Namun kenyataannya sungguh di luar dugaan. Lelaki bercambang bauk itu bukan saja bisa menghindar tapi juga sanggup melakukan serangan balasan. Caranya amat luar biasa, ganjil tapi menakjubkan. Ketika tubuh Goparana menerjang dan menyodok ke atas, lelaki itu sambil tetap memondong tubuh Banyak Angga mundur tiga tindak dengan cepat. Akibatnya, sodokan tangan kanan Goparana tak mencapai sasaran kecuali angin pukulan menerpa rambut yang semakin riap-riapan.
Sebelum Goparana melanjutkan serangan susulan dengan sodokan tangan kiri, secara kilat lelaki misterius itu bersalto ke belakang sambil kedua ujung kakinya melakukan serangan silang. Gerakan sepasang kaki ini sungguh ganjil. Kaki kiri melakukan sabetan menyilang dari kanan ke samping kiri dan ujung kaki kanan diayun dari bawah ke atas. Dengan demikian, dalam satu gerakan balasan, Goparana menerima dua serangan sekaligus. Satu serangan mengarah pinggang kanannya dan satu serangan lainnya menendang tangan kiri Goparana yang tengah melakukan sodokan.
Yang diserang nampak terkejut. Untuk menghindar sapuan ke arah pinggang, Goparana harus sedikit membungkuk agar tubuh bagian perut tertarik ke belakang. Namun akibat dari gerakannya ini, tubuh bagian atas seolah “menyodorkan” diri untuk menerima tendangan kaki kanan musuh.
Goparana nampak seperti serba salah, mana yang harus diselamatkan, apakah pinggangnya atau tangannya. Kalau dua-duanya jelas tak mungkin. Namun memilih pinggang yang selamat, risiko bukan tak ada. Dan ini barangkali yang menjadi kekeliruan pilihannya. Serangan tendangan kaki kanan lawan dari bawah ke atas adalah untuk menyerang sodokan tangan kirinya yang terlanjur masuk. Kalau tangan itu ditarik selain sudah tak mungkin, juga kalau pun bisa akan ada bagian tubuh lainnya yang akan terkena getahnya.
Bagian tubuh Goparana yang akan menerima serangan adalah dagunya bila tangannya bisa ditarik, maka dagunya akan hancur kena tendangan lawan. Tangan kiri Goparana tetap menyodok ke depan dan menyerang angin. Dan sebelun tangan itu bergerak, secara kilat dihantam tendangan kaki kanan lawan dari bawah ke atas. Sungguh amat cepat sebab dilakukan sambil bersalto ke belakang.
Terdengar jerit kesakitan dari mulut Goparana karena pergelangan tangannya kena hantaman ujung kaki lawan. Dan ketika sepasang kaki itu menjejak bumi dengan ringannya, Goparana yang tinggi besar jatuh bertekuk lutut sambil tangan kanannya memegangi pergelangan tangan kiri yang terkulai patah.
“Sudahlah, jangan ada lagi perkelahian,” gumam lelaki itu menatap Jaya Sasana yang berdiri terpana.
Namun keterpanaan ini hanya sejenak. Untuk selanjutnya Jaya Sasana segera menghambur ke depan melakukan serangan dahsyat. Serangan Jaya Sasana ini dihadapi dengan tangkisan-tangkisan sepasang kaki lelaki itu. Dan sepasang kaki itu bisa melakukan serangan balik secara beruntun. Serangan itu amat dahsyat. Bergantian kiri dan kanan secara cepat dan beruntun.
Jaya Sasana kerepotan menghadapi serangan ini. Kini bahkan giliran dia yang sibuk menangkis kiri dan kanan. Sampai pada suatu saat dia pun menjerit dan tubuhnya terlempar ke udara karena tendangan ke arah ulu hatinya. Jaya Sasana tak bergerak lagi ketika tubuhnya jatuh berdebum.
Kini yang berdiri di arena tinggal tiga orang. Lelaki misterius yang memondong Banyak Angga serta Pragola dan Paman Manggala. Lelaki berambut riap-riapan itu berdiri dengan sepasang kaki terpentang lebar. Matanya silih berganti menatap ke arah Pragola dan Paman Manggala.
“Aneh sekali, kita gemar melakukan ketololan,” gumamnya tanpa pragola tahu apa maksudnya. Kemudian lelaki itu berbalik dan hendak berlalu.
“Hey, mau dibawa ke mana Banyak Angga?” tanya Pragola.
Lelaki itu menghentikan langkahnya sejenak. “Tahukah engkau arti sahabat?” jawab lelaki itu. ”Sahabat adalah melakukan kebaikan tanpa mengharapkan imbalan. Dia hadir di saat kita kesepian. Tidak selalu memuji namun berani mengoreksi di saat kita salah. Kalau engkau melarangku membawa Banyak Angga, ada di manakah kedudukanmu sebenarnya?”
Pragola tertunduk malu. Kemudian dia merasakan, betapa lelaki itu menertawakan dirinya. Ketika Pragola mengangkat wajah, Banyak Angga sudah dibawa pergi. Sayup-sayup terdengar lelaki misterius itu bersenandung, lirih dan sedih.
Hidup banyak menawarkan sesuatu
Namun bila salah memilihnya
Kita adalah orang-orang yang kalah
“Siapakah orang itu?” tanya Perwira Goparana.
Itulah yang juga menjadi pertanyaan di benak Pragola. Namun tidak seorang pun yang sanggup menjawabnya. Paman Manggala hanya termenung lesu padahal Pragola tahu, orang tua ini tak terlalu banyak menghabiskan tenaga dalam perkelahian tadi. Dia bahkan terluka pun tidak. Pragola hanya menduga, kelesuan ini karena Paman Manggla tak menyelesaikan tugas dengan baik. Banyak Angga lepas. Kendati terluka parah, belum tentu mati. Dan kalau Banyak Angga tak mati, artinya rahasia terbongkar. Dengan perasaan sebal Pragola pun terpaksa harus mengeluhkan hal ini. Betapa tidak, dia jadi terlibat semakin dalam.
Perwira Goparana juga terduduk lesu sambil memegangi tangannya yang menderita patah tulang. Sedangkan beberapa prajurit yang menyertainya tengah sibuk mengurusi Perwira Jaya Sasana yang masih pingsan. Sedangkan prajurit tua Angsajaya, anak buah Banyak Angga, diketahui telah tewas karena terlalu banyak menderita luka.
Dari hampir tiga puluh perampok, ternyata hanya empat orang yang tewas. Itu pun kesemuanya tewas oleh tangan Paman Angsajaya. Ini hanya punya arti bahwa dua puluh enam perampok sisanya dilumpuhkan tanpa dibunuh. Hanya orang yang punya kemampuan hebat saja yang sanggup mengatur perkelahian masal seperti itu tanpa membuat kesalahan tangan membunuh.
Pragola hanya menatap saja ketika para perampok yang mulai bangun, satu-persatu meninggalkan tempat itu tanpa menengok atau bicara apa pun. Seperti Pragola, yang lain pun membiarkan para perampok pergi. Ini benar-benar menandakan bahwa mereka tak berkepentingan dengan perampok. Kalau pun tadi pencetus pertempuran adalah Paman Manggala, namun jelas tujuannya menyulut kemarahan perampok agar bisa membunuh Banyak Angga dan Paman Angsajaya.
“Hebat sekali, orang itu melumpuhkan siapa pun tanpa membunuh…” kata Goparana sambil masih meringis menahan sakit.
Serasa tersentak jantung Pragola ketika mendengarnya. Ucapan seperti ini pernah terlontar dari mulut beberapa orang baik di wilayah Tanjungpura mau pun di Sagaraherang. Dan semua orang sepakat menduga bahwa orang hebat yang mampu mengalahkan tanpa membunuh adalah Ksatria Ginggi! Ginggi. Benarkah orang kumal tadi adalah Ginggi?
Pragola tak mau mengemukakan pendapat ini pada siapa pun. Mungkin karena ketegangan di hatinya, atau juga mungkin karena perasaan was-was antara percaya dan tidak. Kalau dia harus mempercayainya, maka dia telah berhasil menemukan musuh besarnya. Merasa dia sudah menemukan apa yang dicari, Pragola berjingkat hendak meninggalkan tempat itu.
“Hai, mau ke mana kau?” Goparana menegur.
Namun Pragola masih tetap hendak melanjutkan langkahya.
Sebelum Goparana melanjutkan serangan susulan dengan sodokan tangan kiri, secara kilat lelaki misterius itu bersalto ke belakang sambil kedua ujung kakinya melakukan serangan silang. Gerakan sepasang kaki ini sungguh ganjil. Kaki kiri melakukan sabetan menyilang dari kanan ke samping kiri dan ujung kaki kanan diayun dari bawah ke atas. Dengan demikian, dalam satu gerakan balasan, Goparana menerima dua serangan sekaligus. Satu serangan mengarah pinggang kanannya dan satu serangan lainnya menendang tangan kiri Goparana yang tengah melakukan sodokan.
Yang diserang nampak terkejut. Untuk menghindar sapuan ke arah pinggang, Goparana harus sedikit membungkuk agar tubuh bagian perut tertarik ke belakang. Namun akibat dari gerakannya ini, tubuh bagian atas seolah “menyodorkan” diri untuk menerima tendangan kaki kanan musuh.
Goparana nampak seperti serba salah, mana yang harus diselamatkan, apakah pinggangnya atau tangannya. Kalau dua-duanya jelas tak mungkin. Namun memilih pinggang yang selamat, risiko bukan tak ada. Dan ini barangkali yang menjadi kekeliruan pilihannya. Serangan tendangan kaki kanan lawan dari bawah ke atas adalah untuk menyerang sodokan tangan kirinya yang terlanjur masuk. Kalau tangan itu ditarik selain sudah tak mungkin, juga kalau pun bisa akan ada bagian tubuh lainnya yang akan terkena getahnya.
Bagian tubuh Goparana yang akan menerima serangan adalah dagunya bila tangannya bisa ditarik, maka dagunya akan hancur kena tendangan lawan. Tangan kiri Goparana tetap menyodok ke depan dan menyerang angin. Dan sebelun tangan itu bergerak, secara kilat dihantam tendangan kaki kanan lawan dari bawah ke atas. Sungguh amat cepat sebab dilakukan sambil bersalto ke belakang.
Terdengar jerit kesakitan dari mulut Goparana karena pergelangan tangannya kena hantaman ujung kaki lawan. Dan ketika sepasang kaki itu menjejak bumi dengan ringannya, Goparana yang tinggi besar jatuh bertekuk lutut sambil tangan kanannya memegangi pergelangan tangan kiri yang terkulai patah.
“Sudahlah, jangan ada lagi perkelahian,” gumam lelaki itu menatap Jaya Sasana yang berdiri terpana.
Namun keterpanaan ini hanya sejenak. Untuk selanjutnya Jaya Sasana segera menghambur ke depan melakukan serangan dahsyat. Serangan Jaya Sasana ini dihadapi dengan tangkisan-tangkisan sepasang kaki lelaki itu. Dan sepasang kaki itu bisa melakukan serangan balik secara beruntun. Serangan itu amat dahsyat. Bergantian kiri dan kanan secara cepat dan beruntun.
Jaya Sasana kerepotan menghadapi serangan ini. Kini bahkan giliran dia yang sibuk menangkis kiri dan kanan. Sampai pada suatu saat dia pun menjerit dan tubuhnya terlempar ke udara karena tendangan ke arah ulu hatinya. Jaya Sasana tak bergerak lagi ketika tubuhnya jatuh berdebum.
Kini yang berdiri di arena tinggal tiga orang. Lelaki misterius yang memondong Banyak Angga serta Pragola dan Paman Manggala. Lelaki berambut riap-riapan itu berdiri dengan sepasang kaki terpentang lebar. Matanya silih berganti menatap ke arah Pragola dan Paman Manggala.
“Aneh sekali, kita gemar melakukan ketololan,” gumamnya tanpa pragola tahu apa maksudnya. Kemudian lelaki itu berbalik dan hendak berlalu.
“Hey, mau dibawa ke mana Banyak Angga?” tanya Pragola.
Lelaki itu menghentikan langkahnya sejenak. “Tahukah engkau arti sahabat?” jawab lelaki itu. ”Sahabat adalah melakukan kebaikan tanpa mengharapkan imbalan. Dia hadir di saat kita kesepian. Tidak selalu memuji namun berani mengoreksi di saat kita salah. Kalau engkau melarangku membawa Banyak Angga, ada di manakah kedudukanmu sebenarnya?”
Pragola tertunduk malu. Kemudian dia merasakan, betapa lelaki itu menertawakan dirinya. Ketika Pragola mengangkat wajah, Banyak Angga sudah dibawa pergi. Sayup-sayup terdengar lelaki misterius itu bersenandung, lirih dan sedih.
Hidup banyak menawarkan sesuatu
Namun bila salah memilihnya
Kita adalah orang-orang yang kalah
“Siapakah orang itu?” tanya Perwira Goparana.
Itulah yang juga menjadi pertanyaan di benak Pragola. Namun tidak seorang pun yang sanggup menjawabnya. Paman Manggala hanya termenung lesu padahal Pragola tahu, orang tua ini tak terlalu banyak menghabiskan tenaga dalam perkelahian tadi. Dia bahkan terluka pun tidak. Pragola hanya menduga, kelesuan ini karena Paman Manggla tak menyelesaikan tugas dengan baik. Banyak Angga lepas. Kendati terluka parah, belum tentu mati. Dan kalau Banyak Angga tak mati, artinya rahasia terbongkar. Dengan perasaan sebal Pragola pun terpaksa harus mengeluhkan hal ini. Betapa tidak, dia jadi terlibat semakin dalam.
Perwira Goparana juga terduduk lesu sambil memegangi tangannya yang menderita patah tulang. Sedangkan beberapa prajurit yang menyertainya tengah sibuk mengurusi Perwira Jaya Sasana yang masih pingsan. Sedangkan prajurit tua Angsajaya, anak buah Banyak Angga, diketahui telah tewas karena terlalu banyak menderita luka.
Dari hampir tiga puluh perampok, ternyata hanya empat orang yang tewas. Itu pun kesemuanya tewas oleh tangan Paman Angsajaya. Ini hanya punya arti bahwa dua puluh enam perampok sisanya dilumpuhkan tanpa dibunuh. Hanya orang yang punya kemampuan hebat saja yang sanggup mengatur perkelahian masal seperti itu tanpa membuat kesalahan tangan membunuh.
Pragola hanya menatap saja ketika para perampok yang mulai bangun, satu-persatu meninggalkan tempat itu tanpa menengok atau bicara apa pun. Seperti Pragola, yang lain pun membiarkan para perampok pergi. Ini benar-benar menandakan bahwa mereka tak berkepentingan dengan perampok. Kalau pun tadi pencetus pertempuran adalah Paman Manggala, namun jelas tujuannya menyulut kemarahan perampok agar bisa membunuh Banyak Angga dan Paman Angsajaya.
“Hebat sekali, orang itu melumpuhkan siapa pun tanpa membunuh…” kata Goparana sambil masih meringis menahan sakit.
Serasa tersentak jantung Pragola ketika mendengarnya. Ucapan seperti ini pernah terlontar dari mulut beberapa orang baik di wilayah Tanjungpura mau pun di Sagaraherang. Dan semua orang sepakat menduga bahwa orang hebat yang mampu mengalahkan tanpa membunuh adalah Ksatria Ginggi! Ginggi. Benarkah orang kumal tadi adalah Ginggi?
Pragola tak mau mengemukakan pendapat ini pada siapa pun. Mungkin karena ketegangan di hatinya, atau juga mungkin karena perasaan was-was antara percaya dan tidak. Kalau dia harus mempercayainya, maka dia telah berhasil menemukan musuh besarnya. Merasa dia sudah menemukan apa yang dicari, Pragola berjingkat hendak meninggalkan tempat itu.
“Hai, mau ke mana kau?” Goparana menegur.
Namun Pragola masih tetap hendak melanjutkan langkahya.
“Berhenti!” teriak Goparana. ”Manggala, cegah anak itu!”
Sungguh mengejutkan, ternyata Paman Manggala mentaati perintah ini. Dia meloncat menghalangi perjalanan Pragola.
“Pragola, engkau tak bisa bertindak sekehendak hatimu. Perwira Goparana adalah wakil Pangeran Yudakara,” kata Paman Manggala.
“Mengapa saya tak boleh meninggalkan tempat ini?” tanya Pragola.
“Karena engkau ada di bawah kepemimpinan pangeran,”
“Sungguh bijaksana, seorang pemimpin hendak membantai anak buahnya sendiri,” gumam Pragola.
“Jangan bicara lancang!” potong Paman Manggala tersinggung.
“Saya tak asal bunyi. Tapi ini bukti, ada ancaman pembunuhan terhadap saya,”
“Ngawur!”
“Paman sudah sering menyembunyikan sesuatu. Sudah dua kali saya akan dibunuh, padahal saya tahu, para penghadang itu adalah pasukan terselubung yang bertugas membunuh Banyak Angga. Mengapa saya pun dimasukkan ke kelompok yang harus dibunuh?” tanya Pragola sengit.
“Kau sendiri tahu, kelompok penghadang kedua adalah utusan Nyi Mas Layang Kingkin!” jawab Paman Manggala.
“Memang begitu pengakuannya. Tapi aku tak percaya Nyi Mas mau membunuhku!” sergah Pragola.
Baik Paman Manggala, Perwira Goparana mau pun Jaya Sasana yang sudah tertatih-tatih bangun terlihat heran mendengar percakapan ini.
“Kalian menyebut-nyebut Nyi Mas Layang Kingkin, ada apakah ini sebenarnya?” tanya Perwira Goparana.
Pragola dan Paman Manggala saling pandang. Mungkin tengah saling tunggu siapa yang harus memberi keterangan.
“Ada pasukan lain selain yang dikirim Pengeran Yudakara,” tutur Paman Manggala.
“Pasulak lain?” Goparana mengerutkan alisnya.
“Mereka tewas semua. Tapi ada yang sempat mengaku bahwa mereka diutus Nyi Mas Layang Kingkin,”
Baik Goparana mau pun Jaya Sasana sama-sama mengerutkan kening. “Apakah pasukan itu pun sama datang untuk membunuh Banyak Angga?” tanya Goparana.
Pragola merenung. Jawabannya tak perlu orang tahu. Bukankah ini rahasia bila Nyi Mas Layang Kingkin pernah berkata cinta padanya?
“Sebab saya anak buahnya Pangeran Yudakara. Dan saya tahu, hubungan Nyi Mas dengan Pangeran amat baik,” tutur Pragola.
“Hm…” dengus Goparana pelan.
“Kita musti lapor kepada Pangeran sebab kalau benar demikian, tindakan Layang Kingkin sungguh mencurigakan. Untuk apa dia punya pasukan sendiri padahal dia sedang menggalang kerja-sama dengan Pangeran Yudakara?” kata Jaya Sasana yang nampak masih merasakan sakit di ulu hatinya.
“Pangeran Yudakara hanya mengutus satu pasukan untuk memburu Banyak Angga. Sedangkan gangguan yang lainnya kami tak bertanggung-jawab,” kata Goparana menatap ke arah Pragola.
“Juga tak bertanggung-jawab dalam upaya membunuh saya?” tanya Pragola sinis.
“Pangeran Yudakara yang bertanggung-jawab semuanya, termasuk rencana membunuhmu!” jawab Goparana tegas dan hal ini sangat mengejutkan Pragola.
“Terima kasih, kau beritahu saya,” gumam Pragola tersenyum masam. ”Saya juga sudah curiga demikian. Yang perlu saya tahu, apa penyebabnya, bukankah saya ini anak buahnya?” tanya Pragola.
“Engkau adalah anak buah yang kesetiaannya diragukan,” tutur Goparana. ”Kau berjiwa lemah dan selalu ragu-ragu dalam melakukan tindakan. Sebagai contoh, tugasmu kau kerjakan berlarut-larut dan tak selesai. Ada kesan kau keberatan melenyapkan nyawa Banyak Angga. Orang yang ragu-ragu tak pantas menjadi orang-orang Yudakara,” kata Goparana panjang-lebar.
Pragola tersenyum pahit mendengarnya. “Saya pun sudah tak kerasan jadi anggota kelompok kalian. Saya akan undur diri,” tuturnya sambil beranjak hendak meninggalkan tempat itu.
“Pangeran memerintahkan kami agar membunuhmu!” cetus Goparana.
Pragola membalikkan tubuhnya menatap Perwira Goparana. “Kalian tak akan ada yang sanggup. Engkau dan juga Jaya Sasana sedang terluka parah,” kata Pragola.
“Manggala, bunuh anak itu!” teriak Goparana.
Pragola terkejut mendengarnya. Kalau begitu, dengan amat sedih dia harus melawan orang tua itu. Ini memang menyedihkan. Sudah bertahun-tahun dia bersamanya. Paman Manggala sudah dianggap orang tuanya sendiri. Tapi Pragola tahu, Paman Manggala selama ini banyak menyembunyikan sesuatu karena dia sudah menjadi pengikut Pangeran Yudakara.
Kini Pragola menghadap ke arah Paman Manggala. Sepasang tangannya menyilang di depan dada dan kedua kakinya terpentang lebar, siap untuk bertarung. Pragola tahu, sungguh berat melawan Paman Manggala. Kepandaiannya mungkin satu tingkat di atasnya. Namun apa boleh buat, lebih baik melawan dulu dari pada mandah dibunuh begitu saja.
“Saya tak bisa membunuh anak itu, Gusti…” gumam Paman Manggala pelan.
“Manggala, apakah engkau pun sudah tak setia lagi kepada perjuangan Pangeran Yudakara,” tanya Goparana tersinggung oleh sikap ini.
“Maafkan saya Gusti, sampai saat ini saya sebenarnya tak pernah mengerti perjuangan Pangeran Yudakara,” tutur Paman Manggala dan hal ini amat mengagetkan Pragola.
“Aku tak paham maksudmu, Manggala,” kata Goparana.
“Saya ragu terhadap perjuangan ini. Pangeran Yudakara mengaku orang Cirebon tapi begitu akrab dengan Nyi Mas Layang Kingkin. Padahal, kita semua tahu, Nyi Mas Layang Kingkin adalah tulen orang Pajajaran dan tak secuil pun berpikir untuk menyebrang ke Cirebon,” kata Paman Manggala.
“Ini adalah urusan orang-orang besar. Tentu saja olehmu tak bisa dicerna. Tapi boleh aku katakan, Pangeran Yudakara mendekati Nyi Mas Layang Kingkin hanyalah taktik belaka agar bisa lebih mudah keluar-masuk istana,’ kata Goparana.
“Tapi ada satu pengetahuan yang membuat saya bingung. Semenjak Demak tak lagi punya kekuatan, Cirebon pun sebetulnya sudah lemah. Kecuali lebih mendekatkan diri ke dalam kegiatan keagamaan, Cirebon tak punya kekuatan militer untuk melakukan penyerbuan ke Pakuan. Saya pernah menyelidik, sebetulnya puncak pimpinan di Cirebon tak berniat untuk melakukan penyerbuan ke Pakuan. Kalau pengetahuan saya ini benar, berinduk ke manakah sebenarnya rencana-rencana yang dilakukan Pangeran Yudakara ini?” tanya Paman Manggala.
Pertanyaan ini seperti amat mengejutkan baik kepada Perwira Goparana mau pun kepada Jaya sasana yang masih tetap terduduk sambil memegangi ulu hatinya.
“Engkau terlalu banyak tahu, Manggala!” desis Perwira Goparana menahan kemarahan.
Perwira yang dulunya datang dari tanah arab ini mendelikkan matanya yang lebar. Dia berdiri dan sepertinya hendak menerjang Paman Manggala. Namun tak pernah terjadi, betapa tangan kirinya menderita kesakitan hebat karena tulangnya patah. Goparana hanya saling pandang dengan Jaya Sasana yang juga tengah menderita luka dalam.
“Hari ini kalian selamat. Tapi Pangeran Yudakara tidak akan membiarkan penkhianat bebas. Hati-hatilah kalian,” gumam Goparana.
Pragola lega. Dia mencoba menutupi mayat Paman Angsajaya yang ternyata tewas dalam pertempuran dengan perampok tadi. Ditutupinya mayat itu dengan berbagai ranting dan daun-daunan. Dengan perasaan sedih dia hanya bisa merawat mayat Paman Angsajaya seperti itu. Orang tua itu selama dalam perjalanan tak banyak tingkah, sedikit bicara tapi sanggup menampilkan kesetian kepada majikannya sampai akhir hayatnya. Pragola sedih sebab sebetulnya dia perlu hormat kepadanya.
“Mari Paman, kita pergi dari tempat ini,” ajaknya pada Paman Manggala.
Tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada siapa pun, kedua orang itu pergi meninggalkan tempat itu. Sekali lagi ada perasaan lega di hati Pragola. Ternyata paman Manggala masih punya waktu untuk menyadari dan melepaskan diri dari urusan yang menurutnya tiada arti dan tak melibatkan kepentingannya. Kalau saja tak begitu, sudah bisa dipastikan dia akan bentrok dengan orang tua itu.
Pragola ingin berjalan cepat, namun sebaliknya Paman Manggala seperti tak bersemangat. Dia malah berjalan tertatih-tatih seperti orang luka.
“Mari Paman, kita harus bergerak cepat,” seru Pragola tak sabar.
“Mau ke manakah berjalan cepat-cepat?” tanya Paman Manggala dengan nada datar.
“Mau ke mana? Kita harus mengejar orang asing yang pergi memondong Banyak Angga itu,” jawab Pragola.
Mendengar ini, Paman Manggala malah menghentikan langkah.
“Ada apa, Paman?” Pragola heran.
“Mengapa kita harus mengejarnya?” tanya Paman Manggala sambil duduk di tonjolan batu.
“Saya mencurigai orang misterius itu…” gumam Pragola.
“Ya, aku bisa menduga apa yang akan kau katakan. Kau pasti mencurigai orang itu adalah Ginggi,”
“Tepat dugaanmu, Paman. Tindak-tanduknya aneh. Dan yang lebih khas, dia selalu mengalahkan lawan tanpa membunuh. Siapa lagi kalau bukan Ginggi?” kata Pragola yakin.
“Kalau benar dia Ginggi, mau apa?” tanya Paman Manggala.
Pragola memandang heran kepada orang tua itu. “Apakah Paman sudah lupa bahwa orang itu punya kaitan erat dengan terbunuhnya Ki Guru pada belasan tahun silam?” tanya Pragola.
“Aku tak pernah lupa,” jawab Paman Manggala.
“Kalau begitu mari kita kejar dia!”
Tapi Paman Manggala malah terlihat menghela napas.
“Mengapa, Paman?”
“Bukankah kau pernah bilang bahwa secuil pun tak punya kepentingan ikut terlibat kepada kegiatan Pangeran Yudakara?” orang tua itu menjawab dengan cara balik bertanya.
“Ya, perjuangan Pangeran Yudakara terlalu besar dan tak saya mengerti. Lebih dari itu saya merasa tak punya kepentingan untuk ikut terlibat di dalamnya. Itulah sebabnya, sudah sejak lama saya ingin pergi dan melepskan diri dari urusan mereka,” jawab Pragola.
“Nah, itu juga yang kau pikirkan sekarang ini,” tukas Paman Manggala membuat Pragola melenggak heran.
“Mengapa Paman tak ingin mengejar dan membalas dendam kepada Ginggi?” tanyanya.
“Aku tak punya kepentingan tentang itu. Engkau merasa berkepentingan karena Ki Sudireja adalah gurumu,”
“Tapi Ki Guru adalah teman seperjuanganmu ketika di Karatuan Talaga,” potong Pragola.
“Banyak yang menjadi teman seperjuangan ketika melawan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551) belasan tahun silam. Yang tewas pun banyak. Kalau aku harus membalas dendam kepada perseorangan, betapa banyaknya orang Pajajaran yang harus aku kejar. Kebanyakan bahkan aku tak tahu siapa mereka,” tutur Paman Manggala.
“Dengan kata lain, Paman tak mau membalaskan sakit hati teman-teman seperjuanganmu?” tanya Pragola.
Untuk kedua kalinya Paman Manggala terlihat menghela napas. “Kami dulu berjuang bukan untuk kepentingan pribadi. Demikian pun kami bukan melakukan perlawanan kepada orang-perorang. Kendati yang bertanggung-jawab atas kemerosotan wibawa Kerajaan Pajajaran adalah Sang Prabu Ratu Sakti, tapi terjadinya berbagai kemerosotan itu tidak semata-mata kesalahan raja itu sendiri. Itulah sebabnya, kebencian pribadi tak berlaku di sini, tidak pula kepada orang yang bernama Ginggi. Apalagi kita tahu, Ki Sudireja gurumu tidak tewas oleh tangan Ginggi. Kalau pun kita menyalahkan dia, hanya karena bantuannya maka pasukan Pajajaran semakin kuat dan berhasil memukul mundur pasukan kami,” tutur Paman Manggala panjang-lebar.
Hal ini amat tak menyenangkan perasaan Pragola. Dia kecewa terhadap kenyataan ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia ikut Paman Manggala, bahkan mau bergabung dengan Pangeran Yudakara, tadinya hanya karena punya harapan bisa “membonceng” agar bisa balas dendam. Sekarang kenyataannya menjadi lain.
“Kalau begitu, mungkin kita bersilang jalan…” gumam Pragola kecewa.
“Barangkali begitu…” jawab Paman Manggala pendek.
Pragola membalikkan badan dan melangkah beberapa tindak. “Jangan sesali sikapku sebab sebenarnya kita punya persamaan sikap yaitu tak kerasan mengikuti pendapat orang lain yang tak bisa kita mengerti,” kata Paman Manggala.
Pragola mengangguk. Sesudah itu dia kembali melangkahkan kakinya dan pergi meninggalkan orang tua itu. Dia tak mau mencoba menoleh ke belakang, padahal dia merasakan betapa sedih hatinya. Ini adalah perpisahan. Bukan sekadar perpisahan tubuh tapi juga perpisahan dalam persesuaian pendapat. Ini yang membuat Pragola sedih. Perpisahan ini membuat hatinya sepi sebab sesudah Paman Manggala pergi, tak ada lagi teman baginya.
Pragola terus berjalan ke arah selatan, mengikuti arah lelaki misterius itu lari membawa Banyak Angga. Pemuda ini menduga, tentu lelaki yang dia duga sebagai Ginggi itu tengah menuju Gunung Cakrabuana. Pragola mendengar khabar, Ki Darma adalah guru Ginggi dan bersembunyi di puncak gunung itu. Jadi pemuda ini merasa yakin, lelaki misteius itu pasti menuju ke selatan. Dan karena perkiraan inilah maka Pragola bergegas ke selatan.
Pragola bertekad ingin bertemu Ginggi. Inilah cita-citanya sejak awal. Dia ikut bergabung dengan Pangeran Yudakara karena punya harapan pada suatu saat bisa ikut membasmi orang Pajajaran yang telah membunuh Ki Sudireja, gurunya. Ginggi dielu-elukan orang Pakuan karena berhasil menggagalkan upaya pemberontakan yang dipimpin Ki Sunda Sembawa. Namun bagi Pragola, Ginggi orang yang paling dibencinya karena orang itulah pasukan pemberontak gagal melumpuhkan Pakuan. Dan Ki Sudireja tewas oleh kepungan perwira Pakuan. Pragola menganggap, karena Ginggilah maka Ki Sudireja tewas.
Tentu bukan Ginggi seorang yang harus dia kejar. Namun karena orang itu yang sudah dia tahu, maka orang itulah yang pertama kalinya harus dikejar. Di sepanjang jalan Pragola harus bertanya, kalau-kalau penduduk kampung melihat orang yang pergi membawa seseorang yang lagi luka. Sebagian mengatakan tak tahu tapi sebagian lainnya mengatakan pernah lihat.
“Ya, tadi pagi saya lihat seorang lelaki kumal membawa seseorang yang lagi luka parah. Dibawanya dengan sebuah tandu sederhana yang diseret di belakangnya,” tutur penduduk yang ditanya.
Ini adalah hari kedua dimana Pragola berusaha menguntit orang itu. Di dusun itu hari sudah demikian senja. Kalau memaksakan diri melakukan perjalanan, Pragola akan kemalaman di tengah hutan. Tapi kalau istirahat di dusun ini, berarti buruan semakin jauh.
Bertemu dengan orang itu lebih penting lagi. Maka Pragola pun memaksakan diri melanjutkan perjalanan. Hati kecilnya kagum kepada orang itu. Kendati sambil membawa Banyak Angga yang terluka namun dia masih bisa berjalan dengan cepat. Sedangkan Pragola yang berjalan tanpa beban, ternyata tertinggal hampir satu hari. Barangkali orang itu sudah hapal benar dalam memilih jalan, sedangkan dia setiap saat musti berheti untuk bertanya sana-sini.
Namun pada akhirnya orang yang dikuntit telah membawanya ke Gunung Cakrabuana. Gunung ini penuh misteri sebab sejak belasan bahkan puluhan tahun silam selalu menghadirkan peristiwa penting namun kebenarannya selalu ada yang meragukannya. Orang-orang Pakuan percaya, Ki Darma, bekas perwira dari pasukan Balamati (pasukan pengawal raja) pergi bersembunyi di puncak Cakrabuana karena selalu dikejar-kejar pasukan pemerintah yang ketika itu dirajai oleh Prabu Ratu Sang Mangabatan (1543-1551 M).
“Laporan” Pragola kepada Yogascitra, penasihat Raja Nilakendra sebenarnya tak seluruhnya bohong. Ketika jamannya Prabu Ratu Sakti, belasan perwira kerajaan pernah dikirim untuk mengejar Ki Darma ke Puncak Cakrabuana. Prabu Ratu Sakti mengirimkan pasukan ke sana sebab mengira Ki Darma menguasai tombak pusaka Cuntangbarang. Cuntangbarang dulunya kepunyaan Karatuan Talaga. Ketika negri itu jatuh ke tangan Cirebon (1530) ada beberapa perwiranya yang tak setuju Talaga menyerah ke negri yang beraliran agama baru dan mereka melarikan tombak pusaka ke Gunung Cakrabuana.
Dan hanya karena Ki Darma menyembunyikan diri di gunung itu, maka Prabu Ratu Sakti langsung menuduh Ki Darma pergi ke gunung itu untuk menguasai tombak pusaka. itulah sebabnya belasan perwira dikirim ke sana. Pertama untuk merebut tombak pusaka dan keduanya untuk menangkap atau membunuh Ki Darma.
Namun belakangan, belasan perwira Pakuan tak didengar khabar beritanya. Belasan tahun lamanya hingga pemerintahan beralih dari tangan Prabu Ratu Sakti ke tangan Raja Nilakendra. Peristiwa inilah yang dijadikan Pangeran Yudakara untuk “membujuk” Pakuan agar mau mengirimkan kembali pasukan pencari.
Sungguh mengejutkan, ternyata Paman Manggala mentaati perintah ini. Dia meloncat menghalangi perjalanan Pragola.
“Pragola, engkau tak bisa bertindak sekehendak hatimu. Perwira Goparana adalah wakil Pangeran Yudakara,” kata Paman Manggala.
“Mengapa saya tak boleh meninggalkan tempat ini?” tanya Pragola.
“Karena engkau ada di bawah kepemimpinan pangeran,”
“Sungguh bijaksana, seorang pemimpin hendak membantai anak buahnya sendiri,” gumam Pragola.
“Jangan bicara lancang!” potong Paman Manggala tersinggung.
“Saya tak asal bunyi. Tapi ini bukti, ada ancaman pembunuhan terhadap saya,”
“Ngawur!”
“Paman sudah sering menyembunyikan sesuatu. Sudah dua kali saya akan dibunuh, padahal saya tahu, para penghadang itu adalah pasukan terselubung yang bertugas membunuh Banyak Angga. Mengapa saya pun dimasukkan ke kelompok yang harus dibunuh?” tanya Pragola sengit.
“Kau sendiri tahu, kelompok penghadang kedua adalah utusan Nyi Mas Layang Kingkin!” jawab Paman Manggala.
“Memang begitu pengakuannya. Tapi aku tak percaya Nyi Mas mau membunuhku!” sergah Pragola.
Baik Paman Manggala, Perwira Goparana mau pun Jaya Sasana yang sudah tertatih-tatih bangun terlihat heran mendengar percakapan ini.
“Kalian menyebut-nyebut Nyi Mas Layang Kingkin, ada apakah ini sebenarnya?” tanya Perwira Goparana.
Pragola dan Paman Manggala saling pandang. Mungkin tengah saling tunggu siapa yang harus memberi keterangan.
“Ada pasukan lain selain yang dikirim Pengeran Yudakara,” tutur Paman Manggala.
“Pasulak lain?” Goparana mengerutkan alisnya.
“Mereka tewas semua. Tapi ada yang sempat mengaku bahwa mereka diutus Nyi Mas Layang Kingkin,”
Baik Goparana mau pun Jaya Sasana sama-sama mengerutkan kening. “Apakah pasukan itu pun sama datang untuk membunuh Banyak Angga?” tanya Goparana.
Pragola merenung. Jawabannya tak perlu orang tahu. Bukankah ini rahasia bila Nyi Mas Layang Kingkin pernah berkata cinta padanya?
“Sebab saya anak buahnya Pangeran Yudakara. Dan saya tahu, hubungan Nyi Mas dengan Pangeran amat baik,” tutur Pragola.
“Hm…” dengus Goparana pelan.
“Kita musti lapor kepada Pangeran sebab kalau benar demikian, tindakan Layang Kingkin sungguh mencurigakan. Untuk apa dia punya pasukan sendiri padahal dia sedang menggalang kerja-sama dengan Pangeran Yudakara?” kata Jaya Sasana yang nampak masih merasakan sakit di ulu hatinya.
“Pangeran Yudakara hanya mengutus satu pasukan untuk memburu Banyak Angga. Sedangkan gangguan yang lainnya kami tak bertanggung-jawab,” kata Goparana menatap ke arah Pragola.
“Juga tak bertanggung-jawab dalam upaya membunuh saya?” tanya Pragola sinis.
“Pangeran Yudakara yang bertanggung-jawab semuanya, termasuk rencana membunuhmu!” jawab Goparana tegas dan hal ini sangat mengejutkan Pragola.
“Terima kasih, kau beritahu saya,” gumam Pragola tersenyum masam. ”Saya juga sudah curiga demikian. Yang perlu saya tahu, apa penyebabnya, bukankah saya ini anak buahnya?” tanya Pragola.
“Engkau adalah anak buah yang kesetiaannya diragukan,” tutur Goparana. ”Kau berjiwa lemah dan selalu ragu-ragu dalam melakukan tindakan. Sebagai contoh, tugasmu kau kerjakan berlarut-larut dan tak selesai. Ada kesan kau keberatan melenyapkan nyawa Banyak Angga. Orang yang ragu-ragu tak pantas menjadi orang-orang Yudakara,” kata Goparana panjang-lebar.
Pragola tersenyum pahit mendengarnya. “Saya pun sudah tak kerasan jadi anggota kelompok kalian. Saya akan undur diri,” tuturnya sambil beranjak hendak meninggalkan tempat itu.
“Pangeran memerintahkan kami agar membunuhmu!” cetus Goparana.
Pragola membalikkan tubuhnya menatap Perwira Goparana. “Kalian tak akan ada yang sanggup. Engkau dan juga Jaya Sasana sedang terluka parah,” kata Pragola.
“Manggala, bunuh anak itu!” teriak Goparana.
Pragola terkejut mendengarnya. Kalau begitu, dengan amat sedih dia harus melawan orang tua itu. Ini memang menyedihkan. Sudah bertahun-tahun dia bersamanya. Paman Manggala sudah dianggap orang tuanya sendiri. Tapi Pragola tahu, Paman Manggala selama ini banyak menyembunyikan sesuatu karena dia sudah menjadi pengikut Pangeran Yudakara.
Kini Pragola menghadap ke arah Paman Manggala. Sepasang tangannya menyilang di depan dada dan kedua kakinya terpentang lebar, siap untuk bertarung. Pragola tahu, sungguh berat melawan Paman Manggala. Kepandaiannya mungkin satu tingkat di atasnya. Namun apa boleh buat, lebih baik melawan dulu dari pada mandah dibunuh begitu saja.
“Saya tak bisa membunuh anak itu, Gusti…” gumam Paman Manggala pelan.
“Manggala, apakah engkau pun sudah tak setia lagi kepada perjuangan Pangeran Yudakara,” tanya Goparana tersinggung oleh sikap ini.
“Maafkan saya Gusti, sampai saat ini saya sebenarnya tak pernah mengerti perjuangan Pangeran Yudakara,” tutur Paman Manggala dan hal ini amat mengagetkan Pragola.
“Aku tak paham maksudmu, Manggala,” kata Goparana.
“Saya ragu terhadap perjuangan ini. Pangeran Yudakara mengaku orang Cirebon tapi begitu akrab dengan Nyi Mas Layang Kingkin. Padahal, kita semua tahu, Nyi Mas Layang Kingkin adalah tulen orang Pajajaran dan tak secuil pun berpikir untuk menyebrang ke Cirebon,” kata Paman Manggala.
“Ini adalah urusan orang-orang besar. Tentu saja olehmu tak bisa dicerna. Tapi boleh aku katakan, Pangeran Yudakara mendekati Nyi Mas Layang Kingkin hanyalah taktik belaka agar bisa lebih mudah keluar-masuk istana,’ kata Goparana.
“Tapi ada satu pengetahuan yang membuat saya bingung. Semenjak Demak tak lagi punya kekuatan, Cirebon pun sebetulnya sudah lemah. Kecuali lebih mendekatkan diri ke dalam kegiatan keagamaan, Cirebon tak punya kekuatan militer untuk melakukan penyerbuan ke Pakuan. Saya pernah menyelidik, sebetulnya puncak pimpinan di Cirebon tak berniat untuk melakukan penyerbuan ke Pakuan. Kalau pengetahuan saya ini benar, berinduk ke manakah sebenarnya rencana-rencana yang dilakukan Pangeran Yudakara ini?” tanya Paman Manggala.
Pertanyaan ini seperti amat mengejutkan baik kepada Perwira Goparana mau pun kepada Jaya sasana yang masih tetap terduduk sambil memegangi ulu hatinya.
“Engkau terlalu banyak tahu, Manggala!” desis Perwira Goparana menahan kemarahan.
Perwira yang dulunya datang dari tanah arab ini mendelikkan matanya yang lebar. Dia berdiri dan sepertinya hendak menerjang Paman Manggala. Namun tak pernah terjadi, betapa tangan kirinya menderita kesakitan hebat karena tulangnya patah. Goparana hanya saling pandang dengan Jaya Sasana yang juga tengah menderita luka dalam.
“Hari ini kalian selamat. Tapi Pangeran Yudakara tidak akan membiarkan penkhianat bebas. Hati-hatilah kalian,” gumam Goparana.
Pragola lega. Dia mencoba menutupi mayat Paman Angsajaya yang ternyata tewas dalam pertempuran dengan perampok tadi. Ditutupinya mayat itu dengan berbagai ranting dan daun-daunan. Dengan perasaan sedih dia hanya bisa merawat mayat Paman Angsajaya seperti itu. Orang tua itu selama dalam perjalanan tak banyak tingkah, sedikit bicara tapi sanggup menampilkan kesetian kepada majikannya sampai akhir hayatnya. Pragola sedih sebab sebetulnya dia perlu hormat kepadanya.
“Mari Paman, kita pergi dari tempat ini,” ajaknya pada Paman Manggala.
Tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada siapa pun, kedua orang itu pergi meninggalkan tempat itu. Sekali lagi ada perasaan lega di hati Pragola. Ternyata paman Manggala masih punya waktu untuk menyadari dan melepaskan diri dari urusan yang menurutnya tiada arti dan tak melibatkan kepentingannya. Kalau saja tak begitu, sudah bisa dipastikan dia akan bentrok dengan orang tua itu.
Pragola ingin berjalan cepat, namun sebaliknya Paman Manggala seperti tak bersemangat. Dia malah berjalan tertatih-tatih seperti orang luka.
“Mari Paman, kita harus bergerak cepat,” seru Pragola tak sabar.
“Mau ke manakah berjalan cepat-cepat?” tanya Paman Manggala dengan nada datar.
“Mau ke mana? Kita harus mengejar orang asing yang pergi memondong Banyak Angga itu,” jawab Pragola.
Mendengar ini, Paman Manggala malah menghentikan langkah.
“Ada apa, Paman?” Pragola heran.
“Mengapa kita harus mengejarnya?” tanya Paman Manggala sambil duduk di tonjolan batu.
“Saya mencurigai orang misterius itu…” gumam Pragola.
“Ya, aku bisa menduga apa yang akan kau katakan. Kau pasti mencurigai orang itu adalah Ginggi,”
“Tepat dugaanmu, Paman. Tindak-tanduknya aneh. Dan yang lebih khas, dia selalu mengalahkan lawan tanpa membunuh. Siapa lagi kalau bukan Ginggi?” kata Pragola yakin.
“Kalau benar dia Ginggi, mau apa?” tanya Paman Manggala.
Pragola memandang heran kepada orang tua itu. “Apakah Paman sudah lupa bahwa orang itu punya kaitan erat dengan terbunuhnya Ki Guru pada belasan tahun silam?” tanya Pragola.
“Aku tak pernah lupa,” jawab Paman Manggala.
“Kalau begitu mari kita kejar dia!”
Tapi Paman Manggala malah terlihat menghela napas.
“Mengapa, Paman?”
“Bukankah kau pernah bilang bahwa secuil pun tak punya kepentingan ikut terlibat kepada kegiatan Pangeran Yudakara?” orang tua itu menjawab dengan cara balik bertanya.
“Ya, perjuangan Pangeran Yudakara terlalu besar dan tak saya mengerti. Lebih dari itu saya merasa tak punya kepentingan untuk ikut terlibat di dalamnya. Itulah sebabnya, sudah sejak lama saya ingin pergi dan melepskan diri dari urusan mereka,” jawab Pragola.
“Nah, itu juga yang kau pikirkan sekarang ini,” tukas Paman Manggala membuat Pragola melenggak heran.
“Mengapa Paman tak ingin mengejar dan membalas dendam kepada Ginggi?” tanyanya.
“Aku tak punya kepentingan tentang itu. Engkau merasa berkepentingan karena Ki Sudireja adalah gurumu,”
“Tapi Ki Guru adalah teman seperjuanganmu ketika di Karatuan Talaga,” potong Pragola.
“Banyak yang menjadi teman seperjuangan ketika melawan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551) belasan tahun silam. Yang tewas pun banyak. Kalau aku harus membalas dendam kepada perseorangan, betapa banyaknya orang Pajajaran yang harus aku kejar. Kebanyakan bahkan aku tak tahu siapa mereka,” tutur Paman Manggala.
“Dengan kata lain, Paman tak mau membalaskan sakit hati teman-teman seperjuanganmu?” tanya Pragola.
Untuk kedua kalinya Paman Manggala terlihat menghela napas. “Kami dulu berjuang bukan untuk kepentingan pribadi. Demikian pun kami bukan melakukan perlawanan kepada orang-perorang. Kendati yang bertanggung-jawab atas kemerosotan wibawa Kerajaan Pajajaran adalah Sang Prabu Ratu Sakti, tapi terjadinya berbagai kemerosotan itu tidak semata-mata kesalahan raja itu sendiri. Itulah sebabnya, kebencian pribadi tak berlaku di sini, tidak pula kepada orang yang bernama Ginggi. Apalagi kita tahu, Ki Sudireja gurumu tidak tewas oleh tangan Ginggi. Kalau pun kita menyalahkan dia, hanya karena bantuannya maka pasukan Pajajaran semakin kuat dan berhasil memukul mundur pasukan kami,” tutur Paman Manggala panjang-lebar.
Hal ini amat tak menyenangkan perasaan Pragola. Dia kecewa terhadap kenyataan ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia ikut Paman Manggala, bahkan mau bergabung dengan Pangeran Yudakara, tadinya hanya karena punya harapan bisa “membonceng” agar bisa balas dendam. Sekarang kenyataannya menjadi lain.
“Kalau begitu, mungkin kita bersilang jalan…” gumam Pragola kecewa.
“Barangkali begitu…” jawab Paman Manggala pendek.
Pragola membalikkan badan dan melangkah beberapa tindak. “Jangan sesali sikapku sebab sebenarnya kita punya persamaan sikap yaitu tak kerasan mengikuti pendapat orang lain yang tak bisa kita mengerti,” kata Paman Manggala.
Pragola mengangguk. Sesudah itu dia kembali melangkahkan kakinya dan pergi meninggalkan orang tua itu. Dia tak mau mencoba menoleh ke belakang, padahal dia merasakan betapa sedih hatinya. Ini adalah perpisahan. Bukan sekadar perpisahan tubuh tapi juga perpisahan dalam persesuaian pendapat. Ini yang membuat Pragola sedih. Perpisahan ini membuat hatinya sepi sebab sesudah Paman Manggala pergi, tak ada lagi teman baginya.
Pragola terus berjalan ke arah selatan, mengikuti arah lelaki misterius itu lari membawa Banyak Angga. Pemuda ini menduga, tentu lelaki yang dia duga sebagai Ginggi itu tengah menuju Gunung Cakrabuana. Pragola mendengar khabar, Ki Darma adalah guru Ginggi dan bersembunyi di puncak gunung itu. Jadi pemuda ini merasa yakin, lelaki misteius itu pasti menuju ke selatan. Dan karena perkiraan inilah maka Pragola bergegas ke selatan.
Pragola bertekad ingin bertemu Ginggi. Inilah cita-citanya sejak awal. Dia ikut bergabung dengan Pangeran Yudakara karena punya harapan pada suatu saat bisa ikut membasmi orang Pajajaran yang telah membunuh Ki Sudireja, gurunya. Ginggi dielu-elukan orang Pakuan karena berhasil menggagalkan upaya pemberontakan yang dipimpin Ki Sunda Sembawa. Namun bagi Pragola, Ginggi orang yang paling dibencinya karena orang itulah pasukan pemberontak gagal melumpuhkan Pakuan. Dan Ki Sudireja tewas oleh kepungan perwira Pakuan. Pragola menganggap, karena Ginggilah maka Ki Sudireja tewas.
Tentu bukan Ginggi seorang yang harus dia kejar. Namun karena orang itu yang sudah dia tahu, maka orang itulah yang pertama kalinya harus dikejar. Di sepanjang jalan Pragola harus bertanya, kalau-kalau penduduk kampung melihat orang yang pergi membawa seseorang yang lagi luka. Sebagian mengatakan tak tahu tapi sebagian lainnya mengatakan pernah lihat.
“Ya, tadi pagi saya lihat seorang lelaki kumal membawa seseorang yang lagi luka parah. Dibawanya dengan sebuah tandu sederhana yang diseret di belakangnya,” tutur penduduk yang ditanya.
Ini adalah hari kedua dimana Pragola berusaha menguntit orang itu. Di dusun itu hari sudah demikian senja. Kalau memaksakan diri melakukan perjalanan, Pragola akan kemalaman di tengah hutan. Tapi kalau istirahat di dusun ini, berarti buruan semakin jauh.
Bertemu dengan orang itu lebih penting lagi. Maka Pragola pun memaksakan diri melanjutkan perjalanan. Hati kecilnya kagum kepada orang itu. Kendati sambil membawa Banyak Angga yang terluka namun dia masih bisa berjalan dengan cepat. Sedangkan Pragola yang berjalan tanpa beban, ternyata tertinggal hampir satu hari. Barangkali orang itu sudah hapal benar dalam memilih jalan, sedangkan dia setiap saat musti berheti untuk bertanya sana-sini.
Namun pada akhirnya orang yang dikuntit telah membawanya ke Gunung Cakrabuana. Gunung ini penuh misteri sebab sejak belasan bahkan puluhan tahun silam selalu menghadirkan peristiwa penting namun kebenarannya selalu ada yang meragukannya. Orang-orang Pakuan percaya, Ki Darma, bekas perwira dari pasukan Balamati (pasukan pengawal raja) pergi bersembunyi di puncak Cakrabuana karena selalu dikejar-kejar pasukan pemerintah yang ketika itu dirajai oleh Prabu Ratu Sang Mangabatan (1543-1551 M).
“Laporan” Pragola kepada Yogascitra, penasihat Raja Nilakendra sebenarnya tak seluruhnya bohong. Ketika jamannya Prabu Ratu Sakti, belasan perwira kerajaan pernah dikirim untuk mengejar Ki Darma ke Puncak Cakrabuana. Prabu Ratu Sakti mengirimkan pasukan ke sana sebab mengira Ki Darma menguasai tombak pusaka Cuntangbarang. Cuntangbarang dulunya kepunyaan Karatuan Talaga. Ketika negri itu jatuh ke tangan Cirebon (1530) ada beberapa perwiranya yang tak setuju Talaga menyerah ke negri yang beraliran agama baru dan mereka melarikan tombak pusaka ke Gunung Cakrabuana.
Dan hanya karena Ki Darma menyembunyikan diri di gunung itu, maka Prabu Ratu Sakti langsung menuduh Ki Darma pergi ke gunung itu untuk menguasai tombak pusaka. itulah sebabnya belasan perwira dikirim ke sana. Pertama untuk merebut tombak pusaka dan keduanya untuk menangkap atau membunuh Ki Darma.
Namun belakangan, belasan perwira Pakuan tak didengar khabar beritanya. Belasan tahun lamanya hingga pemerintahan beralih dari tangan Prabu Ratu Sakti ke tangan Raja Nilakendra. Peristiwa inilah yang dijadikan Pangeran Yudakara untuk “membujuk” Pakuan agar mau mengirimkan kembali pasukan pencari.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment