Ginggi sudah mendengar kalau kepandaian mereka di atas rata-rata dari jagabaya. Ginggi pun pernah mendengar bahwa prajurit Pakuan sudah pandai dalam menyusun strategi peperangan, termasuk di antaranya strategi dalam melakukan pengepungan. Itulah sebabnya, di ruangan terbuka ini Ginggi perlu bertindak hati-hati. Jangan sampai kedudukan dirinya ada di tengah-tengah sebab hanya akan membuat dirinya terkepung saja. Untuk itulah maka pemuda ini segera meloncat-loncat menghindari kepungan.
Tapi para prajurit Pakuan bukan orang-orang sembarangan. Melihat Ginggi meloncat-loncat kesana-kemari, kepungan tidak diusahakan bertambah sempit, melainkan diperluas dan diperlebar, sehingga dalam tempat selebar itu, diharap Ginggi akan kelelahan sendiri.
Ginggi merasa kesal dengan taktik-taktik para prajurit ini, sebab dengan demikian dirinya tetap saja berada di tengah kepungan. Kepungan itu bisa melebar bila Ginggi bergerak melebar, dan akan menyempit bila Ginggi tak melakukaan gerakan apa pun. Ginggi bagaikan seekor babi rusa yang dikepung sekelompok anjing pemburu, selalu berada dalam kepungan kendati para pengepung tidak melakukan serangan. Dan melihat mereka yang berputar bahkan bersorak-sorai gegap-gempita, mengingatkan dirinya akan keterangan Ki Darma ketika mereka berkumpul di Puncak Cakrabuana.
Prajurit Pakuan pandai melakukan taktik-taktik pertempuran. Pakuan memiliki duabelas taktik pertempuran yang masing-masing diberi nama sendiri. Ginggi bisa menduga, taktik yang kini diperagakan para prajurit-prajurit ini tentulah siasat perang yang bernama Asu-Maliput, meniru-niru gerakan sekelompok anjing yang mengepung buruannya. Ginggi tidak pernah diberitahu taktik kedua belas macam yang dimiliki prajurit Pakuan ini, sebab baik Ki Darma maupun Ki Rangga Guna yang pernah bercerita tentang ini, tidak pernah merinci satu-persatu. Namun kendati begitu, paling sedikit Ginggi kini telah menyaksikan tiga macam taktik pertempuran kebanggaan Pajajaran ini.
Dua taktik pertempuran pernah Ginggi lihat dalam pesta Kuwerabakti, di mana ketika itu di alun-alun benteng luar diselenggarakan peragaan perang-perangan. Kedua taktik pertempuran adalah gerakan Merak-Simpir melawan taktik Bajra-Panjara. Dan kalau benar ini merupakan gerakan Asu-Maliput, maka untuk ketiga kalinya dia mendapatkan kesempatan menikmati taktik-taktik pertempuran yang amat dibanggakan Pajajaran.
Ginggi berdiri tegak dengan sepasang kaki terpentang lebar. Sementara itu para prajurit jumlahnya semakin bertambah juga karena anggota yang baru segera datang dan mengisi formasi yang diperlukan. Kini pengepungan semakin utuh dan sempurna. Kepungan itu pun nampak semakin rapat padahal lingkaran masih terasa lebar. Karena Ginggi mencoba untuk berdiri tegak, maka kepungan mulai bergerak. Mereka berputar-putar cepat sekali. Lingkarannya semakin lama semakin kecil.
Ginggi merasa pening melihat puluhan orang membuat lingkaran dan berputar cepat. Kalau keadaan ini berlarut-larut, akan melelahkan matanya dan menurunkan daya konsentrasinya. Maka agar matanya tak lelah melihat orang berlari dan berputar, Ginggi pun segera ikut berputar searah putaran para pengepungnya. Tapi para prajurit sudah siap sedia dengan perkembangan taktiknya. Lingkaran segera dipecah menjadi dua lapis. Satu lingkaran kecil di depan dan satu lingkaran besar di lapisan luar. Dua lingkaran saling berputar berbeda arah.
Ginggi kagum sekaligus terkejut dengan perubahan formasi ini. Untuk menghilangkan rasa pening karena kepungan berputar-putar, Ginggi melibatkan diri kembali dalam perputaran. Tapi kini ada dua lingkaran pengepungan dengan dua arah putaran yang berbeda. Ini membingungkan dan sekaligus memusingkan. Ginggi tak bisa memilih, sebab pilih salah satu pun, tetap saja akan berhadapan dengan putaran berlainan arah.
Karena matanya penat melihat formasi putaran pengepungnya, akhirnya Ginggi memilih diam. Sepasang kaki terpentang lebar dan kedua belah tangan bersilang di dada. Sementara itu, belasan prajurit segera meloloskan cangkalak (sejenis tambang). Belasan cangkalak mereka putar-putar dan mereka lempar ke arah tubuh Ginggi. Satu dua cangkalak Ginggi tangkap dan Ginggi tarik keras-keras sehingga pemiliknya tersuruk ke depan. Namun cangkalak-cangkalak yang lain datang bertubi-tubi. Dengan tepat lingkaran cangkalak masuk melingkar di tubuhnya. Ginggi berusaha meloloskan diri dengan mencoba memutuskan cangkalak. Ada beberapa yang bisa dia putuskan tapi lebih banyak lagi yang tak bisa dia lepaskan. Akhirnya Ginggi seperti seekor lalat yang terperangkap sarang laba-laba, sulit bergerak karena tubuhnya dipenuhi belitan cangkalak.
Kini datang barisan prajurit bersenjata panah dan siap melepas anak-anak panah yang ujung-ujungnya terlihat runcing dan mengkilap tajam. Ginggi menghitung pasukan panah, jumlahnya ada sekitar duapuluh orang. Kalau mereka melepaskan panah dalam waktu bersamaan akan sulit mengelakkanya. Ginggi menghela napas. Barangkali inilah akhir hayatnya. Sebuah kematian yang paling pahit sebab dia akan mati tanpa bisa menunaikan amanat Ki Darma barang sedikit pun. Dan lebih menyakitkan lagi, karena kematiannya ini diakibatkan oleh tindakan murid Ki Darma sendiri.
Ginggi sudah siap untuk menerima kepahitan ini, mengingat jalan untuk lolos sudah tertutup sama sekali. Namun pasukan panah tidak juga melepaskan senjatanya. Mereka hanya bersiap mementangnya saja. Di beranda puri utama banyak orang menonton peristiwa ini, di antaranya terdapat Nyimas Layang Kingkin dan ibundanya. Mereka menyaksikan peristiwa ini dengan heran dan cemas. Ginggi sekilas bertatapan dengan Nyimas Layang Kingkin. Pemuda itu menduga, barangkali Nyimas Layang Kingkin bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa seorang badega sepertinya dikepung banyak orang. Dari arah lain datang Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati. Mereka melihat dirinya dengan bertolak pinggang.
“Tangkap pembunuh itu hidup-hidup dan cangkalak, Tapi kalau dia tetap melawan bunuh saja!” kata Ki Bagus Seta.
Dua tiga orang prajurit datang menjemput dan segera mengikat kedua tangan Ginggi ke belakang kendati seluruh tubuh pemuda itu masih dipenuhi libatan-libatan tali. Ki Bagus Seta berbicara pada komandan agar tidak mengabarkan dulu peristiwa ini ke istana.
“Dia hanya pembunuh kecil saja, tak perlu istana turun tangan sendiri. Penjahat ini biar kuurus di sini!” kata Ki Bagus Seta.
Komandan pasukan mengangguk hormat. Dan sesudah memeriksa Ginggi tak mungkin bisa melepaskan diri, komandan menyerahkan pemuda itu pada jagabaya puri Bagus Seta.
Ginggi diseret ke sebuah bangunan di bagian belakang puri. Pemuda itu hafal betul, sebab beberapa waktu lalu pun pernah dibawa ke tempat itu. Ginggi menduga, dia akan menerima siksaan lebih hebat ketimbang penyiksaan yang pernah dialaminya tempo hari di bangunan itu. Kalau dulu diuji saja sejauh mana dia memiliki kepandaian berkelahi, tapi sekarang lain lagi. Ki Bagus Seta akan benar-benar menyiksanya karena kemarahan pada dirinya.
Ginggi dibawa ke sebuah ruangan di mana di sana sudah disiapkan sebuah kerekan. Akan dihukum gantungkah dirinya? Di bawah kerekan juga terdapat sebuah tong besar berisi air. Ginggi belum bisa menduga apa yang sebenarnya akan mereka lakukan terhadap dirinya.
“Gantung kakinya di atas!” Ki Bagus Seta memerintahkan jagabaya.
Dan serta-merta kaki Ginggi diikat menjadi satu. Sesudah itu tubuhnya dikerek ke atas. Kini Ginggi bergantung-gantung di udara dan di bawahnya siap menanti tong berisi air. Ginggi menduga, tubuhnya akan dibenamkan ke dalam tong yang berisi air tersebut.
“Kalian keluarlah!” Ki Banaspati menyuruh para jagabaya meninggalkan tempat itu.
Tinggallah kini Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati, menyaksikan Ginggi yang digantung terbalik.
Tapi para prajurit Pakuan bukan orang-orang sembarangan. Melihat Ginggi meloncat-loncat kesana-kemari, kepungan tidak diusahakan bertambah sempit, melainkan diperluas dan diperlebar, sehingga dalam tempat selebar itu, diharap Ginggi akan kelelahan sendiri.
Ginggi merasa kesal dengan taktik-taktik para prajurit ini, sebab dengan demikian dirinya tetap saja berada di tengah kepungan. Kepungan itu bisa melebar bila Ginggi bergerak melebar, dan akan menyempit bila Ginggi tak melakukaan gerakan apa pun. Ginggi bagaikan seekor babi rusa yang dikepung sekelompok anjing pemburu, selalu berada dalam kepungan kendati para pengepung tidak melakukan serangan. Dan melihat mereka yang berputar bahkan bersorak-sorai gegap-gempita, mengingatkan dirinya akan keterangan Ki Darma ketika mereka berkumpul di Puncak Cakrabuana.
Prajurit Pakuan pandai melakukan taktik-taktik pertempuran. Pakuan memiliki duabelas taktik pertempuran yang masing-masing diberi nama sendiri. Ginggi bisa menduga, taktik yang kini diperagakan para prajurit-prajurit ini tentulah siasat perang yang bernama Asu-Maliput, meniru-niru gerakan sekelompok anjing yang mengepung buruannya. Ginggi tidak pernah diberitahu taktik kedua belas macam yang dimiliki prajurit Pakuan ini, sebab baik Ki Darma maupun Ki Rangga Guna yang pernah bercerita tentang ini, tidak pernah merinci satu-persatu. Namun kendati begitu, paling sedikit Ginggi kini telah menyaksikan tiga macam taktik pertempuran kebanggaan Pajajaran ini.
Dua taktik pertempuran pernah Ginggi lihat dalam pesta Kuwerabakti, di mana ketika itu di alun-alun benteng luar diselenggarakan peragaan perang-perangan. Kedua taktik pertempuran adalah gerakan Merak-Simpir melawan taktik Bajra-Panjara. Dan kalau benar ini merupakan gerakan Asu-Maliput, maka untuk ketiga kalinya dia mendapatkan kesempatan menikmati taktik-taktik pertempuran yang amat dibanggakan Pajajaran.
Ginggi berdiri tegak dengan sepasang kaki terpentang lebar. Sementara itu para prajurit jumlahnya semakin bertambah juga karena anggota yang baru segera datang dan mengisi formasi yang diperlukan. Kini pengepungan semakin utuh dan sempurna. Kepungan itu pun nampak semakin rapat padahal lingkaran masih terasa lebar. Karena Ginggi mencoba untuk berdiri tegak, maka kepungan mulai bergerak. Mereka berputar-putar cepat sekali. Lingkarannya semakin lama semakin kecil.
Ginggi merasa pening melihat puluhan orang membuat lingkaran dan berputar cepat. Kalau keadaan ini berlarut-larut, akan melelahkan matanya dan menurunkan daya konsentrasinya. Maka agar matanya tak lelah melihat orang berlari dan berputar, Ginggi pun segera ikut berputar searah putaran para pengepungnya. Tapi para prajurit sudah siap sedia dengan perkembangan taktiknya. Lingkaran segera dipecah menjadi dua lapis. Satu lingkaran kecil di depan dan satu lingkaran besar di lapisan luar. Dua lingkaran saling berputar berbeda arah.
Ginggi kagum sekaligus terkejut dengan perubahan formasi ini. Untuk menghilangkan rasa pening karena kepungan berputar-putar, Ginggi melibatkan diri kembali dalam perputaran. Tapi kini ada dua lingkaran pengepungan dengan dua arah putaran yang berbeda. Ini membingungkan dan sekaligus memusingkan. Ginggi tak bisa memilih, sebab pilih salah satu pun, tetap saja akan berhadapan dengan putaran berlainan arah.
Karena matanya penat melihat formasi putaran pengepungnya, akhirnya Ginggi memilih diam. Sepasang kaki terpentang lebar dan kedua belah tangan bersilang di dada. Sementara itu, belasan prajurit segera meloloskan cangkalak (sejenis tambang). Belasan cangkalak mereka putar-putar dan mereka lempar ke arah tubuh Ginggi. Satu dua cangkalak Ginggi tangkap dan Ginggi tarik keras-keras sehingga pemiliknya tersuruk ke depan. Namun cangkalak-cangkalak yang lain datang bertubi-tubi. Dengan tepat lingkaran cangkalak masuk melingkar di tubuhnya. Ginggi berusaha meloloskan diri dengan mencoba memutuskan cangkalak. Ada beberapa yang bisa dia putuskan tapi lebih banyak lagi yang tak bisa dia lepaskan. Akhirnya Ginggi seperti seekor lalat yang terperangkap sarang laba-laba, sulit bergerak karena tubuhnya dipenuhi belitan cangkalak.
Kini datang barisan prajurit bersenjata panah dan siap melepas anak-anak panah yang ujung-ujungnya terlihat runcing dan mengkilap tajam. Ginggi menghitung pasukan panah, jumlahnya ada sekitar duapuluh orang. Kalau mereka melepaskan panah dalam waktu bersamaan akan sulit mengelakkanya. Ginggi menghela napas. Barangkali inilah akhir hayatnya. Sebuah kematian yang paling pahit sebab dia akan mati tanpa bisa menunaikan amanat Ki Darma barang sedikit pun. Dan lebih menyakitkan lagi, karena kematiannya ini diakibatkan oleh tindakan murid Ki Darma sendiri.
Ginggi sudah siap untuk menerima kepahitan ini, mengingat jalan untuk lolos sudah tertutup sama sekali. Namun pasukan panah tidak juga melepaskan senjatanya. Mereka hanya bersiap mementangnya saja. Di beranda puri utama banyak orang menonton peristiwa ini, di antaranya terdapat Nyimas Layang Kingkin dan ibundanya. Mereka menyaksikan peristiwa ini dengan heran dan cemas. Ginggi sekilas bertatapan dengan Nyimas Layang Kingkin. Pemuda itu menduga, barangkali Nyimas Layang Kingkin bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa seorang badega sepertinya dikepung banyak orang. Dari arah lain datang Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati. Mereka melihat dirinya dengan bertolak pinggang.
“Tangkap pembunuh itu hidup-hidup dan cangkalak, Tapi kalau dia tetap melawan bunuh saja!” kata Ki Bagus Seta.
Dua tiga orang prajurit datang menjemput dan segera mengikat kedua tangan Ginggi ke belakang kendati seluruh tubuh pemuda itu masih dipenuhi libatan-libatan tali. Ki Bagus Seta berbicara pada komandan agar tidak mengabarkan dulu peristiwa ini ke istana.
“Dia hanya pembunuh kecil saja, tak perlu istana turun tangan sendiri. Penjahat ini biar kuurus di sini!” kata Ki Bagus Seta.
Komandan pasukan mengangguk hormat. Dan sesudah memeriksa Ginggi tak mungkin bisa melepaskan diri, komandan menyerahkan pemuda itu pada jagabaya puri Bagus Seta.
Ginggi diseret ke sebuah bangunan di bagian belakang puri. Pemuda itu hafal betul, sebab beberapa waktu lalu pun pernah dibawa ke tempat itu. Ginggi menduga, dia akan menerima siksaan lebih hebat ketimbang penyiksaan yang pernah dialaminya tempo hari di bangunan itu. Kalau dulu diuji saja sejauh mana dia memiliki kepandaian berkelahi, tapi sekarang lain lagi. Ki Bagus Seta akan benar-benar menyiksanya karena kemarahan pada dirinya.
Ginggi dibawa ke sebuah ruangan di mana di sana sudah disiapkan sebuah kerekan. Akan dihukum gantungkah dirinya? Di bawah kerekan juga terdapat sebuah tong besar berisi air. Ginggi belum bisa menduga apa yang sebenarnya akan mereka lakukan terhadap dirinya.
“Gantung kakinya di atas!” Ki Bagus Seta memerintahkan jagabaya.
Dan serta-merta kaki Ginggi diikat menjadi satu. Sesudah itu tubuhnya dikerek ke atas. Kini Ginggi bergantung-gantung di udara dan di bawahnya siap menanti tong berisi air. Ginggi menduga, tubuhnya akan dibenamkan ke dalam tong yang berisi air tersebut.
“Kalian keluarlah!” Ki Banaspati menyuruh para jagabaya meninggalkan tempat itu.
Tinggallah kini Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati, menyaksikan Ginggi yang digantung terbalik.
“Ini saat terakhir kau melakukan pilihan,” kata Ki Bagus Seta menatap tajam wajah Ginggi yang terbalik.
Ginggi bersyukur dalam hatinya. Perkataan ini berarti masih memberikan celah-celah kehidupan bagi dirinya. Ki Banaspati berkata,
“Apa pun perangaimu, sebetulnya antara kami dan kamu masih ada pertalian saudara karena keterkaitan dengan Ki Guru. Kami masih memberikan kesempatan bagimu untuk memilih. Mati karena mengkhianati Ki Guru atau kau mentaati perintahnya!” katanya sungguh-sungguh.
Ginggi masih diam. Ucapan Ki Banaspati ini sepertinya hanya memutar-balik fakta saja. Menempatkan Ginggi sebagai pengkhianat dan menganggap diri mereka sebagai pengemban amanat.
“Kalau aku kalian sebut pengkhianat, kalian sendiri apa?” tanya Ginggi. Dan …
“Tlaaarrr!” Ki Bagus Seta melayangkan ujung cemeti (cambuk), tepat mengenai pelipis Ginggi.
Pemuda itu merasakan cairan hangat meleleh turun ke rambut kepalanya. Ginggi menduga kulit pelipisnya luka mengalirkan darah karena ujung cemeti.
“Jelas, kaulah pengkhianat sebab kau tak mau bergabung dengan kami. Selama ini kami berjuang menjalankan amanat guru, sedangkan kau tidak. Lebih buruk lagi kelakuanmu setelah menolak bahkan berani melawan dan mengacau kami. Itulah pengkhianatan!” kata Ki Bagus Seta.
“Tapi kalian bunuh Ki Darma!” kata Ginggi.
“Engkau hanya meributkan urusan kecil sambil tak menghiraukan urusan lebih besar lagi,” kata Ki Banaspati.
“Dalam perjuangan besar, semua orang hanya merupakan bagian-bagian kecil saja. Kita ibarat anak panah yang setiap kali dilepas tak mungkin kembali lagi. Namun anak panah yang hilang tak perlu kita jadikan pikiran serta tidak perlu disesali, apalagi kalau anak panah itu mengenai sasaran yang jitu. Begitu pun dengan nasib Ki Darma. Kematiannya tak perlu kita sesali sebab telah berhasil mendorong perjuangan kita. Kau harus tahu sekarang, mengapa justru Ki Bagus Seta yang memerintahkan langsung penyerbuan ke Puncak Cakrabuana. Ini karena kekhawatiran dan kecurigaan kita terhadap Ki Rangga Wisesa. Dia orang setengah gila dan dia banyak memiliki rasa sakit hati kepada Ki Guru juga terhadap muridnya yang lain. Sudah aku katakan tadi, Rangga Wisesalah yang telah membocorkan di mana Ki Guru berada. Dialah pengkhianat sebenarnya dari perjuangan kita. Ki Bagus Seta khawatir, kalau Rangga Wisesa berani melaporkan identitas kami sebenarnya. Bila Raja sudah tahu bahwa kami murid-murid Ki Darma, maka kami akan ditangkap juga sehingga pupuslah perjuangan, pupuslah amanat Ki Guru. Kami tidak berpikiran picik sepertimu, Ginggi. Kalau hanya meributkan nyawa seseorang, maka tidak akan berarti bila harus merugikan perjuangan. Itulah sebabnya, untuk menghapus anggapan bahwa kita punya kaitan dengan Ki Guru, maka Ki Bagus Seta tampil mempelopori rencana penyerbuan ke Cakrabuana. Apa kau anggap kami enteng saja melakukan hal-hal seperti ini? Hati kami menangis, sebab perjuangan ini kian berat dan terasa pahit. Namun itu harus kami lakukan demi mencapai cita-cita yang lebih besar!” kata Ki Banaspati dengan suara sungguh-sungguh.
Ginggi tetap diam membisu. Dan hal ini rupanya amat membuat kesal Ki Bagus Seta. “Sudahlah, kita tak usah merengek-rengek minta dikasihani oleh bocah tak tahu terima kasih ini. Dia memang bocah tak punya hati dan perasaan. Dia bocah yang tak acuh dengan pengorbanan Ki Guru. Malu aku jadi murid sepertimu. Menggunakan kepandaian hasil pemberian Ki Guru tapi secuil pun tidak digunakan untuk melaksanakan amanat si pemberi kepandaian!” kata Ki Bagus Seta mendengus.
“Ginggi, sebetulnya kami tak ingin membunuhmu. Selain kau masih kerabat kami, juga kami menyayangkan kepandaianmu. Kalau kau gabung akan sangat berarti bagi perjuangan kita. Cepat kau bilang setuju, sebab kalau tidak kau harus mati!” teriak Ki Banaspati mulai kesal.
Karena Ginggi masih diam membisu, maka Ki Bagus Seta menurunkan kerekan. Karena kerekan turun, otomatis tubuh Ginggi pun turun. Sedikit demi sedikit kepalanya terbenam ke permukaan air. Dingin sampai menusuk-nusuk tulang kepala rasanya. Ginggi menahan napas dan menutup mata. Kedudukan tubuh terbalik bukan masalah berat bagi dia, sebab di Puncak Cakrabuana, selama empatpuluh hari empatpuluh malam dia berlatih tapa sungsang (bertapa di dahan pohon dengan kepala di bawah) tanpa mengalami gangguan sedikitpun. Tapi kepala di bawah sambil dibenamkan ke dalam air, Ginggi belum pernah coba.
Ginggi terus menahan napas sampai dadanya membusung, sampai detak jantungnya bertalu cepat. Kedua orang itu seperti benar-benar hendak membunuhnya karena kerekan tak pernah ditarik lagi. Tapi sebelum Ginggi benar-benar tak kuat lagi, dia tak akan menyerah begitu saja. Kematian pasti datang kepada siapa saja dan kapan saja. Tapi kendati begitu, Ginggi harus berusaha agar kematian tidak datang secepat itu, apalagi di saat-saat hidupnya tak berarti. Ginggi harus melakukan upaya penyelamatan, jangan mati sia-sia seperti ini.
Sekarang dada pemuda itu terasa sesak sebab tubuhnya sudah menderita kekurangan udara. Ubun-ubunnya pun terasa berputar-putar. Ada macam-macam warna melayang-layang di kelopak matanya. Warna-warni itu indah semata, biru, biru muda, merah, merah membara sampai coklat kehitam-hitaman. Namun pada suatu saat semua warna menghilang dan muncullah semua wajah-wajah orang yang pernah dikenalnya. Mula-mula ada wajah Nyi Santimi yang cantik dan lugu, kemudian ada wajah anggun Nyimas Banyak Inten yang selalu mempesona bak dewi dari kahyangan. Sesudah itu muncul orang-orang yang sudah mati. Ki Ogel, Ki Banen, Seta dan Madi, semua muncul. Ki Ogel dan Ki Banen melambaikan tangan dengan wajah berseri, tapi Seta dan Madi, seperti meronta-ronta minta tolong padanya. Dan terakhir yang muncul adalah wajah Ki Darma. Wajah tua berkumis tebal berjanggut panjang rambut riap-riapan tapi kulit wajahnya tetap bersinar tanpa keriput. Ki Darma menatapnya dengan sorot penuh semangat. Dia bahkan seperti berkata-kata mengulang pelajaran yang pernah diajarkannya berkali-kali.
“Tidak mengapa tak punya huma asal kita punya beras. Tidak mengapa tak punya beras asal bisa makan. Tidak mengapa tak bisa makan asal kita bisa hidup…”
“Bisakah kita hidup tanpa makan, Aki?”
“Mengapa tidak bisa? Hidup kita tidak saja ditemani makanan, tapi pun ditemani empat unsur kehidupan, api-air- udara dan tanah. Kau lihat orang bertapa, satu tahun tanpa makan dan minum sebab dia dihidupi udara. Suatu waktu kau akan membuktikan bahwa tapa dalam air akan memberimu kehidupan juga!”
Air memberi kehidupan? Ginggi kembali mengingat-ingat pelajaran Ki Darma. Bagaimana mungkin air tanpa udara akan memberi kehidupan? Air tanpa udara? Ki Darma pernah berkata, air dan udara selamanya akan bersatu, sebab air tanpa udara, air itu sendiri akan lenyap berubah bentuk menjadi semacam gas.
Ingat uraian Ki Darma, Ginggi menjadi penuh harapan, dirinya bisa bertahan di dalam air bila sanggup menghirup udara yang ada di dalam air itu sendiri. Tapi bagaimana caranya? Kesalahan fatal yag dia lakukan adalah mengabaikan keberadaan air itu sendiri. Dia secuil pun tidak memanfaatkan air untuk membantunya mendapatkan udara. maka teringat akan kekeliruannya ini, sedikit demi sedikit dia menelan air tong itu. Bersamaan dengan air yang masuk, udara pun akan sama masuk mengisi urat-urat darahnya. Tapi udara kotor di dalam tubuhnya pun harus segera dia keluarkan melalui hidung. Dan memasukkan yang bersih dari air tong yang ditelannya.
Ada gelembung dan buih karena upaya-upaya ini. Dan Ginggi kemudian menggoyang-goyangkan kepalanya agar air bergoyang keras. Goyangan air akan menimbulkan celah-celah di sekitarnya dan memungkinkan udara dari luar berpeluang masuk ke wilayah tong.
Rupanya gerakan-gerakan Ginggi ditafsirkan oleh Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati sebagai penyerahan diri sebab Ginggi merasa tak kuat lagi terbenam berlama-lama di dalam air. Terdengar tali dikerek ke atas dan kepala Ginggi mumbul lagi ke udara. Ginggi bernapas dalam-dalam menghirup udara segar.
“Bagaimana, kau siap bergabung?” tanya Ki Bagus Seta.
Ginggi hanya menarik napas dalam-dalam mengisi paru-parunya dengan udara yang didapat secara langsung.
“Kalau aku tak gabung apakah aku harus mati?” Tanya Ginggi.
“Ya, harus mati, sebab kau hanya akan menjadi duri. Perjuangan kita adalah perjuangan besar yang penuh rahasia. Jadi, tidak boleh ada yang tahu rahasia ini kecuali orang-orang yang setuju dengan perjuangan ini,” kata Ki Bagus Seta.
Ginggi diam sejenak. “Sebutkan syarat-syaratnya bila aku ikut gabung!” gumam Ginggi.
“Syaratnya kau harus taat perintah kami!”
"Apa saja perintah itu?”
“Engkau punya pekerjaan berat tapi mulia!”
“Apa itu?”
“Pertama bunuh Suji Angkara!”
“Pasti ada perintah yang kedua …”
“Ya, inilah perintah dan tugas paling berat tapi mulia. Kau bunuhlah Sang Prabu Ratu Sakti!”
“Membunuh Raja?”
Yang Penting Jangan Mati Dulu
“Ya, tugasmu membunuh Raja!” kata Ki Bagus Seta pendek.
“Bagaimana?” Ki Banaspati bertanya tak sabar.
Tapi karena Ginggi masih tak menjawab, Ki Bagus Seta kembali menurunkan kerekan. Otomatis tubuh Ginggi pun turun kembali, kepalanya sebatas leher terbenam ke permukaan air tong. Lama tak diangkat sebab Ginggi tak memberi tanda agar dia mau bicara. Tapi beberapa lama kemudian kerekan diangkat kembali. Untuk kedua kalinya Ki Bagus Seta bertanya kembali, apakah dia bersedia mengemban tugas ini atau tidak.
“Selama kau belum memberikan jawaban kepalamu akan terbenam di dalam tong. Coba kau lihat ke atas kerekan,” kata Ki Bagus Seta menjambak kepala Ginggi sehingga kepalanya mendongak ke atas, “Di atas kerekan ada semacam genta. Bila kau tarik tali genta akan terdengar nyaring dan suaranya bisa sampai ke puri di mana aku berada. Kalau kau setuju dengan keinginanku, kau tarik tali genta itu!” kata Ki Bagus Seta.
Ginggi selintas ada melihat, di samping kerekan ada genta baja menggantung serta ujungnya diikat sebuah tali. Tali itu berjarak kurang lebih satu depa dari ujung sepasang kakinya yang diikat di tali kerekan.
“Nah, sudah kau lihat genta beserta talinya, ya. Jadi aku tunggu suara genta itu terdengar,” kata Ki Bagus Seta, menurunkan kembali kerekan dan berlalu bersama Ki Banaspati dari ruangan itu.
Sialan orang-orang itu, kutuk Ginggi dalam hatinya. Benar-benar hanya dua pilihan bagi dirinya, memukul genta atau mati. Ki Bagus Seta pandai sekali mengatur siasat. Genta itu sebetulnya berfungsi pula sebagai alat untuk memberitahu dirinya bila Ginggi berniat akan lari, sebab genta hanya akan tertarik talinya bila dia mencoba membuka ikatan di bagian kakinya. Ki Bagus Seta juga kejam, sebab bila Ginggi berniat menarik tali genta, otomatis harus bisa membuka ikatan di kedua tangannya. Selama sepasang tangannya yang dipelintir dan diikat ke belakang belum dibuka, mana mungkin dia bisa menarik tali genta?
Jadi bila Ginggi setuju dengan keinginan mereka, sebelumnya harus berjuang dulu membuka ikatan di kedua pergelangan tangannya. Ya, mereka benar-benar kejam. Tapi bisa juga kekejaman ini sekaligus mereka maksudkan untuk menguji sejauh mana Ginggi memiliki kemampuan. Bila Ginggi sanggup menarik tali genta, itu hanya punya arti dirinya sanggup melepaskan ikatan tangannya. Dan Ki Bagus Seta benar-benar licik, sebab bila Ginggi sanggup membebaskan diri, hanya punya arti bahwa dirinya setuju dengan perintah mereka.
Sementara itu bagian tubuh yang terbenam di air tong hanya sebatas leher sampai ubun-ubun saja. Ini memungkinkan Ginggi untuk sesekali menekuk lehernya agar kepala dan wajah bisa sedikit terangkat serta bias menghirup udara langsung. Di sini juga Ginggi mengerti bahwa Ki Bagus Seta tidak berniat membunuh Ginggi secara cepat. Kepala pemuda itu akan benar-benar terbenam selamanya bila dia sudah begitu payah mendongak dan menekukkan lehernya saja. Jadi selama Ginggi masih sanggup mengangkat kepala dari permukaan maka selama itu pula kematian tak akan menjemput. Namun tentu saja tenaga Ginggi ada batasnya dalam upaya menekuk lehernya.
Kalau seharian dia dalam keadaan begitu, malah bisa-bisa mati pegal. Dengan demikian, sebenarnya Ki Bagus Seta menyodorkan satu pilihan yang sifatnya memaksa. Kalau Ginggi ingin lolos dari kematian, akalnya harus menyetujui keinginan mereka. Bila Ginggi merasa pegal lehernya, dia terpaksa membenamkan kepalanya ke dalam tong. Di dalam tong yang penuh air itu dia berusaha menahan napasnya. Bila sudah tak tahan, kembali mendongakkan kepala untuk menghirup udara baru, begitu seterusnya. Dan selama dalam keadaan tergantung, Ginggi pun terus berpikir. Bukan mencari jalan bagaimana cara melarikan diri, melainkan mencoba menimang-nimang kedudukan mereka.
Dia mengulang kembali perjalanan hidupnya mulai dari turun gunung. Oleh Ki Darma Ginggi disuruh bergabung dengan murid-muridnya, Ki Bagus Seta, Ki Banaspati, Ki Rangga Guna dan Ki Rangga Wisesa. Ki Rangga Wisesa sudah diketahui menyeleweng dari kebenaran. Dia menjadi penjahat setengah gila dan berkhianat mencelakakan Ki Darma. Ki Rangga Guna memang patut dia ikuti jejak langkahnya. Namun dia kini menjadi buronan pemerintah sehingga tidak memiliki kebebasan bergerak. Ki Rangga Guna bahkan selalu hidup dalam pengasingan sehingga hampir-hampir tak mengikuti perkembangan negara lagi.
Mungkin baru belakangan ini, sesudah bertemu dengan Ginggi dan diberitahu kejadian paling akhir Ki Rangga Guna tergerak lagi untuk mengikuti perkembangan negara. Tapi jelas Ginggi tak bisa bergabung terang-terangan dengan Ki Rangga Guna kalau tak mau sama-sama dituduh pemberontak.
Sedangkan yang dua orang lagi, Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta, sampai sejauh ini belum benar-benar meyakinkan hati pemuda itu. Mendengar berita terakhir yang disampaikan, ternyata kedua orang itu benar-benar akan melawan Raja. Ki Banaspati mempersiapkan kekuatan di luar Pakuan dan Ki Bagus Seta bersiap-siap di dalam istana. Keduanya akan bekerjasama untuk menghancurkan Raja. Tapi sejauh mana mereka akan tetap bekerjasama?
Ginggi ingat cita-cita Ki Banaspati yang berniat menggantikan kedudukan Raja. Sedangkan yang juga sama-sama punya cita-cita seperti itu adalah pula Kandagalante Sunda Sembawa. Dia merasa punya hak jadi Susuhunan di Pakuan dan berupaya untuk merebut kekuasaan. Dan Ki Bagus Seta sendiri bagaimana?
Ginggi kembali teringat obrolan Ki Bagus Seta dengan Bangsawan Soka. Kedua orang ini pun nampaknya memiliki ambisi yang sama untuk menguasai Pakuan kendati tak pernah bicara ingin duduk sebagai orang pertama di istana. Bangsawan Soka ingin menjadi penasihat Raja. Begitu pun Ki Bagus Seta menginginkan agar yang menjadi penasihat Raja adalah Bangsawan Soka. Sedang di lain fihak, Sang Prabu Sakti sendiri telah merencanakan Bangsawan Yogascitra yang akan memegang jabatan penasihat.
Mengapa Ki Bagus Seta tak setuju Bangsawan Yogascitra menjadi penasihat Raja, kemungkinan dia merasa akan terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan bagi kegiatannya di istana. Ginggi memang sudah mendengar khabar bahwa Bangsawan Yogascitra seorang negarawan yang baik. Dia setia, jujur, tidak berambisi dan selalu siap membela negara dengan taruhan nyawa. Barangkali Ki Bagus Seta khawatir, bila Bangsawan Yogascitra menjadi penasihat Raja akan menjadi penghalang besar dalam melakukan gerakan rahasia.
Lain lagi bila Bangsawan Soka yang menjabat. Orang ini bukan tipe pejabat yang setia kepada Raja dan negara, melainkan hanya setia kepada harta dan kedudukan semata.
Ginggi belum benar-benar percaya akan tindak-tanduk Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati. Mungkin benar kedua orang itu bekerja mengatasnamakan amanat Ki Darma, tapi amanat guru sepertinya mereka manfaatkan untuk meniti jalan merangkul cita-citanya, yaitu jadi orang berpengaruh di Pakuan. Kalau benar dugaannya ini, akankah Ginggi bergabung dengan mereka? Kalau dia tak bergabung pasti mati. Tapi bila bergabung apa untung-ruginya?
Ginggi berpikir lagi perihal keberadaan Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan. Selama Raja ini memerintah banyak terjadi gejolak sosial. Beberapa wilayah Kandagalante dan kerajaan kecil berusaha melepaskan diri sehingga banyak terjadi bentrokan-bentrokan antara pasukan kerajaan melawan pasukan wilayah-wilayah di bawah Pakuan. kehidupan rakyat sangat terganggu. Rakyat tidak tentram karena banyak terjadi pemberontakan, juga tak tentram karena beban pajak yang tinggi. Jadi, bijaksanakah Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati yang bercita-cita meruntuhkan kekuasaan Raja yang tengah berkuasa sekarang? Ginggi jelas harus membantu rakyat dari tekanan Raja. Tapi tepatkah bila menjalankan amanat Ki Darma dibuktikan dengan cara mendukung cita-cita kedua orang itu?
Ginggi tetap belum mengerti dengan segala tindakan yang dilakukan mereka. Mereka mengaku tengah menjalankan amanat Ki Darma dalam upaya membela kepentingan rakyat tapi sambil mengumpankan rakyat itu sendiri. Buktinya, Ki Banaspati bergerak mengumpulkan dana dari pajak-pajak rakyat dalam membangun kekuatan pasukan dan Ki Bagus Seta bergerak seolah-olah mendorong Raja agar semakin terjerumus dalam kesalahan.
Raja terus didorong agar melaksanakan kebijaksanaan yang sekiranya tidak disenangi rakyat seperti menaikkan pajak tahunan misalnya. Bahkan belakangan, Raja juga digiring untuk melakukan tindakan yang sekiranya akan dinilai rakyat sebagai tindakan melanggar aturan moral. Ginggi sudah ingat kekhawatiran Purohita Ragasuci yang cemas kalau-kalau Sang Prabu benar mempersunting putri larangan. Nyimas Layang Kingkin menurut Purohita adalah putri larangan dan tidak boleh di kawin Raja karena gadis itu sudah bertunangan. Kalau perkawinan ini dilaksanakan, dikhawatirkan akan terjadi kegoncangan di kalangan istana. Dan peristiwa ini sepertinya sengaja diatur Ki Bagus Seta. Di samping ingin memiliki kedudukan tinggi, Ki Bagus Seta juga punya tujuan ganda yaitu mengharapkan terjadi gejolak di istana karena tindakan Raja yang keliru mengawini putri larangan.
Ya, segalanya sepertinya diumpankan oleh mereka berdua agar terjadi berbagai kemelut di istana. Mereka sepertinya akan menangguk di air keruh. Di saat-saat kekacauan terjadi di pusat pemerintahan, Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati akan bertindak mengambil-alih kekuasaan. Sungguh pandai dan sekaligus licik mereka. Tapi apakah berbagai kelicikan ini merupakan bagian yang sah dari perjuangan? Ginggi bingung memikirkannya.
Hati kecilnya tidak pernah setuju akan berbagai kebijaksanaan kedua murid Ki Darma ini. Tapi Ginggi pun tak mau mati percuma. Menantang mereka secara membabi-buta hanya akan berkorban sia-sia. Tentu, Ginggi tak mau nasib buruk seperti itu menimpanya. Jadi kalau begitu, dia harus cari akal. Setuju atau tidak dengan cita-cita mereka jangan dulu dipikirkan sekarang. Yang perlu dia lakukan kini adalah bagaimana caranya agar tidak mati sia-sia.
Berpikir sampai di sini, Ginggi segera meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan di kedua tangannya. Tali itu terbuat dari lintingan kulit binatang. Alot dan kenyal, tidak mungkin diputus begitu saja. Satu-satunya jalan adalah melemaskan otot pergelangan tangan. Bila otot dilemaskan akan seperti licin dan bisa memudahkan dalam meloloskan ikatan. Tapi kesulitannya, tali terbuat dari kulit ini akan mengerut bila kena air. Kulit yang kena air pun menjadi tidak licin dan sedikit lengket pada kulit tangannya. Dan Ginggi perlu membikin lecet pergelangan tangannya untuk meloloskan tali kulit itu.
Ginggi bersyukur dalam hatinya. Perkataan ini berarti masih memberikan celah-celah kehidupan bagi dirinya. Ki Banaspati berkata,
“Apa pun perangaimu, sebetulnya antara kami dan kamu masih ada pertalian saudara karena keterkaitan dengan Ki Guru. Kami masih memberikan kesempatan bagimu untuk memilih. Mati karena mengkhianati Ki Guru atau kau mentaati perintahnya!” katanya sungguh-sungguh.
Ginggi masih diam. Ucapan Ki Banaspati ini sepertinya hanya memutar-balik fakta saja. Menempatkan Ginggi sebagai pengkhianat dan menganggap diri mereka sebagai pengemban amanat.
“Kalau aku kalian sebut pengkhianat, kalian sendiri apa?” tanya Ginggi. Dan …
“Tlaaarrr!” Ki Bagus Seta melayangkan ujung cemeti (cambuk), tepat mengenai pelipis Ginggi.
Pemuda itu merasakan cairan hangat meleleh turun ke rambut kepalanya. Ginggi menduga kulit pelipisnya luka mengalirkan darah karena ujung cemeti.
“Jelas, kaulah pengkhianat sebab kau tak mau bergabung dengan kami. Selama ini kami berjuang menjalankan amanat guru, sedangkan kau tidak. Lebih buruk lagi kelakuanmu setelah menolak bahkan berani melawan dan mengacau kami. Itulah pengkhianatan!” kata Ki Bagus Seta.
“Tapi kalian bunuh Ki Darma!” kata Ginggi.
“Engkau hanya meributkan urusan kecil sambil tak menghiraukan urusan lebih besar lagi,” kata Ki Banaspati.
“Dalam perjuangan besar, semua orang hanya merupakan bagian-bagian kecil saja. Kita ibarat anak panah yang setiap kali dilepas tak mungkin kembali lagi. Namun anak panah yang hilang tak perlu kita jadikan pikiran serta tidak perlu disesali, apalagi kalau anak panah itu mengenai sasaran yang jitu. Begitu pun dengan nasib Ki Darma. Kematiannya tak perlu kita sesali sebab telah berhasil mendorong perjuangan kita. Kau harus tahu sekarang, mengapa justru Ki Bagus Seta yang memerintahkan langsung penyerbuan ke Puncak Cakrabuana. Ini karena kekhawatiran dan kecurigaan kita terhadap Ki Rangga Wisesa. Dia orang setengah gila dan dia banyak memiliki rasa sakit hati kepada Ki Guru juga terhadap muridnya yang lain. Sudah aku katakan tadi, Rangga Wisesalah yang telah membocorkan di mana Ki Guru berada. Dialah pengkhianat sebenarnya dari perjuangan kita. Ki Bagus Seta khawatir, kalau Rangga Wisesa berani melaporkan identitas kami sebenarnya. Bila Raja sudah tahu bahwa kami murid-murid Ki Darma, maka kami akan ditangkap juga sehingga pupuslah perjuangan, pupuslah amanat Ki Guru. Kami tidak berpikiran picik sepertimu, Ginggi. Kalau hanya meributkan nyawa seseorang, maka tidak akan berarti bila harus merugikan perjuangan. Itulah sebabnya, untuk menghapus anggapan bahwa kita punya kaitan dengan Ki Guru, maka Ki Bagus Seta tampil mempelopori rencana penyerbuan ke Cakrabuana. Apa kau anggap kami enteng saja melakukan hal-hal seperti ini? Hati kami menangis, sebab perjuangan ini kian berat dan terasa pahit. Namun itu harus kami lakukan demi mencapai cita-cita yang lebih besar!” kata Ki Banaspati dengan suara sungguh-sungguh.
Ginggi tetap diam membisu. Dan hal ini rupanya amat membuat kesal Ki Bagus Seta. “Sudahlah, kita tak usah merengek-rengek minta dikasihani oleh bocah tak tahu terima kasih ini. Dia memang bocah tak punya hati dan perasaan. Dia bocah yang tak acuh dengan pengorbanan Ki Guru. Malu aku jadi murid sepertimu. Menggunakan kepandaian hasil pemberian Ki Guru tapi secuil pun tidak digunakan untuk melaksanakan amanat si pemberi kepandaian!” kata Ki Bagus Seta mendengus.
“Ginggi, sebetulnya kami tak ingin membunuhmu. Selain kau masih kerabat kami, juga kami menyayangkan kepandaianmu. Kalau kau gabung akan sangat berarti bagi perjuangan kita. Cepat kau bilang setuju, sebab kalau tidak kau harus mati!” teriak Ki Banaspati mulai kesal.
Karena Ginggi masih diam membisu, maka Ki Bagus Seta menurunkan kerekan. Karena kerekan turun, otomatis tubuh Ginggi pun turun. Sedikit demi sedikit kepalanya terbenam ke permukaan air. Dingin sampai menusuk-nusuk tulang kepala rasanya. Ginggi menahan napas dan menutup mata. Kedudukan tubuh terbalik bukan masalah berat bagi dia, sebab di Puncak Cakrabuana, selama empatpuluh hari empatpuluh malam dia berlatih tapa sungsang (bertapa di dahan pohon dengan kepala di bawah) tanpa mengalami gangguan sedikitpun. Tapi kepala di bawah sambil dibenamkan ke dalam air, Ginggi belum pernah coba.
Ginggi terus menahan napas sampai dadanya membusung, sampai detak jantungnya bertalu cepat. Kedua orang itu seperti benar-benar hendak membunuhnya karena kerekan tak pernah ditarik lagi. Tapi sebelum Ginggi benar-benar tak kuat lagi, dia tak akan menyerah begitu saja. Kematian pasti datang kepada siapa saja dan kapan saja. Tapi kendati begitu, Ginggi harus berusaha agar kematian tidak datang secepat itu, apalagi di saat-saat hidupnya tak berarti. Ginggi harus melakukan upaya penyelamatan, jangan mati sia-sia seperti ini.
Sekarang dada pemuda itu terasa sesak sebab tubuhnya sudah menderita kekurangan udara. Ubun-ubunnya pun terasa berputar-putar. Ada macam-macam warna melayang-layang di kelopak matanya. Warna-warni itu indah semata, biru, biru muda, merah, merah membara sampai coklat kehitam-hitaman. Namun pada suatu saat semua warna menghilang dan muncullah semua wajah-wajah orang yang pernah dikenalnya. Mula-mula ada wajah Nyi Santimi yang cantik dan lugu, kemudian ada wajah anggun Nyimas Banyak Inten yang selalu mempesona bak dewi dari kahyangan. Sesudah itu muncul orang-orang yang sudah mati. Ki Ogel, Ki Banen, Seta dan Madi, semua muncul. Ki Ogel dan Ki Banen melambaikan tangan dengan wajah berseri, tapi Seta dan Madi, seperti meronta-ronta minta tolong padanya. Dan terakhir yang muncul adalah wajah Ki Darma. Wajah tua berkumis tebal berjanggut panjang rambut riap-riapan tapi kulit wajahnya tetap bersinar tanpa keriput. Ki Darma menatapnya dengan sorot penuh semangat. Dia bahkan seperti berkata-kata mengulang pelajaran yang pernah diajarkannya berkali-kali.
“Tidak mengapa tak punya huma asal kita punya beras. Tidak mengapa tak punya beras asal bisa makan. Tidak mengapa tak bisa makan asal kita bisa hidup…”
“Bisakah kita hidup tanpa makan, Aki?”
“Mengapa tidak bisa? Hidup kita tidak saja ditemani makanan, tapi pun ditemani empat unsur kehidupan, api-air- udara dan tanah. Kau lihat orang bertapa, satu tahun tanpa makan dan minum sebab dia dihidupi udara. Suatu waktu kau akan membuktikan bahwa tapa dalam air akan memberimu kehidupan juga!”
Air memberi kehidupan? Ginggi kembali mengingat-ingat pelajaran Ki Darma. Bagaimana mungkin air tanpa udara akan memberi kehidupan? Air tanpa udara? Ki Darma pernah berkata, air dan udara selamanya akan bersatu, sebab air tanpa udara, air itu sendiri akan lenyap berubah bentuk menjadi semacam gas.
Ingat uraian Ki Darma, Ginggi menjadi penuh harapan, dirinya bisa bertahan di dalam air bila sanggup menghirup udara yang ada di dalam air itu sendiri. Tapi bagaimana caranya? Kesalahan fatal yag dia lakukan adalah mengabaikan keberadaan air itu sendiri. Dia secuil pun tidak memanfaatkan air untuk membantunya mendapatkan udara. maka teringat akan kekeliruannya ini, sedikit demi sedikit dia menelan air tong itu. Bersamaan dengan air yang masuk, udara pun akan sama masuk mengisi urat-urat darahnya. Tapi udara kotor di dalam tubuhnya pun harus segera dia keluarkan melalui hidung. Dan memasukkan yang bersih dari air tong yang ditelannya.
Ada gelembung dan buih karena upaya-upaya ini. Dan Ginggi kemudian menggoyang-goyangkan kepalanya agar air bergoyang keras. Goyangan air akan menimbulkan celah-celah di sekitarnya dan memungkinkan udara dari luar berpeluang masuk ke wilayah tong.
Rupanya gerakan-gerakan Ginggi ditafsirkan oleh Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati sebagai penyerahan diri sebab Ginggi merasa tak kuat lagi terbenam berlama-lama di dalam air. Terdengar tali dikerek ke atas dan kepala Ginggi mumbul lagi ke udara. Ginggi bernapas dalam-dalam menghirup udara segar.
“Bagaimana, kau siap bergabung?” tanya Ki Bagus Seta.
Ginggi hanya menarik napas dalam-dalam mengisi paru-parunya dengan udara yang didapat secara langsung.
“Kalau aku tak gabung apakah aku harus mati?” Tanya Ginggi.
“Ya, harus mati, sebab kau hanya akan menjadi duri. Perjuangan kita adalah perjuangan besar yang penuh rahasia. Jadi, tidak boleh ada yang tahu rahasia ini kecuali orang-orang yang setuju dengan perjuangan ini,” kata Ki Bagus Seta.
Ginggi diam sejenak. “Sebutkan syarat-syaratnya bila aku ikut gabung!” gumam Ginggi.
“Syaratnya kau harus taat perintah kami!”
"Apa saja perintah itu?”
“Engkau punya pekerjaan berat tapi mulia!”
“Apa itu?”
“Pertama bunuh Suji Angkara!”
“Pasti ada perintah yang kedua …”
“Ya, inilah perintah dan tugas paling berat tapi mulia. Kau bunuhlah Sang Prabu Ratu Sakti!”
“Membunuh Raja?”
Yang Penting Jangan Mati Dulu
“Ya, tugasmu membunuh Raja!” kata Ki Bagus Seta pendek.
“Bagaimana?” Ki Banaspati bertanya tak sabar.
Tapi karena Ginggi masih tak menjawab, Ki Bagus Seta kembali menurunkan kerekan. Otomatis tubuh Ginggi pun turun kembali, kepalanya sebatas leher terbenam ke permukaan air tong. Lama tak diangkat sebab Ginggi tak memberi tanda agar dia mau bicara. Tapi beberapa lama kemudian kerekan diangkat kembali. Untuk kedua kalinya Ki Bagus Seta bertanya kembali, apakah dia bersedia mengemban tugas ini atau tidak.
“Selama kau belum memberikan jawaban kepalamu akan terbenam di dalam tong. Coba kau lihat ke atas kerekan,” kata Ki Bagus Seta menjambak kepala Ginggi sehingga kepalanya mendongak ke atas, “Di atas kerekan ada semacam genta. Bila kau tarik tali genta akan terdengar nyaring dan suaranya bisa sampai ke puri di mana aku berada. Kalau kau setuju dengan keinginanku, kau tarik tali genta itu!” kata Ki Bagus Seta.
Ginggi selintas ada melihat, di samping kerekan ada genta baja menggantung serta ujungnya diikat sebuah tali. Tali itu berjarak kurang lebih satu depa dari ujung sepasang kakinya yang diikat di tali kerekan.
“Nah, sudah kau lihat genta beserta talinya, ya. Jadi aku tunggu suara genta itu terdengar,” kata Ki Bagus Seta, menurunkan kembali kerekan dan berlalu bersama Ki Banaspati dari ruangan itu.
Sialan orang-orang itu, kutuk Ginggi dalam hatinya. Benar-benar hanya dua pilihan bagi dirinya, memukul genta atau mati. Ki Bagus Seta pandai sekali mengatur siasat. Genta itu sebetulnya berfungsi pula sebagai alat untuk memberitahu dirinya bila Ginggi berniat akan lari, sebab genta hanya akan tertarik talinya bila dia mencoba membuka ikatan di bagian kakinya. Ki Bagus Seta juga kejam, sebab bila Ginggi berniat menarik tali genta, otomatis harus bisa membuka ikatan di kedua tangannya. Selama sepasang tangannya yang dipelintir dan diikat ke belakang belum dibuka, mana mungkin dia bisa menarik tali genta?
Jadi bila Ginggi setuju dengan keinginan mereka, sebelumnya harus berjuang dulu membuka ikatan di kedua pergelangan tangannya. Ya, mereka benar-benar kejam. Tapi bisa juga kekejaman ini sekaligus mereka maksudkan untuk menguji sejauh mana Ginggi memiliki kemampuan. Bila Ginggi sanggup menarik tali genta, itu hanya punya arti dirinya sanggup melepaskan ikatan tangannya. Dan Ki Bagus Seta benar-benar licik, sebab bila Ginggi sanggup membebaskan diri, hanya punya arti bahwa dirinya setuju dengan perintah mereka.
Sementara itu bagian tubuh yang terbenam di air tong hanya sebatas leher sampai ubun-ubun saja. Ini memungkinkan Ginggi untuk sesekali menekuk lehernya agar kepala dan wajah bisa sedikit terangkat serta bias menghirup udara langsung. Di sini juga Ginggi mengerti bahwa Ki Bagus Seta tidak berniat membunuh Ginggi secara cepat. Kepala pemuda itu akan benar-benar terbenam selamanya bila dia sudah begitu payah mendongak dan menekukkan lehernya saja. Jadi selama Ginggi masih sanggup mengangkat kepala dari permukaan maka selama itu pula kematian tak akan menjemput. Namun tentu saja tenaga Ginggi ada batasnya dalam upaya menekuk lehernya.
Kalau seharian dia dalam keadaan begitu, malah bisa-bisa mati pegal. Dengan demikian, sebenarnya Ki Bagus Seta menyodorkan satu pilihan yang sifatnya memaksa. Kalau Ginggi ingin lolos dari kematian, akalnya harus menyetujui keinginan mereka. Bila Ginggi merasa pegal lehernya, dia terpaksa membenamkan kepalanya ke dalam tong. Di dalam tong yang penuh air itu dia berusaha menahan napasnya. Bila sudah tak tahan, kembali mendongakkan kepala untuk menghirup udara baru, begitu seterusnya. Dan selama dalam keadaan tergantung, Ginggi pun terus berpikir. Bukan mencari jalan bagaimana cara melarikan diri, melainkan mencoba menimang-nimang kedudukan mereka.
Dia mengulang kembali perjalanan hidupnya mulai dari turun gunung. Oleh Ki Darma Ginggi disuruh bergabung dengan murid-muridnya, Ki Bagus Seta, Ki Banaspati, Ki Rangga Guna dan Ki Rangga Wisesa. Ki Rangga Wisesa sudah diketahui menyeleweng dari kebenaran. Dia menjadi penjahat setengah gila dan berkhianat mencelakakan Ki Darma. Ki Rangga Guna memang patut dia ikuti jejak langkahnya. Namun dia kini menjadi buronan pemerintah sehingga tidak memiliki kebebasan bergerak. Ki Rangga Guna bahkan selalu hidup dalam pengasingan sehingga hampir-hampir tak mengikuti perkembangan negara lagi.
Mungkin baru belakangan ini, sesudah bertemu dengan Ginggi dan diberitahu kejadian paling akhir Ki Rangga Guna tergerak lagi untuk mengikuti perkembangan negara. Tapi jelas Ginggi tak bisa bergabung terang-terangan dengan Ki Rangga Guna kalau tak mau sama-sama dituduh pemberontak.
Sedangkan yang dua orang lagi, Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta, sampai sejauh ini belum benar-benar meyakinkan hati pemuda itu. Mendengar berita terakhir yang disampaikan, ternyata kedua orang itu benar-benar akan melawan Raja. Ki Banaspati mempersiapkan kekuatan di luar Pakuan dan Ki Bagus Seta bersiap-siap di dalam istana. Keduanya akan bekerjasama untuk menghancurkan Raja. Tapi sejauh mana mereka akan tetap bekerjasama?
Ginggi ingat cita-cita Ki Banaspati yang berniat menggantikan kedudukan Raja. Sedangkan yang juga sama-sama punya cita-cita seperti itu adalah pula Kandagalante Sunda Sembawa. Dia merasa punya hak jadi Susuhunan di Pakuan dan berupaya untuk merebut kekuasaan. Dan Ki Bagus Seta sendiri bagaimana?
Ginggi kembali teringat obrolan Ki Bagus Seta dengan Bangsawan Soka. Kedua orang ini pun nampaknya memiliki ambisi yang sama untuk menguasai Pakuan kendati tak pernah bicara ingin duduk sebagai orang pertama di istana. Bangsawan Soka ingin menjadi penasihat Raja. Begitu pun Ki Bagus Seta menginginkan agar yang menjadi penasihat Raja adalah Bangsawan Soka. Sedang di lain fihak, Sang Prabu Sakti sendiri telah merencanakan Bangsawan Yogascitra yang akan memegang jabatan penasihat.
Mengapa Ki Bagus Seta tak setuju Bangsawan Yogascitra menjadi penasihat Raja, kemungkinan dia merasa akan terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan bagi kegiatannya di istana. Ginggi memang sudah mendengar khabar bahwa Bangsawan Yogascitra seorang negarawan yang baik. Dia setia, jujur, tidak berambisi dan selalu siap membela negara dengan taruhan nyawa. Barangkali Ki Bagus Seta khawatir, bila Bangsawan Yogascitra menjadi penasihat Raja akan menjadi penghalang besar dalam melakukan gerakan rahasia.
Lain lagi bila Bangsawan Soka yang menjabat. Orang ini bukan tipe pejabat yang setia kepada Raja dan negara, melainkan hanya setia kepada harta dan kedudukan semata.
Ginggi belum benar-benar percaya akan tindak-tanduk Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati. Mungkin benar kedua orang itu bekerja mengatasnamakan amanat Ki Darma, tapi amanat guru sepertinya mereka manfaatkan untuk meniti jalan merangkul cita-citanya, yaitu jadi orang berpengaruh di Pakuan. Kalau benar dugaannya ini, akankah Ginggi bergabung dengan mereka? Kalau dia tak bergabung pasti mati. Tapi bila bergabung apa untung-ruginya?
Ginggi berpikir lagi perihal keberadaan Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan. Selama Raja ini memerintah banyak terjadi gejolak sosial. Beberapa wilayah Kandagalante dan kerajaan kecil berusaha melepaskan diri sehingga banyak terjadi bentrokan-bentrokan antara pasukan kerajaan melawan pasukan wilayah-wilayah di bawah Pakuan. kehidupan rakyat sangat terganggu. Rakyat tidak tentram karena banyak terjadi pemberontakan, juga tak tentram karena beban pajak yang tinggi. Jadi, bijaksanakah Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati yang bercita-cita meruntuhkan kekuasaan Raja yang tengah berkuasa sekarang? Ginggi jelas harus membantu rakyat dari tekanan Raja. Tapi tepatkah bila menjalankan amanat Ki Darma dibuktikan dengan cara mendukung cita-cita kedua orang itu?
Ginggi tetap belum mengerti dengan segala tindakan yang dilakukan mereka. Mereka mengaku tengah menjalankan amanat Ki Darma dalam upaya membela kepentingan rakyat tapi sambil mengumpankan rakyat itu sendiri. Buktinya, Ki Banaspati bergerak mengumpulkan dana dari pajak-pajak rakyat dalam membangun kekuatan pasukan dan Ki Bagus Seta bergerak seolah-olah mendorong Raja agar semakin terjerumus dalam kesalahan.
Raja terus didorong agar melaksanakan kebijaksanaan yang sekiranya tidak disenangi rakyat seperti menaikkan pajak tahunan misalnya. Bahkan belakangan, Raja juga digiring untuk melakukan tindakan yang sekiranya akan dinilai rakyat sebagai tindakan melanggar aturan moral. Ginggi sudah ingat kekhawatiran Purohita Ragasuci yang cemas kalau-kalau Sang Prabu benar mempersunting putri larangan. Nyimas Layang Kingkin menurut Purohita adalah putri larangan dan tidak boleh di kawin Raja karena gadis itu sudah bertunangan. Kalau perkawinan ini dilaksanakan, dikhawatirkan akan terjadi kegoncangan di kalangan istana. Dan peristiwa ini sepertinya sengaja diatur Ki Bagus Seta. Di samping ingin memiliki kedudukan tinggi, Ki Bagus Seta juga punya tujuan ganda yaitu mengharapkan terjadi gejolak di istana karena tindakan Raja yang keliru mengawini putri larangan.
Ya, segalanya sepertinya diumpankan oleh mereka berdua agar terjadi berbagai kemelut di istana. Mereka sepertinya akan menangguk di air keruh. Di saat-saat kekacauan terjadi di pusat pemerintahan, Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati akan bertindak mengambil-alih kekuasaan. Sungguh pandai dan sekaligus licik mereka. Tapi apakah berbagai kelicikan ini merupakan bagian yang sah dari perjuangan? Ginggi bingung memikirkannya.
Hati kecilnya tidak pernah setuju akan berbagai kebijaksanaan kedua murid Ki Darma ini. Tapi Ginggi pun tak mau mati percuma. Menantang mereka secara membabi-buta hanya akan berkorban sia-sia. Tentu, Ginggi tak mau nasib buruk seperti itu menimpanya. Jadi kalau begitu, dia harus cari akal. Setuju atau tidak dengan cita-cita mereka jangan dulu dipikirkan sekarang. Yang perlu dia lakukan kini adalah bagaimana caranya agar tidak mati sia-sia.
Berpikir sampai di sini, Ginggi segera meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan di kedua tangannya. Tali itu terbuat dari lintingan kulit binatang. Alot dan kenyal, tidak mungkin diputus begitu saja. Satu-satunya jalan adalah melemaskan otot pergelangan tangan. Bila otot dilemaskan akan seperti licin dan bisa memudahkan dalam meloloskan ikatan. Tapi kesulitannya, tali terbuat dari kulit ini akan mengerut bila kena air. Kulit yang kena air pun menjadi tidak licin dan sedikit lengket pada kulit tangannya. Dan Ginggi perlu membikin lecet pergelangan tangannya untuk meloloskan tali kulit itu.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment