Pragola hafal betul kepandaian Paman Manggala. Dulu pernah menyaksikan Paman Manggala melatih telunjuknya dengan keras dan tekun. Paman Manggala gemar melatih telunjuknya dengan cara melakukan tusukan-tusukan jari ke berbagai benda. Mula-mula hanya menusuk benda-benda lunak seperti batang pisang atau batang pepaya saja. Namun semakin keras dan semakin tinggi tingkat latihannya, semakin keras juga benda yang jadi bahan peraganya. Belakangan bahkan Paman Manggala sanggup menusuk sebongkah batu tanpa batu itu menjadi hancur. Batu bahkan hanya berlubang dengan bentuk yang rapih. Mudah diduga, latihan kekuatan jari ini diperuntukkan bagi keperluan perkelahian. Betapa tengkorak atau ubun-ubun lawan akan tertembus oleh jari Paman Manggala.
Namun kata Ki Guru Sudireja, kepandaian Paman Manggala bahkan sudah lebih baik lagi dari itu. Hasil serangan jari Paman Manggala lebih halus dan lebih beradab walau pun hasilnya tetap saja sadis, yaitu menyebabkan kematian. Serangan jari halus kini sudah diperagakan kepada Pragola. Ketujuh tawanan itu tewas karena urat darahnya putus oleh serangan jari Paman Manggala. Pragola yakin itu. Tapi yang membuat pemuda ini mengerutkan dahi, mengapa Paman Manggala melakukan semua ini? Mengapa pula merahasiakannya?
Pragola bingung memikirkannya. Ada terjadi beberapa keanehan dalam perjalanan ini. Mula-mula mereka mendapat serangan “komplotan perampok”. Pragola sebetulnya tidak akan kaget sebab sudah jauh hari dia diberitahu, bahwa untuk mengganggu perjalanan Banyak Angga, mereka akan diserang sepasukan “perampok”. Menurut khabar yang disampaikan, ”perampok” itu sebetulnya prajurit Cirebon yang ada di bawah kendali Pangeran Yudakara.
Pragola memang sudah tahu bakal ada penyerangan di tengah jalan. Dalam serangan itu, kemungkinan orang-orang Pakuan akan dibunuh. Namun yang membuat Pragola heran, mengapa dalam serangan itu sepertinya dia sendiri pun masuk daftar untuk dibunuh? Sebelum rasa bingung ini sempat terjawab, sudah disusul lagi dengan kebingungan yang lain. Tujuh tawanan tewas secara mencurigakan dan Pragola bercuriga Paman Manggalalah pelakunya. Mengapa ini bisa terjadi?
Pragola hanya menduga, ketujuh perampok yang sebetulnya kawan sendiri itu sengaja dibunuh Paman Manggala untuk melenyapkan jejak. Mereka perlu dilenyapkan sebab gagal mengemban tugas. Tentu kalau mereka semua tewas oleh Banyak Angga bukanlah suata masalah. Namun ternyata mereka telah jadi tawanan. Banyak Angga sudah berkata bahwa tawanan akan diserahkan kepada cutak terdekat untuk segera diperiksa. Barangkali inilah yang dipikirkan Paman Manggala sehingga memutuskan melenyapkan tawanan sebelum rahasia terbongkar.
Bisa dimaklumi tindakan ini. Namun yang tak Pragola habis pikir, mengapa Paman Manggala merahasiakan padanya? Jelas sekali Paman Manggala pura-pura tak melakukan sesuatu di hadapannya. Ini hanya punya kesan bahwa Paman Manggala tak memperbolehkan dirinya tahu.
Sementara itu perjalanan sudah ada di ujung senja. Ini adalah hari pertama perjalanan. Berarti satu hari lagi perjalanan harus dilakukan untuk sampai di tujuan. Namun ketika empat orang itu sudah siap-siap untuk istirahat, bencana datang lagi. Untuk yang kedua kalinya mereka diserbu lagi oleh “perampok”. Maka pertempuran pun kembali terjadi. Kali ini dilakukan di tengah hutan jati yang sudah mulai meremang karena senja mulai jatuh.
Untuk yang kesekian kalinya Pragola menjadi bingung sebab “perampok” benar-benar ingin menghabisi jiwa mereka. Tidak saja ingin membunuh Banyak Angga dan Paman Angsajaya, tapi juga seperti ingin melenyapkan nyawa Pragola dan Paman Manggala. Di tengah-tengah kepungan ini, selintas Pragola bisa melihat rasa heran yang sangat diperlihatkan Paman Manggala. Melihat kebrutalan para penyerbu, Paman Manggala nampak mengerutkan kening. Apalagi kebrutalan ini juga diarahkan kepadanya.
Para penyerbu yang jumlahnya mencapai puluhan itu memang melakukan serangan brutal dan tujuannya membabat habis keempat orang itu. Serangan brutal ini telah memaksa Pragola untuk berlaku hati-hati. Jangan sampai dia terkena sabetan golok atau tusukan pedang lawan.
Untuk yang kesekian kalinya pemuda ini pun merasa heran, bahwa cara berkelahi orang-orang ini tidak seperti prajurit Cirebon. Dan di balik kebrutalan serbuan ini, Pragola sempat melihat keanehan. Pemuda ini mendapatkan ada gerakan berkelahi mirip orang Pajajaran. Prajurit Pajajaran yang memiliki kepandaian biasa-biasa saja cenderung menggunakan tenaga kasar dalam bertanding. Terkadang bila emosinya timbul, mereka melakukan gerakan burtal.
Namun dalam kebrutalan ini selalu nampak ada kejujuran. Mereka tidak melakukan gerakan menipu atau berbuat licik. Dalam upaya melumpuhkan lawan, mereka berteriak terlebih dahulu sehingga sebelum yang diserang terluka dia sudah menyadari bahwa dirinya tengah diserang. Dan itulah yang diperlihatkan para pengepung ini. Jauh berbeda dengan pengepung kemarin malam yang kesemuanya asing dan licik dalam pandangan Pragola.
Kalau melihat gerakan tipe berkelahi antara penyerbu kemarin dengan yang hari ini, sepertinya mereka bukan dari satu kelompok. Dan karena ada kemiripan dengan cara berkelahi orang Pajajaran, maka Pragola menduga bahwa mereka tentu ada pertalian dengan orang Pajajaran. Apakah mereka merupakan prajurit Pajajaran yang mulai memalingkan muka dari tuannya? Bila benar, Pragola memuji kepada kehebatan Pangeran Yudakara yang sudah sanggup menarik orang Pajajaran untuk mengikutinya.
Yang tidak nampak bingung menghadapi gerakan pengeroyok adalah Banyak Angga dan Paman Angsajaya. Mungkin mereka pun sudah menduga pula bahwa pengepungnya ini adalah orang Pajajaran. Namun yang Banyak Angga yakini, tentu pengepung ini benar-benar merupakan orang jahat semata. Seperti yang sudah dikhabarkan Kandagalante Subangwara, sepanjang Tanjungpura dan Sagaraherang banyak kaum penjahat yang berupaya merampok kaum penempuh perjalanan.
Yang tak diduga dalam pertempuran ini adalah gerakan-gerakan Paman Manggala. Menghadapi serangan-serangan brutal lawan, disambutnya dengan gerakan yang tak kalah ganasnya. Dalam satu dua gerakan tiga sampai empat orang pengepungnya jatuh berpelantingan dan tak mampu bangun lagi. Paman Manggala bahkan tak kepalang tanggung bergerak. Sesudah pengepungnya habis, dia segera meloncat mendekati para pengepung Banyak Angga.
Dengan gerakan cepat satu-persatu kaum pengeroyok dia lumpuhkan. Maka tak ayal terdengar pekik-pekik kesakitan di tempat itu. Beberapa pengeroyok terlontar dan tubuhnya menabrak batang pohon jati. Mereka tak sempat mengaduh atau pun menggerakkan tubuh. Barangkali mereka sudah tewas oleh pukulan Paman Manggala sebelum tubuhnya menubruk batang pohon.
Pragola terkesiap melihat keganasan Paman Manggala. Dia pun amat heran, mengapa Paman Manggala tak “memberi” kemenangan kepada kaum penyerbu, bahkan sebaliknya seperti berupaya memporak-porandakannya?
Pragola bingung memikirkannya. Dan karena teka-teki ini tak pernah terkuak, maka akhirnya dia pun ikut-ikutan membabat lawannya. Hal ini dia lakukan tanpa ragu karena para pengeroyoknya selalu berusaha untuk membunuhnya. Pragola tak bisa menahan kesabarannya. Walau pun sejak dini sudah diberitahu bahwa para pencegat itu adalah “orang-orang sendiri”, tapi karena tindakan mereka terhadapnya demikina kejam dan berniat membunuhnya, maka terpaksa dia pun menurunkan tangan kejam pula. Dan apalagi ini sudah diberi contoh oleh Paman Manggala .
Pragola tak perlu mengeluarkan seluruh kepandaiannya sebab lawan pada umumnya hanyalah prajurit-prajurit biasa yang punya kepandaian biasa. Dalam beberapa gebrakan saja tubuh para pengeroyoknya sudah berserakan, bergulingan dan mengaduh-aduh, sebagai tanda mereka kalah tanpa tewas.
“Sudah! Sebagian tak usah dibunuh” teriak Paman Manggala seperti memberi perintah.
Tentu saja Paman Manggala sebetulnya tak perlu berteriak begitu, sebab ketiga orang itu dalam berkelahi tidak membunuh lawannya. Bukankah yang tega membunuh musuh hanya Paman Manggala seorang?
Namun kata Ki Guru Sudireja, kepandaian Paman Manggala bahkan sudah lebih baik lagi dari itu. Hasil serangan jari Paman Manggala lebih halus dan lebih beradab walau pun hasilnya tetap saja sadis, yaitu menyebabkan kematian. Serangan jari halus kini sudah diperagakan kepada Pragola. Ketujuh tawanan itu tewas karena urat darahnya putus oleh serangan jari Paman Manggala. Pragola yakin itu. Tapi yang membuat pemuda ini mengerutkan dahi, mengapa Paman Manggala melakukan semua ini? Mengapa pula merahasiakannya?
Pragola bingung memikirkannya. Ada terjadi beberapa keanehan dalam perjalanan ini. Mula-mula mereka mendapat serangan “komplotan perampok”. Pragola sebetulnya tidak akan kaget sebab sudah jauh hari dia diberitahu, bahwa untuk mengganggu perjalanan Banyak Angga, mereka akan diserang sepasukan “perampok”. Menurut khabar yang disampaikan, ”perampok” itu sebetulnya prajurit Cirebon yang ada di bawah kendali Pangeran Yudakara.
Pragola memang sudah tahu bakal ada penyerangan di tengah jalan. Dalam serangan itu, kemungkinan orang-orang Pakuan akan dibunuh. Namun yang membuat Pragola heran, mengapa dalam serangan itu sepertinya dia sendiri pun masuk daftar untuk dibunuh? Sebelum rasa bingung ini sempat terjawab, sudah disusul lagi dengan kebingungan yang lain. Tujuh tawanan tewas secara mencurigakan dan Pragola bercuriga Paman Manggalalah pelakunya. Mengapa ini bisa terjadi?
Pragola hanya menduga, ketujuh perampok yang sebetulnya kawan sendiri itu sengaja dibunuh Paman Manggala untuk melenyapkan jejak. Mereka perlu dilenyapkan sebab gagal mengemban tugas. Tentu kalau mereka semua tewas oleh Banyak Angga bukanlah suata masalah. Namun ternyata mereka telah jadi tawanan. Banyak Angga sudah berkata bahwa tawanan akan diserahkan kepada cutak terdekat untuk segera diperiksa. Barangkali inilah yang dipikirkan Paman Manggala sehingga memutuskan melenyapkan tawanan sebelum rahasia terbongkar.
Bisa dimaklumi tindakan ini. Namun yang tak Pragola habis pikir, mengapa Paman Manggala merahasiakan padanya? Jelas sekali Paman Manggala pura-pura tak melakukan sesuatu di hadapannya. Ini hanya punya kesan bahwa Paman Manggala tak memperbolehkan dirinya tahu.
Sementara itu perjalanan sudah ada di ujung senja. Ini adalah hari pertama perjalanan. Berarti satu hari lagi perjalanan harus dilakukan untuk sampai di tujuan. Namun ketika empat orang itu sudah siap-siap untuk istirahat, bencana datang lagi. Untuk yang kedua kalinya mereka diserbu lagi oleh “perampok”. Maka pertempuran pun kembali terjadi. Kali ini dilakukan di tengah hutan jati yang sudah mulai meremang karena senja mulai jatuh.
Untuk yang kesekian kalinya Pragola menjadi bingung sebab “perampok” benar-benar ingin menghabisi jiwa mereka. Tidak saja ingin membunuh Banyak Angga dan Paman Angsajaya, tapi juga seperti ingin melenyapkan nyawa Pragola dan Paman Manggala. Di tengah-tengah kepungan ini, selintas Pragola bisa melihat rasa heran yang sangat diperlihatkan Paman Manggala. Melihat kebrutalan para penyerbu, Paman Manggala nampak mengerutkan kening. Apalagi kebrutalan ini juga diarahkan kepadanya.
Para penyerbu yang jumlahnya mencapai puluhan itu memang melakukan serangan brutal dan tujuannya membabat habis keempat orang itu. Serangan brutal ini telah memaksa Pragola untuk berlaku hati-hati. Jangan sampai dia terkena sabetan golok atau tusukan pedang lawan.
Untuk yang kesekian kalinya pemuda ini pun merasa heran, bahwa cara berkelahi orang-orang ini tidak seperti prajurit Cirebon. Dan di balik kebrutalan serbuan ini, Pragola sempat melihat keanehan. Pemuda ini mendapatkan ada gerakan berkelahi mirip orang Pajajaran. Prajurit Pajajaran yang memiliki kepandaian biasa-biasa saja cenderung menggunakan tenaga kasar dalam bertanding. Terkadang bila emosinya timbul, mereka melakukan gerakan burtal.
Namun dalam kebrutalan ini selalu nampak ada kejujuran. Mereka tidak melakukan gerakan menipu atau berbuat licik. Dalam upaya melumpuhkan lawan, mereka berteriak terlebih dahulu sehingga sebelum yang diserang terluka dia sudah menyadari bahwa dirinya tengah diserang. Dan itulah yang diperlihatkan para pengepung ini. Jauh berbeda dengan pengepung kemarin malam yang kesemuanya asing dan licik dalam pandangan Pragola.
Kalau melihat gerakan tipe berkelahi antara penyerbu kemarin dengan yang hari ini, sepertinya mereka bukan dari satu kelompok. Dan karena ada kemiripan dengan cara berkelahi orang Pajajaran, maka Pragola menduga bahwa mereka tentu ada pertalian dengan orang Pajajaran. Apakah mereka merupakan prajurit Pajajaran yang mulai memalingkan muka dari tuannya? Bila benar, Pragola memuji kepada kehebatan Pangeran Yudakara yang sudah sanggup menarik orang Pajajaran untuk mengikutinya.
Yang tidak nampak bingung menghadapi gerakan pengeroyok adalah Banyak Angga dan Paman Angsajaya. Mungkin mereka pun sudah menduga pula bahwa pengepungnya ini adalah orang Pajajaran. Namun yang Banyak Angga yakini, tentu pengepung ini benar-benar merupakan orang jahat semata. Seperti yang sudah dikhabarkan Kandagalante Subangwara, sepanjang Tanjungpura dan Sagaraherang banyak kaum penjahat yang berupaya merampok kaum penempuh perjalanan.
Yang tak diduga dalam pertempuran ini adalah gerakan-gerakan Paman Manggala. Menghadapi serangan-serangan brutal lawan, disambutnya dengan gerakan yang tak kalah ganasnya. Dalam satu dua gerakan tiga sampai empat orang pengepungnya jatuh berpelantingan dan tak mampu bangun lagi. Paman Manggala bahkan tak kepalang tanggung bergerak. Sesudah pengepungnya habis, dia segera meloncat mendekati para pengepung Banyak Angga.
Dengan gerakan cepat satu-persatu kaum pengeroyok dia lumpuhkan. Maka tak ayal terdengar pekik-pekik kesakitan di tempat itu. Beberapa pengeroyok terlontar dan tubuhnya menabrak batang pohon jati. Mereka tak sempat mengaduh atau pun menggerakkan tubuh. Barangkali mereka sudah tewas oleh pukulan Paman Manggala sebelum tubuhnya menubruk batang pohon.
Pragola terkesiap melihat keganasan Paman Manggala. Dia pun amat heran, mengapa Paman Manggala tak “memberi” kemenangan kepada kaum penyerbu, bahkan sebaliknya seperti berupaya memporak-porandakannya?
Pragola bingung memikirkannya. Dan karena teka-teki ini tak pernah terkuak, maka akhirnya dia pun ikut-ikutan membabat lawannya. Hal ini dia lakukan tanpa ragu karena para pengeroyoknya selalu berusaha untuk membunuhnya. Pragola tak bisa menahan kesabarannya. Walau pun sejak dini sudah diberitahu bahwa para pencegat itu adalah “orang-orang sendiri”, tapi karena tindakan mereka terhadapnya demikina kejam dan berniat membunuhnya, maka terpaksa dia pun menurunkan tangan kejam pula. Dan apalagi ini sudah diberi contoh oleh Paman Manggala .
Pragola tak perlu mengeluarkan seluruh kepandaiannya sebab lawan pada umumnya hanyalah prajurit-prajurit biasa yang punya kepandaian biasa. Dalam beberapa gebrakan saja tubuh para pengeroyoknya sudah berserakan, bergulingan dan mengaduh-aduh, sebagai tanda mereka kalah tanpa tewas.
“Sudah! Sebagian tak usah dibunuh” teriak Paman Manggala seperti memberi perintah.
Tentu saja Paman Manggala sebetulnya tak perlu berteriak begitu, sebab ketiga orang itu dalam berkelahi tidak membunuh lawannya. Bukankah yang tega membunuh musuh hanya Paman Manggala seorang?
Paman Manggala meminta kepada Banyak Angga agar tak membunuh para tawanan yang masih hidup. Sudah barang tentu hal ini diizinkan pemuda itu sebab pada dasarnya Banyak Angga bukanlah seorang yang kejam.
“Para tawanan ini akan kita serahkan kepada cutak agar diperiksa,” tutur Banyak Angga. ”Kita harus menjaga tawanan dengan baik jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi,” kata Banyak Angga.
Malam harinya diadakan tugur lagi. Kali ini Pragola tugur bersama Banyak Angga dan Paman Manggala bergabung dengan Paman Angsajaya. Ada empat tawanan disini. Dengan kata lain, sebagian besar dari “perampok” mati terbunuh. Ini sesuatau yang disesalkan Banyak Angga yang pada dasarnya berhati lemah juga. Pemuda ini sebetulnya hanya menginginkan perampok dilumpuhkan saja tanpa harus dibunuh.
Pragola dan Banyak Angga menerima giliran jaga paling awal dan sebaliknya Paman Manggala beserta Paman Angsajaya istirahat. Pada tengah malam giliran Banyak Angga dan Pragola istirahat. Namun karena sudah bercuriga kepada Paman Manggala, Pragola hanya pura-pura tidur. Yang sebenarnya terjadi, dia mencoba mengamati gerak-gerik Paman Manggala, takut peristiwa malam kemarin terulang lagi.
Benar saja, Paman Manggala membuat tindak-tanduk yang mencurigakan. Entah dengan cara apa, Paman Manggala telah membuat Paman Angsajaya mengantuk dan akhirnya terlena di batang kayu. Sesudah membuat teman jaganya tidur, Paman Manggala segera mendekati keempat tawanan. Paman Manggala mencoba memeriksa tawanan-tawanan itu. Berbagai pertanyaan dikemukakan dengan suara halus setengah berbisik namun bisa ditangkap telinga Pragola yang cukup terlatih.
Paman Manggala mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Pragola bingung memikirkannya. Paman Manggala mendesak kepada keempat orang tawanan itu agar mau mengatakan siapa yang mengutus mereka menyerang rombongan. Inilah yang mengejutkan Pragola sebab dengan kata lain, Paman Manggala mencurigai bahwa para penyerang ini bukanlah diutus oleh Pangeran Yudakara.
“Ada imbalan bagi kalian bila mau mengatakannya,” bisik Paman Manggala.
Namun satu orang pun tak ada mau membuka mulut. Beberapa kali Paman Manggala mendesak agar tawanan sudi berbicara. Namun Pragola memuji keteguhan dan kesetiaan orang-orang itu. Semuanya tak mau membeberkan siapa tuan mereka.
Pragola menghela nafas sebab sudah menduga akan nasib keempat orang itu. Mereka pasti dihabisi Paman Manggala menurunkan tangan kejam. Pragola perlu mencegah pembunuhan sebab keselamatan keempat orang tawanan dibutuhkan Pragola. Untuk mencegah tindakan Paman Manggala, Pragola akan pura-pura batuk kemudian bangun.
Namun Pragola kecele. Paman Manggala ternyata tak melakukan sesuatu. Keempat orang tawanan tidak diganggu dan Paman Manggala segera kembali mendekati tempat di mana Paman Angsajaya tertidur. Paman Manggala pun nampak pura-pura merebahkan diri.
Ketika kokok ayam pertama terdengar dari bagian hutan sana Paman Angsajaya terjaga duluan. Dia sangat terkejut karena tidur, padahal seharusnya bertugas sebagai tugur.
“Oh, maafkan saya tertidur. Ngantuk sekali rasanya malam tadi…” gumam Paman Angsajaya sedikit malu.
Namun dengan pandainya Paman Manggala seolah memaklumi keadaan ini. “Saya pun sebenarnya diganggu kantuk yang hebat. Memang kita semua lelah. Tanpa melakukan perkelahian pun sebenarnya tenaga kita sudah terkuras banyak oleh perjalanan yang demikian panjang,” tutur Paman Manggala.
Dan ucapan ini nampaknya membuat Paman Angsajaya sedikit lega karena tak terlalu disalahkan. Kedua orang itu tergopoh-gopoh memeriksa keempat orang tawanan masih segar-bugar.
“Sesudah sarapan pagi, kita segera melanjutkan perjalanan. Tapi sebelumnya kita serahkan tawanan itu pada cutak,” kata Banyak Angga.
Yang dimaksud sarapan pagi adalah memakan daging burung walik yang mudah ditangkap di hutan jati itu. Banyak Angga membagi daging walik bakar kepada keempat orang tawanan padahal dia sendiri pun belum menerima bagian. Perilaku pemuda ini tak luput dari perhatian Pragola. Sehingga Pragola terpaksa harus mengakui bahwa sebenarnya Banyak Angga berbudi halus dan penyayang terhadap sesama. Sesudah semua orang mendapatkan bagian daging, barulah pemuda itu berani makan.
Satu hari perjalanan menuju Kandagalante Sagaraherang. Sedangkan untuk mencapai wilayah kacutakan paling dekat, mereka harus berjalan kaki hampir setengah hari. Maka untuk tidak terlalu banyak membuang waktu, mereka melakukan perjalanan cepat. Para tawanan dipacu untuk ikut berjalan cepat padahal nampak nyata mereka kedodoran.
Namun sesuai dengan perkataan Kandagalante Tanjungpura, bahwa sepanjang perjalanan Tanjungpura-Sagaraherang akan mengalami banyak hambatan sebab para penjahat malang-melintang di sepanjang wilayah ini.
Baru saja perjalanan cepat dilakukan sepemakan sirih lamanya, mereka sudah mendapatkan hadangan lagi. Ada puluhan orang dengan pakaian hitam-hitam, tubuh tinggi besar dan wajah brewok bercambang-bauk. Belasan orang dengan pedang terhunus itu segera mengepung keempat orang itu.
“Kalau tak mau nyawa melayang, serahkan harta kalian!” teriak seseorang dari mereka yang berdiri paling depan.
Ancaman ini hanya dijawab dengan dengusan pendek Paman Manggala. Dan sebelum belasan perampok melakukan gerakan, Paman Manggala sudah mendahului dengan melancarkan serangan gencar. Paman Manggal dengan cepatnya menerjang ke depan, sepasang jari-jari tangannya melayangkan serangan berbentuk cakaran. Pragola hafal betul, inilah jurus Lodaya Ngangkang, sebuah terjangan meniru-niru loncatan harimau.
Hanya bedanya, bila harimau akan langsung melakukan serangan dengan cakarnya, maka Paman Manggala hanyalah menggunakan cakaran sebagai tipuan belaka, sedangkan serangan yang sebenarnya dilakukan melalui tendangan salto. Tubuh Paman Manggala melambung ke udara melewati ubun-ubun lawan. Ketika berada di atas, Paman Manggala melakukan salto beberapa kali. Ketika kedudukan kaki ada di bawah, Paman Manggala segera melepaskan tendangan beruntun.
Tiga kepala lawan dalam satu kali sapuan terhajar telak. Maka tak ayal terdengar tiga teriakan ngeri disusul oleh tiga tubuh berpelantingan ke sana ke mari. Semua teman-temannya kaget melihat gerakan ganas yang diperlihatkan Paman Manggala. Dan kekagetan mereka merupakan kesempatan emas sebab Paman Manggala yang terus bersalto segera melakukan serangan susulan.
Kali ini adalah serangan cakaran silang kiri-kanan. Dua orang lawan yang ada di kiri dan dua orang yang ada di kanan berteriak ngeri ketika pipi-pipi mereka tersayat lima cakaran jari. Darah menyembur dari pipi-pipi mereka sebab sayatan kuku demikian dalam. Tubuh empat orang lawan limbung dan akhirnya terjerembab tak mampu bangun kembali.
Dalam satu gebrakan, Paman Manggala telah melumpuhkan tujuh orang penghadang. Dan untuk yang kesekian kalinya, semua orang terkejut dengan tindak-tanduk ini. Pragola menghitung, sudah dua kali pertempuran Paman Manggala melakukan kekejaman terhadap lawan. Mengapa begitu, Pragola masih belum mengerti. Siapa para penghadang ini sebenarnya. Apakah Paman Manggala mencurigai bahwa penghadang-penghadang ini bukan anak buah Pangeran Yudakara?
Pragola tak sempat berpikir lama sebab pihak penghadang sudah mulai hilang kaget dan tergantikan oleh kemarahan ketika melihat tujuh temannya ambruk dalam satu gebrakan. Belasan orang mengepung dan menyerang empat orang dengan membabi-buta. Bahkan ada sekitar enam orang menyerang empat tawanan Banyak Angga padahal keempat orang itu sedang dalam keadaan terikat kedua tangannya.
Sudah barang tentu keadaan keempat orang dalam keadaan terikat, tak mungkin menyambut dan melakukan perlawanan. Maka dalam beberapa gerakan saja, keempat orang itu sudah menderita luka di sana-sini.
Pragola terkejut dengan kejadian ini. Padahal dia menginginkan tawanan tetap selamat karena dia akan menyelidiki misteri mereka. Rupanya jalan pikiran ini pun sama terdapat di benak Paman Manggala. Buktinya, baik Pragola mau pun Paman Manggala sama-sama meloncat mendekati keempat orang tawanan. Dengan gerakan yang sama cepat, seolah-olah keduanya saling berlomba menjatuhkan enam penyerang tawanan. Dan ketika keenam penyerang terjungkal oleh pukulan-pukulan maut mereka, baik Pragola mau pun Paman Manggala segera menghampiri empat orang tawanan yang nampak payah karena menderita luka parah.
Pragola menghampiri seorang tawanan yang masih mampu bergerak, demikian pun Paman Manggala menghampiri satu orang lainnya yang dirasa masih bisa ditanya.
“Cepat katakan, siapa yang mengutusmu datang ke sini?” teriak Paman Manggala di tengah hiruk-pikuk pertempuran. Dan…..
“trang!”
Paman Manggala menangkis sebuah ayunan golok dengan sebuah pedang yang dengan cepat dipungut dari tanah. Golok beserta pemegangnya sama-sama terlontar ke belakang.
“Lihatlah, pada akhirnya kalian pun mati oleh orang-orang yang sepertimu, yaitu diutus seseorang untuk membunuh kami. Kamu membuang nyawa percuma sebab tuanmu tak setia padamu. Sekarang masih ada waktu kamu menebus dosa. Cepat katakan, siapa yang mengutusmu membunuh kami?” teriak pula Pragola.
“Buk!”
Ujung kaki pemuda itu menendang seorang penyerang yang hendak mencecar dengan hunjaman pedang. Baik Paman Manggala mau pun Pragola berusaha mendapatkan jawaban sambil berkelit dan menangkis hunjaman dan cecaran senjata para penyerang. Tangan kiri Pragola sibuk mengguncang-guncang tawanan yang nampak tengah sekarat, sedangkan tangan kanannya melakukan tangkisan bahkan balik menyerang kepada kaum penyerangnya.
“Cepat katakan! Sebentar lagi kau akan mati!” teriak Pragola jengkel.
“Bak! Bik! Buk!”
Pragola menerima beberapa gebukan tongkat rotan di punggungnya. Pemuda ini terpaksa membalikkan tubuh dan mendorongkan sepasang telapak tangannya. Terdengat angin bersiutan dan tubuh tiga orang penggebuknya terlontar bagaikan daun tertiup angin. Tubuh mereka berdebuk di atas tanah berbatu hampir empat depa jauhnya.
Namun ketika Pragola kembali berbalik menghampiri tawanan, hatinya sungguh terkejut. Tepat di atas perut tawanan sudah tertancap sebuah tombak. Tapi Pragola masih penasaran. Dia segera mendekatkan telinganya ke dekat bibir tawanan itu. Orang itu belum mati, nampak nyata bibirnya bergerak-gerak sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
“Cepat Katakan! Cepat katakan!” kata Pragola tak sabar.
“Nyi Mas… Nyi Mas Layang… Layang Kingkinnn…” dan kemudian tawanan itu menghembuskan napas terakhir.
Telinga Pragola masih menempel di mulut tawanan yang baru saja mati tapi mata pemuda itu menatap ke arah Paman Manggala. Ternyata orang tua itu pun tengah mendekatkan telinganya ke mulut tawanan lainnya yang sama terbaring lemah karena luka-lukanya. Paman Manggala pun sama tengah menatap dirinya, sehingga akhirnya Pragola dan orang tua itu saling memandang lama sekali.
Pragola belum bisa menduga, apakah Paman Manggala pun telah mendapatkan berita yang sama, namun yang pasti, sedikit rahasia mulai terkuak. Bahwa sebetulnya ada pihak yang lain yang juga berkepentingan dalam upaya menghalangi misi perjalanan yang dilakukan Banyak Angga ini. Nyi Mas Layang Kingkin? Berdebar jantung pemuda ini. Betulkah tawanan Banyak Angga yang mati ini diutus oleh ibu suri Nyi Mas Layang Kingkin?
Dencingan-dencingan senjata yang beradu disertai teriakan kemarahan menggangu lamunan Pragola, sehingga untuk sejenak dia menoleh ke arah pertempuran. Tinggal sekitar tujuh atau delapn orang yang mengepung Banyak Angga dan Paman Angsajaya. Melihat perkelahian ini, kendati orang itu dikeroyok tujuh atau delapan perampok, namun nampak nyata sebetulnya tingkat kepandaian Banyak Angga dan Paman Angsajaya satu atau dua tingkat di atas para pengeroyoknya.
Namun mereka tak sanggup menyelesaikan pertempuran karena kelemahan batin mereka sendiri. Baik Banyak Angga mau pun Paman Angsajaya sepertinya tak pantas menjadi tulang punggung keamanan negri sebab mereka tak bisa tegas dalam bertindak. Sudah jelas para pengeroyok menginginkan nyawa mereka tapi mereka tetap tak mau menurunkan tangan kejam. Padahal kalau berniat, sebetulnya amat mudah bagi mereka untuk membabat habis nyawa pengeroyok itu.
Mungkin jalan pikiran Banyak Angga tak pernah berubah, bahwa manusia berbuat jahat karena sakit jiwanya. Maka untuk melenyapkan kejahatan, bukanlah badannya yang harus dibasmi, melainkan jiwanya harus diobati. Itulah barangkali yang menyebabkan pemuda anak pejabat Pakuan ini tak menurunkan tangan kejam.
Akan halnya Paman Angsajaya, dia sebagai bawahan pemuda itu pasti akan ikut berprilaku tuannya juga. Perkelahian yang dilakukan prajurit setengah baya ini hanya menjaga agar dirinya tak terluka saja dan dia pun mengusahakan agar menundukkan lawan dengan tidak membunuhnya. Pragola menduga begitu, namun dia turun membantu agar tak punya anggapan bahwa dia membiarkan Banyak Angga bekerja sendiri.
Pragola melibatkan diri dalam perkelahian tanpa menggunakan senjata. Dan manakala melihat Pragola ikut terjun, Paman Manggala pun segera ambil bagian pula. Namun orang tua ini rupanya tak mau bertele-tele seperti yang lainnya. Dia segera melakukan gerakan cepat. Maka dalam belasan jurus saja, sudah banyak tubuh-tubuh berpelantingan. Mereka memang tak mati, tapi setiap orang yang kena gebukan Paman Manggala rata-rata menderita luka dalam cukup parah. Dua orang pengeroyok mengaduh-aduh karena tangan mereka patah-patah.
Empat orang pengeroyok sudah dilumpuhkan oleh Paman Manggala sendirian saja. Dan empat orang lagi malah langsung menjatuhkan diri berlutut karena sudah merasa tak sanggup memenangkan perkelahian. Tentu saja ini pemandangan mengherankan. Empat orang bertubuh tinggi besar dengan wajah brewok merunduk-runduk minta ampun kepada dua orang pemuda yang ukuran tubuhnya biasa-biasa saja.
Dari sekitar duapuluh lima orang perampok, hanya empat orang ini yang masih bisa duduk kendati dengan tubuh menggigil seperti tikus tercemplung air. Sedangkan sebagian besar dari mereka bergeletakan di tanah dengan tubuh tanpa daya.
Banyak Angga merunduk sedih ketika melihat banyak orang bergeletakan ini. Apalagi dari sejumlah ini, ada belasan yang tewas.
“Pemandangan ini sungguh membuat aku tak suka…” gumannya sendirian.
“Namun harus pula diingat olehmu Raden, bahwa misi yang tengah engkau emban ini pun sebetulnya untuk persiapan ke arah kejadian seperti ini. Barangkali lebih besar dan lebih mengerikan ketimbang ini,” jawab Pragola secara tak sadar.
Banyak Angga menoleh heran dan Paman Manggala mengerutkan dahi. “Mengapa engkau merasa seperti begitu?” tanya Banyak Angga.
“Secara diam-diam engkau dan ayahandamu berupaya mengumpulkan orang-orang pandai dalam memperkuat kembali Pakuan. Ini adalah tindakan dengan risiko cukup besar. Kangjeng Prabu Nilakendra belum tentu setuju dengan kebijaksanaan ini. Kalau benar tak setuju, maka terjadi pertentangan di istana. Kalau pertentangan terjadi berlarut-larut, mungkin akan terjadi adu kekuatan di antara kalian sendiri. Sebaliknya bila usaha kalian berhasil, maka musuh Pajajaran yang berada di sekeliling kalian pun akan lebih meningkatkan kemampuannya. Itulah risiko yang lebih besar dan barangkali akan menghasilkan korban serta kesengsaraan yang lebih parah ketimbang pertempuran kecil hari ini,” tutur Pragola panjang lebar.
Nampak nyata Paman Manggala semakin mengerutkan kening manakala mendengarkan Pragola semakin banyak bicara ini. Jelas, Paman Manggala tak senang dengan ucapan yang dikeluarkan Pragola ini. Sebaliknya dengan Banyak Angga. Pemuda ini menundukkan kepala dan wajahnya nampak sedih. Ucapan Pragola sepertinya masuk dan meresap ke benaknya.
“Ya… pada akhirnya kita tak berdaya diombang-ambingkan situasi ini…” gumam Banyak Angga masih menundukkan kepalanya.
Akhirnya perjalanan menjadi terlambat satu hari sebab keempat orang itu menjadi sibuk mengurusi para pengeroyok itu. Semuanya bekerja keras membuat lubang untuk mengubur perampok yang mati. Celakanya, yang paling keras bekerja membuat lubang adalah empat orang itulah sebab kebanyakan pengeroyok sudah luka parah dan tak bisa dimanfaatkan secara maksimal dalam membantu menguburkan teman-temannya. Banyak Angga tetap ingin menempuh prosedur yang berlaku yaitu mengirimkan penjahat-penjahat itu ke cutak terdekat agar diadili sebagaimana mestinya.
“Mengapa Paman setuju dengan kebijakan Raden Banyak Angga yang memaksa mengirimkan tawanan agar diadili?” tanya Pragola kepada Paman Manggala. ”Kalau mereka diperiksa, jangan-jangan mereka membuka rahasia penyamaran,” tuturnya setengah menyelidik.
“Jalan pikiranmu terlalu polos, Pragola. Pada suatu saat, kepolosanmu ini akan menjebakmu ke arah sesuatu yang membahayakan,” gumam Paman Manggala, suaranya hampir-hampir dingin.
“Benar Paman, sehingga orang yang berpikiran polos perlu dibodohi,” desis Pragola dengan nada dingin pula.
Paman Manggala menatap dengan alis berkerut. Pragola pun balik menatap, sehingga kedua orang itu saling tatap.
“Aku tak mengerti maksudmu…” kata Paman Manggala pendek.
“Justru saya tak mengerti maksud Paman. Dan saya memerlukan keteranganmu,” jawab Pragola.
“Tentang apa?”
“Tentang siapa mereka!” menunjuk dengan matanya kepada sekelompok tawanan di sebelah sana.
“Mereka adalah perampok biasa. Makanya aku biarkan mereka diperiksa orang Pajajaran agar mereka yakin bahwa kaum penghadang yang lainnya pun mereka sangka sebagai perampok biasa juga,” kata Paman Manggala.
“Berarti sudah ada tiga kelompok berlainan yang menghadang saya…” gumam Pragola.
“Aku tak mengerti maksudmu,” tutur Paman Manggala. Namun percakapan mereka tak diteruskan sebab Banyak Angga nampak mendekati.
“Kita terlambat satu hari,” tutur Banyak Angga.
Baik Pragola mau pun Paman Manggala hanya mengangguk.
“Kita memang banyak dihadang kesulitan. Maafkan saya telah membuat kalian repot,” tutur pemuda itu mengeluh.
“Para tawanan ini akan kita serahkan kepada cutak agar diperiksa,” tutur Banyak Angga. ”Kita harus menjaga tawanan dengan baik jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi,” kata Banyak Angga.
Malam harinya diadakan tugur lagi. Kali ini Pragola tugur bersama Banyak Angga dan Paman Manggala bergabung dengan Paman Angsajaya. Ada empat tawanan disini. Dengan kata lain, sebagian besar dari “perampok” mati terbunuh. Ini sesuatau yang disesalkan Banyak Angga yang pada dasarnya berhati lemah juga. Pemuda ini sebetulnya hanya menginginkan perampok dilumpuhkan saja tanpa harus dibunuh.
Pragola dan Banyak Angga menerima giliran jaga paling awal dan sebaliknya Paman Manggala beserta Paman Angsajaya istirahat. Pada tengah malam giliran Banyak Angga dan Pragola istirahat. Namun karena sudah bercuriga kepada Paman Manggala, Pragola hanya pura-pura tidur. Yang sebenarnya terjadi, dia mencoba mengamati gerak-gerik Paman Manggala, takut peristiwa malam kemarin terulang lagi.
Benar saja, Paman Manggala membuat tindak-tanduk yang mencurigakan. Entah dengan cara apa, Paman Manggala telah membuat Paman Angsajaya mengantuk dan akhirnya terlena di batang kayu. Sesudah membuat teman jaganya tidur, Paman Manggala segera mendekati keempat tawanan. Paman Manggala mencoba memeriksa tawanan-tawanan itu. Berbagai pertanyaan dikemukakan dengan suara halus setengah berbisik namun bisa ditangkap telinga Pragola yang cukup terlatih.
Paman Manggala mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Pragola bingung memikirkannya. Paman Manggala mendesak kepada keempat orang tawanan itu agar mau mengatakan siapa yang mengutus mereka menyerang rombongan. Inilah yang mengejutkan Pragola sebab dengan kata lain, Paman Manggala mencurigai bahwa para penyerang ini bukanlah diutus oleh Pangeran Yudakara.
“Ada imbalan bagi kalian bila mau mengatakannya,” bisik Paman Manggala.
Namun satu orang pun tak ada mau membuka mulut. Beberapa kali Paman Manggala mendesak agar tawanan sudi berbicara. Namun Pragola memuji keteguhan dan kesetiaan orang-orang itu. Semuanya tak mau membeberkan siapa tuan mereka.
Pragola menghela nafas sebab sudah menduga akan nasib keempat orang itu. Mereka pasti dihabisi Paman Manggala menurunkan tangan kejam. Pragola perlu mencegah pembunuhan sebab keselamatan keempat orang tawanan dibutuhkan Pragola. Untuk mencegah tindakan Paman Manggala, Pragola akan pura-pura batuk kemudian bangun.
Namun Pragola kecele. Paman Manggala ternyata tak melakukan sesuatu. Keempat orang tawanan tidak diganggu dan Paman Manggala segera kembali mendekati tempat di mana Paman Angsajaya tertidur. Paman Manggala pun nampak pura-pura merebahkan diri.
Ketika kokok ayam pertama terdengar dari bagian hutan sana Paman Angsajaya terjaga duluan. Dia sangat terkejut karena tidur, padahal seharusnya bertugas sebagai tugur.
“Oh, maafkan saya tertidur. Ngantuk sekali rasanya malam tadi…” gumam Paman Angsajaya sedikit malu.
Namun dengan pandainya Paman Manggala seolah memaklumi keadaan ini. “Saya pun sebenarnya diganggu kantuk yang hebat. Memang kita semua lelah. Tanpa melakukan perkelahian pun sebenarnya tenaga kita sudah terkuras banyak oleh perjalanan yang demikian panjang,” tutur Paman Manggala.
Dan ucapan ini nampaknya membuat Paman Angsajaya sedikit lega karena tak terlalu disalahkan. Kedua orang itu tergopoh-gopoh memeriksa keempat orang tawanan masih segar-bugar.
“Sesudah sarapan pagi, kita segera melanjutkan perjalanan. Tapi sebelumnya kita serahkan tawanan itu pada cutak,” kata Banyak Angga.
Yang dimaksud sarapan pagi adalah memakan daging burung walik yang mudah ditangkap di hutan jati itu. Banyak Angga membagi daging walik bakar kepada keempat orang tawanan padahal dia sendiri pun belum menerima bagian. Perilaku pemuda ini tak luput dari perhatian Pragola. Sehingga Pragola terpaksa harus mengakui bahwa sebenarnya Banyak Angga berbudi halus dan penyayang terhadap sesama. Sesudah semua orang mendapatkan bagian daging, barulah pemuda itu berani makan.
Satu hari perjalanan menuju Kandagalante Sagaraherang. Sedangkan untuk mencapai wilayah kacutakan paling dekat, mereka harus berjalan kaki hampir setengah hari. Maka untuk tidak terlalu banyak membuang waktu, mereka melakukan perjalanan cepat. Para tawanan dipacu untuk ikut berjalan cepat padahal nampak nyata mereka kedodoran.
Namun sesuai dengan perkataan Kandagalante Tanjungpura, bahwa sepanjang perjalanan Tanjungpura-Sagaraherang akan mengalami banyak hambatan sebab para penjahat malang-melintang di sepanjang wilayah ini.
Baru saja perjalanan cepat dilakukan sepemakan sirih lamanya, mereka sudah mendapatkan hadangan lagi. Ada puluhan orang dengan pakaian hitam-hitam, tubuh tinggi besar dan wajah brewok bercambang-bauk. Belasan orang dengan pedang terhunus itu segera mengepung keempat orang itu.
“Kalau tak mau nyawa melayang, serahkan harta kalian!” teriak seseorang dari mereka yang berdiri paling depan.
Ancaman ini hanya dijawab dengan dengusan pendek Paman Manggala. Dan sebelum belasan perampok melakukan gerakan, Paman Manggala sudah mendahului dengan melancarkan serangan gencar. Paman Manggal dengan cepatnya menerjang ke depan, sepasang jari-jari tangannya melayangkan serangan berbentuk cakaran. Pragola hafal betul, inilah jurus Lodaya Ngangkang, sebuah terjangan meniru-niru loncatan harimau.
Hanya bedanya, bila harimau akan langsung melakukan serangan dengan cakarnya, maka Paman Manggala hanyalah menggunakan cakaran sebagai tipuan belaka, sedangkan serangan yang sebenarnya dilakukan melalui tendangan salto. Tubuh Paman Manggala melambung ke udara melewati ubun-ubun lawan. Ketika berada di atas, Paman Manggala melakukan salto beberapa kali. Ketika kedudukan kaki ada di bawah, Paman Manggala segera melepaskan tendangan beruntun.
Tiga kepala lawan dalam satu kali sapuan terhajar telak. Maka tak ayal terdengar tiga teriakan ngeri disusul oleh tiga tubuh berpelantingan ke sana ke mari. Semua teman-temannya kaget melihat gerakan ganas yang diperlihatkan Paman Manggala. Dan kekagetan mereka merupakan kesempatan emas sebab Paman Manggala yang terus bersalto segera melakukan serangan susulan.
Kali ini adalah serangan cakaran silang kiri-kanan. Dua orang lawan yang ada di kiri dan dua orang yang ada di kanan berteriak ngeri ketika pipi-pipi mereka tersayat lima cakaran jari. Darah menyembur dari pipi-pipi mereka sebab sayatan kuku demikian dalam. Tubuh empat orang lawan limbung dan akhirnya terjerembab tak mampu bangun kembali.
Dalam satu gebrakan, Paman Manggala telah melumpuhkan tujuh orang penghadang. Dan untuk yang kesekian kalinya, semua orang terkejut dengan tindak-tanduk ini. Pragola menghitung, sudah dua kali pertempuran Paman Manggala melakukan kekejaman terhadap lawan. Mengapa begitu, Pragola masih belum mengerti. Siapa para penghadang ini sebenarnya. Apakah Paman Manggala mencurigai bahwa penghadang-penghadang ini bukan anak buah Pangeran Yudakara?
Pragola tak sempat berpikir lama sebab pihak penghadang sudah mulai hilang kaget dan tergantikan oleh kemarahan ketika melihat tujuh temannya ambruk dalam satu gebrakan. Belasan orang mengepung dan menyerang empat orang dengan membabi-buta. Bahkan ada sekitar enam orang menyerang empat tawanan Banyak Angga padahal keempat orang itu sedang dalam keadaan terikat kedua tangannya.
Sudah barang tentu keadaan keempat orang dalam keadaan terikat, tak mungkin menyambut dan melakukan perlawanan. Maka dalam beberapa gerakan saja, keempat orang itu sudah menderita luka di sana-sini.
Pragola terkejut dengan kejadian ini. Padahal dia menginginkan tawanan tetap selamat karena dia akan menyelidiki misteri mereka. Rupanya jalan pikiran ini pun sama terdapat di benak Paman Manggala. Buktinya, baik Pragola mau pun Paman Manggala sama-sama meloncat mendekati keempat orang tawanan. Dengan gerakan yang sama cepat, seolah-olah keduanya saling berlomba menjatuhkan enam penyerang tawanan. Dan ketika keenam penyerang terjungkal oleh pukulan-pukulan maut mereka, baik Pragola mau pun Paman Manggala segera menghampiri empat orang tawanan yang nampak payah karena menderita luka parah.
Pragola menghampiri seorang tawanan yang masih mampu bergerak, demikian pun Paman Manggala menghampiri satu orang lainnya yang dirasa masih bisa ditanya.
“Cepat katakan, siapa yang mengutusmu datang ke sini?” teriak Paman Manggala di tengah hiruk-pikuk pertempuran. Dan…..
“trang!”
Paman Manggala menangkis sebuah ayunan golok dengan sebuah pedang yang dengan cepat dipungut dari tanah. Golok beserta pemegangnya sama-sama terlontar ke belakang.
“Lihatlah, pada akhirnya kalian pun mati oleh orang-orang yang sepertimu, yaitu diutus seseorang untuk membunuh kami. Kamu membuang nyawa percuma sebab tuanmu tak setia padamu. Sekarang masih ada waktu kamu menebus dosa. Cepat katakan, siapa yang mengutusmu membunuh kami?” teriak pula Pragola.
“Buk!”
Ujung kaki pemuda itu menendang seorang penyerang yang hendak mencecar dengan hunjaman pedang. Baik Paman Manggala mau pun Pragola berusaha mendapatkan jawaban sambil berkelit dan menangkis hunjaman dan cecaran senjata para penyerang. Tangan kiri Pragola sibuk mengguncang-guncang tawanan yang nampak tengah sekarat, sedangkan tangan kanannya melakukan tangkisan bahkan balik menyerang kepada kaum penyerangnya.
“Cepat katakan! Sebentar lagi kau akan mati!” teriak Pragola jengkel.
“Bak! Bik! Buk!”
Pragola menerima beberapa gebukan tongkat rotan di punggungnya. Pemuda ini terpaksa membalikkan tubuh dan mendorongkan sepasang telapak tangannya. Terdengat angin bersiutan dan tubuh tiga orang penggebuknya terlontar bagaikan daun tertiup angin. Tubuh mereka berdebuk di atas tanah berbatu hampir empat depa jauhnya.
Namun ketika Pragola kembali berbalik menghampiri tawanan, hatinya sungguh terkejut. Tepat di atas perut tawanan sudah tertancap sebuah tombak. Tapi Pragola masih penasaran. Dia segera mendekatkan telinganya ke dekat bibir tawanan itu. Orang itu belum mati, nampak nyata bibirnya bergerak-gerak sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
“Cepat Katakan! Cepat katakan!” kata Pragola tak sabar.
“Nyi Mas… Nyi Mas Layang… Layang Kingkinnn…” dan kemudian tawanan itu menghembuskan napas terakhir.
Telinga Pragola masih menempel di mulut tawanan yang baru saja mati tapi mata pemuda itu menatap ke arah Paman Manggala. Ternyata orang tua itu pun tengah mendekatkan telinganya ke mulut tawanan lainnya yang sama terbaring lemah karena luka-lukanya. Paman Manggala pun sama tengah menatap dirinya, sehingga akhirnya Pragola dan orang tua itu saling memandang lama sekali.
Pragola belum bisa menduga, apakah Paman Manggala pun telah mendapatkan berita yang sama, namun yang pasti, sedikit rahasia mulai terkuak. Bahwa sebetulnya ada pihak yang lain yang juga berkepentingan dalam upaya menghalangi misi perjalanan yang dilakukan Banyak Angga ini. Nyi Mas Layang Kingkin? Berdebar jantung pemuda ini. Betulkah tawanan Banyak Angga yang mati ini diutus oleh ibu suri Nyi Mas Layang Kingkin?
Dencingan-dencingan senjata yang beradu disertai teriakan kemarahan menggangu lamunan Pragola, sehingga untuk sejenak dia menoleh ke arah pertempuran. Tinggal sekitar tujuh atau delapn orang yang mengepung Banyak Angga dan Paman Angsajaya. Melihat perkelahian ini, kendati orang itu dikeroyok tujuh atau delapan perampok, namun nampak nyata sebetulnya tingkat kepandaian Banyak Angga dan Paman Angsajaya satu atau dua tingkat di atas para pengeroyoknya.
Namun mereka tak sanggup menyelesaikan pertempuran karena kelemahan batin mereka sendiri. Baik Banyak Angga mau pun Paman Angsajaya sepertinya tak pantas menjadi tulang punggung keamanan negri sebab mereka tak bisa tegas dalam bertindak. Sudah jelas para pengeroyok menginginkan nyawa mereka tapi mereka tetap tak mau menurunkan tangan kejam. Padahal kalau berniat, sebetulnya amat mudah bagi mereka untuk membabat habis nyawa pengeroyok itu.
Mungkin jalan pikiran Banyak Angga tak pernah berubah, bahwa manusia berbuat jahat karena sakit jiwanya. Maka untuk melenyapkan kejahatan, bukanlah badannya yang harus dibasmi, melainkan jiwanya harus diobati. Itulah barangkali yang menyebabkan pemuda anak pejabat Pakuan ini tak menurunkan tangan kejam.
Akan halnya Paman Angsajaya, dia sebagai bawahan pemuda itu pasti akan ikut berprilaku tuannya juga. Perkelahian yang dilakukan prajurit setengah baya ini hanya menjaga agar dirinya tak terluka saja dan dia pun mengusahakan agar menundukkan lawan dengan tidak membunuhnya. Pragola menduga begitu, namun dia turun membantu agar tak punya anggapan bahwa dia membiarkan Banyak Angga bekerja sendiri.
Pragola melibatkan diri dalam perkelahian tanpa menggunakan senjata. Dan manakala melihat Pragola ikut terjun, Paman Manggala pun segera ambil bagian pula. Namun orang tua ini rupanya tak mau bertele-tele seperti yang lainnya. Dia segera melakukan gerakan cepat. Maka dalam belasan jurus saja, sudah banyak tubuh-tubuh berpelantingan. Mereka memang tak mati, tapi setiap orang yang kena gebukan Paman Manggala rata-rata menderita luka dalam cukup parah. Dua orang pengeroyok mengaduh-aduh karena tangan mereka patah-patah.
Empat orang pengeroyok sudah dilumpuhkan oleh Paman Manggala sendirian saja. Dan empat orang lagi malah langsung menjatuhkan diri berlutut karena sudah merasa tak sanggup memenangkan perkelahian. Tentu saja ini pemandangan mengherankan. Empat orang bertubuh tinggi besar dengan wajah brewok merunduk-runduk minta ampun kepada dua orang pemuda yang ukuran tubuhnya biasa-biasa saja.
Dari sekitar duapuluh lima orang perampok, hanya empat orang ini yang masih bisa duduk kendati dengan tubuh menggigil seperti tikus tercemplung air. Sedangkan sebagian besar dari mereka bergeletakan di tanah dengan tubuh tanpa daya.
Banyak Angga merunduk sedih ketika melihat banyak orang bergeletakan ini. Apalagi dari sejumlah ini, ada belasan yang tewas.
“Pemandangan ini sungguh membuat aku tak suka…” gumannya sendirian.
“Namun harus pula diingat olehmu Raden, bahwa misi yang tengah engkau emban ini pun sebetulnya untuk persiapan ke arah kejadian seperti ini. Barangkali lebih besar dan lebih mengerikan ketimbang ini,” jawab Pragola secara tak sadar.
Banyak Angga menoleh heran dan Paman Manggala mengerutkan dahi. “Mengapa engkau merasa seperti begitu?” tanya Banyak Angga.
“Secara diam-diam engkau dan ayahandamu berupaya mengumpulkan orang-orang pandai dalam memperkuat kembali Pakuan. Ini adalah tindakan dengan risiko cukup besar. Kangjeng Prabu Nilakendra belum tentu setuju dengan kebijaksanaan ini. Kalau benar tak setuju, maka terjadi pertentangan di istana. Kalau pertentangan terjadi berlarut-larut, mungkin akan terjadi adu kekuatan di antara kalian sendiri. Sebaliknya bila usaha kalian berhasil, maka musuh Pajajaran yang berada di sekeliling kalian pun akan lebih meningkatkan kemampuannya. Itulah risiko yang lebih besar dan barangkali akan menghasilkan korban serta kesengsaraan yang lebih parah ketimbang pertempuran kecil hari ini,” tutur Pragola panjang lebar.
Nampak nyata Paman Manggala semakin mengerutkan kening manakala mendengarkan Pragola semakin banyak bicara ini. Jelas, Paman Manggala tak senang dengan ucapan yang dikeluarkan Pragola ini. Sebaliknya dengan Banyak Angga. Pemuda ini menundukkan kepala dan wajahnya nampak sedih. Ucapan Pragola sepertinya masuk dan meresap ke benaknya.
“Ya… pada akhirnya kita tak berdaya diombang-ambingkan situasi ini…” gumam Banyak Angga masih menundukkan kepalanya.
Akhirnya perjalanan menjadi terlambat satu hari sebab keempat orang itu menjadi sibuk mengurusi para pengeroyok itu. Semuanya bekerja keras membuat lubang untuk mengubur perampok yang mati. Celakanya, yang paling keras bekerja membuat lubang adalah empat orang itulah sebab kebanyakan pengeroyok sudah luka parah dan tak bisa dimanfaatkan secara maksimal dalam membantu menguburkan teman-temannya. Banyak Angga tetap ingin menempuh prosedur yang berlaku yaitu mengirimkan penjahat-penjahat itu ke cutak terdekat agar diadili sebagaimana mestinya.
“Mengapa Paman setuju dengan kebijakan Raden Banyak Angga yang memaksa mengirimkan tawanan agar diadili?” tanya Pragola kepada Paman Manggala. ”Kalau mereka diperiksa, jangan-jangan mereka membuka rahasia penyamaran,” tuturnya setengah menyelidik.
“Jalan pikiranmu terlalu polos, Pragola. Pada suatu saat, kepolosanmu ini akan menjebakmu ke arah sesuatu yang membahayakan,” gumam Paman Manggala, suaranya hampir-hampir dingin.
“Benar Paman, sehingga orang yang berpikiran polos perlu dibodohi,” desis Pragola dengan nada dingin pula.
Paman Manggala menatap dengan alis berkerut. Pragola pun balik menatap, sehingga kedua orang itu saling tatap.
“Aku tak mengerti maksudmu…” kata Paman Manggala pendek.
“Justru saya tak mengerti maksud Paman. Dan saya memerlukan keteranganmu,” jawab Pragola.
“Tentang apa?”
“Tentang siapa mereka!” menunjuk dengan matanya kepada sekelompok tawanan di sebelah sana.
“Mereka adalah perampok biasa. Makanya aku biarkan mereka diperiksa orang Pajajaran agar mereka yakin bahwa kaum penghadang yang lainnya pun mereka sangka sebagai perampok biasa juga,” kata Paman Manggala.
“Berarti sudah ada tiga kelompok berlainan yang menghadang saya…” gumam Pragola.
“Aku tak mengerti maksudmu,” tutur Paman Manggala. Namun percakapan mereka tak diteruskan sebab Banyak Angga nampak mendekati.
“Kita terlambat satu hari,” tutur Banyak Angga.
Baik Pragola mau pun Paman Manggala hanya mengangguk.
“Kita memang banyak dihadang kesulitan. Maafkan saya telah membuat kalian repot,” tutur pemuda itu mengeluh.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment