpaksa berhenti sejenak, menunggu sampai Sujud bangkit kembali.
“Ayo lari! Jika malas berlari, akan kuseret badanmu!” Gumannya sambil berlari serta menarik cambuk tali belenggu Sujud.
Terpaksa Sujud mengikuti lari pontang-panting. Langit mulai cerah. Bintang-bintang kembali memancarkan cahaya yang berkeredepan, membuat alam menjadi terang samar-samar. Hujan telah berhenti sama sekali. Setelah mereka sampai diatas tanggul tebing kali Bengawan Durga Saputra menghentikan larinya. Mereka mulai berjalan biasa menyusuri tanggul kehulu.
Kiranya hujan lebat yang baru saja berlalu, membuat kali Bengawan banjir. Airnya meluap hampir setinggi tanggul dan mengalir dengan derasnya. Suara derasnya arus, terdengar gemuruh tak kunjung padam.
Kini Durga Saputra berjalan pelan diikuti Sujud yang masih terbelenggu, seakan-akan ada yang sedang dicari. Akan tetapi ternyata yang dicarinya tidak kelihatan……. Ialah perahu sampan ataupun perahu rakit!!!
Perahu-perahu sampan yang tertamhat ditepian, kiranya banyak yang hanyut terbawa derasnya air. Sedangkan diantaranya banyak pula yang telah dibawa pemiliknya keatas daratan dihalaman masing-masing. Belum juga mereka menemukan perahu untuk menyeberang, dua orang berkelebat datang didepan Durga Saputra.
“Ini orangnya!” seru seorang diantaranya, sambil mengacungkan golok panjang yang mengkilat tajam, diikuti seorang temannya yang bersenjata klewang.
Durga Saputra terkejut sesaat, demi melihat dua orang yang menghadang dirinya. “Hai Mandra dan Dasim! Apa yang kalian kehendaki?” Durga Saputra menegur dengan nada lunak, menutupi rasa gelisahnya.
“Jangan berlagak tolol! Serahkan kelinci gemuk itu padaku! Kau boleh berlalu dari sini! Bentak Dasim yang bersenjatakan klewang.
Dua orang itu adalah bekas anak buahnya. Mereka merasa selalu tertipu dalam hal bagi hasil, sewaktu masih mengerjakan perampokan dan pemerasan. Mereka juga mengalami nasib yang sama sabagai nara pidana di Kota Raja. Waktu dibebaskanpun bersamaan pula.
Tetapi karena sifat-silat kepalsuan Durga Saputra yang selalu tidak adil dalam membagi hasil kejahatan mereka bersama, menimbulkan rasa dendam yang telah lama dikandungnya. Sejak sebelum turun hujan kedua orang itu telah mengejar Durga Saputra, dengan maksud akan merampas Sujud tawanannya.
Sebagai bekas anak buah, mereka berdua tahu bahwa Sujud dapat dipergunakan untuk meminta uang tebusan yang tidak sedikit jumlahnya pada Wirahadinata ataupun pada Indra Sambada. Dengan tak mau lagi tertipu untuk kesekian kalinya, mereka berdua berhasrat besar untuk merampas Sujud dan mengerjakan niat jahatnya tanpa Durga Saputra.
“Jika yang kalian maksud uang tebusan tawananku ini, haraplah kau berdua sabar sementara. Nanti setelah aku dapat membalas dendam pada orang tuanya, kakaknya, dan terserahlah kepadamu!!!”
“Ach….. kita berdua sudah kenyang tipu muslihatmu yang licik dari mulutmu yang manis itu. Serahkan anak itu, dan habis perkara!!!” Jawab Mandra dengan tegas. “Daripada Saputra mengkhianati kita lagi, lebih baik kita selesaikan disini!!!” Mandra melanjutkan bicaranya tertuju pada Dasim temannya.
Berkata demikian Mandra langsung menyerang membabat leher Saputra dengan golok panjangnya. Menyambut serangan yang tiba tiba dari lawannya Itu. Durga Saputra terpaksa melepaskan pegangan gagang cambuk yang ujungnya masih tetap membelenggu tangan Sujud. Dengan tangkas ia meloncat selangkah kesamping kanan dan mencabut golok pendek yang terselip dipinggang kanannya.
Dengan bersenjatakan golok pendek itu ia menyerang kembali lawannya dengan serangan tusukan kilat kearah dada lawan. Akan tetapi cepat ditariknya kembali karena tangkisan senjata lawan dan dirobahnya menjadi tendangan berangkai pada lambung Mandra. Itulah yang dinamakan jurus pancingan atau serangan tipu tusukan. Kiranya jurus pancingannya berhasil baik. Lambung Mandra menjadi terbuka, karena tangkisan pada senjata yang menuju dadanya.
Tumit kaki kanan Saputra dengan kerasnya tepat mengenai lambung Mandra. Mandra jatuh di tanah sambil bergulingan menghindari serangan rangkaian lawan. Tetapi Dasim demi melihat temannya berguling ditanah, segera menerjang maju dengan klewangnya menusuk kearah punggung dan kemudian berubah menjadi gerakan babatan kearah kaki lawan yang sedang meloncat surut kebelakang menghindari tusukkannya, dalam gerakan bentuk jurus sabetan mengunci langkah.
Rangkaian serangan itu merupakan satu rentetan gerakan yang cepat sekali, akan tetapi kiranya Saputra telah mengetahui akan serangan susulan yang dlilancarkan itu. Dengan lincahnya ia meloncat tinggi sambil menggerakkan golok pendeknya untuk menyerang lawan dengan jurus tusukan berperisai kearah muka lawan. Dasim terpaksa meloncat surut kebelakang satu langkah. Sambil berseru terkejut, menghindari serangan yang berbahaya itu.
Dalam saat yang sama, Sujud dengan masih terbelenggu tangannya, demi mengetahui bahwa pertempuran tiga orang itu memperebutkan dirinya dengan maksud kejahatan mereka masing-masing, melesat lari dan meloncat terjun mencebur dikali Bengawan yang sedang banjir dengan arusnya yang sangat deras.
“byuuuurrr!!!!”
Ketiga orang yang sedang bertempur sengit, masing-masing meloncat surut kebelakang, karena mendengar terceburnya Sujud dikali Bengawan. Dengan serentak mereka bertiga menahan senjatanya masing-masing, serta melayangkan pandangan kearah air kali Bengawan yang sedang deras mengalir. Namun dalam kegelapan malam samar-samar, yang mereka lihat tidak lebih daripada air kotor bercampur tanah mengalir dengan derasnya. Dan suara gemuruh arus terdengar terus tak ada henti-hentinya.
Dengan kemarahan yang meluap-Iuap serta penuh penyesalan Durga Saputra berseru keras sambil menunjuk dengan golok pendeknya ke arah Mandra dan Dasim.
“Sialan! Kedatangan kalian berdualah yang membuat hilangnya mangsaku yang sangat berharga. Dan kini kalian berdualah yang harus bertanggung jawab”, berkata Saputra menerjang maju kearah Mandra dan Dasim dengan senjata golok pendeknya menusuk kearah perut lawan.
Dasim meloncat selangkah kesamping kanan dan bertepatan dengan meloncatnya Dasim, Mandra datang menangkis dengan sabetan golok panjangnya. Dua senjata beradu dengan kerasnya, hingga mengeluarkan percikan api, yang jelas nampak dikegelapan malam.
Kedua-duanya segera meloncat surut ke belakang satu langkah, dengan merasakan pedih ditelapak tangan masing-masing demi mempertahankan senjata, untuk jangan sampai terlepas dari genggamannya.
“Karena keras kepalamu tak mau menyerahkan pada kami berdua, maka anak itu menjadi nekad dan bunuh diri!!” Seru Dasim sewaktu meloncat menghindari serangan Durga Saputra.
Pertempuran tiga orang itu masih terus berlangsung dengan seru. Durga Saputra yang hanya bertangan satu ternyata dapat melayani dua orang lawannya yang bersenyata, dengan seimbang dan tidak terdesak, Ditangan kiri yang hanya sebelah itu, golok pendeknya menyambar-nyambar merupakan serangan tusukan yang bertubi tubi, untuk kemudian berobah dengan cepatnya menjadi serangan tebangan, yang diselingi tendangan berangkai yang tidak kalah berbahayanya.
Sinar tajamnya klewang dan golok panjang lawan berkelebatan, merupakan sinar putih yang bergulung gulung menyelubungi ketiga tubuh manusia yang sedang bertempur dengan sengitnya. Seluruh kepandaian dalam tata kelahi ditumpahkan. Masing masing ingin cepat menghabisi riwayat lawannya. Kiranya mereka telah jauh tersesat, dan lupa bahwa hidup dan matinya semua ummat telah ada yang mengaturnya sendiri.
Beum juga mereka dapat saling merobohkan, seorang berkelebat mendatang laksana bayangan dikegelapan malam yang samar-samar dan sesaat kemudian diikuti oleh empat orang yang berlari lari dibelakangnya.
“Ini dia si buntung!!!”, teriaknya langsung terjun dengan keris terhunus dalam pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya itu.
Orang yang baru datang dan langsung melibatkan diri dalam pertempuran adalah Demang Jlagran beserta anak buahnya. Tanpa kata sepakat Mandra dan Dasim demi melihat datangnya serangan yang tiba-tiba dari seorang yang tak dikenal kearah Saputra, segera berseru terkejut sambil menarik kembali gerak serangan tusukan dan babatan mereka yang hampir tepat pada sasarannya, untuk serentak menangkis dengan senjata mereka masing masing, memapaki datangnya tusukan keris yang meluncur seperti kilat.
Sedang Saputra sendiri pada saat yang sama, mengelak dengan gerakan jurus surut bersimpuk menghadang langkah ialah meloncat surut kebelakang dengan jatuh berduduk serong kanan, kaki bersilang, sambil mengulurkan tangan kirinya yang memegang golok pendek dalam gaya menusuk lawan, sedangkan kepalanya menundukkan sangat rendah serempak rata dengan punggungnya.
Empat senjata serempak bertemu ujungnya, dengan mengeluarkan percikan api yang memijar. Bersamaan dengan beradunya empat ujung senjata yang berlainan bentuknya itu, Mandra berseru nyaring.
“Tahan semua senjata!!” Berseru demikian sambil melompat surut kebelakang satu langkah yang segera diikuti pula oleh ketiga orang lainnya.
Sementara itu, empat orang anak buah Demang Jlagran telah berdiri serempak dengan masing-masing senjata ditangan, dibelakang pemimpinnya.
“Siapa kau!!! Berani mencampuri urusan orang lain!!!” Mandra bertanya dengan nada bentakan.
“Aku bukan berurusan dengan kau!!”. Jawab Demang Jlagran sambil menunjuk dengan kerisnya kearah Durga Saputra. “Maka kuharap kalian berdua jangan mengganggu urusanku!!!”
“Tetapi caramu bertindak tidak tahu adat. Dan sepantasnya orang seperti kau itu diberi hajaran supaya mengenal adat!!!. Dasim turut bicara dan tanpa menunggu jawaban ia telah mulai menyerang dengan tusukan klewangnya kearah dada Demang Jlagran.
Sebagai seorang yang cepat naik darah, Demang Jlagran mendengar kata kata yang diucapkan Dasim dirasakan sebagai penghinaan, maka pada saat yang sama Demang Jlagran telah menerjang dengan kerisnya.
Keduanya berseru terkejut, dan menarik serangan masing-masing kembali, untuk kemudian meloncat kesamping serong kanan. Empat orang anak buah Demang Jlagran segera turut serentak menerjang maju menyerang dengan senjata mereka kearah Dasim dan Mandra.
Melihat terjadinya pertempuran antara Mandra, Dasim dengan Demang Jlagran berserta anak buahnya, Durga Saputra merasa untung terhindar dari maut. Dalam hatinya ia merasa geli juga akan kebodohan lawan-lawannya.
“Mandra, Dasim!!!” serunya : “Jika kau berdua tidak dapat merobohkan gerombolan orang desa itu, bagaimana kau berdua akan dapat menyelesaikan urusan denganku!!!”.
Durga Saputra sengaja membakar kemarahan Mandra dan Dasim, agar mereka lebih bersemangat dengan mengurangi jumlah lawan. Dengan demikian ia mengambil dua segi keuntungan. Pertama, ia hanya tinggal menghadapi lawan sepihak yang akan menang dalam pertarungan itu. Kedua, lawan ylang tinggal sepihak yang akan dihadapinya tentu telah berkurang tenaganya.
Satu-satunya kemungkinan yang ia sangat kuatirkan, ialah kalau mereka berobah pendirian menjadi bersatu dan menempurnya bersama. Maka untuk menutup kemungkinan, ia sengaja membakar semangat kedua belah fihak yang sedang bertempur dengan serunya, dengan pengharapan agar pertempuran berkobar terus.
Akan tetapi pengharapan itu segera lenyap dari angan angannya, karera Dasim kiranya cepat menginsyafi kekeliruannya, sehingga ia dengan tiba-tiba melompat surut kebelakang dua tindak sambil berseru pada Mandra:
“Mandra!!! Tahan senjata!!!. Kita berebut tulang tanpa isi!!!”
Kiranya seruan itu membuat Demang Jlagran sadar pula akan kekeliruannya dalam tindakan yang telah dilakukan. Cepat ia mengikuti gerakan Dasim dengan melompat surut dua langkah kebelakang sambil berseru.
“Betul!!! Tangkap dahulu si Buntung rame rame!!!. Baru kita selesaikan urusan kita!!!”
Durga Saputra demi mendengar seruan kedua orang tadi, kepalanya dirasakan seperti disambar petir. Ia melesat dan lari kearah barat mengikuti membujurnya tanggul tebing kali Bengawan dengan pesatnya, dan kemudian membelok kearah selatan memasuki hutan Padangan yang lebat.
Mandra, Dasim dan Demang Jlagran dengan empat orang anak buahnya serentak lari mengejar. Ternyata dalam lomba lari Durga Saputra memang setingkat lebih tinggi dari pada mereka. Jarak antaranya kian lama semakin jauh. Untuk kemudian lenyap sama sekali dari pandangan para pengejar, tertelan oleh kegelapan malam.
Semua orang kiranya tidak lagi memperdulikan nasib Sujud yang diperkirakan telah mati hanyut terbawa arus air yang dahsyat mengalir dari kali Bengawan. Setelah diperhitungkan bahwa ia sebagai tawanan Durga Saputra ataupun tawanan Mandra dan Dasim, bagi Sujud merupakan nasib yang sama bentuknya. maka ia mengambil jalan nekat sekali terjun kali Bengawan yang sedang banjir. Hampir sepuluh tahun lamanya, ia tinggal di desa Ngawi yang letaknya dipinggir kali Bengawan bersama orang tua angkatnya Kyai Tunggul.
Sejak kecil ia gemar main di Bengawan, Baginya berenang dikali Bengawan sama halnya seperti lari didaratan. Ia tak perlu kuatir dengan kedua belah tangannya terbelenggu, karena berenang tanpa menggunakan tangannyapun ia telah mahir. Hanya arus air yang mengalir dengan derasnya itu yang agaknya membuat sedikit menyulitkan untuk menyeberangi memotong langsung. Ia terpaksa harus mengikuti arus terlebih dahulu beberapa saat untuk menyeberang dengan perlahan berenang dengan menggerakkan kedua belah kakinya menepi.
Dengan demikian akhirnya sampai pula ia diseberang kali Bengawan. Dengan susah payah ia merangkak naik ketanggul karena Iengannya masih terbelenggu, sambil melihat-lihat kekiri-kanan, takut jika masih ada yang mengejarnya. Setelah mengaso sebentar diatas tanggul, terasalah badannya menggigil kedinginan basah kuyup. Namun ia masih bersyukur kepada Dewata Yang Maha Agung, bahwa dirinya nyaris dalam bahaya dan kantong kulitnya masih tetap tergantung dipinggangnya. Dengan terhuyung ia berjalan melintasi sawah yang tak luas itu menuju kedesa Dawung yang berada didepannya.
Dengan sedikit membohong pada peronda desa, bahwa rumah orang tuanya dirampok dan ia sendiri dibelenggu karena melawan dan kemudian diceburkan ke kali Bengawan. Setelah belenggu tangannya dilepaskan oleh peronda desa serta diberi sekedar makanan untuk menghilangkan lapar, untuknya dibuatkan pula perapian untuk memanaskan badan, yang dirasakan sangat dingin.
Setelah mengucapkan terima kasih, dan minta diri atas pertolongan yang telah diberikan para peronda, pada esok harinya Sujud melanjutkan perjalanannya mengembara, melalui jalan desa dan sawah menuju ke utara. Ia kini membatalkan niatnya pergi ke desa Trinil, karena takut berjumpa kembali dengan Durga Saputra dan pengejar lainnya.
Pakaiannya yang indah kini berubah menjadi kumal dan berwarna coklat penuh lumpur. Hanya perhiasan dan bekal uangnya yang masih tetap utuh didalam kantong kulitnya. Setelah sampai dipasar desa Kasiman, Sujud singgah sehentar untuk mengisi perut, serta membeli makanan sekedar bekal dalam perjalanan. Kuatir jika malam nanti sulit mendapatkan warung.
Ia tidak lupa membeli pisau pendek pula, karena mungkin nanti di perjalanan ada gunanya, pikirnya. Dari desa Kasiman ia lurus menuju ke barat. Kini tujuannya Indramayu, dimana orang tua angkatnya menjabat Bupati didaerah itu. Ia masih ingat, bahwa Ietak Kebanjaran Agung Indramayu ada di sebelah barat.
Pada malam harinya ia sampai di desa Jepan, sebuah desa kecil dipinggir kali Lusi. Kali itu walaupun agak curam tebingnya, akan tetapi ternyata hanya kali kecil saja. Airnya jernih seputih cermin karena dekat dengan mata air.
Hatinya bimbang. Setelah pada pagi harinya ternyata merupakan desa yang terujung sendiri. Sebelah baratnya merupakan hutan belukar yang tidak dapat diketahui batasnya. Demikian pula setelah ia mencoba menyeberangi kali Lusi. Untuk mengambil jalan memutar ke arah selatan, ia takut berjumpa dengan Saputra ataupun Mandra. Dasim serta yang mengejarnya.
Sifat keras kepala dan keberanian yang dimiliki, membawa ia melangkah memasuki hutan belukar yang lebat, setelah menyeberangi kali Lusi hutan itu oleh orang desa sekitarnya dinamakan hutan Blora. Terkenal sebagai hutan keramat dan angker. Tiap hari pasaran orang-orang meletakkan sesaji berupa makanan dan buah-buahan dipinggir hutan yang dianggapnya keramat, diatas tebing kali Lusi yang airnya mengalir melintasi hutan.
Kenyataan menunjukkan bahwa sesaji yang beraneka macam itu, setelah sore harinya diletakkan dipinggir hutan, pada pagi harinya habis tidak berbekas, dan hanya ancak-ancaknya saja yang ditinggalkan. Dan umumnya mereka percaya bahwa sesajinya telah diterima dengan baik oleh siluman-siluman penghuni hutan. Dengan demikian mereka percaya, bahwa tanam-tanamannya akan menjadi subur, serta tidak akan diganggu hama ataupun mengalami kerusakan akibat kemurkaan para siluman penghuni hutan.
Pancaran tariknya matahari pada pagi yang cerah itu tertahan oleh lebatnya dan rindangnya pohon-pohon liar dan kesejukan hawanya membuat Sujud tidak demikian lelah berjalan. Ia berjalan terus seorang diri sambil memperhatikan burung-burung yang bernyanyi dengan nada yang indah dalam rindangnya pohon-pohon liar yang dilaluinya.
Tanpa dirasa ia telah menjelajah masuk jauh dihutan Blora yang tidak diketahui ujungnya. Namun semakin jauh ia memasuki hutan, semakin banyak pohon buah-buahan yang dijumpai, seperti durian, jambu, pisang hutan atau dinamakan pisang gendruwo dan lainlain yang sedang lebat berbuah.
Suara ayam hutan terdengar sahut-sahutan dari kanan kirinya. Dan sering pula ia dikejutkan suara desisnya ular berada di pohon-pohon. Telah lebih dari setengah hari ia berjalan, tetapi belum juga nampak batasnya, bahkan kini ia tidak mengetahui lagi arah keempat penjuru mata angin.
Kemana ia berjalan, masih saja ia merasa tetap berjalan ditengah hutan yang lebat itu. Ia memetik buah jambu serta dimakannya, sekedar untuk menghilangkan rasa haus, sambil duduk dibawah pohon jambu untuk mengaso, melepaskan lelah. Diingat-ingatnya kembali jalan yang baru saja dilaluinya, tetapi juga tidak dapat menemukannya.
Bekal makanan yang berada dikantong kulitnya dikeluarkan dan kini ia mulai makan. Tetapi karena kegelisahan yang menyelimuti dirinya, maka nafsu makanpun tidak demikian ada.
Gelisah, karena tidak tahu jalan mana yang harus ditempuhnya, agar ia segera dapat keluar dari hutan itu sebelum petang hari. Hembusan angin siang perlahan-lahan, membuat ia merasa mengantuk. Ia berbaring terlentang dibawah pohon, dengan menikmati silirnya angin yang berhembus meniup perlahan. Sambil mendengarkan suara burung yang hinggap dipohon rindang disekitarnya.
Awan gelap yang tebal kian menipis. Bintang mulai menampakkan sinar cahayanya yang masih pudar. Gemuruhnya suara guntur di angkasa masih juga terdengar walaupun jarang. Dan derasnya hujanpun kini telah mereda.
Dengan gagang cambuknya yang masih selalu digenggam, Durga Saputra bangkit berdiri, memandang ke langit yang semakin terang.
“Ayoo!!! Lekas lari!!!” bentaknya kasar sambil menarik cambuknya. “Ikuti aku! Sebelum fajar kita harus sudah sampai diseberang kali Bengawan!”
Karena sendalan tali belenggu, Sujud bangkit berdiri dan lari sempoyongan lagi mengikuti langkah Durga Saputra. MeIewati tanah tegalan yang becek, menuju ke tanggul tebing kali Bengawan yang tidak seberapa jauh dari tempat itu. Malang baginya, kakinya tersandung pematang tegalan hingga jatuh terguling ditanah yang becek. Durga Saputra terpaksa berhenti sejenak, menunggu sampai Sujud bangkit kembali.
“Ayo lari! Jika malas berlari, akan kuseret badanmu!” Gumannya sambil berlari serta menarik cambuk tali belenggu Sujud.
Terpaksa Sujud mengikuti lari pontang-panting. Langit mulai cerah. Bintang-bintang kembali memancarkan cahaya yang berkeredepan, membuat alam menjadi terang samar-samar. Hujan telah berhenti sama sekali. Setelah mereka sampai diatas tanggul tebing kali Bengawan Durga Saputra menghentikan larinya. Mereka mulai berjalan biasa menyusuri tanggul kehulu.
Kiranya hujan lebat yang baru saja berlalu, membuat kali Bengawan banjir. Airnya meluap hampir setinggi tanggul dan mengalir dengan derasnya. Suara derasnya arus, terdengar gemuruh tak kunjung padam.
Kini Durga Saputra berjalan pelan diikuti Sujud yang masih terbelenggu, seakan-akan ada yang sedang dicari. Akan tetapi ternyata yang dicarinya tidak kelihatan……. Ialah perahu sampan ataupun perahu rakit!!!
Perahu-perahu sampan yang tertamhat ditepian, kiranya banyak yang hanyut terbawa derasnya air. Sedangkan diantaranya banyak pula yang telah dibawa pemiliknya keatas daratan dihalaman masing-masing. Belum juga mereka menemukan perahu untuk menyeberang, dua orang berkelebat datang didepan Durga Saputra.
“Ini orangnya!” seru seorang diantaranya, sambil mengacungkan golok panjang yang mengkilat tajam, diikuti seorang temannya yang bersenjata klewang.
Durga Saputra terkejut sesaat, demi melihat dua orang yang menghadang dirinya. “Hai Mandra dan Dasim! Apa yang kalian kehendaki?” Durga Saputra menegur dengan nada lunak, menutupi rasa gelisahnya.
“Jangan berlagak tolol! Serahkan kelinci gemuk itu padaku! Kau boleh berlalu dari sini! Bentak Dasim yang bersenjatakan klewang.
Dua orang itu adalah bekas anak buahnya. Mereka merasa selalu tertipu dalam hal bagi hasil, sewaktu masih mengerjakan perampokan dan pemerasan. Mereka juga mengalami nasib yang sama sabagai nara pidana di Kota Raja. Waktu dibebaskanpun bersamaan pula.
Tetapi karena sifat-silat kepalsuan Durga Saputra yang selalu tidak adil dalam membagi hasil kejahatan mereka bersama, menimbulkan rasa dendam yang telah lama dikandungnya. Sejak sebelum turun hujan kedua orang itu telah mengejar Durga Saputra, dengan maksud akan merampas Sujud tawanannya.
Sebagai bekas anak buah, mereka berdua tahu bahwa Sujud dapat dipergunakan untuk meminta uang tebusan yang tidak sedikit jumlahnya pada Wirahadinata ataupun pada Indra Sambada. Dengan tak mau lagi tertipu untuk kesekian kalinya, mereka berdua berhasrat besar untuk merampas Sujud dan mengerjakan niat jahatnya tanpa Durga Saputra.
“Jika yang kalian maksud uang tebusan tawananku ini, haraplah kau berdua sabar sementara. Nanti setelah aku dapat membalas dendam pada orang tuanya, kakaknya, dan terserahlah kepadamu!!!”
“Ach….. kita berdua sudah kenyang tipu muslihatmu yang licik dari mulutmu yang manis itu. Serahkan anak itu, dan habis perkara!!!” Jawab Mandra dengan tegas. “Daripada Saputra mengkhianati kita lagi, lebih baik kita selesaikan disini!!!” Mandra melanjutkan bicaranya tertuju pada Dasim temannya.
Berkata demikian Mandra langsung menyerang membabat leher Saputra dengan golok panjangnya. Menyambut serangan yang tiba tiba dari lawannya Itu. Durga Saputra terpaksa melepaskan pegangan gagang cambuk yang ujungnya masih tetap membelenggu tangan Sujud. Dengan tangkas ia meloncat selangkah kesamping kanan dan mencabut golok pendek yang terselip dipinggang kanannya.
Dengan bersenjatakan golok pendek itu ia menyerang kembali lawannya dengan serangan tusukan kilat kearah dada lawan. Akan tetapi cepat ditariknya kembali karena tangkisan senjata lawan dan dirobahnya menjadi tendangan berangkai pada lambung Mandra. Itulah yang dinamakan jurus pancingan atau serangan tipu tusukan. Kiranya jurus pancingannya berhasil baik. Lambung Mandra menjadi terbuka, karena tangkisan pada senjata yang menuju dadanya.
Tumit kaki kanan Saputra dengan kerasnya tepat mengenai lambung Mandra. Mandra jatuh di tanah sambil bergulingan menghindari serangan rangkaian lawan. Tetapi Dasim demi melihat temannya berguling ditanah, segera menerjang maju dengan klewangnya menusuk kearah punggung dan kemudian berubah menjadi gerakan babatan kearah kaki lawan yang sedang meloncat surut kebelakang menghindari tusukkannya, dalam gerakan bentuk jurus sabetan mengunci langkah.
Rangkaian serangan itu merupakan satu rentetan gerakan yang cepat sekali, akan tetapi kiranya Saputra telah mengetahui akan serangan susulan yang dlilancarkan itu. Dengan lincahnya ia meloncat tinggi sambil menggerakkan golok pendeknya untuk menyerang lawan dengan jurus tusukan berperisai kearah muka lawan. Dasim terpaksa meloncat surut kebelakang satu langkah. Sambil berseru terkejut, menghindari serangan yang berbahaya itu.
Dalam saat yang sama, Sujud dengan masih terbelenggu tangannya, demi mengetahui bahwa pertempuran tiga orang itu memperebutkan dirinya dengan maksud kejahatan mereka masing-masing, melesat lari dan meloncat terjun mencebur dikali Bengawan yang sedang banjir dengan arusnya yang sangat deras.
“byuuuurrr!!!!”
Ketiga orang yang sedang bertempur sengit, masing-masing meloncat surut kebelakang, karena mendengar terceburnya Sujud dikali Bengawan. Dengan serentak mereka bertiga menahan senjatanya masing-masing, serta melayangkan pandangan kearah air kali Bengawan yang sedang deras mengalir. Namun dalam kegelapan malam samar-samar, yang mereka lihat tidak lebih daripada air kotor bercampur tanah mengalir dengan derasnya. Dan suara gemuruh arus terdengar terus tak ada henti-hentinya.
Dengan kemarahan yang meluap-Iuap serta penuh penyesalan Durga Saputra berseru keras sambil menunjuk dengan golok pendeknya ke arah Mandra dan Dasim.
“Sialan! Kedatangan kalian berdualah yang membuat hilangnya mangsaku yang sangat berharga. Dan kini kalian berdualah yang harus bertanggung jawab”, berkata Saputra menerjang maju kearah Mandra dan Dasim dengan senjata golok pendeknya menusuk kearah perut lawan.
Dasim meloncat selangkah kesamping kanan dan bertepatan dengan meloncatnya Dasim, Mandra datang menangkis dengan sabetan golok panjangnya. Dua senjata beradu dengan kerasnya, hingga mengeluarkan percikan api, yang jelas nampak dikegelapan malam.
Kedua-duanya segera meloncat surut ke belakang satu langkah, dengan merasakan pedih ditelapak tangan masing-masing demi mempertahankan senjata, untuk jangan sampai terlepas dari genggamannya.
“Karena keras kepalamu tak mau menyerahkan pada kami berdua, maka anak itu menjadi nekad dan bunuh diri!!” Seru Dasim sewaktu meloncat menghindari serangan Durga Saputra.
Pertempuran tiga orang itu masih terus berlangsung dengan seru. Durga Saputra yang hanya bertangan satu ternyata dapat melayani dua orang lawannya yang bersenyata, dengan seimbang dan tidak terdesak, Ditangan kiri yang hanya sebelah itu, golok pendeknya menyambar-nyambar merupakan serangan tusukan yang bertubi tubi, untuk kemudian berobah dengan cepatnya menjadi serangan tebangan, yang diselingi tendangan berangkai yang tidak kalah berbahayanya.
Sinar tajamnya klewang dan golok panjang lawan berkelebatan, merupakan sinar putih yang bergulung gulung menyelubungi ketiga tubuh manusia yang sedang bertempur dengan sengitnya. Seluruh kepandaian dalam tata kelahi ditumpahkan. Masing masing ingin cepat menghabisi riwayat lawannya. Kiranya mereka telah jauh tersesat, dan lupa bahwa hidup dan matinya semua ummat telah ada yang mengaturnya sendiri.
Beum juga mereka dapat saling merobohkan, seorang berkelebat mendatang laksana bayangan dikegelapan malam yang samar-samar dan sesaat kemudian diikuti oleh empat orang yang berlari lari dibelakangnya.
“Ini dia si buntung!!!”, teriaknya langsung terjun dengan keris terhunus dalam pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya itu.
Orang yang baru datang dan langsung melibatkan diri dalam pertempuran adalah Demang Jlagran beserta anak buahnya. Tanpa kata sepakat Mandra dan Dasim demi melihat datangnya serangan yang tiba-tiba dari seorang yang tak dikenal kearah Saputra, segera berseru terkejut sambil menarik kembali gerak serangan tusukan dan babatan mereka yang hampir tepat pada sasarannya, untuk serentak menangkis dengan senjata mereka masing masing, memapaki datangnya tusukan keris yang meluncur seperti kilat.
Sedang Saputra sendiri pada saat yang sama, mengelak dengan gerakan jurus surut bersimpuk menghadang langkah ialah meloncat surut kebelakang dengan jatuh berduduk serong kanan, kaki bersilang, sambil mengulurkan tangan kirinya yang memegang golok pendek dalam gaya menusuk lawan, sedangkan kepalanya menundukkan sangat rendah serempak rata dengan punggungnya.
Empat senjata serempak bertemu ujungnya, dengan mengeluarkan percikan api yang memijar. Bersamaan dengan beradunya empat ujung senjata yang berlainan bentuknya itu, Mandra berseru nyaring.
“Tahan semua senjata!!” Berseru demikian sambil melompat surut kebelakang satu langkah yang segera diikuti pula oleh ketiga orang lainnya.
Sementara itu, empat orang anak buah Demang Jlagran telah berdiri serempak dengan masing-masing senjata ditangan, dibelakang pemimpinnya.
“Siapa kau!!! Berani mencampuri urusan orang lain!!!” Mandra bertanya dengan nada bentakan.
“Aku bukan berurusan dengan kau!!”. Jawab Demang Jlagran sambil menunjuk dengan kerisnya kearah Durga Saputra. “Maka kuharap kalian berdua jangan mengganggu urusanku!!!”
“Tetapi caramu bertindak tidak tahu adat. Dan sepantasnya orang seperti kau itu diberi hajaran supaya mengenal adat!!!. Dasim turut bicara dan tanpa menunggu jawaban ia telah mulai menyerang dengan tusukan klewangnya kearah dada Demang Jlagran.
Sebagai seorang yang cepat naik darah, Demang Jlagran mendengar kata kata yang diucapkan Dasim dirasakan sebagai penghinaan, maka pada saat yang sama Demang Jlagran telah menerjang dengan kerisnya.
Keduanya berseru terkejut, dan menarik serangan masing-masing kembali, untuk kemudian meloncat kesamping serong kanan. Empat orang anak buah Demang Jlagran segera turut serentak menerjang maju menyerang dengan senjata mereka kearah Dasim dan Mandra.
Melihat terjadinya pertempuran antara Mandra, Dasim dengan Demang Jlagran berserta anak buahnya, Durga Saputra merasa untung terhindar dari maut. Dalam hatinya ia merasa geli juga akan kebodohan lawan-lawannya.
“Mandra, Dasim!!!” serunya : “Jika kau berdua tidak dapat merobohkan gerombolan orang desa itu, bagaimana kau berdua akan dapat menyelesaikan urusan denganku!!!”.
Durga Saputra sengaja membakar kemarahan Mandra dan Dasim, agar mereka lebih bersemangat dengan mengurangi jumlah lawan. Dengan demikian ia mengambil dua segi keuntungan. Pertama, ia hanya tinggal menghadapi lawan sepihak yang akan menang dalam pertarungan itu. Kedua, lawan ylang tinggal sepihak yang akan dihadapinya tentu telah berkurang tenaganya.
Satu-satunya kemungkinan yang ia sangat kuatirkan, ialah kalau mereka berobah pendirian menjadi bersatu dan menempurnya bersama. Maka untuk menutup kemungkinan, ia sengaja membakar semangat kedua belah fihak yang sedang bertempur dengan serunya, dengan pengharapan agar pertempuran berkobar terus.
Akan tetapi pengharapan itu segera lenyap dari angan angannya, karera Dasim kiranya cepat menginsyafi kekeliruannya, sehingga ia dengan tiba-tiba melompat surut kebelakang dua tindak sambil berseru pada Mandra:
“Mandra!!! Tahan senjata!!!. Kita berebut tulang tanpa isi!!!”
Kiranya seruan itu membuat Demang Jlagran sadar pula akan kekeliruannya dalam tindakan yang telah dilakukan. Cepat ia mengikuti gerakan Dasim dengan melompat surut dua langkah kebelakang sambil berseru.
“Betul!!! Tangkap dahulu si Buntung rame rame!!!. Baru kita selesaikan urusan kita!!!”
Durga Saputra demi mendengar seruan kedua orang tadi, kepalanya dirasakan seperti disambar petir. Ia melesat dan lari kearah barat mengikuti membujurnya tanggul tebing kali Bengawan dengan pesatnya, dan kemudian membelok kearah selatan memasuki hutan Padangan yang lebat.
Mandra, Dasim dan Demang Jlagran dengan empat orang anak buahnya serentak lari mengejar. Ternyata dalam lomba lari Durga Saputra memang setingkat lebih tinggi dari pada mereka. Jarak antaranya kian lama semakin jauh. Untuk kemudian lenyap sama sekali dari pandangan para pengejar, tertelan oleh kegelapan malam.
Semua orang kiranya tidak lagi memperdulikan nasib Sujud yang diperkirakan telah mati hanyut terbawa arus air yang dahsyat mengalir dari kali Bengawan. Setelah diperhitungkan bahwa ia sebagai tawanan Durga Saputra ataupun tawanan Mandra dan Dasim, bagi Sujud merupakan nasib yang sama bentuknya. maka ia mengambil jalan nekat sekali terjun kali Bengawan yang sedang banjir. Hampir sepuluh tahun lamanya, ia tinggal di desa Ngawi yang letaknya dipinggir kali Bengawan bersama orang tua angkatnya Kyai Tunggul.
Sejak kecil ia gemar main di Bengawan, Baginya berenang dikali Bengawan sama halnya seperti lari didaratan. Ia tak perlu kuatir dengan kedua belah tangannya terbelenggu, karena berenang tanpa menggunakan tangannyapun ia telah mahir. Hanya arus air yang mengalir dengan derasnya itu yang agaknya membuat sedikit menyulitkan untuk menyeberangi memotong langsung. Ia terpaksa harus mengikuti arus terlebih dahulu beberapa saat untuk menyeberang dengan perlahan berenang dengan menggerakkan kedua belah kakinya menepi.
Dengan demikian akhirnya sampai pula ia diseberang kali Bengawan. Dengan susah payah ia merangkak naik ketanggul karena Iengannya masih terbelenggu, sambil melihat-lihat kekiri-kanan, takut jika masih ada yang mengejarnya. Setelah mengaso sebentar diatas tanggul, terasalah badannya menggigil kedinginan basah kuyup. Namun ia masih bersyukur kepada Dewata Yang Maha Agung, bahwa dirinya nyaris dalam bahaya dan kantong kulitnya masih tetap tergantung dipinggangnya. Dengan terhuyung ia berjalan melintasi sawah yang tak luas itu menuju kedesa Dawung yang berada didepannya.
Dengan sedikit membohong pada peronda desa, bahwa rumah orang tuanya dirampok dan ia sendiri dibelenggu karena melawan dan kemudian diceburkan ke kali Bengawan. Setelah belenggu tangannya dilepaskan oleh peronda desa serta diberi sekedar makanan untuk menghilangkan lapar, untuknya dibuatkan pula perapian untuk memanaskan badan, yang dirasakan sangat dingin.
Setelah mengucapkan terima kasih, dan minta diri atas pertolongan yang telah diberikan para peronda, pada esok harinya Sujud melanjutkan perjalanannya mengembara, melalui jalan desa dan sawah menuju ke utara. Ia kini membatalkan niatnya pergi ke desa Trinil, karena takut berjumpa kembali dengan Durga Saputra dan pengejar lainnya.
Pakaiannya yang indah kini berubah menjadi kumal dan berwarna coklat penuh lumpur. Hanya perhiasan dan bekal uangnya yang masih tetap utuh didalam kantong kulitnya. Setelah sampai dipasar desa Kasiman, Sujud singgah sehentar untuk mengisi perut, serta membeli makanan sekedar bekal dalam perjalanan. Kuatir jika malam nanti sulit mendapatkan warung.
Ia tidak lupa membeli pisau pendek pula, karena mungkin nanti di perjalanan ada gunanya, pikirnya. Dari desa Kasiman ia lurus menuju ke barat. Kini tujuannya Indramayu, dimana orang tua angkatnya menjabat Bupati didaerah itu. Ia masih ingat, bahwa Ietak Kebanjaran Agung Indramayu ada di sebelah barat.
Pada malam harinya ia sampai di desa Jepan, sebuah desa kecil dipinggir kali Lusi. Kali itu walaupun agak curam tebingnya, akan tetapi ternyata hanya kali kecil saja. Airnya jernih seputih cermin karena dekat dengan mata air.
Hatinya bimbang. Setelah pada pagi harinya ternyata merupakan desa yang terujung sendiri. Sebelah baratnya merupakan hutan belukar yang tidak dapat diketahui batasnya. Demikian pula setelah ia mencoba menyeberangi kali Lusi. Untuk mengambil jalan memutar ke arah selatan, ia takut berjumpa dengan Saputra ataupun Mandra. Dasim serta yang mengejarnya.
Sifat keras kepala dan keberanian yang dimiliki, membawa ia melangkah memasuki hutan belukar yang lebat, setelah menyeberangi kali Lusi hutan itu oleh orang desa sekitarnya dinamakan hutan Blora. Terkenal sebagai hutan keramat dan angker. Tiap hari pasaran orang-orang meletakkan sesaji berupa makanan dan buah-buahan dipinggir hutan yang dianggapnya keramat, diatas tebing kali Lusi yang airnya mengalir melintasi hutan.
Kenyataan menunjukkan bahwa sesaji yang beraneka macam itu, setelah sore harinya diletakkan dipinggir hutan, pada pagi harinya habis tidak berbekas, dan hanya ancak-ancaknya saja yang ditinggalkan. Dan umumnya mereka percaya bahwa sesajinya telah diterima dengan baik oleh siluman-siluman penghuni hutan. Dengan demikian mereka percaya, bahwa tanam-tanamannya akan menjadi subur, serta tidak akan diganggu hama ataupun mengalami kerusakan akibat kemurkaan para siluman penghuni hutan.
Pancaran tariknya matahari pada pagi yang cerah itu tertahan oleh lebatnya dan rindangnya pohon-pohon liar dan kesejukan hawanya membuat Sujud tidak demikian lelah berjalan. Ia berjalan terus seorang diri sambil memperhatikan burung-burung yang bernyanyi dengan nada yang indah dalam rindangnya pohon-pohon liar yang dilaluinya.
Tanpa dirasa ia telah menjelajah masuk jauh dihutan Blora yang tidak diketahui ujungnya. Namun semakin jauh ia memasuki hutan, semakin banyak pohon buah-buahan yang dijumpai, seperti durian, jambu, pisang hutan atau dinamakan pisang gendruwo dan lainlain yang sedang lebat berbuah.
Suara ayam hutan terdengar sahut-sahutan dari kanan kirinya. Dan sering pula ia dikejutkan suara desisnya ular berada di pohon-pohon. Telah lebih dari setengah hari ia berjalan, tetapi belum juga nampak batasnya, bahkan kini ia tidak mengetahui lagi arah keempat penjuru mata angin.
Kemana ia berjalan, masih saja ia merasa tetap berjalan ditengah hutan yang lebat itu. Ia memetik buah jambu serta dimakannya, sekedar untuk menghilangkan rasa haus, sambil duduk dibawah pohon jambu untuk mengaso, melepaskan lelah. Diingat-ingatnya kembali jalan yang baru saja dilaluinya, tetapi juga tidak dapat menemukannya.
Bekal makanan yang berada dikantong kulitnya dikeluarkan dan kini ia mulai makan. Tetapi karena kegelisahan yang menyelimuti dirinya, maka nafsu makanpun tidak demikian ada.
Gelisah, karena tidak tahu jalan mana yang harus ditempuhnya, agar ia segera dapat keluar dari hutan itu sebelum petang hari. Hembusan angin siang perlahan-lahan, membuat ia merasa mengantuk. Ia berbaring terlentang dibawah pohon, dengan menikmati silirnya angin yang berhembus meniup perlahan. Sambil mendengarkan suara burung yang hinggap dipohon rindang disekitarnya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment