Ads

Thursday, November 25, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 034

Dengan susah payah akhirnya Ginggi bisa juga melepaskan ikatan di tangannya. Sekarang dia perlu menggerak-gerakkan tubuhnya untuk mencari ancang-ancang agar kedua tangannya bisa menangkap sepasang kakinya yang berada di bagian atas. Ginggi berayun-ayun.

Pada ayunan kesekian dia segera membuat lentingan sambil serentak menangkap kakinya. Sesudah beberapa kali mengalami kegagalan, akhirnya berhasil juga. Sedikit demi sedikit tangannya berpegangan pada betisnya, sudah itu naik memegang telapak kakinya. Kalau Ginggi langsung membuka ikatan di kakinya, maka tali yang menghubungkan genta akan ikut tertarik dan genta akan berbunyi.

Tidak! Genta tak boleh berbunyi. Itulah sebabnya, sebelum membuka ikatan di kaki, terlebih dahulu dia harus naik ke atas kerekan. Genta digantung di atas tiang kerekan. Jadi tujuan Ginggi sekarang meredam genta agar tak terjadi bunyi. Tubuh pemuda itu terus melenting untuk menggapai genta. Sesudah bisa mendapatkannya, secara perlahan tali genta dia lepas. Perlahan sekali, agar bola genta tak bergoyang.

Tali genta sudah berhasil dia lepaskan. Dengan perasaan lega Ginggi membuka ikatan tali di kakinya. Sesudah bisa lepas, Ginggi segera jumpalitan dan turun dengan sepasang kaki jatuh tepat menginjak tanah. Dan bertepatan dengan itu, terdengar suara tepukan tangan.

“Bagus! Kau tepat menjadi pembantu utamaku!” seru Ki Bagus Seta yang tanpa diketahui Ginggi sudah berada di ruangan itu.

Ketika Ginggi menoleh, Ki Banaspati pun sudah berada di sana. Pemuda itu amat kesal. Susah-payah dia melepaskan diri dari ikatan tali, sudah bebas dipergoki mereka. Atau barangkali mereka memang mengintip sejak tadi, seperti seekor kucing mempermainkan tikus.

“Bagaimana, sudah kau pikirkan dalam-dalam?” tanya Ki Banaspati menatapnya.

“Sudah…” jawab Ginggi.

“Ya, bagaimana?”

“Aku tidak membunyikan genta!”

Ki Banaspati tersenyum kecil dan Ki Bagus Seta mendengus.

“Kalau begitu, engkau harus mati!” kata Ki Bagus Seta pendek dan dingin.

Ki Bagus Seta hendak bergerak tapi segera dicegah oleh Ki Banaspati.

“Kau pikirlah baik-baik,” katanya, “Kalau kau tak setuju artinya kau harus dibunuh di sini juga. Bisa jadi kau melawan dan kau melarikan diri dari puri ini. Tapi di luaran kau tak bisa aman sebab semua prajurit bahkan perwira Pakuan akan mengejarmu. Dengan mudah Ki Bagus Seta akan menuduhmu sebagai penjahat dan pembunuh. Pikirlah secara baik-baik. Kalau kau sudah diketahui fihak penguasa bahwa kau jahat, maka tak ada ampun bagimu dan kami sudah tak bisa melindungimu, sama sulitnya seperti kami hendak berusaha melindungi Ki Rangga Guna, saudara seperguruan yang lain,” kata Ki Banaspati panjang-lebar.

Mendengar ini Ginggi termenung untuk beberapa saat. “Kalian sudah bertemu Ki Rangga Guna?” tanya Ginggi.

Ki Banaspati malah terlihat tertawa. Namun kemudian wajahnya serentak menjadi kelabu dan keningnya berkerut.

“Itulah ruginya bagi yang tak faham dengan taktik perjuangan,” kata Ki Banaspati lagi. “Sejak dulu dia dikejar-kejar pemerintah. Celakanya, dia pun tak mau mengerti taktik perjuanganku. Dia datang ke wilayah Kandagalante Sagaraherang dan menantang serta menegurku. Terpaksa aku dan Kandagalante Sunda Sembawa turun tangan. Ki Rangga Guna ditangkap dan ditahan di sana. Aku masih berbaik hati sebab keinginan Sunda Sembawa, dia harus dibunuh!” kata Ki Banaspati, membuat Ginggi terhenyak.

“Oleh sebab itu, taatilah kami. Kau tak perlu sangsi dengan perjuangan kami, sebab semua tetap berpegang kepada amanat Ki Guru!” kata Ki Banaspati lagi.

Ginggi termenung lama-lama. Hatinya mulai meragu akan kebenaran yang ada pada dirinya.

“Aku juga berpegang kepada amanat Ki Darma. Tapi yang aku tak mengerti, mengapa musti bunuh Raja?” Tanya Ginggi mencoba menghabiskan rasa penasarannya.

“Sudah aku katakan, perjuangan ini membangun. Dan membangun juga bisa diartikan merusak, merusakkan sendi-sendi lama yang dianggap tak cocok dan diganti dengan sendi-sendi baru. Yang namannya merusak adalah menghancurkan, menghilangkan dan membersihkan. Kita ganti dengan yang baru, dengan yang bersih dan berguna bagi siapa saja!” kata Ki Banaspati lagi.

Ginggi termangu-mangu.

“Kau pikirlah itu baik-baik …” kata Ki Bagus Seta yang sejak tadi tak begitu banyak bicara.

Terus didesak dan ditekan seperti itu membuat Ginggi bingung sendiri. Akhirnya dia duduk meloso di lantai dan menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.

“Kalau aku melaksanakan tugas ini, bersediakah kalian melaksanakan permintaanku?” tanya Ginggi pada akhirnya.

“Apa permintaanmu?”

“Lepaskan Ki Rangga Guna dan bebaskan aku!”

Ki Banaspati tersenyum, “Membebaskan Ki Rangga Guna amat bergantung pada kesuksesanmu mengemban perintah, sebab bila Raja telah mati, otomatis semua kebijaksanaannya tak berlaku, termasuk mencap murid-murid Ki Darma sebagai pengkhianat!” kata Ki Banaspati lagi.

“Dan sesudah selesai perjuangan kita, bukan sesuatu yang sulit membebaskanmu ke mana kau suka,” katamya lagi

Ginggi termenung sejenak, tapi kemudian berkata, “Baik kalau begitu …”

Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta saling pandang dan kemudian mengangguk dan tersenyum.



Begitu besarnya pengaruh Ki Bagus Seta seperti yang Ginggi rasakan. Peristiwa terbunuhnya belasan jagabaya di purinya yang dituduhkan pada Ginggi tidak berbekas sama sekali. Para jagabaya di puri tidak menganggap Ginggi sebagai musuh yang harus ditangkap. Dia kembali bisa bebas bergerak. Ini hanya menandakan bahwa kebebasan dirinya karena pengaruh Ki Bagus Seta. Paling tidak di sekitar purinya sendiri.

Ki Bagus Seta demikian berkuasa untuk menentukan kebenaran. Sepertinya di puri itu, hukum berada di lidah dan mulutnya. Baru saja Ginggi dituduh pembunuh dan Ki Bagus Seta mengerahkan prajurit untuk mengepungnya, namun belakangan dengan entengnya dia membatalkan tuduhannya, sehingga Ginggi pun bebas kembali. Lantas, belasan jagabaya yang mati bergeletakan, mau diapakan selanjutnya?

Ini amat mengherankan Ginggi. Bukan saja heran memikirkan situasi di dalam puri Ki Bagus Seta, bahkan situasi keseluruhan Pakuan pun Ginggi merasa heran. Bagaimana sebenarnya hukum yang berlaku di Pakuan ini? Ada terjadi beberapa peristiwa yang memakan korban jiwa. Dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu begitu saja sanggup melepaskan diri dari urusan itu. Para hamba hukum yang ada di Pakuan sepertinya tidak pernah tahu akan adanya peristiwa di puri Suji Angkara yang memakan korban misalnya. Para pejabat hukum Pakuan sepertinya benar tak mengetahui peristiwa itu karena Suji Angkara pandai menyembuyikannya. Tapi peristiwa di puri Bagus Seta di mana belasan jagabaya terbunuh dan semua dituduhkan padanya, mengapa bisa tak diketahui oleh para pejabat hukum istana, padahal Ki Bagus Seta sempat memanggil prajurit istana?

Timbul dugaan bahwa pengaruh-pengaruh Ki Bagus Seta benar-benar telah merambah ke istana. Dengan kata lain, di istana pun sudah banyak terdapat orang-orang yang bekerja untuk kepentingan Ki Bagus Seta. Bila tidak begitu, tidak mungkin banyak berita perihal istana sampai dengan cepat ke puri Bagus Seta.

Keputusan yang dijatuhkan Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati dalam upaya membunuh Raja pun karena adanya berita-berita yang datang dari istana. Ki Bagus Seta menerima khabar bahwa Sang Prabu Ratu Sakti tidak akan mengubah keputusannya dalam memilih orang yang dianggap cocok sebagaai penasihat Raja. Seperti yang sudah disebutkannya semula, Pangeran Yogascitra akan tetap diangkat sebagai penasihat.

Ini suatu berita yang amat menyakitkan Ki Bagus Seta. Padahal dia sudah berkorban banyak untuk memperjuangkan Bangsawan Soka sebagai penasihat. Putrinya satu-satunya telah terlanjur dia “tawarkan” pada Sang Prabu untuk dipersunting dan tak mungkin dibatalkan. Dengan demikian Ki Bagus Seta benar-benar rugi segalanya.

Pada suatu hari Ginggi dipanggil ke ruangan tengah puri yang berfungsi sebagai paseban, yaitu tempat untuk mengadakan berbagai pertemuan penting. Ginggi masuk ke ruangan itu manakala di sana sudah berkumpul pejabat penting. Selain Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati juga terdapat Bangsawan Soka. Mereka duduk bersila saling berhadapan dan wajah-wajahnya nampak tegang sekali.

“Masuklah!…” kata Ki Bagus Seta pendek.

Bangsawan Soka nampak keheranan melihat Ginggi disuruh duduk di satu tempat.

“Bukankah anak muda ini badegamu, Seta?” Tanya Bangsawan Soka mengerutkan dahi.

“Sekarang sudah aku angkat menjadi pembantu utamaku,” kata Ki Bagus Seta.

Bangsawan Soka hanya mengangguk-angguk pelan sambil mata menatap penuh selidik pada Ginggi.

“Ada perkembangan penting yang harus segera kita tangani, Ginggi,” kata Ki Bagus Seta menoleh pada pemuda itu.

Ginggi hanya duduk membisu.

“Sang Prabu yang seharusnya kita hormati dan junjung tinggi telah mengecewakan kita,” kata Ki Bagus Seta.

“Menurut berita yang sampai ke Bangsawan Soka, Sang Prabu selain akan mempersunting putriku, Nyimas Layang Kingkin, juga tidak akan membatalkannya dalam melaksanakan pernikahannya dengan putri Pangeran Yogascitra. Padahal tadinya aku menyerahkaan anakku dengan harapan Sang Prabu mengabaikan hubungan dengan Pangeran itu dan berbalik padaku. Kita kecewa sebab Sang Prabu ternyata tak begitu menghargai kita,” katanya lagi masih menatap Ginggi.

Pemuda ini belum tahu persis apa sebenarnya maksud penyampaian berita ini. Hanya yang jelas ada juga rasa tak enak di hatinya. Mengapa begitu, Ginggi sendiri belum mengetahuinya.

“Tapi kita belum mau putus asa, perjuangan harus dilanjutkan,” kata Ki Bagus Seta lagi, kini menatap wajah Bangsawan Soka.

“Soka, kalau engkau punya rencana, kemukakan pada pembantu utamaku!” katanya masih melihat Bangsawan Soka.

Yang ditatap malah menoleh kepada Ginggi. Matanya menyorot penuh selidik dan ada kesan menyangsikan Ginggi.

“Berhargakah seorang badega kuajak bicara?” gumamnya seolah merendahkan Ginggi.

“Boleh kau selidik, serendah apa pembantuku ini,” kata Ki Bagus Seta tersenyum kecil.

Begitu selesai ucapan ini, Bangsawan Soka segera mengirim tonjokan tangan kanannya mengarah hidung Ginggi. Dengan gerakan ringan tapi mantap, sambil duduk bersila Ginggi hanya miringkan kepala sedikit ke kiri, tonjokan tangan kanan Bangsawan Soka nyeplos memukul angin. Kegagalan ini segera disusul dengan tonjokan tangan kiri dan Ginggi enteng saja miringkan kepalanya ke kanan. Rupanya bangsawan ini belum merasa puas dan masih penasaran untuk mencoba serangan ketiga. Kali ini kedua belah tangannya dia satukan dan sepasang telapak tangan dirangkap seperti akan menyembah. Tapi dengan tenaga penuh dia sodokkan ke depan mengarah wajah Ginggi.

Ginggi tak mau wajahnya disodok sepuluh jari-jari tangan yang nampak runcing dan kuat. Dengan gerakan kilat wajah dan tubuhnya dia doyongkan ke belakang dan serangan ketiga ini masih lolos. Bangsawan Soka rupanya lupa bahwa tadi dia hanya ingin mencoba saja. Tapi karena tiga serangan begitu entengnya dihindarkan Ginggi, sepertinya dia menjadi merasa terhina dan direndahkan. Apalagi pemuda itu dalam menghindar tak pernah menggerakkan badannya secara berlebihan.

Kini Bangsawan Soka segera memutar-mutar sepasang tangannya, membusungkan dada, menahan pernapasan dan menarik sepasang tangannya ke belakang. Dengan kedua telapak tangan terbuka, dia mendorong angin pukulan ke depan disertai teriakan keras. Ginggi tak tinggal diam. Sambil membaca doa-doa yang diberikan Ki Rangga guna, Ginggi mencoba menahan pukulan lawannya.

Hampir setahun lalu Ki Rangga Guna memberikan pengetahuan singkat perihal penjagaan diri. Kata Ki Rangga Guna, setiap benda, baik itu benda mati atau pun hidup memiliki daya kekuatan (energi). Bisa mengeluarkan energi tapi bisa pula menahan diri dari kekuatan yang datang menyerang. Kalau disadari kekuatan itu ada, maka semakin besar daya dobrak lawan, akan semakin kuat pula daya tahannya. Ibarat sebuah benda yang dijatuhkan ke atas bantalan karet, semakin berat benda itu jatuh ke atas karet, maka akan semakin kuat pula tenaga karet untuk melontarkan kembali benda yang menimpanya itu.

“Engkau harus percaya akan adanya tenaga dalam yang ada pada diri manusia,” kata Ki Rangga Guna tempo hari.

“Ada tenaga maha kuat dalam diri kita. Kalau kita sanggup mengendalikannya, selain berguna untuk melakukan serangan terhadap lawan, juga lebih berguna lagi digunakan sebagai perisai. Kala pernapasanmu baik, kalau jiwamu kuat, maka semakin besar tenaga dalam lawan menyerang kita, maka akan semakin besar pula tenaga tolakan yang ada dalam dirimu,”

Sudah berapa kali ilmu yang diberikan Ki Rangga Guna dia praktekkan. Peragaan paling berat ketika menghadapi serangan-serangan Ki Bagus Seta kemarin dulu. Dan benar belaka apa yang dikatakan Ki Rangga Guna, bila dia sanggup menghimpun pernapasan serta memiliki ketahanan jiwa yang tangguh, energi yang ada di dalam dirinya sanggup menahan serbuan tenaga dalam dari lawan. Ki Bagus Seta yang pandai menggunakan tenaga dalam, bias dia tolak dengan pengerahan batinnya.

Sekarang peristiwa adu tenaga dalam rupanya akan terulang lagi, sebab Bangsawan Soka begitu bernafsunya untuk menyerang pemuda itu. Ginggi sebetulnya khawatir menerima serangan ini. Bukan karena takut kalah, tapi selintas pemuda ini bisa melihat, tenaga dalam Bangsawan Soka kurang begitu kuat. Tenaga dalam yang lemah menandakan jiwa yang lemah pula. Ginggi takut, bila Bangsawan Soka menyerang Ginggi dengan sangat bernafsu, hanya akan mencelakakan dirinya saja.

Untuk menolong agar Bangsawan Soka tidak terluka sebetulnya amat mudah, caranya, Ginggi jangan bersifat menolak kepada serangan tenaga dalam lawan. Tapi kalau begitu, dirinyalah kelak yang akan celaka. Mana mungkin pemuda itu mandah saja dibuat celaka. Jadi apa pun yang terjadi, Ginggi harus melayani serangan ini.

Bangsawan Soka membentak keras sambil mendorong sepasang telapak tangannya ke depan. Serentak Ginggi pun mengumpulkan tenaga batin membuat pertahanan.

“Blaarr!”

Terdengar suara keras. Dan tubuh Ginggi hanya bergoyang sebentar sambil kedudukan tak pernah berubah, yaitu masih tetap duduk bersila. Namun lain lagi dengan keadaan Bangsawan Soka. Begitu angin pukulannya ditolak oleh dorongan balasan pemuda itu, serentak tubuhnya terpental ke belakang, jatuh berguling-guling hamper menubruk pilar kayu.

Untuk sejenak Bangsawan Soka tak bisa bangkit, kecuali menggerak-gerakkan tubuhnya dengan susah-payah. Ki Bagus Seta berdiri menolong bangsawan jumawa itu. Nampak ada lelehan darah di sudut bibirnya. Bangsawan Soka digandeng karena tak sanggup melangkah sendiri. Sesudah itu duduk susah-payah, bersandar pada tiang kayu.

“Mengapa kau sembunyikan kepandaian anak muda itu?” tanya Bangsawan Soka terengah-engah dan sedikit menekan dadanya.

Bangsawan Bagus Seta tersenyum tipis mendengar pertanyaan ini.

“Hanya menandakan bahwa puri ini memiliki banyak kekuatan tersembunyi,” gumamnya sedikit sombong.

Namun Bangsawan Soka tak melihat ini sebagai kesombongan. Dia malah mengangguk-angguk seperti puas dengan kenyataan ini.

“Bagus. Dengan demikian lebih meyakinkan diriku akan kesuksesan perjuangan kita,” kata Bangsawan Soka masih mengusap-ngusap dadanya karena rasa sakit.

“Itu artinya kau sudah tak menyangsikan kemampuan pembantu utamaku,” kata lagi Ki Bagus Seta sambil melirik pada Ginggi. “Kemukakanlah apa yang menjadi rencanamu pada pembantuku,” lanjutnya.

Ginggi menatap tajam, ingin sekali mendengarkan apa yang akan dikemukakan bangsawan berwajah bundar ini.

“Kegagalan kita membujuk Raja agar mengangkatku sebagai penasihatnya adalah karena kelicikan Pangeran Yogascitra. Dia penjilat. Ucapannya hanya yang manis-manis yang disampaikan pada Raja. Tapi yang lebih parah dari itu, Yogascitra gemar memburuk-burukkan sesame pejabat. Ya, itu hanya karena ambisinya, agar dirinyalah yang dipercaya dan dianggap baik oleh Raja. Dia bahkan menjilat tak kepalang tanggung, anak gadisnya, Nyimas Banyak Inten dia serahkan pada Sang Prabu, padahal dia tahu, Nyimas Banyak Inten dicintai oleh Raden Suji Angkara, putra Ki Bagus Seta,” kata Bangsawan Soka menatap tajam pada Ginggi dan menoleh sebentar pada Ki Bagus Seta.

Ginggi masih sama memandang kepadanya sebab bangsawan bermata kecil ini belum mengemukakan apa yang disebutnya sebagai rencana seperti apa kata Ki Bagus Seta tadi.

“Yang menjadi gara-gara kegagalan semua ini karena kehadiran Pangeran Yogascitra. Jadi bunuhlah orang itu!” kata Bangsawan Soka seperti atasan yang memerintah bawahannya.

Ginggi hanya termenung mendengar ucapan Bangsawan Soka ini, sehingga semua orang menatap dirinya seperti memaksa meminta jawaban pasti.

“Banyak sekali pesanan membunuh padaku…” gumam Ginggi memangku tangan dan menghela napas.

“Itu memang sudah menjadi tugasmu. Ikut dalam perjungan punya risiko tinggi dalam melakukan pembunuhan,” kata Ki Banaspati yang sejak tadi hanya diam saja.

“Ini perintah dan bukan sekadar pesanan! Kau harus tahu itu!” kata Ki Bagus Seta pasti dan seperti tak mau ditawar-tawar.

Namun belum juga Ginggi menjawabnya, dari luar ada suara jagabaya mohon izin untuk menghadap.

“Masuk!” kata Ki Bagus Seta.

Jagabaya masuk dengan kaki beringsut, duduk bersila dan menyembah takzim.

“Ada apa?”

“Raden Suji Angkara mohon menghadap, Juragan …”

“Suji Angkara?” gumam Ki Bagus Seta.

“Biarkan dia masuk…” kata Ki Banaspati.

“Ya… suruh dia masuk!”

Jagabaya undur dari ruangan itu dengan penuh hormat.

“Ginggi, kau mundur ke sudut sana. Perlihatkan seolah-olah kau tetap seorang badega!” kata Ki Banaspati.

Tidak banyak bicara, pemuda itu segera ke belakang, duduk agak jauh di sudut. Tidak begitu lama Suji Angkara memasuki ruangan. Walau pun datang dengan sikap hormat, tapi nampak sekali wajahnya muram dan pakaiannya kusut, sehingga hilang sudah sikap pesoleknya itu.

“Ayahanda …” kata Suji Angkara menyembah takzim, juga menyembah pada yang lainnya.

Ketika giliran memberi hormat kepada Ki Banaspati terlihat kesan keterpaksaan. Ki Banaspati hanya tersenyum pahit memandang pemuda itu.

“Sepertinya kau punya sesuatu yang amat dirisaukan, Suji?” tanya Ki Bagus Seta memandang tajam pemuda itu.

“Barangkali Ayahanda sudah tahu masalahnya,” kata pemuda itu balik menatap.

“Soal Nyimas Banyak Intenkah …?” tanya Ki Bagus Seta.

“Ya… siapa lagi?” Suji Angkara tetap memandang Ki Bagus Seta seperti memendam satu kepenasaran.

“Yogascitra memang tidak sopan padaku …” gumam ayahandanya, dengan nada pahit dan sepasang matanya menerawang entah ke mana.

“Ayahanda sepertinya tidak begitu memperhatikanku …” gumam Suji Angkara memalingkan wajah dan menunduk. Dadanya turun naik dengan cepat. Barangkali dia menahan kepedihan hati, barangkali juga karena menekan kemarahan.

“Justru karena aku memperhatikanmu aku punya rasa sakit hati oleh tindakan Pangeran Yogascitra itu. Dia tak memandangmu. Juga tak memandangku,” kata lagi Ki Bagus Seta.

“Ya… mereka amat merendahkan aku…” Suji Angkara bergumam pahit.

“Betul… harus dilakukan satu tindakan tegas agar mereka tahu siapa kita!” kata Ki Bagus Seta seperti memanas-manasi hati Suji Angkara.

“Ya… harus ada tindakan tegas … Harus ada tindakan tegas,” Suji Angkara mengulang-ulang perkataan ini sambil mata menerawang ke tempat jauh. Nada suaranya dingin dan wajahnya pucat sekali, sehingga Ginggi bergidik melihatnya.

“Kau bunuhlah Yogascitra, karena orang itulah yang menghalangi cita-citamu!” Bangsawan Soka ikut menyela pembicaraan sehingga mengagetkan semua orang.

Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati serta Ginggi menoleh pada pejabat berperut buncit ini.

“Membunuh Yogascitra? hehehe …” masih dengan wajah pucat dan nada suara dingin, pemuda itu terkekeh-kekeh.

“Ya, bunuh keparat itu! Bunuhlah Suji. Sebab dengan membunuh Yogascitra di samping cita-citamu akan terlaksana, juga kau membantu sebuah perjuangan!” kata Bangsawan Soka dengan nada berapi-api.

“Bunuh Yogascitra, ya… Hehehe, bunuh Yogascitra …” gumam lagi Suji Angkara ketawa seperti setan. “Ayahanda… restui aku. Karena kau tak sanggup memperjuangkan hidupku, maka aku yang akan memperjuangkannya…” kata Suji Angkara berjingkat dan tanpa memberi hormat berlalu dari tempat itu.

“Soka, kau sembrono mempengaruhi anakku membunuh Yogascitra!” kata Ki Bagus Seta dengan nada penuh teguran.

Yang ditegur hanya tertawa terkekeh-kekeh. “Kita harus berusaha memanfaatkan berbagai peluang. Anakmu berpeluang baik dalam membantu perjuangan kita. Dia tengah digoda kebencian. Orang akan mudah membunuh karena benci,” jawab Bangsawan Soka masih dengan senyum menghiasi bibirnya yang tebal.

“Tapi orang yang tengah dipenuhi rasa benci akan melakukan tindakan sembrono. Dia tidak akan hati-hati. Dan kalau dia menyerbu puri Yogascitra dengan terang-terangan, hanya akan merugikan aku saja!” kata Ki Bagus Seta masih tak setuju dengan pendapat Bangsawan Soka.

“Dengan adanya urusan ini, semua orang sudah tahu bahwa terjadi pertentangan antara kau dan Pangeran Yogascitra. Tapi harus kau ingat, urusanmu dengan Yogascitra paling parah adalah persaingan kalian dalam mempersembahkan anak gadis pada Raja. Sedangkan rasa sakit Suji Angkara karena kekasihnya direnggut dari cita-citanya adalah urusan tersendiri. Sekali pun Suji Angkara benar-benar membuat huru-hara di puri Yogascitra orang tak akan menuduh bahwa anakmu dikendalikan olehmu!” kata bangsawan berkumis jarang ini.

Ki Bagus Seta termenung. Rupanya dia telah menimbang-nimbang perkataan Bangsawan Soka. Dan akhirnya dia pun menoleh pada Ginggi yang masih duduk di sudut.

“Ginggi, kawal Suji Angkara dan awasi dia!” katanya pada Ginggi.

“Dan jangan lupa, kalau dalam huru-hara itu Suji Angkara mengalami kesulitan membunuh Yogascitra, kaulah yang harus menyelesaikannya. Bunuh Yogascitra olehmu secara diam-diam!” kata Bangsawan Soka.

Mendengar ucapan pejabat ini, Ki Banaspati yang sejak tadi terlibat pembicaraan tertawa terbahak-bahak sehingga yang lainnya melirik heran padanya.

“Bangsawan Soka benar-benar calon penasihat yang cerdik. Dia sanggup mengukir taktik dengan jitu,” kata Ki Banaspati memuji, sehingga yang dipuji tertawa renyah.

“Dan jangan lupa, sesudah Ginggi secara diam-diam berhasil membunuh Yogascitra, dia harus ikut mengejar Suji Angkara, bahkan dia pulalah yang harus membunuh Suji Angkara. Usahakan agar pembunuhan dilakukan secara terang-terangan di hadapan orang-orang Yogascitra!” kata Ki Banaspati.

Yang lain menatap penuh rasa heran. Taktik Ki Banaspati belum dimengerti benar oleh siapa pun.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment