Pragola diatur agar mau melaporkan seolah-olah belasan perwira Pakuan tak bisa kembali karena jalan menuju lereng diblokade pasukan Cirebon. Belasan perwira harus kembali dikirim untuk menyelamatkan mereka yang terkepung. Ini adalah taktik untuk mengundang macan keluar. Orang-orang handal dari Pakuan harus keluar agar pada saatnya Pakuan diserbu Cirebon, di sana sudah tak ada kekuatan lagi.
Namun seperti sudah disebutkan tadi di atas, sebetulnya tak seluruh ucapan Pragola bohong. Belasan tahun silam, tepat di hari belasan perwira Pakuan tiba di lereng Cakrabuana, ada pasukan lain yang juga tiba di sana. Khabar menyebutkan, itu adalah pasukan yang dikirim Arya Damar, salah seorang Pangeran di Cirebon dan yang juga pernah menjadi mertua Pangeran Yudakara.
Tujuan mereka sama, yaitu hendak memerangi Ki Darma dan sekalian merebut tombak pusaka Cuntangbarang. Namun seperti juga nasib pasukan Pakuan, pasukan Cirebon pun sama tak didengar lagi khabar beritanya. Orang hanya menduga-duga, kedua pasukan itu terlibat pertempuran di lereng dan saling bantai di antara mereka. Ada juga yang menduga, semua pasukan, baik dari Pakuan mau pun dari Cirebon sebetulnya habis dibantai Ki Darma.
Hal ini mungkin terjadi sebab Ki Darma adalah orang terjepit. Oleh Cirebon dia dimusuhi sebab ketika terjadi perang dengan Pakuan ketika dirajai Prabu Surawisesa (1527-1543 M) Ki Darma adalah perwira handal yang banyak menewaskan prajurit Cirebon. Orang Cirebon benci terhadap Ki Darma. Sebaliknya, orang Pakuan pun memendam perasaan tak enak sebab KI Darma yang gemar mengkritik Raja dianggap pemberontak. Dan sungguh ironis, Ki Darma dituding pengkhianat karena menolak perang.
Pragola tidak mendapatkan keterangan yang rinci sebab berita itu hanya datang secara simpang-siur. Kalau bukan datang dari mulut ke mulut, tentu hanya bisa didapatkan melalui kisah-kisah Ki Juru pantun yang membawakan cerita itu melalui dendang dan lantunan lagu diiringi dawai-dawai kecapi. Hanya dari percakapan para anak buahnya yang mengabarkan bahwa Pangeran Yudakara menjadi satu-satunya saksi pertemuan pasukan Cirebon dan Pakuan di lereng Cakrabuana. Namun Pangeran Yudakara sendiri tak pernah bicara apa pun padanya.
Pragola tiba di lereng bukit pada dini hari. Bulan tersembul di langit sebelah barat dan cahayanya amat pucat. Namun kendati begitu, cukup untuk menerangi lereng yang lebat ditumbuhi pohon pinus. Tak ada kehidupan di sana kecuali suara binatang malam. Namun ketika Pragola semakin naik ke lereng, sayup-sayup didengarnya suara lantunan orang. Melantunkan apa dan di mana? Pragola memicingkan mata melihat ke sebuah lembah. Remang-remang terlihat ada kerlap-kerlip cahaya pelita. Ada rumahkah di sana?
Pragola mencoba menuruni lembah dengan hati-hati. Dia tak ingin mengejutkan penghuni rumah gubuk yang atapnya terbuat dari susunan ijuk itu. Setelah agak dekat, pemuda itu, pemuda baru tahu bahwa di sana ada orang tengah melantunkan ayat-ayat suci dari agama baru. Lantunan itu sungguh merdu dan terasa membelah kalbu memberi ketenangan, padahal Pragola tak tahu maknanya.
Pragola tergerak dan ingin sekali tahu, siapa yang melantunkan ayat-ayat itu pada dini hari yang dingin seperti ini. Dia semakin dekat ke pekarangan gubuk itu.
“Lantunan ayat-ayat sucimu enak didengar,” terdengar satu suara di dalam sana.
Si pelantun ayat berhenti sejenak. “Kalau engkau sudah mengerti isinya, maka bukan enak didengar, melainkan meresap ke dalam hati sanubari, menciptakan rasa damai dan mengenyahkan kerisauan,” tutur suara lain.
Pragola menduga, suara ini tentu yang tadi melantunkan ayat suci.
“Aku tidak menyuruhmu, hanya ingin mengatakan saja bahwa aku betah dalam agamaku karena kedamaian,” tutur si pelantun.
Terdengar tawa kecil sebagai jawaban dari perkataan tadi. “Aku percaya omonganmu. Tapi tentu saja banyak kedamaian dari sejauh apa kita mendapatkannya,”
“Dari mana engkau mendapatkan kedamaian itu?” tanya si pelantun.
Tak ada jawaban langsung, kecuali terdengar suara serak melantunkan tembang. Syair lantunannya amat mengejutkan Pragola sebab dia pernah dengar sebelumnya.
Namun seperti sudah disebutkan tadi di atas, sebetulnya tak seluruh ucapan Pragola bohong. Belasan tahun silam, tepat di hari belasan perwira Pakuan tiba di lereng Cakrabuana, ada pasukan lain yang juga tiba di sana. Khabar menyebutkan, itu adalah pasukan yang dikirim Arya Damar, salah seorang Pangeran di Cirebon dan yang juga pernah menjadi mertua Pangeran Yudakara.
Tujuan mereka sama, yaitu hendak memerangi Ki Darma dan sekalian merebut tombak pusaka Cuntangbarang. Namun seperti juga nasib pasukan Pakuan, pasukan Cirebon pun sama tak didengar lagi khabar beritanya. Orang hanya menduga-duga, kedua pasukan itu terlibat pertempuran di lereng dan saling bantai di antara mereka. Ada juga yang menduga, semua pasukan, baik dari Pakuan mau pun dari Cirebon sebetulnya habis dibantai Ki Darma.
Hal ini mungkin terjadi sebab Ki Darma adalah orang terjepit. Oleh Cirebon dia dimusuhi sebab ketika terjadi perang dengan Pakuan ketika dirajai Prabu Surawisesa (1527-1543 M) Ki Darma adalah perwira handal yang banyak menewaskan prajurit Cirebon. Orang Cirebon benci terhadap Ki Darma. Sebaliknya, orang Pakuan pun memendam perasaan tak enak sebab KI Darma yang gemar mengkritik Raja dianggap pemberontak. Dan sungguh ironis, Ki Darma dituding pengkhianat karena menolak perang.
Pragola tidak mendapatkan keterangan yang rinci sebab berita itu hanya datang secara simpang-siur. Kalau bukan datang dari mulut ke mulut, tentu hanya bisa didapatkan melalui kisah-kisah Ki Juru pantun yang membawakan cerita itu melalui dendang dan lantunan lagu diiringi dawai-dawai kecapi. Hanya dari percakapan para anak buahnya yang mengabarkan bahwa Pangeran Yudakara menjadi satu-satunya saksi pertemuan pasukan Cirebon dan Pakuan di lereng Cakrabuana. Namun Pangeran Yudakara sendiri tak pernah bicara apa pun padanya.
Pragola tiba di lereng bukit pada dini hari. Bulan tersembul di langit sebelah barat dan cahayanya amat pucat. Namun kendati begitu, cukup untuk menerangi lereng yang lebat ditumbuhi pohon pinus. Tak ada kehidupan di sana kecuali suara binatang malam. Namun ketika Pragola semakin naik ke lereng, sayup-sayup didengarnya suara lantunan orang. Melantunkan apa dan di mana? Pragola memicingkan mata melihat ke sebuah lembah. Remang-remang terlihat ada kerlap-kerlip cahaya pelita. Ada rumahkah di sana?
Pragola mencoba menuruni lembah dengan hati-hati. Dia tak ingin mengejutkan penghuni rumah gubuk yang atapnya terbuat dari susunan ijuk itu. Setelah agak dekat, pemuda itu, pemuda baru tahu bahwa di sana ada orang tengah melantunkan ayat-ayat suci dari agama baru. Lantunan itu sungguh merdu dan terasa membelah kalbu memberi ketenangan, padahal Pragola tak tahu maknanya.
Pragola tergerak dan ingin sekali tahu, siapa yang melantunkan ayat-ayat itu pada dini hari yang dingin seperti ini. Dia semakin dekat ke pekarangan gubuk itu.
“Lantunan ayat-ayat sucimu enak didengar,” terdengar satu suara di dalam sana.
Si pelantun ayat berhenti sejenak. “Kalau engkau sudah mengerti isinya, maka bukan enak didengar, melainkan meresap ke dalam hati sanubari, menciptakan rasa damai dan mengenyahkan kerisauan,” tutur suara lain.
Pragola menduga, suara ini tentu yang tadi melantunkan ayat suci.
“Aku tidak menyuruhmu, hanya ingin mengatakan saja bahwa aku betah dalam agamaku karena kedamaian,” tutur si pelantun.
Terdengar tawa kecil sebagai jawaban dari perkataan tadi. “Aku percaya omonganmu. Tapi tentu saja banyak kedamaian dari sejauh apa kita mendapatkannya,”
“Dari mana engkau mendapatkan kedamaian itu?” tanya si pelantun.
Tak ada jawaban langsung, kecuali terdengar suara serak melantunkan tembang. Syair lantunannya amat mengejutkan Pragola sebab dia pernah dengar sebelumnya.
Hidup banyak menawarkan sesuatu
Namun bila salah memilihnya
Maka kita adalah orang-orang yang kalah
“Brakk!!!”
Pragola mendorong pintu gubuk sehingga berantakan. Penghuninya, dua orang kakek-kakek yang diperkirakan usianya lebih delapan puluh tahun hanya sedikit menganga heran tanpa beranjak dari duduknya. Pragola melihat kesana-kemari seperti mencari sesuatu.
“Hai, apa yang kau cari anak gendeng?” tanya salah satu dari kakek itu.
“Mana Ginggi?” teriak Pragola.
“Ginggi? Tak ada anak bengal itu di sini!” jawab si kakek berambut putih yang tergelung rapih di atas.
“Barusan aku dengar lantunan tembangnya. Yang menembang seperti itu hanya Ginggi!” kata Pragola dengan nada tinggi tak mengenal sopan-santun.
Pragola sendiri merasa aneh, mengapa dia bisa bertingkah kasar di hadapan orang-orang tua seperti ini. Namun yang lebih aneh lagi, kedua orang tua itu sedikit pun tak merasa tersinggung oleh sikapnya.
“Enak saja engkau bicara. Siapa bilang lantunan itu milik si Ginggi? Anak bawel itu hanya meniru-niru aku sebab tembang itu aku yang punya. Sejak zaman Surawisesa puluhan tahun silam aku sudah biasa melantunkan tembang itu,” kata kakek berambut perak yang riap-riapan.
“Engkau siapa kakek?” tanya Pragola.
“Hehehe…! Begitu entengnya bocah gendeng ini bertindak-tanduk. Tiba-tiba datang mendobrak pintu, lantas tanya itu tanya ini. Jayaratu, jawablah, barangkali bocah ini dulunya anak buahmu juga,” kata kakek berambut riap-riapan itu tanpa melirik ke arah Pragola.
“Mendengar logat lidahmu, sepertinya engkau datang dari Cirebon, anak muda,” kata kakek yang disebut sebagai Jayaratu.
Pragola sebentar menahan napasnya karena merasa tegang. Nama Ki Jayaratu pernah dia dengar. Dulu puluhan tahun silam pernah terdengar ada pengikut Kanjeng Sunan dari Cirebon yang hilang di Cakrabuana, bersamaan dengan bentrokan antara pasukan Cirebon dan pasukan Pakuan di lereng gunung ini.
“Andakah Ki Jayaratu yang disebut-sebut puluhan tahun silam?” tanya Pragola dengan suara bergetar.
“Hehehe…! Tempat ini sudah terlalu mudah didatangi siapa pun. Harimau kumbang dan lodaya sudah tak sanggup mengusir pendatang. Engkau musti pindah makin ke atas, Jayaratu,” kata si kakek berambut riap-riapan.
“Aku tidak menjauhi keramaian sepertimu, Darma sebab agamaku harus diamalkan kepada banyak orang,” tutur Ki Jayaratu.
Semakin terkejut hati Pragola. Jadi kakek berambut riap-riapan ini adalah Ki Darma, tokoh tersohor yang banyak dibicarakan orang.
Pragola bingung, mana yang harus diperhatikan sebab kedua orang di hadapannya ini adalah orang-orang penting yang perlu diperhatikan. Ki Jayaratu banyak dibicarakan di Cirebon, sebagai seorang pandai yang lenyap begitu saja. Sedangkan Ki Darma sudah jelas hampir semua orang mengenal namanya. Kedua orang itu menjadi misterius sebab hilang bagaikan ditelan bumi. Hanya Pragola seorang kini yang sanggup membuktikan bahwa orang-orang penting ini berkumpul di sini.
“Ki Jayaratu, saya adalah utusan Cirebon, datang hendak membuat perhitungan dengan Ki Darma atau siapa pun yang punya kaitan dengan Pakuan,” kata Pragola.
Tapi kemudian Pragola bingung sendiri, mengapa musti bicara begitu. Padahal beberapa hari lalu dia sudah berkata undur diri dari urusan politik. Barangkali dia berkata begitu karena tahu Ki Jayaratu dulunya perwira Cirebon dan selalu berperang untuk negri dalam melawan Pajajaran. Dan apabila tak salah dengar, Ki Darma adalah musuh besar Ki Jayaratu.
“Hehehe…, kau hadapilah sendiri. Aku malas ketemu dengan orang-orang dungu macam ini,” tutur Ki Darma masih tertawa-tawa.
Entah bagaimana caranya, hanya secara tiba-tiba angin berdesir dan Ki Darma hilang dari pandangan.
“Ki Darma!” teriak Pragola. Dia hanya melongok keluar namun suasana dingin dan sepi. “Ki Jayaratu, tolonglah, saya ingin membalas dendam,” kata Pragola duduk bersila dan menyembah takzim.
Ki Jayaratu tersenyum dan mengelus-ngelus jenggotnya yang menjuntai dan memutih. “Kasihan sekali anak muda sudah demikian terlilit penderitaan,” gumam Ki Jayaratu.
“Yang membuat saya menderita adalah Ginggi, murid Ki Darma. Gara-gara dia maka guru saya Ki Sudireja tewas. Saya menderita karena hidup menjadi menderita dan terlunta-lunta. Tolonglah, ajari saya berbagai ilmu kepandaian agar saya bisa melawan Ginggi dan kalau mungkin melawan Ki Darma sebagai musuh Cirebon,” pinta Pragola.
Hanya dijawab oleh senyum tipis orang tua itu. “Mengapa berkata begitu kepadaku seolah-olah kau menganggap aku terlibat urusan seperti itu,” kata Ki Jayaratu.
“Bukankah dulu anda perwira Cirebon dan selalu melawan Pajajaran?”
“Kau katakan itu dulu. Sekarang tentu sudah tidak lagi,” jawab Ki Jayaratu.
“Tapi segalanya belum berubah. Cirebon masih tetap akan memerangi Pakuan. Saya adalah anak buah Pangeran Yudakara yang selalu berjuang untuk Cirebon,” jawab Pragola.
“Kasihan, semua orang menderita karena ambisi pribadi,”
“Mengapa anda katakan ini ambisi pribadi?” tanya pragola.
“Engkau hanya berambisi ingin membalas dendam kematian gurumu dan Yudakara pun berambisi untuk kepentingan dirinya. Yudakara itu pengkhianat. Dia bertindak sendiri tanpa sepengetahuan Cirebon. Cirebon kini tidak terlibat urusan politik. Tapi lebih menitik beratkan dalam pengembangan agama. Bagaimana mungkin Cirebon punya keinginan menyerang Pakuan padahal tak punya kekuatan militer?” tanya Ki Jayaratu.
“Tapi Pangeran Yudakara punya pasukan prajurit. Itu semua prajurit Cirebon,” kata Pragola.
“Bohong, tak ada prajurit Cirebon berkeliaran di wilayah Pajajaran. Kalau Yudakara punya kekuatan militer, itu tentu dihimpun sendiri olehnya. Yudakara ingin melanjutkan cita-cita kerabatnya yaitu Ki Sunda Sembawa yang dulu gagal melawan penguasa Pakuan. Seperti Sunda Sembawa, Yudakara pun punya ambisi merebut Pakuan dan dia ingin jadi raja di sana,” tutur Ki Jayaratu.
Pragola melengak mendengar keterangan ini. “Tapi anda tak pernah ke mana-mana, bagaimana mungkin bisa mengetahui peristiwa yang terjadi,” tanya Pragola.
“Tak ke mana-mana bukan berarti tak memiliki pengetahuan. Ki Darma punya murid bernama Ginggi yang kerjanya bertualang kesana-kemari. Aku pun banyak memiliki murid yang berpencar ke seantero Pajajaran untuk meluaskan agama baru. Mengapa aku tak bisa mendapatkan berita seperti itu?” Ki Jayaratu balik bertanya.
Pragola mengeluh dalam hatinya. Kalau benar begitu, jelas selama ini hidupnya terombang-ambing oleh permainan yang tak menguntungkan. Dalam hal ini Ki Manggala benar, dia sudah mencurigai bahwa gerakan Pangeran Yudakara tak utuh. Pragola dan Paman Manggala hanya mengabdi kepada orang yang berjuang untuk ambisi pribadi.
“Pulanglah ke rumahmu dan jangan terlibat ke dalam urusan yang tak penting benar,” kata Ki Jayaratu.
“Saya tak punya rumah. Kampung halaman saya di Caringin. Ayah saya seorang Cutak, tewas karena peperangan dengan orang Pajajaran kendati tak secara langsung. Namun hal ini tak mengurangi rasa benci saya terhadap Ginggi, atau siapa pun dari Pajajaran,” keluh Pragola.
“Repot sekali kalau setiap orang diracuni perasaan dendam dan benci. Semua orang bisa saling bunuh. Harap kau tahu, dulu aku punya murid bernama Purbajaya. Dia diutus Cirebon untuk menyelundup ke Pakuan. Muridku tewas oleh Ginggi. Tapi mengapa aku harus benci. Purbajaya berjuang untuk Cirebon dan Ginggi membela negrinya. Keduanya sedang menjalankan kewajibannya mempertahankan negaranya masing-masing. Dan kalau pun harus berbicara urusan hukum-menghukum, tanpa aku membalas dendam, Ginggi sendiri pun sudah merasa terhukum. Itulah pembunuhan satu-satunya yang pernah dia lakukan seumur hidupnya. Dan peristiwa itu terus membekas di hatinya hingga kini,” tutur Ki Jayaratu.
Pragola menghela napas. Pahit rasanya hidup ini. Tak ada orang yang mau mendengar keluh-kesahnya. Setiap bicara perihal kepahitan, setiap itu pula orang berkata perihal ketegaran dan kehebatan Ginggi. Akhirnya Pragola menyembah kepada orang tua itu dan beranjak hendak keluar.
“Saya akan ke puncak mencari Ginggi…” kata pragola pelan.
“Anak itu tak ada di sini,” kata Ki Jayaratu.
“Saya menguntit dia dan saya yakin dia ke puncak,”
“Benar, tadi malam dia ke puncak, tapi sesudah menitipkan sahabatnya yang terluka, dia segera turun gunung diperintah Ki Darma. Ada pekerjaan besar yang harus diselesaikan mereka di Pakuan,”
“Ginggi ke Pakuan?”
“Begitulah manusia dipermainkan nasib. Anak itu sudah ingin berhenti melibatkan diri di dunia ramai, namun nasib menghendaki lain. Hahaha…! Ki Darma itu tua bangkotan yang berperangai licik. Dia sendiri sudah tak ingin ikut campur urusan dunia tapi masih tak rela kalau negrinya diancam bahaya. Dia suruh muridnya untuk melaksanakan keinginannya. Dasar tua bangkotan munafik. Hahaha…“ kata Ki Jayaratu tertawa.
Hanya Pragola yang hatinya mengeluh. Dengan tubuh lunglai dia berdiri. Untuk kesekian kalinya dia menghormat ke arah Ki Jayaratu.
“Saya mohon diri, Aki…” kata Pragola.
“Katanya engkau ingin belajar di sini? Mari belajar di sini. Yang paling hebat di dunia ini bukan dendam tapi sinar keagamaan. Bila sinar agama memasuki jiwamu, maka dunia akan damai sebab benci dan dendam akan sirna,” kata Ki Jayaratu.
“Saya hanya ingin berangkat ke Pakuan, Aki…” gumam Pragola sesudah terdiam agak lama. ”Kalau sudah bertemu Ginggi barangkali kelak baru saya bisa ikut Aki di sini,” lanjutnya.
Ki Jayaratu hanya tersenyum tipis. “Ya Allah, aku hanya sanggup berusaha. Tapi yang menentukan keputusan adalah engkau jua,” gumam Ki Jayaratu menengadahkan kedua belah tangannya. Sesudah itu dia menatap Pragola. “Pada akhirnya hanya jalan pikiranmu yang membawamu. Hati-hatilah jangan sampai engkau salah langkah…“ tuturnya.
Pragola menatap sebentar. Kemudian dia membalikkan badan dan berlalu dari tempat itu. Dia kembali menuruni lereng gunung padahal daerah itu didakinya dengan susah-payah.
Ada suara ayam hutan berkokok. Ketika Pragola berjalan di tempat agak terbuka, suasana sudah terang tanah. Pragola terus berjalan menuruni lereng. Pelan tak beremangat. Dia harus kembali melakukan perjalanan jauh, pulang ke arah tempat semula, Pakuan. Entah apa yang dijalani kelak!
Namun bila salah memilihnya
Maka kita adalah orang-orang yang kalah
“Brakk!!!”
Pragola mendorong pintu gubuk sehingga berantakan. Penghuninya, dua orang kakek-kakek yang diperkirakan usianya lebih delapan puluh tahun hanya sedikit menganga heran tanpa beranjak dari duduknya. Pragola melihat kesana-kemari seperti mencari sesuatu.
“Hai, apa yang kau cari anak gendeng?” tanya salah satu dari kakek itu.
“Mana Ginggi?” teriak Pragola.
“Ginggi? Tak ada anak bengal itu di sini!” jawab si kakek berambut putih yang tergelung rapih di atas.
“Barusan aku dengar lantunan tembangnya. Yang menembang seperti itu hanya Ginggi!” kata Pragola dengan nada tinggi tak mengenal sopan-santun.
Pragola sendiri merasa aneh, mengapa dia bisa bertingkah kasar di hadapan orang-orang tua seperti ini. Namun yang lebih aneh lagi, kedua orang tua itu sedikit pun tak merasa tersinggung oleh sikapnya.
“Enak saja engkau bicara. Siapa bilang lantunan itu milik si Ginggi? Anak bawel itu hanya meniru-niru aku sebab tembang itu aku yang punya. Sejak zaman Surawisesa puluhan tahun silam aku sudah biasa melantunkan tembang itu,” kata kakek berambut perak yang riap-riapan.
“Engkau siapa kakek?” tanya Pragola.
“Hehehe…! Begitu entengnya bocah gendeng ini bertindak-tanduk. Tiba-tiba datang mendobrak pintu, lantas tanya itu tanya ini. Jayaratu, jawablah, barangkali bocah ini dulunya anak buahmu juga,” kata kakek berambut riap-riapan itu tanpa melirik ke arah Pragola.
“Mendengar logat lidahmu, sepertinya engkau datang dari Cirebon, anak muda,” kata kakek yang disebut sebagai Jayaratu.
Pragola sebentar menahan napasnya karena merasa tegang. Nama Ki Jayaratu pernah dia dengar. Dulu puluhan tahun silam pernah terdengar ada pengikut Kanjeng Sunan dari Cirebon yang hilang di Cakrabuana, bersamaan dengan bentrokan antara pasukan Cirebon dan pasukan Pakuan di lereng gunung ini.
“Andakah Ki Jayaratu yang disebut-sebut puluhan tahun silam?” tanya Pragola dengan suara bergetar.
“Hehehe…! Tempat ini sudah terlalu mudah didatangi siapa pun. Harimau kumbang dan lodaya sudah tak sanggup mengusir pendatang. Engkau musti pindah makin ke atas, Jayaratu,” kata si kakek berambut riap-riapan.
“Aku tidak menjauhi keramaian sepertimu, Darma sebab agamaku harus diamalkan kepada banyak orang,” tutur Ki Jayaratu.
Semakin terkejut hati Pragola. Jadi kakek berambut riap-riapan ini adalah Ki Darma, tokoh tersohor yang banyak dibicarakan orang.
Pragola bingung, mana yang harus diperhatikan sebab kedua orang di hadapannya ini adalah orang-orang penting yang perlu diperhatikan. Ki Jayaratu banyak dibicarakan di Cirebon, sebagai seorang pandai yang lenyap begitu saja. Sedangkan Ki Darma sudah jelas hampir semua orang mengenal namanya. Kedua orang itu menjadi misterius sebab hilang bagaikan ditelan bumi. Hanya Pragola seorang kini yang sanggup membuktikan bahwa orang-orang penting ini berkumpul di sini.
“Ki Jayaratu, saya adalah utusan Cirebon, datang hendak membuat perhitungan dengan Ki Darma atau siapa pun yang punya kaitan dengan Pakuan,” kata Pragola.
Tapi kemudian Pragola bingung sendiri, mengapa musti bicara begitu. Padahal beberapa hari lalu dia sudah berkata undur diri dari urusan politik. Barangkali dia berkata begitu karena tahu Ki Jayaratu dulunya perwira Cirebon dan selalu berperang untuk negri dalam melawan Pajajaran. Dan apabila tak salah dengar, Ki Darma adalah musuh besar Ki Jayaratu.
“Hehehe…, kau hadapilah sendiri. Aku malas ketemu dengan orang-orang dungu macam ini,” tutur Ki Darma masih tertawa-tawa.
Entah bagaimana caranya, hanya secara tiba-tiba angin berdesir dan Ki Darma hilang dari pandangan.
“Ki Darma!” teriak Pragola. Dia hanya melongok keluar namun suasana dingin dan sepi. “Ki Jayaratu, tolonglah, saya ingin membalas dendam,” kata Pragola duduk bersila dan menyembah takzim.
Ki Jayaratu tersenyum dan mengelus-ngelus jenggotnya yang menjuntai dan memutih. “Kasihan sekali anak muda sudah demikian terlilit penderitaan,” gumam Ki Jayaratu.
“Yang membuat saya menderita adalah Ginggi, murid Ki Darma. Gara-gara dia maka guru saya Ki Sudireja tewas. Saya menderita karena hidup menjadi menderita dan terlunta-lunta. Tolonglah, ajari saya berbagai ilmu kepandaian agar saya bisa melawan Ginggi dan kalau mungkin melawan Ki Darma sebagai musuh Cirebon,” pinta Pragola.
Hanya dijawab oleh senyum tipis orang tua itu. “Mengapa berkata begitu kepadaku seolah-olah kau menganggap aku terlibat urusan seperti itu,” kata Ki Jayaratu.
“Bukankah dulu anda perwira Cirebon dan selalu melawan Pajajaran?”
“Kau katakan itu dulu. Sekarang tentu sudah tidak lagi,” jawab Ki Jayaratu.
“Tapi segalanya belum berubah. Cirebon masih tetap akan memerangi Pakuan. Saya adalah anak buah Pangeran Yudakara yang selalu berjuang untuk Cirebon,” jawab Pragola.
“Kasihan, semua orang menderita karena ambisi pribadi,”
“Mengapa anda katakan ini ambisi pribadi?” tanya pragola.
“Engkau hanya berambisi ingin membalas dendam kematian gurumu dan Yudakara pun berambisi untuk kepentingan dirinya. Yudakara itu pengkhianat. Dia bertindak sendiri tanpa sepengetahuan Cirebon. Cirebon kini tidak terlibat urusan politik. Tapi lebih menitik beratkan dalam pengembangan agama. Bagaimana mungkin Cirebon punya keinginan menyerang Pakuan padahal tak punya kekuatan militer?” tanya Ki Jayaratu.
“Tapi Pangeran Yudakara punya pasukan prajurit. Itu semua prajurit Cirebon,” kata Pragola.
“Bohong, tak ada prajurit Cirebon berkeliaran di wilayah Pajajaran. Kalau Yudakara punya kekuatan militer, itu tentu dihimpun sendiri olehnya. Yudakara ingin melanjutkan cita-cita kerabatnya yaitu Ki Sunda Sembawa yang dulu gagal melawan penguasa Pakuan. Seperti Sunda Sembawa, Yudakara pun punya ambisi merebut Pakuan dan dia ingin jadi raja di sana,” tutur Ki Jayaratu.
Pragola melengak mendengar keterangan ini. “Tapi anda tak pernah ke mana-mana, bagaimana mungkin bisa mengetahui peristiwa yang terjadi,” tanya Pragola.
“Tak ke mana-mana bukan berarti tak memiliki pengetahuan. Ki Darma punya murid bernama Ginggi yang kerjanya bertualang kesana-kemari. Aku pun banyak memiliki murid yang berpencar ke seantero Pajajaran untuk meluaskan agama baru. Mengapa aku tak bisa mendapatkan berita seperti itu?” Ki Jayaratu balik bertanya.
Pragola mengeluh dalam hatinya. Kalau benar begitu, jelas selama ini hidupnya terombang-ambing oleh permainan yang tak menguntungkan. Dalam hal ini Ki Manggala benar, dia sudah mencurigai bahwa gerakan Pangeran Yudakara tak utuh. Pragola dan Paman Manggala hanya mengabdi kepada orang yang berjuang untuk ambisi pribadi.
“Pulanglah ke rumahmu dan jangan terlibat ke dalam urusan yang tak penting benar,” kata Ki Jayaratu.
“Saya tak punya rumah. Kampung halaman saya di Caringin. Ayah saya seorang Cutak, tewas karena peperangan dengan orang Pajajaran kendati tak secara langsung. Namun hal ini tak mengurangi rasa benci saya terhadap Ginggi, atau siapa pun dari Pajajaran,” keluh Pragola.
“Repot sekali kalau setiap orang diracuni perasaan dendam dan benci. Semua orang bisa saling bunuh. Harap kau tahu, dulu aku punya murid bernama Purbajaya. Dia diutus Cirebon untuk menyelundup ke Pakuan. Muridku tewas oleh Ginggi. Tapi mengapa aku harus benci. Purbajaya berjuang untuk Cirebon dan Ginggi membela negrinya. Keduanya sedang menjalankan kewajibannya mempertahankan negaranya masing-masing. Dan kalau pun harus berbicara urusan hukum-menghukum, tanpa aku membalas dendam, Ginggi sendiri pun sudah merasa terhukum. Itulah pembunuhan satu-satunya yang pernah dia lakukan seumur hidupnya. Dan peristiwa itu terus membekas di hatinya hingga kini,” tutur Ki Jayaratu.
Pragola menghela napas. Pahit rasanya hidup ini. Tak ada orang yang mau mendengar keluh-kesahnya. Setiap bicara perihal kepahitan, setiap itu pula orang berkata perihal ketegaran dan kehebatan Ginggi. Akhirnya Pragola menyembah kepada orang tua itu dan beranjak hendak keluar.
“Saya akan ke puncak mencari Ginggi…” kata pragola pelan.
“Anak itu tak ada di sini,” kata Ki Jayaratu.
“Saya menguntit dia dan saya yakin dia ke puncak,”
“Benar, tadi malam dia ke puncak, tapi sesudah menitipkan sahabatnya yang terluka, dia segera turun gunung diperintah Ki Darma. Ada pekerjaan besar yang harus diselesaikan mereka di Pakuan,”
“Ginggi ke Pakuan?”
“Begitulah manusia dipermainkan nasib. Anak itu sudah ingin berhenti melibatkan diri di dunia ramai, namun nasib menghendaki lain. Hahaha…! Ki Darma itu tua bangkotan yang berperangai licik. Dia sendiri sudah tak ingin ikut campur urusan dunia tapi masih tak rela kalau negrinya diancam bahaya. Dia suruh muridnya untuk melaksanakan keinginannya. Dasar tua bangkotan munafik. Hahaha…“ kata Ki Jayaratu tertawa.
Hanya Pragola yang hatinya mengeluh. Dengan tubuh lunglai dia berdiri. Untuk kesekian kalinya dia menghormat ke arah Ki Jayaratu.
“Saya mohon diri, Aki…” kata Pragola.
“Katanya engkau ingin belajar di sini? Mari belajar di sini. Yang paling hebat di dunia ini bukan dendam tapi sinar keagamaan. Bila sinar agama memasuki jiwamu, maka dunia akan damai sebab benci dan dendam akan sirna,” kata Ki Jayaratu.
“Saya hanya ingin berangkat ke Pakuan, Aki…” gumam Pragola sesudah terdiam agak lama. ”Kalau sudah bertemu Ginggi barangkali kelak baru saya bisa ikut Aki di sini,” lanjutnya.
Ki Jayaratu hanya tersenyum tipis. “Ya Allah, aku hanya sanggup berusaha. Tapi yang menentukan keputusan adalah engkau jua,” gumam Ki Jayaratu menengadahkan kedua belah tangannya. Sesudah itu dia menatap Pragola. “Pada akhirnya hanya jalan pikiranmu yang membawamu. Hati-hatilah jangan sampai engkau salah langkah…“ tuturnya.
Pragola menatap sebentar. Kemudian dia membalikkan badan dan berlalu dari tempat itu. Dia kembali menuruni lereng gunung padahal daerah itu didakinya dengan susah-payah.
Ada suara ayam hutan berkokok. Ketika Pragola berjalan di tempat agak terbuka, suasana sudah terang tanah. Pragola terus berjalan menuruni lereng. Pelan tak beremangat. Dia harus kembali melakukan perjalanan jauh, pulang ke arah tempat semula, Pakuan. Entah apa yang dijalani kelak!
**** 016 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment