Ads

Sunday, January 30, 2022

Kunanti di Gerbang Pakuan 017

Berita Penyerbuan

Ketika sepasang matanya dibuka, maka yang pertama kali dilihatnya adalah wajah seorang kakek. Sulit ditaksir berapa usianya. Menilik rambutnya yang seluruhnya putih keperak-perakan, kakek itu kira-kira berumur di atas delapan puluh tahunan. Namun bila melihat kulitnya yang tanpa keriput, sepertinya dia baru berusia empat atau lima puluh tahun.

Namun yang pasti kakek itu benar-benar lelaki tua yang sehat. Gerak-geriknya tidak loyo dan lamban walau pun tak dikatakan lincah. Pemuda itu hendak bangkit. Tak sopan rasanya terbaring begitu saja ditunggui seorang tua.

“Engkau masih lemah, Angga. Tetaplah berbaring,” kata kakek itu.

“Anda mengenal namaku, Ki?” tanya pemuda itu heran.

“Engkau Banyak Angga, putra Yogascitra, bukan?” tanya kakek itu.

Banyak Angga mengangguk mengiyakan. Namun tentu saja belum menebus rasa herannya sebab dia sendiri tak kenal, siapa orang tua di hadapannya ini. Pemuda itu mengerutkan dahinya, mengingat-ingat peristiwa sebelum dia tiba-tiba terbaring di atas balai-balai bambu ini.

Seingatnya, ketika itu dia terlibat pertempuran. Di tengah hutan jati di wilayah antara Sumedanglarang dan Karatuan Talaga. Waktu itu empat orang kelompoknya terdiri dari Paman Angsajaya, Paman Manggala, Pragola dan dia sendiri, dikepung puluhan perampok. Kaum perampok menyerang membabi-buta membuat dirinya terdesak. Banyak Angga menduga, barangkali hari itulah akhir hayatnya sebab banyak luka di sana-sini disertai limbahan darah. Banyak Angga tubuhnya limbung, pandangannya berkunang-kunang sampai akhirnya terjerembab dan tak ingat apa-apa.

Maka sungguh merasa aneh kalau tiba-tiba dia terbaring di gubuk yang berdinding gedek, berlantai palupuh (lantai bambu ditumpuk rata) dan beratap ijuk ini. Di manakah tempat ini dan siapa pula yang membawanya sampai di sini? Dia merasakan betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan ngilu-ngilu. Ada beberapa bagian badan yang dibebat lembaran dedaunan. Di bagian itu terasa perih namun ada juga rasa sejuk. Mungkin karena daun-daun menempel itu.

“Aki mengenal saya, namun maafkan kebodohan saya yang tak tahu siapa Aki,” gumam Banyak Angga.

“Tentu saja engkau tak kenal aku sebab waktu itu engkau belum lahir ke dunia. Bahkan aku pun tak mengenalmu kalau saja si Ginggi tak membawamu dan memperkenalkanmu padaku,”

Tersentak hati Banyak Angga ketika orang tua itu menyebut nama Ginggi. Jadi, orang yang selama ini dicarinya bahkan pernah menolongnya.

“Ini tempat apa, Aki?” tanyanya.

“Tempat yang terpencil jauh dari keramaian dunia, terletak hampir di Puncak Gunung Cakrabuana,” tutur sang kakek.

Banyak Angga akan memcoba bangun namun rasa sakit mengganggunya. Maka yang dia lakukan hanyalah menatap orang tua itu dengan penuh rasa hormat dan kagum.

“Anda tentu Ki Darma…” gumamnya dengan suara setengah bergetar.

Terasa ada dorongan hawa memenuhi dadanya. Namun dorongan itu hanya tersalurkan melalui sudut-sudut matanya yang terasa panas.

“Mengapa engkau menangis, anak muda?” tanya Ki Darma heran namun sambil tersenyum-senyum.

Banyak Angga menyeka sudut-sudut matanya sambil memalingkan wajahnya. Dia pun heran, mengapa tiba-tiba dia ingin menangis ketika tahu bahwa orang tua di hadapannya ini adalah Ki Darma. Mungkin hatinya terharu sebab Ki Darma adalah guru Ginggi. Mungkin juga dia bahagia sebab baik Ki Darma mau pun Ginggi adalah sebagian dari orang-orang yang tengah dibutuhkan di Pakuan. Bersusah-susah dia melakukan perjalanan jauh ke wilayah timur sambil beberapa kali dihadang mara-bahaya, kesemuanya hanya untuk mencari Ki Darma dan Ginggi. Dan sekarang sudah kesampaian!

Barangkali juga Banyak Angga menangis karena suatu hal yang lain. Ki Darma ini orang terkenal. Setiap prepantun di Pakuan dan wilayah Pajajaran selalu mengisahkan dirinya. Bahwa Ki Darma ini adalah pahlawan yang berani berkorban membela negrinya tanpa pamrih. Kendati dia dimusuhi Raja Surawisesa (1521-1535 M) karena berani melontarkan kritik dan bahkan dikejar-kejar untuk dibunuh di masa pemerintahan San Prabu Ratu Sakti (1543-1551 M), namun kecintaannya Ki Darma terhadap negara tak pernah pudar.

Sekarang Pajajaran semakin lemah di bawah kepemimpinan Sang Prabu Nilakendra (1551-1567 M). maka para patriot seperti Ki Darma dan Ginggi ini amat dibutuhkan kehadirannya. Jadi bagaimana tak terharu bila kini Banyak Angga telah berhasil menemukan mereka.

“Saya rindu ingin bertemu Ginggi,” tutur Banyak Angga menoleh kesana-kemari.

“Hampir dua hari dua malam anak itu tekun merawat tubuhmu yang luka,” jawab Ki Darma.

“Dua hari? Kalau begitu, selama itu pula saya tak sadarkan diri,” Banyak Angga heran.

“Barangkali lebih dari itu kau tak ingat apa-apa. si Ginggi memanggulmu dari wilayah Sumedanglarang sana hingga Puncak Cakrabuana ini,”

Banyak Angga semakin melengak mendengar keterangan ini. “Saya rindu bertemu dengannya. Belasan tahun tak bersua dengannya. Di mana dia sekarang? Sedang apa dia sekarang?” Kembali Banyak Angga melirik kesana-kemari.

Sedangkan yang ditanya hanya ketawa saja seperti melihat anak kecil yang kehilangan mainannya.

“Anak bengal itu sudah pergi turun gunung,” jawab Ki Darma masih tertawa-tawa.

Namun Banyak Angga menjadi sedih mendengarnya. “Sepertinya dia tak ingin bertemu denganku…” keluh Banyak Angga.

“Lho, anak itu barangkali sudah bosan berhari-hari menatap wajahmu,” jawab Ki Darma seenaknya.



“Tapi saya tak sempat melihatnya,” gumam Banyak Angga.

“Salahmu sendiri, mengapa kau beri dia surat,” kata lagi Ki Darma sambil lalu.

Banyak Angga serasa diingatkan. Maka serta-merta dia meraba-raba pakaiaannya seperti ada sesuatu yang tengah dicari.

“Mencari surat lembaran daun nipah itu, ya?” tanya Ki Darma.

Banyak Angga mengangguk

“Karena tahu surat daun nipah itu untuknya, maka dia beranikan diri untuk membukanya. Tak salah, kan?”

Banyak Angga menggelengkan kepala.

“Makanya dia begitu bersemangat ketika aku perintahkan agar dia segera kembali ke dayo Pakuan ,” tutur Ki Darma sambil mengambil beberapa lembar daun sirih. Diberinya beberapa ramuan rempah. Sesudah itu daun sirih dilipat-lipatnya dan dimasukkan ke mulutnya. Sirih itu dikunyahnya kuat-kuat.

“Tapi benarkah Nyi Mas Banyak Inten, adikmu itu mencintai si Ginggi?” tanya Ki Darma sambil mulutnya dipenuhi daun sirih.

Dijawab secara tak langsung oleh Banyak Angga bahwa ayahandanya memeritahkan Nyi Mas Banyak Inten untuk mengundang Ginggi datang ke puri Yogascitra untuk suatu keperluan yang mendesak.

“Kami tahu, sebenarnya Ginggi beberapa kali pernah datang ke Pakuan tapi sekedar menengok adikku di mandala. Kami inginkan kehadiran Ginggi secara resmi. Itulah sebabnya dianjurkan adikku yang meminta sebab kami yakin saudara Ginggi akan mau mengabulkan keinginan Nyi Mas Banyak Inten,” kata Banyak Angga.

Mendengar penjelasan ini, Ki Darma hanya tertawa masam sambil tetap menguyah sirih.

“Sudah sejak dulu sebenarnya tak lazim orang kebanyakan menyandingkan anak bangsawan. Jadi kalau anak bengal itu memaksakan diri, artinya melanggar kebiasaan,” tutur Ki Darma.

Kami tak pernah memperbincangkan hal ini. Lagi pula, dulu pun Ginggi sudah kami angkat sebagai ksatria di puri Yogascitra. Ginggi adalah orang berjasa bagi keluarga kami sebab dia telah berhasil menyelamatkan kehormatan dan harga diri Nyi Mas Banyak Inten dari kebejatan moral Suji Angkara,” tutur Banyak Angga kembali teringat peristiwa masa lalu ( baca episode Senja jatuh di Pajajaran).

“Hehehe…! Tapi kalian tak merasa kasihan kepada Nyi Mas Banyak Inten. Masa seorang wiku harus menikah?” tanya Ki Darma.

“Adikku masuk mandala bukan keinginannya, melainkan karena perintah Raja. Mengapa sekarang tak boleh keluar dengan perintah jua?” tanya Banyak Angga.

“Untuk kepentingan politik, agama bahkan bisa diatur,” gumam Ki Darma.

Banyak Angga serasa terpukul mendengarnya. “Kami tak bermaksud mempermainkan agama, namun kami tahu, adikku masuk mandala tidak atas keyakinan sendiri, melainkan karena dihukum Raja. Dia dimasukkan ke mandala di usia muda, di saat-saat masih memerlukan kehidupan duniawi. Agama tak boleh dilalui dengan jalan keterpaksaan apalagi merasa karena dihukum. Oleh sebab itu kami mengusulkan kepada Sang Prabu agar meninjau kembali keputusan Raja terdahulu,” tutur Banyak Angga lagi.

Hanya dibalas oleh Ki Darma dengan senyum. “Terserah apa pendapat kalian. Aku hanya berharap, mudah-mudahan si Ginggi bisa berpikir dewasa, sebab seperti apa katamu tadi, agama bukan keterpaksaan. Begitu pun cinta, tidaklah hadir karena keterpaksaan,” kata Ki Darma sesudah berdiam diri sejenak.

Banyak Angga hanya mengatupkan sepasang matanya sejenak.

“Tapi anak itu bergegas pergi bukan lantaran surat daun nipah itu saja. Aku memang telah menyuruhnya agar dia pergi ke Pakuan. Aku rasa, memang di dayo akan terjadi sesuatu…” gumam Ki Darma datar.

Banyak Angga kembali membuka kelopak matanya. Dia melirik ke arah orang tua itu. “Apakah Aki tahu situasi terakhir di Pakuan?” tanya pemuda itu.

“Tahu sekali sih tidak. Tapi anak murid Ki Jayaratu yang kerapkali mengembara ke wilayah barat banyak mengabarkan perihal situasi Pakuan,” kata Ki Darma.

“Ki Jayaratu? Serasa pernah saya dengar nama itu!” gumam Banyak Angga.

“Hm…, dulu dia musuh besarku. Dia kan perwira negri Carbon (Cirebon). Sudah barang tentu kami sering bertemu dalam pertempuran. Ya, ketika negri kita dipimpin Sang Prabu Surawisesa dulu,” kata Ki Darma.

“Apakah Ki Jayaratu kini ada di sini?”

“Sudah belasan tahun dia tinggal di lereng selatan bersama beberapa orang sesama bekas perwira Carbon lainnya. Mereka sepertinya membuka perguruan agama baru,” jawab Ki Darma, “kerapkali kami bertemu,”

“Maksud Aki, selalu bertempur juga hingga kini?” tanya Banyak Angga.

Ki Darma tertawa renyah. “Anak kecil saja kalau bermusuhan selalu selesai dalam waktu singkat, mengapa orang-orang yang sebentar lagi mau masuk kubur terus main cakaran? Lagi pula, apa urusan antara si Darma dan si Jayaratu sehingga perlu menciptakan permusuhan berkepanjangan? Hah, orang tolol yang hidupnya terjerembab ke perangkap politik. Dulu kami bertempur karena diperkuda kepentingan politik. Meski bertempur belasan tahun untuk membela negara. Padahal apa, rakyat dan negara bahkan menderita akibat peperangan. Dan itu yang kami katakan sebagai pembelaan,” tutur Ki Darma menggebu.

Banyak Angga menghela napas. Yang pernah dia dengar, baru kali inilah dapat dibuktikan. Dan memang benar, Ki darma ini kala bicara selalu ceplas-ceplos, termasuk dalam menilai ketata-negaraan. Dia selalu berkata apa yang ada dalam hatinya. Ketika Sang Prabu Surawisesa senang berperang melawan negri-negri kecil bawahan Pajajaran yang membangkang, atau bahkan ketika berperang melawan Carbon, Ki Darma mengkritiknya sebab dianggapnya peperangan hanya menghabiskan dana dan menyengsarakan rakyat.

Kritik di masa itu memang sudah dikenal dan orang menamakannya Panca Parisuda (lima obat penawar). Namun tak semua orang senang menerima obat yang pahit rasanya, apalagi bagi seorang raja. Itulah sebabnya Sang Prabu tersinggung sebab kritik Ki Darma artinya mengorek kelemahan orang lain, kelemahan seorang raja!

Kini, pendapat Ki darma tak pernah berubah, dia mencela kehidupan akal-akalan (politik) yang dianggapnya menghancurkan kehidupan rakyat. Ini yang membuat Banyak Angga menghela napas. Bila begini jadinya, Ki Darma barangkali tak bisa dibujuk untuk ikut bergabung memperkuat Pakuan.

“Aki, kalau Aki sering dengar perihal situasi akhir Pakuan, barangkali Aki sudah memikirkan cara penanggulangannya,” kata Banyak Angga tiba-tiba.

“Menanggulangi apa?”

“Bukankah tadi Aki bilang di Pakuan akan terjadi sesuatu?” kata lagi Banyak Angga.

“Ya, begitu kira-kira…”

“Kalau begitu Aki harus mau menanggulangi agar sesuatu yang akan terjadi tidak terlalu buruk,” kata Banyak Angga.

“Mengapa harus aku?” Ki Darma celingukan seperti aneh mendengar omongan pemuda itu.

“Karena Aki amat dibutuhkan. Hanya Aki orang Pajajaran yang berjuang untuk negri tanpa pamrih pribadi.”

“Hahaha…! Ayahmu bagaimana?”

“Ayahanda bukan orang yang berpikir untuk kepentingan pribadi. Tapi ayahanda bukan akhli jurit (peperangan) sehingga bila terjadi sesuatu terhadap Pakuan, dia tak bisa mempertahankan negri dengan baik,” kata Banyak Angga.

“Hahaha…! Jangan meremehkan Pakuan. Kota ini dikawal oleh seribu orang pasukan balamati (siap mati), menguasai tiga belas tekhnik pertempuran dan siap mengamankan Raja,” kata Ki Darma tertawa.

“Tapi itu dulu, ketika zamannya Aki malang-melintang di pasukan balamati. Sekarang banyak perwira seangkatan Aki yang berhenti karena undur-diri atau meninggal. Sedangkan penggantinya tak setangguh para pendahulunya. Mereka tak sanggup menuruni bakat dan kemampuan para perwira tua,” jawab Banyak Angga.

“Mustahil!”

“Lebih dari itu, Sang Prabu seperti tak mendukung upaya meningkatkan kembali kemampuan akhli jurit,”

“Mengapa?”

“Sang Prabu lebih memilih memperkuat kehidupan agama ketimbang militer, padahal bahaya sudah mengancam dari sana-sini,”

“Sang Prabu mungkin benar,” gumam Ki Darma.

“Mengapa benar?”

“Sebab barangkali dia sudah waspada akan sesuatu yang tengah berjalan,” ujar Ki Darma.

“Apakah itu?”

“Sesuatu kekuatan yang tak bisa dilawan,”

“Ya, apakah itu?” tanya Banyak Angga tak sabar.

“Sebuah perubahan!” jawab Ki Darma tandas.

“Perubahan?” gumam Banyak Angga. “Maksud Aki, perubahan itu datang dibawa oleh kekuatan agama baru? Apakah Aki bermaksud mengatakan bahwa Pajajaran akan kalah oleh kekuatan agama baru?” lanjutnya.

“Jangan kau anggap suatu perubahan itu adalah kekalahan. Kalahkah siang terang-benderang yang kemudian mulai redup karena malam hendak datang? Atau, kalahkah sang malam ketika mentari mulai muncul di ufuk timur?” tanya Ki Darma.

Hening untuk beberapa lama. Ada suara burung walik berceloteh di dahan-dahan pohon pinus di sekitar gubuk. Namun celoteh burung itu membuat suasana semakin sepi yang dirasakan Banyak Angga.

“Jangan kau risaukan perubahan itu sebab ini merupakan hal alami yang terjadi di dunia. Yang engkau harus hadapi dengan baik adalah penyakit keserakahan karena kepentingan ambisi manusia. Dan bahaya seperti itu bukan datang dari luar melainkan dari dalam tubuh kita sendiri,” kata Ki Darma.

Banyak Angga masih merenung.

“Engkau keliru bila takut menghadapi kekuatan agama baru. Sudah sejak zaman Sri Baduga Maharaja, bahkan jauh sebelum itu, kehidupan agama baru sudah ada di Pajajaran. Bukankah Pesantren Syech Quro sudah hadir di wilayah Tanjungpura (Karawang) ratusan tahun silam? Agama itu tak berbahaya bagi Pajajaran. Dan sekali lagi aku katakan, yang membahayakan, justru orang-orang yang punya ambisi pribadi,” kata Ki Darma lagi. ”Kalau agama dibawa dengan benar, lihatlah, betapa damainya Ki jayaratu. Dia datang dari Carbon. Bukan untuk memerangiku sebagai bekas musuhnya, melainkan untuk menyebarkan agama. Dia tak melakukan pemaksaan, hanya ditampilkannya agama baru itu dengan tindak-tanduk yang mengundang simpati. Kenyataanya, lihatlah, agama baru semakin merebak ke mana-mana. Dia menjadi besar tanpa melalui kekerasan. Inilah yang aku sebut perubahan. Sesuatu yang baru akan datang menggantikan yang lama,”

Banyak Angga mengangguk-angguk pelan namun sebetulnya tanpa begitu mengerti apa yang barusan disimaknya. Sampai pada akhirnya Ki Darma menyuruhnya untuk kembali tidur agar kesehatannya cepat pulih. Entah berapa lama dia tidur, sampai tiba-tiba dikejutkan oleh suara orang yang datang.

“Assammualaikum…!” kata suara dari luar.

“Rampes….” Jawaban dari dalam.

Banyak Angga tahu, yang menjawab adalah Ki Darma. Sedangkan suara sang tamu, Banyak Angga tak kenal.

“Masuklah Jayaratu. Ada apa tergesa-gesa begitu?” tanya Ki Darma.

Baru pemuda itu tahu, bahwa yang datang adalah Ki Jayaratu. dia mencoba bangun sebab ingin sekali mengenal orang tua yang terkenal karena menjadi musuh besarnya Ki Darma dulu.

“Aku ingin lihat pemuda itu, apa sudah agak baikan?” kata Ki Jayaratu sambil mendekati balai-balai bambu tempat di mana Banyak Angga terbaring.

Banyak Angga walau pun hati-hati namun sudah bisa duduk sambil bersandar. Dia lihat ada seorang kakek yang usianya hampir sebanding dengan Ki Darma. Bedanya, penampilan kakek ini sedikit rapi. Dia memakai baju kurung warna nila dan rambutnya yang panjang memutih diikat kain kasar warna hitam. Orang tua itu membawa bungkusan kain yang diselendangkan di bahunya. Ketika duduk di balai-balai segera menurunkan buntalan tersebut dan membukanya. Isinya ternyata tumpukan berbagai dedaunan. Dia memilih-milih beberapa lembar.

“Mari, aku buka bebatmu yang lama, mungkin daun itu sudah kering,” tuturnya kepada Banyak Angga.

“Hahaha…! Engkau beruntung di datangi juru obat sakti,” kata Ki Darma.

“Ki Darma dan Ginggi bahkan lebih hebat dalam menguasai pengetahuan obat-obatan, hanya saja mereka orang-orang malas dan seenaknya merawat pasen,” tutur Ki Jayaratu.

Ki Darma hanya heheh-heheh saja.

“Itu daun-daun apa, Aki?” tanya Banyak Angga memperhatikan Ki Jayaratu membuka bebat di tangannya dengan pelan.

“Hahaha…! Ini hanya daun babadotan saja, sejenis tumbuhan liar yang hidup di semak-semak. Tapi jangan menyepelekan. Daun tak berharga bagi orang yang tak mengenalnya, sebenarnya merupakan obat mujarab untuk menghentikan pendarahan dan bagus untuk mengeringkan luka,” kata Ki Jayaratu sambil meremas-remas lembaran daun itu hingga lusuh.

Sedikit kapur sirih yang sudah diberi air dioleskan ke setiap lembaran daun itu. Sesudah jumlah lembaran daun dianggap cukup, Ki Jayaratu melepaskan tempelan-tempelan lembaran daun yang lama dan menggantinya dengan daun yang baru.

Banyak Angga meringis sambil sedikit mengatupkan mata. Ada beberapa luka yang cukup parah di beberapa bagian tubuhnya. Beberapa di antaranya sedikit membengkak dan matang biru. Kata Ki Jayaratu, luka yang membengkak karena terlambat menerima pengobatan. Ki Darma menerangkan, barangkali Ginggi terlalu tergesa-gesa membawa Banyak Angga sehingga tak sempat merawatnya dengan baik dan telaten.

“Bisa jadi begitu, si Ginggi tergesa-gesa karena diikuti orang. Bukankah tak selang sehari ada orang yang mencari-carinya?” tanya Ki Jayaratu sambil tangannya tak henti-hentinya merawat beberapa bagian tubuh Banyak Angga.

“Oh, ya! Aku ingat anak itu. Ke mana dia sekarang?” tanya Ki Darma mengambil tempat air minum terbuat dari kulit buah kukuk yang sudah kering. Ki Darma minum sambil menentengkan tempat air itu begitu saja ke mulutnya.

“Anak itu seperti gila. Mula-mula datang mencak-mencak cari si Ginggi. Namun sesudah itu merengek-rengek minta diajari ilmu kedigjayaan. Karena aku tolak, dia pergi dan akan tetap mencari si Ginggi!”

“Begitu bencinya anak dungu itu kepada si Ginggi. Siapakah dia?” tanya Ki Darma acuh tak acuh.

“Bahkan engkau akan diperangi juga,” gumam Ki jayaratu.

“Oh, ya aku dengar itu,” Ki Darma masih acut tak acuh.

“Aku tak tahu namanya sebab bocah edan itu tak memperkenalkan diri, kecuali…” kata Ki Jayaratu tersendat.

“Kecuali apa, Jayaratu?” tanya Ki Darma menoleh.

“Kecuali dia katakan bahwa dia murid Ki Sudireja,” tutur Ki Jayaratu.

“Hm. Kalau tak salah Ki Sudireja itu perwira Kerajaan Karatuan Talaga yang membenci Pajajaran,” gumam Ki Darma.

“Dia mengaku anak buah Pangeran Yudakara,” kata lagi Ki Jayaratu.

“Apakah yang Aki maksud adalah Pragola?” tanya Banyak Angga dengan dada berdegup.

“Pragola, siapa Pragola?” tanya Ki Jayaratu menatap Banyak Angga.

“Pragola adalah pemuda usia sembilan belas tahun. Dia sahabatku. Mulanya memang anak buah Pangeran Yudakara calon penguasa Sagaraherang. Pangeran itu mengusulkan Pragola bekerja di puri kami sebab dia tahu betul perihal keberadaan belasan perwira Pakuan yang ada di Puncak Cakrabuana,” kata Banyak Angga.

Giliran kedua orang tua itu yang mengerutkan alis karena heran.

“Apa kata anak itu?” tanya Ki Jayaratu.

Banyak Angga menerangkan kalau kehadirannya di sini karena hasil laporan Pragola. Dan untuk memperjelas keterangannya ini, Banyak Angga terpaksa memaparkan tujuannya. Pemuda itu menerangkan, betapa sebetulnya dia tengah mengusung tugas penting. Ayahandanya yang khawatir melihat pusat pemerintahan Pakuan semakin lemah, menginginkan agar para orang pandai yang punya kesetian terhadap Pajajaran dikumpulkan kembali, termasuk mencoba kembali mencari belasan perwira yang diutus pemerintah pergi ke Puncak Cakrabuana mencari Ki Darma.

“Belasan perwira Pakuan tak pernah kembali. Ada selentingan mereka gugur sebab di puncak bertemu dengan pasukan Cirebon. Namun Pragola malah mengabarkan, sebetulnya belasan perwira Pakuan masih berada di puncak tapi tak bisa pulang karena dikepung pasukan Cirebon. Pangeran Yudakara mengusulkan agar Pakuan segera mengirimkan kembali belasan perwira tangguh untuk menyelamatkan teman-temannya yang tertahan di sini. Namun ayahanda sebelum mengabulkan usul ini, terlebih dahulu mengutus misi penyelidik, yaitu saya beserta tiga orang pembantu dan beberapa orang prajurit. Tapi di tengah perjalanan kami beberapa kali dihadang musuh, baik hadangan dari Cirebon, kaum perampok, sampai pasukan misterius yang kami tak tahu siapa gerangan,” kata Banyak Angga panjang-lebar.

Mendengar penjelasan ini baik Ki Darma mau pun Ki Jayaratu hanya mengangguk-angguk kecil.

“Ada yang benar, ada juga yang tak benar,” gumam Ki Jayaratu seperti bicara pada dirinya sendiri.

Sesudah merenung sejenak, Ki Jayaratu menerangkan. Bahwa benar sekitar limabelas tahun silam di lereng Gunung Cakrabuana terjadi pertempuran kecil. Ketika itu ada belasan perwira Pajajaran naik ke gunung dengan maksud mencari Ki Darma. Namun pada saat yang bersamaan dari bagian lereng lain naik pula belasan prajurit dan perwira lain.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment