Ads

Wednesday, January 19, 2022

Kunanti di Gerbang Pakuan 014

Perburuan Tak Pernah Selesai

Banyak Angga berdiri mematung di atas tonjolan batu, melihat hamparan padang ilalang bercampur tanah rawa di dataran rendah itu. Rawa ini banyak ikannya sehingga dalam masa istirahat ditempat itu, mereka tak kekurangan bahan makanan.

Pragola pun sama berdiri di sana, agak surut di belakang Banyak Angga. “Maafkan bila saya terlajur mengetahui peristiwa kelabu Raden…” tutur Pragola memecah kesunyian.

“Kalau engkau sering pergi malam-malam ke dayo Pakuan, maka di kedai tertentu suka ada prepantun mendendangkan kisahku. Jadi dengan demikian, sudah banyak orang tahu mengenaiku,” gumam pemuda itu menunduk. “Yang aku sesalkan mengapa banyak pendapat seperti itu. Sepertinya aku lemah terhadap wanita,” sambungnya.

“Mungkin para penyimak cerita pantun mengenai Banyak Angga berkeinginan, sekurang-kurangnya Banyak Angga melakukan suatu tindakan dan bukan sekadar bersedih berkeluh kesah melihat Nyi Mas Layang Kingkin berkhianat seperti itu,” kata Pragola. Untuk yang kesekian Pragola mengulum senyum.

“Banyak cara laki-laki membenci wanita. Mungkin ada laki-laki yang marah besar karena harga dirinya merasa dilangkahi. Sedangkan aku sendiri cenderung memilih menjauhi. Dan aku tak percaya lagi kepada mereka,” kata Banyak Angga.

“Raden mendendam Nyi Mas Layang Kingkin?” tanya Pragola.

“Mungkin begitu. Tapi lebih besar lagi perasaan kasihan terhadapnya. Lihatlah, hanya karena terlalu besar mengejar ambisi pribadi, hidup Nyi Mas Layang Kingkin jadi seperti itu. Dia mungkin tinggal di istana dengan kekayaan melimpah tapi hidupnya sebetulnya sepi. Semua orang mengasingkannya,” kata Banyak Angga.

“Demikian sepikah dia?” Pragola begitu tertarik sebab berita mengenai ibu suri datang langsung dari Banyak Angga, lelaki yang semasa mereka remaja amat dekat hubungannya.

“Ya, aku kira demikian. Tak ada orang yang paling sengsara selain orang yang menderita kesepian,” tutur Banyak Angga.

Banyak Angga bercerita, dulu hubungan mereka amat baik. Satu sama lain berjanji akan sehidup-semati. Namun kenyataan membuktikan lain. Mendiang Sang Prabu Ratu Sakti, raja Pajajaran ketika itu (1543-1551 M), di sampjng menaksir Nyi Mas Banyak Inten, adik Banyak Angga, juga sama memperhatikan Nyi Mas Layang Kingkin. Gadis itu bahkan tergoda dan memilih menjadi selir raja ketimbang bersuamikan anak bangsawan biasa.

Nyi Mas Layang Kingkin bahkan menginginkan lebih dari itu. Untuk menempatkan dirinya sebagai satu-satunya selir terkasih, maka dia mencoba menyingkirkan Nyi Mas Banyak Inten dari kedudukannya sebagai pesaing. Kakak tirinya Suji Angkara yang dikenal sebagai pemuda hidung belang, dibantunya untuk menggoda Nyi Mas Banyak Inten dan menyebabkan gadis itu dihukum masuk mandala ( asrama kaum wiku, pendeta wanita) karena dianggap menghina Raja, (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran).

“Menjadi selir terkasih mungkin bisa terlaksana. Namun tentu saja sifatnya sementara. Sesudah Sang Prabu wafat, tak ada cinta tak ada kekuasaan. Hanya karena segan terhadap mendiang Raja terdahulu saja, maka Sang Prabu Nilakendra tak mendepaknya. Nyi Mas Layang Kingkin diasingkan dari semua kegiatn istana, kendati diberinya berbagai kesenangan duniawi,” tutur Banyak Angga.

Pragola mengangguk-angguk. Namun begitu, dalam hatinya menyimpan pertanyaan. Tahukah Banyak Angga kendati Nyi Mas Layang Kingkin seperti terasing di dalam tembok istana, sebetulnya tengah punya gerakan tertentu?

Pragola kembali teringat, betapa ada pasukan yang dikendalikan ibu suri yang bertugas membuntuti dan membunuh Banyak Angga. Mungkin pemuda itu tak pernah tahu. Dia hanya menyangka, pasukannya tiga kali diserang oleh musuh yang sama, yaitu kalau bukan oleh pasukan Cirebon, tentu oleh komplotan perampok.

Pragola tak mau tahu apakah Banyak Angga waspada atau tidak. Namun yang jelas, melihat gerakan Nyi Mas Layang Kingkin, dia merasa bingung, apa yang dikehendaki wanita anggun tapi misterius itu?

Ya, Nyi Mas Layang Kingkin benar-benar misterius. Dalam pertemuan rahasia dengannya di istana tempo hari, Nyi Mas Layang Kingkin akan memberi kesenangan padanya kalau mau membantu. Namun belakangan, ternyata Pragola jadi sasaran pembunuhan pula.

“Suatu saat, teka-teki ini harus aku singkap,” tuturnya dalam hati.

“Maafkan kalau sikapku mengganggumu, Pragola,” suara Banyak Angga membuyarkan lamunan Pragola.

Pemuda ini menengok, belum paham apa yang dimaksud Banyak Angga. “Mengapa harus mengganggu saya?” tanyanya.

“Sebab kalau kau menyimak tindak-tandukku yang tak menyukai wanita, seolah-olah keberadaan mereka itu amat buruk. Padahal tentu tak semua wanita buruk seperti itu. Atau…” kata Banyak Angga seperti tak mau melanjutkan kalimatnya.

“Atau tentu Nyi Mas Layang Kingkin sebenarnya tak buruk. Mengapa karena punya ambisi maka orang dianggap buruk? Punya ambisi adalah berupaya mengejar sesuatu yang lebih baik. Itu hal yang wajar. Mungkin aku tak suka padanya karena ambisi yang dia punyai merugikanku,” tutur Banyak Angga.

Pragola tersenyum mendengar pendapat Banyak Angga. Semakin nyata kini, bahwa pemuda bangsawan ini sebenarnya punya kelemahan. Banyak Angga punya penyakit susah menyalahkan orang lain. Kalau ada orang yang dirasa merugikannya, maka penyebabnya selalu dilihat dulu dari sudut dirinya.

Kata Banyak Angga, Nyi Mas Layang Kingkin meninggalkannya, karena kedudukan dirinya lebih rendah ketimbang Raja. Untuk mengejar ambisi, tentu saja wanita itu harus memilih Raja ketimbang Banyak Angga.

“Jadi, tak ada sesuatu yang aneh di sini. Hanya saja pengaruh dari tindakan Layang Kingkin ini berpengaruh terhadapku sehingga pada akhirnya aku meragukan nilai cinta seorang wanita,” kata Banyak Angga.

“Kalau Raden tak melihat bahwa sifat seperti itu tak terdapat pada semua wanita, mengapa Raden tak berusaha mendapatkan cinta wanita lain?”

“Wanita yang bagaimana?”

“Cobalah wanita dari kalangan biasa, barangkali ambisinya tak terlalu besar,” jawab Pragola.

“Mungkin juga benar, wanita dari kalangan kebanyakan akan taat dan menghormat bila dikawini. Tapi belum tentu dasarnya karena cinta. Atau kalau pun cinta, dia hanya mencintai kebangsawananku, bukan terhadap diriku,” kata Banyak Angga.



Pragola merenung. Sulit sekali kalau semuanya sudah didahapkan kepada persangkaan. Nyi Mas Layang Kingkin suatu kali seperti menawarkan cinta terhadapnya. Kalau Pragola harus berpikir seperti Banyak Angga, benarkah wanita itu cinta dirinya? Dia ibu suri, sedangkan Pragola prajurit biasa, hanya anak dari seorang cutak, itu pun cutak pemberontak karena mencoba melawan pemerintahan Pajajaran. Mungkinkah wanita kalangan istana jatuh cinta kepada dirinya? Dan kalau pun benar menampakkan gejala ini, tentu ada sesuatu di luar dirinya yang diharap.

Pragola mengerutkan alis. Dia tak sanggup berpikir ruwet seperti Banyak Angga. Kalau wanita itu mau mengajaknya bercinta. Tapi bila belakangan ternyata berniat jahat, maka akan dia hadapi dengan cara lain pula. Tak perlu banyak pilihan seperti yang dipikirkan Banyak Angga.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Tujuan utama wilayah Gunung Cakrabuana telah hampir tercapai. Tapi semakin dekat ke tempat tujuan, perasaan Pragola semakin tak tenang. Dia ingat, perjalanan yang berat ini sebetulnya ditempuh untuk perkara bohong belaka. Ini adalah akal dari Pangeran Yudakara yang menginginkan dayo Pakuan kosong dari orang-orang pandai.

Dengan memberitakan bahwa di Puncak Cakrabuana terkepung belasan perwira Pajajaran oleh pasukan Cirebon, Pangeran Yudakara, atasan Pragola, berharap banyak orang pandai dari Pakuan “keluar sarang” untuk menolong rekan-rekan mereka. Akal ini belum sepenuhnya berhasil. Buktinya, yang pergi ke Cakrabuana bukan perwira-perwira Pakuan, melainkan Banyak Angga.

Pangeran Yogascitra, penasihat Raja, sungguh pandai dan hati-hati. Dia tak langsung mengirimkan belasan perwira untuk menjemput dan menyelamatkan “belasan perwira terkepung” itu, melainkan hanya mengirim penyelidik, yaitu Banyak Angga dulu.

Yang jadi kekhawatiran Pragola, pada suatu saat Banyak Angga tahu bahwa terkepungnya belasan perwira hanya merupakan berita palsu belaka. Dan kalau Banyak angga terlanjur tahu, maka Pragola harus membunuhnya, kemudian melaporkannya ke Pakuan sebagai serangan perampok. Dengan demikian, misi kedua dan seterusnya akan menyusul sampai sebagian besar orang pandai yang setia pada Pajajaran terkuras habis.

Mengingat bahwa ada kecenderungan dirinya membunuh Banyak Angga, terbesit perasaan tak enak pada dirinya. Banyak Angga memang musuh. Tapi sudah hampir empat tahun ini dia bersamanya. Secara pribadi Pragola tak bermusuhan dengan Banyak Angga. Anak bangsawan yang pemurung ini tak menampakkan alasan untuk dibenci. Banyak Angga ini orang baik. Kendati anak seorang bangsawan berpengaruh di Pakuan, Banyak Angga tak sombong. Kepada siapa saja dia berlaku hormat, termasuk juga kepada bawahannya.

Untuk melakukan kebijaksanaan, terkadang dia minta pendapat bawahan-bawahannya. Banyak Angga misalnya, kerapkali mengajak Pragola ikut memutuskan perkara. Ini hanya menandakan bahwa Banyak Angga selalu menghargai dan mempercayainya. Dan ingat akan masalah ini, Pragola menjadi semakin tak enak.

Pragola sedih. Semakin lama dirinya semakin dilibatkan dalam urusan politik, dan semakin terasa bahwa kemanusiaannya terganggu. Pemuda ini mulai meraba bahwa politik ini jauh dari rasa kemanusiaan. Bayangkanlah, Pragola harus menulikan telinga, mengatupkan mata dan mengubur cinta kasih di hatinya hanya karena apa yang disebutnya sebagai perjuangan. Banyak Angga yang sebetulnya pemuda baik dan pantas dijadikan sahabat sejati, harus dianggap musuh karena urusan politik. Pragola sedih mengingatnya.

Sekarang perjalanan sudah tiba di wilayah antara Sagaraherang dan Sumedanglarang. Ini adalah wilayah hutan jati yang kata orang amat angker. Sebagian penduduk menganggapnya di hutan jati ini banyak dedemit (hantu) dan genderewo (sebangsa jin). Bila ada orang memasuki wilayah ini susah untuk bisa kembali. Kebanyakan hilang tak tentu rimbanya. Tapi menurut pengamatan Pragola, hutan jati itu tak aman karena banyak dihuni orang jahat.

Ketika hendak menuju Pakuan seorang diri, Pragola pernah tersesat masuk hutan jati ini. Pemuda ini pernah berurusan dengan perampok. Mereka adalah pelarian dari Pajajaran tapi juga tak mau bergabung ke Sumedanglarang karena negri ini kendati telah melepaskan diri dari Pakuan tapi telah menjadi negri pemeluk agama baru. Perampok juga ada yang dulunya pernah menjadi penduduk Sumedanglarang.

Pragola pernah mendengar khabar, setelah Sumedanglarang memeluk agama baru, ada sebagian yang tak setuju ikut penguasa agama baru. Mereka meninggalkan Sumedanglarang dan memilih hidup mengasingkan diri. Namun belakangan, tujuan mereka bergeser. Yang semula hanya mengasingkan diri dan tak mau mengabdi, beberapa kelompok di antaranya berubah menjadi perampok dan kerjanya berbuat kekacauan.

Yang memusingkan, ada beberapa kelompok perampok punya selera mengadu-domba. Contohnya, bila mereka menjarah ke wilayah Sumedanglarang, mereka mengaku sebagai pasukan Pajajaran. Dan sebaliknya bila menjarah ke wilayah Pajajaran mereka mengaku dari Sumedanglarang. Di wilayah utara bila menjarah orang Cirebon, mereka pun mengaku orang Pajajaran.

Mereka adalah kelompok yang membenci Pajajaran, juga tak suka terhadap penguasa agama baru sebab pada dasarnya mereka beranggapan bahwa yang membuat dirinya hidup sengsara dan menjadi terlunta-lunta adalah karena pertikaian berkepanjangan antara Cirebon dan Pakuan. Cirebon selalu berupaya seluruh wilayah Jawa Kulon berada dalam pengaruhnya dan di lain pihak Pakuan ingin keberadaan Pajajaran tetap lestari. Karena pertikaian ini, rakyat menjadi terpecah-pecah. Begitu menurut pendapat mereka.

Namun tentu saja ini hanya akal-akalan kecil dan sederhana yang terlalu mudah untuk ditebak oleh kedua belah pihak. Buktinya, kendati Cirebon dan Pakuan tetap bermusuhan, keduanya tak pernah terpengaruh oleh akal bulus ini. Permusuhan Cirebon dan Pakuan yang terus berlangsung, sebetulnya bukan hasil adu-domba mereka.

Ternyata dugaan Pragola benar. Mencari jalan memutar untuk menghindari perhatian khalayak risikonya bertemu perampok. Ketika sudah ada dalam kepungan hutan jati, mereka pun malah jadi kepungan kaum penjahat. Mereka bagai sekelompok kancil yang dikepung sekumpulan srigala. Empat orang berdiri di tengah, dikelilingi oleh puluhan orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan penuh cambang-bauk di wajah. Semuanya bersenjatakan berat, mulai dari kelewang hingga penggada. Mereka bertampang garang dan seperti siap membunuh.

“Serahkan harta atau nyawa!” teriak pemimpinnya.

“Kalian salah memilih. Kami tak punya harta, sedangkan nyawa pun tak akan berarti,” tutur Banyak Angga tenang.

Pemimpin perampok yang bermata juling itu mendengus marah. “Kalian melakukan perjalanan jauh tapi tetap segar dan tak kelihatan kumal. Hanya punya arti bahwa kalian bukan orang kebanyakan. Coba serahkan buntalan kalian, barangkali di dalamnya berisi batangan emas, atau kepingan uang negri Parasi, Cina atau Portugis,” kata si juling.

“Atau bisa juga pakaian di buntalan itu adalah kain satin buatan negri Campa,” sambung yang lainnya maju setindak dan bersikap mau merampas buntalan yang dibawa Paman Angsajaya.

Yang diancam segera mundur setindak, kemudian kedudukannya tergantikan oleh Paman Manggala yang melangkah ke depan.

“Harta kami hanya secuil kepandaian. Kalau kalian mau akan aku beri,” kata Paman Manggala mengepalkan tinju kirinya.

Ini adalah tantangan terang-terangan. Pragola mengerutkan kening, mengapa Paman Manggala memancing-mancing perkelahian? Pragola sudah bosan, setiap bertemu musuh selalu saja berkelahi. Sedangkan baik perkelahian “pura-pura” mau pun yang beneran, selalu merepotkan dirinya.

Kelompok perampok itu belasan, mungkin puluhan banyaknya. Yang namanya perampok, kendati berangasan tapi hanya mengandalkan tenaga kasar. Dengan taktik ilmu tinggi sebetulnya mereka mudah dikalahkan. Tapi sekali lagi, Pragola malas melakukannya. Dia takut salah tangan, sebab bila suatu saat terdesak, bisa-bisa pembunuhan terjadi lagi.

Tapi Paman Manggala seperti tak menyadarinya. Buktinya orang tua itu malah menantang. Dan terbukti pula kelompok rampok itu marah besar karena kesembronoan Paman Manggala ini. Dengan gerengan keras si juling mengayunkan goloknya. Terdengar suara berciutan karena tenaga ayunan yang demikian besar. Tapi tenaga besar adalah kesalahan dalam anggapan orang yang senang mengutak-atik taktik.

Paman Manggala nampak mengulum senyum ketika menerima serangan ini. Dan ayunan golok yang berciutan karena kekuatan tenaga besar ini dengan mudahnya dikelitkannya. Tubuh si juling sedikit limbung dan kuda-kudanya terganggu karena tenaga yang dia keluarkan malah membedol kedudukannya. Dan inilah kesempatan terbaik bagi Paman Manggala untuk melumpuhkannya. Paman Manggala hanya perlu “menambah” tenaga tolakan yang dikerahkan si juling dengan sedikit dorongan ke punggung orang itu. Maka tak ayal, si juling jatuh terjerembab dan hidungnya mencium tanah.

Namun kekalahan si juling bagaikan komando bagi teman-temannya. Buktinya, begitu si juling berteriak kesakitan, yang lainnya segera menghambur menerjang. Maka dalam sekejap terjadi pertempuran tak seimbang. Empat orang dikeroyok puluhan lawan yang kesemuanya bersenjata lengkap.

Sekali lagi, ini bisa disebut sebagai pertempuran tidak seimbang. Dari empat orang yang terkepung, sebetulnya hanya Paman Angsajaya yang bertempur mati-matian. Prajurit tua ini di samping berusaha menyelamatkan nyawanya, juga berusaha melumpuhkan lawan dan kalau mungkin membunuhnya. Namun ketiga orang lainnya bertempur tidak mati-matian, kalau pun tak disebut sebagai main-main.

Perlawanan yang dilakukan Banyak Angga memang tidak terkesan main-main, namun Pragola tahu, pemuda usia tigapuluh tahun ini jiwanya dan tak sanggup memendam dendam. Banyak Angga hanya berusaha mempertahankan keselamatan nyawanya dan secuil pun tak bermaksud melukai apalagi membunuh lawan.

Pragola sendiri berkelahi tak sungguh-sungguh. Dia hanya berusaha dirinya tak terluka dan tak berniat membunuh lawan. Bukan karena belas kasihan seperti yang dimiliki hati Banyak Angga tapi karena merasa tak punya kepentingan apa pun musti membunuh orang-orang tiada arti itu. Pragola melihat, kepandaian para perampok itu hanyalah kepandaian biasa saja, hanya mengandalkan tenaga kasar tanpa dibarengi teknik tinggi.

Tapi yang membuat Pragola heran, adalah tindak-tanduk Paman Manggala, orang tua itu bertempur lebih terkesan sebagai asal-asalan saja, padahal penyulut kemarahan kaum perampok adalah bermula dari sikap dirinya yang menantang. Pragola menduga, Paman Manggala bersikap demikian karena seperti dirinya juga yaitu tak merasa berkepentingan untuk menghajar para perampok.

Namun belum habis Pragola berpikir soal dugaannya ini, hatinya terkejut karena punya dugaan lainnya. Paman Manggala barangkali sengaja berbuat demikian untuk memberikan kesempatan kepda kaum perampok agar bisa membunuh Banyak Angga. Membunuh Banyak Angga? Ya, mengapa tak begitu? Perjalanan rombongan ini hampir berakhir sebab hutan jati ini terletak di wilayah segitiga antara Sagaraherang, Sumedanglarang dan Talaga.

Tujuan utama rombongan Banyak Angga adalah Gunung Cakrabuana di wilayah Talaga. Pragola sendiri pernah berkhawatir, kalau rombongan sudah tiba di Cakrabuana dan Banyak Angga tidak mendapatkan apa yang sebelumnya diberitakan, maka bualan Pragola akan terbongkar. Ya, tak ada belasan perwira Pajajaran yang terkepung di sana dan tak perlu mengirim belasan perwira penyelamat ke Puncak Cakrabuana. Jadi, kalau Banyak Angga sudah tahu dia dikibuli, maka Pragola dan Paman Manggala dicurigai, akan ditanyai dan akhirnya rahasia akan terbongkar pula.

Pragola tak merasa takut rahasianya terbongkar. Tapi ada satu perasaan yang melebihi rasa takut. Perasaan itu bernama malu. Ya, Pragola akan merasa malu kepada Banyak Angga. Pemuda itu seperti menyayangi dirinya, menghargainya dan selalu penuh percaya. Betapa malunya Pragola kalau tiba-tiba Banyak Angga tahu bahwa dirinya pembual. Dan bualan dirinya tidaklah sepele sebab menyangkut keselamatan negri Pajajaran, negri yang amat dicintai Banyak Angga.

Sudah diperintahkan oleh Pangeran Yudakara, bahwa suatu saat Banyak Angga harus dibunuh. Barangkalai inilah yang tengah diusahakan Paman Manggala, membunuh Ksatria Pajajaran itu melalui perampok.

Memang terbukti, Banyak Angga semakin sibuk menghindari serbuan dari kiri, kanan, depan dan belakang. Oleh Paman Manggala yang posisinya berdekatan, Banyak Angga dibiarkan saja dan tak dibantu sedikit pun. Padahal kalau mau, dengan amat mudahnya Paman Manggala menghalau pengeroyok Banyak Angga.

Orang tua itu pun sebetulnya tengah dikepung beberapa pengeroyok. Namun Pragola yakin, dalam satu gebrakan saja, sebetulnya Paman Manggala akan dengan mudah melumpuhkan lawan.

Yang telah sanggup melumpuhkan perampok hanyalah Paman Angsajaya. ada beberapa anggota perampok yang terjungkal karena babatan kelewangnya. Namun dirinya sendiri pun mengalami pendarahan karena banyak luka di sana-sini. Orang tua itu bahkan semakin lama semakin lemah tenaganya. Gerakannya pun tidak segesit pada babak-babak awal. Bahkan Pragola cenderung menilai bahwa gerakan Paman Angsajaya pada pertempuran paling akhir ini semakin lamban saja. Dia memang sudah tua. Lagi pula dalam perjalan jauh ini, beberapa kali Paman Angsajaya harus mengalami pertempuran.

Pragola menjadi bimbang dibuatnya. Kalau harus bertempur mati-matian di samping dia tak punya kepentingan pribadi juga berarti bertolak belakang dengan keinginan Paman Manggala. Tapi bila membiarkan suasana ini berlangsung, berarti menyuruh para perampok membunuh Banyak Angga. Tegakah dia membiarkan pemuda itu mati dicecar golok-golok para perampok?

Pragola bimbang, secara politis, Banyak Angga adalah musuhnya, namun secara pribadi, antara dia dan Banyak Angga tak punya pertentangan apa pun. Malah Banyak Angga adalah lelaki yang budinya paling baik dan paling halus selama Pragola mengenal berbagai tipe orang. Secara manusiawi, Pragola tak boleh membiarkan Banyak Angga celaka.

Namun untuk yang kesekian kalinya rasa bimbang menerpa hatinya. Antara naluri manusia dan perintah yang diembannya terasa saling berbenturan. Dan selama hatinya berkecamuk, adegan pertempuran terus berlangsung. Dia dengan mudah menghalau pengeroyoknya.

Namun Banyak Angga yang punya kepandaian di bawah dirinya, mengalami kerepotan. Beberapa luka telah terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Luka itu tak seberapa tapi banyak mengeluarkan aliran darah. Kalau dibiarkan terlalu lama Banyak Angga bisa dipastikan bakal ambruk kehabisan darah.

Namun Pragola masih tak memberikan bantuan. Dan di hatinya terjadi saling bedol antara dua pendapat. Pragola sedikit menundukkan wajah ketika dilihatnya Banyak Angga melirik padanya. Pragola tahu, tentu Banyak Angga minta bantuan pada dirinya yang kedudukannya sedikit agak jauh. Mungkin Banyak Angga sudah tak memiliki harapan dapat bantuan Paman Manggala sebab orang tua itu selalu bertempur membelakangi Banyak Angga. Lagi pula Paman Manggala pun nampak sedang “sibuk” dikeroyok banyak orang.

Melihat betapa wajah Banyak Angga menampakkan permohonan, Pragola tergerak hatinya dan berniat hendak menolongnya. Namun gerakannya terhenti manakala di kejauhan terlihat sekumpulan orang. Pragola terkejut sebab kelompok itu adalah orang-orang Cirebon, semuanya anak buah Pangeran Yudakara.

Pragola terkejut sebab di sana terlihat Perwira Goparana dan Jaya Sasana. Goparana adalah lelaki tinggi besar pendatang dari tanah arab yang mengabdi pada Karatuan Cirebon. Sedangkan Jaya Sasana adalah orang dari Karatuan Talaga yang juga sama mengabdi ke Cirebon dan kini ditugaskan menyertai Pangeran Yudakara.

Pragola punya alasan untuk terkejut sebab dia bisa menduga, kedua perwira itu pasti di utus Pangeran Yudakara untuk melihat perkembangan. Perjalanan sudah hampir sampai ke tujuan namun Banyak Angga masih selamat. Ini mungkin akan menjadi tanggung jawab dirinya dan Paman Manggala, mengapa keadaan berlarut-larut. Padahal perintah Pangeran Yudakara sudah jelas. Kalau Banyak Angga luput dari serbuan dan hadangan di perjalanan, maka Paman Manggala dan Pragola harus tanggung jawab membereskannya.

Dugaan inilah yang mengejutkan dirinya. Dengan demikian, kedudukan Pragola kini terjepit. Di lain pihak ada rasa kemanusiaan yang ingin dipertahankan. Namun di pihak lain dia ditekan oleh urusan politik.

Namun sebelum dia memilih tindakan apa yang mesti dilakukan, secara tiba-tiba ada bayangan berkelebat memasuki arena pertempuran. Bayangan itu berkelebat kesana-kemari dan serentak terdengar jerit-jerit kesakitan. Tubuh-tubuh perampok terlempar kesana-kemari dan jatuh berdebuk untuk tak bangun lagi. Kini yang terlihat di sana adalah dua tubuh bergeletakan. Tubuh Paman Angsajaya yang berlumuran darah dan tubuh Banyak Angga yang juga tergeletak berlumuran darah.

Sedangkan di antara dua tubuh tergeletak, berdiri seorang lelaki. Lelaki itu berpakaian kumal warna hitam. Celana sontog dari kain kasar dan ada tambalan di sana-sini nampak lebih kumal lagi.

Pragola tak sanggup menaksir berapa usia lelaki kumal itu, sebab wajahnya tertutup kumis dan cambang yang lebat. Rambutnya panjang terurai dan riap-riapan. Yang menentukan lelaki itu belum tua karena matanya bulat berbinar tak cekung ke dalam. Begitu pun kulit wajahnya tak berkerut. Namun siapakah dia, inilah yang ingin Pragola tahu.

Rupanya itu pula yang diinginkan oleh Goparana dan Jaya Sasana. Kedua orang perwira Cirebon itu nampak ternganga heran, betapa puluhan perampok bertumbangan hanya dalam satu dua gerakan saja. Ini hanya menandakan, betapa hebatnya orang ini.

Goparana dan Jaya Sasana langsung meloncat-loncat beberapa kali dan dalam sekejap sudah tiba di hadapan lelaki berambut riap-riapan itu. Namun orang itu seperti tak peduli. Dia malah menghampiri tubuh Banyak Angga yang tergeletak dan langsung memondongnya. Kemudian lelaki itu hendak berlalu.

“Berhenti!” teriak Goparana yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar itu.

Lelaki berambut riap-riapan itu segera menghentikan langkahnya.

“Turunkan Banyak Angga!” kata Goparana bernada perintah.

Tapi lelaki itu tak menurut. Dia hanya berdiri saja sambil sepasang tangannya memondong tubuh Banyak Angga.

“Kuperintahkan, turunkan Banyak Angga!” jawab lelaki itu dengan nada datar.

“Hm, dengan kepandaianmu seperti itu, engkau sudah bersikap sombong,” dengus Goparana bertolak pinggang.

“Memang benar, terkadang tersembul pikiran ganjil pada diri kita. Ragu-ragu berbuat kebenaran karena takut disalahkan,” gumam lelaki itu, masih tetap memondong tubuh Banyak Angga.

“Sialan! Engkau tak jawab pertanyaanku. Barangkali pertanyaan seperti ini akan engkau jawab!” teriak Goparana.

Dan tanpa memberi peringatan terlebih dahulu Goparana menerjang. Cukup ganas dan membahayakan sebab Goparana mencoba menyerang ubun-ubun. Ini serangan mengarah nyawa dan dilakukan ke arah bagian yang tak terlindung. Lelaki itu tengah memondong tubuh Banyak Angga yang pingsan karena banyak mengeluarkan banyak darah. Artinya, sepasang tangan lelaki itu tengah tak berpungsi dan tak mungkin melakukan tangkisan.

Suara angin pukulan terdengar berciutan tanda pukulan itu dibarengi tenaga dalam yang amat kuat. Pragola ngeri membayangkannya. Kalau serangan itu mengenai sasaran, batok kepala lelaki itu akan pecah berhamburan.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment