Ginggi menangis di dekat mayat pemuda itu. Menangis karena sedih, menangis karena dosa. Tapi Ginggi tak terus-terusan larut dalam kesedihannya. Dia harus segera pergi dari tempat itu, jangan sampai diketahui oleh tugur sebab tentu amat menyulitkan dirinya. Tapi tentu saja sebelum pergi dia tak boleh membiarkan jasad Seta tergolek begitu saja di sana. Ginggi harus menyempurnakannya sebagai penghormatan terakhir kepada pemuda itu. Caranya bagaimana, Ginggi tidak tahu persis. Dulu Ki Darma pernah bercerita tentang kebiasaan nenek moyang orang Pajajaran dalam menyempurnakan tubuh orang mati. Dahulu Kerajaan Sunda sebelum bernama Pajajaran, Dayo atau ibukota kerajaan beberapa kali melakukan perpindahan antara Galuh (Ciamis) dan Pakuan (Bogor), tergantung di mana raja yang baru diwastu (dilantik) betah tinggal.
Masyarakat di kedua wilayah mempunyai tradisi berbeda dalam menyempurnakan orang mati. Galuh disebut sebagai wilayah air, maka kebiasaan menyempurnakan jasad si mati di Galuh, dengan cara dilarung atau dihanyutkan ke sungai atau ke laut. Di sungai-sungai besar seperti Cijulang, Ciwulan, Ciseel atau bahkan Citanduy didapat tempat bernama panereban yaitu tempat untuk nerebkeun atau melabuhkan jasad orang mati.
Sebaliknya tradisi di Pakuan karena wilayah pegunungan, menyempurnakan orang mati dengan cara dikurebkeun atau dikubur di dalam tanah. Tempat untuk ngurebkeun disebut pasarean, Menurut kelaziman di Pakuan, orang mati seharusnya dikurebkeun, Tapi di tengah malam gelap gulita seorang diri, tak mungkin mengubur jasad Seta, Ginggi pilih cara yang jadi tradisi orang Galuh yaitu dengan jalan dilarung atau diterebkeun, yaitu dilabuhkan ke sungai. Sungai yang paling dekat dari Tajur Agung adalah Cihaliwung dan wilayah aliran sungai ini yang paling dalam adalah Leuwi Kamala Wijaya atau dikenal juga sebagai Leuwi Sipatahunan.
Ingat cara ini, maka Ginggi segera memondong tubuh yang sudah mulai dingin itu ke arah timur, yaitu tepi Sungai Cihaliwung paling dalam. Jaraknya tidak begitu jauh, sepemakan sirih saja dia sudah sampai di sana. Ginggi mencari akar-akaran dan sebongkah batu. Batu itu dia ikatkan menjadi satu dengan jasad Seta, menggunakan akar-akaran. Ginggi menunduk memberi hormat dengan merapatkan kedua belah tangannya. Tubuh dingin itu dia angkat dan dilemparkan ke permukan leuwi, Karena dibebani sebuah batu, sedikit demi sedikit tubuh tak bergerak itu mulai tenggelam. Permukaan air sedikit berputar-putar membuat ulekan ketika tubuh itu sudah benar-benar tenggelam.
Untuk kesekian kalinya Ginggi menghormat pada tubuh Seta yang mulai hilang ditelan air Leuwi Sipatahunan. Ada bayangan berdiri di depan matanya, bayangan gadis Santimi, calon istri Seta. Ingatkah gadis itu pada calon suaminya? Gadis itu pernah mengaku tidak mencintai Seta dan hanya memilih Ginggi saja. Tapi Ginggi tahu betul, Seta begitu mencintai Nyi Santimi. Cintanya yang tulus dia buktikan dengan kesetiaan. Seta sepengetahuan Ginggi tidak pernah tergoda oleh gadis lain. Dia mengikuti Suji Angkara karena ingin dapat pekerjaan yang terbaik untuk diabdikan pada Nyi Santimi.
Selesai nerebkeun jasad Seta, Ginggi segera memakai bajunya lagi, juga membelitkan ikat kepalanya lagi. Sesudah itu dia meninggalkan tempat itu untuk kembali “pulang” ke puri Bagus Seta di mana dia “bekerja”. Namun di tengah jalan hampir dekat ke lorong jalan menuju benteng puri Bangsawan Bagus Seta, berpapasan dengan serombongan jagabaya berbekal obor dan senjata tajam. Di belakangnya ada dua orang penuggang kuda. Penunggang itu adalah Suji Angkara dan ayah tirinya Bangsawan Bagus Seta. Rombongan berhenti ketika berpapasan dengan Ginggi.
“Engkau dari mana saja anak dungu?” teriak Bangsawan Bagus Seta setengah geram.
“Bukankah saya disuruh mengantarkan surat untuk Juragan Yogascitra, Juragan?” kata Ginggi gagap untuk menjelaskan bahwa dirinya takut atas kemarahan ini.
“Ya, aku tahu. Tapi itu kan tadi. Seharusnya kau pulang sejak tadi …” kata lagi Bangsawan Bagus Seta menyelidik.
“Di puri Bangsawan Yogascitra banyak tamu, sehingga surat baru saya serahkan sesudah tamu selesai dengan urusannya,” kata Ginggi mencari alasan.
“Tapi surat itu bisa kau titipkan saja pada jagabaya, tak perlu kau tunggui berlama-lama seperti itu, tolol!” teriak Bangsawan Bagus Seta lagi.
“Saya takut surat itu tidak sampai …” kata Ginggi menundukkan kepala.
Bangsawan Bagus Seta hanya mendengus.
“Maafkan saya merepotkan kalian sehingga jagabaya dikerahkan mencari saya …” gumam Ginggi.
Terdengar tawa kecil di sana sini. Suji Angkara yang sejak tadi diam pun ikut tertawa.
“Orang sedungu kau untuk apa susah-susah dicari?” kata Suji Angkara dengan tawa penuh ejekan.
“Mari…!” kata Bangsawan Bagus Seta mengajak rombongan berjalan lagi.
“Kita bagi dua lagi, Ayahanda. Saya akan balik lagi ke arah barat sampai tepi Cipakancilan,” kata Suji Angkara menahan gerakan kudanya.
Bangsawan Bagus Seta menyetujui sehingga rombongan jagabaya dibagi dua. Yang ikut Suji Angkara ada kira-kira tujuh orang jagabaya.
“Kalian jalan duluan aku ada perlu dengan badega bodoh ini!” kata Suji Angkara.
Ke tujuh jagabaya bersenjata lengkap segera pergi meninggalkan tempat itu, bergerak ke arah barat. Tinggallah kini Suji Angkara dan Ginggi.
“Ada kejadian apakah, Raden?” Ginggi pura-pura tak tahu sambil mata memandang serombongan jagabaya yang mulai menjauh.
Suji Angkara tidak menjawab, melainkan menyepak punggung Ginggi dengan ujung kaki kanannya yang berterompah lancip. Ginggi terkejut dan langsung pura-pura terjerembab ke depan.
“Eh, ada apakah, Raden?” kata Ginggi. Sebetulnya benar-benar heran dan khawatir. Khawatir kedoknya terbuka.
“Setan alas kau!” teriak Suji Angkara gemas. Pemuda itu turun dari kudanya dan menjambak pakaian Ginggi.
“Ada… Ada apakah, Raden?” Ginggi sudah siap dengan pengerahan tenaga di sepasang tangannya kalau-kalau pemuda itu melakukan tindakan berbahaya bagi keselamatan jiwanya.
Namun Suji Angkara hanya mengguncang-guncang tubuh Ginggi. Selintas Ginggi melihat, pemuda itu tengah terguncang jiwanya. Jidatnya yang bengkak karena tonjokannya tadi nampak nyata membiru.
“Sudah sebulan kau kukirim ke puri ayah tiriku, tapi kutunggu-tunggu kau malah enak-enakan di sana. Apakah kau sudah lupa tugasmu bangsat cilik?” kata Suji Angkara geram.
“Saya tidak lupa dengan tugas yang diberikan olehmu, Raden. Selama ini saya tetap memata-matai puri itu …” kata Ginggi mencoba melepaskan jambakan pemuda itu.
“Ya, tapi kau tidak pernah melapor padaku, tolol!” kata lagi Suji Angkara.
“Bukankah Raden pernah katakan, saya boleh melapor kalau ada hal-hal penting saja?” tanya Ginggi.
Masyarakat di kedua wilayah mempunyai tradisi berbeda dalam menyempurnakan orang mati. Galuh disebut sebagai wilayah air, maka kebiasaan menyempurnakan jasad si mati di Galuh, dengan cara dilarung atau dihanyutkan ke sungai atau ke laut. Di sungai-sungai besar seperti Cijulang, Ciwulan, Ciseel atau bahkan Citanduy didapat tempat bernama panereban yaitu tempat untuk nerebkeun atau melabuhkan jasad orang mati.
Sebaliknya tradisi di Pakuan karena wilayah pegunungan, menyempurnakan orang mati dengan cara dikurebkeun atau dikubur di dalam tanah. Tempat untuk ngurebkeun disebut pasarean, Menurut kelaziman di Pakuan, orang mati seharusnya dikurebkeun, Tapi di tengah malam gelap gulita seorang diri, tak mungkin mengubur jasad Seta, Ginggi pilih cara yang jadi tradisi orang Galuh yaitu dengan jalan dilarung atau diterebkeun, yaitu dilabuhkan ke sungai. Sungai yang paling dekat dari Tajur Agung adalah Cihaliwung dan wilayah aliran sungai ini yang paling dalam adalah Leuwi Kamala Wijaya atau dikenal juga sebagai Leuwi Sipatahunan.
Ingat cara ini, maka Ginggi segera memondong tubuh yang sudah mulai dingin itu ke arah timur, yaitu tepi Sungai Cihaliwung paling dalam. Jaraknya tidak begitu jauh, sepemakan sirih saja dia sudah sampai di sana. Ginggi mencari akar-akaran dan sebongkah batu. Batu itu dia ikatkan menjadi satu dengan jasad Seta, menggunakan akar-akaran. Ginggi menunduk memberi hormat dengan merapatkan kedua belah tangannya. Tubuh dingin itu dia angkat dan dilemparkan ke permukan leuwi, Karena dibebani sebuah batu, sedikit demi sedikit tubuh tak bergerak itu mulai tenggelam. Permukaan air sedikit berputar-putar membuat ulekan ketika tubuh itu sudah benar-benar tenggelam.
Untuk kesekian kalinya Ginggi menghormat pada tubuh Seta yang mulai hilang ditelan air Leuwi Sipatahunan. Ada bayangan berdiri di depan matanya, bayangan gadis Santimi, calon istri Seta. Ingatkah gadis itu pada calon suaminya? Gadis itu pernah mengaku tidak mencintai Seta dan hanya memilih Ginggi saja. Tapi Ginggi tahu betul, Seta begitu mencintai Nyi Santimi. Cintanya yang tulus dia buktikan dengan kesetiaan. Seta sepengetahuan Ginggi tidak pernah tergoda oleh gadis lain. Dia mengikuti Suji Angkara karena ingin dapat pekerjaan yang terbaik untuk diabdikan pada Nyi Santimi.
Selesai nerebkeun jasad Seta, Ginggi segera memakai bajunya lagi, juga membelitkan ikat kepalanya lagi. Sesudah itu dia meninggalkan tempat itu untuk kembali “pulang” ke puri Bagus Seta di mana dia “bekerja”. Namun di tengah jalan hampir dekat ke lorong jalan menuju benteng puri Bangsawan Bagus Seta, berpapasan dengan serombongan jagabaya berbekal obor dan senjata tajam. Di belakangnya ada dua orang penuggang kuda. Penunggang itu adalah Suji Angkara dan ayah tirinya Bangsawan Bagus Seta. Rombongan berhenti ketika berpapasan dengan Ginggi.
“Engkau dari mana saja anak dungu?” teriak Bangsawan Bagus Seta setengah geram.
“Bukankah saya disuruh mengantarkan surat untuk Juragan Yogascitra, Juragan?” kata Ginggi gagap untuk menjelaskan bahwa dirinya takut atas kemarahan ini.
“Ya, aku tahu. Tapi itu kan tadi. Seharusnya kau pulang sejak tadi …” kata lagi Bangsawan Bagus Seta menyelidik.
“Di puri Bangsawan Yogascitra banyak tamu, sehingga surat baru saya serahkan sesudah tamu selesai dengan urusannya,” kata Ginggi mencari alasan.
“Tapi surat itu bisa kau titipkan saja pada jagabaya, tak perlu kau tunggui berlama-lama seperti itu, tolol!” teriak Bangsawan Bagus Seta lagi.
“Saya takut surat itu tidak sampai …” kata Ginggi menundukkan kepala.
Bangsawan Bagus Seta hanya mendengus.
“Maafkan saya merepotkan kalian sehingga jagabaya dikerahkan mencari saya …” gumam Ginggi.
Terdengar tawa kecil di sana sini. Suji Angkara yang sejak tadi diam pun ikut tertawa.
“Orang sedungu kau untuk apa susah-susah dicari?” kata Suji Angkara dengan tawa penuh ejekan.
“Mari…!” kata Bangsawan Bagus Seta mengajak rombongan berjalan lagi.
“Kita bagi dua lagi, Ayahanda. Saya akan balik lagi ke arah barat sampai tepi Cipakancilan,” kata Suji Angkara menahan gerakan kudanya.
Bangsawan Bagus Seta menyetujui sehingga rombongan jagabaya dibagi dua. Yang ikut Suji Angkara ada kira-kira tujuh orang jagabaya.
“Kalian jalan duluan aku ada perlu dengan badega bodoh ini!” kata Suji Angkara.
Ke tujuh jagabaya bersenjata lengkap segera pergi meninggalkan tempat itu, bergerak ke arah barat. Tinggallah kini Suji Angkara dan Ginggi.
“Ada kejadian apakah, Raden?” Ginggi pura-pura tak tahu sambil mata memandang serombongan jagabaya yang mulai menjauh.
Suji Angkara tidak menjawab, melainkan menyepak punggung Ginggi dengan ujung kaki kanannya yang berterompah lancip. Ginggi terkejut dan langsung pura-pura terjerembab ke depan.
“Eh, ada apakah, Raden?” kata Ginggi. Sebetulnya benar-benar heran dan khawatir. Khawatir kedoknya terbuka.
“Setan alas kau!” teriak Suji Angkara gemas. Pemuda itu turun dari kudanya dan menjambak pakaian Ginggi.
“Ada… Ada apakah, Raden?” Ginggi sudah siap dengan pengerahan tenaga di sepasang tangannya kalau-kalau pemuda itu melakukan tindakan berbahaya bagi keselamatan jiwanya.
Namun Suji Angkara hanya mengguncang-guncang tubuh Ginggi. Selintas Ginggi melihat, pemuda itu tengah terguncang jiwanya. Jidatnya yang bengkak karena tonjokannya tadi nampak nyata membiru.
“Sudah sebulan kau kukirim ke puri ayah tiriku, tapi kutunggu-tunggu kau malah enak-enakan di sana. Apakah kau sudah lupa tugasmu bangsat cilik?” kata Suji Angkara geram.
“Saya tidak lupa dengan tugas yang diberikan olehmu, Raden. Selama ini saya tetap memata-matai puri itu …” kata Ginggi mencoba melepaskan jambakan pemuda itu.
“Ya, tapi kau tidak pernah melapor padaku, tolol!” kata lagi Suji Angkara.
“Bukankah Raden pernah katakan, saya boleh melapor kalau ada hal-hal penting saja?” tanya Ginggi.
“Memang begitu! Tapi kenapa kau tak melapor?” Tanya Suji Angkara lagi menyebalkan.
“Habis selama ini saya tak menemukan hal-hal penting di sana …” ujar Ginggi menghela napas seperti kecewa.
“Sedikit pun?”
“Sedikit pun!”
“Kau tidak pernah lihat Ki Banaspati memasuki puri Ayahandaku dan mengobrolkan sesuatu di sana?”
“Tidak!”
“Tidak ada berita apa pun?”
“Ada!”
“Soal apa?”
“Bahwa Nyimas Layang Kingkin harus dinikahkan dengan Sang Prabu dan engkau harus meminang Nyimas Banyak Inten!” jawab Ginggi.
“Kalau itu aku sudah tahu, tolol, sebab ayah tiriku pasti bilang padaku!” potong Suji Angkara gemas.
“Kalau begitu tak ada lagi,” kata Ginggi seperti menyesal atas ketidak-berhasilan tugasnya.
“Dasar kau tolol!’”
“Bukan saya tolol, tapi kalau sesuatu yang harus saya intip tak ada, ya mau apa lagi?” kata Ginggi mengajukan alasan.
“Plak!” Pipi Ginggi dihadiahi tamparan.
Ingin Ginggi balik menampar kalau saja dia tak ingat dirinya hanyalah seorang badega “bawahan” pemuda jahat itu.
“Lantas bagaimana selanjutnya, Raden?”
“Kau kembali saja ke puri ayahku dan lanjutkan tugas-tugas yang aku bebankan padamu. Tapi awas … kalau kau berani mengkhianatiku, nyawamu lepas dari badanmu. Tak ada orang yang bisa hidup karena mengkhianatiku, mengerti?”
“Mengerti, Raden …”
“Ya, cepat pergi!”
Ginggi meninggalkan tempat itu dengan perasaan gemas sekaligus sedih. Sedih karena dia bisa menduga, ketiga orang yang tergeletak di puri Suji Angkara yaitu Madi, Ki Ogel dan Ki Banen sudah dipastikan tewas. Bila menurutkan hawa nafsu, ingin dia pukul roboh Suji Angkara di tempat sunyi tadi sebab tak akan ada orang tahu. Tapi membunuh pemuda itu hanya tindakan potong kompas dan tidak akan menguakkan kejahatannya. Ginggi hanya ingin buktikan bahwa semua orang tahu bahwa Suji Angkara orang jahat. Soal siapa kelak yang akan menghukumnya, di Pakuan pasti ada lembaga untuk mengurus urusan seperti itu.
Ginggi pulang ke puri Bangsawan Bagus Seta dengan perasaan tidak menentu. Dia tak bisa mengurus dan merawat tiga jasad yang dia anggap teman-temannya, sebab kalau pun memaksa, hanya akan mendapatkan kecurigaan saja. Para penyerang puri Suji Angkara dengan begitu mudahnya di tuduh penjahat sehingga dengan amat mudahnya pula segenap jagabaya dikerahkan untuk membunuhnya.
Ginggi segera memasuki gerbang puri yang dijaga empat orang jagabaya dan mereka tak banyak periksa ketika Ginggi masuk ke sana. Dia tidak banyak pertanyaan perihal kegiatan Bangsawan Bagus Seta dan Suji Angkara, sebab dia bisa menduga, mereka tengah menguber dirinya yang tadi melarikan tubuh luka pemuda Seta.
Besok siangnya Ginggi merasa amat heran, sebab peristiwa tadi malam tidak menimbulkan hal-hal yang membuat orang tergerak untuk membicarakannya. Bahkan cenderung Ginggi menduga bahwa tidak banyak orang yang tahu akan peristiwa semalam. Banyak jagabaya berseliweran di sekitar puri. Betul-betulkah banyak orang tidak tahu ada kejadian yang Ginggi anggap amat besar itu, ataukah … ataukah semua orang tak berani mempercakapkannya? Ginggi tidak bisa menduga dengan pasti.
Hanya saja menjelang tengah hari, Suji Angkara nampak dipanggil menghadap ke puri ayah tirinya. Ginggi yang melihat dari ruangan belakang melihat wajah pemuda itu yang nampak muram dan matanya merah seperti kurang tidur.
Ginggi ingin sekali mencuri dengar percakapan kedua orang itu. Maka Ginggi segera membawa baki siap dengan berbagai penganan di atasnya. Ginggi akan mengantarkan penganan ke ruangan tengah tanpa diperintah tuannya. Di ruangan tengah nampak bersila saling berhadapan, Suji Angkara dan Ki Bagus Seta. Keduanya berhadapan dengan raut-muka nampak tegang seperti ada sesuatu hal yang dirisaukan atau dipermasalahkan.
“Kau bacalah surat tadi pagi yang dikirimkan oleh Bangsawan Yogascitra!” kata Ki Bagus Seta menyodorkan sebuah kotak berukir yang di dalamnya berisi satu susun daun nipah.
Nampak jidat Suji Angkara yang bengkak itu agak mengkerut ketika matanya meneliti tulisan palawa di daun nipah.
“Kurang ajar…” desis pemuda itu sambil menggigit bibir. Sesudah itu dia memandang Ki Bagus Seta. “Apa artinya ini, ayahanda? Keluarga Bangsawan Yogacitra menolak lamaran kita?” tanya Suji Angkara dengan suara menggigil. “Mengapa bisa begini? Bukankah tempo hari Ayahanda yakin mereka akan menerima pinangan kita?” tanya Suji Angkara tidak senang.
“Entah… aku juga tidak mengerti,” gumam Ki Bagus Seta mengerutkan dahi.
“Barangkali ini kesalahan Ayahanda juga, mengapa membatalkan pertunangan Dinda Kingkin dengan Banyak Angga? Dan mengapa malah Ayahanda tawarkan adikku pada Sang Prabu?” tanya pemuda itu penuh sesal.
“Jangan salahkan aku. Ini semua aku lakukan untukmu. Kau akan tahu, Sang Prabu mencintai Nyimas Banyak Inten. Karena aku sayang engkau, maka kutawarkan adikmu pada Sang Prabu dengan harapan beliau melepaskan kekasihmu,” kata Ki Bagus Seta setengah melamun.
“Tapi nyatanya gadis itu tidak diberikan padaku. Mereka tolak mentah-mentah lamaran kita. Padahal mereka tahu, Nyimas Banyak Inten menyukaiku dan aku menyukai dirinya. Mereka sengaja menolakku karena ingin membalas sakit hati atas perlakuan Ayahanda!” kata Suji Angkara setengah berteriak kesal.
“Brak!”
Ki Bagus Seta menggebrak meja pendek yang ada di sampingnya sehingga kayu-kayu meja berantakan tinggal puing-puing. Ginggi yang melihat kejadian itu dari belakang terkesiap melihat demonstrasi tenaga yang diperlihatkan Ki Bagus Seta. Ginggi maklum, orang ini termasuk murid pandai dari Ki Darma.
“Bisamu hanya menyalahkan orang lain saja. Dan kini kau salahkan aku, hah!” Ki Bagus Seta juga sama meninggikan kata-katanya.
“Ya, karena ambisimu, kau hancurkan anakmu, ayahanda!” kata Suji Angkara. “Kau atur agar Sang Prabu melepaskan Nyimas Banyak Inten dan mengambil adikku agar hubungan kekerabatan dengan Raja semakin dekat kemudian kau semakin mudah menanamkan pengaruhmu di istana. Dan aku, mana keuntunganku yang bias kudapat?” tanya Suji Angkara masih dengan suara tinggi.
“Kau berkacalah dulu agar kau tahu sejauh mana dirimu berharga untuk orang lain!” kata Ki Bagus Seta membuat Suji Angkara pucat wajahnya.
“Apa maksudmu, Ayahanda?”
“Sudah banyak bisik-bisik tentangmu. Kau dicurigai bermental bejat. Aku tak percaya sebelumnya. Tapi kejadian tadi malam membuatku berpikir lain. Penyerang-penyerang itu semua anak-buahmu. Semua menudingmu banyak berbuat serong. Untung mereka cepat mati dan untung sekali mayat mereka cepat kalian buang sehingga kaum bangsawan lain tak banyak tahu peristiwa tadi malam… Hei, siapa itu?” Ki Bagus Seta menoleh ke belakang ketika melihat Ginggi tergopoh-gopoh datang mendekat membawa baki berisi penganan.
“Mau apa kau ke sini?” tanya Ki Bagus Seta mendelik.
“Penganan untuk tamu. Bukankah sudah biasa saya harus menyiapkannya?” tanya Ginggi pura-pura baru datang ke ruangan itu.
“Jangan sembarangan masuk tanpa dipanggil. Cepat simpan penganan itu kembali ke ruangan belakang !” kata Ki Bagus Seta.
“Tidak perlu, pergi saja kamu!” bentak Ki Bagus Seta.
Ginggi cepat-cepat meninggalkan tempat itu tapi di lorong pintu segera menyelinap di balik gorden tinggi. Ginggi sembunyi di balik gorden dan membungkus tubuhnya dengan lembaran kain lebar itu.
“Coba katakan, benarkah engkau selama ini selalu berbuat tidak senonoh terhadap kaum perempuan?” Tanya Ki Bagus Seta penuh selidik.
Yang ditanya sepertinya tidak bisa menjawab. Dan Ki Bagus Seta nampaknya ingin sekali mendapatkan jawaban gamblang dari Suji Angkara sehingga untuk kedua kalinya terdengar mengajukan pertanyaan sama.
“Ayahanda, semua orang punya kekurangannya. Aku … dan mungkin juga engkau!” Suji Angkara malah berkata begitu.
“Maksudmu apa?” suara Ki Bagus Seta terdengar penuh selidik.
“Aku ingin tahu, apa hubunganmu dengan Ki Banaspati ayah!” kata Suji Angkara dengan nada suara penuh selidik pula.
Terdiam sejenak, sehingga Ginggi tak tahu apa yang tengah mereka lakukan.
“Jangan macam-macam. Aku dengan dia tidak punya hubungan apa-apa kecuali dia bawahanku dalam melakukan pungutan pajak negara di wilayah timur!” kata Ki Bagus Seta.
“Aku berpikir, hubungan Ayahanda dengan pejabat misterius itu sudah lebih jauh lagi dari sekadar hubungan atasan dan bawahan,” tuding Suji Angkara.
“Mengapa kau berkata begitu?” tanya Ki Bagus Seta suaranya terdengar sedikit bergetar.
“Ketika aku mengawal seba dari wilayah Karatuan Talaga banyak peristiwa ganjil yang aku dapatkan. Ketika tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang, aku bahkan akan mereka bunuh. Semua telah aku laporkan padamu ayah, tapi mana tindakanmu atas kejadian aneh itu? Biar pun sekadar anak tiri, tapi aku anakmu. Bahkan lebih dari itu, aku kau tugasi untuk mengawasi kelancaran tugas Ki Banaspati. Ketika aku lapor bahwa aku akan dibunuhnya, kau tidak melakukan tindakan apa-apa. Dari situ aku bepikir bahwa Ayahanda punya sesuatu hubungan dengan Ki Banaspati, entah itu hubungan apa. Yang jelas, Ayahanda tak berniat melakukan sesuatu terhadapnya, kendati tahu Ki Banaspati hendak melenyapkan nyawaku!” kata Suji Angkara dengan suara cukup menggetar juga.
Sunyi beberapa saat. Dan Ginggi yang sembunyi di balik gorden ingin sekali segera mendengar kelanjutan pembicaraan antara ayah dan anak tiri ini.
“Ki Banaspati sebelumnya tak tahu bahwa kau anakku…” terdengar jawaban Ki Bagus Seta.
“Itu bukan sebuah alasan,” kata Suji Angkara tak puas. “Ayahanda belum menjawab perihal sikap-sikap aneh yang dilakukan Ayahanda. Mengapa laporan dan penemuanku tidak ayah bahas secara sungguh-sungguh. Mengapa laporanku mengenai kecurigaan Ki Banaspati menghimpun kekuatan gelap termasuk membentuk pasukan yang bertugas merampok hasil kiriman seba dari negara-negara kecil tidak Ayahanda tangani dengan serius bahkan seperti tak berniat melaporkannya pada Sang Prabu? Mengapa pula semakin tinggi Ayahanda membuat kebijaksanaan penarikan pajak tetapi semakin berkurang juga pajak yang masuk? Itu semua tidak masuk akal. Bukan aku saja yang bercuriga tetapi juga beberapa bangsawan istana lainnya. Kalau ayah benar memiliki kegiatan bersama Ki Banaspati, aku tak akan banyak ikut-campur. Tapi karena aku punya rahasia yang bisa melemahkan kedudukanmu, maka agar kelemahan tidak terbongkar, Ayahanda pun harus menutupi kesalahanku pula. Dan kita berdua sama-sama saling menutupi kelemahan masing-masing,” kata Suji Angkara.
Kembali sunyi mencekam ruangan di mana mereka berada dan Ginggi tak bisa menduganya apa yang mereka tengah lakukan. Hanya saja Ginggi tengah menduga, mendapat serangan gencar dari Suji Angkara, rupanya Ki Bagus Seta agak terdesak juga. Barangkali otaknya tengah berputar untuk menyusun kata-kata yang harus disampaikannya pada anak tirinya yang nampak mulai melakukan penekanan ini.
“Apa yang kau inginkan dariku, Suji?” tanya Ki Bagus Seta setelah lama berdiam diri.
“Tidak banyak. Tutupi kelakuan saya masa lampau dan usahakan agar lamaran untuk mendapatkan Nyimas Banyak Inten terlaksana,” kata Suji Angkara.
Hening sejenak. “Saya bisa menduga, Ayahanda bersama Ki Banaspati melakukan persekongkolan untuk memperkaya diri sendiri dengan menggelapkan hasil seba. Silakan lanjutkan sebab saya pun ikut menikmati hasilnya dan hidup makmur selama berada di Pakuan. Tapi Ayahanda tetap harus menolongku sebab kalau kegiatan Ayahanda saya sampaikan pada Raja, Ayahanda mendapatkan marabahaya besar,” kata Suji Angkara setengah mengancam.
Ki Bagus Seta belum mengeluarkan jawaban ketika tiba-tiba seorang jagabaya, mengabarkan ada tamu yang datang.
“Siapa?” tanya Ki Bagus Seta.
“Yang akan bertamu adalah Ki Banaspati, Juragan!” kata jagabaya.
Berdesir darah Ginggi mendengarnya. Hening sejenak. Sepertinya Ki Bagus Seta belum bias memutuskan apakah harus ditolak ataukah diterima saja tamu itu.
“Mengapa Ayahanda ragu-ragu? Persilakan dia datang. Biar kita sama-sama ngobrol agar pengetahuanku lebih luas tentang dirinya,” kata Suji Angkara.
“Persilakan dia masuk…” gumam Ki Bagus Seta.
Jagabaya kembali keluar ruangan dan hampir saja tubuhnya menyinggung bagian tubuh Ginggi yang sembunyi di balik gorden. Tidak berapa lama kemudian ada suara langkah ringan memasuki lorong yang kelak mengarah ke ruangan tengah puri. Ginggi menahan napas ketika Ki Banaspati lewati gorden.
“Selamat datang Ki Banaspati…” kata Ki Bagus Seta sedikit kaku suaranya.
“Selamat bertemu. Siapa ini? Oh…” jawab Ki Banaspati agak kaget.
Ginggi menduga rasa kaget Ki Banaspati karena melihat Suji Angkara ada di ruangan itu.
Hening
“Ada penting…?” suara Ki Bagus Seta.
“Ya …” jawab Ki Banaspati.
“Tentang apa…?”
“Tapi aku tak mau ada pemuda ini di sini …!”
“Suji kau keluarlah!”
“Baik. Tapi Ayahanda harus ingat,” suara Suji Angkara.
“Ya, aku ingat…!”
Ginggi dari balik gorden mendengar suara langkah keluar dari ruangan itu. Menjauh dan akhirnya lenyap.
“Ya, sekarang katakan apa yang ingin kau katakan,” kata suara Ki Bagus Seta.
“Masih ada satu orang lagi yang mendengar pembicaraan kita, aku tak suka!”
“Siapa?”
Bersamaan dengan pertanyaan KI Bagus Seta, ke arah gorden di mana Ginggi sembunyi berhembus angin pukulan, rasanya menimbulkan hawa panas. Ginggi teringat, pukulan panas seperti ini pernah dia rasakan ketika mendapat serangan dari Ki Rangga Wisesa di sebuah gua kapur wilayah Tanjungpura enam bulan lalu. Ginggi tak begitu heran kalau Ki Banaspati pun pandai memainkan ilmu ini sebab baik Ki Rangga Wisesa mau pun Ki Banaspati sama-sama satu seperguruan. Hanya Ginggi saja yang tidak pernah mendapatkan gemblengan ilmu seperti itu. Bukan karena Ki Darma tak mau memberinya, akan tetapi pemuda itu sendiri yang menolaknya. Ini karena Ginggi tetap tak suka mempelajari ilmu yang tujuannya hanya untuk membunuh.
Namun kendati tidak mempelajari ilmu tenaga dalam seperti ini, bukan berarti Ginggi tidak bisa memusnahkan serangan seperti ini. Apalagi sesudah ilmu-ilmu yang ada padanya kian dimatangkan oleh berbagai latihan selama tiga bulan yang diberikan Ki Rangga Guna. Ginggi tahu betul, bagaimana caranya menghadapi angin pukulan seperti ini. Menurut Ki Rangga Guna, ada dua macam tenaga dalam. Satu jenis akan melahirkan angin pukulan berhawa panas dan satunya lagi berhawa dingin. Tidak banyak orang-orang Pajajaran yang mempelajari ilmu semacam ini, sebab hanya orang-orang yang sudah memiliki kekuatan jiwa dan pandai mempergunakan hawa murni saja yang sanggup memilikinya.
Hawa pukulan panas bisa dianggap tenaga kasar, sebaliknya hawa dingin disebut tenaga halus. Kasar bisa dilawan dengan kasar dan halus dilawan dengan halus. Tapi bila dua kekuatan sama saling diadukan akan mengakibatkan sesuatu yang dahsyat. Di sana akan terjadi adu kekuatan dan akibatnya akan fatal sebab yang tenaganya kurang sempurna akan kalah yang mengakibatkan luka atau tewas. Ginggi tidak mau memilih risiko seperti itu. Dia tak mau membunuh orang, tapi dibunuh pun apalagi. Maka untuk mencari jalan tengahnya, serbuan pukulan hawa panas yang dilontarkan Ki Banaspati, dia jemput dengan pengerahan hawa dingin. Pukulan hawa panas Ki Banaspati bagaikan besi panas yang menerobos kolam air, panasnya hilang tak berbekas. Bahkan udara yang tadi terasa panas, mendadak berubah dingin.
“Yang namanya orang pandai, tak baik sembunyi seperti itu. Kami harap engkau berani memperlihatkan diri,” kata Ki Banaspati dan nada suaranya seperti heran.
Ginggi terpaksa keluar menampakkan diri. Langsung menerobos kain gorden yang segera melepuh seperti debu. Ginggi tersenyum tipis ketika kedua orang itu menatapnya sambil membelalakkan kedua belah matanya. Yang nampak paling terkejut melihat Ginggi adalah Ki Bagus Seta.
“Habis selama ini saya tak menemukan hal-hal penting di sana …” ujar Ginggi menghela napas seperti kecewa.
“Sedikit pun?”
“Sedikit pun!”
“Kau tidak pernah lihat Ki Banaspati memasuki puri Ayahandaku dan mengobrolkan sesuatu di sana?”
“Tidak!”
“Tidak ada berita apa pun?”
“Ada!”
“Soal apa?”
“Bahwa Nyimas Layang Kingkin harus dinikahkan dengan Sang Prabu dan engkau harus meminang Nyimas Banyak Inten!” jawab Ginggi.
“Kalau itu aku sudah tahu, tolol, sebab ayah tiriku pasti bilang padaku!” potong Suji Angkara gemas.
“Kalau begitu tak ada lagi,” kata Ginggi seperti menyesal atas ketidak-berhasilan tugasnya.
“Dasar kau tolol!’”
“Bukan saya tolol, tapi kalau sesuatu yang harus saya intip tak ada, ya mau apa lagi?” kata Ginggi mengajukan alasan.
“Plak!” Pipi Ginggi dihadiahi tamparan.
Ingin Ginggi balik menampar kalau saja dia tak ingat dirinya hanyalah seorang badega “bawahan” pemuda jahat itu.
“Lantas bagaimana selanjutnya, Raden?”
“Kau kembali saja ke puri ayahku dan lanjutkan tugas-tugas yang aku bebankan padamu. Tapi awas … kalau kau berani mengkhianatiku, nyawamu lepas dari badanmu. Tak ada orang yang bisa hidup karena mengkhianatiku, mengerti?”
“Mengerti, Raden …”
“Ya, cepat pergi!”
Ginggi meninggalkan tempat itu dengan perasaan gemas sekaligus sedih. Sedih karena dia bisa menduga, ketiga orang yang tergeletak di puri Suji Angkara yaitu Madi, Ki Ogel dan Ki Banen sudah dipastikan tewas. Bila menurutkan hawa nafsu, ingin dia pukul roboh Suji Angkara di tempat sunyi tadi sebab tak akan ada orang tahu. Tapi membunuh pemuda itu hanya tindakan potong kompas dan tidak akan menguakkan kejahatannya. Ginggi hanya ingin buktikan bahwa semua orang tahu bahwa Suji Angkara orang jahat. Soal siapa kelak yang akan menghukumnya, di Pakuan pasti ada lembaga untuk mengurus urusan seperti itu.
Ginggi pulang ke puri Bangsawan Bagus Seta dengan perasaan tidak menentu. Dia tak bisa mengurus dan merawat tiga jasad yang dia anggap teman-temannya, sebab kalau pun memaksa, hanya akan mendapatkan kecurigaan saja. Para penyerang puri Suji Angkara dengan begitu mudahnya di tuduh penjahat sehingga dengan amat mudahnya pula segenap jagabaya dikerahkan untuk membunuhnya.
Ginggi segera memasuki gerbang puri yang dijaga empat orang jagabaya dan mereka tak banyak periksa ketika Ginggi masuk ke sana. Dia tidak banyak pertanyaan perihal kegiatan Bangsawan Bagus Seta dan Suji Angkara, sebab dia bisa menduga, mereka tengah menguber dirinya yang tadi melarikan tubuh luka pemuda Seta.
Besok siangnya Ginggi merasa amat heran, sebab peristiwa tadi malam tidak menimbulkan hal-hal yang membuat orang tergerak untuk membicarakannya. Bahkan cenderung Ginggi menduga bahwa tidak banyak orang yang tahu akan peristiwa semalam. Banyak jagabaya berseliweran di sekitar puri. Betul-betulkah banyak orang tidak tahu ada kejadian yang Ginggi anggap amat besar itu, ataukah … ataukah semua orang tak berani mempercakapkannya? Ginggi tidak bisa menduga dengan pasti.
Hanya saja menjelang tengah hari, Suji Angkara nampak dipanggil menghadap ke puri ayah tirinya. Ginggi yang melihat dari ruangan belakang melihat wajah pemuda itu yang nampak muram dan matanya merah seperti kurang tidur.
Ginggi ingin sekali mencuri dengar percakapan kedua orang itu. Maka Ginggi segera membawa baki siap dengan berbagai penganan di atasnya. Ginggi akan mengantarkan penganan ke ruangan tengah tanpa diperintah tuannya. Di ruangan tengah nampak bersila saling berhadapan, Suji Angkara dan Ki Bagus Seta. Keduanya berhadapan dengan raut-muka nampak tegang seperti ada sesuatu hal yang dirisaukan atau dipermasalahkan.
“Kau bacalah surat tadi pagi yang dikirimkan oleh Bangsawan Yogascitra!” kata Ki Bagus Seta menyodorkan sebuah kotak berukir yang di dalamnya berisi satu susun daun nipah.
Nampak jidat Suji Angkara yang bengkak itu agak mengkerut ketika matanya meneliti tulisan palawa di daun nipah.
“Kurang ajar…” desis pemuda itu sambil menggigit bibir. Sesudah itu dia memandang Ki Bagus Seta. “Apa artinya ini, ayahanda? Keluarga Bangsawan Yogacitra menolak lamaran kita?” tanya Suji Angkara dengan suara menggigil. “Mengapa bisa begini? Bukankah tempo hari Ayahanda yakin mereka akan menerima pinangan kita?” tanya Suji Angkara tidak senang.
“Entah… aku juga tidak mengerti,” gumam Ki Bagus Seta mengerutkan dahi.
“Barangkali ini kesalahan Ayahanda juga, mengapa membatalkan pertunangan Dinda Kingkin dengan Banyak Angga? Dan mengapa malah Ayahanda tawarkan adikku pada Sang Prabu?” tanya pemuda itu penuh sesal.
“Jangan salahkan aku. Ini semua aku lakukan untukmu. Kau akan tahu, Sang Prabu mencintai Nyimas Banyak Inten. Karena aku sayang engkau, maka kutawarkan adikmu pada Sang Prabu dengan harapan beliau melepaskan kekasihmu,” kata Ki Bagus Seta setengah melamun.
“Tapi nyatanya gadis itu tidak diberikan padaku. Mereka tolak mentah-mentah lamaran kita. Padahal mereka tahu, Nyimas Banyak Inten menyukaiku dan aku menyukai dirinya. Mereka sengaja menolakku karena ingin membalas sakit hati atas perlakuan Ayahanda!” kata Suji Angkara setengah berteriak kesal.
“Brak!”
Ki Bagus Seta menggebrak meja pendek yang ada di sampingnya sehingga kayu-kayu meja berantakan tinggal puing-puing. Ginggi yang melihat kejadian itu dari belakang terkesiap melihat demonstrasi tenaga yang diperlihatkan Ki Bagus Seta. Ginggi maklum, orang ini termasuk murid pandai dari Ki Darma.
“Bisamu hanya menyalahkan orang lain saja. Dan kini kau salahkan aku, hah!” Ki Bagus Seta juga sama meninggikan kata-katanya.
“Ya, karena ambisimu, kau hancurkan anakmu, ayahanda!” kata Suji Angkara. “Kau atur agar Sang Prabu melepaskan Nyimas Banyak Inten dan mengambil adikku agar hubungan kekerabatan dengan Raja semakin dekat kemudian kau semakin mudah menanamkan pengaruhmu di istana. Dan aku, mana keuntunganku yang bias kudapat?” tanya Suji Angkara masih dengan suara tinggi.
“Kau berkacalah dulu agar kau tahu sejauh mana dirimu berharga untuk orang lain!” kata Ki Bagus Seta membuat Suji Angkara pucat wajahnya.
“Apa maksudmu, Ayahanda?”
“Sudah banyak bisik-bisik tentangmu. Kau dicurigai bermental bejat. Aku tak percaya sebelumnya. Tapi kejadian tadi malam membuatku berpikir lain. Penyerang-penyerang itu semua anak-buahmu. Semua menudingmu banyak berbuat serong. Untung mereka cepat mati dan untung sekali mayat mereka cepat kalian buang sehingga kaum bangsawan lain tak banyak tahu peristiwa tadi malam… Hei, siapa itu?” Ki Bagus Seta menoleh ke belakang ketika melihat Ginggi tergopoh-gopoh datang mendekat membawa baki berisi penganan.
“Mau apa kau ke sini?” tanya Ki Bagus Seta mendelik.
“Penganan untuk tamu. Bukankah sudah biasa saya harus menyiapkannya?” tanya Ginggi pura-pura baru datang ke ruangan itu.
“Jangan sembarangan masuk tanpa dipanggil. Cepat simpan penganan itu kembali ke ruangan belakang !” kata Ki Bagus Seta.
“Tidak perlu, pergi saja kamu!” bentak Ki Bagus Seta.
Ginggi cepat-cepat meninggalkan tempat itu tapi di lorong pintu segera menyelinap di balik gorden tinggi. Ginggi sembunyi di balik gorden dan membungkus tubuhnya dengan lembaran kain lebar itu.
“Coba katakan, benarkah engkau selama ini selalu berbuat tidak senonoh terhadap kaum perempuan?” Tanya Ki Bagus Seta penuh selidik.
Yang ditanya sepertinya tidak bisa menjawab. Dan Ki Bagus Seta nampaknya ingin sekali mendapatkan jawaban gamblang dari Suji Angkara sehingga untuk kedua kalinya terdengar mengajukan pertanyaan sama.
“Ayahanda, semua orang punya kekurangannya. Aku … dan mungkin juga engkau!” Suji Angkara malah berkata begitu.
“Maksudmu apa?” suara Ki Bagus Seta terdengar penuh selidik.
“Aku ingin tahu, apa hubunganmu dengan Ki Banaspati ayah!” kata Suji Angkara dengan nada suara penuh selidik pula.
Terdiam sejenak, sehingga Ginggi tak tahu apa yang tengah mereka lakukan.
“Jangan macam-macam. Aku dengan dia tidak punya hubungan apa-apa kecuali dia bawahanku dalam melakukan pungutan pajak negara di wilayah timur!” kata Ki Bagus Seta.
“Aku berpikir, hubungan Ayahanda dengan pejabat misterius itu sudah lebih jauh lagi dari sekadar hubungan atasan dan bawahan,” tuding Suji Angkara.
“Mengapa kau berkata begitu?” tanya Ki Bagus Seta suaranya terdengar sedikit bergetar.
“Ketika aku mengawal seba dari wilayah Karatuan Talaga banyak peristiwa ganjil yang aku dapatkan. Ketika tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang, aku bahkan akan mereka bunuh. Semua telah aku laporkan padamu ayah, tapi mana tindakanmu atas kejadian aneh itu? Biar pun sekadar anak tiri, tapi aku anakmu. Bahkan lebih dari itu, aku kau tugasi untuk mengawasi kelancaran tugas Ki Banaspati. Ketika aku lapor bahwa aku akan dibunuhnya, kau tidak melakukan tindakan apa-apa. Dari situ aku bepikir bahwa Ayahanda punya sesuatu hubungan dengan Ki Banaspati, entah itu hubungan apa. Yang jelas, Ayahanda tak berniat melakukan sesuatu terhadapnya, kendati tahu Ki Banaspati hendak melenyapkan nyawaku!” kata Suji Angkara dengan suara cukup menggetar juga.
Sunyi beberapa saat. Dan Ginggi yang sembunyi di balik gorden ingin sekali segera mendengar kelanjutan pembicaraan antara ayah dan anak tiri ini.
“Ki Banaspati sebelumnya tak tahu bahwa kau anakku…” terdengar jawaban Ki Bagus Seta.
“Itu bukan sebuah alasan,” kata Suji Angkara tak puas. “Ayahanda belum menjawab perihal sikap-sikap aneh yang dilakukan Ayahanda. Mengapa laporan dan penemuanku tidak ayah bahas secara sungguh-sungguh. Mengapa laporanku mengenai kecurigaan Ki Banaspati menghimpun kekuatan gelap termasuk membentuk pasukan yang bertugas merampok hasil kiriman seba dari negara-negara kecil tidak Ayahanda tangani dengan serius bahkan seperti tak berniat melaporkannya pada Sang Prabu? Mengapa pula semakin tinggi Ayahanda membuat kebijaksanaan penarikan pajak tetapi semakin berkurang juga pajak yang masuk? Itu semua tidak masuk akal. Bukan aku saja yang bercuriga tetapi juga beberapa bangsawan istana lainnya. Kalau ayah benar memiliki kegiatan bersama Ki Banaspati, aku tak akan banyak ikut-campur. Tapi karena aku punya rahasia yang bisa melemahkan kedudukanmu, maka agar kelemahan tidak terbongkar, Ayahanda pun harus menutupi kesalahanku pula. Dan kita berdua sama-sama saling menutupi kelemahan masing-masing,” kata Suji Angkara.
Kembali sunyi mencekam ruangan di mana mereka berada dan Ginggi tak bisa menduganya apa yang mereka tengah lakukan. Hanya saja Ginggi tengah menduga, mendapat serangan gencar dari Suji Angkara, rupanya Ki Bagus Seta agak terdesak juga. Barangkali otaknya tengah berputar untuk menyusun kata-kata yang harus disampaikannya pada anak tirinya yang nampak mulai melakukan penekanan ini.
“Apa yang kau inginkan dariku, Suji?” tanya Ki Bagus Seta setelah lama berdiam diri.
“Tidak banyak. Tutupi kelakuan saya masa lampau dan usahakan agar lamaran untuk mendapatkan Nyimas Banyak Inten terlaksana,” kata Suji Angkara.
Hening sejenak. “Saya bisa menduga, Ayahanda bersama Ki Banaspati melakukan persekongkolan untuk memperkaya diri sendiri dengan menggelapkan hasil seba. Silakan lanjutkan sebab saya pun ikut menikmati hasilnya dan hidup makmur selama berada di Pakuan. Tapi Ayahanda tetap harus menolongku sebab kalau kegiatan Ayahanda saya sampaikan pada Raja, Ayahanda mendapatkan marabahaya besar,” kata Suji Angkara setengah mengancam.
Ki Bagus Seta belum mengeluarkan jawaban ketika tiba-tiba seorang jagabaya, mengabarkan ada tamu yang datang.
“Siapa?” tanya Ki Bagus Seta.
“Yang akan bertamu adalah Ki Banaspati, Juragan!” kata jagabaya.
Berdesir darah Ginggi mendengarnya. Hening sejenak. Sepertinya Ki Bagus Seta belum bias memutuskan apakah harus ditolak ataukah diterima saja tamu itu.
“Mengapa Ayahanda ragu-ragu? Persilakan dia datang. Biar kita sama-sama ngobrol agar pengetahuanku lebih luas tentang dirinya,” kata Suji Angkara.
“Persilakan dia masuk…” gumam Ki Bagus Seta.
Jagabaya kembali keluar ruangan dan hampir saja tubuhnya menyinggung bagian tubuh Ginggi yang sembunyi di balik gorden. Tidak berapa lama kemudian ada suara langkah ringan memasuki lorong yang kelak mengarah ke ruangan tengah puri. Ginggi menahan napas ketika Ki Banaspati lewati gorden.
“Selamat datang Ki Banaspati…” kata Ki Bagus Seta sedikit kaku suaranya.
“Selamat bertemu. Siapa ini? Oh…” jawab Ki Banaspati agak kaget.
Ginggi menduga rasa kaget Ki Banaspati karena melihat Suji Angkara ada di ruangan itu.
Hening
“Ada penting…?” suara Ki Bagus Seta.
“Ya …” jawab Ki Banaspati.
“Tentang apa…?”
“Tapi aku tak mau ada pemuda ini di sini …!”
“Suji kau keluarlah!”
“Baik. Tapi Ayahanda harus ingat,” suara Suji Angkara.
“Ya, aku ingat…!”
Ginggi dari balik gorden mendengar suara langkah keluar dari ruangan itu. Menjauh dan akhirnya lenyap.
“Ya, sekarang katakan apa yang ingin kau katakan,” kata suara Ki Bagus Seta.
“Masih ada satu orang lagi yang mendengar pembicaraan kita, aku tak suka!”
“Siapa?”
Bersamaan dengan pertanyaan KI Bagus Seta, ke arah gorden di mana Ginggi sembunyi berhembus angin pukulan, rasanya menimbulkan hawa panas. Ginggi teringat, pukulan panas seperti ini pernah dia rasakan ketika mendapat serangan dari Ki Rangga Wisesa di sebuah gua kapur wilayah Tanjungpura enam bulan lalu. Ginggi tak begitu heran kalau Ki Banaspati pun pandai memainkan ilmu ini sebab baik Ki Rangga Wisesa mau pun Ki Banaspati sama-sama satu seperguruan. Hanya Ginggi saja yang tidak pernah mendapatkan gemblengan ilmu seperti itu. Bukan karena Ki Darma tak mau memberinya, akan tetapi pemuda itu sendiri yang menolaknya. Ini karena Ginggi tetap tak suka mempelajari ilmu yang tujuannya hanya untuk membunuh.
Namun kendati tidak mempelajari ilmu tenaga dalam seperti ini, bukan berarti Ginggi tidak bisa memusnahkan serangan seperti ini. Apalagi sesudah ilmu-ilmu yang ada padanya kian dimatangkan oleh berbagai latihan selama tiga bulan yang diberikan Ki Rangga Guna. Ginggi tahu betul, bagaimana caranya menghadapi angin pukulan seperti ini. Menurut Ki Rangga Guna, ada dua macam tenaga dalam. Satu jenis akan melahirkan angin pukulan berhawa panas dan satunya lagi berhawa dingin. Tidak banyak orang-orang Pajajaran yang mempelajari ilmu semacam ini, sebab hanya orang-orang yang sudah memiliki kekuatan jiwa dan pandai mempergunakan hawa murni saja yang sanggup memilikinya.
Hawa pukulan panas bisa dianggap tenaga kasar, sebaliknya hawa dingin disebut tenaga halus. Kasar bisa dilawan dengan kasar dan halus dilawan dengan halus. Tapi bila dua kekuatan sama saling diadukan akan mengakibatkan sesuatu yang dahsyat. Di sana akan terjadi adu kekuatan dan akibatnya akan fatal sebab yang tenaganya kurang sempurna akan kalah yang mengakibatkan luka atau tewas. Ginggi tidak mau memilih risiko seperti itu. Dia tak mau membunuh orang, tapi dibunuh pun apalagi. Maka untuk mencari jalan tengahnya, serbuan pukulan hawa panas yang dilontarkan Ki Banaspati, dia jemput dengan pengerahan hawa dingin. Pukulan hawa panas Ki Banaspati bagaikan besi panas yang menerobos kolam air, panasnya hilang tak berbekas. Bahkan udara yang tadi terasa panas, mendadak berubah dingin.
“Yang namanya orang pandai, tak baik sembunyi seperti itu. Kami harap engkau berani memperlihatkan diri,” kata Ki Banaspati dan nada suaranya seperti heran.
Ginggi terpaksa keluar menampakkan diri. Langsung menerobos kain gorden yang segera melepuh seperti debu. Ginggi tersenyum tipis ketika kedua orang itu menatapnya sambil membelalakkan kedua belah matanya. Yang nampak paling terkejut melihat Ginggi adalah Ki Bagus Seta.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment