“Mari Raden kita lanjutkan perjalanan, bukankah engkau akan menuju tepi Sungai Cipakancilan?” kata Ginggi.
“Tidak perlu ke sana sebab barusan engkau sudah menjelaskannya,” gumam pemuda itu dengan nada pahit.
“Kalau boleh aku bertanya, rencanamu apa menuju Sungai Cipakancilan itu?” Ginggi bertanya sambil memandang pemuda itu di kegelapan malam.
“Aku akan menuju rumah Ki Ogel dan Ki Banen karena aku curiga, Suji Angkara pernah masuk ke rumah tua itu,” kata Purbajaya. “Sejak setahun yang lalu aku curiga terhadap Suji Angkara sebab dia sepertinya membenciku tanpa sebab. Suatu malam seperti malam ini, aku diserang bayangan hitam. Tapi melihat gerak-geriknya aku tahu. Dia Suji Angkara. Aku waktu itu hampir terbunuh kalau saja tidak datang pertolongan para jagabaya puri Yogascitra. Bayangan hitam itu melarikan diri di kegelapan. Aku tak mau bilang pada siapa-siapa perihal kecurigaanku pada Suji Angkara. Maklum, dia anak pejabat penting di Pakuan ini. Jadi sebelum jelas benar permasalahannya, aku tak akan beritahu siapa pun. Maka aku lakukan penyelidikan. Baru sekarang aku tahu apa penyebabnya… Oh, benarkah Dinda Wulansari sudah mati?” akhirnya pemuda itu mengeluh.
Ginggi mengangguk mengiyakan. “Hanya yang saya heran, mengapa berita kematian gadis kekasihmu tidak pernah diketahui selama ini?” Tanya Ginggi. “Sejauh mana hubunganmu dengan gadis Wulan, Raden?” tanya lagi Ginggi.
“Itulah mungkin penyebabnya. Aku bercinta dengan Dinda Wulan baru secara diam-diam saja. Hubungan kami takut tak direstui mengingat antara Ayahandaku dan Kandagalante Subangwara tidak punya kesepakatan pendapat. Subangwara adalah paman kekasihku. Berita kematian Dinda Wulan tidak sampai kepadaku karena Ayahanda mungkin merasa tak berkepentingan memberitahukannya padaku…” kata Purbajaya mengeluh.
Nampak sekali dia diliputi kesedihan.
“Kau … Aku lihat sikapmu aneh,” akhirnya pemuda itu berkata seperti itu.
“Hm… begitukah, Raden?” gumam Ginggi.
“Aku bingung, ada di fihak mana sebetulnya engkau. Aku teliti engkau pernah mengabdi pada Suji Angkara. Sesudah itu sekarang jadi badega (pelayan) Bagus Seta. Tapi sepertinya kau tak memihak mereka,” tanya pemuda itu heran.
Ginggi hanya tersenyum. “Saya ingin memihak kebenaran. Tapi kebenaran yang mana, sampai hari ini saya tak tahu …” jawab Ginggi.
“Mengabdi dan berfihaklah pada satu kekuatan yang membela kebenaran. Kurasa tak baik menutup-nutupi kemampuan sendiri. Orang tidak pernah menghargai kebodohan. Karena kau dianggap bodoh, maka pekerjaanmu hanya sebatas badega saja. Padahal kepandaianmu hebat sekali. Kau bisa menjadi perwira kerajaan. Pakuan amat membutuhkan orang-orang pandai,” kata Purbajaya.
“Saya belum berpikir untuk mengabdi kepada siapa. Itulah sebabnya saya sembunyikan kepandaian yang ada. Dengan demikian saya tidak diperhatikan orang dan bebas melakukan berbagai penyelidikan…”
“Penyelidikan? Apa yang tengah kau selidiki?”
“Perbuatan Suji Angkara, bukankah saya yang selidiki?” kata Ginggi.
Purbajaya mengangguk-angguk maklum. “Penyelidikanmu telah menolongku, mungkin akan menolong banyak orang. Malam ini juga aku harus laporkan kejadian ini pada Paman Yogascitra,” kata pemuda itu.
“Jangan dulu,” Ginggi mencegahnya.
“Mengapa? Keluarga Yogascitra dalam bahaya. Bukankah kau tahu Bangsawan Bagus Seta melamar Nyimas Banyak Inten untuk kepentingan Suji Angkara?” tanya Purbajaya.
“Betul dalam bahaya, tapi kalian sudah sepakat untuk tidak memberikan Nyimas Banyak Inten kepada pemuda bejat itu, seperti yang kalian rundingkan tadi sore. Yang ingin saya cegah adalah berita kebejatan pemuda itu, harap Raden tidak mengabarkannya dulu pada keluarga Yogascitra,” kata Ginggi.
“Mengapa?”
“Aib Suji Angkara sulit dibuktikan, sebab semuanya baru bersumber pada ucapan saya semata. Kalau keluarga Yogascitra ikut menuding sambil dasarnya baru dari keterangan seorang badega, keluarga Bagus Seta akan balik menuntut dan itu merugikan nama baik Bangsawan Yogascitra. Sang Prabu tengah mempercayai Bangsawan Yogascitra, dan beliau akan diangkat jadi Penasihat Raja. Itulah sebabnya Ki Bagus Seta mencabut pertunangan Raden Banyak Angga dan Nyimas Layang Kingkin. Sebetulnya bukan Sang Prabu yang minta tapi Ki Bagus Seta yang sengaja menawarkan, dengan harapan dia punya kekerabatan dengan Raja. Dan bila sudah begitu, diharapkan kedudukan Penasihat Raja tidak jatuh ke tangan Bangsawan Yogascitra!” kata Ginggi secara rinci, membuat mulut Purbajaya menganga saking heran mendengar penjelasan seperti itu.
“Engkau hebat, begitu tahu banyak kejadian-kejadian penting yang menyangkut kalangan istana. Dari mana kau tahu, sedangkan aku sendiri yang beberapa kali diundang oleh Raja tidak pernah mendengar berita ini?” Tanya Purbajaya heran.
“Itulah perlunya menjadi orang rendahan, Raden. Seorang badega bodoh tak akan diperhatikan. Dan karena tak diperhatikan, dia bebas melakukan penyelidikan penting,” kata Ginggi bangga tapi sambil teringat dirinya babak-belur dihajar orang-orang Ki Bagus Seta karena sempat dicurigai.
Kembali Purbajaya termangu-mangu.
“Kalau Raden mau membantu perjuangan saya, tolong rahasiakan keberadaan saya. Malam ini juga saya akan kembali ke puri Bagus Seta. Raden juga di sana harus berjuang menjaga Nyimas Banyak Inten,” kata Ginggi.
“Aku siap menjaga keamanannya, Ginggi.”
“Terima kasih,” jawab Ginggi entah apa maksudnya.
“Tidak perlu ke sana sebab barusan engkau sudah menjelaskannya,” gumam pemuda itu dengan nada pahit.
“Kalau boleh aku bertanya, rencanamu apa menuju Sungai Cipakancilan itu?” Ginggi bertanya sambil memandang pemuda itu di kegelapan malam.
“Aku akan menuju rumah Ki Ogel dan Ki Banen karena aku curiga, Suji Angkara pernah masuk ke rumah tua itu,” kata Purbajaya. “Sejak setahun yang lalu aku curiga terhadap Suji Angkara sebab dia sepertinya membenciku tanpa sebab. Suatu malam seperti malam ini, aku diserang bayangan hitam. Tapi melihat gerak-geriknya aku tahu. Dia Suji Angkara. Aku waktu itu hampir terbunuh kalau saja tidak datang pertolongan para jagabaya puri Yogascitra. Bayangan hitam itu melarikan diri di kegelapan. Aku tak mau bilang pada siapa-siapa perihal kecurigaanku pada Suji Angkara. Maklum, dia anak pejabat penting di Pakuan ini. Jadi sebelum jelas benar permasalahannya, aku tak akan beritahu siapa pun. Maka aku lakukan penyelidikan. Baru sekarang aku tahu apa penyebabnya… Oh, benarkah Dinda Wulansari sudah mati?” akhirnya pemuda itu mengeluh.
Ginggi mengangguk mengiyakan. “Hanya yang saya heran, mengapa berita kematian gadis kekasihmu tidak pernah diketahui selama ini?” Tanya Ginggi. “Sejauh mana hubunganmu dengan gadis Wulan, Raden?” tanya lagi Ginggi.
“Itulah mungkin penyebabnya. Aku bercinta dengan Dinda Wulan baru secara diam-diam saja. Hubungan kami takut tak direstui mengingat antara Ayahandaku dan Kandagalante Subangwara tidak punya kesepakatan pendapat. Subangwara adalah paman kekasihku. Berita kematian Dinda Wulan tidak sampai kepadaku karena Ayahanda mungkin merasa tak berkepentingan memberitahukannya padaku…” kata Purbajaya mengeluh.
Nampak sekali dia diliputi kesedihan.
“Kau … Aku lihat sikapmu aneh,” akhirnya pemuda itu berkata seperti itu.
“Hm… begitukah, Raden?” gumam Ginggi.
“Aku bingung, ada di fihak mana sebetulnya engkau. Aku teliti engkau pernah mengabdi pada Suji Angkara. Sesudah itu sekarang jadi badega (pelayan) Bagus Seta. Tapi sepertinya kau tak memihak mereka,” tanya pemuda itu heran.
Ginggi hanya tersenyum. “Saya ingin memihak kebenaran. Tapi kebenaran yang mana, sampai hari ini saya tak tahu …” jawab Ginggi.
“Mengabdi dan berfihaklah pada satu kekuatan yang membela kebenaran. Kurasa tak baik menutup-nutupi kemampuan sendiri. Orang tidak pernah menghargai kebodohan. Karena kau dianggap bodoh, maka pekerjaanmu hanya sebatas badega saja. Padahal kepandaianmu hebat sekali. Kau bisa menjadi perwira kerajaan. Pakuan amat membutuhkan orang-orang pandai,” kata Purbajaya.
“Saya belum berpikir untuk mengabdi kepada siapa. Itulah sebabnya saya sembunyikan kepandaian yang ada. Dengan demikian saya tidak diperhatikan orang dan bebas melakukan berbagai penyelidikan…”
“Penyelidikan? Apa yang tengah kau selidiki?”
“Perbuatan Suji Angkara, bukankah saya yang selidiki?” kata Ginggi.
Purbajaya mengangguk-angguk maklum. “Penyelidikanmu telah menolongku, mungkin akan menolong banyak orang. Malam ini juga aku harus laporkan kejadian ini pada Paman Yogascitra,” kata pemuda itu.
“Jangan dulu,” Ginggi mencegahnya.
“Mengapa? Keluarga Yogascitra dalam bahaya. Bukankah kau tahu Bangsawan Bagus Seta melamar Nyimas Banyak Inten untuk kepentingan Suji Angkara?” tanya Purbajaya.
“Betul dalam bahaya, tapi kalian sudah sepakat untuk tidak memberikan Nyimas Banyak Inten kepada pemuda bejat itu, seperti yang kalian rundingkan tadi sore. Yang ingin saya cegah adalah berita kebejatan pemuda itu, harap Raden tidak mengabarkannya dulu pada keluarga Yogascitra,” kata Ginggi.
“Mengapa?”
“Aib Suji Angkara sulit dibuktikan, sebab semuanya baru bersumber pada ucapan saya semata. Kalau keluarga Yogascitra ikut menuding sambil dasarnya baru dari keterangan seorang badega, keluarga Bagus Seta akan balik menuntut dan itu merugikan nama baik Bangsawan Yogascitra. Sang Prabu tengah mempercayai Bangsawan Yogascitra, dan beliau akan diangkat jadi Penasihat Raja. Itulah sebabnya Ki Bagus Seta mencabut pertunangan Raden Banyak Angga dan Nyimas Layang Kingkin. Sebetulnya bukan Sang Prabu yang minta tapi Ki Bagus Seta yang sengaja menawarkan, dengan harapan dia punya kekerabatan dengan Raja. Dan bila sudah begitu, diharapkan kedudukan Penasihat Raja tidak jatuh ke tangan Bangsawan Yogascitra!” kata Ginggi secara rinci, membuat mulut Purbajaya menganga saking heran mendengar penjelasan seperti itu.
“Engkau hebat, begitu tahu banyak kejadian-kejadian penting yang menyangkut kalangan istana. Dari mana kau tahu, sedangkan aku sendiri yang beberapa kali diundang oleh Raja tidak pernah mendengar berita ini?” Tanya Purbajaya heran.
“Itulah perlunya menjadi orang rendahan, Raden. Seorang badega bodoh tak akan diperhatikan. Dan karena tak diperhatikan, dia bebas melakukan penyelidikan penting,” kata Ginggi bangga tapi sambil teringat dirinya babak-belur dihajar orang-orang Ki Bagus Seta karena sempat dicurigai.
Kembali Purbajaya termangu-mangu.
“Kalau Raden mau membantu perjuangan saya, tolong rahasiakan keberadaan saya. Malam ini juga saya akan kembali ke puri Bagus Seta. Raden juga di sana harus berjuang menjaga Nyimas Banyak Inten,” kata Ginggi.
“Aku siap menjaga keamanannya, Ginggi.”
“Terima kasih,” jawab Ginggi entah apa maksudnya.
Keduanya berpisah di lorong gelap itu. Ginggi berniat akan kembali ke puri Ki Bagus Seta dan Purbajaya ke puri Bangsawan Yogascitra. Namun sebelum keduanya berpisah, Ginggi beberapa kali menasihati pemuda itu agar tidak sembarangan bertindak.
“Saya bisa mengerti kesedihan dan kemarahan Raden karena kematian gadis yang Raden cintai. Tapi bila secara sembrono Raden menyerbu Puri Suji Angkara, akan terlalu berbahaya. Bahkan sekarang Raden harus hati-hati bepergian seorang diri. Selama setahun ini Raden bebas dari incaran pemuda itu mungkin karena Raden terbiasa keluar masuk Puri Bangsawan Yogascitra bahkan ke Istana Raja, dan Suji Angkara agak segan bertindak di tempat-tempat itu. Tapi oleh Raden kini terbukti, sedikit saja berada di luar puri, Raden sudah diserang dan diancam bahaya,” kata Ginggi panjang-lebar.
Ginggi tak bisa menduga, apakah pemuda ini bias mengerti untuk bisa menahan emosinya? Ada juga perasaan khawatir, takut kalau-kalau pemuda ini bertindak sendiri.
Kalau demikian jadinya, suasana akan bertambah runyam. Peristiwa barusan saja sebenarnya amat tak dikehendaki olehnya. Ginggi sebetulnya masih ingin merahasiakan identitasnya kepada siapa pun juga. Sekarang sudah ada tiga orang yang sekaligus tahu siapa dirinya. Kalau Seta dan Madi masih menginduk kepada Suji Angkara, barangkali orang keempat itu yang tahu siapa dirinya adalah Suji Angkara.
Karena sudah terlanjur dirinya diketahui, jadi Ginggi harus secepat mungkin melakukan tindakan. Tapi tindakan apa, Ginggi pun sebetulnya belum tahu persis. Ginggi meloncat pergi ketika Purbajaya telah meninggalkan tempat itu. Tujuannya tidak kembali ke Puri Bangsawan Bagus Seta, melainkan akan menyelinap ke Puri Suji Angkara. Ginggi berpikir kemungkinan dirinya sudah dikenal oleh Suji Angkara, karena Seta dan Madi pasti melaporkannya. Kalau benar demikian Suji Angkara tentu akan segera melaporkan kepada ayahnya. Dan bila sudah begitu, akan terputus pula usaha penyelidikannya.
Ginggi harus berpacu. Dia harus mencegah pemuda jahat itu berhubungan dengan ayahnya. Karena jalan pikiran inilah dia memilih pergi menuju Puri Suji Angkara saja. Ginggi berlari, menyelinap ke kiri dan ke kanan untuk menghindari pertemuan dengan para tugur. Tugur atau ronda setiap malamnya terdiri dari dua rombongan. Satu berjaga dijawi khita dan satu rombongan lagi bertugas didalem khita, Masing-masing rombongan dipecah dua lagi. Semuanya berkeliling memutari benteng untuk pada suata saat saling bertemu pada satu titik.
Tapi Ginggi tak boleh bertemu dengan tugur. Jadi kalau sayup-sayup di depan didengar suara kohkol (kentongan) di tabuh dengan teratur, pertanda tugur tengah berkeliling menyusuri benteng. Pemuda itu harus bersembunyi di balik pepohonan, atau bahkan langsung meloncat ke atas dahan.
Ketika Ginggi bersembunyi di dahan pohon pun Nampak serombongan tugur tengah berjalan menyusuri dalem khita. Jumlahnya ada sekitar dua belas orang terdiri dari jagabaya pilihan. Mereka berbekal oncor (obor) tapi kebanyakan membawa tombak, cagak atau bahkan pedang. Hatinya merasa bersyukur ketika terjadi perkelahian di lorong benteng tadi, tugur belum lewat ke wilayah benteng di mana mereka berkelahi dengan rombongan Suji Angkara.
Ketika rombongan tugur sudah lewat, Ginggi baru berani melayang turun dari atas pohon. Sesudah itu dia segera berlari lagi menuju Puri Suji Angkara. Namun pemuda itu amat terkejut, sebab beberapa saat sebelum tiba di pintu gerbang Puri Suji Angkara, terdengar banyak kentongan dipukul bersahut-sahutan. Para tugur pun berlarian menuju gerbang puri. Berdebar hati Ginggi. Di Puri Suji Angkara pasti terjadi huru-hara. Tapi huru-hara perkara apa? Dia belum bias memastikan. Ada sedikit dugaan, barangkali Purbajaya sudah melapor ke Puri Yogascitra perkara kejahatan Suji Angkara dan malam itu mereka melakukan penyerbuan.
Kalau Purbajaya melapor bahwa Suji Angkara pernah mencoba melakukan kejahatan terhadap Nyimas Banyak Inten, kemungkinan akan membikin kemarahan para penghuni puri Bangsawan Yogascitra dan malam itu juga pasti melakukan penyerbuan.
Tapi kecurigaan ini segera ditepisnya. Jarak dari Puri Bangsawan Yogascitra ke Puri Suji Angkara cukup jauh. Kalau mereka menyerbu Puri Suji Angkara, sebelumnya tentu harus melewati dirinya, sebab jalan menuju Puri Suji Angkara atau Puri Ki Bagus Seta hanya terdiri dari satu jalan saja. Kalau berkeliling tentu akan sangat melambung dan tak mungkin bisa datang lebih cepat ketimbang dirinya. Jadi kalau begitu, habis ada huru-hara apakah di puri itu?
“Kepung penjahat! Kepung pemberontak!” terdengar teriakan-teriakan di dalam benteng puri.
Ginggi segera menahan napas untuk mengumpulkan tenaga inti. Sesudah terhimpun, inti tenaga disalurkan ke bagian kaki. Sesudah itu Ginggi menggerakkan kedua kakinya dan badannya terlontar ke udara. Badannya kembali turun dan sepasang kakinya tepat menclok di atas benteng setingi 3 depa. Ginggi melihat ada pertempuran kecil. Atau lebih tepat lagi, ada pengeroyokan. Satu orang pemuda bersenjatakan kelewang tengah dikeroyok tujuh orang atau sembilan orang jagabaya yang bersenjatakan macam-macam jenis dari mulai senjata tajam seperti tombak, pedang dan cagak, sampai senjata ringan untuk menangkap orang seperti cangkalak misalnya.
Tapi yang membikin Ginggi terkejut setengah mati, karena orang yang tengah dikepung dan dikeroyok adalah pemuda Seta. Seta menyerang membabi-buta mengayunkan kelewang ke kiri dan ke kanan. Nampaknya dia sudah tidak memikirkan jiwanya lagi, sebab serangannya tidak menggunakan ilmu-ilmu berkelahi yang wajar. Dia hanya serampangan saja membanting senjatanya ke kiri dan ke kanan tanpa berniat menangkis serangan lawan. Yang dia lakukan sepertinya berusaha menyerang para pengeroyoknya saja. Memang ada satu dua pengeroyoknya yang terkena bacokan atau tusukan Seta. Tapi di sebuah lapangan rumput tepi paseban kecil sudah berdiri belasan jagabaya lainnya. Jadi setiap satu atau dua pengepung mundur dan terluka, segera digantikan oleh tenaga baru.
Melalui penerangan cahaya obor yang banyak dipegang beberapa jagabaya, Ginggi melihat banyak luka diderita pemuda Seta. Sekujur tubuhnya sudah bersimbah darah, begitu pun wajahnya, sehingga hampir-hampir tidak dikenali lagi.
Yang membuat darah Ginggi berdesir adalah ketika memandang ke arah bagian lain masih di sekitar tepi paseban. Suji Angkara nampak berdiri bertolak pinggang dengan angkuhnya, sedang di depannya terdapat tiga tubuh bergeletakan tak bergerak. Ginggi tak bisa mengenali tubuh-tubuh siapakah itu, sebab ketiganya hampir rebah tertelungkup. Satu tubuh agak gempal, terkujur membelakangi sehingga Ginggi tak bisa mengenali wajahnya. Hanya yang jelas, orang tergeletak itu sudah tak bernyawa sebab dari cahaya remang-remang api obor, banyak luka di punggungnya. Satu mata tombak bahkan masih menempel di tengkuknya. Rupanya orang itu ditusuk dari belakang dan ujung tombak patah tertinggal di tengkuk orang naas itu.
Kini Ginggi berbalik lagi menyaksikan Seta yang dikepung banyak jagabaya. Sebentar lagi pasti Seta akan bisa dilumpuhkan. Ginggi membayangkan, bila pemuda itu dibiarkan ada di dalam pengeroyokan, maka nasibnya sudah bisa ditebak, apalagi dengan luka-luka di sekujur tubuhnya yang banyak menguras darah. Ginggi belum tahu apa penyebab pengeroyokan itu. Yang jelas Seta dalam bahaya dan harus ditolong. Ginggi hanya punya kesempatan sedikit saja untuk menolong Seta. Oleh sebab itu dia harus segera turun tangan. Pemuda itu membuka bajunya dan membiarkan tubuh bagian atas telanjang begitu saja. Tubuh berelanjang akan lebih mengaburkan identitas ketimbang berpakaian.
Ginggi pun segera menutup wajahnya sebatas hidung ke bawah, menggunakan ikat kepala warna hitamnya. Setelah semuanya siap, dia segera meloncat dari atas benteng, jumpalitan mendekati arena pertempuran. Bentakan keras sekeras suara geledek dari mulut Ginggi yang dikerahkan melalui tenaga himpunan di seputar dadanya, mengakibatkan semua orang terkejut setengah mati.
Untuk sejenak konsentrasi para jagabaya terganggu dan sedikit terhenti dalam melakukan penyerangan terhadap Seta. Kesempatan ini dia pergunakan untuk melakukan serangan kepada para pengeroyok Seta. Tubuh Ginggi berputar seperti gasing dengan kedua tangan mengembang lebar. Setiap tangan jagabaya yang kena pukul atau sabetan telapak tangan Ginggi meringis dan menjerit kesakitan dan semua senjata yang mereka pegang terlontar atau jatuh terlepas.
Para jagabaya hiruk-pikuk karena kaget dan heran melihat penyerbu gelap ini. Namun teriakan Suji Angkara agar segera mengepung penyerang baru ini menyadarkan para jagabaya untuk segera bergerak melakukan pengepungan. Kini Ginggi ada di tengah-tengah bersama Seta yang sudah mulai limbung tubuhnya. Sebelum tubuh pemuda itu jatuh berdebum ke tanah, Ginggi segera memeluknya. Tubuh Seta dia usung di pundaknya. Dengan tubuh Seta di pundak, gerakan Ginggi tidak selincah ketika masih bebas sendirian. Bahkan kini hanya tangan kanannya saja yang masih bebas. Padahal para pengeroyok mulai mendekat dan melakukan penyerangan dari sana-sini.
Akan sangat berbahaya bila Ginggi membiarkan dirinya ada di tengah pengepungan. Serangan dari depan atau samping masih bisa dia tepis. Tapi serangan beruntun dari belakang akan sangat sulit dihindarkan karena beban tubuh Seta yang dipanggulnya menghalangi gerakannya. Untuk menghindarkan serangan dari belakang, Ginggi harus meloncat ke tepi dinding puri. Dengan jalan menempelkan tubuh di tepi benteng musuh hanya akan menyerang dari depan saja.
Benteng puri ada di depannya, mungkin berjarak empat atau lima depa saja. Dan untuk memburu tempat itu, Ginggi harus melakukan serangan mendahului penyerangan lawan. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, Ginggi meloncat ke depan sambil tangan kiri mengempit tubuh Seta. Para pengepung di bagian depan nampak kaget sekali.
Barangkali mereka tidak berpikir bahwa Ginggi akan senekat itu mendahului melakukan penyerangan. Akibat dari rasa terkejutnya ini membuat persiapan mereka kurang matang dalam menyambut datangnya serangan. Sehingga ketika Ginggi melakukan gerakan-gerakan dengan tangan kanannya, tangkisan para jabagaya kurang beraturan.
Apalagi Ginggi dalam melakukan serangan disertai teriakan-teriakan membahana agar jantung mereka bergetar dan konsentrasinya terganggu.
Serangan Ginggi ternyata ada hasilnya. Para jagabaya tidak bisa melakukan penyerangan dengan baik. Ketika seorang jagabaya menyodokkan ujung tombaknya ke arah wajah Ginggi. Sodokan itu kurang begitu jitu karena tidak disertai tenaga yang kuat. Maka dengan mudahnya Ginggi menangkap batang tombak dan dengan kekuatan penuh menariknya. Tubuh jagabaya pemegang tombak tersuruk ke depan. Kalau Ginggi mau bertindak kejam, ujung kakinya bisa menendang jidat jagabaya itu sampai bocor, atau barangkali sampai batok kepalanya hancur berantakan, tergantung sejauh mana tenaga tendangan kakinya dia kerahkan. Namun kepala lawan dia biarkan tersuruk jatuh di depan kakinya. Dia sendiri malah meloncat pergi mendekati tepi benteng puri.
Sekarang dia sudah berada di tepi benteng dan punggungnya membelakangi benteng tersebut. Dengan demikian dia sudah bisa membebaskan diri dari serangan-serangan musuh yang sekiranya dilakukan dari belakang. Dengan bersenjatakan tombak di tangan kanan, Ginggi begitu mudah menangkis serangan lawan. Setiap ada serangan yang berhasil dia patahkan, ujung tombak dia lanjutkan seolah-olah dia mau menusuk tubuh lawan. Sudah barang tentu gerakan-gerakan ini membuat tubuh lawan berkelit karena disangkanya tusukan itu akan berlanjut. Padahal Ginggi secuil pun tidak bermaksud melukai lawan, apalagi membunuhnya.
Sedangkan Suji Angkara dari pinggir paseban terus berteriak-teriak agar para jagabaya segera membunuh penyerang baru ini, tanpa sedikit pun ikut bergerak. Ginggi sudah cukup membuat penyerang kalang-kabut dan membuat mereka keder untuk melakukan penyerangan. Nyali mereka dipastikan sudah jatuh sehingga dalam melakukan serangannya, mereka sudah nampak meragu. Kesempatan ini digunakan Ginggi untuk melarikan diri dari tempat itu. Ginggi menghimpun inti tenaga lagi, menotolkan sepasang kakinya ke tanah dan badannya melayang naik ke atas benteng di mana tadi dia meloncat turun. Pakaiannya yang dia kaitkan di ranting pohon segera diambil dan dibelitkannya pada lehernya.
“Serbu !!!” teriak Suji Angkara berkali-kali.
Teriakan ini dibalas Ginggi dengan melontarkan tombak yang tadi dibawanya. Senjata itu meluncur tidak begitu deras mengarah jidat Suji Angkara sehingga pemuda itu cukup punya waktu untuk menghindar dengan jalan menjatuhkan tubuhnya ke samping. Mata tombak hanya seujung kuku menempel di tiang kayu. Sebentar kemudian jatuh ke bawah dan ujungnya menimpa jidat pemuda itu.
Terdengar teriak kesakitan Suji Angkara. Bukan lantaran ujung tombak jatuh terlalu keras, tapi karena jidat pemuda itu sudah sejak tadi luka memar oleh pukulan Ginggi di lorong gelap itu. Ginggi berlari menyusuri atas benteng, meloncat di sebuah kelokan yang gelap dan melanjutkn larinya secepat mungkin.
Ginggi tak tahu ke mana harus melarikan tubuh luka pemuda Seta ini. Seta perlu pengobatan segera, tapi Ginggi tak punya cara penanggulangannya. Bila Seta di bawa ke puri Yogascitra, hanya akan menjerumuskan penghuni puri itu ke dalam kancah keributan. Akhirnya Ginggi mencoba melarikan tubuh Seta menuju Tajur Agung. Jaraknya cukup jauh, yaitu berada di arah timur tembok benteng dalam. Di Tajur Agung Ginggi pernah lihat banyak jenis tanaman rambat dan salah satunya bisa digunakan membebat luka.
Namun baru saja tiba diLeuwi Kamala Wijaya, terdengar suara rintihan Seta. Dengan terputus-putus pemuda itu meminta agar tubuhnya diturunkan. Ginggi menoleh ke kiri dan kanan serta belakang, meneliti kalau-kalau ada fihak pengejar. Dan sesudah yakin tempat itu sunyi sepi, Ginggi segera membawa tubuh tak berdaya itu ke bawah pohon rindang sehingga suasana di sana demikian gelap. Ginggi menurunkan pondongannya. Terdengar erang kesakitan ketika tubuh itu diletakkan di atas tanah berumput.
“Engkau… engkau Ginggi, bukan…?” Seta bicara terputus-putus dan terengah-engah.
“Ya… aku Ginggi.”
“Sudah aku duga. Kau pasti datang menolongku…” kata Seta menahan sakit.
“Tapi aku tak sengaja menolongmu. Aku hanya berpikir kau dan Madi akan melaporkan tentangku pada Suji Angkara. Karena aku sangka begitu, maka aku menuju puri Suji Angkara,” kata Ginggi sambil memeriksa bagian-bagian luka pemuda itu.
Namun kendati dalam gelap, Ginggi bisa menduga, luka Seta demikian parahnya. Ada beberapa tusukan melukai bagian-bagian amat lemah dan sulit mendapatkan pertolongan. Luka-luka itu banyak mengeluarkan darah dan barangkali sudah sejak tadi sebab ada beberapa luka yang darahnya sudah agak mengering.
“Aku tidak beritahu siapa kau sebenarnya. Suji Angkara sampai saat ini masih tetap menyangka kau sebagai badega bodoh dan tolol. Sengaja aku tak bilang agar kau tetap leluasa melakukan penyelidikan…” kata Seta di tengah erang kesakitan.
“Engkau amat setia pada Suji Angkara, tetapi mengapa kau akan dibunuh mereka?” tanya Ginggi heran.
Dengan susah-payah karena menahan rasa sakit, Seta menjelaskan bahwa sesudah mendapatkan penjelasan dari Ginggi, di lorong benteng, Seta mulai sadar bahwa dia telah salah memilih majikan. Penjelasan Ginggi perihal tindak-tanduk Suji Angkara yang buruk sebenarnya merupakan berita yang kesekian kalinya yang didengar Seta. Jauh sebelumnya ketika bertugas mengirim seba, Ki Banen pun sudah mensinyalir bahwa Suji Angkara amat misterius.
Ketika tiba di Pakuan, Ki Banen malah mengajak semua orang agar meninggalkan Pakuan dan tidak mengabdi pada Suji Angkara. Tapi Seta dan Madi tak mau percaya dengan ucapan orang tua itu, sebab Suji Angkara dianggap berjasa telah memberinya pekerjaan yang dianggap Seta cukup terhormat.
Kemarahan Seta memuncak ketika Ginggi mengabarkan bahwa yang menculik Nyi Santimi, calon istrinya adalah Suji Angkara. Seta juga marah ketika diberitahu bahwa obat untuk Ki Banen dari Suji Angkara yang diserahkan melalui dirinya adalah ramuan berbahaya untuk Ki Banen. Seta juga marah setelah tahu yang melukai Ki Banen sampai luka parah adalah juga Suji Angkara. Atas macam-macam bukti kejahatan Suji Angkara yang sebelumnya dia kagumi, maka Seta berbalik menjadi benci. Benci mendengar jenis kejahatan pemuda itu dan juga dendam karena Suji Angkara pernah menculik Nyi Santimi. Untuk melampiaskan kemarahannya, Seta mengajak Madi ke rumah Ki Banen dan ki Ogel. Ketika dikhabarkan peristiwa ini, semua orang tergerak hatinya dan sama-sama membenci Suji Angkara. Kemarahan tak bisa dibendung sehingga akhirnya secara sembrono mereka berempat mencoba menyerang puri dan berniat membunuh Suji Angkara.
“Tapi … ya, kami sembrono. Suji Angkara orang pandai. Begitu pun anak buahnya. Kami jadi bulan-bulanan… semua temanku tewas!” kata Seta mengeluh menahan tangis.
“Kau maksudkan tiga orang yang bergeletakan itu adalah Madi, Ki Banen dan Ki Ogel?” Ginggi bertanya setengah berteriak.
“Ya… mereka tewas… mereka tewas. Oh … mereka tewas,” Seta mengeluh panjang-pendek dan di antara deru napasnya dia menangis sesenggukan.
“Kalian memang sembrono. Kepandaiana kalian belum cukup untuk melawan Suji Angkara begitu saja…” gumam Ginggi penuh sesal.
Dia amat sedih mendengar ketiga orang itu tewas mengenaskan. Ya, bahkan dia pun melihat dengan mata-kepala sendiri, betapa ketiga orang itu malang-melintang dengan tubuh penuh luka. Ginggi sedih. Apa pun yang pernah dilakukan mereka terhadapnya tapi sebetulnya mereka orang-orang baik.
“Kalian sembrono dan membuang nyawa sia-sia…” keluh Ginggi penuh sesal.
“Maafkan aku, Ginggi…” gumam Seta lemah.
“Memang engkau salah, Seta. Karena sembrono kau jadi celaka seperti ini…” kata Ginggi mengeluh lagi.
“Bukan itu… Aku minta maaf karena aku berdosa padamu. Selama ini aku selalu menghinamu, selalu merendahkanmu. Padahal diriku tidak seujung kukumu. Aku sombong…aku dungu… Oh, aku benci diriku…” Seta kembali menangis sambil menahan rasa sakitnya.
Mendengar ucapan Seta yang dilakukan sepenuh jiwa, Ginggi jadi terkejut. Tidak! Siapa yang sebenarnya berdosa?
“Seta… Akulah yang banyak dosa. Aku bersalah padamu. Akulah yang harus minta maaf…” kata Ginggi akhirnya.
Teringat kembali kelakuan penuh aib antara dirinya dan Nyi santimi, padahal dia tahu, Nyi Santimi adalah calon istri Seta. Dia berdosa besar, padahal Seta laki-laki baik. Paling tidak pemuda yang dikenal angkuh ini setidaknya masih punya nilai kesetiaan. Terbukti berkali-kali dia digoda wanita, Seta tetap teguh pendiriannya karena cintanya hanya untuk Nyi Santimi. Seta ini punya nilai. Dan nilai sebaik ini malah dikotori oleh tindakan-tindakan Ginggi yang berani mengganggu keutuhan Nyi Santimi. Jadi siapa yang sebetulnya berdosa?
“Seta jangan minta maaf padaku. Bahkan kau yang harus hukum aku…” kata Ginggi mengguncang-guncang tubuh Seta.
Seta hanya bisa membalas dengan pegangan tangannya, lemah dan sedikit menggigil menahan sakit.
“Seta … dengarkan aku … dengarkan aku…” kata Ginggi mendekatkan bibirnya ke telinga Seta.
Dia ingin membuat pengakuan jujur bahwa dirinya telah berlaku jahat mengganggu kehormatan Nyi Santimi. Suji Angkara juga jahat akan memperkosa Nyi Santimi. Tapi niat jahatnya tak pernah kesampaian. Sebaliknya dirinya, tidak melakukan perkosaan. Peristiwa di hutan kecil setahun lalu suka sama suka. Namun tetap saja kejahatan, sebab Ginggi tak berhak mengganggu gadis yang sudah punya calon suami. Dan calon suaminya itu kini tergolek lemah, bahkan sedang meminta maaf padanya. Gila! Seharusnya dirinyalah yang meminta maaf, atau bukan minta maaf tapi minta dihukum!
“Seta!…Seta!…Dengarlah! Aku akan buat pengakuan!” Ginggi menempelkan bibirnya di telinga Seta.
Dengan kerongkongan tersekat dan lidah sedikit kelu, Ginggi berbicara terpatah-patah. Isinya pengakuan perihal kejadian masa lalu di mana dosa telah diperbuat bersama Nyi Santimi. Selesai membuat pengakuan dosa, dia bertanya pada Seta, kalau pemuda itu ingin memperlakukan apa saja Ginggi mau.
“Bilanglah apa saja. Kalau kau suruh aku bunuh diri, maka aku akan bunuh diri sekarang juga. Ayo bilang Seta! Cepat bilang!” Ginggi mengguncang-guncang tubuh Seta.
Namun Ginggi baru sadar, bahwa sejak tadi mulut Seta sudah tak bicara sepatah kata pun, tidak juga mengeluhkan rasa sakitnya. Ginggi pun baru sadar bahwa sejak tadi, jauh sebelum dirinya membuat pengakuan dosa, tubuh Seta sudah tak bergerak lagi, tidak juga menggigil menahan sakit. Seta sepertinya sudah pasrah terhadap keadaan. Apa yang sudah ditentukan bagi dirinya, sudah dia terima dengan penuh kesadaran. Ya, Seta pemuda angkuh tapi setia ini, kini sudah diam. Sudah mati!
“Saya bisa mengerti kesedihan dan kemarahan Raden karena kematian gadis yang Raden cintai. Tapi bila secara sembrono Raden menyerbu Puri Suji Angkara, akan terlalu berbahaya. Bahkan sekarang Raden harus hati-hati bepergian seorang diri. Selama setahun ini Raden bebas dari incaran pemuda itu mungkin karena Raden terbiasa keluar masuk Puri Bangsawan Yogascitra bahkan ke Istana Raja, dan Suji Angkara agak segan bertindak di tempat-tempat itu. Tapi oleh Raden kini terbukti, sedikit saja berada di luar puri, Raden sudah diserang dan diancam bahaya,” kata Ginggi panjang-lebar.
Ginggi tak bisa menduga, apakah pemuda ini bias mengerti untuk bisa menahan emosinya? Ada juga perasaan khawatir, takut kalau-kalau pemuda ini bertindak sendiri.
Kalau demikian jadinya, suasana akan bertambah runyam. Peristiwa barusan saja sebenarnya amat tak dikehendaki olehnya. Ginggi sebetulnya masih ingin merahasiakan identitasnya kepada siapa pun juga. Sekarang sudah ada tiga orang yang sekaligus tahu siapa dirinya. Kalau Seta dan Madi masih menginduk kepada Suji Angkara, barangkali orang keempat itu yang tahu siapa dirinya adalah Suji Angkara.
Karena sudah terlanjur dirinya diketahui, jadi Ginggi harus secepat mungkin melakukan tindakan. Tapi tindakan apa, Ginggi pun sebetulnya belum tahu persis. Ginggi meloncat pergi ketika Purbajaya telah meninggalkan tempat itu. Tujuannya tidak kembali ke Puri Bangsawan Bagus Seta, melainkan akan menyelinap ke Puri Suji Angkara. Ginggi berpikir kemungkinan dirinya sudah dikenal oleh Suji Angkara, karena Seta dan Madi pasti melaporkannya. Kalau benar demikian Suji Angkara tentu akan segera melaporkan kepada ayahnya. Dan bila sudah begitu, akan terputus pula usaha penyelidikannya.
Ginggi harus berpacu. Dia harus mencegah pemuda jahat itu berhubungan dengan ayahnya. Karena jalan pikiran inilah dia memilih pergi menuju Puri Suji Angkara saja. Ginggi berlari, menyelinap ke kiri dan ke kanan untuk menghindari pertemuan dengan para tugur. Tugur atau ronda setiap malamnya terdiri dari dua rombongan. Satu berjaga dijawi khita dan satu rombongan lagi bertugas didalem khita, Masing-masing rombongan dipecah dua lagi. Semuanya berkeliling memutari benteng untuk pada suata saat saling bertemu pada satu titik.
Tapi Ginggi tak boleh bertemu dengan tugur. Jadi kalau sayup-sayup di depan didengar suara kohkol (kentongan) di tabuh dengan teratur, pertanda tugur tengah berkeliling menyusuri benteng. Pemuda itu harus bersembunyi di balik pepohonan, atau bahkan langsung meloncat ke atas dahan.
Ketika Ginggi bersembunyi di dahan pohon pun Nampak serombongan tugur tengah berjalan menyusuri dalem khita. Jumlahnya ada sekitar dua belas orang terdiri dari jagabaya pilihan. Mereka berbekal oncor (obor) tapi kebanyakan membawa tombak, cagak atau bahkan pedang. Hatinya merasa bersyukur ketika terjadi perkelahian di lorong benteng tadi, tugur belum lewat ke wilayah benteng di mana mereka berkelahi dengan rombongan Suji Angkara.
Ketika rombongan tugur sudah lewat, Ginggi baru berani melayang turun dari atas pohon. Sesudah itu dia segera berlari lagi menuju Puri Suji Angkara. Namun pemuda itu amat terkejut, sebab beberapa saat sebelum tiba di pintu gerbang Puri Suji Angkara, terdengar banyak kentongan dipukul bersahut-sahutan. Para tugur pun berlarian menuju gerbang puri. Berdebar hati Ginggi. Di Puri Suji Angkara pasti terjadi huru-hara. Tapi huru-hara perkara apa? Dia belum bias memastikan. Ada sedikit dugaan, barangkali Purbajaya sudah melapor ke Puri Yogascitra perkara kejahatan Suji Angkara dan malam itu mereka melakukan penyerbuan.
Kalau Purbajaya melapor bahwa Suji Angkara pernah mencoba melakukan kejahatan terhadap Nyimas Banyak Inten, kemungkinan akan membikin kemarahan para penghuni puri Bangsawan Yogascitra dan malam itu juga pasti melakukan penyerbuan.
Tapi kecurigaan ini segera ditepisnya. Jarak dari Puri Bangsawan Yogascitra ke Puri Suji Angkara cukup jauh. Kalau mereka menyerbu Puri Suji Angkara, sebelumnya tentu harus melewati dirinya, sebab jalan menuju Puri Suji Angkara atau Puri Ki Bagus Seta hanya terdiri dari satu jalan saja. Kalau berkeliling tentu akan sangat melambung dan tak mungkin bisa datang lebih cepat ketimbang dirinya. Jadi kalau begitu, habis ada huru-hara apakah di puri itu?
“Kepung penjahat! Kepung pemberontak!” terdengar teriakan-teriakan di dalam benteng puri.
Ginggi segera menahan napas untuk mengumpulkan tenaga inti. Sesudah terhimpun, inti tenaga disalurkan ke bagian kaki. Sesudah itu Ginggi menggerakkan kedua kakinya dan badannya terlontar ke udara. Badannya kembali turun dan sepasang kakinya tepat menclok di atas benteng setingi 3 depa. Ginggi melihat ada pertempuran kecil. Atau lebih tepat lagi, ada pengeroyokan. Satu orang pemuda bersenjatakan kelewang tengah dikeroyok tujuh orang atau sembilan orang jagabaya yang bersenjatakan macam-macam jenis dari mulai senjata tajam seperti tombak, pedang dan cagak, sampai senjata ringan untuk menangkap orang seperti cangkalak misalnya.
Tapi yang membikin Ginggi terkejut setengah mati, karena orang yang tengah dikepung dan dikeroyok adalah pemuda Seta. Seta menyerang membabi-buta mengayunkan kelewang ke kiri dan ke kanan. Nampaknya dia sudah tidak memikirkan jiwanya lagi, sebab serangannya tidak menggunakan ilmu-ilmu berkelahi yang wajar. Dia hanya serampangan saja membanting senjatanya ke kiri dan ke kanan tanpa berniat menangkis serangan lawan. Yang dia lakukan sepertinya berusaha menyerang para pengeroyoknya saja. Memang ada satu dua pengeroyoknya yang terkena bacokan atau tusukan Seta. Tapi di sebuah lapangan rumput tepi paseban kecil sudah berdiri belasan jagabaya lainnya. Jadi setiap satu atau dua pengepung mundur dan terluka, segera digantikan oleh tenaga baru.
Melalui penerangan cahaya obor yang banyak dipegang beberapa jagabaya, Ginggi melihat banyak luka diderita pemuda Seta. Sekujur tubuhnya sudah bersimbah darah, begitu pun wajahnya, sehingga hampir-hampir tidak dikenali lagi.
Yang membuat darah Ginggi berdesir adalah ketika memandang ke arah bagian lain masih di sekitar tepi paseban. Suji Angkara nampak berdiri bertolak pinggang dengan angkuhnya, sedang di depannya terdapat tiga tubuh bergeletakan tak bergerak. Ginggi tak bisa mengenali tubuh-tubuh siapakah itu, sebab ketiganya hampir rebah tertelungkup. Satu tubuh agak gempal, terkujur membelakangi sehingga Ginggi tak bisa mengenali wajahnya. Hanya yang jelas, orang tergeletak itu sudah tak bernyawa sebab dari cahaya remang-remang api obor, banyak luka di punggungnya. Satu mata tombak bahkan masih menempel di tengkuknya. Rupanya orang itu ditusuk dari belakang dan ujung tombak patah tertinggal di tengkuk orang naas itu.
Kini Ginggi berbalik lagi menyaksikan Seta yang dikepung banyak jagabaya. Sebentar lagi pasti Seta akan bisa dilumpuhkan. Ginggi membayangkan, bila pemuda itu dibiarkan ada di dalam pengeroyokan, maka nasibnya sudah bisa ditebak, apalagi dengan luka-luka di sekujur tubuhnya yang banyak menguras darah. Ginggi belum tahu apa penyebab pengeroyokan itu. Yang jelas Seta dalam bahaya dan harus ditolong. Ginggi hanya punya kesempatan sedikit saja untuk menolong Seta. Oleh sebab itu dia harus segera turun tangan. Pemuda itu membuka bajunya dan membiarkan tubuh bagian atas telanjang begitu saja. Tubuh berelanjang akan lebih mengaburkan identitas ketimbang berpakaian.
Ginggi pun segera menutup wajahnya sebatas hidung ke bawah, menggunakan ikat kepala warna hitamnya. Setelah semuanya siap, dia segera meloncat dari atas benteng, jumpalitan mendekati arena pertempuran. Bentakan keras sekeras suara geledek dari mulut Ginggi yang dikerahkan melalui tenaga himpunan di seputar dadanya, mengakibatkan semua orang terkejut setengah mati.
Untuk sejenak konsentrasi para jagabaya terganggu dan sedikit terhenti dalam melakukan penyerangan terhadap Seta. Kesempatan ini dia pergunakan untuk melakukan serangan kepada para pengeroyok Seta. Tubuh Ginggi berputar seperti gasing dengan kedua tangan mengembang lebar. Setiap tangan jagabaya yang kena pukul atau sabetan telapak tangan Ginggi meringis dan menjerit kesakitan dan semua senjata yang mereka pegang terlontar atau jatuh terlepas.
Para jagabaya hiruk-pikuk karena kaget dan heran melihat penyerbu gelap ini. Namun teriakan Suji Angkara agar segera mengepung penyerang baru ini menyadarkan para jagabaya untuk segera bergerak melakukan pengepungan. Kini Ginggi ada di tengah-tengah bersama Seta yang sudah mulai limbung tubuhnya. Sebelum tubuh pemuda itu jatuh berdebum ke tanah, Ginggi segera memeluknya. Tubuh Seta dia usung di pundaknya. Dengan tubuh Seta di pundak, gerakan Ginggi tidak selincah ketika masih bebas sendirian. Bahkan kini hanya tangan kanannya saja yang masih bebas. Padahal para pengeroyok mulai mendekat dan melakukan penyerangan dari sana-sini.
Akan sangat berbahaya bila Ginggi membiarkan dirinya ada di tengah pengepungan. Serangan dari depan atau samping masih bisa dia tepis. Tapi serangan beruntun dari belakang akan sangat sulit dihindarkan karena beban tubuh Seta yang dipanggulnya menghalangi gerakannya. Untuk menghindarkan serangan dari belakang, Ginggi harus meloncat ke tepi dinding puri. Dengan jalan menempelkan tubuh di tepi benteng musuh hanya akan menyerang dari depan saja.
Benteng puri ada di depannya, mungkin berjarak empat atau lima depa saja. Dan untuk memburu tempat itu, Ginggi harus melakukan serangan mendahului penyerangan lawan. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, Ginggi meloncat ke depan sambil tangan kiri mengempit tubuh Seta. Para pengepung di bagian depan nampak kaget sekali.
Barangkali mereka tidak berpikir bahwa Ginggi akan senekat itu mendahului melakukan penyerangan. Akibat dari rasa terkejutnya ini membuat persiapan mereka kurang matang dalam menyambut datangnya serangan. Sehingga ketika Ginggi melakukan gerakan-gerakan dengan tangan kanannya, tangkisan para jabagaya kurang beraturan.
Apalagi Ginggi dalam melakukan serangan disertai teriakan-teriakan membahana agar jantung mereka bergetar dan konsentrasinya terganggu.
Serangan Ginggi ternyata ada hasilnya. Para jagabaya tidak bisa melakukan penyerangan dengan baik. Ketika seorang jagabaya menyodokkan ujung tombaknya ke arah wajah Ginggi. Sodokan itu kurang begitu jitu karena tidak disertai tenaga yang kuat. Maka dengan mudahnya Ginggi menangkap batang tombak dan dengan kekuatan penuh menariknya. Tubuh jagabaya pemegang tombak tersuruk ke depan. Kalau Ginggi mau bertindak kejam, ujung kakinya bisa menendang jidat jagabaya itu sampai bocor, atau barangkali sampai batok kepalanya hancur berantakan, tergantung sejauh mana tenaga tendangan kakinya dia kerahkan. Namun kepala lawan dia biarkan tersuruk jatuh di depan kakinya. Dia sendiri malah meloncat pergi mendekati tepi benteng puri.
Sekarang dia sudah berada di tepi benteng dan punggungnya membelakangi benteng tersebut. Dengan demikian dia sudah bisa membebaskan diri dari serangan-serangan musuh yang sekiranya dilakukan dari belakang. Dengan bersenjatakan tombak di tangan kanan, Ginggi begitu mudah menangkis serangan lawan. Setiap ada serangan yang berhasil dia patahkan, ujung tombak dia lanjutkan seolah-olah dia mau menusuk tubuh lawan. Sudah barang tentu gerakan-gerakan ini membuat tubuh lawan berkelit karena disangkanya tusukan itu akan berlanjut. Padahal Ginggi secuil pun tidak bermaksud melukai lawan, apalagi membunuhnya.
Sedangkan Suji Angkara dari pinggir paseban terus berteriak-teriak agar para jagabaya segera membunuh penyerang baru ini, tanpa sedikit pun ikut bergerak. Ginggi sudah cukup membuat penyerang kalang-kabut dan membuat mereka keder untuk melakukan penyerangan. Nyali mereka dipastikan sudah jatuh sehingga dalam melakukan serangannya, mereka sudah nampak meragu. Kesempatan ini digunakan Ginggi untuk melarikan diri dari tempat itu. Ginggi menghimpun inti tenaga lagi, menotolkan sepasang kakinya ke tanah dan badannya melayang naik ke atas benteng di mana tadi dia meloncat turun. Pakaiannya yang dia kaitkan di ranting pohon segera diambil dan dibelitkannya pada lehernya.
“Serbu !!!” teriak Suji Angkara berkali-kali.
Teriakan ini dibalas Ginggi dengan melontarkan tombak yang tadi dibawanya. Senjata itu meluncur tidak begitu deras mengarah jidat Suji Angkara sehingga pemuda itu cukup punya waktu untuk menghindar dengan jalan menjatuhkan tubuhnya ke samping. Mata tombak hanya seujung kuku menempel di tiang kayu. Sebentar kemudian jatuh ke bawah dan ujungnya menimpa jidat pemuda itu.
Terdengar teriak kesakitan Suji Angkara. Bukan lantaran ujung tombak jatuh terlalu keras, tapi karena jidat pemuda itu sudah sejak tadi luka memar oleh pukulan Ginggi di lorong gelap itu. Ginggi berlari menyusuri atas benteng, meloncat di sebuah kelokan yang gelap dan melanjutkn larinya secepat mungkin.
Ginggi tak tahu ke mana harus melarikan tubuh luka pemuda Seta ini. Seta perlu pengobatan segera, tapi Ginggi tak punya cara penanggulangannya. Bila Seta di bawa ke puri Yogascitra, hanya akan menjerumuskan penghuni puri itu ke dalam kancah keributan. Akhirnya Ginggi mencoba melarikan tubuh Seta menuju Tajur Agung. Jaraknya cukup jauh, yaitu berada di arah timur tembok benteng dalam. Di Tajur Agung Ginggi pernah lihat banyak jenis tanaman rambat dan salah satunya bisa digunakan membebat luka.
Namun baru saja tiba diLeuwi Kamala Wijaya, terdengar suara rintihan Seta. Dengan terputus-putus pemuda itu meminta agar tubuhnya diturunkan. Ginggi menoleh ke kiri dan kanan serta belakang, meneliti kalau-kalau ada fihak pengejar. Dan sesudah yakin tempat itu sunyi sepi, Ginggi segera membawa tubuh tak berdaya itu ke bawah pohon rindang sehingga suasana di sana demikian gelap. Ginggi menurunkan pondongannya. Terdengar erang kesakitan ketika tubuh itu diletakkan di atas tanah berumput.
“Engkau… engkau Ginggi, bukan…?” Seta bicara terputus-putus dan terengah-engah.
“Ya… aku Ginggi.”
“Sudah aku duga. Kau pasti datang menolongku…” kata Seta menahan sakit.
“Tapi aku tak sengaja menolongmu. Aku hanya berpikir kau dan Madi akan melaporkan tentangku pada Suji Angkara. Karena aku sangka begitu, maka aku menuju puri Suji Angkara,” kata Ginggi sambil memeriksa bagian-bagian luka pemuda itu.
Namun kendati dalam gelap, Ginggi bisa menduga, luka Seta demikian parahnya. Ada beberapa tusukan melukai bagian-bagian amat lemah dan sulit mendapatkan pertolongan. Luka-luka itu banyak mengeluarkan darah dan barangkali sudah sejak tadi sebab ada beberapa luka yang darahnya sudah agak mengering.
“Aku tidak beritahu siapa kau sebenarnya. Suji Angkara sampai saat ini masih tetap menyangka kau sebagai badega bodoh dan tolol. Sengaja aku tak bilang agar kau tetap leluasa melakukan penyelidikan…” kata Seta di tengah erang kesakitan.
“Engkau amat setia pada Suji Angkara, tetapi mengapa kau akan dibunuh mereka?” tanya Ginggi heran.
Dengan susah-payah karena menahan rasa sakit, Seta menjelaskan bahwa sesudah mendapatkan penjelasan dari Ginggi, di lorong benteng, Seta mulai sadar bahwa dia telah salah memilih majikan. Penjelasan Ginggi perihal tindak-tanduk Suji Angkara yang buruk sebenarnya merupakan berita yang kesekian kalinya yang didengar Seta. Jauh sebelumnya ketika bertugas mengirim seba, Ki Banen pun sudah mensinyalir bahwa Suji Angkara amat misterius.
Ketika tiba di Pakuan, Ki Banen malah mengajak semua orang agar meninggalkan Pakuan dan tidak mengabdi pada Suji Angkara. Tapi Seta dan Madi tak mau percaya dengan ucapan orang tua itu, sebab Suji Angkara dianggap berjasa telah memberinya pekerjaan yang dianggap Seta cukup terhormat.
Kemarahan Seta memuncak ketika Ginggi mengabarkan bahwa yang menculik Nyi Santimi, calon istrinya adalah Suji Angkara. Seta juga marah ketika diberitahu bahwa obat untuk Ki Banen dari Suji Angkara yang diserahkan melalui dirinya adalah ramuan berbahaya untuk Ki Banen. Seta juga marah setelah tahu yang melukai Ki Banen sampai luka parah adalah juga Suji Angkara. Atas macam-macam bukti kejahatan Suji Angkara yang sebelumnya dia kagumi, maka Seta berbalik menjadi benci. Benci mendengar jenis kejahatan pemuda itu dan juga dendam karena Suji Angkara pernah menculik Nyi Santimi. Untuk melampiaskan kemarahannya, Seta mengajak Madi ke rumah Ki Banen dan ki Ogel. Ketika dikhabarkan peristiwa ini, semua orang tergerak hatinya dan sama-sama membenci Suji Angkara. Kemarahan tak bisa dibendung sehingga akhirnya secara sembrono mereka berempat mencoba menyerang puri dan berniat membunuh Suji Angkara.
“Tapi … ya, kami sembrono. Suji Angkara orang pandai. Begitu pun anak buahnya. Kami jadi bulan-bulanan… semua temanku tewas!” kata Seta mengeluh menahan tangis.
“Kau maksudkan tiga orang yang bergeletakan itu adalah Madi, Ki Banen dan Ki Ogel?” Ginggi bertanya setengah berteriak.
“Ya… mereka tewas… mereka tewas. Oh … mereka tewas,” Seta mengeluh panjang-pendek dan di antara deru napasnya dia menangis sesenggukan.
“Kalian memang sembrono. Kepandaiana kalian belum cukup untuk melawan Suji Angkara begitu saja…” gumam Ginggi penuh sesal.
Dia amat sedih mendengar ketiga orang itu tewas mengenaskan. Ya, bahkan dia pun melihat dengan mata-kepala sendiri, betapa ketiga orang itu malang-melintang dengan tubuh penuh luka. Ginggi sedih. Apa pun yang pernah dilakukan mereka terhadapnya tapi sebetulnya mereka orang-orang baik.
“Kalian sembrono dan membuang nyawa sia-sia…” keluh Ginggi penuh sesal.
“Maafkan aku, Ginggi…” gumam Seta lemah.
“Memang engkau salah, Seta. Karena sembrono kau jadi celaka seperti ini…” kata Ginggi mengeluh lagi.
“Bukan itu… Aku minta maaf karena aku berdosa padamu. Selama ini aku selalu menghinamu, selalu merendahkanmu. Padahal diriku tidak seujung kukumu. Aku sombong…aku dungu… Oh, aku benci diriku…” Seta kembali menangis sambil menahan rasa sakitnya.
Mendengar ucapan Seta yang dilakukan sepenuh jiwa, Ginggi jadi terkejut. Tidak! Siapa yang sebenarnya berdosa?
“Seta… Akulah yang banyak dosa. Aku bersalah padamu. Akulah yang harus minta maaf…” kata Ginggi akhirnya.
Teringat kembali kelakuan penuh aib antara dirinya dan Nyi santimi, padahal dia tahu, Nyi Santimi adalah calon istri Seta. Dia berdosa besar, padahal Seta laki-laki baik. Paling tidak pemuda yang dikenal angkuh ini setidaknya masih punya nilai kesetiaan. Terbukti berkali-kali dia digoda wanita, Seta tetap teguh pendiriannya karena cintanya hanya untuk Nyi Santimi. Seta ini punya nilai. Dan nilai sebaik ini malah dikotori oleh tindakan-tindakan Ginggi yang berani mengganggu keutuhan Nyi Santimi. Jadi siapa yang sebetulnya berdosa?
“Seta jangan minta maaf padaku. Bahkan kau yang harus hukum aku…” kata Ginggi mengguncang-guncang tubuh Seta.
Seta hanya bisa membalas dengan pegangan tangannya, lemah dan sedikit menggigil menahan sakit.
“Seta … dengarkan aku … dengarkan aku…” kata Ginggi mendekatkan bibirnya ke telinga Seta.
Dia ingin membuat pengakuan jujur bahwa dirinya telah berlaku jahat mengganggu kehormatan Nyi Santimi. Suji Angkara juga jahat akan memperkosa Nyi Santimi. Tapi niat jahatnya tak pernah kesampaian. Sebaliknya dirinya, tidak melakukan perkosaan. Peristiwa di hutan kecil setahun lalu suka sama suka. Namun tetap saja kejahatan, sebab Ginggi tak berhak mengganggu gadis yang sudah punya calon suami. Dan calon suaminya itu kini tergolek lemah, bahkan sedang meminta maaf padanya. Gila! Seharusnya dirinyalah yang meminta maaf, atau bukan minta maaf tapi minta dihukum!
“Seta!…Seta!…Dengarlah! Aku akan buat pengakuan!” Ginggi menempelkan bibirnya di telinga Seta.
Dengan kerongkongan tersekat dan lidah sedikit kelu, Ginggi berbicara terpatah-patah. Isinya pengakuan perihal kejadian masa lalu di mana dosa telah diperbuat bersama Nyi Santimi. Selesai membuat pengakuan dosa, dia bertanya pada Seta, kalau pemuda itu ingin memperlakukan apa saja Ginggi mau.
“Bilanglah apa saja. Kalau kau suruh aku bunuh diri, maka aku akan bunuh diri sekarang juga. Ayo bilang Seta! Cepat bilang!” Ginggi mengguncang-guncang tubuh Seta.
Namun Ginggi baru sadar, bahwa sejak tadi mulut Seta sudah tak bicara sepatah kata pun, tidak juga mengeluhkan rasa sakitnya. Ginggi pun baru sadar bahwa sejak tadi, jauh sebelum dirinya membuat pengakuan dosa, tubuh Seta sudah tak bergerak lagi, tidak juga menggigil menahan sakit. Seta sepertinya sudah pasrah terhadap keadaan. Apa yang sudah ditentukan bagi dirinya, sudah dia terima dengan penuh kesadaran. Ya, Seta pemuda angkuh tapi setia ini, kini sudah diam. Sudah mati!
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment