“Tetapi jangan Eyang meninggalkan Kumala terlalu lama!!” Indah Kumala Wardhani menyahta : “Jika kali ini Eyang tidak berhasil menemukan akang Yoga Kumala; ijinkan Kumala mencari sendiri”.
Demi mendengar cucu putrinya, Cahaya Buana merasa seperti disayat-sayat hatinya. “Baiklah.... cucuku manis!” Katanya sambil tersenyum dan mencium keningnya. “Aku berangkat sekarang dan pergiku tidak akan lebih dari seratus hari. Taatilah semua pesanku. Dan jika aku pulang kembali tanpa membawa hasil, tentu kelak kau kuijinkan turun gunung bersamaku untuk mencari kakakmu Yoga Kumala”.
Setelah Ajengan Cahaya Buana berpamit pada cucu puterinya dan Mang Jajang pengasuhnya, ia segera berangkat meninggalkan gua pertapaannya dan diikuti oleh si kumbang harimau piaraannya yang setia..Tujuannya mengikuti getaran gelombang daya tarik yang datang dari arah timur.
Kumala Wardhani dan Mang Jajang mengantarkan sampai didepan mulut gua sesaat kemudian Cahaya Buana beserta si kumbang melesat hilang ditelan gelapnya malam.
Selang beberapa hari Cahaya Buana telah tiba di lereng Gunung Cerme, dekat pesanggrahan di Linggarjati dimana pertempuran antara lndra Sambada bersama Tumenggung Cakrawirya melawan Kertanata kusumah dan kawan-kawannya sedang berlangsung dengan sengitnya.
Dan ditempat itulah getaran gelornbang daya tarik dirasakan semakin kuat. Suatu tanda bahwa kini ia tidak seberapa jauhnya dengan arah yang dituju. Tetapi sifat-sifat kependetaannya yang tidak menghendaki adanya pertumpahan darah, memaksa ia berhenti sejenak untuk mencari tahu, sebab musabab dari pertempuran itu.
Pandangannya terbentur pada pancaran cahaya dari wajah Indra Sambada yang menunjukkan sifat budi luhur serta kebersihan hatinya. Setelah dengan jelas mengetahui duduk persoalannya dan ingat kembali ,akan ramalan pujangga kuno mendiang gurunya, maka dengan aji sakti "panggendamannya" ia menghentikan pertempuran yang sedang berlangsung dengan serunya, serta sekedar memberikan wejangan singkat untuk menginsyafkan kembali para perwira tamtama dari Pajajaran demi terwujudnya persatuan dan perdamaian di Nuswantara.
Akan tetapi selagi ia memberikan wejangan, terasa olehnya bahwa sumber daya tarik yang tadi dapat dipastikan berada disekitar tempat itu, tiba-tiba lenyap tidak dapat lagi oleh rasa pribadinya. Ternyata turut campurnya dalam urusan itu, memaksa beralihnya pemusatan tenaga bathin, hingga hilanglah jalinan daya tangkap yang hampir menemukan sumber daya tarik yang dicarinya. (Baca seri Pendekar Majapahit). Maka cepatlah ia meninggalkan tempat pesanggrahan itu untuk mencari tempat yang sunyi ditengah hutan guna mematek aji pamelingnya kembali.
Baru sebulan kemudian ja dapat menemukan kembali arah sumber gelombang getaran yang dicari-carinya. Tetapi masih saja jauh berada dari dirinya, diarah timur. Dan dengan demikianlah Cahaya Buana sampai di Kota Raja Kerajaan Majapahit. Betapa terkejut dan herannya setelah ternyata sumber gelombang getaran daya tarik itu dirasakan berada dalam Istana Senopaten, kediaman Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Indra Sambada.
Pada hari tengah malam, Cahaya Buana bersama harimau kumbangnya memasuki gedung Senopaten dan melihat Sujud sedang berbaring ditempat tidurnya. Akan tetapi belum juga ia dapat melihat dengan pasti tanda-tanda yang memastikan, bahwa anak yang sedang tidur gelisah itu adalah cucu putranya. Tiba-tiba para tamtama pengawal yang sedang berjaga meronda berteriak-teriak ramai dan menjadi gaduh demi melihat berkelebatnya si kumbang.
Ajengan Cahaya Buana segera meninggalkan Istana Senopati menggagalkan maksudnya dan melesat seperti bayangan menghilang dikegelapan malam diikuti si kumbang.
Ia tidak mau mengacaukan suasana, sebelum persoalan yang pelik itu diketahui dengan jelas. Akan tetapi diluar sepengetahuannya, pengaruh aji sakti pameling itu ternyata membuat Sujud selaiu gelisah dan risau. Rasa ingin tahu akan asal usulnya bangkit menggelora dalam lubuk sanubarinya. (baca “Indra Sambada Pendekar Majapahit”).
Kini Ajengan Cahaya Buana bermaksud menemui langsung Sang Senapati Muda Indra Sambada, untuk menanyakan asal usul anak tanggung yang berada digedung Senapaten itu. Tetapi pada saat itu ternyata Indra Sambada sedang bepergian ke Wonogiri dengan dikawal Lurah Tamtama Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
Keadaan yang demikian memaksa Cahaya Buana tinggal sementara diluar Kota Raja untuk menanti dengan bersabar hati hingga lndra Sambada kembali di Senapaten. Tetapi setelah Cahaya Buana dapat bertemu dengan Indra Sambada, ternyata Sujud telah pergi meninggalkan gedung Senapaten tanpa pamit dan tidak diketahui arah tujuannya.
Namun kini semakin jelas bagi Cahaya Buana, bahwa adik angkat Sang Senapati Indra Sambada yang bernama Sujud besar kemungkinannya adalah cucu putranya Yoga Kumala.
Karena kesanggupan Indra Sambada untuk mencari Sujud hingga ketemu dan akan menyerahkan sendiri ke Gunung Tangkuban Perahu, maka Ajengan Cahaya Buana segera minta diri untuk kembali ketempat pertapaannya. Kepada Indra Sambada dijelaskan pula, bahwa cucu putranya mempunyai tanda tahi lalat yang sama dengan cucu putrinya, yang berada di lengan kiri.
Pertemuannya yang singkat dengan Cahaya Buana itu, bagi Indra Sambada sangat berkesan dan penuh arti. Ia berhasrat besar untuk membalas kunjungan Cahaya Buana ke tempat pertapaannya dilereng Gunung Tangkuban Perahu dengan menyerahkan cucu putranya Sujud atau Yoga Kumala, sebagai balas budi akan jasa Ajengan Cahaya Buana sewaktu menyelamatkan jiwanya. Dan lebih daripada itu, ia berhasrat pula untuk dapat mencicipi sedikit akan ilmu kesaktiannya.
****
Dikala itu, waktu telah larut malam, mendekati terang tanah pagi-pagi buta. Bintang-bintang masih bertaburan menghiasi langit biru yang membentang mengatapi bumi, berkedip-kedip memancarkan cahaya gemerlapan, membuat terang remang-remang. Awan tipis berpencaran jauh diangkasa dengan bentuknya sendiri-sendiri dan berobah-robah, menambah indahnya hiasan Iangit yang membentang cerah. Berkokoknya ayam terdengar pula sahut sahutan dari kandangnya masing-masing dikejauhan.
Dijalan-jalan besar yang silang menyilang di Kota Rajapun masih sunyi. Pintu-pintu rumah yang berderetan dipinggir jalan masih tertutup rapat-rapat. Angin sepoi-sepoi basa, meniup pelan dan hawa dingin terasa masuk menusuk tulang-tulang badan.
Dengan langkahnya yang berat dan tidak menentu, seorang anak laki-laki tanggung berusia 14 tahun menjelajahi jalan besar di Kota Raja, tanpa menghiraukan sepinya suasana serta hawa dingin yang menusuk sampai pada tulangnya. Angan-angannya merana jauh tak menentu, hingga hampir saja ia terbentur sebuah pohon besar yang berada dipinggir jalan yang dilaluinya. Namun ia berjalan Iurus ke utara dengan sebentar-sebentar menengok ke belakang. Gedung Senopaten makin lama makin jauh ditinggalkan.
Ia memakai baju warna merah jambu terbuat dari kain sutra, dengan kancing-kancingnya terbuat dari emas murni, serta bercelana warna biru laut. Masih pula ia mengenakan sarung hijau berkembang-kembang tersulam dari benang sutra warna kuning keemasan. Timang ikat pinggangnya terbuat dari emas murni berukirkan burung garuda.
Dikedua belah pergelangan tangannya melingkar sepasang gelang mas dan sebuah kantong kulit halus selebar satu jengkal tergantung dipinggang sebelah kiri. Dengan berpakaian demikian Sujud menyerupai seorang putra bangsawan yang memegang jabatan tinggi di Kota Raja. Namun rambutnya yang gondrong, kelihatan kusut tak terurus. Wajahnya yang tampan berbentuk bulat telor dengan sepasang alisnya yang tebal, nampak lesu tidak bersinar. Tetap ia masih saja berjalan.
Demi mendengar cucu putrinya, Cahaya Buana merasa seperti disayat-sayat hatinya. “Baiklah.... cucuku manis!” Katanya sambil tersenyum dan mencium keningnya. “Aku berangkat sekarang dan pergiku tidak akan lebih dari seratus hari. Taatilah semua pesanku. Dan jika aku pulang kembali tanpa membawa hasil, tentu kelak kau kuijinkan turun gunung bersamaku untuk mencari kakakmu Yoga Kumala”.
Setelah Ajengan Cahaya Buana berpamit pada cucu puterinya dan Mang Jajang pengasuhnya, ia segera berangkat meninggalkan gua pertapaannya dan diikuti oleh si kumbang harimau piaraannya yang setia..Tujuannya mengikuti getaran gelombang daya tarik yang datang dari arah timur.
Kumala Wardhani dan Mang Jajang mengantarkan sampai didepan mulut gua sesaat kemudian Cahaya Buana beserta si kumbang melesat hilang ditelan gelapnya malam.
Selang beberapa hari Cahaya Buana telah tiba di lereng Gunung Cerme, dekat pesanggrahan di Linggarjati dimana pertempuran antara lndra Sambada bersama Tumenggung Cakrawirya melawan Kertanata kusumah dan kawan-kawannya sedang berlangsung dengan sengitnya.
Dan ditempat itulah getaran gelornbang daya tarik dirasakan semakin kuat. Suatu tanda bahwa kini ia tidak seberapa jauhnya dengan arah yang dituju. Tetapi sifat-sifat kependetaannya yang tidak menghendaki adanya pertumpahan darah, memaksa ia berhenti sejenak untuk mencari tahu, sebab musabab dari pertempuran itu.
Pandangannya terbentur pada pancaran cahaya dari wajah Indra Sambada yang menunjukkan sifat budi luhur serta kebersihan hatinya. Setelah dengan jelas mengetahui duduk persoalannya dan ingat kembali ,akan ramalan pujangga kuno mendiang gurunya, maka dengan aji sakti "panggendamannya" ia menghentikan pertempuran yang sedang berlangsung dengan serunya, serta sekedar memberikan wejangan singkat untuk menginsyafkan kembali para perwira tamtama dari Pajajaran demi terwujudnya persatuan dan perdamaian di Nuswantara.
Akan tetapi selagi ia memberikan wejangan, terasa olehnya bahwa sumber daya tarik yang tadi dapat dipastikan berada disekitar tempat itu, tiba-tiba lenyap tidak dapat lagi oleh rasa pribadinya. Ternyata turut campurnya dalam urusan itu, memaksa beralihnya pemusatan tenaga bathin, hingga hilanglah jalinan daya tangkap yang hampir menemukan sumber daya tarik yang dicarinya. (Baca seri Pendekar Majapahit). Maka cepatlah ia meninggalkan tempat pesanggrahan itu untuk mencari tempat yang sunyi ditengah hutan guna mematek aji pamelingnya kembali.
Baru sebulan kemudian ja dapat menemukan kembali arah sumber gelombang getaran yang dicari-carinya. Tetapi masih saja jauh berada dari dirinya, diarah timur. Dan dengan demikianlah Cahaya Buana sampai di Kota Raja Kerajaan Majapahit. Betapa terkejut dan herannya setelah ternyata sumber gelombang getaran daya tarik itu dirasakan berada dalam Istana Senopaten, kediaman Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Indra Sambada.
Pada hari tengah malam, Cahaya Buana bersama harimau kumbangnya memasuki gedung Senopaten dan melihat Sujud sedang berbaring ditempat tidurnya. Akan tetapi belum juga ia dapat melihat dengan pasti tanda-tanda yang memastikan, bahwa anak yang sedang tidur gelisah itu adalah cucu putranya. Tiba-tiba para tamtama pengawal yang sedang berjaga meronda berteriak-teriak ramai dan menjadi gaduh demi melihat berkelebatnya si kumbang.
Ajengan Cahaya Buana segera meninggalkan Istana Senopati menggagalkan maksudnya dan melesat seperti bayangan menghilang dikegelapan malam diikuti si kumbang.
Ia tidak mau mengacaukan suasana, sebelum persoalan yang pelik itu diketahui dengan jelas. Akan tetapi diluar sepengetahuannya, pengaruh aji sakti pameling itu ternyata membuat Sujud selaiu gelisah dan risau. Rasa ingin tahu akan asal usulnya bangkit menggelora dalam lubuk sanubarinya. (baca “Indra Sambada Pendekar Majapahit”).
Kini Ajengan Cahaya Buana bermaksud menemui langsung Sang Senapati Muda Indra Sambada, untuk menanyakan asal usul anak tanggung yang berada digedung Senapaten itu. Tetapi pada saat itu ternyata Indra Sambada sedang bepergian ke Wonogiri dengan dikawal Lurah Tamtama Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
Keadaan yang demikian memaksa Cahaya Buana tinggal sementara diluar Kota Raja untuk menanti dengan bersabar hati hingga lndra Sambada kembali di Senapaten. Tetapi setelah Cahaya Buana dapat bertemu dengan Indra Sambada, ternyata Sujud telah pergi meninggalkan gedung Senapaten tanpa pamit dan tidak diketahui arah tujuannya.
Namun kini semakin jelas bagi Cahaya Buana, bahwa adik angkat Sang Senapati Indra Sambada yang bernama Sujud besar kemungkinannya adalah cucu putranya Yoga Kumala.
Karena kesanggupan Indra Sambada untuk mencari Sujud hingga ketemu dan akan menyerahkan sendiri ke Gunung Tangkuban Perahu, maka Ajengan Cahaya Buana segera minta diri untuk kembali ketempat pertapaannya. Kepada Indra Sambada dijelaskan pula, bahwa cucu putranya mempunyai tanda tahi lalat yang sama dengan cucu putrinya, yang berada di lengan kiri.
Pertemuannya yang singkat dengan Cahaya Buana itu, bagi Indra Sambada sangat berkesan dan penuh arti. Ia berhasrat besar untuk membalas kunjungan Cahaya Buana ke tempat pertapaannya dilereng Gunung Tangkuban Perahu dengan menyerahkan cucu putranya Sujud atau Yoga Kumala, sebagai balas budi akan jasa Ajengan Cahaya Buana sewaktu menyelamatkan jiwanya. Dan lebih daripada itu, ia berhasrat pula untuk dapat mencicipi sedikit akan ilmu kesaktiannya.
****
Dikala itu, waktu telah larut malam, mendekati terang tanah pagi-pagi buta. Bintang-bintang masih bertaburan menghiasi langit biru yang membentang mengatapi bumi, berkedip-kedip memancarkan cahaya gemerlapan, membuat terang remang-remang. Awan tipis berpencaran jauh diangkasa dengan bentuknya sendiri-sendiri dan berobah-robah, menambah indahnya hiasan Iangit yang membentang cerah. Berkokoknya ayam terdengar pula sahut sahutan dari kandangnya masing-masing dikejauhan.
Dijalan-jalan besar yang silang menyilang di Kota Rajapun masih sunyi. Pintu-pintu rumah yang berderetan dipinggir jalan masih tertutup rapat-rapat. Angin sepoi-sepoi basa, meniup pelan dan hawa dingin terasa masuk menusuk tulang-tulang badan.
Dengan langkahnya yang berat dan tidak menentu, seorang anak laki-laki tanggung berusia 14 tahun menjelajahi jalan besar di Kota Raja, tanpa menghiraukan sepinya suasana serta hawa dingin yang menusuk sampai pada tulangnya. Angan-angannya merana jauh tak menentu, hingga hampir saja ia terbentur sebuah pohon besar yang berada dipinggir jalan yang dilaluinya. Namun ia berjalan Iurus ke utara dengan sebentar-sebentar menengok ke belakang. Gedung Senopaten makin lama makin jauh ditinggalkan.
Ia memakai baju warna merah jambu terbuat dari kain sutra, dengan kancing-kancingnya terbuat dari emas murni, serta bercelana warna biru laut. Masih pula ia mengenakan sarung hijau berkembang-kembang tersulam dari benang sutra warna kuning keemasan. Timang ikat pinggangnya terbuat dari emas murni berukirkan burung garuda.
Dikedua belah pergelangan tangannya melingkar sepasang gelang mas dan sebuah kantong kulit halus selebar satu jengkal tergantung dipinggang sebelah kiri. Dengan berpakaian demikian Sujud menyerupai seorang putra bangsawan yang memegang jabatan tinggi di Kota Raja. Namun rambutnya yang gondrong, kelihatan kusut tak terurus. Wajahnya yang tampan berbentuk bulat telor dengan sepasang alisnya yang tebal, nampak lesu tidak bersinar. Tetap ia masih saja berjalan.
Ternyata diluar kota lalu-lintas mulai menunjukkan kesibukannya. Suara percakapan yang diiringi gelak tawa riang dari para pedagang desa yang berjalan menuju ke Kota Raja berduyun-duyun, membuat suasana menjadi ramai.
Mungkin karena pakaian yang dikenakan demikian mewah dan menyolok, maka para pedagang yang berjalan berpapasan selalu membuang waktu sesaat untuk mengamat-amati dengan cermat kearah Sujud. Ada pula diantara mereka yang membungkukkan badannya, sewaktu berpapasan. Jelas bahwa pakaian yang dikenakan menarik perhatian bagi yang melihat.
Mereka berbisik-bisik, mempercakapkan tentang Sujud dengan pendapat dan tafsiran masing-masing. Kini sang surya mulai mengintai dari kejauhan di sebelah timur. Cahaya warna merah lembayung membiasi alam semesta, Bintang fajarpun telah lenyap tersapu pancaran cahaya lembayung yang membara. Tanda fajar telah mulai menyingsing. Dengan lambat, sedikit demi sedikit sang surya menampakkan seluruh tubuhnya.
Dan cahaya merah lembayungpun pelan-pelan menjadi cahaya terang benderang. Hari kini telah berganti pagi. Burung-burung berlintasan diangkasa dari segenap penjuru, sambil bersiul-siul dengan nada dan iramanya sendiri-sendiri, menambah indahnya suasana alam diwaktu pagi. Para petani telah berangkat pula menuju kesawahnya masing-masing dengan membawa alat-alat pertanian, seperti badik, cangkul dll, untuk mengolah tanahnya.
Sujud masih saja terus berjalan, menyusuri tanggul Bengawan ke hulu. la masih ingat, bahwa dengan menyusuri kali Bengawan, ia dapat tiba di Ngawi sebuah desa kecil yang dahulu pernah tinggal dengan orang tua angkatnya, Kyai Tunggul. la masih ingat pula kepada Martiman dan Martinem, dua kanak-kanak yang telah kehilangan ayahnya. Kini tujuannya akan berkunjung kedesa Trinil, dimana kedua anak-anak itu bertempat tinggal bersama ibunya.
Setelah menemukan tujuan pasti, kini kegelisahan dan kerisauan hatinya menjadi berkurang. Dan perlahan-lahan ia menjadi sadar kembali akan apa yang telah diperbuatnya. Ia ketawa geli sendiri, setelah memperhatikan pakaian yang demikian mewah yang dikenakannya. Tidak heranlah apabila tiap orang yang berpapasan selalu memperhatikan padanya.
Ia berhenti dan duduk sejenak dibawah pohon dipinggir tanggul untuk membuka bajunya serta melipatnya untuk kemudian disimpan dalam kantong kulitnya. Demikian pula sepasang gelang dan timang ikat pinggangnya dimasukkan kedalam kantong itu. Kini ia hanya tinggal mengenakan celana dan berkain sarung saja, sedangkan badannya dibiarkan telanjang begitu saja. Tanda tai lalat sebesar ibu jari warna merah kehitaman, nampak jelas di lengan kirinya.
Pada malam harinya ia mengaso digardu tempat orang meronda, dan pagi-pagi buta ia berangkat melanjutkan perjalanannya kembali. Panas teriknya sang surya yang memancar dari ketinggian diatas kepala membuat ia sangat letih dan peluhnya dirasa kan telah membasahi badannya. Perutnya terasa sangat lapar, namun ia tidak perlu kuatir, karena uang yang dibekalnya cukup banyak untuk membeli makanan dalam perjalanan. la menoleh kekanan kiri mencari warung perdesan disekitarnya.
Tiba-tiba dilihatnya banyak orang yang sedang berkerumun, berjongkok mengitari lapangan di pinggir sebuah desa yang berada dibawah tanggul sebelah selatan. Suara sorak sorai yang riuh ramai terdengar dari kejauhan. Setelah ia mendekati, ternyata orang-orang itu sedang asyik mengadu ayam jantan dengan bertaruh uang. Orang-orang yang berjualan makananpun banyak pula berada disekitar lapangan itu.
Sujud segera duduk ditempat orang yang jualan gulai kambing dan makan nasi gulai dengan lahapnya. Setelah membayar makanan yang telah dipesannya, ia bangkit dan berjalan mendekati tempat orang-orang yang sedang mengadu ayam. Ia bermaksud ingin melihat dari dekat sebentar sambil mengaso. Ia turut pula duduk berjongkok, mengikuti para botoh yang sedang mengadu untung.
Gelak tawa dan sorak sorai orang-orang yang mempunyai harapan menang dalam bertaruh, bercampur dengan cacian dan gumaman orang-orang yang merasa tipis akan kemenangannya, untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat. Bahkan diantara mereka para botoh telah ada yang menghitung-hitung kerugian yang akan dideritanya.
“Ayo, siapa berani lawan taruhan!!!. Sepuluh duabelas”. Teriak seorang yang bertubuh pendek hitam dengan mukanya kasar penuh jerawat.
“Sepuluh tiga belas!!!”. Jawab seorang didepannya dengan suara lantang. “Dan saya pegang atas, siapa berani?” ia melanjutkan bicaranya untuk menantang taruhan pada orang-orang disekitarnya.
Seorang tampan dan berpakaian rapih menyahut dengan suara tak kalah lantangnya. “Jika ada yang berani mengapit, berapa saja pasti akan kulayani”. Suaranya sangat berpengaruh, ternyata orang-orang banyak segan menghadapi tantangannya, sungguhpun jika ada yang berani mengapit tidak akan menderita kekalahan.
“Biar hancur aku akan tetap bertaruh pada ayamku sendiri! Ayo........ siapa berani mengapit?” Ia mengulang tantangannya, dengan muka yang merah padam, menekan rasa marah karena telah menderita kekalahan tidak sedikit jumlahnya.
Ternyata pertarungan ayam jantan yang sedang berlangsung itu kelihatan berat sepihak, tidak seimbang. Ayam jantan yang berulas wiring gading kuning keemas-emasan telah kehabisan tenaga dan hanya menunduk menerima patokan dan pukulan taji yang bertubi-tubi dari ayam jantan yang berulas warna hitam kemerah-merahan, yang lazimnya disebut wido, sebagai lawannya.
Akan tetapi ayam yang berulas wiring gading itu ternyata memang mempunyai daya tahan yang sangat kuat. Ia tetap tidak mau lari meninggalkan gelanggang, walaupun sudah tak dapat lagi membalas serangan lawanya. Kepala dan sayapnya telah berlumuran darah. Sebentar-sebentar kepalanya menyelinap dibawah sayap lawan, untuk menghindari patokan yang bertubi-tubi. Lima enam orang kini sedang berkumpul untuk merundingkan tentang tantangan bertaruh yang baru saja diucapkan orang tampan itu.
“Kang Wongso, berapa masih sisa uangmu seluruhnya?” seorang diantara yang berkumpul dan bertubuh pendek bertanya.
“Dua puluh uang perak”, jawabnya, sambiI mengawasi jalannya pertarungan yang masih bertangsung.
“Bari…… Berapa uangmu semua?” tanya orang yang bertubuh pendek hitam itu pula.
“Ada, kalau hanya lima puluhan uang perak saja”. Jawab Bari sambil menunjukkan uang perak yang segera dari kantongnya serta ditunjukkan seraya bertanya. “Dan kau sendiri, berapa kau mau bertaruh. Jo?” Orang hitam yang penuh dengan jerawat dimukanya itu terkenal dengan namanya Arjo Gepeng. la seorang saudagar hasil bumi di Bojonegoro yang terkenal kaya.
“Sekali ini aku akan menebus kekalahanku”, kata Arjo Gepeng dengan nada mantap, seakan-akan ia pasti akan menang. “Uangku semua akan kutaruhkan untuk melawan tantangan Den Demang Jlagran. Biar ia hancur betul-betul, seperti apa yang dikehendakinya sendiri”, katanya melanjutkan.
“Siapa lagi mau ikut menumpang pada taruhanku?” Setelah ia menghitung-hitung semua milik uangnya dan uang orang-orang yang ikut bertaruh dipihaknya, ia segera menongolkan kepalanya, serta berseru lantang, “Den Demang….. Tantanganmu aku terima. Lima puluh uang mas dan aku pegang atas!!!”.
“Jadi!!!” Jawab orang tampan tadi dengan suara lantang dan sombong.
Dialah yang dipanggil dengan sebutan Den Demang. Memang sesungguhnya ia adalah Demang dari desa Jlagran dan lazimnya orang-orang menamakan dirinya Den Demang Jlagran. Ia adalah orang yang berpengaruh dan terkenal pemberani yang selalu gemar membuat keributan. Bahkan tidak sedikit, orang yang mengetahui bahwa Den Demang Jlagran adalah orang yang mempunyai pengaruh dikalangan para penjahat. Iapun terkenal pula mempunyai ilmu kekebaIan.
“Awas!!! Jangan mengingkari!!! Mana uangmu!!!”. Bentaknya sombong.
Tetapi Aryo Gepeng kiranya bukan orang yang baru saja terjun digelanggang adu ayam. Dengan cepat ia menyahut sambil ketawa mengejek.
“Hahaha…… seharusnya malah aku yang bertanya, mana uangrnu!!?” Mendengar suara Arjo Gepeng diiringi pula dengan tawa mengejek itu, Demang Jlagran kelihatan merah padam mukanya. Serta menjawab dengan mata melotot:
“Bangsat Gepeng!!! Ni Uangku!!!” Berkata demikian sambil melemparkan uangnya segenggam, berupa uang perakan dan beberapa uang emas kearah Aryo Gepeng. Tetapi terang bahwa uang yang dilemparkan itu tidak akan lebih nilainya dari sepuluh uang emas.
“Awas!!. Siapa berani mengambil akan kuhancurkan kepalanya!!” ia melanjutkan gertakannya.
Uang jatuh bergemerincingan ditanah dan menggelinding tersebar di bawah para penonton. Diantaranya ada pula yang berada didekat Sujud berjongkok. Akan tetapi tidak seorangpun yang berani memungutnya. Mereka pada umumnya jeri menghadapi marahnya Den Dernang Jlagran.
Suasana menjadi tambah gaduh dan perhatian para penonton kini terpecah menjadi dua. Sebagian masih tetap berpusat pada pertarungan ayam yang masih berlangsung, dan sebagian lagi terpusat pada Demang Jlagran yang sedang melampiaskan kemarahannya dengan kata-kata yang kasar dan lantang.
Tiba-tiba para penonton serentak bersorak ramai dan masing-masing mengeluarkan seruan penuh rasa girang, karena mendengar berkeyoknya ayam jantan berulas wiring gading, terkena pukulan taji dikepalanya dengan tepat dan segera lari menghindari ayam lawannya wido.
Suatu tanda bahwa ayam wido telah memenangkan pertarungan. Tetapi belum pula para penonton mengakhiri sorak sorainya, tiba-tiba Demang Jlagran meloncat ketengah lapangan dan menendang ayam wido yang sedang berkokok karena kemenangannya. Dengan tendangan kaki kanan yang tepat, ayam wido terkapar berkelojotan, untuk kemudian tidak bernafas. Kini keadaan menjadi semakin kacau balau.
“Hai, Demang Jlagran!!”. seru Aryo Gepeng sambil maju menghadapi Demang Jlagran. “Jangan mentang-mentang kau seorang Demang, dapat berbuat semena-mena, menurut kehendak nafsumu sendiri!!”
“Berani menendang ayamnya, tentu aku berani pula menghadapi pemiliknya Ayo!! Siapa saja yang merasa tidak puas, boleh maju serentak, untuk menerima pembagian tinjuku!!!” Demang Jlagran menentang orang-orang yang hadir dengan pandangan mata yang berapi api sambil menuding-nudingkan telunjuknya kearah Arjo Gepeng dan kawan kawannya.
Lima enam orang segera maju serentak dan menyerang Dernang Jlagran dengan pukulan dan tendangan yang dahsyat. Tetapi Demang Jlagran telah siap menghadapi pengeroyokan dari orang orang yang dipimpin Aryo Gepeng. Dengan tangkasnya ia meloncat selangkah kesamping kanan untuk menghindari serangan lawannya sambil mengirim pukulan dengan telapak tangan kirinya ketengkuk salah seorang lawan pengeroyoknya.
Seorang yang terkena pukulan segera jatuh tertelungkup dan tak sadarkan diri. Melihat keadaan demikian, Aryo Gepeng segera menerjang maju dengan gerakan jurus tendangan berangkai kearah lambung kiri. Dan kembali lagi Demang Jlagran menunjukkan ketangkasannya yang mentakjubkan. Ia tidak meloncat menghindari, tetapi malah menyambut tendangan lawan dengan pukulan siku tangannya yang segera disusul dengan serangan tebangan telapak tangannya kearah pinggang Aryo Gepeng.
Benar benar gerakan tangkisan Demang Jlagran ini merupakan jurus pengunci serangan lawan yang dahsyat. Tidak ayal Aryo Gepeng jatuh terlentang ditanah dan bergulingan menghindari datangnya serangan rangkaian. Keributan ternyata meluas. karena para botoh yang kalah sebagian besar tidak mau membayar taruhannya mengikuti jejak Demang Jlagran.
Dengan demikian maka perkelahian seru segera terjadi dalam kalangan. Sebagian lagi masih juga ada yang hanya bertarung Iidah, dengan lontaran kata kata makian yang kasar. Sujud masih juga berdiri dengan mulut ternganga demi melihat keributan yang sedang berlangsung, dengan tangannya memegang erat-erat pada kantong kulitnya yang tergantung dipinggangnya.
Orang-orang yang tidak mau terlibat dalam perkelahian segera meninggalkan lapangan, dan orang orang yang berjualan, segera mengumpulkan dagangannya untuk dibawa menyingkir menjauhi tempat keributan, takut keterjang orang yang sedang berkelahi. Jeritan yang terluka susul-menyusul bercampur aduk dengran suara cacian dan sumpahan, serta seruan panggilan tertuju pada orang yang melarikan barang ataupun uang yang bukan miliknya.
Empat orang pengikut Aryo Gepeng serentak menerjang Demang Jlagran dengan bersenjata tajam ditangannya masing masing. Dua orang bersenjatakan golok panjang, seorang bersenjatakan parang arit, sedangkan yang seorang lagi bersenjatakan keris. Serangan serentak yang berlawanan arah, keleher, dada dan Iambung, merupakan serangan maut yang sangat berbahaya bagi Demang Jlagran.
Namun lawannya adalah Demang Jlagran bekas murid Tambakraga yang telah mempunyai pengalaman luas. la berseru nyaring sambil melesat meloncat surut ke belakang satu langkah menghindari semua serangan dan seraya menghunus kerisnya, serta kembali meloncat menerjang kedepan dalam jurusnya “serangan tusukan berperisai”.
Tangan kirinya merupakan gerakan sampokan sebagai perisai, sedangkan keris terhunus ditangan kanannya meluncur secepat kilat dan bersarang pada lambung kiri lawan yang terlambat mengelak. Jerit ngeri terdengar.
Darah menyembur dari Iambung kiri karena kena tusukan keris Demang Jlagran. Seorang pengeroyok tadi terkulai di tanah dan tak bernapas lagi. Demi melihat salah seorang kawannya mati terkena tusukan keris Demang Jlagran, mereka segera meloncat surut kebelakang dua langkah, untuk kemudian menjauhi lawannya karena merasa jeri.
“Ayo…… siapa yang akan menuntut bela, ini Demang Jlagran!!” Berkata demikian Demang Jlagran sambil menginjak dengan kaki kirinya ketubuh orang yang telah menjadi mayat tadi, dengan mata yang bernyala nyala.
Orang-orang lari tunggang langgang meninggalkan lapangan. Takut akan mengamuknya Demang Jlagran yang telah terkenal kebal dan bersifat kejam.
Demikian pula Sujud tidak ketinggalan pula. Melihat kejadian yang ngeri itu, ia tak tahan dan menutup matanya dengan kedua tangan, sambil membalikkan badan akan meninggalkan tempat keributan itu. Tetapi tiba ttba Demang Jlagran dengan tangkas meloncat dan menghadangnya, serta merebut kantong kulit yang tergantung pada pinggangnya dengan tangan kiri, sambal membentak lantang.
“Hai, serahkan kantongmu yang bagus itu, akan kuperiksa isinya!” Dengan tak menjawab Sujud memukul pergelangan tangan kiri Demang Jlagran sambil meloncat kesamping kanan, untuk mempertahankan kantong miliknya yang erat-erat tergantung pada ikat pinggangnya.
Demang Jlagran terkejut. Dilepaskanlah pegangan tangan kirinya pada kantong kulit, sambil berseru.
“Bangsat…. Anak bedebah….. Berani kau menentang, heh…..” Berkata demikian Demang Jlagran menerjang ke arah Sujud sambil melancarkan serangan tinju ke arah pelipisnya.
Cepat Sujud menundukkan kepala menghindari serangan tinju yang hampir bersarang pada pelipisnya, sambil berusaha untuk lari menjauhi orang yang sedang kalap. Akan tetapi belun juga ia dapat melangkahkan kakinya untuk rnenghindar, kaki Demang jlagran telah menerjang dengan gerakan jurus berpusing menutup langkah lawan. Sambil berjongkok diatas kaki kiri, kaki kanannya berputar menyerampang kaki Sujud yang akan melangkah lari. Tak ayal lagi. Sujud segera jatuh tersungkur dan kepalanya terbentur batu di tanah. Kiranya serangan itu tidak hanya berbenti sampai disitu. Pergelangan tangan Sujud yang masih dalam keadaan jatuh tersungkur, cepat dicengkeram dengan tangan kiri. Ujung keris ditangan kanannya ditempelkan kepunggung Sujud, sambil membentak,
“Tidak peduli kau anak setan jika kau berani bergerak, kerisku akan menembus sampai kedadamu!!! Ayo serahkan kantong kulitmu!!!”
Dalam keadaan demikian, Sujud diam tak berani bergerak. Namun ia tetap berkeras kepala tidak mau menyerahkan kantong kulitnya dan tidak mau menjawab bentakan Demang Jlagran.
Akan tetapi sebelum Demang Jlagran dapat merebut kantong kulit Sujud, tiba-tiba seorang bermuka bengis serta bercambang bawuk yang lengannya kutung sebelah, menyerang dengan sebuah tendangan yang tepat mengenai tangan kanan Demang Jlagran yang sedang memegang keris.
Serangan tendangan itu sangat keras dan datangnya secepat kilat dalam gerak bentuk jurus “jlontrotan" atau tendangan dari jarak jauh yang dilancarkan sambil meloncat, Keris lepas dari genggaman dan terpental jatuh ditanah dalam jarak tiga langkah dari pemiliknya.
Menanggapi serangan yang tiba tiba itu, Demang Jlagran berseru terkejut. Ia meloncat surut kebelakang sambil melepaskan tangan Sujud yang tadi dipegangnya. Ternyata orang bertangan satu itu sangat tangkas gerakannya. Serangan tinjunya menyusul menerjang kepala Demang Jlagran yang sedang surut kebelakang dan belum sampai berpijak di tanah. Terkena pukulan tinju dikepalanya, Demang Jlagran merasa pusing dan pandangannya berkunang-kunang, untuk kemudian terguling di tanah.
Sujud yang sedang jatuh tertelungkup, setelah merasa tangannya terlepas dari pegangan Demang Jlagran, cepat bergerak untuk bangkit, tetapi sebelum dapat berdiri tegak, tengkuknya telah terpukul oleh orang yang bertangan satu, dengan pukulan tebangan telapak tangan. Tanah yang dipijaknya dan orang-orang yang berada disekelilingnya dirasakan berputaran, pandangannya kabur dan berkunang kunang.
Dengan tidak terasa ia jatuh terkulai kembali dan tidak sadarkan diri. Orang-orang semula mengira bahwa penyerang Demang Jlagran yang bertangan satu itu adalah orang tuanya daripada anak tanggung ataupun pengasuhnya. Tetapi dugaannya meleset. Mereka hanya berdiri ternganga, tidak tahu apa kehendak orang bertangan satu. Sebelum orang-orang dapat berbuat sesuatu dan Demang Jlagranpun belum bangkit kembali, orang bertangan satu telah rnenyambar badan Sujud dan menaruhnya dipundak kiri, untuk kemudian melesat berlari sambil menggendong Sujud, meninggalkan lapangan.
Pada saat orang bertangan satu tadi melesat melarikan diri, Demang Jlagran telah bangkit kembali dan lari mengejar, sambll berseru kepada kawan-kawannya:
“Kejar dan tangkap si tangan bunting”.
Empat orang segera mengikuti lari serentak, ikut mengejar larinya orang yang bertangan satu yang membawa sujud dalam pondongannya. Akan tetapi berat badan Sujud diatas pundaknya, seakan-akan tidak mempengaruhi kecepatan larinya yang bagaikan berkelebatnya bayangan. Waktu yang hanya sejenak, kiranya telah cukup bagi orang yang bertangan satu itu, untuk membuat jarak dengan para pengejar cukup jauh. Sehingga tidak mungkin para pengejar dapat menangkapnya.
Waktu itu senja baru saja berlalu dan hari mulai gelap samar-samar. Awan yang menggantung diangkasa kian lama, semakin tebal dan sinar cahaya berkedipnya bintang bintang, kini tidak mampu menembus awan gelap yang demikian tebalnya. Gelap samar-samar kini berubah menjadi gelap gulita, hingga sukar untuk membeda-bedakan bentuk benda yang hampir sama besarnya.
Mungkin karena pakaian yang dikenakan demikian mewah dan menyolok, maka para pedagang yang berjalan berpapasan selalu membuang waktu sesaat untuk mengamat-amati dengan cermat kearah Sujud. Ada pula diantara mereka yang membungkukkan badannya, sewaktu berpapasan. Jelas bahwa pakaian yang dikenakan menarik perhatian bagi yang melihat.
Mereka berbisik-bisik, mempercakapkan tentang Sujud dengan pendapat dan tafsiran masing-masing. Kini sang surya mulai mengintai dari kejauhan di sebelah timur. Cahaya warna merah lembayung membiasi alam semesta, Bintang fajarpun telah lenyap tersapu pancaran cahaya lembayung yang membara. Tanda fajar telah mulai menyingsing. Dengan lambat, sedikit demi sedikit sang surya menampakkan seluruh tubuhnya.
Dan cahaya merah lembayungpun pelan-pelan menjadi cahaya terang benderang. Hari kini telah berganti pagi. Burung-burung berlintasan diangkasa dari segenap penjuru, sambil bersiul-siul dengan nada dan iramanya sendiri-sendiri, menambah indahnya suasana alam diwaktu pagi. Para petani telah berangkat pula menuju kesawahnya masing-masing dengan membawa alat-alat pertanian, seperti badik, cangkul dll, untuk mengolah tanahnya.
Sujud masih saja terus berjalan, menyusuri tanggul Bengawan ke hulu. la masih ingat, bahwa dengan menyusuri kali Bengawan, ia dapat tiba di Ngawi sebuah desa kecil yang dahulu pernah tinggal dengan orang tua angkatnya, Kyai Tunggul. la masih ingat pula kepada Martiman dan Martinem, dua kanak-kanak yang telah kehilangan ayahnya. Kini tujuannya akan berkunjung kedesa Trinil, dimana kedua anak-anak itu bertempat tinggal bersama ibunya.
Setelah menemukan tujuan pasti, kini kegelisahan dan kerisauan hatinya menjadi berkurang. Dan perlahan-lahan ia menjadi sadar kembali akan apa yang telah diperbuatnya. Ia ketawa geli sendiri, setelah memperhatikan pakaian yang demikian mewah yang dikenakannya. Tidak heranlah apabila tiap orang yang berpapasan selalu memperhatikan padanya.
Ia berhenti dan duduk sejenak dibawah pohon dipinggir tanggul untuk membuka bajunya serta melipatnya untuk kemudian disimpan dalam kantong kulitnya. Demikian pula sepasang gelang dan timang ikat pinggangnya dimasukkan kedalam kantong itu. Kini ia hanya tinggal mengenakan celana dan berkain sarung saja, sedangkan badannya dibiarkan telanjang begitu saja. Tanda tai lalat sebesar ibu jari warna merah kehitaman, nampak jelas di lengan kirinya.
Pada malam harinya ia mengaso digardu tempat orang meronda, dan pagi-pagi buta ia berangkat melanjutkan perjalanannya kembali. Panas teriknya sang surya yang memancar dari ketinggian diatas kepala membuat ia sangat letih dan peluhnya dirasa kan telah membasahi badannya. Perutnya terasa sangat lapar, namun ia tidak perlu kuatir, karena uang yang dibekalnya cukup banyak untuk membeli makanan dalam perjalanan. la menoleh kekanan kiri mencari warung perdesan disekitarnya.
Tiba-tiba dilihatnya banyak orang yang sedang berkerumun, berjongkok mengitari lapangan di pinggir sebuah desa yang berada dibawah tanggul sebelah selatan. Suara sorak sorai yang riuh ramai terdengar dari kejauhan. Setelah ia mendekati, ternyata orang-orang itu sedang asyik mengadu ayam jantan dengan bertaruh uang. Orang-orang yang berjualan makananpun banyak pula berada disekitar lapangan itu.
Sujud segera duduk ditempat orang yang jualan gulai kambing dan makan nasi gulai dengan lahapnya. Setelah membayar makanan yang telah dipesannya, ia bangkit dan berjalan mendekati tempat orang-orang yang sedang mengadu ayam. Ia bermaksud ingin melihat dari dekat sebentar sambil mengaso. Ia turut pula duduk berjongkok, mengikuti para botoh yang sedang mengadu untung.
Gelak tawa dan sorak sorai orang-orang yang mempunyai harapan menang dalam bertaruh, bercampur dengan cacian dan gumaman orang-orang yang merasa tipis akan kemenangannya, untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat. Bahkan diantara mereka para botoh telah ada yang menghitung-hitung kerugian yang akan dideritanya.
“Ayo, siapa berani lawan taruhan!!!. Sepuluh duabelas”. Teriak seorang yang bertubuh pendek hitam dengan mukanya kasar penuh jerawat.
“Sepuluh tiga belas!!!”. Jawab seorang didepannya dengan suara lantang. “Dan saya pegang atas, siapa berani?” ia melanjutkan bicaranya untuk menantang taruhan pada orang-orang disekitarnya.
Seorang tampan dan berpakaian rapih menyahut dengan suara tak kalah lantangnya. “Jika ada yang berani mengapit, berapa saja pasti akan kulayani”. Suaranya sangat berpengaruh, ternyata orang-orang banyak segan menghadapi tantangannya, sungguhpun jika ada yang berani mengapit tidak akan menderita kekalahan.
“Biar hancur aku akan tetap bertaruh pada ayamku sendiri! Ayo........ siapa berani mengapit?” Ia mengulang tantangannya, dengan muka yang merah padam, menekan rasa marah karena telah menderita kekalahan tidak sedikit jumlahnya.
Ternyata pertarungan ayam jantan yang sedang berlangsung itu kelihatan berat sepihak, tidak seimbang. Ayam jantan yang berulas wiring gading kuning keemas-emasan telah kehabisan tenaga dan hanya menunduk menerima patokan dan pukulan taji yang bertubi-tubi dari ayam jantan yang berulas warna hitam kemerah-merahan, yang lazimnya disebut wido, sebagai lawannya.
Akan tetapi ayam yang berulas wiring gading itu ternyata memang mempunyai daya tahan yang sangat kuat. Ia tetap tidak mau lari meninggalkan gelanggang, walaupun sudah tak dapat lagi membalas serangan lawanya. Kepala dan sayapnya telah berlumuran darah. Sebentar-sebentar kepalanya menyelinap dibawah sayap lawan, untuk menghindari patokan yang bertubi-tubi. Lima enam orang kini sedang berkumpul untuk merundingkan tentang tantangan bertaruh yang baru saja diucapkan orang tampan itu.
“Kang Wongso, berapa masih sisa uangmu seluruhnya?” seorang diantara yang berkumpul dan bertubuh pendek bertanya.
“Dua puluh uang perak”, jawabnya, sambiI mengawasi jalannya pertarungan yang masih bertangsung.
“Bari…… Berapa uangmu semua?” tanya orang yang bertubuh pendek hitam itu pula.
“Ada, kalau hanya lima puluhan uang perak saja”. Jawab Bari sambil menunjukkan uang perak yang segera dari kantongnya serta ditunjukkan seraya bertanya. “Dan kau sendiri, berapa kau mau bertaruh. Jo?” Orang hitam yang penuh dengan jerawat dimukanya itu terkenal dengan namanya Arjo Gepeng. la seorang saudagar hasil bumi di Bojonegoro yang terkenal kaya.
“Sekali ini aku akan menebus kekalahanku”, kata Arjo Gepeng dengan nada mantap, seakan-akan ia pasti akan menang. “Uangku semua akan kutaruhkan untuk melawan tantangan Den Demang Jlagran. Biar ia hancur betul-betul, seperti apa yang dikehendakinya sendiri”, katanya melanjutkan.
“Siapa lagi mau ikut menumpang pada taruhanku?” Setelah ia menghitung-hitung semua milik uangnya dan uang orang-orang yang ikut bertaruh dipihaknya, ia segera menongolkan kepalanya, serta berseru lantang, “Den Demang….. Tantanganmu aku terima. Lima puluh uang mas dan aku pegang atas!!!”.
“Jadi!!!” Jawab orang tampan tadi dengan suara lantang dan sombong.
Dialah yang dipanggil dengan sebutan Den Demang. Memang sesungguhnya ia adalah Demang dari desa Jlagran dan lazimnya orang-orang menamakan dirinya Den Demang Jlagran. Ia adalah orang yang berpengaruh dan terkenal pemberani yang selalu gemar membuat keributan. Bahkan tidak sedikit, orang yang mengetahui bahwa Den Demang Jlagran adalah orang yang mempunyai pengaruh dikalangan para penjahat. Iapun terkenal pula mempunyai ilmu kekebaIan.
“Awas!!! Jangan mengingkari!!! Mana uangmu!!!”. Bentaknya sombong.
Tetapi Aryo Gepeng kiranya bukan orang yang baru saja terjun digelanggang adu ayam. Dengan cepat ia menyahut sambil ketawa mengejek.
“Hahaha…… seharusnya malah aku yang bertanya, mana uangrnu!!?” Mendengar suara Arjo Gepeng diiringi pula dengan tawa mengejek itu, Demang Jlagran kelihatan merah padam mukanya. Serta menjawab dengan mata melotot:
“Bangsat Gepeng!!! Ni Uangku!!!” Berkata demikian sambil melemparkan uangnya segenggam, berupa uang perakan dan beberapa uang emas kearah Aryo Gepeng. Tetapi terang bahwa uang yang dilemparkan itu tidak akan lebih nilainya dari sepuluh uang emas.
“Awas!!. Siapa berani mengambil akan kuhancurkan kepalanya!!” ia melanjutkan gertakannya.
Uang jatuh bergemerincingan ditanah dan menggelinding tersebar di bawah para penonton. Diantaranya ada pula yang berada didekat Sujud berjongkok. Akan tetapi tidak seorangpun yang berani memungutnya. Mereka pada umumnya jeri menghadapi marahnya Den Dernang Jlagran.
Suasana menjadi tambah gaduh dan perhatian para penonton kini terpecah menjadi dua. Sebagian masih tetap berpusat pada pertarungan ayam yang masih berlangsung, dan sebagian lagi terpusat pada Demang Jlagran yang sedang melampiaskan kemarahannya dengan kata-kata yang kasar dan lantang.
Tiba-tiba para penonton serentak bersorak ramai dan masing-masing mengeluarkan seruan penuh rasa girang, karena mendengar berkeyoknya ayam jantan berulas wiring gading, terkena pukulan taji dikepalanya dengan tepat dan segera lari menghindari ayam lawannya wido.
Suatu tanda bahwa ayam wido telah memenangkan pertarungan. Tetapi belum pula para penonton mengakhiri sorak sorainya, tiba-tiba Demang Jlagran meloncat ketengah lapangan dan menendang ayam wido yang sedang berkokok karena kemenangannya. Dengan tendangan kaki kanan yang tepat, ayam wido terkapar berkelojotan, untuk kemudian tidak bernafas. Kini keadaan menjadi semakin kacau balau.
“Hai, Demang Jlagran!!”. seru Aryo Gepeng sambil maju menghadapi Demang Jlagran. “Jangan mentang-mentang kau seorang Demang, dapat berbuat semena-mena, menurut kehendak nafsumu sendiri!!”
“Berani menendang ayamnya, tentu aku berani pula menghadapi pemiliknya Ayo!! Siapa saja yang merasa tidak puas, boleh maju serentak, untuk menerima pembagian tinjuku!!!” Demang Jlagran menentang orang-orang yang hadir dengan pandangan mata yang berapi api sambil menuding-nudingkan telunjuknya kearah Arjo Gepeng dan kawan kawannya.
Lima enam orang segera maju serentak dan menyerang Dernang Jlagran dengan pukulan dan tendangan yang dahsyat. Tetapi Demang Jlagran telah siap menghadapi pengeroyokan dari orang orang yang dipimpin Aryo Gepeng. Dengan tangkasnya ia meloncat selangkah kesamping kanan untuk menghindari serangan lawannya sambil mengirim pukulan dengan telapak tangan kirinya ketengkuk salah seorang lawan pengeroyoknya.
Seorang yang terkena pukulan segera jatuh tertelungkup dan tak sadarkan diri. Melihat keadaan demikian, Aryo Gepeng segera menerjang maju dengan gerakan jurus tendangan berangkai kearah lambung kiri. Dan kembali lagi Demang Jlagran menunjukkan ketangkasannya yang mentakjubkan. Ia tidak meloncat menghindari, tetapi malah menyambut tendangan lawan dengan pukulan siku tangannya yang segera disusul dengan serangan tebangan telapak tangannya kearah pinggang Aryo Gepeng.
Benar benar gerakan tangkisan Demang Jlagran ini merupakan jurus pengunci serangan lawan yang dahsyat. Tidak ayal Aryo Gepeng jatuh terlentang ditanah dan bergulingan menghindari datangnya serangan rangkaian. Keributan ternyata meluas. karena para botoh yang kalah sebagian besar tidak mau membayar taruhannya mengikuti jejak Demang Jlagran.
Dengan demikian maka perkelahian seru segera terjadi dalam kalangan. Sebagian lagi masih juga ada yang hanya bertarung Iidah, dengan lontaran kata kata makian yang kasar. Sujud masih juga berdiri dengan mulut ternganga demi melihat keributan yang sedang berlangsung, dengan tangannya memegang erat-erat pada kantong kulitnya yang tergantung dipinggangnya.
Orang-orang yang tidak mau terlibat dalam perkelahian segera meninggalkan lapangan, dan orang orang yang berjualan, segera mengumpulkan dagangannya untuk dibawa menyingkir menjauhi tempat keributan, takut keterjang orang yang sedang berkelahi. Jeritan yang terluka susul-menyusul bercampur aduk dengran suara cacian dan sumpahan, serta seruan panggilan tertuju pada orang yang melarikan barang ataupun uang yang bukan miliknya.
Empat orang pengikut Aryo Gepeng serentak menerjang Demang Jlagran dengan bersenjata tajam ditangannya masing masing. Dua orang bersenjatakan golok panjang, seorang bersenjatakan parang arit, sedangkan yang seorang lagi bersenjatakan keris. Serangan serentak yang berlawanan arah, keleher, dada dan Iambung, merupakan serangan maut yang sangat berbahaya bagi Demang Jlagran.
Namun lawannya adalah Demang Jlagran bekas murid Tambakraga yang telah mempunyai pengalaman luas. la berseru nyaring sambil melesat meloncat surut ke belakang satu langkah menghindari semua serangan dan seraya menghunus kerisnya, serta kembali meloncat menerjang kedepan dalam jurusnya “serangan tusukan berperisai”.
Tangan kirinya merupakan gerakan sampokan sebagai perisai, sedangkan keris terhunus ditangan kanannya meluncur secepat kilat dan bersarang pada lambung kiri lawan yang terlambat mengelak. Jerit ngeri terdengar.
Darah menyembur dari Iambung kiri karena kena tusukan keris Demang Jlagran. Seorang pengeroyok tadi terkulai di tanah dan tak bernapas lagi. Demi melihat salah seorang kawannya mati terkena tusukan keris Demang Jlagran, mereka segera meloncat surut kebelakang dua langkah, untuk kemudian menjauhi lawannya karena merasa jeri.
“Ayo…… siapa yang akan menuntut bela, ini Demang Jlagran!!” Berkata demikian Demang Jlagran sambil menginjak dengan kaki kirinya ketubuh orang yang telah menjadi mayat tadi, dengan mata yang bernyala nyala.
Orang-orang lari tunggang langgang meninggalkan lapangan. Takut akan mengamuknya Demang Jlagran yang telah terkenal kebal dan bersifat kejam.
Demikian pula Sujud tidak ketinggalan pula. Melihat kejadian yang ngeri itu, ia tak tahan dan menutup matanya dengan kedua tangan, sambil membalikkan badan akan meninggalkan tempat keributan itu. Tetapi tiba ttba Demang Jlagran dengan tangkas meloncat dan menghadangnya, serta merebut kantong kulit yang tergantung pada pinggangnya dengan tangan kiri, sambal membentak lantang.
“Hai, serahkan kantongmu yang bagus itu, akan kuperiksa isinya!” Dengan tak menjawab Sujud memukul pergelangan tangan kiri Demang Jlagran sambil meloncat kesamping kanan, untuk mempertahankan kantong miliknya yang erat-erat tergantung pada ikat pinggangnya.
Demang Jlagran terkejut. Dilepaskanlah pegangan tangan kirinya pada kantong kulit, sambil berseru.
“Bangsat…. Anak bedebah….. Berani kau menentang, heh…..” Berkata demikian Demang Jlagran menerjang ke arah Sujud sambil melancarkan serangan tinju ke arah pelipisnya.
Cepat Sujud menundukkan kepala menghindari serangan tinju yang hampir bersarang pada pelipisnya, sambil berusaha untuk lari menjauhi orang yang sedang kalap. Akan tetapi belun juga ia dapat melangkahkan kakinya untuk rnenghindar, kaki Demang jlagran telah menerjang dengan gerakan jurus berpusing menutup langkah lawan. Sambil berjongkok diatas kaki kiri, kaki kanannya berputar menyerampang kaki Sujud yang akan melangkah lari. Tak ayal lagi. Sujud segera jatuh tersungkur dan kepalanya terbentur batu di tanah. Kiranya serangan itu tidak hanya berbenti sampai disitu. Pergelangan tangan Sujud yang masih dalam keadaan jatuh tersungkur, cepat dicengkeram dengan tangan kiri. Ujung keris ditangan kanannya ditempelkan kepunggung Sujud, sambil membentak,
“Tidak peduli kau anak setan jika kau berani bergerak, kerisku akan menembus sampai kedadamu!!! Ayo serahkan kantong kulitmu!!!”
Dalam keadaan demikian, Sujud diam tak berani bergerak. Namun ia tetap berkeras kepala tidak mau menyerahkan kantong kulitnya dan tidak mau menjawab bentakan Demang Jlagran.
Akan tetapi sebelum Demang Jlagran dapat merebut kantong kulit Sujud, tiba-tiba seorang bermuka bengis serta bercambang bawuk yang lengannya kutung sebelah, menyerang dengan sebuah tendangan yang tepat mengenai tangan kanan Demang Jlagran yang sedang memegang keris.
Serangan tendangan itu sangat keras dan datangnya secepat kilat dalam gerak bentuk jurus “jlontrotan" atau tendangan dari jarak jauh yang dilancarkan sambil meloncat, Keris lepas dari genggaman dan terpental jatuh ditanah dalam jarak tiga langkah dari pemiliknya.
Menanggapi serangan yang tiba tiba itu, Demang Jlagran berseru terkejut. Ia meloncat surut kebelakang sambil melepaskan tangan Sujud yang tadi dipegangnya. Ternyata orang bertangan satu itu sangat tangkas gerakannya. Serangan tinjunya menyusul menerjang kepala Demang Jlagran yang sedang surut kebelakang dan belum sampai berpijak di tanah. Terkena pukulan tinju dikepalanya, Demang Jlagran merasa pusing dan pandangannya berkunang-kunang, untuk kemudian terguling di tanah.
Sujud yang sedang jatuh tertelungkup, setelah merasa tangannya terlepas dari pegangan Demang Jlagran, cepat bergerak untuk bangkit, tetapi sebelum dapat berdiri tegak, tengkuknya telah terpukul oleh orang yang bertangan satu, dengan pukulan tebangan telapak tangan. Tanah yang dipijaknya dan orang-orang yang berada disekelilingnya dirasakan berputaran, pandangannya kabur dan berkunang kunang.
Dengan tidak terasa ia jatuh terkulai kembali dan tidak sadarkan diri. Orang-orang semula mengira bahwa penyerang Demang Jlagran yang bertangan satu itu adalah orang tuanya daripada anak tanggung ataupun pengasuhnya. Tetapi dugaannya meleset. Mereka hanya berdiri ternganga, tidak tahu apa kehendak orang bertangan satu. Sebelum orang-orang dapat berbuat sesuatu dan Demang Jlagranpun belum bangkit kembali, orang bertangan satu telah rnenyambar badan Sujud dan menaruhnya dipundak kiri, untuk kemudian melesat berlari sambil menggendong Sujud, meninggalkan lapangan.
Pada saat orang bertangan satu tadi melesat melarikan diri, Demang Jlagran telah bangkit kembali dan lari mengejar, sambll berseru kepada kawan-kawannya:
“Kejar dan tangkap si tangan bunting”.
Empat orang segera mengikuti lari serentak, ikut mengejar larinya orang yang bertangan satu yang membawa sujud dalam pondongannya. Akan tetapi berat badan Sujud diatas pundaknya, seakan-akan tidak mempengaruhi kecepatan larinya yang bagaikan berkelebatnya bayangan. Waktu yang hanya sejenak, kiranya telah cukup bagi orang yang bertangan satu itu, untuk membuat jarak dengan para pengejar cukup jauh. Sehingga tidak mungkin para pengejar dapat menangkapnya.
Waktu itu senja baru saja berlalu dan hari mulai gelap samar-samar. Awan yang menggantung diangkasa kian lama, semakin tebal dan sinar cahaya berkedipnya bintang bintang, kini tidak mampu menembus awan gelap yang demikian tebalnya. Gelap samar-samar kini berubah menjadi gelap gulita, hingga sukar untuk membeda-bedakan bentuk benda yang hampir sama besarnya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment