“Saya tak tahu apa-apa, Nyimas…” gumam Ginggi.
“Kau sampaikanlah padanya. Kadang-kadang hidup ini penuh arti bila sanggup meraih ambisi paling besar. Dan untuk meraih sesuatu yang paling besar, pengorbanan pasti terjadi…” kata gadis itu pada akhirnya.
Ginggi hanya mengangguk-angguk pelan. Dan ketika Ginggi mengundurkan diri dari pelataran rumah di mana gadis itu tinggal, Ginggi berjalan sendirian di tepi-tepi taman dengan senyum pahit menghias bibirnya. Barangkali gadis itu tengah terombang-ambing antara cinta dan ambisinya. Namun ternyata ambisinyalah yang harus dia menangkan. Dia akan memilih ambisi sambil mengorbankan cintanya. Cinta? Benarkah gadis itu memiliki cinta? Benarkah ada cinta yang dia korbankan? Ginggi teringat kembali obrolan Nyimas Layang Kingkin dengan Suji Angkara, saudara tirinya. Ketika itu Suji Angkara nampak gundah-gulana sebab perasaan cintanya terhadap Nyimas Banyak Inten seperti akan menghadapi tantangan besar karena harus bersaing dengan cintanya seorang Raja. Namun perasaan putus asa pemuda ini selalu dicoba ditepis oleh Nyimas Layang Kingkin. Gadis itu tetap memberikan dorongan bahkan terkesan mendesak agar pemuda itu selalu memperjuangkan agar keinginannya berhasil. Sehingga Ginggi mengira bahwa dorongan-dorongan gadis itu terhadap Suji Angkara karena perasaan kasih ingin membela kepentingan sang kakak dalam mendapatkan cintanya.
Namun setelah terjadi peristiwa beberapa hari ini, Ginggi punya dugaan lain, bahwa Nyimas Layang Kingkin selalu mendesak Suji Angkara untuk mendapatkan cintanya Nyimas Banyak Inten karena ada maksud-maksud tertentu. Bila Nyimas Banyak Inten bisa digaet Suji Angkara, Sang Prabu Ratu Sakti akan mencari gadis pengganti. Siapa yang akan menggantikannya? Ya, sekarang hampir terbukti, siapa yang siap menggantikan kedudukan Nyi Mas Banyak Inten!
Kentara sekali, Nyimas Layang Kingkin sebenarnya punya ambisi untuk menjadi selir Raja. Ketika gadis itu ditanya ayahnya tempo hari tentang kemungkinan ini, tak ada bantahan berarti dari gadis itu, padahal dia tahu dirinya telah bertunangan dengan Banyak Angga, kakak kandung Nyimas Banyak Inten.
“Hm…pandai sekali mereka mencari peluang…” gumam Ginggi sambil melangkah menuju bangsal tengah.
Di bangsal ternyata dia sudah dinanti Ki Bagus Seta. “Lama sekali engkau bepergian, Ginggi…” kata penghuni puri ini.
“Saya berkeliling ke benteng luar agar kuda-kuda tak merasa jenuh dengan suasana istal. Sudah hampir dua minggu mereka tidak berlari jauh. Juragan sudah lama tidak berburu ke lereng Gunung Salak,” kata Ginggi menyodorkan alasan.
Ki Bagus Seta tidak mengomentari. Dia malah mengambil sesuatu dari atas meja yang terletak di sudut bangsal.
“Antarkan kotak surat ini kepada Pangeran Yogascitra,” kata Ki Bagus Seta menyerahkan kotak kayu cendana berukir indah.
Ginggi segera menerima kotak itu dengan kedua belah tangannya.
“Harus hari ini juga tiba di Puri Yogascitra,” kata Ki Bagus Seta lagi.
“Baik, Juragan…”
“Nah, pergilah!”
Ginggi kembali berangkat ke luar puri. Berjalan menyusuri dalem khita, memotong ke lorong yang diapit dua benteng, ke luar lagi menyusuri jalan berbalay. Tibalah di Puri Pangeran Yogascitra.
“Ada keperluan apakah Ki Silah (saudara) datang ke puri ini?” tanya jagabaya sopan.
“Saya utusan Ki Bagus Seta, hendak mengirimkan kotak surat untuk Juragan Yogascitra, Paman…” kata Ginggi hormat.
“Mari aku antar ke dalam puri…”
“Terima kasih, Paman…”
Ginggi diantar seorang jagabaya, sedangkan seorang lagi tetap menjaga gerbang.
“Ginggi!”
Ginggi merandek, melihat siapa yang berteriak memanggilnya. Ternyata dia adalah Banyak Angga.
“Apakah itu kotak surat untukku, Ginggi?” Tanya pemuda itu bergairah. Hampir saja dia memburunya kalau Ginggi tak menarik mundur tangannya. “Mengapa Ginggi?” Banyak Angga heran dibuatnya.
Dan berdebar hati Ginggi. Dia membayangkan, bagaimana kelak rasa hati pemuda itu bila sudah tahu nasib dirinya.
“Ini surat untuk ayahandamu, Raden…” kata Ginggi.
Pemuda itu masih menatap heran.
“Kiriman dari Juragan Ki Bagus Seta,” lanjutnya lagi.
Tapi masih terbayang keheranan pemuda itu terhadapnya. “Kiriman surat balasan untukku bagaimana, Ginggi?” Banyak Angga masih penasaran. Yang ditanya hanya menghela napas kendati hanya sejenak.
“Saya hanya diperintahkan mengirimkan kotak surat ini oleh Juragan Bagus Seta. Ini pun hanya untuk Juragan Yogascitra,” kata Ginggi mengulang perkataannya yang sudah diucapkan barusan. “Mari Paman, antar saya menghadap Juragan,” Ginggi mengajak jagabaya pergi.
“Kau sampaikanlah padanya. Kadang-kadang hidup ini penuh arti bila sanggup meraih ambisi paling besar. Dan untuk meraih sesuatu yang paling besar, pengorbanan pasti terjadi…” kata gadis itu pada akhirnya.
Ginggi hanya mengangguk-angguk pelan. Dan ketika Ginggi mengundurkan diri dari pelataran rumah di mana gadis itu tinggal, Ginggi berjalan sendirian di tepi-tepi taman dengan senyum pahit menghias bibirnya. Barangkali gadis itu tengah terombang-ambing antara cinta dan ambisinya. Namun ternyata ambisinyalah yang harus dia menangkan. Dia akan memilih ambisi sambil mengorbankan cintanya. Cinta? Benarkah gadis itu memiliki cinta? Benarkah ada cinta yang dia korbankan? Ginggi teringat kembali obrolan Nyimas Layang Kingkin dengan Suji Angkara, saudara tirinya. Ketika itu Suji Angkara nampak gundah-gulana sebab perasaan cintanya terhadap Nyimas Banyak Inten seperti akan menghadapi tantangan besar karena harus bersaing dengan cintanya seorang Raja. Namun perasaan putus asa pemuda ini selalu dicoba ditepis oleh Nyimas Layang Kingkin. Gadis itu tetap memberikan dorongan bahkan terkesan mendesak agar pemuda itu selalu memperjuangkan agar keinginannya berhasil. Sehingga Ginggi mengira bahwa dorongan-dorongan gadis itu terhadap Suji Angkara karena perasaan kasih ingin membela kepentingan sang kakak dalam mendapatkan cintanya.
Namun setelah terjadi peristiwa beberapa hari ini, Ginggi punya dugaan lain, bahwa Nyimas Layang Kingkin selalu mendesak Suji Angkara untuk mendapatkan cintanya Nyimas Banyak Inten karena ada maksud-maksud tertentu. Bila Nyimas Banyak Inten bisa digaet Suji Angkara, Sang Prabu Ratu Sakti akan mencari gadis pengganti. Siapa yang akan menggantikannya? Ya, sekarang hampir terbukti, siapa yang siap menggantikan kedudukan Nyi Mas Banyak Inten!
Kentara sekali, Nyimas Layang Kingkin sebenarnya punya ambisi untuk menjadi selir Raja. Ketika gadis itu ditanya ayahnya tempo hari tentang kemungkinan ini, tak ada bantahan berarti dari gadis itu, padahal dia tahu dirinya telah bertunangan dengan Banyak Angga, kakak kandung Nyimas Banyak Inten.
“Hm…pandai sekali mereka mencari peluang…” gumam Ginggi sambil melangkah menuju bangsal tengah.
Di bangsal ternyata dia sudah dinanti Ki Bagus Seta. “Lama sekali engkau bepergian, Ginggi…” kata penghuni puri ini.
“Saya berkeliling ke benteng luar agar kuda-kuda tak merasa jenuh dengan suasana istal. Sudah hampir dua minggu mereka tidak berlari jauh. Juragan sudah lama tidak berburu ke lereng Gunung Salak,” kata Ginggi menyodorkan alasan.
Ki Bagus Seta tidak mengomentari. Dia malah mengambil sesuatu dari atas meja yang terletak di sudut bangsal.
“Antarkan kotak surat ini kepada Pangeran Yogascitra,” kata Ki Bagus Seta menyerahkan kotak kayu cendana berukir indah.
Ginggi segera menerima kotak itu dengan kedua belah tangannya.
“Harus hari ini juga tiba di Puri Yogascitra,” kata Ki Bagus Seta lagi.
“Baik, Juragan…”
“Nah, pergilah!”
Ginggi kembali berangkat ke luar puri. Berjalan menyusuri dalem khita, memotong ke lorong yang diapit dua benteng, ke luar lagi menyusuri jalan berbalay. Tibalah di Puri Pangeran Yogascitra.
“Ada keperluan apakah Ki Silah (saudara) datang ke puri ini?” tanya jagabaya sopan.
“Saya utusan Ki Bagus Seta, hendak mengirimkan kotak surat untuk Juragan Yogascitra, Paman…” kata Ginggi hormat.
“Mari aku antar ke dalam puri…”
“Terima kasih, Paman…”
Ginggi diantar seorang jagabaya, sedangkan seorang lagi tetap menjaga gerbang.
“Ginggi!”
Ginggi merandek, melihat siapa yang berteriak memanggilnya. Ternyata dia adalah Banyak Angga.
“Apakah itu kotak surat untukku, Ginggi?” Tanya pemuda itu bergairah. Hampir saja dia memburunya kalau Ginggi tak menarik mundur tangannya. “Mengapa Ginggi?” Banyak Angga heran dibuatnya.
Dan berdebar hati Ginggi. Dia membayangkan, bagaimana kelak rasa hati pemuda itu bila sudah tahu nasib dirinya.
“Ini surat untuk ayahandamu, Raden…” kata Ginggi.
Pemuda itu masih menatap heran.
“Kiriman dari Juragan Ki Bagus Seta,” lanjutnya lagi.
Tapi masih terbayang keheranan pemuda itu terhadapnya. “Kiriman surat balasan untukku bagaimana, Ginggi?” Banyak Angga masih penasaran. Yang ditanya hanya menghela napas kendati hanya sejenak.
“Saya hanya diperintahkan mengirimkan kotak surat ini oleh Juragan Bagus Seta. Ini pun hanya untuk Juragan Yogascitra,” kata Ginggi mengulang perkataannya yang sudah diucapkan barusan. “Mari Paman, antar saya menghadap Juragan,” Ginggi mengajak jagabaya pergi.
“Biarlah aku yang mengantar dia pada ayahanda,” kata Raden Banyak Angga.
“Baik Raden,” kata jagabaya dan mohon undur untuk kembali bertugas di pintu gerbang puri.
“Mari bersamaku…” kata Banyak Angga.
Ginggi tak banyak bicara. Dia melangkah menyusuri jalan kecil berbalay kerikil yang membawanya ke sebuah paseban, Dipaseban (bangsal) yang cukup luas, terlihat dua orang lelaki tengah duduk bersila saling berhadapan. Mereka duduk di balai-balai kayu berukir indah. Ginggi sudah kenal kepada yang berusia setengah baya, itulah Pangeran Yogascitra. Sedangkan yang seorang lagi, lelaki berusia tua memakai sorban putih dan berjenggot putih panjang, Ginggi tak kenal siapa gerangan.
“Sampurasun…”
“Rampes…” jawab Bangsawan Yogascitra halus. “Silahkan duduk anakku. Oh ya, siapa yang kau ajak serta itu?” kata bangsawan berwajah ramah itu seraya menatap Ginggi.
“Dia Ginggi, badega Ki Bagus Seta. Dulu pernah ke puri kita ketika menjemput Raden Suji…” kata Banyak Angga menerangkan.
Mendengar badega ini utusan Ki Bagus Seta, Bangsawan Yogascitra agak merandek sejenak, kendati kemudian parasnya kembali biasa.
“Duduklah anak muda.”
“Terima kasih, Juragan. Saya diutus Juragan Bagus Seta menyerahkan kotak surat ini…” sambil menyodorkan kotak kayu cendana dengan kedua belah tangannya.
“Surat apakah ini?” gumam Bangsawan Yogascitra.
“Bacalah sekarang juga agar tak membuat penasaran, adikku,” kata orang tua berjubah putih itu.
Bangsawan Yogascitra pelan-pelan membuka tutup kotak itu. Di dalamnya ada seikat daun nipah. Bangsawan itu membeberkan susunan daun nipah itu dan segera membacanya. Lama dia membaca. Namun kian lama menyimak tulisan di atas daun nipah, semakin berkerut dahinya. Sesudah selesai membacanya, Bangsawan Yogascita menatap tajam Banyak Angga.
“Apakah isinya adikku, sepertinya bukan berita menggembirakan buatmu…” kata orang tua berjenggot putih.
“Sebaiknya Kakanda Purohita meneliti isi daun nipah ini,” kata Bangsawan Yogascitra seraya menyodorkan untaian surat yang diikat benang hitam itu.
Ginggi kembali memperhatikan orang tua itu. Barangkali usianya di atas enampuluh tahun. Berwajah lembut dan seperti berperangai halus. Ginggi pernah mendengar, yang dimaksud Purohita adalah semacam jabatan kependetaan di istana yang tingkatannya paling tinggi. Ginggi pernah mendengar Purohita itu berjuluk Ragasuci. Purohita Ragasuci membaca rentetan aksara Palawa di daun nipah dengan wajah tenang. Sesudah selesai menyimak, pelan-pelan menoleh kepada Banyak Angga sambil mulut tersenyum.
“Sebaiknya sampaikan segera kepada yang bersangkutan agar hatinya tidak dipenuhi berbagai pertanyaan, adikku,” katanya kepada Bangsawan Yogascitra.
Ginggi meyaksikan, kedua ayah dan anak saling pandang. Yang seseorang menatap dengan penuh rasa penasaran dan yang seorang lagi menampakkan wajah cemas sedikit murung.
“Bagus Seta membatalkan pertunanganmu dengan Nyimas Layang Kingkin,” akhirnya Bangsawan Yogascitra bicara juga kendati dengan nada sedikit pahit.
Wajah Banyak Angga mendadak memucat dan bibirnya gemetar. Dia menatap nanar pada ayahnya, kemudian beralih kepada Ginggi.
“Apa artinya ini, Ginggi?” tanyanya dingin.
Ginggi hanya bisa menundukkan kepala. Untuk kedua kalinya pemuda itu bertanya kepada Ginggi, kini dengan suara agak tinggi. Namun untuk kesekian kalinya yang ditanya tak menggoyang bibir meski hanya sedikit.
“Dia hanyalah seorang badega, tak bisa kau mintai penjelasan,” kata Bangsawan Yogascitra tetap tenang.
“Kalau begitu kita sama-saama berangkat ke puri Bagus Seta untuk minta penjelasan, Ayahanda!” teriak Banyak Angga sedikit keras.
“Penjelasan sudah ada di dalam surat ini. Mereka membatalkan pertunangan karena keinginan Sang Prabu. Beliau berkenan mengangkat Nyimas Layang Kingkin sebagai selir…” kata Bangsawan Yogascitra dengan suara lemah.
Ginggi melihat Banyak Angga mengatupkan mulutnya dan gigi-giginya berkerutuk menahan amarah.
“Saya malah mendengar bisik-bisik di kalangan para dayang istana bahwa Sang Prabu tengah tergila-gila pada adikku, Banyak Inten. Mana yang benar?” gumam pemuda itu dengan nada pedih.
“Dalam surat ini, Bagus Seta malah ingin merundingkan pertunangan putranya, Raden Suji dengan adikmu…” gumam Bangsawan Yogascitra.
Kini giliran tubuh Ginggi yang mendadak panas dingin. Namun rupanya yang merasa tak enak atas “penawaran” ini bukan saja Ginggi, Banyak Angga pun seperti memiliki perasaan ini kendati alasannya berlainan dengan Ginggi.
“Ayahanda, begitu mudahnya mereka menukar-nukar pertunangan? Benar-benarkah pemuda anak Ki Bagus Seta itu cinta pada adikku atau sekadar keinginan orangtuanya untuk stel sana stel sini?” tanya Banyak Angga.
“Bagus Seta menginginkan, kendati hubungan pertunangaan antara kau dan Nyimas Layang Kingkin batal, tapi katanya jangan sampai hubungan kekerabatan putus begitu saja. Itulah sebabnya dia mengajukan pinangan agar adikmu dipersunting putra tertuanya yaitu Raden Suji Angkara. Memang ada benarnya perkataan Ki Bagus Seta. Tapi entahlah, apakah ucapannya ini terlahir dari maksud-maksud baiknya?” kata Bangsawan Yogascitra.
Ginggi ingin sekali ikut bicara. Tapi akan lancang benar bila dia tiba-tiba menyela pembicaraan, apalagi suasana sedang diliputi ketidak enakan. Sementara itu Bangsawan Yogascitra segera menyuruh badeganya untuk menjemput Nyimas Banyak Inten di puri belakang.
Seperti ada suara bertalu-talu di dalam dada Ginggi ketika dari luar datang dua orang. Satu di depan seorang gadis dan satu mengiringkannya dari belakangnya. Bukan badega yang tadi disuruh Bangsawan Yogascitra, melainkan seorang pemuda tampan berpakaian santana, Ginggi hapal betul, gadis itu tak lain Nyimas Banyak Inten. Dia melangkah pelan dan pendek-pendek karena kain sutra warna biru tua berkembang membungkus tubuh agak sedikit ketat sehingga bentuk-bentuk keindahan tubuhnya terbayang nyata. Selendang warna kuning tua polos juga terbuat dari sutra tipis berkibar-kibar di bahunya yang sebagian terjuntai ke bawah. Indah sekali selendang yang berkibar itu. Dan keindahan semakin sempurna manakala matahari senja menyorot tubuh gadis itu menimbulkan rona-rona cahaya khas.
Sedangkan pemuda yang mengiringkannya di belakangnya adalah Purbajaya. Dengan amat santunnya dia berjalan di belakang sehingga langkahnya terbawa pelan. Ginggi agak tertegun, mengapa Purbajaya bersama Nyimas Banyak Inten. Di dalam hatinya seketika timbul perasaan cemburu. Hanya tentu saja pemuda itu segera menekan perasaannya yang dianggap gila ini.
Nyimas Banyak Inten menyembah takzim baik kepada ayahnya mau pun kepada Purohita Ragasuci. Sesudah itu gadis elok berwajah lembut ini segera duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk.
“Nampaknya kalian habis berjalan-jalan, ya…” kata Bangsawan Yogascitra menatap kedua muda-mudi itu saling bergantian.
“Sekadar menghirup udara segar di sore hari, Ayahanda…” jawab Nyimas Banyak Inten tersipu.
“Dan saya hanya sekadar mengawalnya, Paman Yogascitra…” kata Purbajaya.
Perkataannya ini bagai orang yang takut mendapatkan kecurigaan karena berani-berani dekat dengan putri elok penghuni puri ini. Dan mendengar jawaban ini, Bangsawan Yogascitra hanya senyum dikulum. Sudah sejak dari Tanjungpura, Ginggi sebenarnya sudah tahu kepada Purbajaya. Ginggi sebenarnya merasa bersyukur, pemuda ini hingga kini masih dalam keadaan bugar. Padahal menurut perkiraannya, pemuda ini tengah dikuntit bahkan diuber Suji Angkara. Ginggi tak bias menduga, mengapa tidak terjadi gangguan dari Suji Angkara terhadap pemuda ini. Padahal menurut ancaman Suji Angkara, Purbajaya akan dibereskan saja.
Ginggi menganggap, istilah “dibereskan” artinya dibunuh. Suji Angkara yang kini dinilai jahat oleh Ginggi, amat beralasan untuk melenyapkan Purbajaya. Dengan alasan akan “menghukum” dosa Purbajaya karena telah menyakiti hati tunangannya sehingga gadis putri Juragan Ilun Rosa mati bunuh diri, pemuda bejat itu akan berusaha menghapus jejak kejahatannya. Padahal kini Ginggi mulai yakin, Suji Angkara di Tanjungpura pasti telah berbuat sesuatu yang amat merugikan harga diri gadis putri Juragan Ilun Rosa.
Dengan amat licin dosa-dosanya dia timpakan kepada Purbajaya. Sehingga orang-orang di Tanjungpura pasti akan mengira bahwa kematian gadis putri Juragan Ilun Rosa karena kesalahan pemuda kekasihnya itu.
“Nampaknya Ayahanda amat berkepentingan memanggil saya. Ada urusan apakah?” tanya Nyimas Banyak Inten dengan suaranya yang halus dan merdu.
“Benar sekali anakku. Kalau ibundamu masih hidup, seharusnya akulah dan ibundamulah yang harus duduk berkumpul di sini, sebab yang akan aku bicarakan ini menyangkut masa depanmu. Namun sekali pun demikian, hatiku cukup tenang. Ada Mamanda Purohita di sini. Juga ada kakakmu. Dan semuanya bisa kita pintakan pertimbangan-pertimbangannya,” kata Bangasawan Yogascitra.
Tapi ucapan bangsawan ini rupanya menimbulkan kebingungan di hati gadis itu. Buktinya Ginggi menyaksikan wajah Nyimas Banyak Inten dipenuhi tanda tanya. Dan walau pun gadis itu tidak mengajukan pertanyaan, Bangsawan Yogascitra nampaknya mengerti isi hati putrinya.
“Aku tidak akan berpanjang-panjang berkata, sebab pokok tujuannya adalah adanya pengertian di hatimu,” kata Bangsawan Yogascitra. “Hari ini datang surat kiriman dari Bangsawan Bagus Seta. Isinya, yang pertama membuat sakit hati kita, yaitu pembatalan pertunangan kakakmu dengan anak gadisnya,” lanjut bangsawan itu.
Sejenak Nyimas Banyak Inten menatap wajah ayahandanya, kemudian menoleh ke kiri ke arah Banyak Angga yang nampak sejak tadi menundukkan kepala.
“Tapi isi surat yang kedua ada hubungannyaa dengan nasib dan masa depanmu. Karena Bagus Seta merasa berdosa telah membatalkan pertunangan kakakmu, dia tetap ingin menjalin hubungan keluarga dengan kita. Caranya yaitu meminangmu untuk kepentingan Raden Suji Angkara!” kata bangsawan berwajah simpatik ini.
Ginggi melirik ke arah Nyimas Banyak Inten. Dia ingin sekali melongok isi hati gadis itu untuk mengetahui perasaannya setelah mendengar penjelasan ayahandanya.
“Aku belum akan menolak atau menerimanya, sebab aku ingin mendapatkan penjelasan atau barangkali pendapatmu tentang hal ini,” Bangsawan Yogascitra menatap gadis itu berlama-lama.
Namun yang ditatap hanya menunduk saja. Wajahnya kendati ada rona merah namun terkesan tenang dan seperti tak terpengaruh oleh pertanyaan ini.
“Saya hanya ingin tahu, apakah penyebab batalnya pertunangan Kanda Banyak Angga dengan Ayunda Nyimas Layang Kingkin?” gadis itu malah mengajukan pertanyaan lain.
“Pembatalan ini upanya bukan kesalahan Ki Bagus Seta. Sekurang-kurangnya begitu menurut isi surat ini. Pertunangan antara kakakmu dengan Nyimas Layang Kingkin terpaksa dibatalkan karena Sang Prabu amat tertarik terhadap kecantikan gadis itu. Beliau ingin mempersuntingya sebagai selir, anakku,” kata Bangsawan Yogascitra.
Semua orang menatap dalam-dalam sepertinya ingin sekali mendengar apa pendapat gadis itu. Dan rupanya gadis itu pun sadar bahwa dirinya tengah menjadi perhatian semua orang, membuat dirinya menjadi jengah. Gadis itu terus tertunduk. Sesekali tangannya yang putih mulus menyeka ujung hidungnya yang mancung dengan punggung tangannya.
“Engkau belum menjawab perihal rencana pinangan Ki Bagus Seta padamu,” kata Bangsawan Yogascitra masih menatap putrinya.
“Apa yang harus saya kemukakan, padahal saya hanyalah sekadar gadis bodoh, Ayahanda…” gumam Nyi Mas Banyak Inten, masih menunduk.
“Seorang anak memang berkewajiban taat terhadap orangtuanya. Tapi aku menginginkan, kendati anak tetap taat terhadap orangtuanya, jangan sampai sang anak menderita karena ketaatannya. Aku ingin hidupmu bahagia,” kata Bangsawan Yogascitra bijaksana.
Namun gadis itu masih tetap tertunduk. Hanya jari-jari tangannya saja yang melipat-lipat ujung selendangnya.
“Harus kau sadari anakku, aku sendiri sebenarnya tak punya kepentingan untuk menerima atau menolak pinangan mereka. Kalau aku tolak, tak akan merugikan kedudukanku. Sebaliknya pun bila kuterima, kedudukanku tetap seperti ini. Jadi, urusan menerima atau menolak pinangan, semuanya engkau yang harus menentukan,” kata lagi Bangsawan Yogascitra menegaskan.
“Entahlah, Ayahanda,” kata Nyimas Banyak Inten pada akhirnya, “Usia saya serasa belum cukup mampu untuk berpikir urusan cinta. Bila saya yang harus memutuskan, mungkinkah keputusan saya tidak keliru? Kakanda Suji memang sudah saya kenal sejak lama. Dia halus perangainya, santun terhadap sesama. Dia pun menyayangi dan amat membela saya. Barangkali Ayahanda pernah ingat peristiwa penyerbuan penjahat ke puri kita,” kata Nyimas Banyak Inten yang diakhiri dengan sepasang pipi berubah merah ketika menceritakan peristiwa beberapa bulan silam itu.
Mendengar ucapan terakhir gadis itu, darah Ginggi berdesir dan ada rasa panas di hatinya.
“Naluri wanita saya mengatakan, Kakanda Suji Angkara ada mengharap sesuatu dari saya,” kata lagi gadis itu menunduk.
“Ya, jadi perlukah pinangan mereka kita terima, anakku?” desak Bangsawan Yogascitra menatap tajam.
Tapi Nyimas Banyak Inten tidak mengiyakannya, membuat ayahandanya penasaran sekali.
“Maafkan saya Ayahanda,” kata gadis itu lagi, menunduk dan membisu.
Melihat kebisuan ini, Banyak Angga menyembah takzim dan duduknya agak menggeser ke depan.
“Ada apakah, Angga?” tanya Bangsawan Yogascitra menoleh pada pemuda itu.
“Maafkan bila saya lancang berbicara, Ayahanda,” katanya masih menyembah.
“Kau katakanlah apa yang ada dalam pikiranmu,” Bangsawan Yogascitra mengangkat tangan tanda mempersilakan pemuda itu bicara.
“Saya tak sependapat kepada Ayahanda menyerahkaan segala keputusan pada Dinda Inten, sebab urusan ini amat menyangkut kita semua, termasuk nama baik dan harga diri Ayahanda sendiri,” kata Banyak Angga dengan suara sedikit mantap.
“Mengapa, Angga?”
“Apa pun yang jadi alasan Ki Bagus Seta, memutuskan pertunangan saya dan Nyimas Layang Kingkin adalah penghinaan bagi kita. Mereka tidak melihat kita sebelah mata dan tak menghargai keputusan bersama. Bukankah pertunangan kami sudah disetujui Ki Bagus Seta sendiri? Mengapa dia mau menjilat kembali ucapannya tempo hari? Tidak Ayahanda. Penghinaan ini harus kita balas. Saya harap, Ayahanda harus menolak pinangan mereka terhadap Dinda Inten!” Banyak Angga kembali menyembah, undur ke belakang dan duduk bersila tegak sambil nafas turun-naik karena menahan amarah.
Kini giliran Purbajaya yang maju menyembah.
“Engkau ada apakah, Purbajaya?” tanya Bangsawan Yogascitra melirik kepada pemuda yang sejak tadi diam saja di samping Banyak Angga.
“Maafkan kelancangan saya, Paman. Hampir setahun saya mengabdi di puri ini, serasa saya sudah jadi keluarga di sini. Dan karenanya, saya berhak membela nama baik penghuni puri. Saya setuju dengan pendapat adikku, Banyak Angga. Sebaiknya kita tak menerima pinangan mereka. Benar belaka apa kata Angga, orang-orang Puri Bagus Seta tidak melihat sebelah mata terhadap kita. Secara sefihak begitu saja mereka memutuskan pertunangan adikku dengan Nyimas Layang Kingkin. Kalau yang dijadikan alasan adalah keinginan Raja mempersunting Nyimas Layang Kingkin, saya merasa curiga ini hanya taktik Ki Bagus Seta belaka. Saya kerap kali mengunjungi istana Sri Bhima Untarayana Madura Suradipati (puri Agung di mana Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan tinggal) karena Sang Prabu kerap kali membutuhkan saya dalam ikut mempelajari kemungkinan-kemungkinan kita merebut kekuasaan di muara dan di pantai. Beliau memang benar seorang pria romantis yang menyenangi keindahan wanita. Namun satu kali pun tidak pernah memperbincangkan Nyimas Layang Kingkin. Tapi sebaliknya, beberapa kali beliau bertanya perihal keberadaan Nyimas Banyak Inten. Suatu saat bahkan langsung bertanya kepada saya, apakah Nyimas Banyak Inten sudah ada yang punya? Ketika saya jawab bahwa Nyimas Banyak Inten adalah bunga yang baru mulai mekar di mana kumbang-kumbang tak sanggup membukakan kelopaknya, maka beliau sepertinya berkhayal bahwa betapa bahagianya bila beliau bias berdekataan selalu dengan Nyimas. Itu beliau katakana berulang-ulang pada saya,” kata Purbajaya.
“Ini hanya menjelaskan bahwa perhatian Sang Prabu hanya tertuju kepada Nyimas Banyak Inten semata. Entahlah, bagaimana mulanya secara tiba-tiba saja Sang Prabu diberitakan akan mempersunting putri Ki Bagus Seta. Ini perlu diselidiki, Paman Yogascitra,” kata Purbajaya berpanjang lebar namun perkataannya mengundang perhatian semua orang.
Ginggi yang sejak tadi duduk di belakang setuju dengan perkataan pemuda itu. Menurutnya, benar belaka apa yang barusan dikatakan Purbajaya. Dan sebetulnya, ingin sekali dia ikut memperkuat keterangan ini. Hanya, bagaimana caranya? Berpayah-payah dia melakukan penyamaran sebagai badega, ternyata hanya mengurung dirinya untuk tidak terlalu bebas mengemukakan pendapat. Badega adalah orang yang memiliki kedudukan paling rendah, apa lagi di kalangan kaum bangsawan seperti ini. Kalau kini dia ikut tampil bicara, di samping akan dianggap lancang dan kurang ajar, juga tidak akan dipercaya. Akhirnya dia hanya mengangguk-angguk saja, sebab ucapan pemuda itu sepertinya mewakili pendapatnya.
Mendengar penjelasan Purbajaya semua orang saling pandang. Purohita Ragasuci berdehem, kemudian minta izin untuk mengemukakan pendapat.
“Aku sebagai orang tua merasa amat bersyukur bahwa kalian yang muda-muda penuh perhatian dalam memperbincangkan masalah penting ini,” katanya berdehem lagi beberapa kali. “Yogascitra adikku, kau harus bangga memiliki orang-orang muda seperti ini. Kalau saja bumi Pajajaran dipenuhi pemuda-pemuda yang memiliki jiwa seperti mereka ini, negara akan selalu berada dalam kemegahan. Putrimu adalah seorang gadis berperangai halus, taat kepada orangtua dan selalu berupaya tidak menyakiti hati orang lain. Bisa kau buktikan sendiri, sekali pun kau suruh dia mengambil sikap, tapi yang dipilihnya adalah keputusan yang sekiranya bisa menyenangkanmu. Dia serahkan seluruh nasibnya kepadamu sebagai orangtuanya, kendati sebetulnya dia pasti memiliki keinginan,” ujar Purohita Ragasuci sambil menatap lembut Nyimas Banyak Inten.
Kemudian orang tua berwajah sabar itu menatap kepada Banyak Angga dan Purbajaya. “Kedua pemuda ini pun begitu tangguhnya mempertahankan harga diri keluarga. Mereka patut kau banggakan, Yogascitra,” kata Purohita lagi.
“Rasanya aku akan malu bila aku sebagai orang kalangan istana memiliki banyak pengalaman hidup tapi tidak mengeluarkan pendapat. Yogascitra, kali ini aku harus bicara. Dan maafkan bila ucapanku tidak berkenan di hati,” Purihita Ragasuci merapatkan kedua belah tangannya seperti melakukan penghormatan.
Dan Bangsawan Yogascitra mengangguk membalas penghormatan itu. “Engkau adalah kakakku yang amat aku hormati, dan engkau adalah Purohita, pendeta agung istana. Semua pendapatmu adalah benar belaka dan saya harus menghargainya,” tutur Bangsawan Yogascitra penuh hormat.
“Jangan kau besar-besarkan kedudukanku. Aku pendeta agung, tapi aku juga manusia. Kalau aku berbicara benar, barangkali karena aku mengartikan isi kitab-kitab suci dengan benar. Tapi aku juga adalah manusia biasa. Sedang kitab suci pun berbicara, tak ada manusia yang sempurna. Artinya, bicaraku pun bisa saja ada kekeliruan. Kalau kau anggap aku keliru, kau jangan segan meyalahkannya, adikku,” kata Purohita Ragasuci dengan nada suara tetap halus.
“Baik Raden,” kata jagabaya dan mohon undur untuk kembali bertugas di pintu gerbang puri.
“Mari bersamaku…” kata Banyak Angga.
Ginggi tak banyak bicara. Dia melangkah menyusuri jalan kecil berbalay kerikil yang membawanya ke sebuah paseban, Dipaseban (bangsal) yang cukup luas, terlihat dua orang lelaki tengah duduk bersila saling berhadapan. Mereka duduk di balai-balai kayu berukir indah. Ginggi sudah kenal kepada yang berusia setengah baya, itulah Pangeran Yogascitra. Sedangkan yang seorang lagi, lelaki berusia tua memakai sorban putih dan berjenggot putih panjang, Ginggi tak kenal siapa gerangan.
“Sampurasun…”
“Rampes…” jawab Bangsawan Yogascitra halus. “Silahkan duduk anakku. Oh ya, siapa yang kau ajak serta itu?” kata bangsawan berwajah ramah itu seraya menatap Ginggi.
“Dia Ginggi, badega Ki Bagus Seta. Dulu pernah ke puri kita ketika menjemput Raden Suji…” kata Banyak Angga menerangkan.
Mendengar badega ini utusan Ki Bagus Seta, Bangsawan Yogascitra agak merandek sejenak, kendati kemudian parasnya kembali biasa.
“Duduklah anak muda.”
“Terima kasih, Juragan. Saya diutus Juragan Bagus Seta menyerahkan kotak surat ini…” sambil menyodorkan kotak kayu cendana dengan kedua belah tangannya.
“Surat apakah ini?” gumam Bangsawan Yogascitra.
“Bacalah sekarang juga agar tak membuat penasaran, adikku,” kata orang tua berjubah putih itu.
Bangsawan Yogascitra pelan-pelan membuka tutup kotak itu. Di dalamnya ada seikat daun nipah. Bangsawan itu membeberkan susunan daun nipah itu dan segera membacanya. Lama dia membaca. Namun kian lama menyimak tulisan di atas daun nipah, semakin berkerut dahinya. Sesudah selesai membacanya, Bangsawan Yogascita menatap tajam Banyak Angga.
“Apakah isinya adikku, sepertinya bukan berita menggembirakan buatmu…” kata orang tua berjenggot putih.
“Sebaiknya Kakanda Purohita meneliti isi daun nipah ini,” kata Bangsawan Yogascitra seraya menyodorkan untaian surat yang diikat benang hitam itu.
Ginggi kembali memperhatikan orang tua itu. Barangkali usianya di atas enampuluh tahun. Berwajah lembut dan seperti berperangai halus. Ginggi pernah mendengar, yang dimaksud Purohita adalah semacam jabatan kependetaan di istana yang tingkatannya paling tinggi. Ginggi pernah mendengar Purohita itu berjuluk Ragasuci. Purohita Ragasuci membaca rentetan aksara Palawa di daun nipah dengan wajah tenang. Sesudah selesai menyimak, pelan-pelan menoleh kepada Banyak Angga sambil mulut tersenyum.
“Sebaiknya sampaikan segera kepada yang bersangkutan agar hatinya tidak dipenuhi berbagai pertanyaan, adikku,” katanya kepada Bangsawan Yogascitra.
Ginggi meyaksikan, kedua ayah dan anak saling pandang. Yang seseorang menatap dengan penuh rasa penasaran dan yang seorang lagi menampakkan wajah cemas sedikit murung.
“Bagus Seta membatalkan pertunanganmu dengan Nyimas Layang Kingkin,” akhirnya Bangsawan Yogascitra bicara juga kendati dengan nada sedikit pahit.
Wajah Banyak Angga mendadak memucat dan bibirnya gemetar. Dia menatap nanar pada ayahnya, kemudian beralih kepada Ginggi.
“Apa artinya ini, Ginggi?” tanyanya dingin.
Ginggi hanya bisa menundukkan kepala. Untuk kedua kalinya pemuda itu bertanya kepada Ginggi, kini dengan suara agak tinggi. Namun untuk kesekian kalinya yang ditanya tak menggoyang bibir meski hanya sedikit.
“Dia hanyalah seorang badega, tak bisa kau mintai penjelasan,” kata Bangsawan Yogascitra tetap tenang.
“Kalau begitu kita sama-saama berangkat ke puri Bagus Seta untuk minta penjelasan, Ayahanda!” teriak Banyak Angga sedikit keras.
“Penjelasan sudah ada di dalam surat ini. Mereka membatalkan pertunangan karena keinginan Sang Prabu. Beliau berkenan mengangkat Nyimas Layang Kingkin sebagai selir…” kata Bangsawan Yogascitra dengan suara lemah.
Ginggi melihat Banyak Angga mengatupkan mulutnya dan gigi-giginya berkerutuk menahan amarah.
“Saya malah mendengar bisik-bisik di kalangan para dayang istana bahwa Sang Prabu tengah tergila-gila pada adikku, Banyak Inten. Mana yang benar?” gumam pemuda itu dengan nada pedih.
“Dalam surat ini, Bagus Seta malah ingin merundingkan pertunangan putranya, Raden Suji dengan adikmu…” gumam Bangsawan Yogascitra.
Kini giliran tubuh Ginggi yang mendadak panas dingin. Namun rupanya yang merasa tak enak atas “penawaran” ini bukan saja Ginggi, Banyak Angga pun seperti memiliki perasaan ini kendati alasannya berlainan dengan Ginggi.
“Ayahanda, begitu mudahnya mereka menukar-nukar pertunangan? Benar-benarkah pemuda anak Ki Bagus Seta itu cinta pada adikku atau sekadar keinginan orangtuanya untuk stel sana stel sini?” tanya Banyak Angga.
“Bagus Seta menginginkan, kendati hubungan pertunangaan antara kau dan Nyimas Layang Kingkin batal, tapi katanya jangan sampai hubungan kekerabatan putus begitu saja. Itulah sebabnya dia mengajukan pinangan agar adikmu dipersunting putra tertuanya yaitu Raden Suji Angkara. Memang ada benarnya perkataan Ki Bagus Seta. Tapi entahlah, apakah ucapannya ini terlahir dari maksud-maksud baiknya?” kata Bangsawan Yogascitra.
Ginggi ingin sekali ikut bicara. Tapi akan lancang benar bila dia tiba-tiba menyela pembicaraan, apalagi suasana sedang diliputi ketidak enakan. Sementara itu Bangsawan Yogascitra segera menyuruh badeganya untuk menjemput Nyimas Banyak Inten di puri belakang.
Seperti ada suara bertalu-talu di dalam dada Ginggi ketika dari luar datang dua orang. Satu di depan seorang gadis dan satu mengiringkannya dari belakangnya. Bukan badega yang tadi disuruh Bangsawan Yogascitra, melainkan seorang pemuda tampan berpakaian santana, Ginggi hapal betul, gadis itu tak lain Nyimas Banyak Inten. Dia melangkah pelan dan pendek-pendek karena kain sutra warna biru tua berkembang membungkus tubuh agak sedikit ketat sehingga bentuk-bentuk keindahan tubuhnya terbayang nyata. Selendang warna kuning tua polos juga terbuat dari sutra tipis berkibar-kibar di bahunya yang sebagian terjuntai ke bawah. Indah sekali selendang yang berkibar itu. Dan keindahan semakin sempurna manakala matahari senja menyorot tubuh gadis itu menimbulkan rona-rona cahaya khas.
Sedangkan pemuda yang mengiringkannya di belakangnya adalah Purbajaya. Dengan amat santunnya dia berjalan di belakang sehingga langkahnya terbawa pelan. Ginggi agak tertegun, mengapa Purbajaya bersama Nyimas Banyak Inten. Di dalam hatinya seketika timbul perasaan cemburu. Hanya tentu saja pemuda itu segera menekan perasaannya yang dianggap gila ini.
Nyimas Banyak Inten menyembah takzim baik kepada ayahnya mau pun kepada Purohita Ragasuci. Sesudah itu gadis elok berwajah lembut ini segera duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk.
“Nampaknya kalian habis berjalan-jalan, ya…” kata Bangsawan Yogascitra menatap kedua muda-mudi itu saling bergantian.
“Sekadar menghirup udara segar di sore hari, Ayahanda…” jawab Nyimas Banyak Inten tersipu.
“Dan saya hanya sekadar mengawalnya, Paman Yogascitra…” kata Purbajaya.
Perkataannya ini bagai orang yang takut mendapatkan kecurigaan karena berani-berani dekat dengan putri elok penghuni puri ini. Dan mendengar jawaban ini, Bangsawan Yogascitra hanya senyum dikulum. Sudah sejak dari Tanjungpura, Ginggi sebenarnya sudah tahu kepada Purbajaya. Ginggi sebenarnya merasa bersyukur, pemuda ini hingga kini masih dalam keadaan bugar. Padahal menurut perkiraannya, pemuda ini tengah dikuntit bahkan diuber Suji Angkara. Ginggi tak bias menduga, mengapa tidak terjadi gangguan dari Suji Angkara terhadap pemuda ini. Padahal menurut ancaman Suji Angkara, Purbajaya akan dibereskan saja.
Ginggi menganggap, istilah “dibereskan” artinya dibunuh. Suji Angkara yang kini dinilai jahat oleh Ginggi, amat beralasan untuk melenyapkan Purbajaya. Dengan alasan akan “menghukum” dosa Purbajaya karena telah menyakiti hati tunangannya sehingga gadis putri Juragan Ilun Rosa mati bunuh diri, pemuda bejat itu akan berusaha menghapus jejak kejahatannya. Padahal kini Ginggi mulai yakin, Suji Angkara di Tanjungpura pasti telah berbuat sesuatu yang amat merugikan harga diri gadis putri Juragan Ilun Rosa.
Dengan amat licin dosa-dosanya dia timpakan kepada Purbajaya. Sehingga orang-orang di Tanjungpura pasti akan mengira bahwa kematian gadis putri Juragan Ilun Rosa karena kesalahan pemuda kekasihnya itu.
“Nampaknya Ayahanda amat berkepentingan memanggil saya. Ada urusan apakah?” tanya Nyimas Banyak Inten dengan suaranya yang halus dan merdu.
“Benar sekali anakku. Kalau ibundamu masih hidup, seharusnya akulah dan ibundamulah yang harus duduk berkumpul di sini, sebab yang akan aku bicarakan ini menyangkut masa depanmu. Namun sekali pun demikian, hatiku cukup tenang. Ada Mamanda Purohita di sini. Juga ada kakakmu. Dan semuanya bisa kita pintakan pertimbangan-pertimbangannya,” kata Bangasawan Yogascitra.
Tapi ucapan bangsawan ini rupanya menimbulkan kebingungan di hati gadis itu. Buktinya Ginggi menyaksikan wajah Nyimas Banyak Inten dipenuhi tanda tanya. Dan walau pun gadis itu tidak mengajukan pertanyaan, Bangsawan Yogascitra nampaknya mengerti isi hati putrinya.
“Aku tidak akan berpanjang-panjang berkata, sebab pokok tujuannya adalah adanya pengertian di hatimu,” kata Bangsawan Yogascitra. “Hari ini datang surat kiriman dari Bangsawan Bagus Seta. Isinya, yang pertama membuat sakit hati kita, yaitu pembatalan pertunangan kakakmu dengan anak gadisnya,” lanjut bangsawan itu.
Sejenak Nyimas Banyak Inten menatap wajah ayahandanya, kemudian menoleh ke kiri ke arah Banyak Angga yang nampak sejak tadi menundukkan kepala.
“Tapi isi surat yang kedua ada hubungannyaa dengan nasib dan masa depanmu. Karena Bagus Seta merasa berdosa telah membatalkan pertunangan kakakmu, dia tetap ingin menjalin hubungan keluarga dengan kita. Caranya yaitu meminangmu untuk kepentingan Raden Suji Angkara!” kata bangsawan berwajah simpatik ini.
Ginggi melirik ke arah Nyimas Banyak Inten. Dia ingin sekali melongok isi hati gadis itu untuk mengetahui perasaannya setelah mendengar penjelasan ayahandanya.
“Aku belum akan menolak atau menerimanya, sebab aku ingin mendapatkan penjelasan atau barangkali pendapatmu tentang hal ini,” Bangsawan Yogascitra menatap gadis itu berlama-lama.
Namun yang ditatap hanya menunduk saja. Wajahnya kendati ada rona merah namun terkesan tenang dan seperti tak terpengaruh oleh pertanyaan ini.
“Saya hanya ingin tahu, apakah penyebab batalnya pertunangan Kanda Banyak Angga dengan Ayunda Nyimas Layang Kingkin?” gadis itu malah mengajukan pertanyaan lain.
“Pembatalan ini upanya bukan kesalahan Ki Bagus Seta. Sekurang-kurangnya begitu menurut isi surat ini. Pertunangan antara kakakmu dengan Nyimas Layang Kingkin terpaksa dibatalkan karena Sang Prabu amat tertarik terhadap kecantikan gadis itu. Beliau ingin mempersuntingya sebagai selir, anakku,” kata Bangsawan Yogascitra.
Semua orang menatap dalam-dalam sepertinya ingin sekali mendengar apa pendapat gadis itu. Dan rupanya gadis itu pun sadar bahwa dirinya tengah menjadi perhatian semua orang, membuat dirinya menjadi jengah. Gadis itu terus tertunduk. Sesekali tangannya yang putih mulus menyeka ujung hidungnya yang mancung dengan punggung tangannya.
“Engkau belum menjawab perihal rencana pinangan Ki Bagus Seta padamu,” kata Bangsawan Yogascitra masih menatap putrinya.
“Apa yang harus saya kemukakan, padahal saya hanyalah sekadar gadis bodoh, Ayahanda…” gumam Nyi Mas Banyak Inten, masih menunduk.
“Seorang anak memang berkewajiban taat terhadap orangtuanya. Tapi aku menginginkan, kendati anak tetap taat terhadap orangtuanya, jangan sampai sang anak menderita karena ketaatannya. Aku ingin hidupmu bahagia,” kata Bangsawan Yogascitra bijaksana.
Namun gadis itu masih tetap tertunduk. Hanya jari-jari tangannya saja yang melipat-lipat ujung selendangnya.
“Harus kau sadari anakku, aku sendiri sebenarnya tak punya kepentingan untuk menerima atau menolak pinangan mereka. Kalau aku tolak, tak akan merugikan kedudukanku. Sebaliknya pun bila kuterima, kedudukanku tetap seperti ini. Jadi, urusan menerima atau menolak pinangan, semuanya engkau yang harus menentukan,” kata lagi Bangsawan Yogascitra menegaskan.
“Entahlah, Ayahanda,” kata Nyimas Banyak Inten pada akhirnya, “Usia saya serasa belum cukup mampu untuk berpikir urusan cinta. Bila saya yang harus memutuskan, mungkinkah keputusan saya tidak keliru? Kakanda Suji memang sudah saya kenal sejak lama. Dia halus perangainya, santun terhadap sesama. Dia pun menyayangi dan amat membela saya. Barangkali Ayahanda pernah ingat peristiwa penyerbuan penjahat ke puri kita,” kata Nyimas Banyak Inten yang diakhiri dengan sepasang pipi berubah merah ketika menceritakan peristiwa beberapa bulan silam itu.
Mendengar ucapan terakhir gadis itu, darah Ginggi berdesir dan ada rasa panas di hatinya.
“Naluri wanita saya mengatakan, Kakanda Suji Angkara ada mengharap sesuatu dari saya,” kata lagi gadis itu menunduk.
“Ya, jadi perlukah pinangan mereka kita terima, anakku?” desak Bangsawan Yogascitra menatap tajam.
Tapi Nyimas Banyak Inten tidak mengiyakannya, membuat ayahandanya penasaran sekali.
“Maafkan saya Ayahanda,” kata gadis itu lagi, menunduk dan membisu.
Melihat kebisuan ini, Banyak Angga menyembah takzim dan duduknya agak menggeser ke depan.
“Ada apakah, Angga?” tanya Bangsawan Yogascitra menoleh pada pemuda itu.
“Maafkan bila saya lancang berbicara, Ayahanda,” katanya masih menyembah.
“Kau katakanlah apa yang ada dalam pikiranmu,” Bangsawan Yogascitra mengangkat tangan tanda mempersilakan pemuda itu bicara.
“Saya tak sependapat kepada Ayahanda menyerahkaan segala keputusan pada Dinda Inten, sebab urusan ini amat menyangkut kita semua, termasuk nama baik dan harga diri Ayahanda sendiri,” kata Banyak Angga dengan suara sedikit mantap.
“Mengapa, Angga?”
“Apa pun yang jadi alasan Ki Bagus Seta, memutuskan pertunangan saya dan Nyimas Layang Kingkin adalah penghinaan bagi kita. Mereka tidak melihat kita sebelah mata dan tak menghargai keputusan bersama. Bukankah pertunangan kami sudah disetujui Ki Bagus Seta sendiri? Mengapa dia mau menjilat kembali ucapannya tempo hari? Tidak Ayahanda. Penghinaan ini harus kita balas. Saya harap, Ayahanda harus menolak pinangan mereka terhadap Dinda Inten!” Banyak Angga kembali menyembah, undur ke belakang dan duduk bersila tegak sambil nafas turun-naik karena menahan amarah.
Kini giliran Purbajaya yang maju menyembah.
“Engkau ada apakah, Purbajaya?” tanya Bangsawan Yogascitra melirik kepada pemuda yang sejak tadi diam saja di samping Banyak Angga.
“Maafkan kelancangan saya, Paman. Hampir setahun saya mengabdi di puri ini, serasa saya sudah jadi keluarga di sini. Dan karenanya, saya berhak membela nama baik penghuni puri. Saya setuju dengan pendapat adikku, Banyak Angga. Sebaiknya kita tak menerima pinangan mereka. Benar belaka apa kata Angga, orang-orang Puri Bagus Seta tidak melihat sebelah mata terhadap kita. Secara sefihak begitu saja mereka memutuskan pertunangan adikku dengan Nyimas Layang Kingkin. Kalau yang dijadikan alasan adalah keinginan Raja mempersunting Nyimas Layang Kingkin, saya merasa curiga ini hanya taktik Ki Bagus Seta belaka. Saya kerap kali mengunjungi istana Sri Bhima Untarayana Madura Suradipati (puri Agung di mana Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan tinggal) karena Sang Prabu kerap kali membutuhkan saya dalam ikut mempelajari kemungkinan-kemungkinan kita merebut kekuasaan di muara dan di pantai. Beliau memang benar seorang pria romantis yang menyenangi keindahan wanita. Namun satu kali pun tidak pernah memperbincangkan Nyimas Layang Kingkin. Tapi sebaliknya, beberapa kali beliau bertanya perihal keberadaan Nyimas Banyak Inten. Suatu saat bahkan langsung bertanya kepada saya, apakah Nyimas Banyak Inten sudah ada yang punya? Ketika saya jawab bahwa Nyimas Banyak Inten adalah bunga yang baru mulai mekar di mana kumbang-kumbang tak sanggup membukakan kelopaknya, maka beliau sepertinya berkhayal bahwa betapa bahagianya bila beliau bias berdekataan selalu dengan Nyimas. Itu beliau katakana berulang-ulang pada saya,” kata Purbajaya.
“Ini hanya menjelaskan bahwa perhatian Sang Prabu hanya tertuju kepada Nyimas Banyak Inten semata. Entahlah, bagaimana mulanya secara tiba-tiba saja Sang Prabu diberitakan akan mempersunting putri Ki Bagus Seta. Ini perlu diselidiki, Paman Yogascitra,” kata Purbajaya berpanjang lebar namun perkataannya mengundang perhatian semua orang.
Ginggi yang sejak tadi duduk di belakang setuju dengan perkataan pemuda itu. Menurutnya, benar belaka apa yang barusan dikatakan Purbajaya. Dan sebetulnya, ingin sekali dia ikut memperkuat keterangan ini. Hanya, bagaimana caranya? Berpayah-payah dia melakukan penyamaran sebagai badega, ternyata hanya mengurung dirinya untuk tidak terlalu bebas mengemukakan pendapat. Badega adalah orang yang memiliki kedudukan paling rendah, apa lagi di kalangan kaum bangsawan seperti ini. Kalau kini dia ikut tampil bicara, di samping akan dianggap lancang dan kurang ajar, juga tidak akan dipercaya. Akhirnya dia hanya mengangguk-angguk saja, sebab ucapan pemuda itu sepertinya mewakili pendapatnya.
Mendengar penjelasan Purbajaya semua orang saling pandang. Purohita Ragasuci berdehem, kemudian minta izin untuk mengemukakan pendapat.
“Aku sebagai orang tua merasa amat bersyukur bahwa kalian yang muda-muda penuh perhatian dalam memperbincangkan masalah penting ini,” katanya berdehem lagi beberapa kali. “Yogascitra adikku, kau harus bangga memiliki orang-orang muda seperti ini. Kalau saja bumi Pajajaran dipenuhi pemuda-pemuda yang memiliki jiwa seperti mereka ini, negara akan selalu berada dalam kemegahan. Putrimu adalah seorang gadis berperangai halus, taat kepada orangtua dan selalu berupaya tidak menyakiti hati orang lain. Bisa kau buktikan sendiri, sekali pun kau suruh dia mengambil sikap, tapi yang dipilihnya adalah keputusan yang sekiranya bisa menyenangkanmu. Dia serahkan seluruh nasibnya kepadamu sebagai orangtuanya, kendati sebetulnya dia pasti memiliki keinginan,” ujar Purohita Ragasuci sambil menatap lembut Nyimas Banyak Inten.
Kemudian orang tua berwajah sabar itu menatap kepada Banyak Angga dan Purbajaya. “Kedua pemuda ini pun begitu tangguhnya mempertahankan harga diri keluarga. Mereka patut kau banggakan, Yogascitra,” kata Purohita lagi.
“Rasanya aku akan malu bila aku sebagai orang kalangan istana memiliki banyak pengalaman hidup tapi tidak mengeluarkan pendapat. Yogascitra, kali ini aku harus bicara. Dan maafkan bila ucapanku tidak berkenan di hati,” Purihita Ragasuci merapatkan kedua belah tangannya seperti melakukan penghormatan.
Dan Bangsawan Yogascitra mengangguk membalas penghormatan itu. “Engkau adalah kakakku yang amat aku hormati, dan engkau adalah Purohita, pendeta agung istana. Semua pendapatmu adalah benar belaka dan saya harus menghargainya,” tutur Bangsawan Yogascitra penuh hormat.
“Jangan kau besar-besarkan kedudukanku. Aku pendeta agung, tapi aku juga manusia. Kalau aku berbicara benar, barangkali karena aku mengartikan isi kitab-kitab suci dengan benar. Tapi aku juga adalah manusia biasa. Sedang kitab suci pun berbicara, tak ada manusia yang sempurna. Artinya, bicaraku pun bisa saja ada kekeliruan. Kalau kau anggap aku keliru, kau jangan segan meyalahkannya, adikku,” kata Purohita Ragasuci dengan nada suara tetap halus.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment