“Tadi kau katakan, menerima atau menolak pinangan keluarga Bagus Seta tidak ada kaitannya dengan kepentinganmu. Barangkali benar begitu. Tapi musti diingat pula bahwa kadang-kadang kita tidak bicara untuk kepentingan pribadi saja. Apa lagi kau sekarang hidup sebagai seorang bangsawan, seorang negarawan yang harus memikirkan kepentingan negara. Oleh sebab itu segala jejak langkah kita kini tidak sekadar berjalan di atas kepentingan pribadi, melainkan harus didasarkan pada kepentingan negara,” kata Purohita panjang lebar.
Bangsawan Yogascitra nampak mengerutkan dahinya. “Adakah hubungan pribadi ini dengan kepentingan negara, Kakanda?” tanya bangsawan itu menatap tajam Purohita.
Yang ditanya sejenak tersenyum tipis dan gigi-giginya kendati sudah tak utuh lagi namun nampak bersih terawat.
“Benar belaka, adikku,” katanya mengangguk-angguk.
“Urusan ini lambat-laun akan mempengaruhi urusan negara. Sudah sejak dulu urusan kekerabatan di kalangan istana akan mempengaruhi jalannya pemerintahan. Terkadang kekerabatan ini membawa kerugian bagi negara. Dahulu kala, hampir 800 tahun lalu kekerabatan hamper menimbulkan perang saudara antara Rakeyan Tamperan dan Sang Manarah. Kemelut negara juga bisa terjadi karena urusan wanita. Wanita adalah mahkluk lemah dan laki-laki harus melindungi serta menghargainya. Namun adakalanya wanita sanggup mengubah keadaan. Bisa menciptakan peperangan seperti peristiwa menyedihkan menimpa Sang Prabu Wangi di Bubat hampir 200 tahun lalu. Dan wanita juga bisa menurunkan raja dari tahta seperti pernah terjadi kepada Sang Prabu Dewa Niskala 70 tahun lalu. Beliau turun tahta karena melanggar kaidah moral. Adikku Yogascitra, kau harus hati-hati, sebab segalanya kini bergantung padamu. Apakah peristiwa pelanggaran kaidah moral akan kembali terulang atau bisa kita hindarkan. Engkaulah kini yang menentukan,” kata Purohita.
Mendengar ucapan ini, semakin berkerut dahi Bangsawan Yogascitra. Dan kebingungan bukan saja melanda Bangsawan Yogascitra seorang, sebab semua yang hadir pun sama-sama mengerutkan dahi, tidak terkecuali Ginggi.
“Mengapa saya harus jadi seseorang yang amat bertanggung jawab kepada situasi negara, Kakanda?” Tanya Bangsawan Yogascitra bingung.
“Benar belaka, adikku,” jawab Purohita Ragasuci yakin,
“Bila benar Sang Prabu memutuskan akan mempersunting Nyimas Layang Kingkin seperti apa kata Bangsawan Bagus Seta, maka akan menimbulkan banyak pertentangan di kalangan istana. Sejak dahulu kala Raja tabu mengawini wanita larangan, sedangkan yang dimaksud wanita larangan menurut keyakinan kita adalah kaum wanita yang sudah terikat pertunangan. Dulu, Sang Prabu Dewa Niskala terpaksa harus turun tahta sebab seluruh pejabat istana dan para pendeta begitu keberatan memiliki Raja yang melanggar tabu. Kalau pelanggaran tabu juga dilakukan Raja sekarang, aku khawatir kemelut istana akan terulang lagi. Dan segalanya bergantung padamu kini, sebab peristiwa aib ada di sekelilingmu. Engkau harus berjuang agar pertunangan Raden Banyak Angga dengan Nyimas Layang Kingkin harus berlangsung. Kalau Ki Bagus Seta tak mencabut atau membatalkan pertunangan putrinya, maka Nyimas Layang Kingkin sudah terikat pertunangan dan dia wanita larangan, tak boleh dipersunting Raja!” kata Purohita Ragasuci dengan suara tegas.
Sunyi suasana di ruangan paseban itu. Semua orang nampaknya begitu terpengaruh oleh ucapan Purohita Ragasuci. Ginggi juga ikut berpikir. Kalau tradisi semacam ini benar masih dipegang erat oleh orang Pajajaran, maka kedudukan Raja dalam bahaya. Atau lebih luas dari itu, keutuhan negara akan terganggu.
“Apakah aku harus menyetujui seluruh usul Ki Bagus Seta?” gumam Bangsawan Yogascitra.
“Benar adikku …”
“Maaf, saya tidak setuju Ayahanda!” Banyak Angga berkata agak keras.
“Saya juga tak setuju dengan kebijaksanaan ini,” Purbajaya bahkan ikut memperkuat.
Bangsawan Yogascitra menatap tajam kepada kedua pemuda itu satu-persatu.
“Maafkan saya yang lancang Ayahanda,” kata Banyak Angga menyembah dan menunduk. Namun hanya sebentar saja wajahnya menatap lantai, sebab pemuda itu segera menatap tajam ayahandanya.“Tidak saya sangsikan, sebenarnya saya amat mencintai Dinda Layang Kingkin. Serasa saya akan mati bila saya tak sanggup hidup bersamanya. Tapi harga diri saya beserta nama baik penghuni puri lebih saya utamakan. Raja boleh aib karena melanggar kaidah moral tapi tidak bagi kita. Kalau kita datang merengek minta dikasihani agar pertunangan jangan batal, betapa rendahnya kita, betapa kecilnya harga diri penghuni puri Yogascitra di mata mereka. Barangakali mereka akan tertawa penuh kemenangan. Barangkali juga mereka akan mendikte kita dengan mengemukakan serba keinginan dan berbagai persyaratan. Tidak Ayahanda, jangan biarkan kita menderita aib seperti itu!” kata Banyak Angga tegas. Dia menyembah takzim lagi, undur ke belakang dan duduk dengan kepala tunduk.
Bangsawan Yogascitra termangu-mangu mendengar keputusan putra laki-lakinya itu. Ginggi menyaksikan, betapa bingungnya bangsawan berperangai sabar ini. Barangkali di hatinya penuh dengan kemelut. Bangasawan Yogascitra tentu bimbang dengan banyak pertimbangan. Dia pasti mengerti ada masalah besar di depannya dan segalanya bergantung padanya. Dia harus pandai memilih, apakah harus menyelamatkan negara, ataukah hanya berjuang sebatas perjuangan harga diri keluarga?
Sunyi terus mencekam ruangan paseban. Tak ada yang berani berkata-kata lagi. Sehingga pada suatu saat Purohita Ragasuci mohon diri untuk kembali kemandala (tempat para wiku berkumpul).
“Sudah aku sampaikan isi hatiku. Tapi perjalanan hidup memang sudah ada yang mengatur. Aku hanya berusaha, dan mungkin kalianpun begitu. Mari kita serahkan pada Sang Rumuhun agar keputusan-keputusannya tidak berupa petaka buat kita dan bumi Pajajaran,” kata Purohita Ragasuci, berkomat-kamit, menengadahkan kedua belah tangan dan kemudian mengucapkan salam karena hendak segera berlalu dari tempat itu.
Semua orang menundukkan kepala tanda hormat terhadap Purohita istana yang hendak meninggalkan paseban puri Yogascitra. Sepeninggal Purohita, semua orang masih tidak sanggup melakukan pembicaraan. Banyak Angga dan Purbajaya duduk tegak berpangku tangan. Sedangkan Nyimas Banyak Inten duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Dan ketika Ginggi menatap wajahnya, betapa mata gadis itu merah lebam dan di pipinya basah bersimbah air mata.
“Saya akan mohon diri, Juragan…” kata Ginggi memecah kesunyian.
Semua orang menengok ke arahnya dan seperti baru sadar bahwa utusan Ki Bagus Seta masih berada di sana.
“Mengapa kau tak kembali ke puri majikanmu?” Tanya Purbajaya.
Bangsawan Yogascitra nampak mengerutkan dahinya. “Adakah hubungan pribadi ini dengan kepentingan negara, Kakanda?” tanya bangsawan itu menatap tajam Purohita.
Yang ditanya sejenak tersenyum tipis dan gigi-giginya kendati sudah tak utuh lagi namun nampak bersih terawat.
“Benar belaka, adikku,” katanya mengangguk-angguk.
“Urusan ini lambat-laun akan mempengaruhi urusan negara. Sudah sejak dulu urusan kekerabatan di kalangan istana akan mempengaruhi jalannya pemerintahan. Terkadang kekerabatan ini membawa kerugian bagi negara. Dahulu kala, hampir 800 tahun lalu kekerabatan hamper menimbulkan perang saudara antara Rakeyan Tamperan dan Sang Manarah. Kemelut negara juga bisa terjadi karena urusan wanita. Wanita adalah mahkluk lemah dan laki-laki harus melindungi serta menghargainya. Namun adakalanya wanita sanggup mengubah keadaan. Bisa menciptakan peperangan seperti peristiwa menyedihkan menimpa Sang Prabu Wangi di Bubat hampir 200 tahun lalu. Dan wanita juga bisa menurunkan raja dari tahta seperti pernah terjadi kepada Sang Prabu Dewa Niskala 70 tahun lalu. Beliau turun tahta karena melanggar kaidah moral. Adikku Yogascitra, kau harus hati-hati, sebab segalanya kini bergantung padamu. Apakah peristiwa pelanggaran kaidah moral akan kembali terulang atau bisa kita hindarkan. Engkaulah kini yang menentukan,” kata Purohita.
Mendengar ucapan ini, semakin berkerut dahi Bangsawan Yogascitra. Dan kebingungan bukan saja melanda Bangsawan Yogascitra seorang, sebab semua yang hadir pun sama-sama mengerutkan dahi, tidak terkecuali Ginggi.
“Mengapa saya harus jadi seseorang yang amat bertanggung jawab kepada situasi negara, Kakanda?” Tanya Bangsawan Yogascitra bingung.
“Benar belaka, adikku,” jawab Purohita Ragasuci yakin,
“Bila benar Sang Prabu memutuskan akan mempersunting Nyimas Layang Kingkin seperti apa kata Bangsawan Bagus Seta, maka akan menimbulkan banyak pertentangan di kalangan istana. Sejak dahulu kala Raja tabu mengawini wanita larangan, sedangkan yang dimaksud wanita larangan menurut keyakinan kita adalah kaum wanita yang sudah terikat pertunangan. Dulu, Sang Prabu Dewa Niskala terpaksa harus turun tahta sebab seluruh pejabat istana dan para pendeta begitu keberatan memiliki Raja yang melanggar tabu. Kalau pelanggaran tabu juga dilakukan Raja sekarang, aku khawatir kemelut istana akan terulang lagi. Dan segalanya bergantung padamu kini, sebab peristiwa aib ada di sekelilingmu. Engkau harus berjuang agar pertunangan Raden Banyak Angga dengan Nyimas Layang Kingkin harus berlangsung. Kalau Ki Bagus Seta tak mencabut atau membatalkan pertunangan putrinya, maka Nyimas Layang Kingkin sudah terikat pertunangan dan dia wanita larangan, tak boleh dipersunting Raja!” kata Purohita Ragasuci dengan suara tegas.
Sunyi suasana di ruangan paseban itu. Semua orang nampaknya begitu terpengaruh oleh ucapan Purohita Ragasuci. Ginggi juga ikut berpikir. Kalau tradisi semacam ini benar masih dipegang erat oleh orang Pajajaran, maka kedudukan Raja dalam bahaya. Atau lebih luas dari itu, keutuhan negara akan terganggu.
“Apakah aku harus menyetujui seluruh usul Ki Bagus Seta?” gumam Bangsawan Yogascitra.
“Benar adikku …”
“Maaf, saya tidak setuju Ayahanda!” Banyak Angga berkata agak keras.
“Saya juga tak setuju dengan kebijaksanaan ini,” Purbajaya bahkan ikut memperkuat.
Bangsawan Yogascitra menatap tajam kepada kedua pemuda itu satu-persatu.
“Maafkan saya yang lancang Ayahanda,” kata Banyak Angga menyembah dan menunduk. Namun hanya sebentar saja wajahnya menatap lantai, sebab pemuda itu segera menatap tajam ayahandanya.“Tidak saya sangsikan, sebenarnya saya amat mencintai Dinda Layang Kingkin. Serasa saya akan mati bila saya tak sanggup hidup bersamanya. Tapi harga diri saya beserta nama baik penghuni puri lebih saya utamakan. Raja boleh aib karena melanggar kaidah moral tapi tidak bagi kita. Kalau kita datang merengek minta dikasihani agar pertunangan jangan batal, betapa rendahnya kita, betapa kecilnya harga diri penghuni puri Yogascitra di mata mereka. Barangakali mereka akan tertawa penuh kemenangan. Barangkali juga mereka akan mendikte kita dengan mengemukakan serba keinginan dan berbagai persyaratan. Tidak Ayahanda, jangan biarkan kita menderita aib seperti itu!” kata Banyak Angga tegas. Dia menyembah takzim lagi, undur ke belakang dan duduk dengan kepala tunduk.
Bangsawan Yogascitra termangu-mangu mendengar keputusan putra laki-lakinya itu. Ginggi menyaksikan, betapa bingungnya bangsawan berperangai sabar ini. Barangkali di hatinya penuh dengan kemelut. Bangasawan Yogascitra tentu bimbang dengan banyak pertimbangan. Dia pasti mengerti ada masalah besar di depannya dan segalanya bergantung padanya. Dia harus pandai memilih, apakah harus menyelamatkan negara, ataukah hanya berjuang sebatas perjuangan harga diri keluarga?
Sunyi terus mencekam ruangan paseban. Tak ada yang berani berkata-kata lagi. Sehingga pada suatu saat Purohita Ragasuci mohon diri untuk kembali kemandala (tempat para wiku berkumpul).
“Sudah aku sampaikan isi hatiku. Tapi perjalanan hidup memang sudah ada yang mengatur. Aku hanya berusaha, dan mungkin kalianpun begitu. Mari kita serahkan pada Sang Rumuhun agar keputusan-keputusannya tidak berupa petaka buat kita dan bumi Pajajaran,” kata Purohita Ragasuci, berkomat-kamit, menengadahkan kedua belah tangan dan kemudian mengucapkan salam karena hendak segera berlalu dari tempat itu.
Semua orang menundukkan kepala tanda hormat terhadap Purohita istana yang hendak meninggalkan paseban puri Yogascitra. Sepeninggal Purohita, semua orang masih tidak sanggup melakukan pembicaraan. Banyak Angga dan Purbajaya duduk tegak berpangku tangan. Sedangkan Nyimas Banyak Inten duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Dan ketika Ginggi menatap wajahnya, betapa mata gadis itu merah lebam dan di pipinya basah bersimbah air mata.
“Saya akan mohon diri, Juragan…” kata Ginggi memecah kesunyian.
Semua orang menengok ke arahnya dan seperti baru sadar bahwa utusan Ki Bagus Seta masih berada di sana.
“Mengapa kau tak kembali ke puri majikanmu?” Tanya Purbajaya.
“Percakapan kalian tadi begitu penting dan saya tak berani mengganggu,” tutur Ginggi hormat.
“Raden, badega ini lancang benar mendengarkan percakapan kita. Dia orang puri Bagus Seta, barangkali obrolan kita akan disampaikan kepada majikannya!” kata Purbajaya bicara pada Banyak Angga.
“Biarkanlah percakapan di ruangan ini disampaikan badega itu pada majikannya. Dengan demikian Ki Bagus Seta akan tahu kemelut yang ditimbulkannya,” kata Banyak Angga seraya menatap tajam pada Ginggi yang masih duduk agak jauh di belakang.
“Bolehkah saya meninggalkan tempat ini, Juragan?” tanya Ginggi.
“Pergilah…” kata Bangsawan Yogascitra. “Jangan kau terpengaruh oleh sikap-sikap kami, anak muda. Kau tidak salah dan kami tidak membencimu,” kata Bangsawan Yogascitra sebelum Ginggi meninggalkan paseban.
Ginggi mengangguk hormat dan hatinya senang. Bangsawan ini benar-benar berperangai baik, termasuk sopan terhadap orang kebanyakan. Untuk kedua kalinya Ginggi mohon diri dan menyembah takzim. Sekilas dia pandang lagi wajah Nyimas Banyak Inten yang masih tetap menunduk dan tidak mengacuhkan kepergiaan Ginggi.
“Purbajaya, antarkan pemuda itu ke luar benteng, kalau-kalau dia mengalami kesulitan untuk pulang,” kata Bangsawan Yogascitra.
“Akan saya antarkan dia, Paman…” kata Purbajaya.
Ginggi akan menolaknya. Tapi kata Purbajaya hari sudah malam. Ginggi akan dicurigai jagabaya yang bertugas malam bila tiba-tiba dia keluar benteng puri sendirian. Mendengar penjelasan ini, Ginggi baru mengikuti pemuda itu untuk diantar keluar benteng puri.
“Maafkan, aku tadi agak kasar padamu, Ginggi…” kata Purbajaya di tengah jalan.
“Kemarahanmu wajar, Raden, sebab aku orang dari puri Bagus Seta …” kata Ginggi memaklumi.
“Aneh, orang sepertimu bisa bekerja di sana,” kata pemuda itu di tengah keheningan malam.
“Saya seperti apa, Raden?” Ginggi menatapnya.
“Tidak seperti apa-apa. Tapi kebanyakan pekerja puri itu angkuh dan sedikit kasar.”
“Ah, saya kan hanya seorang badega. Kalau Juragan Bagus Seta terkenal angkuh, masa badeganya harus meniru-niru. Bisa marah dia,” kata Ginggi.
Purbajaya terkekeh merasa lucu. Ginggi menatap lagi. Ingin sebetulnya dia bertanya pada pemuda itu, terutama hubungannya dengan peristiwa bunuh diri tunangannya yang ditinggalkan di Tanjungpura sana. Tapi bagaimana musti mulai? Kalau secara tiba-tiba bertanya tentang itu hanya akan membuat pemuda itu bingung, atau marah karena tak percaya. Dan lebih ruwet dari itu, Purbajaya pasti menyelidik siapa dia, padahal selama ini Ginggi harus tetap menyamar agar aman dalam melakukan berbagai penyelidikan.
“Sudah sampai di pintu keluar, Raden. Terima kasih atas bantuannya,” kata Ginggi.
“Tidak, kita akan sama-sama pergi keluar benteng. Aku akan pergi ke benteng luar, menuju tepi Sungai Cipakancilan …” kata pemuda itu.
”Mau apa malam-malam kesana, Raden?”
“Ah, sekadar jalan-jalan saja. Ada seseorang yang harus aku temui disana,” gumam pemuda itu.
Ginggi tak berpanjang-panjang mengajukan pertanyaan, sebab nampaknya pemuda itupun nampaknya enggan membicarakannya lebih lanjut. Hanya saja mendengar nama Cipakancilan serasa diingatkan kembali kepada Ki Ogel dan Ki Banen. Sebulan lalu Ginggi sengaja berkunjung ke rumah tua di tepi Kali Cipakancilan untuk melihat kesehatan Ki Banen. Bulan lalu orang tua itu sudah berangsur sembuh setelah dia membantunya dengan beberapa ramuan obat. Ginggi sudah meneliti, sakitnya Ki Banen karena ada orang yang membuat agar dirinya sakit dengan cara memberikan obat yang salah. Ketika Ginggi tanya siapa yang memberi obat, Ki Banen mengaku sebagai pemberian Seta dan Madi.
Ginggi menyelidik lagi, mengapa kedua pemuda anak buah Suji Angkara itu memberikan jenis obat seperti itu. Dan dari penjelasan kedua orang itu, terkorek rahasia bahwa segalanya bermula dari Suji Angkara. Pemuda itulah yang menyuruh memberikan obat kepada Ki Banen. Dengan begitu terbukti sudah kejahatan Suji Angkara. Dia akan mencelakakan Ki Banen, orang yang selama ini menjadi anak buahnya juga.
Mengapa Suji Angkara hendak mencelakakan Ki Banen? Dugaan Ginggi, ini karena Suji Angkara sudah mensinyalir bahwa Ki Banen mencurigai kejahatannya selama ini. Untuk menutupinya, Ki Banen harus dienyahkan!
“Kita bisa jalan bersama sampai jalan berbalay ke arah benteng luar,” kata Purbajaya melangkah di lorong yang diapit dua benteng puri.
Jalanan demikian sepi dan gelap sebab di sana tak ada penerangan.
“Baik Raden… Tapi di depan kita ada orang yang berjalan mendatangi,” bisik Ginggi.
Purbajaya rupanya sudah pula melihat tapi dia tidak merasa bercuriga. Lain lagi dengan Ginggi. Kendati suasana gelap tapi matanya sudah demikian terlatih. Yang datang adalah tiga orang. Satu melangkah di depan dan dua mengikuti di belakang. Yang membuat darah Ginggi berdesir, karena Ginggi hafal betul, ketiga orang di depan adalah Suji Angkara, Seta dan Madi.
Ginggi khawatir dirinya diketahui mereka. Itulah sebabnya pemuda itu segera membuka ikat kepalanya dan digunakannya untuk menutupi hidung dan mulutnya dengan jalan kedua ujung ikat kepala diikatkan di belakang tengkuknya. Ginggi dan Purbajaya di lain fihak sudah hamper berpapasan dengan rombongan Suji Angkara. Dan mereka nampak menghentikan langkah ketika tahu siapa yang dihadapi.
“Purbajaya?”
“Benar…” jawab Purbajaya tidak curiga.
“Serbu !!!” teriak Suji Angkara.
Madi dan Seta menerjang ke depan menyerbu Purbajaya. Suji Angkara pun serentak menghambur ke depan. Purbajaya dikurung mereka bertiga.
Perkelahian satu lawan tiga berlangsung seru di kegelapan malam. Tapi dalam sebentar saja Ginggi mendapatkan bahwa Purbajaya tidak akan menang menghadapinya. Bukan saja karena mendapat pengeroyokan tak seimbang, tapi pun kepandaian Purbajaya tidak begitu tinggi bila dibandingkan dengan Suji Angkara. Jadi, jangankan dikeroyok, sedang hanya dilayani satu orang Suji Angkara saja, pemuda ini pasti akan kalah.
Yang jadi pertanyaan, mengapa Suji Angkara musti melakukan pengeroyokan, padahal dengan kepandaiannya sendiri saja bisa melumpuhkan lawan? Barangkali hanya satu hal bisa diduga, mereka bertiga sudah berniat hendak mencelakakan Purbajaya tidak kepalang tanggung.
Nampak sekali Purbajaya kepayahan menghadapi pengeroyokan ini. Mungkin serangan-serangan kedua pemuda Seta dan Madi bisa dia tanggulangi sebab mereka hanya memiliki kepandaian biasa saja. Tapi kemampuan Suji Angkara jauh di atas kemampuannya dan Purbajaya amat keteter dibuatnya. Ginggi sudah menyaksikan, begitu ganasnya serangan-serangan Suji Angkara. Jurus-jurus yang dikeluarkan semua ditujukan untuk mengarah langsung kepada nyawa lawan. Nampak nyata oleh Ginggi, Suji Angkara bermaksud membunuh Purbajaya.
Suatu saat kedudukan Purbajaya ada dalam bahaya. Pemuda ini baru saja menangkis sodokan pukulan tangan Seta yang mengarah ke ulu hatinya. Serbuan ini bisa ditangkis Purbajaya dengan cara menepiskan tangan kanannya ke bawah sambil badannya sedikit membungkuk. Namun dari arah belakang, Madi memukul pundak pemuda itu. Begitu telaknya pukulan Madi. Kendati tidak menimbulkan luka berarti karena pukulannya tidak memiliki tenaga dalam, tapi membuat tubuh Purbajaya tersuruk ke depan.
Terdengar kekeh Suji Angkara. Barangkali dia puas melihat lawannya jatuh. Di saat tubuh Purbajaya tersuruk di tanah, Suji Angkara melompat ke udara. Maksudnya pasti, dia ingin menyerang kepala Purbajaya dengan sepasang kakinya. Purbajaya sepertinya sudah tak bias berkelit. Kalau dia berguling tentu kedudukan tubuhnya akan terbalik, yaitu wajah tengadah. Dan ini akan berbahaya lagi, sebab serangan kaki lawan akan mengarah ke wajahnya.
Ginggi harus mencegah penganiayaan ini. Untuk itulah dia segera melayang tinggi. Tangan kanannya dia pentang lebar dan telapak tangannya dibuka berbareng dengan serangan pukulannya. Pemuda ini tersenyum di balik cadar ikat kepalanya, sebab membayangkan telapak tangannya yang terbuka lebar akan dengan telak mengarah jidat Suji. Dan benar dugaannya. Tubuh pemuda itu yang lagi melayang di udara mendadak terlontar kembali ke belakang diiringi teriakan kesakitan.
“Buk!”
Tubuhnya membentur benteng. Seta dan Madi yang juga sama akan melakukan serangan berbareng dari kiri dan kanan ke arah tubuh telentang Purbajaya juga sama menjerit kesakitan karena dengan sapuan kaki Ginggi, membuat kedua pemuda itu terjajar membentur tembok. Untuk sementara keduanya meloso tak sanggup bangun lagi. Tapi Suji Angkara yang tubuhnya lebih kuat, sudah sanggup bangun kembali kendati nampak sempoyongan sambil tangan kiri memegangi jidatnya.
“Kau … kau! Siapa kau…” suara Suji Angkara lebih terdengar heran ketimbang marah.
Ginggi yang wajahnya masih bercadar ikat kepalanya mencoba menakut-nakuti pemuda itu dengan berpura-pura seolah mau mengejarnya. Dan nampak sekali rasa takut pemuda itu. Dengan tubuh limbung Suji Angkara berlari menjauhi lorong gelap, meninggalkan kedua anak buahnya begitu saja.
“Engkau…?”
Purbajaya yang sudah berdiri di sisinya amat terkejut sebab mungkin dia tak menyangka kemampuan Ginggi sehebat itu. Namun sebelum Purbajaya banyak bicara, Ginggi segera menempelkan telunjuk di dekat bibirnya. Dan Purbajaya nampaknya mengerti keinginan Ginggi, apalagi ketika dia melihat Ginggi menutupi wajahnya sendiri.
Ginggi menunjuk kepada kedua anak buah Suji Angkara. Nampak keduanya mencoba bangun dengan susah-payah dan sama-sama memegangi jidatnya masing-masing. Purbajaya mendekati kedua pemuda itu dan menanyainya. Tapi yang ditanya hanya memijit-mijit jidatnya sambil sesekali menggoyang kepala seperti mencoba mengusir rasa pening.
“Ini penyerangan kedua kalinya terhadapku. Coba kau jelaskan, mengapa kalian melakukannya?” tanya Purbajaya menarik baju kedua orang itu kiri dan kanan. “Cepat bicara!” Purbajaya menyentak-nyentak ujung baju Seta dan Madi.
“Kami… kami disuruh Raden Suji!” kata Seta meringis menahan sakit.
”Ya, aku tahu kalian pasti disuruh majikanmu yang jahat itu. Tapi coba kau jelaskan, mengapa majikan kalian selalu mencoba untuk mencederai aku? Apa dosaku? Jawab cepat!”teriak Purbajaya kesal.
“Karena kau jahat!” teriak Madi parau.
“Plak!” Tangan kiri Purbajaya menampar pipi pemuda tonghor itu.
Madi mengeluh karena tamparan ini mengarah pipi kanannya. “Coba sebutkan kejahatanku! Kapan aku merugikan kalian?” kembali Purbajaya mengguncang-guncang tubuh kedua orang itu karena kesal, marah tapi sekaligus heran.
“Engkau menjadi gara-gara matinya Nden Wulansari!” kata Seta.
“Apa? Wulansari tunanganku, tolol! Siapa bilang dia mati?” teriak Purbajaya berang.
”Kami ingin membela Juragan Ilun Rosa karena kematian putrinya. Karena kau penyebabnya, maka kami berniat menghukummu, sebab itu juga yang diinginkan Juragan Ilun Rosa!” kata Seta.
“Plak!” Purbajaya kini menampar pemuda Seta.
“Bunuhlah aku, agar kejahatanmu tak tanggung-tanggung!” kata Seta menyeka ujung bibirnya. Rupanya ada darah keluar dari mulutnya.
“Aku tidak pernah menyombongkan diri bahwa aku orang baik. Tapi omongan kalian ngaco bila menuduhku melakukan kejahatan, apalagi pembunuhan. Dan kalian katakan, tunanganku sendiri yang aku bunuh? Betulkah Dinda Wulan mati?” Purbajaya lebih bernada heran ketimbang marah.
“Memang kau tak bunuh langsung Nden Wulan. Tapi kau tinggalkan dia begitu saja dan surat yang kau serahkan padanya amat menyakitkan hatinya, sehingga Nden Wulan patah hati dan nekad bunuh diri,” kata Seta.
Purbajaya nampak akan kembali memukul pemuda itu, tapi tangan kuat Ginggi segera menahannya.
“Aku tak mengerti omongan ngaco kalian. Aku tak pernah menyakiti kekasihku!” teriak Purbajaya.
“Bagaimana dengan surat daun nipah yang kau tinggalkan?” tanya Seta.
“Aku tak pernah meninggalkan surat apa pun sebab ketika aku akan ke Pakuan, aku bicara langsung pada Dinda Wulan. Siapa yang katakan aku tinggalkan surat dan apa isi surat itu?” tanya Purbajaya.
Giliran Seta dan Madi bingung. “Kau tidak pernah meninggalkan surat?”
“Ya, coba terangkan, apa isi surat itu?” desak Purbajaya.
“Kata Raden Suji, surat itu menyebutkan engkau akan bekerja di Pakuan dan akan melangsungkan perkawinan dengan anak bangsawan Pakuan! Akibatnya Nden Wulan sakit hati dan bunuh diri,’ kata Seta lagi.
Kembali Purbajaya akan memukul pemuda Seta. Kali ini disertai tenaga amat kuat karena dorongan kemarahan yang sangat. Namun untuk yang kesekian kalinya tangan kuat Ginggi menahannya dari belakang.
“Biarkan tanganku Ginggi!” teriak Purbajaya menahan marah.
Mendengar nama itu disebut, Seta dan Madi berseru kaget.
“Ginggi?!” katanya berbareng.
Ginggi menghela nafas, menyesalkan ucapan Purbajaya yang tak sengaja membuka cadar wajahnya.
“Ya… aku pemuda dungu itu, Seta,” gumamnya pelan.
“Kaukah yang barusan melumpuhkan kami dalam satu gebrakan saja?” tanya Seta masih tak percaya.
“Maafkan aku Seta. Dan aku pula yang tiga kali membikin jidat majikanmu menyendul sebesar telur ayam itu. Kau sampaikan pada Raden Suji. Pertama kali jidatnya kubuat bengkak di gua hutan Cae. Kedua kulakukan di depan jendela kamar Nyi Mas Banyak Inten bulan lalu. Dan mungkin yang ketiga kalinya adalah di lorong gelap ini. Kalau kau sampaikan berita ini, dia tak akan berani mungkir!” kata Ginggi masih berkata pelan namun membuat Seta dan Madi semakin mepet ke dinding saking takut dan terkejutnya.
“Seta, juga Madi, aku peringatkan, kau jauhi Raden Suji. Dia orang berbahaya dan kalian memilih majikan yang salah. Seharusnya kalian sudah sadar sejak dulu ketika aku tanya perihal pengobatan untuk Ki Banen. Kalian sadar ramuan obat untuk Ki Banen dari Raden Suji bukan saja tidak menyembuhkan, melainkan juga membahayakan jiwa Ki Banen. Tapi kendati begitu kalian tetap tidak bercuriga, mengapa Raden Suji memaksa memberikan obat berbahaya itu. Ketahuilah, majikanmu berusaha untuk melenyapkan Ki Banen sebab dia menduga, Ki Banen mengetahui kejahatannya. Sekarang kau tetap tertipu oleh kelicinan Raden Suji sehingga hampir saja membunuh orang tak bersalah macam Raden Purbajaya ini. Kalian jangan pura-pura tidak tahu, bahwa selama kalian ikut Raden Suji banyak terjadi wanita bunuh diri. Mungkin kau ingat di Desa Wado. Mungkin pula di Tanjungpura. Dan kalian juga pasti tahu, wanita bunuh diri di antaranya karena alasan kehormatan terganggu. Tidakkah Nyi Santimi dulu melapor padamu bahwa suatu malam dia diculik ke sebuah gua? Semua yang menyangkut wanita selalu di sekitar di mana Raden Suji berada. Dan engkau Raden Purbajaya,”
Ginggi menoleh pada pemuda disampingnya, ”Kalau kau merasa nyawamu diancam dua kali oleh Raden Suji, itu karena upaya pemuda jahat tersebut, agar kejahatannya tidak terungkap. Aku sudah bisa menduga, Suji Angkaralah yang membuat surat palsu yang isinya seolah-olah menyakiti perasaan Wulansari dan mendorongnya untuk bunuh diri. Padahal aku yakin, Wulansari dibunuh oleh pemuda itu setelah kehormatan gadis itu diganggu. Bulan lalu untuk yang kedua kalinya Suji Angkara mencoba mengganggu kehormatan Nyimas Banyak Inten. Peristiwa pertama bisa digagalkan oleh Ki Banen dan peristiwa kedua aku yang menggagalkan,” kata Ginggi membeberkan keburukan Suji Angkara secara panjang-lebar.
Ketiga orang yang menyimak penjelasan ini begitu terpana sebab ini adalah berita yang amat mengejutkan sekali.
“Sudahlah Raden, kita lepaskan kedua orang ini. Mereka hanya terbawa-bawa saja dan tak mereka sadari sedikit pun,” kata Ginggi.
Seta dan Madi menatap kepada Purbajaya. Tapi karena pemuda itu nampak tidak bermaksud menahannya, maka keduanya menyembah hormat dan undur dari tempat itu. Tinggallah Purbajaya termangu-mangu di kegelapan malam. Rupanya pemuda itu masih terpengaruh oleh kejadian-kejadian yang baru saja terjadi dan melibatkan dirinya.
“Raden, badega ini lancang benar mendengarkan percakapan kita. Dia orang puri Bagus Seta, barangkali obrolan kita akan disampaikan kepada majikannya!” kata Purbajaya bicara pada Banyak Angga.
“Biarkanlah percakapan di ruangan ini disampaikan badega itu pada majikannya. Dengan demikian Ki Bagus Seta akan tahu kemelut yang ditimbulkannya,” kata Banyak Angga seraya menatap tajam pada Ginggi yang masih duduk agak jauh di belakang.
“Bolehkah saya meninggalkan tempat ini, Juragan?” tanya Ginggi.
“Pergilah…” kata Bangsawan Yogascitra. “Jangan kau terpengaruh oleh sikap-sikap kami, anak muda. Kau tidak salah dan kami tidak membencimu,” kata Bangsawan Yogascitra sebelum Ginggi meninggalkan paseban.
Ginggi mengangguk hormat dan hatinya senang. Bangsawan ini benar-benar berperangai baik, termasuk sopan terhadap orang kebanyakan. Untuk kedua kalinya Ginggi mohon diri dan menyembah takzim. Sekilas dia pandang lagi wajah Nyimas Banyak Inten yang masih tetap menunduk dan tidak mengacuhkan kepergiaan Ginggi.
“Purbajaya, antarkan pemuda itu ke luar benteng, kalau-kalau dia mengalami kesulitan untuk pulang,” kata Bangsawan Yogascitra.
“Akan saya antarkan dia, Paman…” kata Purbajaya.
Ginggi akan menolaknya. Tapi kata Purbajaya hari sudah malam. Ginggi akan dicurigai jagabaya yang bertugas malam bila tiba-tiba dia keluar benteng puri sendirian. Mendengar penjelasan ini, Ginggi baru mengikuti pemuda itu untuk diantar keluar benteng puri.
“Maafkan, aku tadi agak kasar padamu, Ginggi…” kata Purbajaya di tengah jalan.
“Kemarahanmu wajar, Raden, sebab aku orang dari puri Bagus Seta …” kata Ginggi memaklumi.
“Aneh, orang sepertimu bisa bekerja di sana,” kata pemuda itu di tengah keheningan malam.
“Saya seperti apa, Raden?” Ginggi menatapnya.
“Tidak seperti apa-apa. Tapi kebanyakan pekerja puri itu angkuh dan sedikit kasar.”
“Ah, saya kan hanya seorang badega. Kalau Juragan Bagus Seta terkenal angkuh, masa badeganya harus meniru-niru. Bisa marah dia,” kata Ginggi.
Purbajaya terkekeh merasa lucu. Ginggi menatap lagi. Ingin sebetulnya dia bertanya pada pemuda itu, terutama hubungannya dengan peristiwa bunuh diri tunangannya yang ditinggalkan di Tanjungpura sana. Tapi bagaimana musti mulai? Kalau secara tiba-tiba bertanya tentang itu hanya akan membuat pemuda itu bingung, atau marah karena tak percaya. Dan lebih ruwet dari itu, Purbajaya pasti menyelidik siapa dia, padahal selama ini Ginggi harus tetap menyamar agar aman dalam melakukan berbagai penyelidikan.
“Sudah sampai di pintu keluar, Raden. Terima kasih atas bantuannya,” kata Ginggi.
“Tidak, kita akan sama-sama pergi keluar benteng. Aku akan pergi ke benteng luar, menuju tepi Sungai Cipakancilan …” kata pemuda itu.
”Mau apa malam-malam kesana, Raden?”
“Ah, sekadar jalan-jalan saja. Ada seseorang yang harus aku temui disana,” gumam pemuda itu.
Ginggi tak berpanjang-panjang mengajukan pertanyaan, sebab nampaknya pemuda itupun nampaknya enggan membicarakannya lebih lanjut. Hanya saja mendengar nama Cipakancilan serasa diingatkan kembali kepada Ki Ogel dan Ki Banen. Sebulan lalu Ginggi sengaja berkunjung ke rumah tua di tepi Kali Cipakancilan untuk melihat kesehatan Ki Banen. Bulan lalu orang tua itu sudah berangsur sembuh setelah dia membantunya dengan beberapa ramuan obat. Ginggi sudah meneliti, sakitnya Ki Banen karena ada orang yang membuat agar dirinya sakit dengan cara memberikan obat yang salah. Ketika Ginggi tanya siapa yang memberi obat, Ki Banen mengaku sebagai pemberian Seta dan Madi.
Ginggi menyelidik lagi, mengapa kedua pemuda anak buah Suji Angkara itu memberikan jenis obat seperti itu. Dan dari penjelasan kedua orang itu, terkorek rahasia bahwa segalanya bermula dari Suji Angkara. Pemuda itulah yang menyuruh memberikan obat kepada Ki Banen. Dengan begitu terbukti sudah kejahatan Suji Angkara. Dia akan mencelakakan Ki Banen, orang yang selama ini menjadi anak buahnya juga.
Mengapa Suji Angkara hendak mencelakakan Ki Banen? Dugaan Ginggi, ini karena Suji Angkara sudah mensinyalir bahwa Ki Banen mencurigai kejahatannya selama ini. Untuk menutupinya, Ki Banen harus dienyahkan!
“Kita bisa jalan bersama sampai jalan berbalay ke arah benteng luar,” kata Purbajaya melangkah di lorong yang diapit dua benteng puri.
Jalanan demikian sepi dan gelap sebab di sana tak ada penerangan.
“Baik Raden… Tapi di depan kita ada orang yang berjalan mendatangi,” bisik Ginggi.
Purbajaya rupanya sudah pula melihat tapi dia tidak merasa bercuriga. Lain lagi dengan Ginggi. Kendati suasana gelap tapi matanya sudah demikian terlatih. Yang datang adalah tiga orang. Satu melangkah di depan dan dua mengikuti di belakang. Yang membuat darah Ginggi berdesir, karena Ginggi hafal betul, ketiga orang di depan adalah Suji Angkara, Seta dan Madi.
Ginggi khawatir dirinya diketahui mereka. Itulah sebabnya pemuda itu segera membuka ikat kepalanya dan digunakannya untuk menutupi hidung dan mulutnya dengan jalan kedua ujung ikat kepala diikatkan di belakang tengkuknya. Ginggi dan Purbajaya di lain fihak sudah hamper berpapasan dengan rombongan Suji Angkara. Dan mereka nampak menghentikan langkah ketika tahu siapa yang dihadapi.
“Purbajaya?”
“Benar…” jawab Purbajaya tidak curiga.
“Serbu !!!” teriak Suji Angkara.
Madi dan Seta menerjang ke depan menyerbu Purbajaya. Suji Angkara pun serentak menghambur ke depan. Purbajaya dikurung mereka bertiga.
Perkelahian satu lawan tiga berlangsung seru di kegelapan malam. Tapi dalam sebentar saja Ginggi mendapatkan bahwa Purbajaya tidak akan menang menghadapinya. Bukan saja karena mendapat pengeroyokan tak seimbang, tapi pun kepandaian Purbajaya tidak begitu tinggi bila dibandingkan dengan Suji Angkara. Jadi, jangankan dikeroyok, sedang hanya dilayani satu orang Suji Angkara saja, pemuda ini pasti akan kalah.
Yang jadi pertanyaan, mengapa Suji Angkara musti melakukan pengeroyokan, padahal dengan kepandaiannya sendiri saja bisa melumpuhkan lawan? Barangkali hanya satu hal bisa diduga, mereka bertiga sudah berniat hendak mencelakakan Purbajaya tidak kepalang tanggung.
Nampak sekali Purbajaya kepayahan menghadapi pengeroyokan ini. Mungkin serangan-serangan kedua pemuda Seta dan Madi bisa dia tanggulangi sebab mereka hanya memiliki kepandaian biasa saja. Tapi kemampuan Suji Angkara jauh di atas kemampuannya dan Purbajaya amat keteter dibuatnya. Ginggi sudah menyaksikan, begitu ganasnya serangan-serangan Suji Angkara. Jurus-jurus yang dikeluarkan semua ditujukan untuk mengarah langsung kepada nyawa lawan. Nampak nyata oleh Ginggi, Suji Angkara bermaksud membunuh Purbajaya.
Suatu saat kedudukan Purbajaya ada dalam bahaya. Pemuda ini baru saja menangkis sodokan pukulan tangan Seta yang mengarah ke ulu hatinya. Serbuan ini bisa ditangkis Purbajaya dengan cara menepiskan tangan kanannya ke bawah sambil badannya sedikit membungkuk. Namun dari arah belakang, Madi memukul pundak pemuda itu. Begitu telaknya pukulan Madi. Kendati tidak menimbulkan luka berarti karena pukulannya tidak memiliki tenaga dalam, tapi membuat tubuh Purbajaya tersuruk ke depan.
Terdengar kekeh Suji Angkara. Barangkali dia puas melihat lawannya jatuh. Di saat tubuh Purbajaya tersuruk di tanah, Suji Angkara melompat ke udara. Maksudnya pasti, dia ingin menyerang kepala Purbajaya dengan sepasang kakinya. Purbajaya sepertinya sudah tak bias berkelit. Kalau dia berguling tentu kedudukan tubuhnya akan terbalik, yaitu wajah tengadah. Dan ini akan berbahaya lagi, sebab serangan kaki lawan akan mengarah ke wajahnya.
Ginggi harus mencegah penganiayaan ini. Untuk itulah dia segera melayang tinggi. Tangan kanannya dia pentang lebar dan telapak tangannya dibuka berbareng dengan serangan pukulannya. Pemuda ini tersenyum di balik cadar ikat kepalanya, sebab membayangkan telapak tangannya yang terbuka lebar akan dengan telak mengarah jidat Suji. Dan benar dugaannya. Tubuh pemuda itu yang lagi melayang di udara mendadak terlontar kembali ke belakang diiringi teriakan kesakitan.
“Buk!”
Tubuhnya membentur benteng. Seta dan Madi yang juga sama akan melakukan serangan berbareng dari kiri dan kanan ke arah tubuh telentang Purbajaya juga sama menjerit kesakitan karena dengan sapuan kaki Ginggi, membuat kedua pemuda itu terjajar membentur tembok. Untuk sementara keduanya meloso tak sanggup bangun lagi. Tapi Suji Angkara yang tubuhnya lebih kuat, sudah sanggup bangun kembali kendati nampak sempoyongan sambil tangan kiri memegangi jidatnya.
“Kau … kau! Siapa kau…” suara Suji Angkara lebih terdengar heran ketimbang marah.
Ginggi yang wajahnya masih bercadar ikat kepalanya mencoba menakut-nakuti pemuda itu dengan berpura-pura seolah mau mengejarnya. Dan nampak sekali rasa takut pemuda itu. Dengan tubuh limbung Suji Angkara berlari menjauhi lorong gelap, meninggalkan kedua anak buahnya begitu saja.
“Engkau…?”
Purbajaya yang sudah berdiri di sisinya amat terkejut sebab mungkin dia tak menyangka kemampuan Ginggi sehebat itu. Namun sebelum Purbajaya banyak bicara, Ginggi segera menempelkan telunjuk di dekat bibirnya. Dan Purbajaya nampaknya mengerti keinginan Ginggi, apalagi ketika dia melihat Ginggi menutupi wajahnya sendiri.
Ginggi menunjuk kepada kedua anak buah Suji Angkara. Nampak keduanya mencoba bangun dengan susah-payah dan sama-sama memegangi jidatnya masing-masing. Purbajaya mendekati kedua pemuda itu dan menanyainya. Tapi yang ditanya hanya memijit-mijit jidatnya sambil sesekali menggoyang kepala seperti mencoba mengusir rasa pening.
“Ini penyerangan kedua kalinya terhadapku. Coba kau jelaskan, mengapa kalian melakukannya?” tanya Purbajaya menarik baju kedua orang itu kiri dan kanan. “Cepat bicara!” Purbajaya menyentak-nyentak ujung baju Seta dan Madi.
“Kami… kami disuruh Raden Suji!” kata Seta meringis menahan sakit.
”Ya, aku tahu kalian pasti disuruh majikanmu yang jahat itu. Tapi coba kau jelaskan, mengapa majikan kalian selalu mencoba untuk mencederai aku? Apa dosaku? Jawab cepat!”teriak Purbajaya kesal.
“Karena kau jahat!” teriak Madi parau.
“Plak!” Tangan kiri Purbajaya menampar pipi pemuda tonghor itu.
Madi mengeluh karena tamparan ini mengarah pipi kanannya. “Coba sebutkan kejahatanku! Kapan aku merugikan kalian?” kembali Purbajaya mengguncang-guncang tubuh kedua orang itu karena kesal, marah tapi sekaligus heran.
“Engkau menjadi gara-gara matinya Nden Wulansari!” kata Seta.
“Apa? Wulansari tunanganku, tolol! Siapa bilang dia mati?” teriak Purbajaya berang.
”Kami ingin membela Juragan Ilun Rosa karena kematian putrinya. Karena kau penyebabnya, maka kami berniat menghukummu, sebab itu juga yang diinginkan Juragan Ilun Rosa!” kata Seta.
“Plak!” Purbajaya kini menampar pemuda Seta.
“Bunuhlah aku, agar kejahatanmu tak tanggung-tanggung!” kata Seta menyeka ujung bibirnya. Rupanya ada darah keluar dari mulutnya.
“Aku tidak pernah menyombongkan diri bahwa aku orang baik. Tapi omongan kalian ngaco bila menuduhku melakukan kejahatan, apalagi pembunuhan. Dan kalian katakan, tunanganku sendiri yang aku bunuh? Betulkah Dinda Wulan mati?” Purbajaya lebih bernada heran ketimbang marah.
“Memang kau tak bunuh langsung Nden Wulan. Tapi kau tinggalkan dia begitu saja dan surat yang kau serahkan padanya amat menyakitkan hatinya, sehingga Nden Wulan patah hati dan nekad bunuh diri,” kata Seta.
Purbajaya nampak akan kembali memukul pemuda itu, tapi tangan kuat Ginggi segera menahannya.
“Aku tak mengerti omongan ngaco kalian. Aku tak pernah menyakiti kekasihku!” teriak Purbajaya.
“Bagaimana dengan surat daun nipah yang kau tinggalkan?” tanya Seta.
“Aku tak pernah meninggalkan surat apa pun sebab ketika aku akan ke Pakuan, aku bicara langsung pada Dinda Wulan. Siapa yang katakan aku tinggalkan surat dan apa isi surat itu?” tanya Purbajaya.
Giliran Seta dan Madi bingung. “Kau tidak pernah meninggalkan surat?”
“Ya, coba terangkan, apa isi surat itu?” desak Purbajaya.
“Kata Raden Suji, surat itu menyebutkan engkau akan bekerja di Pakuan dan akan melangsungkan perkawinan dengan anak bangsawan Pakuan! Akibatnya Nden Wulan sakit hati dan bunuh diri,’ kata Seta lagi.
Kembali Purbajaya akan memukul pemuda Seta. Kali ini disertai tenaga amat kuat karena dorongan kemarahan yang sangat. Namun untuk yang kesekian kalinya tangan kuat Ginggi menahannya dari belakang.
“Biarkan tanganku Ginggi!” teriak Purbajaya menahan marah.
Mendengar nama itu disebut, Seta dan Madi berseru kaget.
“Ginggi?!” katanya berbareng.
Ginggi menghela nafas, menyesalkan ucapan Purbajaya yang tak sengaja membuka cadar wajahnya.
“Ya… aku pemuda dungu itu, Seta,” gumamnya pelan.
“Kaukah yang barusan melumpuhkan kami dalam satu gebrakan saja?” tanya Seta masih tak percaya.
“Maafkan aku Seta. Dan aku pula yang tiga kali membikin jidat majikanmu menyendul sebesar telur ayam itu. Kau sampaikan pada Raden Suji. Pertama kali jidatnya kubuat bengkak di gua hutan Cae. Kedua kulakukan di depan jendela kamar Nyi Mas Banyak Inten bulan lalu. Dan mungkin yang ketiga kalinya adalah di lorong gelap ini. Kalau kau sampaikan berita ini, dia tak akan berani mungkir!” kata Ginggi masih berkata pelan namun membuat Seta dan Madi semakin mepet ke dinding saking takut dan terkejutnya.
“Seta, juga Madi, aku peringatkan, kau jauhi Raden Suji. Dia orang berbahaya dan kalian memilih majikan yang salah. Seharusnya kalian sudah sadar sejak dulu ketika aku tanya perihal pengobatan untuk Ki Banen. Kalian sadar ramuan obat untuk Ki Banen dari Raden Suji bukan saja tidak menyembuhkan, melainkan juga membahayakan jiwa Ki Banen. Tapi kendati begitu kalian tetap tidak bercuriga, mengapa Raden Suji memaksa memberikan obat berbahaya itu. Ketahuilah, majikanmu berusaha untuk melenyapkan Ki Banen sebab dia menduga, Ki Banen mengetahui kejahatannya. Sekarang kau tetap tertipu oleh kelicinan Raden Suji sehingga hampir saja membunuh orang tak bersalah macam Raden Purbajaya ini. Kalian jangan pura-pura tidak tahu, bahwa selama kalian ikut Raden Suji banyak terjadi wanita bunuh diri. Mungkin kau ingat di Desa Wado. Mungkin pula di Tanjungpura. Dan kalian juga pasti tahu, wanita bunuh diri di antaranya karena alasan kehormatan terganggu. Tidakkah Nyi Santimi dulu melapor padamu bahwa suatu malam dia diculik ke sebuah gua? Semua yang menyangkut wanita selalu di sekitar di mana Raden Suji berada. Dan engkau Raden Purbajaya,”
Ginggi menoleh pada pemuda disampingnya, ”Kalau kau merasa nyawamu diancam dua kali oleh Raden Suji, itu karena upaya pemuda jahat tersebut, agar kejahatannya tidak terungkap. Aku sudah bisa menduga, Suji Angkaralah yang membuat surat palsu yang isinya seolah-olah menyakiti perasaan Wulansari dan mendorongnya untuk bunuh diri. Padahal aku yakin, Wulansari dibunuh oleh pemuda itu setelah kehormatan gadis itu diganggu. Bulan lalu untuk yang kedua kalinya Suji Angkara mencoba mengganggu kehormatan Nyimas Banyak Inten. Peristiwa pertama bisa digagalkan oleh Ki Banen dan peristiwa kedua aku yang menggagalkan,” kata Ginggi membeberkan keburukan Suji Angkara secara panjang-lebar.
Ketiga orang yang menyimak penjelasan ini begitu terpana sebab ini adalah berita yang amat mengejutkan sekali.
“Sudahlah Raden, kita lepaskan kedua orang ini. Mereka hanya terbawa-bawa saja dan tak mereka sadari sedikit pun,” kata Ginggi.
Seta dan Madi menatap kepada Purbajaya. Tapi karena pemuda itu nampak tidak bermaksud menahannya, maka keduanya menyembah hormat dan undur dari tempat itu. Tinggallah Purbajaya termangu-mangu di kegelapan malam. Rupanya pemuda itu masih terpengaruh oleh kejadian-kejadian yang baru saja terjadi dan melibatkan dirinya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment